Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis Terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi

DERAJAT INFLAMASI BRONKUS TIKUS PUTIH MODEL ASMA ALERGI

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran DESSY SUCI RACHMAWATI G.0008009

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

2012

commit to user

ii

commit to user

iii

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 9 Januari 2012

Dessy Suci Rachmawati NIM. G0008009

commit to user

iv

Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi.

Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan post test only control group design menggunakan 35 ekor tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan, dibagi dalam 5 kelompok (kelompok kontrol, asma alergi, antihistamin 2 mg/tikus, ekstrak propolis 100 mg/kg BB, ekstrak propolis 200 mg/kg BB) masing-masing kelompok 7 ekor tikus. Sensitisasi hewan coba hari ke-1 dan 14 secara intraperitonial, dilanjutkan hari ke-21, 23, 25, dan 27 secara aerosol selama 20 menit. Hari ke-28 mencit dikorbankan dan diambil bronkusnya, dibuat preparat dengan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Kruskall-Wallis dilanjutkan Mann-Whitney menggunakan program SPSS for Windows Release 16.0. Pada analisis data digunakan batas kemaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian : Derajat inflamasi kelompok kontrol adalah grade 0 (40%) dan grade 1 (60%). Kelompok asma alergi adalah grade 3 (80%) dan grade 4 (20%). Kelompok antihistamin 2 mg/tikus adalah grade 1 (80%) dan grade 2 (20%). Kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB adalah grade 2 (60%), grade 3 (20%), dan grade 4 (20%). Kelompok ekstrak propolis 200 mg/kg BB adalah grade 1 (40%) dan grade 2 (60%). Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 100 mg/kg BB (p = 0,174). Terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB (p = 0,006). Derajat inflamasi kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p = 0,059).

Simpulan Penelitian : Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi.

Kata kunci : propolis, derajat inflamasi, bronkus, asma alergi

commit to user

Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. The Effect of Ethanol Extract of Propolis with Bronchial Inflammation Grade in White Mouse Asthma Allergic Model, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

Objective : To understand the effect of ethanol extract of propolis with bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model.

Methods : Experimental laboratory with post test only control group design use

35 male white mouse, divided into five groups (control group, asthma allergic, anti-histamine 2 mg/mouse, propolis extract 100 mg/kg BW, propolis extract 200 mg/kg BW) each group consist of seven mouse. Sample was sensitized on day-1 and day-14 intraperitoneally, continued in day-21, 23, 25, and 27 aerosolly in 20 minutes. In day-28, sample was sacrificed and the bronchus was collected. The bronchial inflammation grade was observed with Haematoxylin-Eosin staining. The obtain data was analyzed statistically with Kruskall-Wallis continued with Mann-Whitney using program SPSS for Windows Release 16.0. The data was analyzed with margin of significance p < 0.05.

Result : The inflammation grade of control group was grade 0 (40%) and grade 1 (60%). Asthma allergic group was grade 3 (80%) and grade 4 (20%). Anti- histamine 2 mg/mouse was grade 1 (80%) and grade 2 (20%). Propolis extract 100 mg/kg BW was grade 2 (60%), grade 3 (20%), and grade 4 (20%). Propolis extract 200 mg/kg BW was grade 1 (40%) and grade 2 (60%). There is no significant difference between asthma allergic group and propolis extract 100 mg/kg BW in bronchial inflammation grade (p = 0,174). There is significant difference between asthma allergic model and propolis extract 200 mg/kg BW (p = 0,006). There is no significant difference between propolis extract 100 mg/kg BW and propolis extract 100 mg/kg BW (p = 0,059).

Conclusion: Ethanol extract of propolis decrease bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model.

Keyword : propolis, inflammation grade, bronchus, asthma allergic

commit to user

vi

Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi ”

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat berbagai bimbingan dan bantuan, penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

3. Diding Heri Prasetyo, dr., M. Si. selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan nasihat kepada penulis.

4. Sarsono, Drs., M. Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak bimbingan, pengarahan, dan masukan kepada penulis.

5. R. Prihandjojo Andri P., dr., M.Si selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji sekaligus memberikan banyak saran dan koreksi bagi penulisan skripsi ini.

6. Sri Hartati H., Dra., Apt., S.U. selaku Penguji Pendamping yang telah berkenan menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulisan skripsi ini.

7. Segenap Staf Laboratorium Biokimia FK UNS, Laboratorium Histologi FK UNS atas bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi.

8. Ayah, Ibu, Kakak, serta keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi.

9. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu proses penelitian dan pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 9 Januari 2012

Penulis

commit to user

Halaman

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis......................................................... 7 Tabel 2.2. Jenis Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya............................... 9 Tabel 4.1. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok.................

