Analisis Miskonsepsi Kimia Pada Pembelajaran Termokimia Siswa Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo

TERMOKIMIA SISWA KELAS XI SMAN 2 SUKOHARJO SKRIPSI

oleh WAHYU PUJI LESTARI K3304010

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

TERMOKIMIA SISWA KELAS XI SMAN 2 SUKOHARJO SKRIPSI

oleh WAHYU PUJI LESTARI K3304010

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

WAHYU PUJI LESTARI. Analisis Miskonsepsi Kimia pada Pembelajaran Termokimia Siswa Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) adakah miskonsepsi kimia dalam pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo, (2) bentuk miskonsepsi kimia yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo, dan (3) hal-hal yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009 dengan jumlah seluruhnya 7 kelas. Sampel diambil dengan teknik non random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes diagnostik miskonsepsi berbentuk tes objektif beralasan, observasi, angket, dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) terjadi miskonsepsi dalam pembelajaran konsep-konsep kimia pada pokok bahasan termokimia pada siswa SMAN 2 Sukoharjo, (2) miskonsepsi yang terjadi adalah miskonsepsi dalam bentuk konsep teoritik, korelasional, dan klasifikasional, dan (3) penyebab terjadinya miskonsepsi adalah motivasi belajar yang kurang dan prakonsepsi yang kurang benar dari siswa, kurangnya interaksi antara guru dengan siswa, buku pegangan yang kurang lengkap dan sukar dipahami, dan metode pembelajaran yang tidak mengarah pada pembentukan konsep.

Kata kunci: miskonsepsi, termokimia, belajar konsep, prakonsepsi

commit to user

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam penulis curahkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya atas bantuan yang telah diberikan kepada :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin atas penyusunan skripsi ini.

2. Sukarmin, M.Si, Ph.D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pendidikan Alam, yang telah menyetujui atas permohonan penyusunan skripsi ini.

3. Dra. Bakti Mulyani, M.Si selaku Ketua Program Kimia yang telah memberikan izin atas penyusunan skripsi ini.

4. Elfi Susanti VH, S.Si, M.Si selaku Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing I yang dengan tulus dan sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahannya sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Dra. Tri Redjeki, M.S selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga skripsi ini dapat selesai.

6. Drs. Joko Sugiharto selaku Kepala Sekolah SMAN 2 Sukoharjo yang telah memberikan izin penelitian di SMAN 2 Sukoharjo.

7. Sri Martini R., S.Pd selaku guru Kimia yang mengajar di kelas XI IPA yang

telah bersedia mengijinkan pelaksanaan penelitian di kelas tersebut.

8. Semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat

commit to user

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, Januari 2012

Penulis

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, bersikap terbuka, dan memiliki keterampilan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pendidikan banyak menghadapi hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Di Indonesia, kualitas pendidikan masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, antara lain dengan mengeluarkan kebijaksanaan yang mengatur, membina, dan mengembangkan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pembangunan pendidikan nasional.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah proses belajar mengajar dalam kelas. Pada proses belajar mengajar, terjadi interaksi khusus antara guru dan siswa karena siswa menghadapi tugas belajar dan guru mendampingi siswa dalam belajar. Tiap siswa memiliki kepribadian yang khas yang dibentuk oleh dirinya melalui lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru memiliki tugas yang berat karena harus memperhatikan segala jenis siswa dengan berbagai sifatnya. Keadaan yang ideal bila guru sebagai pendidik mengetahui dan mengenal tiap jenis siswa sehingga dapat membantunya untuk membangkitkan perhatian dan motivasi serta meningkatkan kemampuan belajar.

Salah satu aspek dalam proses belajar adalah belajar konsep. Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap (Winkel, 2005:36). Menurut Ausubel dalam Ratna Wilis Dahar (1989:81) konsep-konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus dan tidak berkesudahan. Orang yang belajar tidak

commit to user

melainkan menciptakan pengertian. Pembentukan konsep merupakan proses induktif (Ratna Wilis Dahar,

1989:81). Jika anak dihadapkan dengan stimulus-stimulus dari lingkungannya, ia akan mengabstraksi sifat-sifat atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus-stimulus tersebut. Fakta menunjukkan bahwa otak siswa sudah terisi pengetahuan yang berhubungan dengan pelajaran yang didapat dari pengalaman. Dengan demikian siswa telah membentuk suatu intuisi dan “teori siswa” yang belum tentu benar. Intuisi ini membentuk suatu prakonsepsi dari yang sederhana sampai kompleks, cukup logis, dan konsisten serta sulit diubah. Prakonsepsi yang dibawa siswa dapat sesuai dengan konsep ilmiah tetapi terkadang berbeda dengan konsep ilmiah. Biasanya prakonsepsi ini kurang lengkap atau kurang sempurna sehingga perlu dikembangkan dan dibenahi dalam pelajaran formal di sekolah. Tidak jarang bahwa konsep awal ini meskipun berbeda dengan konsep ilmiah dapat bertahan lama dan sulit diperbaiki atau diubah selama pendidikan formal. Hal ini disebabkan konsep yang salah ini mampu menjelaskan persoalan yang terjadi di lingkungan mereka. Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah inilah yang biasanya disebut miskonsepsi atau salah konsep.

Miskonsepsi terjadi jika pemahaman siswa terhadap suatu konsep berbeda dengan apa yang dimaksud oleh masyarakat ilmiah atau konsepsi ilmuwan. Selain prakonsepsi yang salah dan metode pengajaran yang kurang tepat seperti yang telah disebutkan, miskonsepsi juga dapat terjadi karena pemakaian buku teks yang kurang tepat, pengetahuan guru yang kurang memadai, dan keterbatasan kata atau bahasa yang digunakan oleh guru.

