Korelasi Antara Jumlah Leukosit Darah Tepi Dan Volume Infark Pada Stroke Iskemik Akut

KORELASI ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH TEPI DAN VOLUME INFARK PADA STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CHRISTINE NOTONINGTIYAS SANTOSO

G.0008029

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

ABSTRAK

Christine Notoningtiyas Santoso, G.0008029, 2011. Korelasi antara Jumlah Leukosit Darah Tepi dan Volume Infark pada Stroke Iskemik Akut. Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit darah tepi dan besarnya volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik akut.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Bagian Rawat Inap Unit Penyakit Saraf RSUD Dr. Moewardi pada bulan April-Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik systematic random sampling dengan menggunakan 30 sampel penderita stroke iskemik akut. Instrumentasi penelitian menggunakan data klinis, data pengukuran hitung jumlah leukosit darah tepi 24 -

72 jam post stroke, dan gambaran CT-Scan kepala ≥ 24 - 72 jam post stroke pasien stroke iskemik akut RSUD Dr. Moewardi. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan SPSS for Windows 19.0 dan dianalisis secara statistik dengan uji regresi linier sederhana pada taraf signifikansi α = 0,05.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh jumlah rata-rata hitung jumlah

leukosit adalah 8,41. 10 3 /µL dan rata-rata hasil hitung volume infark penderita stroke iskemik akut adalah 5,48 mm 3 . Hasil uji statistik regresi linier sederhana

didapatkan koefisien regresi sebesar 0,608, nilai signifikan p = 0,000 (p < 0,05).

Simpulan Penelitian : Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah leukosit darah tepi dengan volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik akut.

Kata kunci : jumlah leukosit, volume infark, stroke iskemik akut

ABSTRACT

Christine Notoningtiyas Santoso, G.0008029, 2011. The Correlation between Peripheral Leukocyte Count and Infarct Volume of Acute Ischemic Stroke. Mini- thesis of Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: The aim of this research were to know the correlation between peripheral leukocyte count and infarct volume on head CT-Scan image of acute ischemic stroke patients.

Methods: This research was an observational analytic one with cross sectional approach. It carried out in patient Neurologic Unit of Dr. Moewardi Hospital in April to July of 2011. Sampling was conducted by systematic random sampling technique using 30 samples of acute ischemic stroke patients. We used clinical data, 24 - 72 hour post stroke data of peripheral leukocyte count, and head CT- Scan image of ≥ 24 - 72 hour post stroke patients with acute ischemic stroke of Dr. Moewardi Hospital. The data obtained and processed using SPSS for Windows 19.0 and was statistically analyzed by simple linear regression test at significance level of α = 0.05.

Results : The result of this study showed that mean leukocyte count was 8.41

10 3 /µL and mean infarct-volume count of acute ischemic stroke patients was 5.48 mm 3 . By a simple linear regression statistical test, regression coefficient were 0,608 and significant p = 0.000 (p < 0.05).

Conclusion : Based on this study, we concluded that there is a correlation between peripheral leukocyte count and infarct volume on head CT-Scan image of acute ischemic stroke patients.

Key words : leukocyte count, infarct volume, acute ischemic stroke

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Stroke akut telah diketahui merupakan penyebab kematian ke tiga terbesar setelah penyakit jantung dan kanker dan penyebab kecacatan utama di dunia barat. Setiap tahunnya 700.000 orang mengalami stroke baru atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000 merupakan serangan ulang. Rata-rata, setiap detiknya seseorang di Amerika Serikat akan mengalami stroke (Machfoed, 2003; Air & Kissela, 2007; Rosamond et al., 2007).

Di Indonesia, stroke akut diduga juga sebagai salah satu penyebab kematian utama (Lumbantobing & Suryamiharja, 2001). Penelitian yang cukup besar di Indonesia dilakukan oleh (ASNA) ASEAN Neurological Association di 28 rumah sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit (hospital based study). Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia di bawah

45 tahun yaitu 11,8 %, usia 45 - 64 tahun berjumlah 54,2 % dan di atas usia

65 tahun 33,5 % (Misbach, 2007). Stroke iskemik yang disebabkan oleh trombosis atau emboli yang menyumbat aliran darah ke otak adalah kurang lebih 83 % dari keseluruhan stroke, 17 % sisanya merupakan stroke hemoragik yang meliputi perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (Victor & Rupper, 2001).

Tomography scanning (CT-Scan). Menurut penelitian Marks dalam Widjaja (2010), CT-Scan digunakan untuk mengetahui adanya lesi infark di otak dan merupakan baku emas untuk diagnosis stroke iskemik karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Melalui pemeriksaan CT-Scan, dapat diketahui besarnya volume infark pada pasien stroke iskemik (Worp et al., 2001).

Pada penelitian Fujinuma, et al. (1997) mengenai hubungan antara akumulasi leukosit pada infark serebri dengan outcome fungsional neurologis, tampak terjadinya akumulasi intensif dari leukosit pada daerah dengan aliran darah yang rendah. Akumulasi ini terjadi lebih banyak pada daerah bagian tengah iskemia. Akumulasi leukosit yang abnormal ini berhubungan dengan penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) selama fase akut stroke emboli. Penelitian ini juga menyatakan bahwa akumulasi leukosit setempat mempunyai efek merusak otak yang mengalami iskemia.

Akumulasi jumlah leukosit, khususnya neutrofil juga dilaporkan oleh Buck et al. (2008). Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara besarnya volume infark pada gambaran MRI stroke iskemik akut dengan jumlah leukosit dan neutrofil darah tepi yang mana terjadi proses inflamasi segera, sebelum terjadi perkembangan lanjut terhadap besarnya volume infark dan jaringan nekrosis. Arterosklerosis di mana terjadi proses inflamasi kronik, merupakan salah satu penyebab kenaikan jumlah leukosit yang mungkin.

risiko kematian dan perburukan keluarannya, seperti hipertermia, hiperglikemia, rendahnya skor ADL, lesi yang besar, dan efek masa (Victor & Rupper, 2001).

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya bukti akumulasi jumlah leukosit yang sebanding dengan besarnya lesi yang terjadi pada penderita stroke iskemik akut, peneliti ingin mengetahui ada tidaknya hubungan antara hitung jumlah leukosit darah tepi pasien stroke iskemik akut dengan besarnya volume infark pada gambaran CT-Scan kepala yang bisa menunjukkan keparahan penyakitnya.