53

commit to user

xi

Halaman

Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1)... 50 Grafik 4.2. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi

(K2) ………………………………………………………….. 51

Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

Antihistamin (K3) ……………..………………...................... 51

Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

Propolis Dosis 100 mg/kg BB (K4) …..……..…..................... 51

Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

Propolis Dosis 200 mg/kg BB (K5) ……………..................... 52

commit to user

xii

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Lampiran 2. Jadwal Penelitian

Lampiran 3. Tabel Jumlah dan Prosentase Derajat Inflamasi Bronkus

pada Masing- Masing Kelompok Perlakuan

Lampiran 4. Tabel Hasil Uji Kruskall-Wallis Lampiran 5. Tabel Hasil Uji Mann-Whitney Lampiran 6. Tabel Konversi Dosis Manusia dan Hewan Lampiran 7. Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang

Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan

Lampiran 8. Foto Alat dan Bahan Lampiran 9. Foto Kegiatan Penelitian

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat, yang bisa menimbulkan kerusakan jaringan pada hampir semua organ tubuh, termasuk kulit, saluran napas dan saluran pencernaan (Tanjung & Yunihastuti, 2006). Alergi terjadi akibat respon imun berlebihan bila ada kontak terhadap alergen (Baratawidjaja, 2006). Apabila reaksi alergen terjadi di dalam bronkiolus paru maka akan menyebabkan asma (Guyton & Hall, 2007).

Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), penyandang asma di dunia mencapai 100-150 juta orang. Jumlah ini diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang per tahun (Arief, 2009).

Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC) (Baratawidjaja, 2006). Hasil olahan alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of Differentiation 4+ (CD4+) T-helper 2 (Th2) (Nairn & Helbert, 2002). Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan interleukin (IL) 4 dan IL-13 yang memacu sel

B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas & Lichtman, 2003). Interleukin 5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi (Sell, 2001). Imunoglobulin E yang

commit to user

mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotaktis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis Factor (TNF) α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas & Lichtman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus (Sundaru & Sukamto, 2006).

Kortikosteroid, teofilin, agonis β2-adrenergik, leukotrien modifier, anti IgE sering digunakan dalam pengobatan asma. Namun, obat-obat ini memiliki efek samping menghambat pertumbuhan atau meningkatkan resiko eksaserbasi asma berat (Nelson et al., 2006).

Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan obat herbal (Handayani, 2001). Oleh karena itu, pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang didukung dengan penelitian imunologis perlu digalakkan (Djauzi, 2003).

Propolis merupakan herbal yang bisa dimanfaatkan dalam terapi asma alergi. Senyawa terpenting dalam propolis adalah flavonoid. Salah satu flavonoid yang terkandung dalam propolis adalah caffeic-acid dan kuersetin (Kosalec et al., 2004). Caffeic-acid merupakan Ca-antagonis, sehingga mampu mencegah degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediator-

commit to user

Sedangkan kuersetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) akan menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi akan berkurang.

Dengan sejumlah aktivitas biologis yang ditunjukkan oleh propolis tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh propolis terhadap derajat inflamasi bronkus tikus model asma alergi dan apakah propolis memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi terapi adjuvant dalam penatalaksanaan asma alergi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi.

commit to user

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh propolis terhadap penatalaksanaan asma alergi khususnya derajat inflamasi bronkus.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam pemanfaatan propolis sebagai obat anti asma alergi, serta sebagai bahan pertimbangan dalam pelayanan kesehatan.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Propolis

a. Pengertian Umum

Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli, polen dan propolis. Propolis sebagai kompleks resin yang dikumpulkan lebah madu dari berbagai sumber tanaman untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, sehingga menghasilkan produk lebah yang bermanfaat (Marcucci et al., 2001; Salatino et al., 2005). Secara penampakan fisik (warna), aroma, dan komposisi kimiawi propolis terlihat bervariasi tergantung dari berbagai faktor. Warnanya mungkin putih kekuningan (krem), kuning, hijau, coklat terang atau gelap. Beberapa sampel memiliki tekstur rapuh keras, sedangkan sampel lainnya mungkin elastis dan kenyal. Propolis berasal dari bahasa Yunani, pro yang berarti pertahanan dan polis berarti kota. Dengan demikian menyiratkan bahwa propolis sebagai produk yang terlibat dalam pembelaan terhadap masyarakat lebah (Salatino et al., 2005), yang digunakan oleh lebah dalam pembuatan, pemeliharaan, perlindungan dan mensterilkan sarang lebah (Marcucci et al., 2001).

Faktor-faktor biologik, zona geografis dan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi propolis (Pereira et al.,

commit to user

dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber bunga (jenis tanaman) untuk madu, musim dan faktor-faktor lingkungan (seperti jenis tanah, iklim, faktor genetik, dan metode pengolahan). Dengan kata lain, kemungkinan efek-efek yang berhubungan dengan kesehatan sangat tergantung asal-usulnya (Baltrusaityte et al., 2007).

