PENANGGULANGAN HAMA DAN GULMA KELAPA SAW

PENANGGULANGAN HAMA DAN GULMA KELAPA SAWIT PADA
FASE TANAMAN BELUM MENGHASILKAN (TBM) DAN FASE
TANAMAN MENGHASILKAN (TM)

PAPER

OLEH :
RENY YESSICA HUTAGALUNG (160304134)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

1

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1. Latar Belakang......................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................3

1.3. Rumusan Masalah.................................................................................4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................5
2.1. Kelapa Sawit.........................................................................................5
2.2. Hama Sawit...........................................................................................5
2.3. Gulma....................................................................................................6
BAB III. PEMBAHASAN ....................................................................................8
3.1. Botani Kelapa Sawit.............................................................................8
3.2. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Belum Menghasilkan
(TBM)..........................................................................................................8
3.3. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Menghasilkan (TM)..............19
3.4. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Belum Menghasilkan
(TBM)........................................................................................................20
3.5. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Menghasilkan (TM).............23
BAB IV. PENUTUP............................................................................................25
4.1. Kesimpulan.........................................................................................25
4.2. Saran...................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................26

2


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit
di hutan Brazil dibandingkan Afrika. Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit
hidup subur diluar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan
Papua Nugini. Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan
perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengarah
pada kesejahteraan masyarakat, kelapa sawit juga sumber perolehan devisa negara
dan Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al.,
2008).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting
penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel).
Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan
dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Luas lahan
kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2009 yaitu 48.880.000 ha, pada 2010 yaitu
51.616.000 ha, pada 2011 yaitu 53.498.000 ha, pada tahun 2012 59.957.000 ha,
dan pada tahun 2013 yaitu 61.707.000 ha (BPS, 2013).

Data dari Direktorat Jendral Perkebunan (2008) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dari 4 713 435 ha
pada tahun 2001 menjadi 7.363.847 ha pada tahun 2008 dan luas areal perkebunan
kelapa sawit ini terus mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal tersebut

3

juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas. Produktivitas kelapa sawit
adalah 1.78 ton/ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 2.17 ton/ha pada
tahun 2005. Hal ini merupakan kecenderungan yang positif dan harus
dipertahankan. Untuk mempertahankan produktifitas tanaman tetap tinggi
diperlukan pemeliharaan yang tepat dan salah satu unsur pemeliharaan Tanaman
Menghasilkan (TM) adalah pengendalian hama dan penyakit.
Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi dari subsektor pertanian
yang berpeluang besar untuk meningkatkan perekonomian rakyat dalam
pembangunan perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor perkebunan dapat
menjadi penggerak pembangunan nasional karena dengan adanya dukungan
sumber daya yang besar, orientasi pada ekspor, dan komponen impor yang kecil
akan dapat menghasilkan devisa non migas dalam jumlah yang besar.
Produktivitas kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya yang

diterapkan. Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu kegiatan budidaya yang
sangat penting dan menentukan masa produktif tanaman. Salah satu aspek
pemeliharaan tanaman yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya kelapa
sawit adalah pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit
yang baik dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman.
Kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) adalah tanaman perkebunan yang
sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk
menghasilkan pertumbuhan yang sehat dan jagur serta menghasilkan produksi
yang tinggi dibutuhkan kisaran lingkungan tertentu (disebut juga syarat tumbuh
tanaman kelapa sawit). Faktor produktivitas utama pada tanaman kelapa sawit

4

yaitu genetis (bahan tanam), perlakuan kultur teknis, Kondisi (iklim,tanah,dan
wilayah) (Sulistyo, 2010).
Kehadiran gulma disekitar tanaman budidaya tidak dapat dielakkan,
terutama bila lahan pertanaman tersebut tak terkendalikan, Sebagai tumbuhan
gulma juga memerlukan persyaratan tumbuh seperti halnya tanaman lainnya,
misalnya kebutuhan cahaya, nutrisi, air, dan ruang(tempat) yang mengakibatkan
terjadinya asosiasi gulma di sekitar tanaman budidaya sehingga dapat menurunkan

mutu produksi. Gulma yang berasosiasi ini akan saling memperebutkan bahanbahan yang dibutuhkannya, apalagi bila jumlah sangat terbatas bagi keduanya
(Moenandir, 1998).
Pengendalian gulma pada prinsipnya merupakan usaha untuk meningkatkan
daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Pemeliharaan
tanaman di lapangan dikategorikan menjadi pemeliharaan Tanaman Belum
Menghasilkan

(TBM) dan

pemeliharaan Tanaman

Menghasilkan

(TM).

Pemeliharaan TBM bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif,
menjamin agar pertumbuhan tanaman homogen, sehingga dapat mempercepat
tanaman memasuki fase TM. Sedangkan pemeliharaan TM dan dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari produksi kelapa sawit.
1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari bagaimana penanggulangan hama dan gulma pada kelapa sawit
(Elais guineensis Jack.) pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) dan pada
fase tanaman menghasilkan (TM).