B. Rumusan Masalah

Apakah jumlah leukosit darah tepi pada pasien stroke iskemik akut berhubungan dengan volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik akut?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara leukosit darah tepi pasien stroke iskemik dan volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien.

2. Untuk mengetahui jumlah leukosit darah tepi pada pasien stroke iskemik akut sebagai indikator besarnya volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik akut.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah 1. Manfaat Ilmiah

2. Manfaat Aplikatif Dengan diketahuinya jumlah leukosit darah tepi pada pasien stroke iskemik akut dan kemungkinan besarnya volume infark yang mempengaruhi keluaran pasien stroke dapat dipergunakan sebagai :

a. Sumber informasi bagi daerah dengan sarana kesehatan yang terbatas.

b. Bahan informasi awal bagi pasien dan keluarganya tentang prognosis stroke yang dihadapinya.

c. Sebagai pertimbangan untuk membuat keputusan yang rasional bila didapatkan keterbatasan sumber daya.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Stroke Iskemik

a. Definisi Stroke iskemik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih; pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian (Djoenaedi, 2003). Stroke jenis ini memiliki ciri khas onset defisit neurologis setempat yang tiba-tiba. Beberapa pasien mengalami perkembangan gejala yang bertahap. Defisit neurologis yang lazim ditemukan meliputi disfasia, disarthria, hemianopia, hemiparesis, ataksia, dan sensory loss. Gejala dan tandanya biasanya satu sisi (unilateral) (Noerjanto, 2000).

Stroke iskemik juga disebabkan karena ateroma dan komplikasinya. Arterosklerosis merupakan penyebab stroke iskemik, biasanya berupa tromboemboli, sedangkan penyebab lainnya antara lain kardioembolisme, stenosis arteri karotis dan gangguan vaskular lain (Noerjanto, 2000).

b. Patofisiologi

1) Arterosklerosis

pada arteri berukuran besar dan sedang sebagai akibat dari deposisi kolesterol, lipid dan sisa sel. Plak dalam arteri yang menuju ke otak menjadi makin padat sehingga aliran darahnya menjadi sangat terbatas. Dapat juga terjadi pembentukan trombus/emboli di tempat lain yang kemudian terlepas dan bergerak menuju ke pembuluh darah yang menuju otak. Kondisi tersebut akan menyebabkan jaringan otak mengalami iskemia. Bila berlanjut, maka jaringan otak akan mengalami kematian (infark) (Noerjanto, 2000).

Iskemia jaringan otak biasanya disebabkan oklusi mendadak pada arteri di daerah otak (biasanya arteri vertebrobasilar) bila ada ruptur plaque yang kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri sehingga aliran darah mendadak tertutup (Noerjanto, 2000).

Aterosklerosis berhubungan erat dengan banyak faktor risiko, seperti hipertensi, obesitas, merokok, diabetes melitus, usia dan kadar kolesterol yang tinggi (Setianto, 2001). Dalam patofisiologi aterosklerosis, terjadi proses inflamasi sejak terbentuknya lesi awal yang disebut fatty streak. Fatty streak mengandung makrofag (berasal dari monosit) dan limfosit T. Fatty streak sering terjadi pada orang-orang muda, tidak disertai gejala klinis dan dapat berkembang menjadi ateroma atau hilang dengan sendirinya Aterosklerosis berhubungan erat dengan banyak faktor risiko, seperti hipertensi, obesitas, merokok, diabetes melitus, usia dan kadar kolesterol yang tinggi (Setianto, 2001). Dalam patofisiologi aterosklerosis, terjadi proses inflamasi sejak terbentuknya lesi awal yang disebut fatty streak. Fatty streak mengandung makrofag (berasal dari monosit) dan limfosit T. Fatty streak sering terjadi pada orang-orang muda, tidak disertai gejala klinis dan dapat berkembang menjadi ateroma atau hilang dengan sendirinya

Aterosklerosis biasanya terjadi pada arteri-arteri dengan aliran dan tekanan yang tinggi, seperti jantung, otak, ginjal dan aorta, khususnya pada percabangan arteri. Ini disebabkan karena area tersebut sering terdapat gangguan aliran darah, sehingga mengurangi aktivitas molekul ateroprotektif endotel seperti Nitrit Oksida (NO) (Widjaja, 2010).

Menurut teori response to injury, permukaan sel endotel akan mengalami mikrolesi yang berulang atau dapat juga terjadi makrolesi. Sel endotel akan memberikan respon imunologik untuk mengatasi secara berkesinambungan. Sel endotel normal tidak mengikat leukosit. Adanya rangsangan proinflamasi, termasuk diet tinggi lemak jenuh, hiperkolesterolemia, obesitas, hiperglikemi, diabetes melitus, hipertensi dan merokok, memicu ekspresi molekul adhesi endotel seperti VCAM-1, intercelluler adhesion molecule-1 (ICAM-1). P-selectin akan mengadhesi limfosit dan monosit dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel, yang merupakan kelainan sistemik dan proses awal terjadinya arterosklerosis. Ciri khas disfungsi endotel adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor vasodilatasi dan Menurut teori response to injury, permukaan sel endotel akan mengalami mikrolesi yang berulang atau dapat juga terjadi makrolesi. Sel endotel akan memberikan respon imunologik untuk mengatasi secara berkesinambungan. Sel endotel normal tidak mengikat leukosit. Adanya rangsangan proinflamasi, termasuk diet tinggi lemak jenuh, hiperkolesterolemia, obesitas, hiperglikemi, diabetes melitus, hipertensi dan merokok, memicu ekspresi molekul adhesi endotel seperti VCAM-1, intercelluler adhesion molecule-1 (ICAM-1). P-selectin akan mengadhesi limfosit dan monosit dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel, yang merupakan kelainan sistemik dan proses awal terjadinya arterosklerosis. Ciri khas disfungsi endotel adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor vasodilatasi dan

Pada disfungsi endotel dan arterosklerosis terjadi inflamasi disertai adanya tanda inflamasi antara lain IL- 6, TNF- α, PAI - 1 dan pada orang dengan obesitas dapat terjadi resistensi insulin dan hipertensi. Terjadi kenaikan IL- 6, TNF- α, LDL-C serta penurunan HDL - C dan adiponektin. Inflamasi ini dapat menstimulasi hati untuk mengeluarkan fibrinogen dan CRP, Apo B, trigliserida menimbulkan ateroma yang dengan aktivasi trombosit dapat terjadi keadaan ”prothrombotic state” hingga menimbulkan thrombus (Widjaja, 2010).