Komposisi propolis sangat kompleks. Unsur utamanya adalah lilin lebah, resin dan senyawa volatil. Lebah mensekresikan lilin lebah, sedangkan resin dan senyawa volatil berasal dari tanaman. Aktivitas biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman ini berasal. Oleh karena itu, meskipun propolis jelas merupakan produk binatang, proporsi yang cukup besar dari komponen-komponennya yang berperan dalam menentukan aktivitas biologis berasal dari tanaman. Resin merupakan kandungan yang kebanyakan ditemukan dalam ekstrak alkohol dikonsumsi oleh orang dari berbagai negara sebagai makanan pelengkap atau obat alternatif (Salatino

et al ., 2005). Beberapa senyawa telah diidentifikasi dalam propolis, terutama resin (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), serbuk sari (5%), dan senyawa organik lainnya (5%) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; G’omez-Caravaca et al., 2006; Viuda-Martos et al., 2008).

commit to user

Komposisi kimia propolis disajikan pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis

Kelas komponen

Jumlah

Group Komponen

Resin 45-55% Flavonoid, asam fenolat dan

esternya

Lilin dan asam lemak 25-53% Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman

Minyak essensial

10%

Senyawa volatile Protein

5%

Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas

Senyawa organik lain dan mineral

5%

14 macam mineral yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La, dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vitamin B3.

(Sivasubramaniam & Seshadri, 2005). Senyawa yang terkandung dalam propolis, secara garis besar

dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu (i) flavonoid (flavonol, flavon, flavanon, dan hidroflavonol), (ii) turunan cinnamic acid, dan (iii) terpenoid. Flavonol (kaempferide, kaempferol, galangin, isorhamnetin, rhamnetin, myricetin, fisetin dan rutin ), flavon (apigenin, acacetin, baicalein, chrysin, luteolin dan tectochrysin ), flavanon (pinocembrin, sakuranetin dan isosakura-netin ), turunan cinnamic acid (ferulic acid, p-coumaric acid dan caffeic acid ) dan terpenoids (tt-farnesol, β-caryophyllene, terpineol dan syringaldehyde) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; Lotfy, 2006). Senyawa-senyawa tersebut memiliki peran penting dalam aktivitas biologik propolis, antara lain sebagai

commit to user

antiprotozoa, antiparasit dan antiproliferatif (Banskota et al., 2001; Koo et al ., 2002; Ahn et al., 2004; Lotfy, 2006; El-Bussuony & Abouzid,

2010). Sehingga banyak digunakan sebagai ” obat” secara umum pada sistem kardiovaskuler dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim, penyembuhan luka-terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput lendir dan lesi ), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain sebagainya (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).

c. Flavonoid

Flavonoid banyak terkandung dalam buah, sayuran, minuman yang berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan suplemen maupun obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavanoid juga dikenal sebagai bioflavanoid memiliki kelas beragam, secara alami disusun dari polifenol tanaman yang memiliki berbagai aktivitas biologis penting dalam terapi. Secara kimiawi dikenal ada 12 kelas flavonoid yaitu flavon, isoflavon, flavan, flavanon, flavanol flavanolol, anthosianidin, katekhin, leuko-anthrosianidin, khalkon, dihidrokhalkon, dan auron. Jenis-jenis flavanoid dan aktivitas biologisnya disajikan pada tabel 2.2.

commit to user

Jenis flavanoid

Aktivitas biologis

Anthosianidin Efek menguntungkan pada sirkulasi dan penglihatan, dan antibakteri.

Hesperidin Mencegah kerapuhan kapiler. Myrecetin Anti-oksidan, mencegah kerusakan sel-

sel syaraf dari radikal bebas. Nobitelin

Anti-inflamasi

dan membantu

detoksifikasi.

Proanthosianidin (juga dikenal Sebagai pycnogenols)

Efek antioksidan, 20 kali lebih besar dibandingkan vitamin E.

Kuersetin

Mencegah

pembentukan katarak.

Membantu

permasalahan yang berhubungan dengan alergi, seperti hay fever , asma dan eczema. Kuersetin struksturnya seperti obat anti-alergi yaitu disodium chromoglycate.

Rutin

Membantu

dalam pengobatan hipertensi, memar dan perdarahan bawah kulit, termasuk kemerahan akibat radiasi.