Mata pelajaran kimia merupakan bagian dari IPA yang mempelajari tentang sifat, struktur materi, komposisi materi, perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi secara umum yang diperoleh melalui hasil-hasil eksperimen dan penalaran (Depdiknas, 2003:2). Taber dalam Ghassan Sirhan (2007:2) menyebutkan bahwa kurikulum kimia biasanya menyertakan banyak konsep-konsep abstrak, yang berpusat pada pembelajaran lebih lanjut pada baik ilmu kimia maupun ilmu lainnya. Di dalam ilmu kimia, konsep-konsep yang

commit to user

sendiri antara konsep yang satu dengan konsep yang lain. Di dalam materi termokimia terdapat banyak konsep ilmu yang terkait dengan konsep-konsep pada

materi yang sebelumnya. Konsep ilmu tersebut membutuhkan pemahaman yang tinggi sehingga besar kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam bentuk konsep klasifikasional, korelasional, atau teoritik.

Berdasarkan data yang diperoleh dari daftar nilai pengetahuan dan pemahaman konsep SMAN 2 Sukoharjo kelas XI IA.2 tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, hasil belajar pada bidang studi kimia SMAN 2 Sukoharjo rata-rata masih rendah. Pada tahun pelajaran 2006/2007 rata-rata nilai semester untuk mata pelajaran kimia 64,00 sedangkan pada tahun pelajaran 2007/2008 menjadi 65,03. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Rosilasari (2001:43), rendahnya hasil belajar siswa secara umum dapat terjadi oleh beberapa hal antara lain, (1) pemahaman siswa terhadap suatu masalah belum tuntas, akibatnya konsep-konsep yang dimaksud belum dipahami, (2) terjadinya miskonsepsi terhadap konsep-konsep esensial yang mengganggu pemahaman siswa terhadap konsep tertentu, (3) rendahnya kualitas pembelajaran di kelas akibat dari rendahnya mutu guru baik dari segi penguasaan materi maupun dari segi metodologinya.

Proses belajar mengajar yang banyak dijumpai di SMAN 2 Sukoharjo adalah dengan menggunakan metode ceramah. Melalui metode ceramah, siswa akan banyak memiliki pengetahuan tetapi tidak terlatih untuk menemukan pengetahuan baru, untuk menemukan konsep, dan mengembangkan ilmu pengetahuan (Conny Semiawan dkk, 2008:24). Guru menyampaikan informasi berupa fakta-fakta pada siswa yang merupakan proses transfer konsep dari guru ke siswa melalui ceramah. Terkadang siswa salah menafsirkan maksud penjelasan dari guru. Sering juga pada siswa terjadi ketidakpastian pada tahap pengumpulan dan pemrosesan banyak data, mempertimbangkan cara pemecahan lain yang mungkin, dan akhirnya menentukan pilihan. Jika hal ini terus terjadi, akan terjadi kesalahan pemahaman konsep atau miskonsepsi pada siswa.

commit to user

menganalisis apakah telah terjadi miskonsepsi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo dan untuk mengetahui penyebab miskonsepsi jika benar telah terjadi miskonsepsi.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan hasilnya. Permasalahan yang berkaitan dengan konsep termokimia pada penelitian ini adalah:

1. Apakah telah terjadi miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

2. Bentuk miskonsepsi kimia apa yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo.

3. Apa yang menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian harus mempunyai arah yang jelas dan pasti, sehingga perlu diberikan batasan masalah. Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka pengkajian dan pembatasan masalah dititikberatkan pada :

1. Sampel penelitian Siswa yang digunakan sebagai sampel adalah siswa kelas XI SMAN 2 Sukoharjo Tahun Ajaran 2008/2009.

2. Materi pelajaran Materi pokok termokimia mempunyai konsep yang banyak sehingga hanya diambil konsep-konsep yang dimungkinkan pada siswa terjadi miskonsepsi yaitu konsep-konsep:

a. reaksi eksoterm dan endoterm

b. perubahan entalpi

c. energi ikatan

d. perubahan entalpi penguraian

e. hukum Hess

f. perubahan entalpi pembakaran (Rosilasari, 2001:43)

commit to user

Dasar penggolongan miskonsepsi yang digunakan adalah pembagian miskonsepsi menurut bentuk konsepnya. Bentuk konsep yang dimaksud

adalah klasifikasional, korelasional, dan teoritik.

4. Penyebab terjadinya miskonsepsi Penyebab terjadinya miskonsepsi di sini dibatasi pada kondisi siswa, interaksi antara guru dan siswa, penggunaan buku pegangan, serta pemberian metode pembelajaran.

D. Perumusan Masalah

Dari masalah yang timbul, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terjadi miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo?

2. Bagaimanakah bentuk miskonsepsi kimia yang dialami oleh siswa SMAN 2 Sukoharjo?

3. Apakah penyebab terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Terjadi atau tidaknya miskonsepsi kimia dalam pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

2. Bentuk miskonsepsi kimia yang terjadi pada siswa SMAN 2 Sukoharjo.

3. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa SMAN 2 Sukoharjo.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru kimia di SMAN 2 Sukoharjo bahwa analisis miskonsepsi dapat digunakan untuk mengetahui apakah telah

commit to user

menghambat kelancaran proses belajar.

2. Sebagai bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan khususnya

pendidikan kimia.

3. Sebagai wacana untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat agar dalam proses pembelajaran tidak terjadi miskonsepsi atau meminimalkan kemungkinan tejadinya miskonsepsi.

commit to user

KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Belajar Konsep

Seringkali siswa dalam kegiatan belajar hanya menghafal suatu konsep tanpa memperhatikan hubungan dengan konsep sebelumnya. Hal ini menyebabkan konsep baru tidak masuk dalam jaringan konsep yang berada dalam kepala siswa tetapi berdiri sendiri tanpa hubungan dengan konsep yang lain. Akibatnya konsep tersebut tidak memiliki arti sebab arti konsep berasal dari hubungan dengan konsep lain (Berg, 1991:9).