2) Hemodinamik Serebral

Autoregulasi di otak menjaga Cerebral Blood Flow (CBF) tetap konstan sekitar 50 - 60 ml/100 gr otak/menit. Dalam kondisi fisiologi normal, otak membutuhkan lebih dari 5 kali kebutuhan glukosa (oksigen 165 mmol/100gr otak/menit, glukosa 30 mmol/100gr otak/menit) menunjukkan bahwa energi yang dibutuhkan otak berasal dari metabolisme oksidatif.

a) Iskemia ringan

Apabila CBF menurun akan terjadi kompensasi dilatasi vaskuler dan CMRO 2 menurun. Ambang metabolik anaerob Apabila CBF menurun akan terjadi kompensasi dilatasi vaskuler dan CMRO 2 menurun. Ambang metabolik anaerob

b) Iskemia sedang

Pada CBF 18 - 25 ml/100 gr otak/menit (40 - 50 % CBR normal) terjadi perlambatan EEG, evoked potential melemah, penurunan pembentukkan potensial sinaps oleh neuron korteks dan timbul defisit neurologik. Pada CBF < 20 ml/100 gr otak/menit terjadi kegagalan elektrik, pelepasan asam amino eksitatorik (glutamat dan aspartat) dan permulaan edema.

c) Iskemia berat

Apabila CBF turun hingga 10 - 12 ml/100 gr otak/menit (20 - 30 % CBR normal) terjadi kegagalan ionik dan overload kalsium. Hipoksik-iskemik yang berlangsung lebih dari 3 - 5 menit akan menimbulkan depolarisasi anoksik karena penurunan ATP intraseluler sehingga terjadi hambatan aktivitas Na + /K + ATPase dan terjadi peningkatan konsentrasi K + ekstraseluler. Pergeseran konsentrasi ion menunjukkan perubahan multifaktorial pada permeabilitas membran dan Apabila CBF turun hingga 10 - 12 ml/100 gr otak/menit (20 - 30 % CBR normal) terjadi kegagalan ionik dan overload kalsium. Hipoksik-iskemik yang berlangsung lebih dari 3 - 5 menit akan menimbulkan depolarisasi anoksik karena penurunan ATP intraseluler sehingga terjadi hambatan aktivitas Na + /K + ATPase dan terjadi peningkatan konsentrasi K + ekstraseluler. Pergeseran konsentrasi ion menunjukkan perubahan multifaktorial pada permeabilitas membran dan

Ca 2+ intraseluler yang menyebabkan kerusakan mitokondria, membran sel, dan sistem enzim (fosfolipase A 2 dan C, endonuklease, calpain, dan protease) yang bersifat ireversibel sehingga terjadi nekrosis sel.

3) Dampak Iskemik Otak Akut

Iskemia memicu reaksi sel jaringan yang menyusun otak dalam bentuk disfungsi neuron, aktifasi astrosit dan mikroglia, endotel, dan makrofag. Dua yang terakhir merupakan sel utama yang membentuk sawar darah otak. Besarnya reaksi dipengaruhi oleh berat dan lamanya iskemia. Bila iskemia ringan dan singkat, maka hanya sel yang rentan saja yang terpengaruh. Namun bila berlangsung lama dan berat semua jenis sel akan terlibat dan menuntun terjadinya infark lewat mekanisme nekrosis atau apoptosis (Yusuf, 2004).

a) Kematian Sel Akibat ion Ca 2+

Hipoksia yang timbul selama iskemia menyebabkan terganggunya molekul berenergi (ATP), meskipun kemudian disusul kenaikan glikolisis. Namun tetap saja jumlah ATP

nitrogen meningkat dan menimbulkan asidosis metabolik. Penurunan ATP menyebabkan lumpuhnya sistem transport ion Na/K - ATPase, dengan akibat keluarnya ion K dan masuknya ion Na secara pasif dari dan ke dalam sel saraf. Di samping itu ion Ca intrasel meningkat akibat gagalnya penimbunan Ca ke dalam mitokondria dan retikulum endoplasmik akibat defisiensi ATP. Kenaikan ion Ca intrasel terjadi pada menit - menit awal iskemia dan erat kaitannya dengan kenaikan NT eksitatorik sehingga prosesnya disebut glutamat - Ca cascade.

Kenaikan kadar ion Ca bebas di sitosol menyebabkan gangguan fungsi mitokondria dan mengaktifasi protein kinase, lipase, dan endonuklease yang menimbulkan degradasi DNA dan kematian sel lewat nekrosis (Yusuf, 2004).

b) Kematian Sel Akibat Eksitotoksis

Iskemia menyebabkan penumpukan NT eksitatorik glutamat dan aspartat akibat kegagalan proses uptake oleh neuron prasinaps dan astrosit, disamping terjadinya peningkatan release NT tersebut oleh neuron prasinaps dan astrosit akibat iskemia. Kenaikan release NT ini terjadi sejak

10 - 30 menit pertama terjadi iskemia fokal akut dan kembali normal ketika BF dipulihkan selama 30 - 40 menit. Pada hari pertama stroke, kadar aspartat naik sampai dengan 65 kali, 10 - 30 menit pertama terjadi iskemia fokal akut dan kembali normal ketika BF dipulihkan selama 30 - 40 menit. Pada hari pertama stroke, kadar aspartat naik sampai dengan 65 kali,

c) Radikal bebas

Kalsium mengaktifasi macam-macam proses yang menyebabkan pembentukan berbagai macam oksigen reaktif (ROS = Reactive Oxygen Spesies), termasuk asam arakhidonat, pembentukan nitrik oksida (NO), degradasi, degradasi dari adenosin, dan kebocoran rantai transpor elektron (ETC = Electron Transport Chain).

Kalsium mengaktivasi fosfolipase, termasuk fosfolipase A2 (PLA2) yang mendegradasi fosfolipid, melepaskan asam arakhidonik. Asam ini selanjutnya dimetabolisme oleh lipoksigenase menjadi prostaglandin dan leukotrin. Pada reaksi terakhir terbentuklah anion superoksida, semacam ROS (Alam, 2005).

Saat terjadinya iskemia, sintesis ATP di mitokondria sangat berkurang dan ATP dipecah menjadi ADP, AMP, dan

dan santin. Reaksi terakhir ini dikatalisasi oleh santin oksidase (XO = xanthine oxidase), yang dirubah dari santin dehidrogenase oleh proses yang dipengaruhi oleh kalsium. Pembentukan santin dari hiposantin memberi anion superoksida, suatu ROS. Mitokondria merupakan sumber utama ROS pada waktu dan setelah stroke. Pada keadaan kalsium berlebihan atau bila aktivitas ETC berkurang, elektron cenderung keluar dari ETC membentuk ROS, anion

superoksida (H 2 O 2 ) yang primer diubah menjadi air oleh proses katalase. Tetapi dengan adanya ion besi, seperti pada perdarahan otak, H 2 O 2 diubah menjadi hidroksil (OH), suatu

ROS (Alam, 2005).

Nitrik oksida sintase (NOS) diaktivasi oleh mekanisme calcium dependent membentuk nitrik oksida dari arginin, suatu asam amino. NO bereaksi dengan superoksida untuk membentuk ROS yang relatif stabil, akan tetapi sangat reaktif dan sangat berbahaya, yaitu peroksinitrat yang dapat menyebabkan radikal bebas hidroksil (Alam, 2005).

d) Peranan mitokondria

Mitokondria selain memberi ATP dan pengaturan homeostatis ion kalsium, juga mengatur dua bentuk fisiologik dari kematian otak yaitu apoptosis dan nekrosis. Setelah Mitokondria selain memberi ATP dan pengaturan homeostatis ion kalsium, juga mengatur dua bentuk fisiologik dari kematian otak yaitu apoptosis dan nekrosis. Setelah

c. Diagnosis Untuk mendiagnosis kasus stroke, idealnya ditentukan dengan 2 alur yang sejalan yaitu berdasarkan observasi klinis dari karakteristik sindroma/kumpulan gejala dan perjalanan penyakit; serta karakteristik patofisiologi dan mekanisme penyakit yang dikonfirmasi dengan data- data patologis, laboratoris, elektrofisiologi, genetik, atau radiologis (Widjaja, 2010).

1) Pemeriksaan radiologis

CT-Scan merupakan alat pencitraan yang dipakai pada kasus- kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-Scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-Scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaja, 2010)

2) Pemeriksaan Laboratorium 2) Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi lengkap memberikan data tentang kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vera dan trombositemia esensial merupakan kelainan darah yang dapat menyebabkan stroke. Polisitemia, nilai hematokrit yang tinggi sebabkan hiperviskositas dan mempengaruhi darah otak. Trombositemia meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

agregasi dan terbentuknya trombus. Kadar glukosa darah untuk mendeteksi adanya hipoglikemia dan hiperglikemia di mana dapat dijumpai gejala neurologis.

Pemeriksaan elektrolit bertujuan mendeteksi gangguan natrium, kalium, kalsium, fosfat dan magnesium yang semuanya dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Analisis gas darah perlu dilakukan untuk mendeteksi penyebab metabolik, hipoksia dan hiperkapnia. Profil lipid dan enzim jantung untuk menilai faktor risiko stroke. PT dan aPTT untuk menilai aktivitas koagulasi serta monitoring terapi. Sedangkan D-dimer diperiksa untuk mengetahui aktivitas fibrinolisis (Widjaja, 2010).

2. Leukosit

Sel pluripotensial setelah mengalami pembelahan sel dan diferensiasi, menjadi urutan sel progenitor untuk tiga jalur sel sumsum tulang utama. a. Eritroid; b. Granulosit dan Monositik; dan c. Megakariosit, sebagaimana sel asal limfoid. Walaupun penampilan sel asal pluripotensial mungkin serupa dengan limfosit kecil atau sedang, keberadaannya dapat ditunjukkan dengan teknik kultur. Keberadaan sel progenitor terpisah untuk tiga garis sel tersebut juga telah diperlihatkan oleh teknik In vitro. Prekursor mieloid yang paling dini dideteksi membentuk granulosit, eritroblas, monosit, dan megakariosit. Sel asal (stem sel) juga memiliki kemampuan untuk memperbaharui diri kembali, sehingga walaupun sumsum tulang adalah tempat utama produksi sel baru, jumlah sel keseluruhan tetap konstan pada keadaan seimbang dan normal. Akan tetapi, sel prekursor sanggup memberi respon terhadap berbagai rangsang dan pesan hormonal dengan meningkatkan satu atau sel lain bila kebutuhan meningkat (Hoffbrand, 2000).

Tiga perempat dari sel-sel yang berinti di sumsum tulang memproduksi leukosit. Stem sel ini berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi granulosit (neutrofil, eusinofil, dan basofil), monosit, dan limfosit, yang bersama termasuk ke dalam hitung leukosit (Hoffbrand, 2000).

Hitung jumlah leukosit normalnya berkisar antara 5000 - 10.000/µL (Gandasoebrata, 2004). Jumlah absolut berbagai jenis sel darah putih juga dapat memberi petunjuk apakah terdapat penyakit sumsum tulang primer Hitung jumlah leukosit normalnya berkisar antara 5000 - 10.000/µL (Gandasoebrata, 2004). Jumlah absolut berbagai jenis sel darah putih juga dapat memberi petunjuk apakah terdapat penyakit sumsum tulang primer

Pematangan sel leukosit di sumsum tulang dan pelepasannya ke sirkulasi darah dipengaruhi oleh berbagai faktor interleukin, Faktor Nekrosis Tumor (TNF) dan beberapa komponen complement. Kira-kira 90 % dari leukosit berada di sumsum tulang, 2 - 3 % di sirkulasi, dan 7 - 8 % berlokasi di jaringan (Hoffbrand, 2000; Abrason & Melton, 2002).

Di dalam sumsum tulang sel-sel digolongkan menjadi dua kelompok. Satu kelompok adalah proses sintesa dan pematangan DNA, sedangkan kelompok yang lain pada fase penyimpanan yang menunggu pelepasan ke dalam sirkulasi. Sel-sel yang dalam penyimpanan ini secara cepat dapat merespon berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan leukosit sampai 2 -

3 kali lipat leukosit di sirkulasi dalam 4 - 5 jam (Hoffbrand, 2000). Dalam sirkulasi, neutrofil digolongkan ke dalam dua pool. Satu pool di dalam sirkulasi bebas dan yang kedua adalah pool di tepi dinding pembuluh darah. Ketika ada stimulasi oleh infeksi, inflamasi, obat, atau toksin metabolik pool sel yang di tepi akan melepaskan diri ke dalam sirkulasi (Hoffbrand, 2000; Abrason & Melton, 2002).

jaringan yang memerlukan waktu hanya beberapa jam (3 - 6 jam). Jenis leukosit yang dikerahkan pada peradangan akut ini adalah PMN (neutrofil). Migrasi leukosit paling banyak terjadi pada 24 - 72 jam setelah onset iskemik, kemudian menurun sampai hari ke 7 (Clark, 2002). Perkiraan lama hidup leukosit adalah 11 - 16 hari, termasuk pematangan di sumsum tulang dan penyimpanannya yang merupakan sebagian besar masa kehidupannya (Abrason & Melton, 2002).

Penyebab peningkatan jumlah leukosit pada dasarnya disebabkan oleh dua penyebab dasar, yaitu:

a. Reaksi dari sumsum tulang normal terhadap stimulasi eksternal [infeksi, inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar, artritis), stres (over exercise, kejang, kecemasan, anestesi), obat (kortikosteroid, lithium, β antagonis), trauma (splenektomi), anemia hemolitik, leukosit maligna]

b. Efek dari kelainan sumsum tulang primer (leukemia akut, leukemia kronis, kelainan mieloproliferatif).

1) Patogenesis leukositosis pada stroke iskemik

a) Reperfusion Injury

Kembalinya perfusi darah ke jaringan otak yang iskemik penting untuk kembalinya fungsi otak normal. namun, kembalinya aliran darah juga dapat menimbulkan kerusakan otak yang lebih progresif, sehingga menimbulkan disfungsi jaringan dan infark Kembalinya perfusi darah ke jaringan otak yang iskemik penting untuk kembalinya fungsi otak normal. namun, kembalinya aliran darah juga dapat menimbulkan kerusakan otak yang lebih progresif, sehingga menimbulkan disfungsi jaringan dan infark

b) Peranan sitokin pada Reperfusion Injury

Sitokin adalah protein dengan berat molekul kecil (8 - 30.000) yang mempunyai berbagai aktifitas biologis, aktif pada konsentrasi yang kecil. Sitokin timbul sebagai reaksi primer terhadap stimulasi dari luar dan tidak ada pada homeostasis normal (Clark, 2002 ; Gusev & Skvortsova, 2003).

Konsekuensi langsung dari ketidakseimbangan ion dan akumulasi kalsium bebas yang timbul akibat lesi iskemik otak, maka dilepaskan asam amino bebas dan pro inflammatory lain hasil metabolisme otak. Hal ini dipercaya meningkatkan, menimbulkan, dan melepaskan kaskade sitokin pro inflammatory (Feierstein et al., 2002). Pada kaskade pro inflammatory yang pertama dikeluarkan adalah IL- 1 dan TNF- α. Sitokin ini yang kemudian merangsang dikeluarkannya sitokin pro inflammatory yang lain seperti IL- 6 dan IL- 8, aktivasi dan infiltrasi dari leukosit dan memproduksi anti inflamasi sitokin, termasuk IL- 4 dan IL- 10 yang mungkin merupakan negatif feedback kaskade tersebut (Feierstein et al.,2002; Clark, 2002; Gusev & Skvortsova, 2003).

macam sel seperti sel neuron, mikroglia, atrosit, dan leukosit), sitokin ini menyebabkan apoptosis sel SSP, diferensiasi, dan proliferasi seperti pengaruh akibat infiltrasi oleh leukosit. Peningkatan kadar IL- 1, TNF- α, IL- 6, dan IL- 8 telah diamati pada iskemia SSP (Clark, 2002; Suroto, 2001; Gusev & Skvortsova, 2003). Konsentrasi IL- 1β mulai muncul setelah 1 - 3 jam, maksimal pada 12 jam, dan tetap ada sampai 5 hari. sedangkan konsentrasi TNF- α mulai muncul setelah 3 - 6 jam, maksimal pada 12 jam, tetap ada sampai 5 hari.

Beberapa bukti tidak langsung tentang keterlibatan interleukin pada iskemia SSP didapat dari sejumlah penelitian klinis yakni dengan dijumpainya kadar IL- 6 di cairan serebrospinal dan plasma sebagai faktor prediksi kembalinya fungsi pada pasien dan berkorelasi dengan ukuran infark (Clark, 2002).

Bukti lain menunjukkan bahwa sitokin merupakan komponen kunci pada aktivasi dan pengerahan leukosit di SSP. IL- 1, TNF- α, IL- 6, dan IL- 8 telah diketahui mengaktifasi leukosit dan meningkatkan adhesi pada leukosit (CD - 18), endotel, dan sel astrosit (ICAM-1) (Clark, 2002; Gusev & Skvortsova, 2003).

c) Peranan leukosit pada Reperfusion Injury c) Peranan leukosit pada Reperfusion Injury

leukosit-endotel melalui rolling yang diperantarai P-selektin dan B-selektin pada permukaan endotel, dan L-selektin pada leukosit. Sejak aktivasi ini leukosit melekat pada tepi endotel melalui reseptor glikoprotein dinding leukosit (disebut sebagai CD - 18 atau B-2 integrin) dan ligand dari endotel [disebut intracelluler adhesion molecule (ICAM-1)] (Feierstein et al., 2002; Clark, 2002; Gusev & Skvortsova, 2003).

(2) Membran leukosit yang terdiri dari glikoprotein komplek yang bertanggung jawab terhadap perlekatan ini disebut CD - 18 (B-2 integrin). Kompleks ini terdiri dari heterodimers, ketiganya mempu nyai tiga unit β yang sama (seringkali disebut sebagai CD - 18) dan yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah sub unit α. Tiga sub unit α ini dinamakan leucocyte function agent (LFA-1 atau CD - 11a, ada pada semua leukosit), MAC-1 (CD - 11b, ada pada kebanyakan PMN dan monosit), dan P 150 (CD - 11c, ada pada neutrofil dan monosit) (Feierstein et al.,2002; Clark, 2002; Gusev & Skvortsova, 2003).

complex adalah golongan molekul adesi seperti intracelluler adhesion molecule (ICAM). ICAM-1 secara luas terdapat pada banyak sel dan berikatan dengan LFA-1 dan MAC-1, ICAM-2 hanya terdapat pada sel endotel maupun leukosit dan hanya berikatan dengan LFA-1 saja. Tidak seperti ICAM-2 yang ada pada keadaan normal, ICAM-1 muncul dengan adanya induksi oleh sitokin peradangan seperti IL- 1 dan TNF- α. Seperti yang telah disampaikan di depan bahwa CD - 18/ICAM-1 merangsang peningkatan adesi neutrofil setelah stroke (Feierstein et al., 2002; Clark, 2002; Gusev & Skvortsova, 2003).

