PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN GE (3)

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN GENDER DALAM PENAFSIRAN
AL QURAN DAN AL HADIST

Muhamad Khoirul Anam
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Iringmulyo Kota Metro Lampung 34111
E-Mail : muhamadkhoirulanamanam@gmail.com

Abstrak
Salah satu ilmuan Islam mengatakan bahwa penyebab diskriminasi gender bukan disebabkan
oleh agama tetapi sistem politik, baik itu ideologi hukum maupun kultur sosial. Dalam Al Qur’an
konsep gender dimaknai secara beragam menurut orientasi ayat dan penafsiran sesudahnya oleh
para mufassir sehingga terjadi variasi pemaknaan dan kekhasan tersendiri dari ayat-ayat Al Quran
yang berafiliasi dengan konsep gender, khusus dalam tafsir Al Kassyaf konsep gender dijelaskan
sesuai dengan konteks makna realita sekarang sehingga makna yang terjadi lebih mengedepankan
aspek objektifitas, keseimbangan, dan keterpaduan intra teks. Tafsir tentang relasi gender dalam
Islam berkembang menjadi varian-varian yang beragam, meskipun bersumber dari referensi yang
sama, yakni Al Qur’an dan Hadis. Salah satu faktor penting yang mendorong keragaman tersebut
adalah perbedaan perspektif tentang disertakannya pertimbangan kontekstual dalam melakukan
penafsiran. Bagi mufassir yang menyetujuinya memandang bahwa elemen-elemen historis dan
sosiologis harus dijadikan pertimbangan dalam menafsirkan ayat. Jika elemen itu diabaikan, maka

tafsir yang muncul akan mengandung bias. Namun demikian, masih diperlukan kerja keras untuk
mensosialisasikannya secara komperehensif, sekaligus merespon setiap keberatan dan kritik tajam
yang dilontarkan berbagai kalangan. Upaya tersebut mencakup pengembangan konsep metodologi
yang lebih komprehensif sekaligus mengintegrasikan pendekatan-pendekatan studi Islam ke dalam
bangunan pemikiran metodologisnya.
Kata Kunci: Gender, Tafsir, dan Konteks.
Abstacx
One of the scientists of gender discrimination is not caused by religion but a political system,
whether it is legal ideology and social culture. In the Quran the concept of gender is meant for
orientation varies by verse and purport afterward by the exegetes such variations and thus distinct
from the verses of the Koran which is affiliated with the concept of gender, especially in tafseer alKassyâf interpretation of the concept of gender is described according to the context the meaning of
reality right now so that, the meaning is going to put forward more aspects of objectiveness,
balance, alignment and intra-text. Although it is from the same reference of sources, the Qur’an
and the Haditz, tafsir of gender relation in Islam constanly growing into various kinds. Among
many important factors that forces the diversity is the different perspectives about involved
contextual consideration in the tafsir processes. For many exegesists (mufassir) to approve it, the
elements of historical and sosiological must be considerated in analyzed. If the elements are
neglected then it may lead to bias and its result will be fragmented. Nonetheles, it still needs ma ny
efforts to sosializating it in more comprehensive and also to respond to any objections and
outspoken critics from the society. The efforts also include to improve the methodological concept

which are considered more comprehensive which integrate many approaches in Islamic Studies
into main frame of methodological thought.
Keywords: Gender, Tafseer, and Context.

1

A.

Pendahuluan
Sumber utama ajaran Islam adalah Al Qur’an, yang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa

melebihi apapun. Al Qur’an merupakan tolak ukur wawasan ke Islaman, dari zaman Rasulullah
sampai akhir zaman. Al Qur’an menyerukan kepada umat manusia agar bertauhid atau mengesakan
Allah. Al Qur’an juga menyeru umat Islam agar berfikir dan merenungi ayat-ayat Al Qur’an. Al
Qur’an adalah kalam Allah S.W.T. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Melalui
malaikat Jibril dalam periode kurang lebih dua puluh tiga tahun. Al Qur’an merupakan bacaan yang
sempurna dan agung. Tiada bacaan semacam Al Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang Al
Qur’an adalah firman Allah SWT yang digunakan sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia1. Al
Qur’an adalah pedoman hidup dalam menjalankan tugas manusia di bumi yaitu sebagai kholifah 2.Al
Qur’an bukanlah sebuah karya akademik maupun karya fiksi. Dari segi pandangan, Al Qur’an

mengandung seluruh aspek kehidupan manusia, seperti aspek sosial, politik, dan ekonomi3. Di
dalam Al Qur’an terkandung makna atau petunjuk kehidupan yang menembus dimensi ruang dan
waktu dengan tujuan untuk memperoleh kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat. Karna
dapat menembus dimensi ruang dan waktu, wajar bila bahasa yang ada di dalam Al Qur’an sulit
dipahami oleh orang awam, karna bahasa Al Qur’an adalah bahasa illahi yang memuat pesan-pesan
dalam bentuk global. Oleh karna itu maka diperlukanlah penjelasan yang lebih merinci mengenai
maksut pesan-pesan yang ada didalam Al Qur’an yang kemudian disebut dengan tafsir.
Tafsir berasal dari kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup4. Tafsir difahami
sebagai penjelasan, penyingkap atau pembuka makna yang belum jelas dari Al Qur’an. Meskipun
banyak pengertian tafsir yang di kemukakan oleh para ulama tetapi semuanya memiliki kesamaan
inti yaitu memberikan atau menjelaskan hal-hal yang masih samar yang ada pada Al Qur’an
maupun al Hadis sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung
di dalam al quran untuk di jadikan sebagai ketetapan hukum di dalam kehidupan sehari-hari.
Apapun pendapat tentang pengertian penafsiran Al Qur’an dan al Hadis, yang terpenting adalah
pendekatan dan metode yang digunakan dalam melakukan penafsiran Al Qur’an dan al Hadis. Ada
banyak pendekatan dan metode yang digunakan untuk menafsirkan Al Quran, tetapi kali ini penulis
membahas pendekatan kontekstualis dan pendekatan gender dalam menafsirkan Al Quran dan
hadis.

Mokhtaridi Sudin, “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011): hal 1.

Al Qur’an Surat Al Baqoroh, Surat Ke 2, Ayat ke 185.
3
Mokhtaridi Sudin, “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011): hal 1.
4
Jajang A Rohmana, “Tafsir Lokal dan Polemik Keagamaan di Pringan” 23 (2018): hal 4.
1

2

2

B.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hal-hal yang bersangkutan dengan pendekatan

kontekstual dan pendekatan Gender dalam Penafsiran Al Qur’an dan Al Hadis. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode “pengumpulan data”, yaitu penulis melihat atau
membaca dari berbagai referensi buku maupun jurnal.


C.

Pendekatan Kontekstual
Secara bahasa, kontekstual berasal dari kata benda bahasa inggris yaitu context yang artinya

adalah kalimat pendukung atau kalimat penjelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
konteks yaitu situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kontekstual adalah menarik suatu bagian atau situasi yang ada kaitannya dengan suatu kata atau
kalimat, sehingga dapat menambah dan mendukung makna kata atau kalimat tersebut. Secara
istilah, kontekstual memiliki pengetian usaha untuk mengartikan sesuatu dalam rangka
mengantisipasi persoalan yang sering terjadi pada saat ini yang umumnya mendesak, sehingga arti
kontekstual identik dengan situasional, pengartian yang melihat keterkaitan tentang masa lalu, masa
kini, dan masa yang mendatang atau memaknai kata dari segi sejarah, fungsional, serta prediksinya
yang dianggap benar, serta dapat mendudukkan keterkaitan antara teks Al Qur’an dan terapannya.
tafsir kontekstual melihat bahwa unsur politik, sosial, sejarah, budaya, dan ekonomi adalah hal-hal
penting dalam upaya memahami makna teks (pada saat diturunkan, pada saat teks itu ditafsirkan,
dan kemudian pada saat diterapkan)5. Pendekatan kontekstual studi yang didasarkan pada
pendekatan sosio-historis6. Pemahaman sosio-historis dalam pendekatan kontekstual yaitu
pendekatan yang tertuju pada pentingnya memahami kondisi-kondisi sejarah ketika ayat Al Qur’an
diturunkan, dalam rangka menafsirkan pendapat dan kejadian sebenarnya yang terjadi pada masa

lampau sampai sekarang.
Bibit dari pendekatan kontekstual dalam penafsiran adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang
memiliki asbabun nuzul, terutama yang bersangkutan atau berkaitan dengan kejadian sosial pada
saat itu. Asbabun nuzul adalah sebab munculnya ayat Al Qur’an yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad S.A.W. ada salah satu teori tentang asbabun nuzul yaitu teori sejarah. Teori sejarah
yaitu teori yang didasarkan pada sejarah turunnya Al Qur’an. Landasan teori sejarah ini adalah
hijrahnya nabi Muhammad S.A.W. dari Mekah ke Madinah. Menurut teori ini ayat makiyyah yaitu
ayat yang diturunkan sebelum nabi Muhammad S.A.W. hijrah ke Madinah, meskipun ada ayat yang
turun di luar kota mekah, seperti di Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah. Sedangkan ayat madaniyyah
5
6

Abdullah Saeed, “Interpreting the Qur’an,” 2006, hal 3.
Mustaqimah, “Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Al Qur’an” Volume 12 Nomor 1 (Juni 2015): hal 145.

3

yaitu ayat yang diturunkan setelah nabi Muhammad S.A.W. hijrah ke Madinah, meskipun
diturunkan di kota mekah dan sekitarnya, seperti di Badar, Uhud, dan Arafah.
Asbabun nuzul adalah kejadian turunnya ayat-ayat Al Qur’an pada masa Rasullulloh. Jadi,

tidak ada cara lain untuk menafsirkan ayat selain dari periwayat yang mendengar atau melihat
langsung sebab diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an. Asbabun nuzul merupakan patokan dari tafsir
kontekstual. Karena asbabun nuzul merupakan penggambaran dari kejadian sebenarnya dari suatu
peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat-ayat al
Quran. Tetapi sayangnya hanya sedikit ayat yang memiliki asbabun nuzul. Sebaiknya asbabun
nuzul tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan.
Dalam kenyataannya, tidak ada banyak ayat Al Qur’an mengenai suatu kejadian atau peristiwa.
Paling tidak dari asbabun nuzul dapat diperoleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan
berkembang pada saat itu. Nilai-nilai sosial tersebut bisa berupa adat-istiadat, karakter dari individu
atau masyarakat, relasinya dengan zaman mungkin yang populer dengan istilah Shalihun li kulli
zaman wa makan. Kita sebaiknya menggunakan asbabun nuzul sebagai alat bantu bagi kita untuk

memahami ayat Al Qur’an. Ada seseorang peneliti yang pernah berkata, “sesungguhnya
pengetahuan kita tentang suatu sebab, akan membantu kita dalam memahami akibatnya”.
Al Qur’an tidak diturunkan langsung secara keseluruhan, tetapi justru diturunkan secara
berangsur-angsur, menjadi bukti nyata bahwa Al Qur’an merupakan jawaban atas persoalan umat
manusia7. Penulis dapat memahami secara sederhana bahwa tafsir kontekstual adalah paradigma
berfikir, secara pendekatan yang berorientasi pada konteks kesejarahan. Dengan kata lain, istilah
kontekstual berarti kebiasaan suatu pandapat yang merujuk pada konteks yang tidak hanya
bertumpu pada makna teks secara literatur, tetapi juga melibatkan ayat Al Qur’an dan hadis tentang

kejadian sosial dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.
Berkaitan dengan pendekatan kontekstual, para sahabat sudah menerapkannya sejak masa
Nabi Muhammad S.A.W. masih hidup. Imam Syafi’ipun banyak menafsirkan hadis Nabi secara
kontekstual, beliau menafsirkan Hadis-Hadis karena melihat bahwa banyak Hadis-Hadis yang
terlihat jelas saling bertentangan. Pendekatan kontekstual tafsir mempunyai prinsip dalam
menafsirkan Al Quran dan Al Hadist yaitu al ‘ibrah bi khusus as-sabab laa bi ‘umum al-lafdz yang
mempunyai arti ketetapan makna itu didasarkan kepada kekhususan sebab, bukan kepada
keumuman teks. Dengan metode ini, yang pertama kali dilakukan dalam menafsirkan Al Qur’an
dan Al Hadist yaitu memahami makna asli ayat, kemudian menyelidiki sejarah atau kejadian pada
kejadian pada masyarakat yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat tersebut. Dengan hal ini
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dalam menentukan dari suatu hukum harus dilihat dari

7

MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual” 1 (Juni 2016): hal 2.

4

konteks zaman dan tempat, agar hukum tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang
ada dan dapat digunakan sebagai pedoman manusia juga.

Hadist adalah penafsiran kontekstualis dari keadaan atau pertanyaan para sahabat kepada Nabi
Muhammad S.A.W. dan hadis juga pedoman bagi para sahabat untuk mengamalkan ayat-ayat Al
Qur’an yang dianggap bahasanya terlalu tinggi. Nabi memberikan petunjuk-petunjuk bagi sahabat
yang berbeda-beda sesuai latar belakang sahabat sendiri, maka yang interpretasi yang diberikan
sahabat tentang Hadis Nabipun berbeda-beda pula. Hal ini yang menyebabkan hadis sendiri bersifat
kontekstual. Usaha untuk mengkaji konteks-konteks hasil sebenarnya sangat penting untuk
mengambil nilai-nilai yang didapat untuk diaplikasikan di dalam kehidupan. Tapi, sayangnya
pendekatan kontekstual terhadap tafsir hadis kurang diminati.
Meskipun hadis mendapat kedudukan kedua dalam jajaran sumber hukum Islam, tapi dalam
prakteknya banyak fase-fase yang mesti dilaluinya untuk mencapai kedudukan itu8. Hal tersebut
terjadi karna Hadis baru dikodifikasi tahun 99H pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Kodifikasi hadis inipun masih terbatas karna belum diteliti lebih lanjut lagi
menggunakan disiplin ilmu hadis atau lebih dikenal dengan istilah musthalah, musthalah sendiri
baru muncul pada abad 4 H. Berbeda dengan Al Qur’an yang sudah dikodifikasi sejak masa
kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-Sidiq ra., kemudian dilanjutkan pada masa Usman bin Affan
dengan gerakan Penyatuan Mashaf. Hal tersebut menjadikan kedudukan Al Qur’an semakin kuat, di
samping ayat-ayat Al Qur’an diturunkan secara muttawatir dan pengkodifikasian Al Quran terjadi
pada masa sahabat.
Permasalahan pada pendekatan kontekstal hadis sangatlah rumit, para peneliti hadis bertumpu
pada sanad dan matan dari hadis. Sanad yaitu mata rantai Perawi Hadisnya, sedangkan matan yaitu

isi dari Hadisnya. Kualitas Hadispun dapat berbeda-beda terhantung pada ijtihad yang digunakan
dalam menafsirkan Hadis. Hanya saja penelitian hadis lebih banyak diarahkan kepada sanadnya9.
Padahal sebenarnya penelitian hadis berdasarkan matannya lebih banyak didapatkan informasi.
Pendekatan kontekstual hadis lebih mengacu kepada hal yang tersirat di dalam hadis. Melihat
berbagai hal yang terkait.
Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh garda depan dalam penafsiran Al Qur’an
modern10. Beliau adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah untuk memperhatikan
segi konteks sejarah turunnya ayat Al Qur’an. Meskipun gagasan dari Fazlur Rahman sangat
banyak, tetapi tujuan beliau adalah hanya untuk dijadikan pedoman bagi para penafsir dalam
menafsirkan Al Qur’an, Tidak ada tujuan lain selain itu. Secara internal, konteks merupakan dasar
Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah Dalam Ta’wil Mukhtalaf Al
Hadis” 8 (Juni 2014): hal 120.
9
Ibid., hal 122.
10
Lien Iffah Naf ’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed” 9 No 1 (Juni 2015): hal 66.
8

5


dalam memahami hukum-hukum atau perintah-perintah yang ada di dalam Al Qur’an. Akan tetapi,
tafsir kontekstualis kurang diminati pada era klasik karena di anggap sulit. Perhatian akan konteks
ini dipinggirkan baik dalam hal hukum maupun dalam hal tafsir, oleh sebab itu, peran dari konteks
sosio-historis tidak terlihat dalam hal penafsiran Al Qur’an maupun Al Hadis. Di masa klasik,
perharian akan hal ini ditunjukkan dalam pencarian asbabun nuzul dari ayat Al Qur’an. Tetapi,
asbabun nuzul pada saat itu tidakbanyak dimanfaatkan dalam kerangka untuk menunjukkan
keterkaitan antara Al Qur’an dengan sosio-historis. Asbabun nuzul hanya digunakan untuk mencari
rujukan kejadian sosial ketika suatu ayat telah diturunkan, menyangkut hal sosial, budaya dan
kepada siapa ayat tersebut di turunkan. Memperhatikan hal kontekstualis dalam menafsirkan Al
Qur’an dan Al Hadis sudah familiar sejak dahulu untuk memperhatikan nilai yang berubah dan
tetap yang terkandung di dalam suatu ayat. Membangun sebuah nilai yang terkandung di dalam
suatu ayat bukanlah perkara yang mudah, karna salah sedikit saja pasti akan menimbulkan salah
pengertian pada umat, dan dikhawatirkan akan menyesatkan. Akan tetapi, jika mengidentifikasi
ayatnya dengan teliti di harapkan dapat mengambil nilai yang benar dan tidak mengganggu
keimanan dari umat.
Pendekatan kontenkstual Al Qur’an dan Al Hadis mengenai konsep syukur saat ini sangat
diperlukan untuk menerapkan konsep syukur yang lebih mudah sesuai perkembangan zaman.
Dalam konteks ini, tafsir kontekstual sebagai metode dalam memecah masalah kekinian11. Kata
syukur banyak ditemukan di dalam berbagai ayat Al Quran seperti pada surat Al Furqon ayat 62 dan
surat Al Insan ayat 9, kata syukur disebutkan sebanyak dua kali. Kata syukur di dalam dua ayat ini
mengambarkan kekuasaan allah dalam menciptakan siang dan malam, kejadian ini menjadi
pembelajaran bagi orang-orang yang ingin belajar dan ingin bersyukur kepada-Nya atas kenikmatan
yang telah Allah S.W.T. berikan. Kedua kata syukur yang terdapat pada surat Al Insan pada ayat 9
tersebut menggambarkan yang berbuat kebajikan serta memberi bantuan atau makanan kepada
kaum fakir miskin tanpa mengharapkan imbalan meskipun itu hanya ucapan terimakasih saja,
kecuali mengharapkan keridhoan dari Allah semata. Seseorang yang meneladani sifat Allah yaitu
memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan kecuali ridho Allah adalah yang termasuk
kedalam golongan orang-orang yang terpuji.
Syukur mencakup tiga sisi: Pertama, syukur dengan hati, kepuasan batin atas kenikmatan
yang telah didapatkan. Kedua, syukur dengan lisan, yaitu syukur yang diucapkan dengan lisan
setelah bersyukur dengan hati. Yang ketiga, syukur dengan perbuatan, yaitu syukur dengan
perbuatan atau tindakan memanfaatkan kenikmatan yang diberikan sebaik mungkin. Al Qur’an juga
mengajarkan umat Islam untuk bersyukur atas nikmat yang diterima dengan mengucapkan
Choirul Mahfud, “The Power of Syukur Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam Al Qur’an” 9 No 2 (Desember
2014): hal 382.
11

6

Alhamdulillah yang mempunyai arti “segala puji bagi Allah”. Kata syukur yang banyak didapat di
dalam Al Qur’an dapat menginspirasi para Mufassir untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an secara
kontekstual agar tidak terpaku pada pemahaman yang sempit dan kaku. Penafsiran kata syukur pada
ayat Al Qur’an sudah sebaiknya ditafsirkan sebaik mungkin agar dapat bermanfaat bagi umat Islam,
agar menambah keimanan mereka.
Sebenarnya manfaat syukur itu sangat besar bagi umat manusia maupun dihadapan Allah
S.W.T. banyak fakta yang menyebutkan manfaat jika kita mau bersyukur kepada Allah. Bahkan,
iblis pun tidak senang jika ada manusia yang mau bersyukur. Iblis sudah berjanji kepada Allah akan
menggoda manusia yang mau bersyukur dari segala penjuru, kanan, kiri, depan, dan belakang.
Untuk membuat manusia lupa bersyukur atas kenikmatan yang sudah didapatkan dari Allah. Iblis
dan syetan tidak dapat menggoda manusia dari atas dan bawah karena jika diatas menggambarkan
manusia melihat keatas diibaratkan manusia selalu ingat kepada Allah, begitupun dari bwah, jika
manusia melihat ke bawah tentunya manusia akan mengingat kematian, hal itu malah akan
menambah manusia akan terus mengingat Allah S.W.T. maka tidak heran jika manusia
mengaplikasikan bentuk syukur dengan bersujud sebagai tanda berserah diri kepada Allah. Yang
melihat keatas untuk berdo’a kepada Allah.
Bersyukur itu sesungguhnya adalah kewajiban umat Islam kepada Allah, jika ada hamba yang
tidak mau bersyukur maka dia telak mengkufuri nikmat Allah. Ekspresi dari syukur kita kepadaNya dapat diaplikasikan dengan memanfaatkan segala nikmat yang diperoleh untuk diri sendiri,
keluarga, nusa, dan bangsa. Ayat syukur sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an menunjukkan
bahwa tafsir kontekstual dalam memahami konsep syukur secara lebih praktis dan bermakna
memiliki sumbangan yang besar terhadap sukses dan bahagianya seseorang12.

D.

Pendekatan Gender
Untuk mengetahui pembaruan Islam terhadap status perempuan perlu lebih dahulu diketahui

bagaimana masyarakat Arab sebelum Islam pra-Islam memperlakukan perempuan13. Misi pokok
kitab suci al Qur’an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk
diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual14. Oleh karna itu jika ada penafsiran Al
Qur’an dan Al Hadis yang nilainya mengarah pada ketidak adilan pada gender maka tafsir tersebut
perlu untuk ditinjau kembali kesahihannya. Pendekatan gender tidak hanya terjadi dalam
memahami atau menafsirkan ayat-ayat, melainkan juga muncul dalam pemahaman hadis Nabi
Muhammad S.A.W.15. Gender dalam tafsir Al Qur’an dapat diamati dengan beberapa cara yaitu
12

Ibid., hal 397.
Dedi Wahyudi, “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,” Januari 2014, hal 10.
14
Zaitunah Subhan, “Gender dalam Tinjauan Tafsir,” 2008, hal 1.
15
Ibid., hal 3.

13

7

sebagai berikut: yang pertama dengan pembakuan tanda baca, tanda huruf dan qira’at, yang kedua
dengan memahami perbedaan kosa kata, yang ketiga menetapkan kata ganti, yang keempat
menetapkan kata pengecualian, yang kelima menetapkan kata penghubung, yang keenam
menetapkan pemaknaan dalam struktur bahasa, yang ketujuh menetapkan bias kamus bahasa arab,
yang kedelapan menetapkan bias dalam tafsir, yang kesembilan memahami bias riwayat Israiliyat,
yang kesepuluh mengetahui bias berbagai mitos, yang kesebelas mengerti keadilan gender dalam
perspektif Islam.
Sejarah panjang agama sesungguhnya sejarah kaum laki-laki dalam pengertian yang luas16.
Hal ini karna sesungguhnya penafsiran ayat-ayat Al Qur’an mauput Al Hadis kebanyakan adalah
karya kaum laki-laki, meskipun ada segelintir tafsir karya dali kaum perempuan, tetapi tafsir hasil
karya kaum perempuan kalah dengan dominasi tafsir karya kaum laki-laki. Sehingga referensi, cara
menyelesaikan masalah sosial budaya maupun agama menggunakan cara dari tafsir kaum laki-laki.
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan lakilaki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang
sederajat17. Banyak pemikiran Islam yang mencoba untuk menyusun kembali masalah tentang
penafsiran Al Quran dan Al Hadis yang dianggap mrugikan kaum perempuan. Namun jika dilihat
dari asal-usul penciptaan manusia, perempuan dengan freminimnya dan laki-laki dengan
maskulinnya sesungguhnya mempunyai cirikhas masing-masing. Dengan perbedaan kekhasan dari
kaum laki-laki dengan kaum perempuan itu justru dapat menimbulkan keseimbangan, karna
perbedaan atau kekhasan masing-masing dapat saling melengkapi.
Di tengah-tengah masyarakat, pandangan yang berkembang tentang perempuan masih terbagi
dalam dua kutub yang berseberangan18. Yang pertama menganggap peran perempuan hanya sebagai
ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak, diam didalam rumah. Pendapat yang kedua
mengatakan perempuan berhak memperoleh kebebasan dalam bertindak, baik dalam berfikir
maupun bersikap, namun tetap dalam batasan. Sudah menjadi sunatulloh makhluknya diciptakan
secara berpasan-pasangan. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Secara kronologis, asal
usul kejadian perempuan tidak dijelaskan oleh Al Qur’an. Informasi mengenai penciptaan manusia,
banyak diketahui melalui hadis, israiliyat dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan
Talmud19.
Sesungguhnya perempuan disisi Allah derajatnya sangat mulia, hal itu dapat dilihat dengan
adanya salah sat surat yang mempunyai nama surat An Nisa yang mempunyai arti perempuan.
Islam telah mengangkat derajat kedudukan perempuan sebagi seorang istri dan menjadikan
16

Ibid., hal 8.
Nursyam, “Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam” 4 (Desember 2012): hal 1.
18
Halimatussa’diyah, “Tafsar Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qurān,” 1999, hal 1.
19
Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 2000), hal 226.

17

8

melayani keluarga sebagai jihad di jalan Allah. Oleh karna itu, Islam memberikan hak-hak istri
yang tidak sekedar hitam di atas putih, tetapi harus dilaksanakan dan dijaga sebaik mungkin. Dalam
tafsir Al Qur’an hadis posisi istri yangat vital didalam keluarga, seorang istri wajib mengurus
keluarga dan mengatur keuangan keluarga sebaik mungkin, istri juga wajib menjaga keharmonisan
antar anggota keluarga dan menciptakan susana damai di dalam keluarga.
Salah satu tafsir ayat yang mempunyai arti “perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki”
menyebabkan banyak kesalahfahaman diskriminasi gender. Ada pendapat yang mngatakan bahwa
perempuan hanya diciptakan dari salah satu bagian tubuh laki-laki, pendapat ini sudah tertanam
didalam fikiran manusia sehingga posisi laki-laki selalu di prioritaskan dibanding posisi perempuan.
Anggapan bahwa akal perempuan kurang kurang sempurna dibandingkan akal dari laki-laki
menyebabkan sifat laki-laki lebih superior dibanding perempuan, sehingga sifat laki-laki lebih
cocok sebagai pemimpin dalam rumahtangga. Jadi, jika ada perempuan yang menjadi pemimpin
dalam keluarga kurang tepat karna menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Akal perempuan tidak
sama dengan akal laki-laki, hal ini menyebabkan perempuan mempunyai sifat pasif, sifat ini
cendrung akan muncul dalam berkeluarga, perempuan cenderung diatur dan nurut kepada laki-laki.
Perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan menimbulkan pendapat remeh yang
dilekatkan pada perempuan, yang sesungguhnya pendapat tersebut hanyalah rekayasa sosial yang
diciptakan masyarakat saja yang dianggap takdir dati tuhan YME, kemudian dijadikan sebagai
kodrat kultural yang mengakibatkan terpinggirnya kedudukan perempuan selama ini.
Peran perempuan sesungguhnya sudah sesuai dengan pembagian kerja di masyarakat.
Maksudnya perempuan mengurus rumah tangga dirumah sedangkan laki-laki bekerja mencari
nafkah di luar. Pembagian kerja seperti ini sesungguhnya dapat menjadikan kehidupan rumah
tangga menjadi tentram dan harmonis. Sesungguhnya perempuan diperbolehkan menjalankan peran
ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja di luar selama tidak mengganggu kewajiban
perempuan di rumah sebagai ibu rumah tangga dan pendidik. Serta tidak melanggar ketetapan
norma-norma dan susila masyarakat yang berlaku. Menurut Islam pekerjaan perempuan di ruang
domestik dan pekerjaan laki-laki di ruang publik mempunyai nilai atau bobot yang sama20. Maka
dari itu perempuan bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan, meskipun itu untuk bekerja.
Yang terpenting adalah perempuan harus mempertimbangkan manfaat, dan umpan timbal balik dari
hal yang mereka lakukan. Yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dari kaum perempuan.
Perempuan banyak juga yang ingin mempunyai sifat mandiri, keinginan ini nampaknya malah
menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk aktif dalam bekerja di samping menjalankan peran
sebagai ibu dan istri di rumah.

20

Halimatussa’diyah, “Tafsar Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qurān,” hal 11.

9

Menurut Bronowski, sebenarnya perbedaan laki-laki dan perempuan itu tidak banyak, tidak
seperti pada hewan: jantan dan betina21. Jika masih ada yang mempertentangkan perbedaan dari
kaum laki-laki dan perempuan, maka sama seperti zaman purba dulu. Jika sekarang masih ada yang
mempertentangkan perbedaan gender itu pun tergantung pada adat istiadat yang berlaku disuatu
lingkungan masyarakat tertentu. Ketika wacana gender muncul, ada perselisihan antara kaum
perempuan dan kaum laki-laki yang berujung pada aksi unjuk rasa, dengan tujuan mencari keadilan
atas diskriminasi gender selama ini.
Status artinya kedudukan seseorang di dalam suatu pola. Sementara itu status sosial yaitu
kedudukan seseorang di dalam suatu kelompok masyarakat. Para ahli sosiologi membagi
kedudukan atau status ini dalam tiga bagian22, yaitu: pertama, kedudukan seseorang yang diperoleh
karna kelahiran. Contohnya anak dari seorang pejabat disuatu daerah tertentu pasti akan dihormati
pula seperti kedudukan orangtuanya. Yang kedua, kedudukan yang diperoleh dengan usaha sendiri.
Contohnya, orang yang dulunya kurang mampu dalam segi finansial, kemudian dia bekerja keras
hingga dia menjadi mampu atau kaya, pasti orang tersebut akan memperoleh status sosial yang tingi
pula didalam lingkungan masyaakatnya. Yang ketiga, status yang diperoleh dari pemberian.
Contohnya, seorang guru honorer yang dinaikkan jabatannya menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil)
oleh kepala dinas setempat.
Berkaitan dengan mandirinya kaum perempuan, dan diperolehnya kesetaraan status sosial
antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) demi
tercapainya kesejahteraan dalam bermasyarakat. Kemajuan kaum perempuan dan tercapainya
kesetaraan gender adalah satu-satunya cara untuk meperoleh masyarakat yang adil, dan maju serta
damai. Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender salah satu syarat untuk memperoleh
keamanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup masyarakat. Peran gender dalam
pembentukan status sosial tidak dapat terwujud atau tidak dapat berdiri sendiri karna, karna
kesenjangan sosial gender bukan sekedar dalam persoalan seks semata, akan tetapi seluruh nilai
dalam sosial budaya masuk kedalamnya.
Dari diorama sejarah masa lalu hingga masa modern, mengindikasikan bahwa pandangan
terhadap posisi perempuan atau perempuan sangat dinamik sesuai dengan trend-trend yang
menginspirasi kedudukan perempuan itu sendiri, bahkan dalam konteks kekinian disaat perempuan
telah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa dalam berbagai sektor kehidupan umat manusia23.
Sehingga tidak ada lagi pemikiran yang dapat memecah atau mendeskriminasikan gender lagi pada
kehidupan nyata.

Surahman Amin, “Tafsir Keadilan Sosial dan Semangat Gender” 20 Nomor 2 (2015): hal 281.
Ibid., hal 182.
23
Zainal Abidin, “Kontruksi Pemikiran Feminimisme dalam Islam” 16 Nomor 2 (2011): hal 8.

21

22

10

Ayat-ayat gender telah lama menjadi bagian dari obyek kegiatan penafsiran oleh para
mufassir baik klasik maupun kontemporer24. Untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap
perempuan maka yang harus dilakukan adalah mendorong perempuan untuk lebih kreatif dan
mandiri agar mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki agar relasinya sama antara kaum
perempuan dengan laki-laki. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah
derajatnya setara. Akan tetapi, jika disuatu hari terjadi ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dengan
kaum perempuan itu adalah akibat dari pemikiran dan adat-istiadat dari Pratiarki yang lebih
dominan. Al Qur’an pun mengakui bahwa derajat kaum laki-laki dan kaum perempuan itu setara.
Meskipun terdapat beberapa ayat yang dianggap lebih berpihak kepada kaum laki-laki, itupun
dalam hal hak waris, persaksian, poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau ayah. Al Qur’an
cenderung mempersilahkan kepada manusia unduk cerdas dalam berfikir dalam menata atau
mengatur peran dari kaum perempuan dan kaum laki-laki agar tidak terjadi paham diskriminasi
gender. Teori feminisme modern mengatakan bahwa individu adalah makhluk otonom yang terlepas
dari pengaruh lingkungan yag dapat bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Semua ayat-ayat yang ada di dalam Al Qur’an yang membicarakan tentang Adam dan Hawa
selalu menekankan kedua belah pihak dengan kata ganti dua orang. Hal tersebut secara tidak
langsung menganggap derajar keduanya sama. Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan
kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin25.
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada
laki-laki, seperti pada Al Qur’an Surat Al Nisa ayat 34 dan Al Baqarah ayat 228, ayat-ayat tersebut
sebenarnya tidak bermaksut untuk merendahkan kaum perempuan. Tetapi, ayat-ayat tersebut
mengacu kepada peranan fungsi sosial berdasarkan gender ketika ayat-ayat tersebut di turunkan.
Jika diperhatikan tentang ayat-ayat yang turun karena bersangkutan dengan keadaan perbudakan,
poligami dan soal hak waris, sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu menegakkan keadilan dan
amanah dalam kehidupan. Ketika merujuk pada hak asasi perempuan tidak hanya melihat pada
kitab-kitab fiqh saja, tetapi melihat dan membandingkan pula dengan perempuan pada masa
sebelum Islam. Seperti contoh hak waris perempuan setengah dari hak waris laki-laki. Syariat Islam
sejak munculnya sudah berusaha mewujudkan keadilan atau kesetaraan gender dalam kehidupan
bermasyarakat yang memiliki budaya dan tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya tersebut
diwujudkan dengan adanya hukum atau aturan dan doktrin-doktrin yang berusaha mengangkat
harkat dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula yang berada dibawah laki-laki. Dan

Mintaraga Eman Surya, “Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik
Terhadap Tafsir Feminisme Liberal” 6 No 1 (Juli 2014): hal 59.
25
Al Qur’an Surat Al Hujarat, Surat ke 49, Ayat 13.
24

11

memberikan hak kepada kaum perempuan baik dalam lingkungan domestik (keluarga) maupun
dalam lingkungan public (bekerja).

E.

Kesimpulan
Pada ruang lingkup konseptual, Islam mengisyaratkan dirinya tidak berkepentingan dalam

subordinasi hak-hak perempuan. Sedangkan pada lapis aksiologis, ternyata apa yang dirujuk selama
ini menimbulkan bias karena dilahirkan dari ideologi penafsiran yang timpang. Kaum dominan
menguasai penafsiran dalam setiap praktik hukum umat, sehingga secara gradual perempuan berada
dalam kungkungan hegemoninya. Sekalipun harus menghadapi kritik-kritik tajam, tafsir kontekstual
berwawasan gender terbukti memiliki landasan paradigmatik yang kokoh. Karakteristiknya yang
moderat serta relevan dengan perkembangan kehidupan umat, menjadikannya terus mendapat
banyak dukungan dari generasi ke generasi. Meskipun tafsir kontekstual memiliki landasan
pragmatik yang kokoh, namun suatu ikhtiar rekonstruksi dan pengembangan konsep secara lebih
konperehensif amat penting dilakukan demi merespons kritik-kritik dari berbagai kalangan. Ikhtiar
tersebut mencakup upaya membuktikan legitimasi tafsir model tersebut secara visi sosiomoral
keagamaan; memperhatikan prinsip-prinsip penafsiran secara ketat dalam implementasinya seperti
ideologi, otoritas, klasifikasi dan regulasi terbatas. Jika konsep sebagaimana disebutkan di atas
terealisasi, maka secara qua norma , Islam tidak bermasalah dengan gerakan kesetaraan gender.
Gender di tangan Islam mempunyai masa depan cerah, selama elit-elit agama yang terlibat aktif
dalam membuat penafsiran mampu mengawal kemurnian Islam.
Dalam konsep kesetaraan gender yang ideal memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual, baik dalam pendidikan, spiritual maupun karier professional, tidak boleh dimonopoli
oleh salah satu jenis gender saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama
untuk meraih prestasi secara optimal. Namun dalam kenyataan di masyarakat konsep ini
membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena terdapat sejumlah kendala budaya yang sulit
diselesaikan. Konsep kesetaraan Gender dalam perspektif Islam adalah kesetaran peran yang di
dalamnya ada nilai-nilai keadilan bagi lakilaki dan perempuan, sehingga mereka mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya,sehingga dapat berperan dan mempunyai keterampilan
yang diperlukan bagi dirinya,masyarakat, bangsa dan Negara.

12

F.

Referensi

Abdul Malik Ghozali. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah Dalam Ta’wil
Mukhtalaf Al Hadis” 8 (Juni 2014).
Abdullah Saeed,. “Interpreting the Qur’an,” 2006.
Al Qur’an Surat Al Baqoroh, Surat Ke 2.
Al Qur’an Surat Al Hujarat, Surat ke 49.
Choirul Mahfud. “The Power of Syukur Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam Al Qur’an” 9 No 2
(Desember 2014).
Dedi Wahyudi. “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,” Januari 2014.
Halimatussa’diyah. “Tafsar Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qurān,” 1999.
Jajang A Rohmana. “Tafsir Lokal dan Polemik Keagamaan di Pringan” 23 (2018).
Lien Iffah Naf ’atu Fina. “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed” 9 No 1 (Juni 2015).
Mintaraga Eman Surya. “Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an dengan Pendekatan
Ekofeminisme: Kritik Terhadap Tafsir Feminisme Liberal” 6 No 1 (Juli 2014).
MK Ridwan. “Metodologi Penafsiran Kontekstual” 1 (Juni 2016).
Mokhtaridi Sudin. “Spirit Pendidikan Dalam Al Qur’an” 16 (2011).
Mustaqimah. “Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Al Qur’an” Volume 12 Nomor 1 (Juni
2015).
Nasaruddin Umar. Argument Kesetaraan Jender . Jakarta: Paramadina, 2000.
Nursyam. “Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam” 4 (Desember 2012).
Surahman Amin. “Tafsir Keadilan Sosial dan Semangat Gender” 20 Nomor 2 (2015).
Zainal Abidin. “Kontruksi Pemikiran Feminimisme dalam Islam” 16 Nomor 2 (2011).
Zaitunah Subhan. “Gender dalam Tinjauan Tafsir,” 2008.

13