5

1.3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penanggulangan hama pada fase tanaman belum
menghasilkan (TBM) ?
2. Bagaimana penanggulangan hama pada fase tanaman menghasilkan
(TM) ?
3. Bagaimana penanggulangan gulma pada fase tanaman belum
menghasilkan (TBM) ?
4. Bagaimana penanggulangan gulma pada fase tanaman belum
menghasilkan (TM) ?

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit
Kelapa sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad
ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan
industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan)
yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25–30
tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Produk utama kelapa sawit adalah
CPO dan CPKO, yang selanjutnya menjadi bahan baku industri hilir pangan
maupun non pangan. Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang
dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan
dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan
tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol.
Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan
dari

tahun

ke

tahun


mengalami

peningkatan

yang

cukup

besar

(Sastrosayono, 2003).
2.2. Hama Sawit
Pesatnya industri yang memerlukan bahan baku kelapa sawit hams
didukung oleh keberadaan bahan baku yang berkualitas. Peikebunan kelapa sawit
memerlukan penanganan dan pengelolaan yang intensif dan juga memerlukan
teknologi yang maju untuk meningkatkan produksi. Tidakan yang dapat dilakukan
untuk mencapai tairet dimulai dari teknik budidaya, yaitu berupa: pembibitan,
penanaman, pemupukan, pemeliharaan, dan pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT). Menurut Untung (2001), pengendalian hama tanaman sangat

menentukan kualitas dan kuantitas dari produksi tanaman.
Hama yang menyerang Tanaman Belum Mraghasilkan (TBM) dan
Tanaman yang sudah Menghasilkan (TM) tidak selaiu sama (Risza, 1994). Hama
yang menyerang setiap stadia tanaman tidak selaiu sama diakibatkan kepentingan
hama akan nutrisi yang dibutuhkan berbeda-beda. Ulat Pemakan Daun Kelapa

7

Sawit (UPDKS) mempakan hama utama yang bersifat permanen pada tanaman
kelapa sawit. Menurut LUIHS (1992) hama utama yang bersifat permanen seperti
ulat api Setora nitens, Setothosea asigna dan Darna trima harus terus dimonitor
karena suatu waktu dapat menimbulkan ledakan populasi yang mengakibatkan
kerugian secara ekonomis. Tetapi ada juga hama yang bersifat sementara seperti
gajah, babi hutan, landak, dan hama lain yang sering mengganggu tanaman kelapa
sawit.
Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS) khususnya ulat api S. nitens
pada umumnya menyerang daun pada pelepah bagian atas (Taftazani, 2006). Daun
pada pelepah bagian atas mempakan makanan yang sesuai bagi S. nitens karena
daun kelapa sawit masih muda dan lunak.
Selama ini petani dan pihak pemsahaan memakai cara manual dan

menggunakan insektisida dalam mengendalikan ulat api S. nitens. Sudharto
(2001) menyatakan bahwa pemakaian pestisida yang tems menerus dan tidak
bijaksana menyebabkan resistensi hama meningkatnya populasi hama sekunder,
terbunuhnya agens hayati dan berdampak negatif bagi lingkungan.
2.3. Gulma
pada Lahan Perkebunan Gulma adalah jenis tumbuhan yang berasosiasi
dengan tanaman budidaya dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma
dikenal dalam ilmu pertanian karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam
habitat buatan manusia tersebut. Kompetisi antara gulma dan tanaman terjadi
karena keterdekatan dalam ruang tumbuh yang berakibat pada terjadinya interaksi.
Interaksi yang terjadi antara gulma dan tanaman budidaya dapat terjadi baik
interaksi positif maupun interaksi negatif. Interaksi negatif ialah peristiwa
persaingan antar dua jenis spesies yang berbeda, yaitu persaingan antara gulma
dan tanaman budidaya. Kompetisi tersebut terjadi apabila bahan faktor tumbuh
yang dipersaingkan berada di bawah kebutuhan para pesaing tersebut
(Moenandir, 2010).
Tumbuhan yang berstatus gulma selalu dinilai merugikan manusia.
Batasan gulma yang paling tepat adalah tumbuhan yang merugikan manusia.

8


Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma meliputi beberapa aspek kehidupan
manusia dan bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian yang bersifat
langsung, 13 misalnya menjadi kontaminan produk pertanian, melukai petani,
menaikkan biaya produksi, menyita waktu petani, atau merusak alat—alat
pertanian. Kerugian yang bersifat tidak langsung misalnya menjadi pesaing
tumbuh tanaman sehingga menurunkan hasil pertanian, pencemaran lingkungan
akibat herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma, atau mempengaruhi
organisme