(4) Leukosit tampak pada jaringan SSP yang mengalami iskemik telah dipahami sebagai respon patofisiologi terhadap adanya lesi. Bukti yang baru menyatakan bahwa leukosit bisa juga secara langsung terlibat dalam patogenesis dan perluasan dari lesi SSP setelah perfusi ulang. Dua mekanisme keterlibatan leukosit dalam reperfusion injury adalah pada tingkat sirkulasi menyumbat mikrosirkulasi dan mediator vasokonstriktor serta pada jaringan otak melepaskan enzim hidrolitik, lipid peroksidase, dan pelepasan radikal bebas (Suroto, 2002).

Dengan menggunakan antibodi spesifik monoklonal yang secara langsung menghalangi menempelnya leukosit ke

diturunkan. Pada penelitian hewan percobaan yang mengalami stroke, diberikan antibodi yang mengikat molekul CD - 18 leukosit atau ligand sel endotel yaitu ICAM-1. Hasilnya didapatkan adanya penurunan kerusakan akibat stroke (Clark, 2002). Akan tetapi pada penelitian yang lain pemberian enlimomab (anti ICAM-1) didapatkan hasil yang buruk yang mungkin karena timbulnya antibodi terhadap enlimomab tersebut (Furuya et al., 2001).

Pengarahan leukosit ke jaringan otak pada pasien stroke iskemik akut merupakan salah satu hasil dari reaksi iskemik SSP, leukosit muncul setelah terjadi pelepasan sitokin pada daerah iskemik yang merangsang leukosit di marginal pool dan leukosit matur di sumsum tulang memasuki sirkulasi. Jenis leukosit yang dikerahkan pada peradangan akut ini adalah neutrofil. Leukosit itu sendiri dapat menimbulkan lesi yang lebih luas pada daerah iskemik dengan cara menyumbat mikrosirkulasi dan vasokonstriksi serta infiltrasi ke neuron kemudian melepaskan enzim hidrolitik, pelepasan radikal bebas dan lipid peroksidase (Muhibbi, 2004).

3. CT-Scan

a. Definisi a. Definisi

CT-Scan bukan merupakan foto langsung dari jaringan otak, melainkan merupakan rekonstruksi matematis dari jaringan otak (Risono, 2004). Gambaran CT-Scan dapat menunjukkan jaringan lunak, tulang, otak, dan pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak abnormal dan dapat menunjukkan penyebab stroke. CT-Scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah, pembekuan darah, dan masalah lainnya (Risono, 2004).

b. Gambaran CT-Scan Stroke Iskemik Kelainan berupa perdarahan serebral/intrakranial dapat ditemukan pada stroke hemoragik, sedangkan pada stroke non hemoragik dapat ditemukan kelainan berupa gambaran infark serebri.

Pada perdarahan memperlihatkan kepadatan yang tinggi, sedangkan infark tampak dengan kepadatan yang rendah. Infark segar yang baru terjadi biasanya tidak dapat dikenal pada CT-Scan. Setelah infark itu berusia 3 - 4 hari, lesi dapat dijumpai sebagai bercak yang hipodens, biasanya ditemukan di daerah perdarahan arteri serebri Pada perdarahan memperlihatkan kepadatan yang tinggi, sedangkan infark tampak dengan kepadatan yang rendah. Infark segar yang baru terjadi biasanya tidak dapat dikenal pada CT-Scan. Setelah infark itu berusia 3 - 4 hari, lesi dapat dijumpai sebagai bercak yang hipodens, biasanya ditemukan di daerah perdarahan arteri serebri

Secara histopatologis terdapat 3 fase infark serebri, yaitu :

1) Pada awalnya terjadi perlunakan disertai edema intraseluler dan ekstraseluler.

2) Perlunakan lebih lanjut mulai tampak pada hari kedua, disertai disintegrasi selubung medula dan kariolisis sel-sel makroglia serta terjadi fagositosis selubung medula secara progresif oleh sel-sel limfosit granuler (mikrogliosit dan histiosit).

3) Terbentuk kista ensefalomalasia dengan jeratan-jeratan dendrit dan sisa-sisa pembuluh darah yang berisi cairan seperti likuor. Fokus-fokus perlunakan yang lebih kecil, sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut glia.

Pada CT-Scan, fase awal infark serebri tampak sebagian daerah dengan densitas sedikit menurun dan batas yang tidak jelas, mungkin ada proses desak ruang sehingga likuor yang berdekatan mengalami penekanan. Lebih lanjut densitas daerah infark akan semakin menurun, gambaran akan semakin jelas, terjadi gambaran bentuk baji yang khas sesuai dengan daerah perdarahan arteri serebral. pada fase akhir (sesudah kista ensefalomalasia), khas tampak adanya daerah berbatas tegas dengan densitas seperti likuor, yang mungkin disertai Pada CT-Scan, fase awal infark serebri tampak sebagian daerah dengan densitas sedikit menurun dan batas yang tidak jelas, mungkin ada proses desak ruang sehingga likuor yang berdekatan mengalami penekanan. Lebih lanjut densitas daerah infark akan semakin menurun, gambaran akan semakin jelas, terjadi gambaran bentuk baji yang khas sesuai dengan daerah perdarahan arteri serebral. pada fase akhir (sesudah kista ensefalomalasia), khas tampak adanya daerah berbatas tegas dengan densitas seperti likuor, yang mungkin disertai

c. Hubungan Lamanya Waktu Pengambilan CT-Scan dan Terjadinya Gambaran Infark pada Stroke Iskemik

Diagnosis stroke iskemik dapat ditegakkan bila terdapat gambaran infark pada pemeriksaan CT-Scan. Namun, pada beberapa kasus bisa saja area otak tidak menunjukkan abnormalitas pada beberapa jam awal stroke. Kemungkinan dikarenakan region yang terlau kecil untuk dapat dilihat dengan CT-Scan atau karena adanya bagian dari otak (brainstem atau cerebellum) yang tidak menunjukkan bayangan yang jelas pada pemeriksaan CT-Scan (Risono, 2004).

CT-Scan menunjukkan nilai positif pada stroke iskemik pada beberapa pasien dengan serangan stroke sedang sampai dengan berat setelah 2 - 7 hari serangan akan tetapi tanda-tanda iskemik sulit didapatkan pada 3 - 6 jam kejadian (Kalafut et al., 2000). Kummer et al. (1996) juga menyebutkan bahwa pada 6 jam pertama setelah onset iskemik, 31 % CT-Scan dapat menunjukkan kesalahan diagnosis. Walaupun pada CT-Scan mungkin menunjukkan adanya infark pada 3 - 6 jam awal setelah onset, lebih dari 60 % CT-Scan menunjukkan gambaran normal pada beberapa jam pertama setelah onset stroke iskemik. Oleh karena itu, diagnosis klinis stroke akan sulit pada beberapa jam pertama setelah onset, maka perlu dilakukan CT-Scan menunjukkan nilai positif pada stroke iskemik pada beberapa pasien dengan serangan stroke sedang sampai dengan berat setelah 2 - 7 hari serangan akan tetapi tanda-tanda iskemik sulit didapatkan pada 3 - 6 jam kejadian (Kalafut et al., 2000). Kummer et al. (1996) juga menyebutkan bahwa pada 6 jam pertama setelah onset iskemik, 31 % CT-Scan dapat menunjukkan kesalahan diagnosis. Walaupun pada CT-Scan mungkin menunjukkan adanya infark pada 3 - 6 jam awal setelah onset, lebih dari 60 % CT-Scan menunjukkan gambaran normal pada beberapa jam pertama setelah onset stroke iskemik. Oleh karena itu, diagnosis klinis stroke akan sulit pada beberapa jam pertama setelah onset, maka perlu dilakukan

Berdasarkan waktunya dapat dilihat perjalanan infark otak sebagai berikut (Djoenaidi, 1994) :

1) 0 - 6 jam : stadium inaktivasi fungsional dengan kemungkinan sembuh total.

2) 6 - 12 jam : stadium inaktivitas fungsional, dengan kemungkinan sembuh parsial. Pada penutupan akibat emboli kerusakan sel mulai setelah 4 - 6 jam (eosinofili dari sitoplasma, piknosis). Pada penutupan akibat trombosis yang timbul secara pelan-pelan, kerusakan mulai setelah 8 - 12 jam.

3) 12 - 24 jam : stadium inaktivasi fungsional. Kesembuhan total mungkin bila iskemi hanya parsial.

4) 24 - 36 jam (hari 1 - 2) : stadium permulaan infark.

5) 48 - 72 jam (hari 2 - 3) : tanda-tanda pasti dari infark otak. Terdapat edema substansi putih, CT-Scan positif, tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial, herniasi transtentorial dan penekanan batang otak.

6) Hari 4 : terdapat makrofag yang mengandung lemak (fat granule cells) dalam infark, proliferasi dan hipertrofi astroglia pada tepi infark.

mulai berkurang, proliverasi vaskular pada tepi infark.

8) Setelah beberapa bulan : Infark berubah menjadi kista; dinding glia pada tepi kista, penimbunan makrofag.

Sedangkan menurut Crisi et al. (1984), pembagian stadium infark serebri berdasarkan gambaran CT-Scan adalah sebagai berikut :

1) Fase akut Fase akut dinilai setelah onset sampai dengan 7 hari. Dibagi menjadi beberapa sub stage, yaitu :

a) Sub stage I : onset sampai dengan 24 jam

b) Sub stage II : 24 jam sampai dengan 7 hari

2) Fase sub akut Fase sub akut dinilai sejak 8 hari sampai dengan 21 hari. Dibagi menjadi beberapa sub stage, yaitu :

a) Sub stage I : 8 sampai 14 hari

b) Sub stage II : 15 sampai 21 hari

3) Fase kronik Fase kronik dinilai lebih dari 3 minggu. Dibagi menjadi beberapa sub stage, yaitu :

a) Sub stage I : 3 minggu sampai 2 bulan

b) Sub stage II : lebih dari 2 bulan Gambaran CT-Scan pada 24 jam post stroke (akhir sub stage I fase akut) akan nampak area hipodens dengan batas tidak tegas dan b) Sub stage II : lebih dari 2 bulan Gambaran CT-Scan pada 24 jam post stroke (akhir sub stage I fase akut) akan nampak area hipodens dengan batas tidak tegas dan

Pada sub stage II fase akut area infark akan lebih jelas terlihat sebagai area hipodens yang lebih homogen dengan atenuasi berkurang lebih dari 50 %, kadang-kadang sampai 75 % dari parenkim otak normal. Gambaran hipodens ini akibat dari perkembangan edema di mana intra dan ekstra sel banyak mengandung air, juga dijumpai adanya efek masa yang ditandai dengan kompresi ventrikel dan sub arachnoid space yang menggeser struktur mediana. Bentuk area hipodens ini menggambarkan mangenai sebagian atau seluruh daerah yang memperdarahi. Infark superfisial pada umumnya berbentuk linier atau rectangular. Sementara infark total, sebagai contoh akibat sekunder dari oklusi kompleta arteri serebri media, biasanya berbentuk trapezoid. Infark sentral pada umumnya berukuran kecil agak bundar, oval atau seperti nukleus lentikuler atau berbentuk koma (Kalafut et al., 2000).

Pada fase sub akut, area hipodens lebih homogen dengan batas yang lebih jelas dan efek masa yang berkurang. Berkurangnya efek masa secara langsung menunjukkan berkurang atau menghilangnya edema, dan lengkap pada hari ke 21 pada onset stroke. Pada efek pengabutan karakteristik ditandai dengan bertambahnya densitas infark mendekati parenkim otak normal (Kalafut et al., 2000).

encephalomalasia, akan terlihat sebagai area hipodens dengan densitas sesuai dengan densitas likuor dan berbatas jelas berbentuk cavitas cystic . Perjalanan kronik lesi ini biasanya disertai dengan berkurangnya volume lesi pada fase akut atau sub akut. Pada fase ini akan tampak adanya efek masa akibat dari berkurangnya volume parenkim pada nekrosis, biasanya dijumpai setelah 2 bulan.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Iskemik SSP & kegagalan

metabolik aerob

Gangguan

pompa ion

Ca ++ influks

Pelepasan radikal bebas

Kerusakan membran

Aktivasi enzim : Protease, Lipase

kinase, calmodulin,

nNOS

Kematian sel

Ukuran lesi

Neurotransmiter eksitatorik

Respon inflamasi :

pelepasan sitokin

Apoptosis

Molekul adesi sel

Infiltrasi ke

sel neuron

Obstruksi mikrovaskuler & vasokontriksi

PD

Obat : kortikosteroi d, lithium, β

Kelainan primer sumsum tulang

Infeksi

Stress fisik : kerja berlebihan, anestesi, kejang

1. Waktu pengambilan gambaran lesi

2. Mekanisme stroke ·

Arterosklerosis

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Terjadi reaksi inflamasi pada stroke iskemik akut yang ditandai dengan peningkatan jumlah leukosit.

2. Ada hubungan antara hitung jumlah leukosit darah tepi dan volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik akut di RSUD Dr. Moewardi.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Rawat Inap Unit Penyakit Saraf RSUD Dr. Moewardi.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien Bagian Rawat Inap Unit Penyakit Saraf RSUD Dr. Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi.

1. Kriteria inklusi

a. Pasien stroke iskemik laki-laki dan perempuan usia 40 - 80 tahun.

b. Pasien stroke iskemik yang melakukan pemeriksaan CT-Scan kepala.

c. Pasien stroke iskemik yang melakukan pemeriksaan hitung leukosit pada 24 - 72 jam pertama setelah onset stroke.

d. Pasien/keluarga bersedia menjadi subyek penelitian.

2. Kriteria ekslusi

a. Pasien stroke iskemik yang tidak dilakukan pemeriksaan CT-Scan.

b. Pasien stroke iskemik yang melakukan CT-Scan kepala < 24 jam post onset stroke.

pada hitung leukosit : ditemukan adanya riwayat demam sebelum onset, riwayat kelainan darah, riwayat adanya keganasan.

d. Pasien stroke campuran : infark dan hemoragik.

D. Teknik sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara sistematic random sampling di mana yang di random adalah kamar pasien bernomor ganjil. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi.

Jumlah sampel berdasarkan patokan umum sampel minimal untuk analisis bivariate yakni rule of thumb sebanyak 30 sampel. Ukuran sampel tersebut merupakan ukuran minimal setelah peneliti melakukan restriksi terhadap populasi sumber sampel. Jumlah sampel tersebut secara statistik mampu memberikan hasil yang konsisten dan valid (Murti, 2010).

E. Rancangan Penelitian

Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian

Pasien Stroke Iskemik Instalasi Rawat Inap Unit Penyakit Saraf

RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Systematic random sampling

Sampel

Hitung jumlah leukosit

Ukuran volume infark pada gambaran CT-Scan kepala

Regresi Linier

Sederhana

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Volume infark pada stroke iskemik akut

2. Variabel terikat : Hitung leukosit darah tepi

3. Variabel luar

a. Variabel luar terkendali :

1) Gangguan imunitas

2) Penyakit yang berkaitan dengan sel darah

3) Riwayat alergi

4) Luka bakar

5) Arthritis

6) Waktu pengambilan CT-Scan

7) Waktu pemeriksaan hitung leukosit.

8) Penggunaan obat kortikosteroid

9) Temperatur

b. Variabel luar tidak terkendali :

1) Infeksi tanpa demam

2) Stres (over exercise, cemas)

3) Mekanisme stroke (letak pembuluh darah yang terkena stroke)

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Hitung jumlah leukosit

Leukosit yang diukur berasal dari darah tepi, 24 - 72 jam post onset stroke karena migrasi leukosit paling banyak terjadi pada 24 - 72 jam setelah onset iskemik, kemudian menurun sampai hari ke 7 (Clark, 2002).

membuat pengenceran dari darah yang diperiksa. Konsentrasi leukosit dalam darah adalah :

a. Neutrofil 62 %

b. Eosinofil 2,3 %

c. Basofil 0,4 %

d. Monosit 5,3 %

e. Limfosit 30 %

(Guyton & Hall, 1997)

Harga rujukan leukosit berkisar antara 5000 - 10.000/µl (Gandasoebrata, 2004). Skala variabel adalah skala rasio.

2. Volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pada stroke iskemik akut

Volume infark adalah banyaknya jaringan otak yang mengalami kematian sel dapat diukur dengan CT-Scan tanpa kontras, tampak dengan daerah dengan kepadatan rendah (hipodens). Gambaran CT- Scan yang digunakan sebagai sampel adalah ≥ 24 jam - 72 jam post onset stroke. Gambaran CT-Scan pada 24 jam post stroke (akhir sub stage I fase akut) akan nampak area hipodens dengan batas tidak tegas dan pada umumnya tampak efek masa yang nyata. (Kalafut et al., 2000). Pada 48 - 72 jam post onset, tanda-tanda pasti infark otak akan jelas lebih terlihat sebagai area hipodens yang lebih homogeny (Djoenaidi, 1994).

Volume infark = 0,5 x A x B x C

A = Diameter horizontal dari infark, diukur menggunakan kaliper

B = Diameter vertikal terbesar dari infark, diukur menggunakan kaliper

C = Jumlah slice infark yang tampak

(Worp et al., 2001) Skala variabel adalah skala rasio.

G. Alat dan Bahan Penelitian

Pada penelitian kali ini digunakan data klinis pasien stroke iskemik RSUD Dr. Moewardi, pengukuran hitung leukosit darah tepi, dan hitung volume infark pada gambaran CT-Scan kepala pasien stroke iskemik.

Alat pengukur leukosit yang digunakan di Rumah Sakit Dr. Moewardi adalah Fotometer Hitachi dengan harga rujukan 4,5 - 11.10 3 /µl. Alat pengukur jenis leukosit yang digunakan di Rumah Sakit Dr. Moewardi adalah Fotometer Hitachi dengan harga rujukan Neutrofil 38 - 71 %, Limfosit 22 - 40 %, Monosit 4 - 8 %, Basofil 0 - 1 %, Eosinofil 1 - 4 %. Sedangkan sampel yang diukur adalah sampel darah tepi pasien stroke iskemik 24 - 72 jam post stroke.

Pengukuran volume infark berdasarkan hasil pemeriksaan CT-Scan kepala penderita stroke iskemik ≥ 24 - 72 jam post stroke di Bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

H. Teknik Analisis Data Statistik

Untuk mengetahui bentuk dua hubungan variabel digunakan analisis

(variabel independen) (Sabri & Hastono, 2006). Secara matematis persamaan garis adalah sebagai berikut :

Y = Jumlah leukosit (mm 3 )

X = Volume infark otak (ml)

b = Koefisien regresi merupakan arah garis regresi dan menunjukkan besarnya perubahan X yang mengakibatkan perubahan pada Y

a = Y intercept, yaitu perpotongan antara garis regresi dengan sumbu Y H0 : b = 0; HA : b ≠0 Data yang diperoleh akan dianalisis dengan SPSS for Windows 19.

Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 5% (p < 0,005).

Y = a + b.x

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian