ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI pdf

ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: Makhfira Nuryanti, S.Ud
Mulai dari pertengahan abad ke-19, negara-negara dunia Muslim mulai
banyak bersentuhan dengan industri, komunikasi, lembaga-lembaga, dan gagasangagasan politik yang berasal dari Barat, terutama negara-negara Eropa. Tidak bisa
dipungkiri bahwa masalah utama yang kini sedang gencar menggerogoti setiap
lapisan manusia di berbagai negara ialah permasalahan politik. Kekejaman dunia
politik dapat meluluhlantakkan tataran kemanusiaan di seluruh dunia, terutama
umat Muslim.
Maka dari itu mulai banyak bermunculan tawaran-tawaran yang mencoba
menjawab permasalahan politik tersebut. Salah satu istilah yang sangat familiar
dalam panggung perpolitikan dan bahkan masih terus menjadi perdebatan di
kalangan intelektual Muslim ialah demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu
fenomena penting yang mewarnai transformasi masyarakat global, terutama pada
negara-negara yang berkembang, termasuk negara yang mayoritas penduduknya
adalah Muslim. Sebuah sistem politik yang mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju perubahan
struktur sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang ideal dengan tujuan damai,
aman, dan sejahtera.1
Permasalahan Krusial antara Islam dan Demokrasi
Dimensi Historis Demokrasi


Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/kratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau lebih dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sendiri menjadi sebuah kata kunci tersendiri

1

M. Syaipul Rohman, Konsep Demokrasi Menurut Mahmoud Mohammed Taha: Studi
Terhadap Karya The Second Message of Islam, (Skripsi Jinayah Siyasah, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008), 1. Lihat dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/1605/, diakses
pada 28 Agustus 2015.

dalam bidang ilmu politik.2 Istilah demokrasi ini pertama kali diutarakan dan
diperkenalkan di Athena Kuno pada abad ke-5 SM.
Istilah demokrasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun
silam, di salah satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik
baru. Namun, bukan berarti substansi demokrasi tidak dapat ditemukan
sebelumnya. Franz Magnis-Suseno melihat jauh sebelum munculnya Yunani
yakni 4 ribu silam di mana munculnya Abraham (Ibrahim) di masyarakat Israel
telah menemukan akar-akar demokrasi ini. Dari sanalah konsep demokrasi mulai

diadaptasi oleh negara-negara lain.
Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang berasal dari tradisi
pemikiran Barat. Tumbuh kembangnya sistem demokrasi terjadi di belahan dunia
Barat. Oleh karena itu, banyak bermunculan pihak-pihak di kalangan pemikir
Muslim yang anti terhadap demokrasi. Sejarah pertemuan umat Islam dengan
peradaban Barat, salah satunya memunculkan perdebatan seputar penerimaan atau
penolakan terhadap demokrasi tersebut.3 Pertanyaan-pertanyaan pun mulai
bermunculan, seperti “adakah demokrasi dalam Islam?”, “apakah Islam
kompatibel dalam demokrasi?”, “apakah demokrasi (Barat) cocok dengan Islam”,
dan, “apakah Islam mendukung atau menentang prinsip-prinsip demokrasi?
Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Rakyat?

Demokrasi identik dengan pengukuhan hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan. Goverment of the poeple, by the people,
for the people. Dalam tradisi demokrasi di Barat, kekuasaan rakyat bersifat

mutlak. Demokrasi yang berarti pemerintahan oleh rakyat (rule or authority by the
people) di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan secara

langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan yang bebas.

Inilah yang kemudian “menggelitik” para pemikir Muslim untuk
beragumen mengenai konsep kedaulatan tersebut. Mereka yang bersebrangan
2

Sartika, Konsep Demokrasi Menurut Pandangan Muhammad Hatta , (Skripsi Aqidah dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2014), 2.
3
Happy Susanto, Demokrasi dalam Islam: Studi Perbandingan Pemikiran Muhammad
‘Abid al-Jabiri dan Abdol karim Soroush , (Tesis Ilmu Perbandingan Agama, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, 2006), vii. Lihat etd.repository.ugm.ac.id/, diakses 17 Agustus 2015.

dengan sistem ini, mulai mengajukan penolakan-penolakan dengan mengangkat
hal ini sebagai masalah. Ketika negara Islam menerapkan demokrasi dengan
kedaulatan rakyatnya, bagaimana dengan keimanan umat Muslim atas kedaulatan
Tuhan? Belum lagi menegenai demokrasi sebagai ideologi dari hasil olah pikir
manusia yang diciptakan Tuhan. Apakah lebih memilih hukum yang diciptakan
Tuhan atau hukum yang diciptakan manusia? Menurut mereka manusia tidak
memiliki hak untuk menentukan hukum ataupun menciptakan hukum. Manusia
hanya bertugas untuk melaksanakan hukum-hukum Tuhan.
Permasalahan-permasalahan tersebut yang kemudian terus menjadikan

demokrasi sebagai perdebatan yang tiada henti. Semakin bermunculan yang
menerima, tidak mengurangi pula yang mengambil sikap memasang badan untuk
melawan demokrasi, dan penuh harap bagi mereka yang bisa melihat
permasalahan ini dengan bijak dan sudut pandang yang jernih. Mencoba
mendudukkan Islam dan demokrasi untuk menghasilkan sebuah sistem yang dapat
menjawab tantangan global di dunia politik, sosial, budaya, dan lainnya.
Arus Respon terhadap Demokrasi: Dari penolakan sampai Filterisasi
Islam dan demokrasi merupakan wacana yang tak pernah kering untuk
diperbincangkan. Ada banyak ragam penafsiran tentang Islam dan demokrasi.
Ada yang mencoba mengaitkan dan atau tidak memisahkan antara Islam (lebih
luas: agama) dengan negara, tapi juga ada yang mencoba memisahkan. Ada yang
menghubungkan dan mensinkronkan antara Islam dengan demokrasi, tapi juga
ada yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi merupakan dua entitas yang
berbeda. Semua punya argumentasinya masing-masing.4
Yang menjadi kecemasan –dan ini masih terjadi hingga kini di Indonesia–
perbedaan penafsiran dalam soal Islam dan demokrasi memunculkan hujatan dan
pertikaian antar berbagai komunitas masyarakat. Dampaknya adalah sitem tidak
lagi dijalankan secara penuh untuk bangsa dan negara, melainkan cenderung
kepada kepentingan golongan tertentu saja. Muncul reaksi dan respon yang
4


M. Arief Hakim, Jejak-jejak Islam Politik: Sinopsis Sejumlah Studi Islam Indonesia ,
(Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2004), 325.

beragam dari kalangan intelektual Muslim. Hal ini membuktikan bahwa, Islam
dan demokrasi masih terus menjadi hal yang kontroversial di kalangan pemikir
Muslim, baik secara teoritis maupun praktis.
Banyak ilmuwan dan cendikiawan muslim yang berusaha untuk
menelusuri dan menafsirkan mengenai demokrasi dalam Islam. Sebagian
berpendapat bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dan merupakan bagian
dari sistem pemerintahan Islam, dan sebagian lagi menolak demokrasi dan
berpandangan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur dan bertolak belakang
dengan ajaran Islam.5 Namun adapula pihak yang mengambil jalan tengah dari
kubu yang menolak dan menerima, mereka mencoba mencari titik temu antara
argumen-argumen yang diajukan dalam perdebatan pemikir lainnya mengenai
demokrasi. Dengan demikian, paling tidak respon para Intelektual Islam dapat
dipetakan menjadi tiga kelompok, yaitu fundamentalis/konservatif, sekular/liberal,
dan moderat.
Kelompok dan Pandangan Islam Konservatif


Kelompok ini juga bisa disebut dengan “blok kontra”. Mereka secara
terang-terangan menolak demokrasi dalam Islam. Mereka berargumen bahwa
Islam dan demokrasi adalah bertentangan dan tidak dapat direkonsiliasikan, dan
terdapat sebuah kontradiksi yang nyata antara prinsip-prinsip Islam dan prinsipprinsip demokrasi.6 Di dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi.
Begitu juga demokrasi, yang tidak pantas disandingkan atau dimasukkan ke ruang
Islam. Antara keduanya memiliki dan menempati dunianya masing-masing. Ada
pemisahan yang jelas antara Islam dan demokrasi.
Pendapat ini timbul sebagai hasil dari persepsi mereka tentang dari mana
asal demokrasi, keyakinan yang kemudian menjadi dasar pembentukannya, serta
ide dan sistem berfikirnya.7 Beberapa pemikir Islam yang berpandangan demikian
antara lain adalah Fadillah Nuri dan Thabathabai dari Iran, Sayyid Qutb dari
5

Hilmy Masdar, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010), 152.
6
Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam, terj. Ali Syahab, (Jakarta: Citra,
2006), 190.
7
Ibid.


Mesir,8 Ali Benhadj dari Aljazair, Hasan al-Turabi dan Abd Qadim Zallum dari
sudan.
Bagi Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan
demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam.
Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara
yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan
antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya.9 Selain itu, ia juga menolak
legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang
memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan
mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya
bertentangan dengan Islam. Dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya
manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan.10
Tidak jauh berbeda dengan Sayyid Qutb, pemikir Ikhwan al-Muslimin
yang sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Mereka yang berada di pihak
konservatif terilhami oleh gagasan yang dikemukakan oleh pemikir Ikhwan alMuslimin ini.
Sayyid Qutb mengatakan bahwa bahwa tidak mungkin Islam tegak dengan
demokrasi. Dalam Ma’alim Fi al-Thariqah, Sayyid Qutb beranggapan ideologi
buatan manusia seperti demokrasi merupakan bentuk kemusyrikan. Tampaknya ia
sudah memperkirakan munculnya fenomena seperti demokrasi ini di kalangan

ikhwan. Dalam tafsir Fi Zilal al-Qur’an-nya, Sayyid Qutb menyinggung
kelompok-kelompok Muslim yang menggunakan dalil maslahat dakwah untuk
masuk ke parlemen. Ia menilai aktivis dakwah yang seperti itu sudah menjadikan
maslahat dakwah sebagai sesembahan baru.
Baginya, demokrasi adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan
merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya. Mengakui
kekuasaan Tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh terhadap

8

Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002), 47-48.
9
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3 , Terj. Ghufron A. Mas‟adi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 38-39.
10
Sukron Kamil, Islam...

seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi.
Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk

jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam
harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai
sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada
legislasi lain yang mengatasinya.11
Adapula Hasan al-Turabi yang cukup frontal menentang demokrasi. AlTurabi menjelaskan bahwa konstruksi dan interpretasi syariat dapat terjadi dengan
prinsip syura. Meskipun pengertian denotatif syura dan demokrasi sama namun
secara konotatatif berbeda. Secara denotatif, keduanya merupakan wujud
partisipasi publik dalam pembuatan keputusan politik. Demokrasi berkonotasi
kedaulatan tertinggi berada pada rakyat dan sebaliknya dalam mekanisme syura,
kedaulatan tertinggi di tangan Tuhan sebagaimana diwujudkan dalam ketundukan
manusia kepada nash-nash Illahiah. Dalam prinsip ini, setiap pemecahan
problema sosial, ekonomi, politik, legalitas dan konstitusi senantiasa terkerangka
dalam pondasi syariat.12
Ia mengatakan bahwa demokrasi Barat yang liberal ini mengandung cacat
karena dua alasan. Pertama, sistem ini hanya dilandaskan pada kepentingan
golongan, untuk itu tidak mungkin dapat mewujudkan kemerdekaan, persatuan,
dan persamaan politik. Kekayaan dan kekuasaan hanya terkonsentrasi pada
beberapa tangan, sedangkan otoritas puncak berada di tangan elite kecil. Kedua,
sistem demokrasi liberal didasarkan dan mengutamakan pada nalar (akal) manusia
yang terbatas kemampuannya.13 Nalar manusia yang berada di bawah kekuasaan

Allah tidak akan mampu menyempurnakan atau melengkapi tata sosial politik.
Kelompok dan Pandangan Islam Liberal

Kelompok ini juga bisa disebut sebagai “blok pro”. Para intelektual
Muslim dalam kelompok ini berpendapat bahwa setiap ketidaksesuaian antara
11

Ibid.
Ahmad Dzakirin, Tarbiyah Siyasiyah: Menuju Kematangan Poliitik Aktivis Dakwah ,
(Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), 123. Lihat pula Hasan al-Turabi, Fiqh Demokratis: Dari
Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis , Terj. Abdul Haris dan Zaimul Am,
(Bandung: Arasy, 2003), 36.
13
Ibid., 127.
12

agama (Islam) dan demokrasi disebabkan karena kesalahan penafsiran terhadap
Islam. Mereka menyatakan bahwa tidak ada konflik antara demokrasi dan sebuah
pemahaman agama, yang selalu berubah, rasional, dan selalu sesuai dengan
kriteria-kriteria dan nilai-nilai di luar agama, yang telah diakui. Mereka percaya

bahwa dengan menafsirkan ulang Islam dan selalu memandang kembali dan
memperbaharui kepercayaan-kepercayaan, maka visi dan misi dari demokrasi
religius akan menjadi layak dan akan sangat didukung.14
Mereka menerima demokrasi sebagai sesuatu yang universal, yang bisa
hidup dan berkembang di negara-negara Muslim. Antara demokrasi dan Islam
tidak memiliki masalah krusial yang perlu diperdebatkan, karena keduanya
memiliki kesamaan.
Blok „liberal‟ yang pro ini didukung, antara lain, pemikir-pemikir Islam
seperti Muhammad abduh (1845-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), Syaikh
Muhammad Syaltut, Ali Abd Razzaq Haikal, Thoha Husain (1891), Mahmud
Aqqad, dari Mesir. Sadek Jawad dari Oman, Mahmud Mohammed Taha dari
Sudan. Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran, Fazlur Rahman pemikir Pakistan
yang menetap di Amerika Serikat, dan beberapa pemikir Muslim asal Indonesia,
seperti Munawir Syazali, Muhammad Natsir, Abdurrahman wahid, Syafi‟i
Ma‟arif, Dawam Raharjo, Azyumardi Azra, dan lainnya.
Mohammed Taha, seorang intelektual Muslim Sudan yang sangat peduli
terhadap fenomena demokrasi dan proses demokratisasi di Sudan. Seorang tokoh
nasionalis religius yang berjuang demi tegaknya demokrasi. Dalam karyanya yang
berjudul Syari’ah Demokratik: The Second Message of Islam, Mohammed Taha
memberikan suatu tawaran pembaharuan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam
sekarang sudah tidak kontekstual bagi umat Islam, terutama kaitannya dengan
penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi. Ini yang kemudian
menggerakkan beliau untuk memproklamirkan pembaharuan dalam Islam,
termasuk mengkampanyekan demokrasi dalam kehidupan masyarakat Muslim.15

14

Ahmed Vaezi, Agama..., 190-191.
M. Syaipul Rohman, Konsep..., 5.

15

Mohammed Taha mencoba menerangkan bahwa “barang asing” berupa
demokrasi yang memiliki akar historis yang khas Barat, di sisi lain memiliki
esensi yang paralel dengan konsep-konsep yang dapat dikembangkan dari Islam.16
Mohammed Taha merasa bahwa demokrasi merupakan cara hidup di mana
individu manusia menjadi tujuan hidup bagi dirinya sendiri.
Di sini Mohammed Taha menyebut konsepnya sebagai demokrasisosialisme Islam. Ia menggabungkan antara demokrasi dan sosialisme yang
menurutnya saling berkaitan, dan meskipun keduanya secara historis berasal dari
Barat, namun keduanya berparalel dengan Islam. Mohammed Taha mengatakan
bahwa konsep ini dapat diterapkan di negara manapun. Karena, mewujudkan
demokrasi di negara-negara Arab bukanlah sesuatu yang utopis, semua hal dapat
terwujud asalkan didukung oleh faktor-faktor eksternal dan internal.
Jawaban atas letak demokrasi yang disampaikan oleh Mohammed Taha
adalah dalam bentuk tujuan langsung dari demokrasi yaitu penyelesaian masalah
kekuasaan, dengan menjadikan penguasa tunduk pada kehendak rakyat atau
terpaksa tunduk berdasarkan peraturan dan undang-undang yang mengawasinya
dan secara aktual menyediakan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga yang
dipilih secara bebas oleh masyarakat yang berhak memilih.17
Konsep demokrasinya Mohammed Taha ini ditentukan oleh dua otoritas
yang sepenuhnya berbeda, yakini otoritas Islam dan otoritas peradaban Barat,
yang pertama membaca demokrasi dalam kerangka Islam, yang kedua membatasi
unsur-unsur demokrasi pada perkembangan perjuangan demokrasi di Barat.18
Selain itu adapula Yusuf Qardhawi yang menganggap aneh sebagian orang
yang menilai bahwa menerapkan demokrasi adalah kemunkaran dan kafir. Hal ini
menurutnya adalah penilaian yang tidak didasari pengetahuan yang mendalam
tentang demokrasi. Tak mengindahkan kaedah paten yang digunakan ulama "alhukmu ‘ala syai'i far'un 'an tashawwurihi". Artinya, sebuah produk hukum sangat

erat kaitannya pada sejauh mana mengetahui hakikat objek yang dikaji. Jika
pengetahuan itu tidak memadai maka hukum yang disimpulkan dianggap salah,
16

Ibid., iv.
Ibid., 98-99.
18
Ibid., iv.
17

jikapun kebetulan benar hal itu dianggap serampangan dan membabi buta, seperti
memanah tanpa menggunakan panah.
Substansi demokrasi menurutnya jauh dari definisi-definisi akademis.
Substansi demokrasi sesungguhnya adalah hak rakyat memilih pemimpin yang
akan membawa kepentingan rakyat, mencegah terbentuknya penguasa yang tak
diharapkan. Substansi demokrasi adalah hak rakyat mengoreksi penguasa, hak
menurunkan dan menggantinya jika menyimpang. Inilah substansi demokrasi
sesungguhnya di balik sistem-sistem praktis dalam demokrasi seperti pemilu,
dewan legislatif, penetapan pilihan mayoritas, multi-partai, hak-hak minoritas dan
oposisi, kebebasan pers, independensi yudikatif, dan lainnya.19
Substansi demokrasi dinilainya sejalan dengan Islam. Jauh sebelum
demokrasi muncul, Islam sudah mengemukakan kerangka ini, hanya saja secara
umum dan global, agar dimungkinkan bagi terbukanya lapangan ijtihad bagi umat
Islam untuk terus menyelaraskan kemaslahatan agama dan dunia dalam kehidupan
realitas yang terus bergerak sesuai tuntutan zaman. Untuk itu umat Islam tetap
dituntut berfikir mencari model terbaik. Namun demikian, adalah kebutuhan yang
mendesak guna menciptakan keadilan, menerapkan al-syura , menjamin hak-hak
manusia dan memerangi penguasa tirani, beliau menilai, dan merujuk pada kaedah
"ma la yutimmu illa bihi fahuwa wajib" , bahwa demokrasi adalah solusi terbaik.

Karena dalam Islam pun tak ada larangan mengambil hikmah dari golongan lain
selama sejalan dengan Islam itu sendiri.
Sementara Sadek Jawad Sulaiman memaparkan bahwa Islam menegaskan
kewajiban umatnya untuk melakukan syura. Syura dalam Islam tidak berbeda
dengan demokrasi. Syura dan demokrasi sama-sama muncul dari anggapan bahwa
pertimbangan kolektif lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal
bagi kebaikan bersama daripada pilihan individu. Pilihan kolektif lebih
memungkinkan untuk mengantarkan kepada kebaikan bersama. Syura dan
demokrasi mengandung asumsi bahwa pertimbangan atau pendapat mayoritas
cenderung lebih komprehensif dan akurat dibanding dengan penilaian minoritas.
19

Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara: Ijtihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multipartai,
Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan, Partisipasi dalam Pemerintahan Sekuler , terj. Syafril
Halim, Cet. II, (Jakarta: Rabbani Pers, 1999), 167.

Kedua konsep ini lahir dari ide atau gagasan utama bahwa semua orang
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama.20
Jawad Sulaiman menegaskan, prinsip-prinsip syura sesuai dan tidak
menolak elemen-elemen dasaar dari sebuah sistem yang demokratis. Syura dan
demokrasi adalah sinonim dalam konsep dan prinsip. Logika syura, seperti juga
demokrasi, tidak mengakui aturan pemerintahan yang turun-temurun. Keduanya
sama-sama menolak pemerintahan dengan kekuatan paksaan, dan tidak
menyetujui undang-undang keturunan. Keduanya lebih mendorong kita untuk
mendapatkan lebih dari upaya merealisasikan prinsip-prinsip kemerdekaan,
kesamaan, dan martabat manusia dalam perjalanan sosial-politik kolektif.21
Pemikir lainnya yang mendukung penerapan demokrasi ialah, Said
Hawwa, seorang pemimpin spiritual Ikhwan al-Muslimin. Said Hawwa
mengkampanyekan dan mendorong kalangan Islamis untuk menerapkan alternatif
demokrasi serta mengambil manfaat darinya. Ia mengajak untuk tidak memerangi
demokrasi. Sebab selain demokrasi, alternatif yang tersedia adalah revolusi,
konspirasi minoritas, dan kekerasan.22
Pemikir Palestina –Azzam Tamimi–

mengutip pernyataan pernyataan

Said Hawwa, bahwa pada akhirnya kita akan menyaksikan demokrasi di dunia
Muslim akan menghasilkan kemenangan bagi umat Islam. Tuntutan supaya lebih
demokratis, merupakan jalan praktis menuju kesuksesan Islam di atas wilayah
Islam. Musuh-musuh kita menyadari betul kenyataan ini dan itu pula sebabnya
mereka membunuh demokrasi (di negeri Muslim –Red), dan membangun
kediktatoran dan alternatif-alternatif lain.23
Dalam tulisannya Jundu Allahi Takhtitan, Said Hawwa menyatakan bahwa
ketidakmampuan melihat sisi positif demokrasi selama ini, karena demokrasi
hanya dilihat dari perspektif teoritis dan ideologis, dan gagal dilihat dari

Sadek Jawad Sulaiman, “Demokrasi dan Syura” dalam Charlez Kurzman (ed.), Wacana
Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina,
2003), 128.
21
Ibid.
22
Harun Husein, “Islam Akan Menang Bersama Demokrasi”, Republika , 7 Maret 2011,
Bagian Teraju.
23
Ibid.
20

perspektif realitas, yaitu bahwa bila demokrasi diterapkan, mayoritaslah yang
akan memimpin. Ini berimplikasi pada kemenangan Islam, karena di banyak
negara, kaum Muslim adalah mayoritas, itu artinya Islam akan memimpin.
Bahkan jikapun Muslim adalah minoritas, demokrasi akan tetap jadi kepentingan
mereka juga.
Bahkan menurutnya, menolak demokrasi merupakan langkah bunuh diri.
Karena, mereka akan diperintah oleh rezim-rezim paling buruk yang memaksakan
apa yang mereka takuti dari demokrasi. Bagaimana kalangan Islamis takut pada
demokrasi, padahal ketakutan tersebut akan merampas kebebasan mereka dan
diperintah oleh kaum minoritas.24
Pandangan serupa, di Indonesia, kerap disampaikan oleh Amien Rais
lewat

pernyataannya

yang

terkenal:

“Tidak

ada

demokrasi

tanpa

representativeness ”. Dalam Suara Amien Rais, Suara Tuhan, Amien mengatakan

bahwa esensi demokrasi adalah representasi yang adil, yang tercermin dari jatah
umat Islam dalam kekuasaan. Karena Muslim adalah mayoritas maka wajar jika
eksekutif dan legislatif didominasi oleh Islam.25
Kelompok dan Pandangan Islam Moderat

Kelompok ini juga bisa disebut dengan “non blok”. Mereka tidak berada di
pihak yang pro maupun kontra. Mencoba mencari titik temu antara penolakan dan
penerimaan terhadap demokrasi dalam Islam. Pemikir Muslim di sini beranggapan
bahwa antara Islam dan demokrasi adalah sejalan, namun harus ada proses
filterisasi sehingga terjadinya konsep yang Islami. Mereka menegaskan bahwa
bentuk pemerintahan demokrasi Islam merupakan sebuah tesis yang kompatibel
dan praktis, dengan mempercayai bahwa sebuah konstitusi dapat melindungi dan
menjamin aspek-aspek esensial baik dari pemerintahan Islam maupun
demokratis.26
Para intelektual Islam yang tergolong dalam kelompok ini, yaitu di
antaranya, Abu al-A‟la al-Maududi dari Pakistan, Imam Khomeini dan Abdul
24

Ibid.
Ibid.
26
Ahmed Vaezi, Agama..., 189-190.
25

Karim Soroush dari Iran, Muhammad Natsir dari Indonesia, serta Tariq Ramadhan
dari Jenewa. Mereka mengemukakan dan mengakui adanya persamaan antara
Islam dan demokrasi termasuk juga adanya perbedaan antara keduanya.
Salah satu tokoh dalam kubu ini yaitu Abu al-A‟la al-Maududi.
Menurutnya, pemerintahan yang dikehendaki dalam Islam adalah theodemocracy. Konsep theo-democracy merupakan konsep sistem politik Islam yang

digagas oleh Abu Al-A‟la al-Maududi. Pada dasarnya, istilah atau konsep theodemocracy adalah akomodasi dari ide teokrasi27 dengan ide demokrasi. Namun,

ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep teokrasi dan
demokrasi.
Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti
demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan
tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat
hukum (law giver ). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua , praktik
kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi
politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun
sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada
di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali
malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.28
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima al-Maududi,
yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (khilafah) ada di tangan setiap individu kaum
mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah,
yang menurut al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem
kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, dan ini pulalah yang

27

Teokrasi adalah masyarakat di mana pemerintahan didasarkan pada peraturan Agama.
Secara resmi penguasanya adalah Tuhan. Pelaksanannya sesuai dengan yang ada dalam al-Qur‟an
dan hadis. Lihat Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama: Dulu dan
Sekarang , Terj. P. Hardono Hadi, Cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 105.
28
Abbas Nurlaelah, “Pemikiran dan Teori Politik Abu al-A‟la al-Maududi”, dalam Jurnal
al-Risalah Vol. 10 Nomor 1 , (2010), 186-187.

mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan
asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.29
Mengenai teokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-democracy,
sebenarnya juga ditolak oleh al-Maududi. Terutama teokrasi model Eropa pada
abad pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat
hukum sendiri atas nama Tuhan.30 Meskipun demikian, ada unsur teokrasi yang
diambil al-Maududi, yaitu dalam pengertian kedaulatan tertinggi berada di tangan
Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan
tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan
rakyat

sendiri,

menjadikan

kekuasaannya

dibatasi

oleh

batasan-batasan

perundang-undangan Allah Swt. Melaksanakan sistem demokrasi dengan
kesadaran penuh akan kedaulatan tertinggi, yaitu Tuhan.
Al-Maududi setuju dengan tiga pembagian kekuasaan (trias politica ),
judikatif, eksekutif, dan legislatif tetapi ketiga-tiganya harus berada di bawah
naungan al-Qur‟an. Melihat, kekuasaan bukanlah dipegang oleh rakyat, melainkan
oleh Tuhan. Namun, ia menganggap bahwa anggota legislatif haruslah ahl al-hall
wa al-‘aqd (para ulama). Kelompok minoritas non-Muslim yang duduk di dalam

dewan perwakilan tidak berhak menentukan kebijakan negara selain kepentingan
mereka.31
Dengan demikian secara esensial, konsep theo-democracy berarti bahwa
Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi
oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-democracy

29

Perbedaan terpenting antara sistem Islam dan sistem Demokrasi adalah dalam tiga unsur
yaitu, pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyat atau bangsa dalam sistem demokrasi modern
dalam dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup teritorial geografis yang hidup dalam
daerah tertentu, dan disatukan oleh ikatan-ikatan daerah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama.
Sedangkan Islam tidak seperti itu. Kedua, tujuan demokrasi Barat modern atau demokrasi apapun
pada masa lalu adalah untuk kepentingan dunia materi. Namun tujuan-tujuan demokrasi Islam di
samping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga menjauhkan pemikiran keberpihakan nasional, juga
membidik tujuan-tujuan rohani bahkan itulah yang mendasar. Ketiga, kekuasaan umat (rakyat)
dalam demokrasi Barat bersifat mutlak. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan umat (rakyat) tidak
semutlak itu. Lihat Abbas Nurlaelah, “Pemikiran..., 187.
30
Ibid., 188. Lihat pula Amin Rais, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam, Cet. VIII, (Bandung: Mizan, 1998), 6.
31
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Liberalisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya , (Jakarta: Grasindo, 2010), 49.

adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan, atau
seperti diistilahkan al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of
God.32

Sementara Imam Khomeini, ia menawarkan demokrasi baru yang
berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam, dengan menyebutnya sebagai “demokrasi
sejati”. Bagi Khomeini, yang dimaksud dengan demokrasi sejati adalah Islam.
Islam itulah demokrasi. Tidak kapitalis seperti yang ada di Barat. Bukan pula
yang ada di Timur, yang telah melakukan penindasan terhadap rakyat jelata.
Mengenai demokrasi itu sendiri, Imam Khomeini memandang bahwa sejauh
demokrasi itu berjalan dengan baik dan tidak berbenturan dengan hukum Tuhan,
maka itu dianggap baik.33
Sama halnya dengan al-Maududi, Imam Khomeini juga mengkritik
demokrasi di Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun ia
memandang bahwa suara rakyat harus diperhitungkan sebagai bentuk keberadaan
kedaulatan rakyat. Namun, ada kedaulatan yang harus diposisikan di atas
segalanya yaitu kedaulatan Tuhan.
Masih dari Iran, Abdul Karim Soroush juga sejalan dengan Khomeini.
Terkait dengan konsep pemerintahan ideal, Soroush tampak sekali ingiin
menawarkan bagaimana memadukan antara nilai-nilai agama (Islam) dengan
konsep demokrasi sekuler. Dikatakannya bahwa perpaduan demokrasi dan agama
adalah suatu contoh keserasian antara agama dan nalar. Perpaduan keduanya
merupakan kecerdasan metareligious yang memiliki setidaknya beberapa dimensi
epistemologis extrareligious.34
Di Indonesia, ada Muhammad Natsir yang juga masuk dalam kubu ini.
Muhammad Natsir yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang
memperjuangkan negara Islam, tidak pernah mendikotomikan Islam dan
demokrasi. Natsir memandang demokrasi Islam adalah perumusan kebijaksanaan
Abbas Nurlaelah, “Pemikiran....
Ahmad Wahyudin, Sistem Demokrasi: Studi Perbandingan Imam Khomeini dan Ir.
Soekarno , (Skripsi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013), 3. Lihat http://digilib.uin-suka.ac.id/9876/, diakses pada 1 September 2015.
34
Miftahuddin, Pemerintahan Demokrasi Agama: Membaca Gagasan Abdul Karim
Soroush, dalam http://staff.uny.ac.id/, diakses pada 17 Agustus 2015.
32

33

politik, ekonomi, hukum dan lain-lainnya yang mengacu pada asas-asas yang
telah ditetapkan oleh al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Atau sekurang-kurangnya
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
doktrin.35
Lebih lanjut, Natsir menamai demokrasi dalam Islam dengan istilah
theistic36-democracy, yaitu demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai

ketuhanan, atau suatu negara dengan sistem demokrasi Islam. Ia percaya konsep
negara Islam tidak bisa dijalankan melalui kekuatan bersenjata, melainkan harus
diperjuangkan dengan tata politik yang demokratis. Sejauh berkaitan dengan
(pilihan) umat Muslim, demokrasilah yang diutamakan, karena Islam hanya bisa
berkembang dalam sistem yang demokratis.37
Dengan demikian, tampak bahwa Natsir berusaha mempertemukan Islam
dengan paham demokrasi liberal yang berkembang luas di negara-negara Eropa
dan Amerika Serikat. Berusaha mensinkronkan antara kedaulatan rakyat dan
kedaulata Tuhan. Dalam pembahsannya mengenai demokrasi, Natsir yakin bahwa
prinsip-prinsip Islam tentang Syura lebih dekat dengan demokrasi modern, dengan
meletakkan prinsip-prinsip hudud (batas-batas) dan etik keagamaan sebagai
panduan dalam mengambil keputusan.
Sejalan dengan prinsipnya bahwa negara merupakan “alat” untuk
mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki agama. Menurutnya, prestasi sebuah
peradaban tidaklah semata-mata menjadi hak milik mutlak masyarakat
pencetusnya. Bangsa-bangsa lain berhak pula untuk menikmati penemuanpenemuan masyarakat lain bagi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia
secara keseluruhan.38 Begitu pun dengan demokrasi yang tidak bisa dipungkiri
bahwa secara historis sistem ini lahir dan berkembang di Barat, namun bukan
berarti ini menjadi sesuatu yang tidak bisa diterapkan bangsa lain, termasuk
35

Budhy Munawar Rachman, Argumen..., 48-49.
Istilah theistic berasal dan bahasa Yunani, theos yang berarti Tuhan, yaitu keyakinan
yang bertentangan dengan atheisme yang mendasarkan kepercayaan pada adanya satu Tuhan.
Lihat Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia , Jilid IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992),
353.
37
Budhy Munawar Rachman, Argumen..., 49.
38
Sidik, “Muhammad Natsir: Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Hunafa Vol. 3 Nomor
3, (2006), 257-258.
36

Muslim. Akan lebih bijak jika umat Muslim bisa menggali sisi positif dari
demokrasi itu sendiri.
Selain itu, ada pula Tariq Ramadhan, seorang pemikir Muslim Eropa yang
merupakan cucu dari tokoh besar Islam, Hassan al-Banna. Ia adalah salah satu
pemikir yang setuju atas gagasan mengkombinasikan Islam dan demokrasi.
Menurutnya, meski demokrasi tidak ada di dalam al-Qur‟an, bukan berarti tidak
dapat dijalankan sebagai jawaban atas dugaan mereka yang berpikir sekuler. Tariq
Ramadhan sejalan dengan Muhammad Natsir bahwa demokrasi dapat dijalankan
dengan cara Islam. Ia benar-benar mengimani bahwa Islam dapat diinterpretasi di
setiap zaman dengan segala hal.
Hambatan Implementasi Demokrasi di Dunia Muslim
Adanya penerimaan para tokoh Islam terhadap sistem demokrasi,
sebagaimana terlihat pada arus pemikiran yang terakhir, tidak berarti bahwa
sistem demokrasi dapat tumbuh dan berkembang secara otomatis di negara-negara
Muslim. Prasyarat atau prakondisi terlaksananya sistem demokrasi, menjadi
penting diwujudkan39:
1.

Pemahaman doktrinal. Gagasan demokrasi, di banyak negara Muslim masih
merupakan sesuatu yang “asing” dalam mind set umat Islam. Karena itu,
diperlukan upaya liberalisasi pemahaman keagamaan yang bisa menjembatani
adanya diskrepansi antara pemahaman doktrinal Islam yang terkesan rigid
dengan teori-teori modernitas seperti demokrasi dan kebebasan.

2.

Persoalan kultural. Ketika secara doktrinal sebenarnya telah ada kesepahaman
antara Islam dan demokrasi, justru warisan kultural masyarakat Muslim yang
terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif menjadi penghambat besar bagi
terlaksananya sistem demokrasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun
kesadaran demokratis, sesungguhnya di samping perlu dibicarakan apakah
demokrasi kompatibel dengan Islam, yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana agar keduanya bisa saling memperkuat (mutual reinforcing).

39

Umi Sumbulah, Islam dan Demokrasi: Menelisik Akar-akar Sosio-Historis, dalam
http://syariah.uin-malang.ac.id/, diakses pada 1 September 2015.

Dengan demikian, lagi-lagi modal sosial umat Islam untuk menerima gagasan
dan nilai-nilai dasar demokrasi menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya
bagi diterapkannya sistem politik yang demokratis.
3.

Sifat alamiah demokrasi. Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang
demokratis diperlukan kesungguhan, kesabaran dan waktu yang tdak singkat.
Minimnya pengalaman sejarah demokrasi di dunia Islam, menjadi hambatan
tersendiri bagi upaya menumbuhkan kultur demokratis di dunia Islam.
Kendati demikian, O Voll dan John L. Esposito misalnya, tetap optimistis
bahwa sistem demokrasi bisa diterapkan di dunia Islam.40

40

Ibid.