Ratna Wilis Dahar (1989:79) menyatakan bahwa belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun (building blocks) berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi- generalisasi. Untuk memecahkan masalah, seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya.

Ausubel dalam Ratna Wilis Dahar (1989:81) berpendapat bahwa konsep- konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep terutama merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah atau bisa disebut prakonsepsi (prior knowledge). Menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989:81), formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkret. Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep- konsep selama dan sesudah sekolah.

Teori belajar yang mendasari belajar konsep adalah teori kognitifitas dimana proses belajar lebih penting daripada hasil belajar itu sendiri. Pendekatan- pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan konsep- konsep dan pada bagaimana konsep-konsep itu disajikan dalam struktur kognitif (Ratna Wilis Dahar, 1989:84).

commit to user

merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya.

Hierarki belajar tersebut adalah :

a. belajar tanda

b. belajar stimulus

c. chaining/menghubungkan

d. asosiasi verbal

e. belajar diskriminasi

f. belajar konsep konkrit

g. konsep :

1) terdefinisi

2) aturan

h. pemecahan masalah Klausmeier dalam Ratna Wilis Dahar (1989:88) menghipotesiskan bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan yang invarian. Orang sampai pada pencapaian tingkat tertinggi dengan kecepatan yang berbeda-beda dan ada konsep-konsep yang tidak pernah tercapai pada tingkat yang paling tinggi. Empat tingkat pencapaian tersebut adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikatori, dan tingkat formal.

Piaget dalam Ratna Wilis Dahar (1989:150-151) menyatakan bahwa perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada manusia kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur- struktur. Adaptasi memberikan kemampuan pada manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda untuk tiap manusia. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Dalam proses akomodasi, seseorang memerlukan modifikasi

commit to user

lingkungannya. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa untuk menyesuaikan stimulus yang belum diketahui sebelumnya, otak akan membentuk konsep baru

atau memodifikasi struktur konsep yang telah ada sehingga akan dapat mengasimilasi dalam otak dan digeneralisasikan.

Menurut Euwe Van den Berg (1991:11), mengajar konsep pada siswa diharapkan siswa dapat:

a. Mendefinisikan konsep.

b. Menjelaskan perbedaan konsep satu dengan yang lainnya.

c. Menjelaskan hubungan konsep satu dengan lainnya.

d. Menjelaskan arti konsep dalam kehidupan sehari – hari dan menerapkan dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari – hari. Dapat disimpulkan bahwa belajar konsep adalah suatu proses aktif siswa untuk mengartikan suatu konsep dan menghubungkannya dengan konsep-konsep awal yang telah mereka miliki sehingga terbentuk suatu konsepsi pengetahuan yang benar.

2. Prakonsepsi, Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi

a. Prakonsepsi

Banyak dari konsep-konsep yang sudah kita peroleh, berkembang semasa kita kecil. Akan tetapi, konsep-konsep itu telah mengalami modifikasi atau perubahan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman kita sehingga secara aktif otak pada seorang anak akan berkembang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan isi otak semula dan perkembangannya sejak lahir, dalam otak manusia terbentuk “prakonsepsi” (preconception) atau sejenis “teori anak” mengenai suatu peristiwa fisika (Euwe Van den Berg, 1991:5). Konsep-konsep ini terutama diperoleh melalui pembentukan konsep.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif (Ratna Wilis Dahar, 1989:81). Jika anak dihadapkan pada stimulus dari lingkungan, ia mengabstraksi sifat-sifat tertentu atau atribut-atribut tertentu yang sama dari

commit to user

dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah mendapat pelajaran formal.

Prakonsepsi atau konsepsi awal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena prakonsepsi atau konsepsi awal mempengaruhi penerimaan konsep-konsep selanjutnya. Ketika siswa memasuki kelas atau laboratorium untuk mempelajari ilmu pengetahuan, mereka tidak memiliki pemikiran yang sepenuhnya kosong. Mereka memilki sebentuk “perpustakaan” pengetahuan meskipun kurang sempurna, kurang lengkap, atau terkadang cacat untuk diperhalus dan atau digabungkan (Rhoda D. Beskeni dkk, 2011:607). Suatu pemahaman bagaimana cara siswa belajar dapat membantu para guru untuk merencanakan strategi mengajar yang efektif (Ghassan Sirhan, 2007:2).

b. Konsep

Setiap objek di lingkungan kita memiliki bentuk, ukuran, dan ciri-ciri berlainan yang menghasilkan suatu konsep tertentu. Misalkan konsep yang sederhana yaitu “meja” merupakan benda yang berbentuk persegi panjang, bundar, segitiga. Kata meja merupakan abstraksi yang mempunyai kesamaan pada semua meja. Kesamaan itulah yang ditunjukkan dengan simbol oleh manusia sehingga membentuk suatu konsep.

Menurut Rosser dalam Ratna Willis Dahar (1989:80), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian- kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep-konsep itu adalah abstraksi-abstraksi yang didasarkan pengalaman dan karena tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang persis sama, konsep-konsep yang dibentuk orang mungkin juga berbeda. Walaupun konsep-konsep kita berbeda, konsep-konsep itu cukup serupa bagi kita untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan nama-nama yang kita berikan pada konsep-konsep itu, yang

commit to user

simbol arbitrer digunakan untuk menyatakan konsep-konsep, yang merupakan abstraksi internal itu. Nama-nama itu sendiri bukanlah

konsepnya. Ratna Willis Dahar (1989:79) menyatakan bahwa konsep merupakan penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus. Konsep- konsep itu tidak dapat diamati, konsep-konsep harus disimpulkan dari perilaku. Walaupun kita dapat memberikan suatu definisi verbal dari suatu konsep, suatu definisi tidak mengungkapkan semua hubungan-hubungan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain.

Brunner ,seperti yang dikutip oleh Degeng (1989), memandang bahwa suatu konsep memiliki lima unsur dan seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu. Kelima unsur konsep tersebut adalah :

1). Nama

Nama adalah istilah yang diberikan pada suatu kategori. 2). Contoh-contoh Contoh-contoh mengacu kepada suatu konsep, yang meliputi contoh positif (meliputi contoh konsep) dan contoh negatif (contoh bukan konsep).

3). Karakteristik Karakteristik atau atribut mengacu pada kekhususan-kekhususan atau ciri-ciri umum yang menyebabkan kita memasukkan contoh-contoh dalam kategori yang sama. Dalam hal ini harus dibedakan karakteristik pokok dengan karakteristik yang tidak pokok dari suatu konsep.

4). Rentangan karakteristik Rentangan karakteristik mengacu kepada karakteristik-karakteristik yang dapat diterima oleh suatu konsep sehingga dapat dipakai untuk membedakan suatu konsep dengan konsep yang lain.

commit to user

Kaidah mengacu pada suatu definisi atau pernyataan yang menspesifikasikan karakteristik-karakteristik pokok suatu konsep.

Kaidah yang jelas menyatakan hakekat dari suatu konsep dengan menunjukkan semua karakteristik pokok. Menurut Moh. Amien (1987:15), konsep adalah suatu ide atau gagasan

yang digeneralisasikan dari pengalaman tertentu yang relevan. Dengan demikian untuk membentuk suatu konsep diperlukan pengalaman dan generalisasi serta abstraksi dan ciri-ciri suatu objek untuk mempermudah komunikasi manusia.

Setiap konsep dapat dibedakan menurut bentuknya. Menurut Moh. Amien, konsep dapat dibedakan berdasar bentuknya menjadi tiga yaitu :

1) Konsep klasifikasional Bentuk konsep ini didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir. Dengan kata lain fakta tertentu diorganisir untuk menerangkan suatu objek atau suatu gejala. Contoh : Insekta adalah hewan berkaki enam dan tubuhnya terdiri dari kepala, dada dan perut.

2) Konsep korelasional Konsep ini dibentuk dari kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan atau observasi-observasi yang terdiri dari dugaan. Konsep ini terdiri dari suatu dimensi yang menyatakan adanya hubungan antara dua variabel yang dirumuskan dengan jika … maka …. Contoh : Apabila udara di dalam sebuah botol tertutup dipanasi, maka tekanan udara di dalamnya akan naik.

3) Konsep teoritik Bentuk konsep ini mempermudah penjelasan terhadap fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir. Konsep ini menyangkut proses pengembangan mulai dari yang diketahui sampai yang tidak diketahui.

commit to user

atom materi terdiri dari elektron, proton, neutron dan partikel-partikel lain.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa konsep adalah gambaran mental seseorang terhadap suatu obyek atau proses dalam bentuk jaringan pemikiran (ide) yang berguna untuk menjelaskan segala sesuatu atau hal-hal lain yang berkaitan dengan obyek atau proses tersebut.

c. Konsepsi

Dalam memahami konsep-konsep kimia, tidak semua siswa mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama. Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut dengan konsepsi (Euwe Van den Berg, 1991:10). Sedang konsepsi menurut kamus bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat atau paham. Konsepsi siswa pada konsep termokimia adalah penafsiran siswa tentang konsep-konsep yang ada dalam termokimia. Misalnya konsep tentang reaksi eksoterm dan endoterm, perubahan entalpi, energi ikatan, perubahan entalpi penguraian, hukum Hess, dan perubahan entalpi pembakaran.

d. Miskonsepsi Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima pakar dalam bidang itu (Paul Suparno, 2008:4). Miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang berbeda atau bertentangan dengan konsepsi para ahli dan biasanya miskonsepsi menyangkut kesalahan siswa dalam pemahaman hubungan antar konsep (Van den Berg, 1991: 10).

Dari pendapat tentang miskonsepsi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa miskonsepsi adalah perbedaan pemahaman yang dimaksud masyarakat ilmiah atau para ilmuwan, yang sangat dipengaruhi oleh prakonsepsi yang ada pada diri siswa sebelum mendapatkan materi pelajarran. Dapat dikatakan pula bahwa miskonsepsi terjadi dalam menghubungkan konsep dengan konsep-konsep yang lain, antara konsep baru dengan konsep yang sudah ada pada otak siswa sehingga terbentuk konsep yang salah.

commit to user

dapat menghambat tercapainya indikator yang telah ditentukan. Salah satu penghambat tersebut yaitu terjadinya miskonsepsi pada siswa. Menurut Paul

Suparno (2008:29), secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.

Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat, atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar yang hanya menekankan satu segi sering memunculkan salah pengertian pada siswa.

Abraham dan kawan-kawan (1992), membagi derajat pemahaman konsep menjadi tiga kelompok yaitu derajat memahami konsep, miskonsepsi, dan tidak memahami konsep. Pengelompokan ini berdasar pada pengelompokan derajat pemahaman yang telah dilakukan oleh Marek (1986) dan dikutip oleh Abraham (1992) seperti terlihat dalam Tabel 1.

Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Dari tes diagnostik, kemampuan siswa dalam mengerjakan soal dapat diketahui dan disimpulkan dari jawaban-jawaban soal tersebut. Tes objektif beralasan adalah salah satu cara tes diagnostik yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Dengan tes objektif beralasan maka suatu item dapat dikontrol dengan item yang lain, di mana keduanya mempersoalkan hal yang sama. Siswa dianggap menguasai apabila bisa mengerjakan kedua item itu dengan benar.

commit to user

No.

Derajat Pemahaman

Kriteria

Kategori

1. Tidak ada respon a. Tidak ada jawaban

b. Menjawab “saya tidak tahu”

Tidak memahami

2. Tidak memahami konsep

a. Mengulang pertanyaan

b. Menjawab tak berhubungan dengan pertanyaan

c. Jawaban tidak jelas

Tidak memahami

3. Miskonsepsi

a. Menjawab namun penjelasan tidak benar atau tidak logis

Miskonsepsi

4. Memahami sebagian

ada

miskonsepsi

a. Jawaban

menunjukkan bahwa ada konsep yang dikuasai

menunjukkan miskonsepsi

Miskonsepsi

5. Memahami sebagian konsep

a. Jawaban menunjukkan hanya sebagian

konsep

yang

dipahami tanpa miskonsepsi

Memahami konsep sebagian

6. Memahami konsep

a. Jawaban

menunjukkan bahwa konsep dapat dikuasai dengan benar

Memahami konsep

Sumber : Abraham, Grzybowski, Renner, Marek, 1992:112

3. Pokok Bahasan Termokimia

Termokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari perubahan kalor suatu zat yang menyertai suatu reaksi. Secara operasional, termokimia berkaitan dengan pengukuran dan penafsiran perubahan kalor yang menyertai reaksi kimia, perubahan keadaan, dan pembentukan larutan. Termokimia merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipelajari bukan saja untuk mengetahui beberapa energi yang perlu diberikan atau yang dapat diperoleh dari

commit to user

teori ikatan kimia dan struktur (Keenan, 1984 : 473).

a. Hukum kekekalan energi dalam sistem dan lingkungan

Setiap materi memiliki energi. Energi biasanya dinyatakan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan kerja, yang dimiliki oleh suatu zat dan dapat menyebabkan terjadinya suatu proses. Salah satu bagian kimia yang berkaitan dengan energi adalah termodinamika. Hukum termodinamika pertama pada dasarnya adalah hukum kekekalan energi yang menyatakan bahwa pada perubahan fisika dan kimia, energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tetapi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.

Pada pembahasan termodinamika dan termokimia dikenal istilah sistem dan lingkungan. Sistem adalah zat atau proses yang sedang dipelajari perubahan energinya sedangkan segala sesuatu di luar sistem dengan apa sistem mengadakan pertukaran energi disebut lingkungan. Misalnya, kita mereaksikan zat A dan zat B di dalam sebuah tabung reaksi. Lingkungannya adalah tabung reaksi serta udara yang berada di luar tabung reaksi, sedangkan sistemnya adalah zat A dan zat B.

(a) lingkungan

(b) Gambar 1. Proses reaksi : (a). eksoterm dan (b) endoterm Energi yang dikandung oleh suatu zat atau materi dapat digolongkan ke dalam energi kinetik atau energi potensial. Energi kinetik adalah energi yang dimiliki suatu benda apabila benda itu bergerak seperti molekul-molekul dalam zat cair. Minyak dan batu bara mempunyai energi yang dibebaskan pada saat pembakaran sebagai kalor. Energi semacam itu disebut energi

kalor sistem

kalor

kalor

kalor

commit to user

dan energi potensial. Jika kita tinjau suatu zat yang dalam keadaan diam (tidak bergerak),

maka zat tersebut hanya memiliki energi potensial, yaitu energi yang tersimpan dalam zat yang disebut energi dalam (internal energy) dan disimbolkan dangan U. Dapat dikatakan bahwa energi dalam (U) adalah energi total dari suatu zat dalam keadaan diam pada keadaan tertentu. Energi dalam suatu zat atau sistem dapat berubah jika zat atau sistem itu menyerap atau membebaskan kalor. Jika suatu zat atau sistem menyerap kalor maka energi dalamnya akan bertambah. Pertambahan energi dalam ini menyebabkan kenaikan suhu. Sebaliknya, jika suatu zat atau sistem membebaskan kalor maka energi dalamnya akan menurun. Penurunan energi dalam menebabkan penurunan suhu. Energi dalam suatu zat juga dapat berubah jika zat itu melakukan atau menerima kerja. Jika zat melakukan kerja, maka energi dalamnya akan berkurang walaupun zat itu tidak melepas kalor. Sebaliknya jika zat atau sistem menerima kerja maka energi dalam sistem bertambah. Harga mutlak dari energi dalam tidak dapat ditentukan tetapi perubahan energi dalam ( ∆U) dapat ditentukan dengan menggunakan hukum pertama termodinamika yaitu :

∆U = q – w Keterangan:

∆U : perubahan energi dalam sistem q

: kalor yang dilepaskan atau diserap sistem, bernilai positif jika sistem menyerap kalor dan bernilai negatif jika sistem melepaskan kalor

w : kerja yang dilakukan atau diterima sistem, bernilai positif jika sistem melakukan kerja dan bernilai negatif jika sistem menerima kerja

(Michael Purba, 2000:20)

commit to user

Entalpi (H) sistem adalah jumlah energi sistem dalam segala bentuk yaitu energi dalam (U) dan kerja (w). Hal ini dapat dituliskan H = U + w. Harga entalpi suatu zat atau sistem tidak dapat diukur atau dihitung, yang dapat ditentukan adalah perubahan entalpinya. Perubahan entalpi atau kalor yang terjadi selama proses penerimaan atau pelepasan kalor dinyatakan dengan DH. Besarnya perubahan entalpi adalah sama dengan selisih jumlah entalpi hasil reaksi dan jumlah entalpi pereaksi. Untuk reaksi : R àP

dengan H R = entalpi pereaksi (R)

P H = entalpi produk (P) Apabila reaksi berlangsung pada tekanan tetap dan jenis kerja yang menyertainya hanya kerja ekspansi, maka perubahan entalpi reaksi sama dengan jumlah kalor yang diserap atau dibebaskan :

D H = U + w = (q p – w) + w = q p q p = kalor reaksi pada tekanan tetap. Karena reaksi-reaksi kimia umumnya berlangsung pada tekanan tetap maka kalor reaksi selalu dituliskan sebagai perubahan entalpi. Jadi, jika suatu sistem membebaskan kalor sebesar q kJ pada tekanan tetap maka entalpi sistem berkurang sebesar q kJ. Sebaliknya jika sistem menyerap kalor sebesar q kJ pada tekanan tetap maka entalpi sistem bertambah sebesar q kJ.

(Parning dkk, 2006:48)

c. Reaksi eksoterm dan endoterm

Reaksi kimia dapat melepaskan atau menyerap kalor. Reaksi kimia dengan sistem melepaskan kalor ke lingkungan disebut reaksi eksoterm sedangkan reaksi kimia dengan sistem menyerap kalor disebut reaksi endoterm. Pada reaksi endoterm entalpi sistem bertambah, artinya entalpi produk (H P ) lebih besar daripada entalpi pereaksi (H R ). Oleh karena itu, perubahan entalpinya bertanda positif.

D H=H P -H R

commit to user

Sebaliknya pada reaksi eksoterm, entalpi sistem berkurang, artinya entalpi produk (H P ) lebih kecil daripada entalpi pereaksi (H R ). Oleh karena itu, perubahan entalpinya bertanda negatif.

Reaksi eksoterm dan endoterm dapat dinyatakan dengan diagram tingkat energi sebagai berikut :

(a) Reaksi Eksoterm (b) Reaksi Endoterm

Gambar 2. Diagram tingkat energi untuk reaksi eksoterm dan endoterm Contoh-contoh reaksi eksoterm dan endoterm: 1). Logam natrium dimasukkan dalam air Reaksi tersebut berlangsung dengan cepat dan menimbulkan ledakan. Setelah reaksi berlangsung, suhu larutan lebih tinggi dari suhu lingkungan sehingga otomatis kalor mengalir dari sistem ke lingkungan. Jadi reaksi ini adalah reaksi eksoterm.

2). Pembuatan etanol dari hasil peragian glukosa Reaksi tersebut berlangsung lambat dengan hasil sampingan berupa gas CO 2 . Setelah reaksi berlangsung, suhu sistem lebih tinggi dari suhu lingkungan sehingga kalor akan mengalir dari sistem ke lingkungan. Reaksi ini adalah reaksi eksoterm.

Reaksi endoterm : DH = H P –H R >0

Reaksi eksoterm : DH = H P –H R <0

commit to user

Reaksi ini berlangsung cepat. Setelah urea melarut, suhu sistem lebih rendah dari suhu lingkungan sehingga kalor mengalir dari

lingkungan ke sistem. Reaksi ini adalah reaksi endoterm 4). Reaksi antara gas N 2 dengan gas O 2

Reaksi ini berlangsung pada suhu tinggi. Setelah reaksi berlangsung, suhu sistem mengalami penurunan sehingga kalor mengalir dari lingkungan ke sistem. Reaksi ini adalah reaksi endoterm.

(Parning dkk, 2006:50)

d. Jenis-jenis perubahan entalpi standar (∆H°)

1). Perubahan entalpi reaksi Perubahan entalpi dari suatu reaksi kimia disebut perubahan entalpi reaksi. Perubahan entalpi reaksi yang diukur pada keadaan standar (298 K, 1 atm) disebut perubahan entalpi reaksi standar, yang dinyatakan dengan lambang DH o reaksi atau DH 298 . Kondisi standar bagi berbagai

D H reaksi adalah 298 K dan 1 atm. Satuan DH adalah kJ dan satuan DH molar reaksi adalah kJ/mol. 2). Perubahan entalpi pembentukan Perubahan entalpi pada pembentukan 1 mol suatu zat langsung dari unsur-unsurnya dalam bentuk standar yang diukur pada 298 K dan 1 atm disebut perubahan entalpi pembentukan standar ( ∆H° f ). Dari pengertian tersebut, entalpi pembentukan standar dari CO 2(g) sebesar –393 kJ/mol berarti pada pembentukan 1 mol CO 2 dari unsur C dan O 2 dilepaskan

kalor sebesar 393 kJ. Persamaan termokimianya adalah :

C (s) + O 2(g) → CO 2(g) ; ∆H° f = –393 kJ/mol

3). Perubahan entalpi penguraian Reaksi penguraian adalah kebalikan dari reaksi pembentukan. Entalpi suatu reaksi sama dengan entalpi reaksi kebalikannya, tetapi tandanya menjadi berlawanan. Jadi, perubahan entalpi penguraian standar

( ∆H° d ) adalah perubahan entalpi dari suatu reaksi penguraian 1 mol zat menjadi unsur-unsurnya pada keadaan standar (298 K, 1 atm). Diketahui

commit to user

hidrogen dan gas oksigen adalah +286 kJ/mol, persamaan termokimianya adalah sebagai berikut :

H 2 O (l) → H 2(g) + ½O 2(g)

; ∆H° d = +286 kJ/mol 4). Perubahan entalpi pembakaran Reaksi suatu zat dengan oksigen disebut reaksi pembakaran. Zat-zat yang mudah terbakar adalah unsur karbon, hidrogen, belerang atau senyawa-senyawa dari unsur-unsur tersebut. Perubahan entalpi pada pembakaran sempurna 1 mol suatu zat yang diukur pada 298 K dan 1 atm

disebut perubahan entalpi pembakaran standar ( ∆H° c ). Misalkan ∆H° c dari metana adalah –802 kJ/mol, maka persamaan termokimianya adalah sebagai berikut :

CH 4(g) + 2O 2(g) → CO 2(g) + 2H 2 O (g) ; ∆H° c = –802 kJ/mol (Parning dkk, 2006:56-60)

e. Kalorimeter

Pengukuran jumlah kalor yang dilepaskan pada suatu reaksi kimia disebut kalorimetri. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur perubahan entalpi suatu reaksi disebut kalorimeter. Banyaknya kalor yang dibebaskan ataupun diserap diperoleh dengan menaruh suatu kuantitas yang ditimbang dari pereaksi-pereaksi dalam wadah, membiarkan reaksi berlangsung, dan kemudian mencatat perubahan temperatur dalam air di sekitarnya. Dari bobot bahan-bahan yang terlibat (air, hasil reaksi, dan kalorimeter), perubahan temperaturnya, dan kapasitas panas, maka banyaknya perubahan kalor selama reaksi dapat dihitung (Keenan, 1984:475).

Jumlah kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram zat sebesar 1 o C atau 1 K disebut kalor jenis. Kalor jenis dinyatakan dalam joule per gram per derajat Celcius (J g -1 o C -1 ) atau joule per gram Kelvin (J g -1 k -1 ). Secara umum berlaku rumus :

dengan : q = jumlah kalor (dalam joule)

q = m.c.Dt

commit to user

c = kalor jenis

D t = perubahan suhu (t akhir –t awal ) Jumlah kalor yang diperlukan oleh suatu zat atau suatu sistem untuk menaikkan suhu 1 o

C atau 1 K disebut kapasitas kalor (C). Kapasitas kalor dinyatakan dalam joule per derajat celcius (J o C -1 ) atau dalam joule per Kelvin (JK -1 ). Apabila kapasitas kalor diketahui, maka rumus menjadi sebagai berikut :

Dengan : q = jumlah kalor

C = kapasitas kalor

D t = perubahan suhu (t akhir –t awal ) (Michael Purba, 2000:28-29)

f. Hukum Hess atau hukum penjumlahan kalor

Berdasarkan hasil percobaan German H. Hess ,orang Swiss-Rusia, tentang kalor reaksi menyatakan bahwa apabila suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai penjumlahan aljabar dari dua atau lebih reaksi, maka kalor reaksi juga merupakan penjumlahan aljabar dari kalor yang menyertai reaksi-reaksi itu.

Hukum Hess pada dasarnya merupakan bagian dari hukum termodinamika pertama atau hukum kekekalan energi yang berkaitan dengan

reaksi kimia. Hukum ini menyatakan bahwa kalor reaksi yang dilepaskan atau diserap oleh suatu reaksi tidak bergantung dari kondisi zat-zat yang bereaksi dan zat-zat hasil reaksi. Salah satu contoh adalah pembakaran karbon (grafit). Jika karbon dibakar dengan oksigen berlebihan terbentuklah karbondioksida menurut persamaan :

(S) C +O 2(g) à CO 2(g)

DH = -394 kJ.………………………(1) Reaksi diatas dapat dilangsungkan menurut dua tahap. Mula-mula

karbon dibakar dengan oksigen yang terbatas sehingga membentuk karbon

q = C.Dt

commit to user

membentuk karbon dioksida. Persamaan termokimia untuk kedua reaksi yang terakhir ini adalah :

(S) C + 2 1 O 2(g) à CO (g)

DH = -111 kJ....................................(2)

CO + 2 1 O 2(g) àCO 2(g)

D H = -283 kJ………………....……(3) Jika kedua tahap di atas, persamaan (2) dan (3) dijumlahkan, maka diperoleh :

(S) C + 2 1 O 2(g) à CO (g)

DH = -111 kJ

CO + 2 1 O 2(g) àCO 2(g)

D H = -283 kJ

(S) C +O 2(g) à CO 2(g)

DH = -394 kJ

(Michael Purba, 2000:33) Hukum Hess dapat dinyatakan dalam bentuk diagram siklus atau diagram tingkat energi. Diagram siklus dan diagram tingkat energi untuk pembakaran karbon yang dibahas di atas diberikan pada Gambar 3.

Keadaan Awal Keadaan Akhir

D H 1 = -788 kJ Lintasan 1

DH 2 = -222 kJ DH 3 = -566 kJ

Lintasan 2

Gambar 3. Diagram siklus reaksi pembakaran grafit Diagram siklus pembakaran grafit diatas menurut 2 lintasan. Lintasan 1 langsung membentuk CO 2 , lintasan 2 mula-mula membentuk CO, kemudian

CO 2 . Jadi D H 1 = D H 2 + D H 3 .

2C (grafit) + 2O 2(g) 2CO 2(g)

2CO (g) +O 2(g)

commit to user

langsung, artinya tidak melalui eksperimen. Penentuan kalor reaksi dapat dilakukan melalui dua cara :

1). Berdasarkan kalor reaksi dari beberapa reaksi yang berhubungan.

Dalam hal ini reaksi-reaksi yang diketahui kalor reaksinya disusun sedemikian rupa sehingga penjumlahannya sama dengan reaksi yang diselidiki. Jika diketahui :

(1) S (s) +O 2(g) à SO 2(g)

DH = -296,8 kJ

(2) 2SO 2(g) +O 2(g) à 2SO 3(g)

DH = -197,8 kJ

Untuk menentukan perubahan entalpi dari reaksi : S (s) +

1 O 2(g) à SO 3(g)

Dapat dituliskan: S (s) +O 2(g)

à SO 2(g)

DH = -296,8 kJ

SO 2(g) +

O 2(g) à SO 3(g)

DH = -98,8 kJ

S (s) +

1 O 2(g) à SO 3(g)

D H = -395,7 kJ

2). Berdasarkan tabel entalpi pembentukan. Kalor suatu reaksi dapat juga ditentukan dari data entalpi pembentukan zat-zat pereaksi dan produknya. Dalam hal ini, zat-zat pereaksi dianggap terlebih dahulu terurai menjadi unsur-unsurnya, kemudian unsur-unsur itu bereaksi membentuk zat-zat produk. Secara umum untuk reaksi :

D H = SDH o f (produk) - SDH o f (pereaksi)

(Michael Purba, 2000:35)

commit to user

1). Energi ikatan. Reaksi kimia ada yang membebaskan kalor ada pula yang

menyerap kalor. Hal itu berhubungan dengan energi ikatan kimia dalam zat pereaksi dan energi dalam produknya.

Atom-atom dalam molekul dipersatukan oleh suatu gaya yang disebut ikatan kovalen. Untuk memutuskan ikatan antar atom itu diperlukan energi. Makin kuat ikatan antar atom maka makin besar energi yang diperlukan untuk memutuskannya.

Energi ikatan pada suatu molekul dwiatom didefinisikan sebagai energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan kovalen antara dua atom dalam 1 mol molekul berwujud gas. Energi ikatan dinyatakan dalam satuan kilojoule per mol (kJ Mol -1 ) dengan lambang D.

Untuk molekul yang terdiri atas tiga atau lebih atom digunakan pengertian energi ikatan rata-rata. Molekul yang mempunyai 2 atau lebih ikatan, jumlah energi dari semua ikatan dalam molekul seperti itu sama dengan entalpi standar reaksi endoterm yang digunakan untuk memutuskan semua ikatan dalam molekulnya sehingga molekul itu berubah menjadi atom-atom gasnya.

Contoh : jumlah energi dari 4 ikatan C-H dalam metana (CH 4 ) sama dengan entalpi standar reaksi endoterm berikut

D H o = 1.664 kJ

Maka energi ikatan rata-rata C-H, D C-H =

Nilai 416 kJ/mol ini merupakan energi ikatan rata-rata per mol ikatan C-H. Energi ikatan rata-rata adalah energi rata-rata per ikatan yang

H C H (g)

C (g) + 4H (g)

commit to user

penyusunnya. Energi ikatan antara dua atom bertambah besar, jika jumlah

pasangan elektron milik bersama bertambah banyak. Artinya ikatan rangkap tiga lebih kuat daripada ikatan rangkap dua dan ikatan rangkap dua lebih kuat daripada ikatan tunggal.

(Michael Purba, 2000:39) 2). Penentuan DH reaksi berdasarkan energi ikatan. Reaksi kimia dapat dibayangkan berlangsung dalam dua tahap, yaitu pemutusan ikatan pada pereaksi yang diikuti dengan pembentukan

ikatan pada produk. Oleh karena itu, perubahan entalpi reaksi sama dengan jumlah energi ikatan pereaksi yang putus dikurangi dengan jumlah energi ikatan produk yang terbentuk.

Entalpi reaksi yang dihitung berdasarkan harga entalpi pembentukan standar. Misalnya, entalpi reaksi pada pembakaran metana membentuk gas karbon dioksida dan uap air, menurut persamaan reaksi berikut ini :

CH 4(g) + 2O 2(g) à CO 2(g) + 2H 2 O (g)

Berdasarkan energi ikatan:

D H o = Senergi ikatan pereaksi yang putus - Senergi ikatan produk

yang terbentuk

D H = [4. D C-H + 2. D O=O ] - [2. D C=O + 4. D H-O ]

D H = [4(416 kJ) + 2(495 kJ)] + [2(799 kJ) + 4(463 kJ)]

D H = -796 kJ Jadi, berdasarkan entalpi pembentukan standar adalah -803,1 kJ mol -1 . Sedangkan energi ikatan reaksi ini adalah -796 kJ mol -1 .

(Michael Purba, 2000:40)

D H o = Senergi ikatan pereaksi yang putus - Senergi ikatan produk yang terbentuk

commit to user

Dalam memahami konsep baru yang diberikan oleh guru, tidak semua siswa mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama. Ada siswa yang benar-benar

memahami konsep yang diberikan guru sesuai dengan konsep para ahli, tetapi ada juga siswa yang mengalami miskonsepsi, bahkan ada juga siswa yang sama sekali tidak memahami konsep-konsep yang diberikan oleh guru.

Dalam materi termokimia, konsep yang terdapat di dalamnya berhubungan dengan konsep-konsep materi sebelumnya yang diberikan oleh guru misalnya konsep mol dan stoikiometri. Terjadinya pencampuran antara konsep-konsep yang baru diberikan oleh guru dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa serta adanya hambatan-hambatan siswa seperti intelegensi, keterbatasan siswa dalam memanfaatkan inderanya akan memungkinkan terjadinya miskonsepsi. Konsep dalam termokimia dapat dikelompokkan dalam tiga konsep yaitu klasifikasional, korelasional, dan teoritik. Adanya miskonsepsi pada konsep-konsep tersebut sangat dimungkinkan sehingga penelitian miskonsepsi perlu dilakukan.

C. Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia siswa kelas XI SMAN 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2008 / 2009.

2. Miskonsepsi kimia pada pembelajaran termokimia terjadi dalam bentuk konsep klasifikasional, korelasional dan teoritik.

3. Penyebab miskonsepsi yaitu kondisi siswa, interaksi antara guru dan siswa,

penggunaan buku pegangan, serta pemberian metode pembelajaran.

commit to user

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2 Sukoharjo yang beralamat di Jalan Raya Solo – Kartasura, Mendungan, Pabelan, Kartasura, Telp. (0271) 711615. Penelitian dilakukan terhadap kelas XI tahun pelajaran 2008/2009 pada semester ganjil atau semester 1 (Desember 2008).

B. Metode Penelitian

Sejalan dengan masalah dan tujuan yang ada maka penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif kualitatif. Tujuan dari metode ini adalah membuat gambaran atau mendeskripsikan secara faktual fakta-fakta yang diperoleh dari subjek penelitian.

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2010 : 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata sebagai sumber data dalam penelitian ini digali dari empat sumber sebagai berikut.

1. Peristiwa, yaitu proses belajar mengajar kimia khususnya yang terkait dengan masalah termokimia di kelas yang menjadi tempat penelitian.