asli

suatu

daerah

akibat

habitatnya

diganggu

oleh

gulma

(Sembodo, 2010).
Karena dianggap merugikan, maka gulma oleh manusia dikendalikan. Ada
enam metode pengendalian gulma, yaitu preventif atau pencegahan, mekanik atau
fisik, kultur teknis, hayati, kimia, dan terpadu. Dalam praktik budidaya tanaman,
berbagai metode sudah lazim digunakan, baik oleh petani kecil maupun
perusahaan besar. Langkah ini ditempuh karena tidak satupun metode
pengendalian dapat mengatasi masalah gulma di lapangan secara tuntas dan
ekonomis bila dilakukan secara terpisah (Sembodo, 2010).
Pada perkebunan besar pada umumnya metode yang sering digunakan
yaitu metode kimia, yaitu menggunakan herbisida. Contoh gulma yang dominan
di areal pertanaman kelapa sawit adalah Imperata cylindrica, cyperus rotundus,
Otthochloa nodosa, Melostoma malabatricum, Lantana camara, Gleichenia
linearis, dan sebagainya (Sumaryanto, 2008).

9

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Botani Kelapa Sawit
Menurut Pahan (2008), kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Embryophita Siphonagama

Kelas

: Angiospermae

Ordo

: Monocotyledon

Famili

: Arecaceae

Subfamily

: Cocoidea

Genus

: Elaesis

Species

: E. quineensis Jacq.
E. Oleifera
E. odora.

Tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian
vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar,
batang,

dan

daun,

sedangkan

bagian

generatif

yang

merupakan

alat

perkembangbiakan terdiri dari bunga dan buah (Fauzi et al., 2008).
3.2. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit antara lain ulat
api,ulat kantung dan penggerek tandan buah.
a. Ulat Api
Ulat api merupakan salah satu hama penting tanaman kelapa sawit. Terdapat
banyak spesies ulat api yang menyerang pertanaman kelapa sawit di Sumatera

10

Utara antara lain: Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Birthosea
bisura, dll. Hasil pengamatan Kepala Unit Pembinaan Perlindungan Tanaman
(UPPT) Damuli Kabupaten Labuhanbatu Utara menunjukkan bahwa pada Bulan
Januari 2013, terdapat eksplosif serangan hama ulat api di perkebunan kelapa
sawit milik petani di Dusun X Desa Bandar Manis Desa Kuala Beringin
Kecamatan Kualuh Hulu dengan luas serangan berat ±50 Ha dan ringan 100 Ha.
Jenis ulat yang menyerang adalah Setothosea asigna terlihat dari morfologi ulat
yaitu ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di
punggungnya.

Gambar 1. Ulat api Setothosea asigna
Sumber : Purba, dkk. (2005)

Berikut ini biologi dari Setothosea asigna (Purba, dkk., 2005) tersebut:
1. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di
punggungnya;
2. Panjang ulatnya 30-36 mm dan lebarnya 14 mm;

11

3. Telur diletakkan berderet 3-4 baris pada permukaan bawah daun. Stadia telur 6
hari. Jumlah telur yang bisa dihasilkan betina sebanyak 300-400 butir.
4. Seekor ulat mampu memakan 300-500 cm² daun. Stadia ulat lamanya 50 hari;
5. Kepompong umumnya berada sedikit di bawah permukaan tanah. Stadia
kepompong 35-40 hari.

Gambar 2. Daun-daun kelapa sawit melidi karena habis dimakan ulat api
Sumber: Laboratorium Lapangan BBP2TP Medan (2011).

Dalam rangka pengendalian hama ulat api yang sudah eksplosif maka
tindakan cepat perlu segera dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar
dan mengingat serangan dapat meluas serta menghabiskan seluruh daun kelapa
sawit yang ada. Tindakan cepat yang perlu dilakukan adalah penyemprotan
insektisida kimia (fongging) dengan insektisida berbahan aktif dari golongan
piretroid sintetis seperti Deltamethrin (Decis) yang bersifat racun kontak dan
lambung. Insektisida ini diaplikasikan pada masa larva mulai instar dua, tiga,
empat dan lima. Pada fase instar kelima, lapisan lilin ulat api sudah menebal,
sehingga diperlukan jumlah produk dengan konsentrasi yang lebih tinggi (Hendro
dan Qayuum, 2012). Aplikasi dilakukan dengan cara fogging pada sore hingga
malam hari yaitu saat imago dan ulat sedang aktif.

12

Fulsfog K-22 Bio
Symfog

Gambar 3. Alat fogger untuk mengendalikan ulat api
Sumber : Susanto (2011)
Untuk pencegahan dan pengendalian jangka panjang beberapa tindakan
yang dapat dilakukan oleh petani/pemilik kebun kelapa sawit adalah sebagai
berikut:
1. Pengamatan (monitoring) untuk sensus populasi
a. Pengamatan global
 Dilakukan setiap bulan walaupun tidak ada serangan ulat api
 Jumlah sampel minimal 2 pelepah (pelepah daun atas dan tengah)/1
pohon/ha, lebih banyak pelepah dan pohon yang diamati maka akan
semakin baik.
 Dihitung jumlah ulat (larva) pada setiap pelepah, populasi kritis
(5-10 ulat/pelepah).
 Melaporkan hasil pengamatan kepada petugas UPPT.
b. Pengamatan efektif
 Dilakukan hanya pada blok dengan populasi di atas pada populasi kritis
(5-10 ulat/pelepah)
 Jumlah sampel minimal 5 pelepah/5 pohon sampel/ha, lebih banyak pelepah
dan pohon yang diamati maka akan semakin baik

13

 Pengamatan efektif dilakukan setelah dicapai populasi kritis.
 Bila populasi ulat melebihi populasi kritis berarti populasi telah melebihi
Ambang Ekonomi (AE) hama tersebut.
2. Pengendalian secara fisik/mekanis
 Pengutipan dan pemusnahan ulat (instar 1-7) pada daun-daun yang
terjangkau.
 Pengutipan ulat (instar 8-9) dan kepompong yang terdapat di sekitar
piringan pohon.
 Sanitasi dan pengendalian gulma khususnya di piringan pohon agar mudah
mencari ulat dan kepompong.
3. Pengendalian hayati
Menggunakan mikroorganisme entomopatogenik
Pemanfaatan mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau
bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis. Khususnya untuk pencegahan
atau pengendalian jangka panjang. Pengendalian ulat api menggunakan bahan
alami terbukti lebih efektif dan efisien (hanya 7% dari biaya pengendalian secara
kimiawi).Jenis-jenis organisme entomopatogenik yang dapat digunakan adalah:
a. Virus ß Nudaurelia dan Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV) untuk
mengendalikan ulat.
b. Jamur Cordyceps militaris efektif untuk mengendalikan pupa/kepompong hama
tersebut.

Gambar 4. Jamur Cordyceps militaris memarasit pupa S. asigna
Sumber : Susanto (2011)

14

4. Konservasi musuh alami dengan menyediakan makanan bagi parasitoid
dan predator ulat api
Untuk mengembangkan parasitoid dan predator petani perlu menanam
tanaman yang dapat dijadikan sumber pakan (nektar), sebagai tempat tinggal serta
berlindung. Tanaman penutup tanah (tanaman kacangan) juga dapat mengurangi
populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.
Jenis-jenis parasitoid dan predator serta tanaman sumber pakan dan tempat
tinggal yang sudah dikenal dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jenis tanaman sumber pakan/tempat tinggal bagi parasitoid dan
predator hama ulat api
No

Parasitoid & Predator

Jenis Tanaman

Fungsi Tanaman

.
Predator
1.

Euchantecona

-

Antigonon

-Sumber pakan

leptosus
2.

Furcellata Sycanus
leucomesus

-

Elephantopus

-Tempat

tomentosus

tinggal/berlindung

Parasitoid
1.

Trichogrammatoide
athoseae

- Turnera subulata

- Sumber pakan

- Turnera ulmifolia

- Tempat
tinggal/berlindung

2.

Brachymeria lasus

- Euphorbia
heterophylla

3.
4.

Spinaria spinator

- Cassia tora

Apanteles aluella

- Elephantopus

15

tomentosus
5.

Fornicia ceylonica

- Boreria alata

6.

Dll

- Antigonon leptosus

Gambar-gambar dari tanaman-tanaman sumber pakan dan tempat berlindung
parasitoid serta predator dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 5. Antigonon leptosus (air mata pengantin)
Sumber: Laboratorium Lapangan (2008)

Gambar 6. Turnera ulmifolia
Sumber: Plantoftheweek (1999)

Gambar 7. Euphorbia heterophylla
Sumber: Susanto (2011).

16

Gambar 8. Cassia tora
Sumber: Susanto (2011)

Gambar 9. Elephantopus tomentosus

Gambar 10. Boreria alata

b. Ulat Kantung
Ciri khas utama dari ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah
bangunan mirip kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai
bunga tanaman inang, di sekitar daerah serangan. Ciri khas yang lain yakni
pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantong mereduksi
dan tidak mampu untuk terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari
betina karena bau feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga
17

jantan(Utomo et al., 2007). Karena sifat yang khas ini maka dikatakan jenis
ulat ini sebagai ulat kantong. Tingkat populasi kritis adalah 5-6 ekor/pelepah.
Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur antara 2000-3000 butir.
Telur menetas dalam waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif
dan bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar
dengan bantuan angin, terbawa manusia atau binatang.
Serangan ulat kantong ditandai dengan kenampakan tajuk tanaman yang
kering seperti terbakar. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat
kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur
lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran
ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling
bersinggungan.
Metode Pengendalian Hama Ulat Kantong (Mahasena corbetti)
a. Pengendalian Secara Biologis
Parasitoid yang sering digunakan untuk mengendalikan hama ulat kantong
antara lain parasitoid primer dan sekunder, serta predator mempengaruhi populasi
ulat Mahasena corbetti. Telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator
hama

pemakan

daun

(Prawirosukarto,

2002).

Penggunaan Bacillus

thuringiensis (Bt) sebagai insektisida biologi. Contoh produk Bt yaitu Dipel WP,
Turex WP, Bactospene WP.
b. Pengendalian Secara mekanis
Pengendalian hama secara mekanis mencakup usaha untuk menghilangkan
secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis
ini biasanya bersifat manual, yaitu dengan cara pemangkasan pelepah yang
terdapat banyak larva ulat, mengambil larva yang sedang menyerang dengan
tangan secara langsung, menumpuk dan kemudian membakarnya.
c.

Pengendalian Secara Kimia

Ulat kantong dapat dikendalikan dengan penyemprotan atau dengan injeksi
batang menggunakan insektisida. Jenis insektisida yang biasa digunakan

18

menggunakan bahan aktif Deltametrin. Contoh produknya adalah Decis 25 EC
dengan dosis anjuran 200-300 ml/Ha.
d. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian hama terpadu merupakan perpaduan atau kombinasi
pengendalian hama secara terpadu (biologi) dan pengendalian secara kimia.
Dalam hal serangan hama yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, pihak
perkebunan mempunyai cara masing-masing dalam pengendaliannya seperti
pemakaian insektisida kimia, menggunakan musuh alami serta menggunakan
jebakan hama.
c. Penggerek Tandan Buah
Hama penggerek tandan buah adalah ngengat Tirathaba mundella. Hama ini
meletakkan telurnya pada tandan buah, dan setelah menetas larvanya (ulat) akan
melubangi buah kelapa sawit. Tirathaba mundella banyak menyerang tanaman
kelapa sawit muda berumur 3-4 tahunan, tetapi pada kondisi tertentu juga ditemui
pada tanaman tua. Gejala serangannya berupa bekas gerekan yang ditemukan pada
permukaan buah dan bunga. Bekas gerekan tersebut berupa faeces dan serat
tanaman.
Larva Tirathaba mundella dapat memakan bunga jantan maupun bunga
betina. Larva menggerek bunga betina, mulai dari bunga yang seludangnya baru
membuka sampai dengan buah matang. Bunga yang terserang akan gugur dan
apabila ulat menggerek buah kelapa sawit yang baru terbentuk sampai ke bagian
inti maka buah tersebut akan rontok (aborsi) atau berkembang tanpa inti.
Akibatnya fruitset buah sangat rendah akibat hama ini. Buah muda dan buah
matang biasanya digerek pada bagian luarnya sehingga akan meninggalkan cacat
sampai buah dipanen atau juga menggerek sampai inti buahnya. Sisa gerekan dan
kotoran yang terekat oleh benang-benang liur larva akan menempel pada
permukaan tandan buah sehingga kelihatan kusam. Pada serangan baru, bekas
gerekan masih berwarna merah muda dan larva masih aktif di dalamnya.
Sedangkan pada serangan lama, bekas gerek berwarna kehitaman dan larva sudah
tidak aktif karena larva telah berubah menjadi kepompong. Serangan hama ini
dapat menyebabkan buah aborsi.
19

d. Tungau
Tungau yang menyerang tanaman kelapa sawit adalah tungau merah
(Oligonychus). Bagian diserang adalah daun. Tungau ini berukuran 0,5 mm, hidup
di sepanjang tulang anak daun sambil mengisap cairan daun sehingga warna daun
berubah menjadi mengkilat berwarna kecoklatan. Hama ini berkembang pesat dan
membahayakan dalam keadaan cuaca kering pada musim kemarau. Gangguan
tungau pada persemaian dapat mengakibatkan rusaknya bibit. Pengendalian
terhadap tungau merah ini dapat dilakukan dengan penyemprotan dengan
akarisida yang berbahan aktif tetradion 75,2 gr/lt (Tedion 75 EC) disemprotkan
dengan konsentrasi 0,1-0,2%.
e. Nematoda Rhadinaphelenchus cocophilus
Hama ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Serangan nematoda
Rhadinaphelenchus cocopilus menimbulkan gejala berupa daun-daun muda yang
akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak. Selanjutnya daun berubah
warna menjadi kuning dan mengering. Tandan bunga membusuk dan tidak
membuka,

sehingga

tidak

menghasilkan

buah.

Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan cara tanaman yang terserang
diracun dengan natrium arsenit. Untuk memberantas sumber infeksi, setelah
tanaman mati atau kering dibongkar lalu dibakar.
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara:
* Sanitasi buah busuk dan terserang
* Buah busuk dikumpulkan pada satu lubang yang diaplikasi insektisida
Fipronil dan ditutup dengan tanah
* Aplikasi dengan insektisida sistemik yaitu Fipronil dengan konsentrasi 7,5
ml/ 15 liter, dengan volume semprot 370-400 liter / ha supaya buah benarbenar basah tersemprot insektisida. Karena stadia yang ada bermacammacam maka perlu aplikasi susulan yaitu 2 minggu setelah aplikasi
pertama. Aplikasi terakhir atau ketiga dilakukan pada 1 bulan setelah
aplikasi. Hal ini dilakukan karena daur hidup hama ini sekitar 1 bulan.

20

Aplikasi semprot diusahakan jangan bersamaan pada semua kebun diatur
supaya tidak ikut mati dan menurun populasinya.
* Menurunkan kelembaban dengan pengendalian gulma
* Monitoring serangan hama selalu dilakukan. Monitoring populasi
dilakukan dengan mengamati jumlah dan intensitas serangan pada tandan
buah kelapa sawit, pohon per pohon, setiap sebulan sekali. Pada tanaman
kelapa sawit tua dianjurkan untuk digunakan teropong. Apabila 30% dari
tanaman kelapa sawit dapat dijumpai paling tidak satu tandan buah
terserang hama ini sampai 50% (pada tanaman muda) atau 60% (pada
tanaman tua), maka perlu dilakukan tindakan pengendalian.
f. Kumbang Oryctes rhinoceros
Serangan hama ini cukup membahayakan jika terjadi pada tanaman muda,
sebab jika sampai mengenai titik tumbuhnya menyebabkan penyakit busuk dan
mengakibatkan kematian.Pengendalian kumbang ini dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan kebun, terutama di sekitar tanaman. Sampah-sampah dan
pohon yang mati dibakar, agar larva hama mati. Pengendalian secara biologi
dengan menggunakan jamur Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus
oryctes.

3.3. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Menghasilkan (TM)
a. Tikus
Hama tikus merupakan hama utama pada perkebunan kelapa sawit. Pada
tanaman kelapa sawit yang baru ditanam, hama tikus dapat menyebabkan
kematian hingga 20 – 30 %, dan kerusakan yang ditimbulkan adalah pelepah

21

sampai titik tumbuh pada tanaman muda, bunga dan buah pada tanaman yang
menghasilkan. Pengendalian hama tikus secara biologis

telah berhasil

dikembangkan sebagai bagian dari pengendalian hama terpadu. Hasil dari kajian
ini adalah :
(1). Pengendalian hama tikus dengan menggunakan burung hantu dapat
secara efektif menurunkan serangan tikus dari serangan tikus berat (>20%)
menjadi serangan ringan (10-20%),
(2). secara ekonomi penggunaan predator burung hantu dapat menghemat
biaya pengendalian hama tikus sebesar Rp. 38.900/ha/tahun, jika dibandingkan
dengan penggunaan umpan (campaign) baik pada tanah mineral maupun tanah
gambut,
(3). Secara manajemen, mudah dilakukan dan untuk mempermudah
pengawasan dapat dibuat tabel monitoring dalam botol air mineral bekas yang
ditempelkan di tiang gupon.

3.4. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Sebanyak 22,5% petani sampel menggunakan teknik pengendalian gulma
dengan menggunakan kimia dan 77,5% menggunakan cara kimia mekanik. Alasan
petani sampel yang lebih banyak menggunakan kimia mekanik adalah karena
banyaknya gulma yang berbatang keras, sehingga perlu dengan cara mekanik dulu
baru dengan kimia. Jika dilakukan dengan kimia saja banyak gulma yang tidak
mati. Sedangkan alasan petani sampel menggunakan bahan kimia dalam
pengendalian gulma adalah efeknya relatif cepat dibandingkan dengan hanya
menggunakan cara mekanik (Tabel 10).

22

Tabel 10. Distribusi petani sampel berdasarkan teknik pengendalian gulma
No

Teknik Pengendalian

.

Petani

Pengendalian Gulma

Gulma

1

Kimia

Yang Ideal*
Jumlah

Presentase

(Jiwa)

(%)

9

22,5

Babat 4 kali/tahun,
Round

2

Mekanik

-

-

Up

2-3

1/ha/th,

Gramaxone
3

*

Kimia Mekanik

31

77,5

Jumlah

40

100

9-16 1/ha/th

Disbun Kabupaten Rokan Hilir

Pengendalian gulma atau tanaman liar dalam arti sempit disebut
penyiangan.Gulma yang tumbuh disekitar tanaman kelapa sawit perlu
dibersihkan.Pengendalian gulma oleh petani sampel dilakukan 2 kali per tahun.
Petani sampel dalam mengendalikan gulma (kimia) menggunakan paratop
276 SL digunakan untuk menyemprot tanaman belum menghasilkan (TBM)
dengan dosis 1,5 – 2 liter per hektar. Sedangkan untuk Round-Up dilakukan
sekali setahun dengan dosis 2 – 3 liter per hektar.
Pengendalian gulma pada tanaman belum menghasilkan (TBM) dilakukan
untuk mengurangi kompetisi unsur hara antara kelapa sawit dengan gulma
(Pahan, 2008). Pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit TBM
dilakukan pada areal gawangan dan piringan. Pembukaan piringan dilakukan
setelah tanaman kacangan menutup lahan tanaman kelapa sawit. Jari-jari
piringan bergantung pada umur tanaman, umumnya berkisar antara 0.75 - 2.50
m. Pemeliharaan harus dilakukan dengan hati-hati, baik secara manual maupun
kimia (Syamsuddin et al., 1999).

23

Pengendalian gulma pada piringan secara manual dilakukan dengan cara
penggarukan. Penggarukan dilakukan untuk mengendalikan gulma dan
memperbesar radius piringan berdasarkan perkembangan tajuk tanaman.
Penggarukan dilakukan dengan garuk bertangkai panjang, ke arah dalam dan
luar piringan agar tidak terjadi cekungan di piringan, dan dijaga agar pelepah
daun tidak terpotong pada waktu penggarukan (Lubis, 2008).
Peralatan yang digunakan antara lain cangkul, garuk, dan parang babat.
Rotasi dilakukan satu kali dalam satu bulan, dengan keperluan tenaga kerja 1 - 2
HK/ha untuk setiap kali rotasi. Jumlah keperluan tenaga kerja dipengaruhi oleh
jari-jari piringan serta kerapatan tanaman (Syamsuddin et al., 1999).
Menurut Syamsuddin et al. (1999) pengendalian gulma secara kimia pada
piringan menggunakan herbisida purna tumbuh. Penyemprotan harus dilakukan
dengan hati-hati dan terarah pada piringan dan pasar rintis. Jika titik tumbuh
kelapa sawit terkena semprotan herbisida, maka pertumbuhan tanaman
selanjutnya akan abnormal atau melengkung. Sedangkan menurut Lubis (2008)
pengendalian gulma secara kimia pada piringan dilakukan menggunakan
herbisida pra tumbuh. Pemakaian herbisida jenis ini harus dilakukan dengan
hati-hati karena dapat menimbulkan abnormalitas pada pertumbuhan tanaman
dan pembungaan seperti partenokarpi, hermaprodit, mantled dan androgynous.
Pengendalian gulma secara manual pada gawangan dilakukan pada waktu
membangun tanaman kacangan penutup tanah, maka penggarukan dimulai pada
saat penanaman kacangan. Rotasi pada 6 bulan pertama setelah penanaman
dapat dilakukan 2 minggu sekali, pada periode 3 bulan pertama memerlukan
tenaga kerja 20 - 30 HK/ha, dan 3 bulan berikutnya memerlukan 4 - 6 HK/ha
untuk setiap rotasi. Rotasi berikutnya dapat dilakukan sebulan sekali dengan
pemakaian tenaga kerja 3 - 4 HK/ha setiap rotasinya (Syamsuddin et al., 1999).
Pengendalian gulma pada gawangan secara manual dilakukan dengan cara
mencabuti dan menggulung gulma yang tumbuh menjalar, gulma berkayu harus
dipotong dan didongkel agar tidak tumbuh kembali (Lubis, 2008).

24

Pengendalian gulma pada gawangan secara kimia menggunakan herbisida
pra tumbuh yang diaplikasikan bersamaan pada waktu membangun tanaman
kacangan penutup tanah. Rotasi pada periode tiga bulan pertama yang
dianjurkan adalah sekali dalam dua minggu, selanjutnya rotasi dapat dilakukan
sebulan sekali tergantung pada perkembangan tanaman kacangan penutup tanah.
Herbisida pra tumbuh yang dianjurkan adalah herbisida dengan bahan aktif
Ametryne, Diuron, Atrazine dan Asulan. Penyemprotan dilakukan 1 - 2 hari
sebelum atau setelah penananaman kacangan (Syamsuddin et al., 1999).

3.5. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Menghasilkan (TM)
Pengendalian gulma pada tanaman kelapa sawit TM dilakukan untuk
menjaga kualitas dan kuantitas panen. Pengendalian gulma pada tanaman kelapa
sawit TM dilakukan pada areal piringan, gawangan, pasar rintis, dan TPH.
Teknik pengendalian gulma yang dilakukan adalah pengendalian gulma secara
mekanis dan kimia (Pahan, 2008).
Rotasi pengendalian gulma secara manual dilaksanakan secara bersamaan
pada piringan, pasar rintis, TPH dan gawangan. Pengendalian gulma secara
manual dilakukan dengan membabat dan mendongkel. Tanah yang mudah
terkena erosi sebaiknya dilakukan dengan cara dibabat saja. Pengendalian gulma
secara manual dapat menimbulkan cekungan, merusak akar, dan biayanya mahal
(Lubis, 2008).
Pengendalian gulma secara kimia pada tanaman kelapa sawit TM dapat
menggunakan herbisida pra tumbuh dan purna tumbuh. Herbisida purna tumbuh
yang dapat digunakan berbahan aktif Fluroksyfyr, Glifosat, Dicamba,
Dalapon,dan Dicamba. Herbisida pra tumbuh yang dapat digunakan berbahan
aktif Alpachlor, Prometryne, Amertryne, dan Triazine (Lubis, 2008).
Bahan aktif herbisida yang tepat digunakan untuk pemberantasan gulma di
sekitar piringan dan pasar rintis adalah Paraquat dan Glifosat, dengan rotasi 2 - 3
kali setiap bulan untuk Paraquat dan 4 - 5 kali untuk Glifosat. Bahan aktif

25

herbisida yang tepat digunakan untuk pengendalian gulma pada gawangan
adalah 2,4 - D dimetil amin dan Glifosat (Syamsuddin, et al., 1999).
Gulma yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit TM tidak semuanya
untuk diberantas. Jenis gulma tahunan sperti rumput lunak, berakar dangkal, dan
tidak tumbuh tinggi di gawangan, tanaman tersebut masih dapat ditoleransi
untuk tidak dikendalikan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah tanah gundul
sehingga mengurangi terjadinya erosi (Pahan, 2008).
Penyakit yang banyak ditemui pada TBM adalah :
 Penyakit tajuk yang disebabkan faktor genetis dengan ciri-ciri adanya
pembusukan berwarna coklat yang menyebar melalui bagian tengah dan
menyebabkan anak daun terputus-putus.
 Penyakit busuk tandan yang disebabkan pathogen marasmiuspalmivorus.
Ditandai dengan adanya miselia cendawan berwarna putih pada kulit buah
dan tandan. Faktor yang mendorong timbulnya penyakit ini adalah
kebersihan kebun, piringan pohon sempit/kecil, penunasan terlambat,
defisiensi hara dan tingginya curah hujan.
 Penyakit busuk pangkal batang (BPB)

yang

disebabkan

oleh

jamur Ganoderma boninense. Penularan penyakit melalui pertautan antara
akar sehat dan akar sakit, atau melalui spora yang disebarkan oleh angin.
Gejala awal terlihat pada daun TBM mengalami clorosis yang berlanjut
mengeringnya anak daun dan pelepah, serta terjadinya pembusukan pada
jeringan pangkal batang dan akhirnya tanaman mati. Pengendalian hayati
untuk Ganoderma dilakukan dengan pemberianTrichoderma spp. Penyakit
ini juga banyak dijumpai pada tanaman menghasilkan (TM).
Penyakit yang sering dijumpai pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM),
yaitu:busuk pangkal batang yang disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense,
cara pengendaliannya yaitu dengan menggunakan agen hayatiTrichoderma spp.
Layu fusarium yang disebabkan jamur Fusariumoxysporum, cara pengendalian
dengan agen hayati Trichodermaspp. Penyakit lain yang sering dijumpai pada TM
yaitu gejala-gejala kahat hara.

26

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan
mengalami gangguan oleh binatang, organisme kecil (virus, bakteri dan jamur)
ataupun tumbuhan mengganggu lain (gulma). Hewan dan tumbuhan dapat disebut
hama karena mereka mengganggu tumbuhan dengan memakannya dan bersaing
untuk mendapatkan unsure hara dan sinar matahari.

4.2. Saran
Adapun saran dari kelompok kami untuk mahasiswa ialah untuk lebih
mencari dari banyak sumber tentang bagaimana penanggulangan hama dan gulma
pada tanaman kelapa sawit baik pada fase TBM maupun TM,dan untuk petani
agar lebih mengenal dengan tepat bagaimana cara menanggulangi hama dan
gulma pada kelapa sawit yang ditanam demi menghasilkan hasil yang maksimal.

27

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia.
Fauzi, Y., Y. E. Widyastuti, I. Sayawibawa, R. Hartono. 2008. Kellapa Sawit (Budi
Daya Pemanfaatan Hasil & Limbah Analisis Usaha & Pemasaran). Edisi
Revisi. Cetakan XXIII. Penebar Swadaya. Bogor. Hlm 32-38.
Hendro, R dan Qayuum, 2012. PT Bayer Indonesia : Agar Efektif Kendalikan.
Ulat Api.
Lubis A. U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Moenandir Jody. 1998. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma (Ilmu
Gulma-Buku III). RajaGrafindo Persada. Jakarta Utara.
Moenandir Jody. 2010. Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press. Malang.
Pahan, I. 2008. Panduan Teknis Budidaya Kelapa Sawit. PT Indopalma Wahana
Hutama. Jakarta.
Prawirosukarto, S. 2002. Pengenalan & Pengendalian Hama Ulat Pada Tanaman
Kelapa Sawit. Medan : Pusat Penelitian Kelapa sawit. 5 hal
Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta. 63
Halaman.
Sembodo, R, J, Dad. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yoygakarta.
Sulistyo. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Balai Pustaka. Jakarta.
Sulistyo Bambang, dkk. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS). Medan.
Sudharto. 1991. Hama Tanaman Kelapa Sawit Dengan Cara Pengendaliannya.
Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Pematang Siantar.
Sudharto. 2001. The Biological Control of Nettle Caterpillar S. Asigna in Oil
Palm Plantations Using Entonopathoenic Micriirganisms, Newspaper of
Iptek. Deptan.
Taftazani. 2006. Identifikasi Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis
Jacq.) di PT Edakura Indonesia

28