(Lazarides, 2010) Flavanoid banyak digunakan sebagai makanan suplemen untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, karena sangat aman dan toksisitasnya rendah (Moon et al., 2006). Beberapa ribuan flavanoid tanaman telah diidentifikasi dan kadar kemaknaan biologis dari bioflavanoid dalam manusia ditunjukkan pada konsumsi 1 gram/hari. Secara umum dianggap bersifat non-toksik (Heo et al., 2001). Flavonoid dilaporkan memperlihatkan aktivitas biologik yang luas, termasuk antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergik dan vasodilatasi.

commit to user

dan permeabilitas kapiler, dan menghambat aktivitas sistem enzim termasuk siklooksigenase dan lipoksigenase (Viuda-Martos et al., 2008). Selain itu flavonoid berpotensi untuk pencegahan atau pengobatan arthritis, kardiovaskuler, dan beberapa kanker, termasuk kanker payudara (Murray et al., 2006).

1) Caffeic acid phenethyl ester. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) merupakan antioksidan fenolik, yang memperlihatkan sejumlah efek farmakologik dan biologik termasuk aktivitas antiinflamasi (Jung et al., 2008), antiviral dan antitumor (Orsolic et al., 2005). CAPE merupakan penghambat yang poten dan spesifik terhadap aktivasi Nuclear Factor (NF)- κB (Fitzpatrick et al., 2001).

Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas NF- κB pada pemberian ovalbumin (OVA) inhalasi, maupun diminimalkan dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronkial dan CAPE dapat digunakan sebagai terapi pembantu dalam penatalaksanaan asma bronkial (Jung et al., 2008).

Gambar 2.1. Struktur Molekul CAPE (diambil dari Scapagnini et al., 2002)

commit to user

Chrysin (5,7-dihydroxyflavone) adalah senyawa flavon alami yang ditemukan pada tanaman. Beberapa penelitian terkini menunjukkan chrysin memiliki banyak aktivitas biologis, seperti antiinflamasi, antikanker, dan antioksidan (Cho et al., 2004; Harris et al., 2006; Fu et al., 2007). Aktivitas antiinflamasi chrysin melalui mekanisme penekanan aktivitas promoter enzim-enzim proinflamasi, cyclooxygenase-2 (COX-2) dan iNOS (Cho et al., 2004). Chrysin berpotesi untuk menghambat angiogenesis dan tumorigenesis, melalui penghambatan hypoxia- inducible factor-1 (HIF-1) yang merupakan faktor transkripsi heterodimer. HIF-1 diekspresikan secara berlebih pada sejumlah kanker pada manusia dan kadarnya akan meningkat pada angiogenesis dan tumorigenesis (Fu et al., 2007).

Gambar 2.2. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., 2006)

commit to user

Galangin (3,5,7-trihydroxyflavone) termasuk salah satu kelas flavonoid yang dikenal sebagai flavonol. Galangin adalah komponen utama propolis lebah madu yang memiliki aktivitas antiinflamasi (Borrelli et al., 2002). Aktivitas biologis galangin yang lain adalah menghalangi induksi mRNA iNOS selama respon inflamasi (Blonska et al., 2004), menurunkan transkripsi COX-2 (O’Leary et al., 2004), menghambat replikasi virus secara in vitro (Amoros et al., 1992), menekan pertumbuhan sel bakteri (Bosio et al., 2000) dan menghambat proliferasi sel kanker payudara melalui penurunan regulasi siklin D3, E, dan A. Galangin menghambat aktivitas aryl hydrocarbon receptor (AhR), suatu faktor transkripsi yang terlibat dalam memprakarsai dan pertumbuhan tumor payudara (Murray et al., 2006).

Gambar 2.3. Struktur Molekul Galangin

(diambil dari http://common.wikimedia.org/wiki/Category:Flanonols)

4) Kuersetin Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone), merupakan flavonoid yang banyak ditemukan pada tanaman ataupun buah-buahan termasuk

commit to user

flavonoid utama yang banyak ditemukan pada makanan yang dikonsumsi manusia., di USA diperkirakan asupan kuersetin berkisar 25 mg/hari (Nanua et al., 2006).

Oleh karena itu, kuersetin memiliki aktivitas biologis yang beragam. Aktivitas biologis yang ditunjukkan antara lain adalah efek pro-apopotosis dan antiproliferatif untuk sejumlah sel kanker ataupun pre-neoplastik, antiinflamasi, proteksi terhadap stres oksidatif.

Gambar 2.4. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos et al., 2008)

Pemanfaatan kuersetin untuk kesehatan, antara lain :

a) Manfaat kuersetin pada penyakit saluran nafas. Manfaat potensi kuersetin dalam pengobatan penyakit saluran nafas, karena beberapa penelitian telah menunjukkan efek penghambatan pada produksi sitokin atau kemokin dalam kultur sel. Kuersetin dapat mengurangi produksi nitric oxide (NO) yang diinduksi lipopolisakarida, eksprsi iNOS, dan pelepasan TNF- α dan IL-6.

commit to user

kinases (MAPK) dan NF- κB, suatu kompleks faktor transkripsi yang sangat berperan dalam ekspresi gen-gen proinflamasi (Cho et al., 2003). Kuersetin juga memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi sel mast dan pelepasan histamin, TNF- α, IL-6, dan IL-8 (Kimata et al., 2005). Kuersetin menghambat induksi IL-8 dan monocyte chemotractant protein (MCP)-1 oleh TNF- α pada kultur sel synovial manusia. EM-X, suatu campuran mengandung kuersetin berasal dari fermentasi beras yang tidak dipoles, papaya, dan rumput laut, memperlihatkan penghambatan ekspresi IL-8 yang diinduksi TNF- α pada kultur sel epitel alveolar manusia (Deiana et al., 2002). Hasil- hasil penelitian tersebut konsisten paa suatu gagasan yang memperlihatkan bahwa kuersetin dapat mengurangi inflamasi saluran nafas pada paisen asma.

b) Manfaat kuersetin pada sistem kardiovaskuler. Flavonoid dapat memperbaiki fungsi endotel dan akhirnya menyebabkan efek kardiovaskuler yang menguntungkan. Kuersetin dapat meningkatkan status NO dan mengurangi konsentrasi endotelin-

1 dan dengan demikian dapat memperbaiki fungsi endotel (Loke et al., 2008). Konsumsi makanan yang kaya akan kuersetin akan menurunkan risiko thrombosis dan penyakit kardiovaskuler (Hubbard et al., 2006).

commit to user

Sehubungan dengan aktivitas antioksidan, antitumor dan antiinflamasi, kuersetin banyak diteliti pada sejumlah model kanker sebagai agen kemoprotektif. Kuersetin memperlihatkan penghambatan berbagai macam kanker, seperti kanker prostat, cervix, paru, payudara dan kolon. Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa kuersetin menghambat proliferasi sel dengan menyebabkan apoptosis dan/atau menahan siklus sel (Lee et al., 2006). Kuersetin merupakan antioksidan yang kuat, sebab kuersetin dapat mengikat logam-logam, menangkap radikal bebas, dan menghambat xanthine oxidase dan lipid peroxidation secara in vitro (Vulcain et al., 2005).

2. Asma Alergi

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Alergi juga merupakan suatu kondisi inflamasi yang disebabkan adanya alergen dan dapat menimbulkan reaksi imun yang merugikan. Sensitisasi alergen dapat memicu timbulnya inflamasi. Paparan berulang dari alergen dapat lebih mengaktifkan proses inflamasi (Lockey & Bukanzt, 1999). Alergi bersifat spesifik pada tiap individu, tidak menular, dan dapat muncul bila terpapar oleh antigen (Chavis, 2001).

commit to user

hipersensitivitas cepat (Sacher & Mc Pherson, 2000). Reaksi alergi diperantarai oleh IgE, tetapi sel B dan sel T memerankan peranan yang penting dalam perkembangan antibodi (Anand, 2007). Apabila reaksi alergi terlokalisasi di bronkiolus maka akan timbul asma (Sherwood, 2001).

Asma adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas segera maupun fase lambat secara berulang yang mengakibatkan trias klinikopatologis obtruksi jalan napas intermiten dan reversibel, inflamasi bronkus kronis dengan eosinofil, serta hipertrofi otot polos bronkus dan hipereaktifitas terhadap bronkokonstriktor (Abbas & Lichtman, 2003).

Terjadinya alergi dimulai dengan pajanan awal terhadap alergen tertentu (Robbins, 2007). Ketika alergen masuk tubuh secara inhalasi dan ditangkap oleh APC, diproses lalu dipresentasikan ke sel T CD4 + . Sel T CD4 + dapat berdiferensiasi menjadi dua sel efektor, yaitu sel CD4 + Th1 dan sel CD4 + Th2. Ketidakseimbangan antara sel CD4 + Th1 dan sel CD4 + Th2 merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit imunologi, termasuk penyakit alergi, dimana pada kasus alergi sel T CD4 + akan berdiferensiasi menjadi sel CD4 + Th2 (Anand, 2004; Baratawidjaja, 2006). Sel CD4 + Th2 berperan dalam menimbulkan inflamasi yang menjadi dasar dari penyakit asma. Sel–sel ini mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13 (Herrick & Bottomly, 2003).

commit to user

proliferasi, diferensiasi, dan pematangan sel B menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil serta sekresi berbagai sitokin. Sedangkan IL-4 bersama IL-10 dan IL-13 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast (Li-Weber & Krammer, 2003 ; Janeway, 2004 ; Kresna, 2001).

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Proses perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi. Setelah tersensitisasi, sel mast mempengaruhi reaksi inflamasi (Abbas & Licthman, 2003).

Proses inflamasi pada asma alergi meliputi inflamasi akut dan inflamasi kronik

a. Inflamasi akut

1) Reaksi fase awal (early phase reaction) Apabila terjadi paparan ulang oleh alergen maka produksi IgE spesifik akan meningkat dan terbentuk ikatan antara alergen dengan dua atau lebih IgE pada sel mast yang disebut sebagai croos-linking (Abbas & Litchman, 2003). Ikatan IgE tersebut menyebabkan peningkatan influks ion kalsium yang memudahkan sel mast dan basofil untuk melepaskan berbagai performed mediators. Diantaranya adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi bronkus, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Mangatas dkk., 2006). Terikatnya histamin pada endotel menyebabkan konstriksi sel yang menimbulkan kebocoran plasma ke dalam jaringan (Abbas &

commit to user

dinding saluran napas dan pembentukan sumbatan dalam bentuk eksudat yang terdiri dari campuran protein plasma dengan mukus, sel- sel radang, dan berbagai komponen inflamasi. Eksudasi plasma merusak integritas epitel saluran napas dan berakibat pengelupasan epitel saluran napas (Mangatas dkk., 2006). Pada sistem imun, histamin meningkatkan sekresi sitokin CD4+ Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin CD4+ Th1 yaitu IL-2, IL-12, dan interferon (IFN) γ (Guntur, 2004).

2) Reaksi fase lambat (late phase reaction) Fase ini timbul setelah 6-9 jam paparan alergen dan meliputi pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil, dan makrofag. Sel-sel tersebut diaktivasi oleh sitokin-sitokin yang diproduksi pada inflamasi sebelumnya. Interleukin 3, IL-5, dan Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF) akan memacu produksi dan aktivasu eosinofil; sedangkan TNF α akan meningkatkan ekspresi molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti E-Selection dan Intracellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) (Mangatas dkk., 2006; Janeway et al., 2005).

Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit, dan endotel vaskular merupakan

commit to user

fosfolipase. Termasuk dalam newly generated mediators di antaranya adalah prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT), dan platelet activating factors (PAF) (Mangatas dkk., 2006).

LTC4, LTD4, dan TXA2 bersifat sebagai bronkokontriktor poten, sedangkan PGA2α, PGD2, dan PAF menyebabkan bronkokonstriksi,

meningkatkan permebilitas vaskular dan sekresi mukus. Dalam konsentrasi tinggi, PAF juga menyebabkan agregasi trombosit dan pembentukan mikrotrombus. Hal ini terus menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat (Mangatas dkk., 2006).

b. Inflamasi kronik Survival sel inflamasi pada saluran nafas lebih tinggi lagi oleh adanya peningkatan molekul adhesi seperti ICAM dan VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule ) yang melekatkan sel-sel radang pada saluran nafas (Mangatas dkk., 2006). Karakteristik inflamasi kronik asma alergi adalah sebagai berikut:

1) Pengelupasan epitel saluran nafas (airway epithelial shedding). Akibat reaksi inflamasi, terjadi pembengkakan, vakuolisasi, hilangnya silia epitel, penambahan jumlah sel goblet, serta pengelupasan sebagian epitel saluran nafas. Penyebab pengelupasan epitel diperkirakan adalah eksudasi plasma, berbagai mediator toksik seperti radikal bebasoksigen, TNF- α, hasil degranulasi sel mast, protein proteolitik eosinofil, serta mataloprotease dari epitel maupun

commit to user

(Mangatas dkk., 2006). Akibat pengelupasan epitel, terjadi hiperresponsivitas bronkus, peningkatan permeabilitas mukosa saluran nafas, dan penurunan jumlah enzim endoprotease netral, seperti substansi P, yang berfungsi mendegradasi sitokin proinflamasi (Mangatas dkk., 2006).

2) Aktivasi sel epitel Sel epitel saluran nafas turut berperan dalam reaksi inflamasi asma alergi. Reaksi inflamasi ini bertujuan memperbaiki kerusakan jaringan epitel akibat asma. Sel epitel yang teraktivasi melepaskan berbagai mediator, antara lain 15-hydroxyeicotetraenoic acid (15- HETE), PGE2, fibronektin, eotaksin. Selain itu,terjadi peningkatan ekspresi berbagai pertanda inflamasi seperti molekul adhesi, nitrit oxide synthetase (NOS) dan endotelin (Mangatas dkk., 2006).

3. Bronkus

Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil. Bronkus tersusun oleh beberapa lapisan, yaitu :

commit to user

Lapisan ini terdiri atas epitel bertingkat semu silindris silia.

b. Lamina propria Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin.

c. Lamina muskularis Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria.

d. Lamina submukosa Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan mukoserosa.

e. Lamina adventitia Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antartulang rawan tersebut,jaringan ikat submukosa menyatu dengan adventitia (Eroschenko, 2002).

Keterangan :

1 : Lamina Mukosa

2 : Lamina Propria

3 : Lamina Muskularis

4 : Lamina Submukosa menyatu dengan Lamina Adventitia

Gambar 2.5. Histologi Bronkus (Gregory, 2009)

commit to user

Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang penting pada asma alergi. Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Rahmawati dkk. (2003) menyebutkan sel inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma meliputi sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil, dan platelet.

a. Neutrofil Merupakan granulosit polimorfonuklear karena bergranula dan mempunyai inti berlobus. Sitoplasma neutrofil mengandung granula halus berwarna ungu atau merah muda yang sukar dilihat dengan mikroskop cahaya biasa. Akibatnya, sitoplasma neutrofil tampak bening. Inti neutrofil terdiri atas beberapa lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin halus (Eroschenko, 2002).

Gambar 2.6. Neutrofil Segmen (Nivaldo, 2009)

commit to user

Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5, dan GM-CSF (Rahmawati dkk., 2003). Sel ini biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar (Jancquira & Carneiro, 2005). Granul interselular ini merupakan sumber protein proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin, peroksidase dan protein kationik (Mangatas dkk., 2006). Inti eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil (Jancquira & Carneiro, 2005).

Gambar 2.7. Eosinofil (Nivaldo, 2009)

c. Limfosit Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk tapal kuda. Besarnya bervariasi, pada limfosit kecil intinya yang terpulas

commit to user

sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler, tetapi dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar, sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nukleoli (Baldy, 2006).

Gambar 2.8. Limfosit (Nivaldo, 2009)

d. Basofil Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, tetapi ukuran granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak dan terpulas basofilik pucat, umumnya basofil terhalangi oleh kepadatan granula (Eroschenko, 2002; Jancquira & Carneiro, 2005).

commit to user

Gambar 2.9. Basofil (Nivaldo, 2009)

e. Makrofag Makrofag memiliki ciri morfologis dengan spektrum luas berdasarkan keadaan aktivitas fungsional dan jaringan yang dihuni. Makrofag bergerak dengan mempergunakan gerakan amuboid. Dengan mikroskop elektron terlihat permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu yang terjulur ke segala arah. Membran plasma berlipat-lipat dan mengandung tonjolan dan lekukan. Nukleus mengandung kromatin padat, berbentuk bulat besar, nukleoli tidak mencolok, sitoplasma terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol kecil yang terpulas secara supravital dengan merah netral. Makrofag dapat ditemukan pada mukosa, submukosa, dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi (Efendi, 2003).

commit to user

Gambar 2.10. Makrofag (Caceci, 2009)

5. Sensitisasi Hewan Coba Model Asma Alergi

Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, diantaranya adalah mencit, tikus, marmut, musang, anjing, kambing, monyet, dan kuda (Shin et al., 2009).

Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, OVA komponen utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). Ovalbumin merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat molekul 43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Huntington & Stein, 2001). Ovalbumin memiliki peran dalam peningkatan Ig E secara spesifik. Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah mencit yang disensitisasi dengan OVA secara intraperitoneal (i.p), yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel Th2, seperti alumunium hidroksida (Kips et al., 2003; Diding dkk., 2007).

Alumunium hidroksida(Al(OH) 3 ), merupakan alumunium yang paling stabil dalam kondisi normal. Al(OH) 3 dimasukkan sebagai adjuvant pada

commit to user

& Aguilar, 2004). Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan mencit C57BI/6J diimunisasi dengan suntikan OVA 8µg i.p. yang diencerkan dengan jel Al(OH) 3 (1 mg) dalam 0,5 ml Phosphat Buffer Saline (PBS), dan diulangi pada hari ke-14. Sedangkan pemaparan BALB/C dengan 10 µg OVA memberikan kadar tertinggi IgE dan IgG1 (Walter, 2002). Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka mencit disensitisasi dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang dilarutkan ke dalam

2.25 mg Al(OH) 3 dalam 100 µl saline pada hari ke-0 dan 14. Pada hari ke-

35, 39, dan 42, mencit dipapar dengan inhalasi OVA aerosol selama 20 menit. Aerosol menggunakan nebulizer cairan OVA (10 mg/ml) dalam saline menggunakan Pari LC Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment, Richmond, VA) yang digerakan kompresor udara dengan flow rate 6L/min. Untuk protokol penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan) maupun kronik (lebih dari 2 bulan), mencit diimunisasi secara subcutan (s.c.) pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V; Sigma- Aldrich, St. Louis, MO) yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl PBS.

a. Mencit model asma alergi akut Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah OVA, yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA

commit to user

epitop yang mendominasi respon imun. (Shin et al., 2009).

Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple dengan penambahan adjuvant (Nials & Uddin, 2008). Adjuvant seperti alumunium hydroksida [Al(OH)3] diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials & Uddin, 2008; Shin et al., 2009; Brewer et al., 1999).

Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari), jalan napas mencit dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials & Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009).

Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara intranasal (i.n) (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30, dan 35, dan mencit dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et al., 2002).

Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan pada beberapa model bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat,

commit to user

manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan napas. Terlebih lagi, beberapa proses berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan napas dan AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials & Uddin, 2008).

b. Mencit model asma alergi kronik Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan napas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan napas dan AHR menurun sampai baseline level. Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan-perubahan seperti asma pada manusia, termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2 dependent inflamasi alergi dengan karakteristik influks eosinofil pada

commit to user

sel goblet, hipertrofi epitel, dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar (Nials & Uddin, 2008).

Sedangkan protokol untuk yang kronik, mencit yang telah mendapatkan pemaparan OVA i.n pada hari ke-26, 28, 30 seperti pada protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemaparan OVA i.n dua minggu sekali. Untuk melakukan pemberian i.n, mencit diberikan anestesi dengan isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories, North Chicago, IL) (Ikeda, 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al., 2004, mencit diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1 mg alum (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA i.n (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29, dan 31 di bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph, Missouri, USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3 bulan. Mencit dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA terakhir (Cho et al., 2004).

commit to user

1. Kerangka Pikiran Konseptual

Gambar 2.11. Skema Kerangka Pikiran Konseptual

Keterangan: : memacu : menghambat

Ovalbumin

Rekruitmen dan aktivasi sel-sel inflamasi (sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil,

limfosit T, basofil)

Antigen Presenting

Inflamasi Saluran nafas

IL-4 IL-5

Asma Alergi

Propolis

IL-10

IL-2 IL-12

CD4 + Th1

Seluler

Stres Oksidatif

Sel Mast

NF- κB

IgE

Histamin Leukotrien Prostaglandin

commit to user

Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh, ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T CD4 + atau sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi sel CD4 + Th1 dan sel CD4 + Th2. Kerja dua sel tersebut bersinergi, dimana sel CD4 + Th2 berperan sebagai respon imun humoral yang akan mensekresikan antibodi (IgE). Sedangkan sel CD4 + Th1 berperan dalam respon imun seluler, yang akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL- 1β, IL-2, IL-6, dan TNF- α. TNF-α bersifat proteolitik, sehingga akan melisiskan sejumlah sel-sel termasuk sel saluran nafas. Debris lisis sel ini akan menimbulkan stres oksidatif / Reactive Oxygen Species (ROS), yang akan menambah beratnya reaksi asma alergi.

Ovalbumin melalui sel CD4 + Th 2 memicu produksi sel mast. Apabila ada paparan ulang oleh alergen, maka akan terjadi cross-linking antara IgE dengan alergen pada permukaan sel mast. Cross-linking ini akan memacu reaksi alergi di mana terjadi degranulasi sel mast yang melepaskan mediator- mediator proinflamasi seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Dihasilkannya mediator-mediator proinflamasi ini akan memicu reaksi inflamasi pada bronkus di mana terjadi aktivasi dan perekrutan eosinofil.

Propolis mengandung CAPE yang mampu menghambat aktivasi NF- κB pada proses inflamasi. Selain itu, CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai Ca-antagonis. Ca-antagonis ini akan menghambat Ca influks sehingga mampu mencegah degranulasi sel mast. CAPE juga menunjukkan aktivitas

commit to user

akan mengurangi terjadinya reaksi inflamasi pada asma alergi. Kuersetin yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah terdegranulasi dan menghambat pelepasan histamin, TNF- α dan IL-6.

Dengan demikian, pemberian ekstrak etanol propolis dapat menurunkan progresivitas alergi saluran nafas yang ditunjukkan dengan penurunan derajat inflamasi bronkus.

C. Hipotesis

Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi.

commit to user

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik, post test only control group design.

B. Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Pada bulan Mei sampai dengan September 2011.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian berupa tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan dengan berat badan ± 200 gram, dan berumur 4 - 6 minggu. Tikus putih diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas Setia Budi Surakarta.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus Federer (Federer, 1959) yaitu:

commit to user

Keterangan: k: jumlah kelompok n: jumlah sampel dalam tiap kelompok

Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Berdasarkan rumus Federer di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai berikut: ( k-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15

Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor tikus putih. Pada penelitian kali ini kami menggunakan 7 ekor tikus putih per kelompok.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Ekstrak etanol propolis

2. Variabel terikat : Derajat inflamasi bronkus

3. Variabel perancu

a. Dapat dikendalikan : gizi, makanan dan minuman, galur, umur, dan jenis kelamin hewan coba.

b. Tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, sistem kekebalan tubuh hewan coba, genetik, dan keadaan awal tikus.

( k-1 ) ( n-1 ) ≥15

commit to user

1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal

2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian