SISTEM PEMBUKTIAN PERKARA DI DALAM HUKUM

SISTEM PEMBUKTIAN PERKARA DI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN
ISLAM*
Oleh: Taufiqul Hadi
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdhatul Ulama Aceh)
Sistem pembuktian sangat menentukan bagi hakim di dalam memutuskan perkara. Namun dalam
praktek sistem tersebut sangat terkait dengan konsep kebenaran formil, dimana tidak
mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinan (kebenaran materil), tetapi cukup
berdasarkan alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang. Tidak jarang, penyelesaian
perkara dengan model seperti ini terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang
berperkara atas putusan hakim. Penelitian ini mengkaji urgensitas kebenaran materil sebagai
bahan pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara dan prinsip-prinsip yang harus dipegang
oleh seorang hakim. Hasil penelitian ini menunjukkan agar dapat mewujudkan kebenaran dan
keadilan pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan terhadap suatu kasus, maka
seorang hakim dituntut agar dapat mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang
diperiksanya. Dan prinsip umum yang harus dipegang oleh seorang hakim ketika pembuktian
perkara ada dua, yaitu: hakim harus mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan dan hakim
mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya.
Kata kunci: pembuktian, hakim, kebenaran formil, kebenaran materil.

A. Pendahuluan
Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting, karena

pengadilan di dalam menetapkan hukum tidak lain berdasarkan hasil pembuktian. Dalam
menyelesaikan perkara perdata, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan
secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dari dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan.
Jadi membuktikan itu hanya dalam hal adanya perselisihan, adapun terhadap hal-hal yang tidak
dibantah oleh pihak lawan, tidak diperlukannya pembuktian.1
Fenomena yang sering terjadi sekarang ini adalah sistem pembuktian perkara sangat
terkait dengan konsep kebenaran formil yang dianut dalam Hukum Acara Perdata. Kebenaran
formil tidak mensyaratkan hakim memutus perkara dengan keyakinan, tetapi cukup berdasarkan
alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang. Penyelesaian perkara dengan model seperti
*Artikel ini sudah dipublikasikan pada Jurnal Madany STIS NU Aceh dengan nomor ISSN: 2527-6808.
1
Lihat Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975), hal. 1 dan 13.

1

ini terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim.
Apabila hakim hanya berpegang teguh terhadap kebenaran formil bisa saja ada pihak yang benar
menjadi kalah karena gagal mengetengahkan bukti-bukti yang konkrit di muka persidangan,
padahal Islam sangat mengutamakan prinsip kebenaran dan keadilan.

Prinsip kebenaran dan keadilan dapat kita temukan pada beberapa ayat di dalam Alquran,
salah satunya adalah firman Allah yang terdapat di dalam surat al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:

              
               
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat di atas menggambarkan secara umum tentang kebenaran dan keadilan, sedangkan
dalam hal bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk Hukum Acara di pengadilan,
ditentukan oleh para hakim berdasarkan petunjuk Nabi dan hasil ijtihadnya.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pentingnya kebenaran materil sebagai bahan pertimbangan hakim ketika
memutuskan perkara?
2. Bagaimana Islam mengatur prinsip-prinsip yang harus dipegang hakim ketika
pembuktian perkara?
Diharapkan dari tulisan ini dapat menjawab pertanyaan di atas, sehingga dengan ini kita
dapat mengambil langkah bijak di dalam pembuktian dan memutuskan perkara, agar hasil dari

putusan pengadilan dapat memuaskan semua pihak-pihak yang bersengketa, sekaligus dalam
rangka untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

2

B. Konsep Pembuktian Perkara Dalam Hukum Acara Islam
a) Pengertian Pembuktian
Dikaji secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal
(peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa
tersebut). Jadi, pembuktian adalah perbuatan membuktikan.2 Apabila dilihat dari makna kamus,
pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau
salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.3
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu
persengketaan.4 Riduan Syahrani mengatakan bahwa pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti
yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 5 Sedangkan Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan
pembuktian itu adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik ia merupakan saksi atau
sesuatu yang lain. 6
Pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-bayyinah. Secara etimologi

berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak
(benar).7 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan. Dengan demikian dapat
juga dipahami bahwa alat bukti adalah cara atau alat yang digunakan dalam pembuktian.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-bayyinah mengandung pengertian yang lebih luas dari
2

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: PT.
Alumni, 2007), hal. 159.
3

Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI Offline Versi 1.5, aplikasi di download dari
http://www.ketikankomputer.com/2013/03/download-kamus-besar-bahasa-indonesia.html, pada tanggal 30 Mai
2013.
4
Subekti, Hukum Pembuktian…, hal. 1.
5
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004),
hal. 83.
6
Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 139.

7
Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi, al-Qadha’ Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah, (Makkah:
Jami’ah Umm al-Qura Press, 1989), hal. 382.

3

definisi mayoritas ulama yang dapat digunakan untuk mendukung dakwaan seseorang. Ia
mendefinisikan al-bayyinah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan
yang hak (benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi
yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak pada pemiliknya. 8
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pembuktian adalah usaha yang
dilakukan oleh para pihak yang berperkara, agar dapat meyakinkan hakim akan kebenaran
peristiwa atau kejadian yang diajukan kepada pengadilan melalui alat-alat bukti yang telah
ditetapkan oleh undang-undang atau syari’at.
b) Asas Pembuktian
Asas pembuktian di dalam hukum Acara Islam, berpedoman kepada hadis Rasulullah
saw. yang mana di dalam hadis tersebut menyebutkan bahwa tidak bisa dikatakan bahwa “bukti
dibebankan kepada penggugat”.9 Dari Abdullah ibn Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda:

‫ﻟﻮ ﻳﻌﻄﻰ اﻟﻨﺎس ﺑﺪﻋﻮاﻫﻢ ﻷدى ﻧﺎس دﻣﺎء رﺟﺎل و أﻣﻮاﻟﻬﻢ وﻟﻜﻦ اﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻰ واﻟﻴﻤﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ أﻧﻜﺮ )رواﻩ‬

10

(‫اﻟﺒﺨﺎرى و ﻣﺴﻠﻢ‬

“Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang
menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya)
kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjukkan
suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak
mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Ilustrasi asas pembuktian dalam hadis di atas dapat digambarkan sebagai berikut:11
Seorang istri menggugat suaminya agar membayar hutang mas kawin 50 gram emas yang
dahulunya sewaktu akad nikah, maskawinnya berupa hutang. Kepada si istri dibebankan oleh
hakim untuk membuktikan bahwa si suami telah berhutang maskawin dan belum dibayar. Jika si
8

hal. 97.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, Jil. 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006),


9

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. 2, Cet. 9, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), hal. 139.
10
Muhammad ibn Ismail Ash-Shan’ani, Subul al-Salam, Jil. 4, (Riyadh: Maktabah al-Mu’arif lil al-Nasyr
wa al-Tauzi’, 2006), hal. 132.
11
Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 140.

4

suami mengatakan sudah membayarnya maka ia dibebankan juga untuk membuktikan bahwa ia
telah membayar. Jika si istri tidak mampu membuktikan maka gugatannya ditolak tetapi jika ia
melakukan sumpah (negatie) bahwa ia belum pernah menerima pembayaran maskawin tersebut
dan si suami tidak ada bukti bahwa ia sudah membayar, maka gugatan si istri dapat dikabulkan.
Namun, jika si suami mengucapkan sumpah pula maka sumpah si istri tadi tidak mempunyai arti
sebab pada keadaan terakhir ini sama dengan si istri yang tidak mempunyai bukti (buktinya
hanya sumpah dan sumpahnya sudah dimusnahkan oleh sumpah si suami). Jika si suami sudah
mengucapkan sumpah telah membayarnya sedangkan si istri tidak ada bukti dan tidak pula

bersumpah, tentu bertambah kuat dasar untuk menolak gugatan si istri.
Dengan demikian, dari ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa beban pembuktian
sesewaktu kepada si penggugat, namun sesewaktu dapat berpindah kepada si tergugat, karena
asas pembuktian telah mengatakan hal yang demikian.
Kaidah universal dalam peradilan Islam yang menyatakan bahwa “yang asal itu terbebas
tanggungan” dan bahwa “bukti dibebankan atas penuduh/ penggugat”, dinilai sebagai kaidah
hukum yang diterima dalam Islam pada masa lalu dan masa sekarang, dasar jaminan peradilan
dan kebebasan individu dalam sistem Islam. Sebab dengan kaidah ini, maka manusia secara
aslinya dinilai bebas dari dosa apa pun atau kewajiban. Dan karena itu manusia tidak bisa
dituntut hukum apa pun atau dipaksa melakukan sesuatu atau pekerjaan apa pun kecuali karena
sebab yang bersandarkan kepada dalil yang pasti sampai batas yakin. 12
c) Sistem Pembuktian
Kata sistem berasal dari bahasa Inggris yaitu system, artinya suatu rangkaian prosedur
yang telah merupakan suatu kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan sesuatu fungsi. Jadi,
pengertiannya sama sekali berbeda dengan sistem (dari bahasa Belanda, sisteem) yang artinya
cara.13
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia
yang merujuk kepada HIR/ RBg mendasarkan sistem pembuktiannya kepada “kebenaran
12


Samir Aliyah, Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam, terj. Oleh: Asmuni Solihan
Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004), hal. 451.
13
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 141.

5

formil”, artinya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara
tertentu menurut yang telah diatur di dalam undang-undang saja.
Sistem ini sudah banyak ditinggalkan orang, karena dalam praktek peradilan, sebenarnya
seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang diperiksanya,
karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Sehingga dipakailah Hukum Acara
Perdata yang bukan hanya terdapat di dalam HIR/ RBg tetapi juga yang didapat dari BW, dari
Rsv (Regletment op de Rechtsvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan
Peradilan, termasuk dari Surat-surat Edaran dan Petunjuk dari Mahkamah Agung. Selain dari
pada itu, aliran kebenaran formal juga sudah beralih kepada kebenaran materil, artinya walaupun
alat bukti secara formal telah mencukupi, hakim tidak boleh memutus kalau ia tidak yakin bahwa
hal itu telah terbukti benar secara materil. 14
Adapun di dalam terminologi Islam, para ulama fiqih tidak membedakan hukum-hukum

bayyinah (pembuktian) dalam perkara mu’amalat (kasus-kasus perdata) dengan hukum bayyinah
dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus pidana). Semuanya mereka bahas dalam kitab syahadat
(kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka cantumkan
dalam kitab ‘Adliyah (peradilan) dan dalam kitab al-Da’awiy wa al-Bayyinat (tuduhan dan
pembuktian).15
Alquran menyebut pembuktian tidak hanya semata-mata dalam arti dua orang saksi.
Akan tetapi, juga dalam arti keterangan, dalil dan alasan, baik secara sendiri-sendiri maupun
komulasi. Rasulullah saw. telah menjelaskan masalah pembebanan pembuktian ini, sebagaimana
di dalam sabdanya:

‫اﻟﻤﺪﻋﻰ‬
َ ‫اﻟﺒﻴِﻨﺔ ﻋﻠﻰ‬
“Pembuktian dibebankan kepada Penggugat”

14

Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 141.
Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur, Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat, terj. Oleh:
Syamsuddin Ramadhan, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hal. 303.
15


6

Hadis tersebut dimaksudkan bahwa untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan
petitum (surat) gugatannya, seorang penggugat harus mengemukakan bukti-bukti yang
membenarkan dalil-dalil gugatannya. Dan dua orang saksi adalah termasuk alat bukti. Memang,
kadang bukti-bukti lain selain dua orang saksi lebih memiliki nilai kekuatan pembuktian
daripada saksi. Hal itu karena adanya petunjuk keadaan yang seolah-olah berbicara atas dirinya
sendiri yang membuktikan kebenaran penggugat.16
Akan tetapi selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan oleh bukti lawan.
Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkal akibat hukum
yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang
diajukan oleh pihak lawan. Karena bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat
menentukan atau memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau
sempurna yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa dengan adanya bukti lawan menimbulkan implikasi terhadap masing-masing alat bukti
tersebut, dimana hakim harus memeriksa dengan cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di
antara alat bukti yang dimaksud.
Selanjutnya, berkenaan dengan mempertahankan sistem kebenaran materil, bertujuan
untuk mengantisipasi kekecewaan hukum. Dalam Hukum Acara Perdata Konsepsi Islam,
misalnya tentang sumpah li’an seperti yang disebutkan di dalam Alquran, surat an-Nur ayat 6-9.
Ilustrasinya sebagai berikut:17
Suami adalah seorang saleh, taat beragama dan ia yakin telah melihat sendirian bahwa
istrinya ber-zina dengan orang lain, tetapi suami tidak mampu membuktikan selain daripada
mengucap sumpah li’an. Akan tetapi, menurut Alquran di atas, istri dapat pula mengingkarinya
dengan mengucapkan sumpah bantahan li’an. Padahal si istri adalah orang yang betul beragama
Islam, tapi Islam abangan, jadi si istri tidak tahu dan tidak peduli apa itu sumpah. Karena si istri
mengucapkan sumpah bantahan li’an, zina tidak terbukti, si istri terhindar dari kena hukum
rajam, sedangkan si suami terkena hukum had menuduh zina, maka perkawinan keduanya
terputus.
16

Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, terj. Oleh: Adnan
Qohar dan Anshoruddin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 15.
17
Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 143.

7

Dalam kasus ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian formil semata-mata akan
membawa kepada kekecewaan hukum. Sehingga ada di antara ulama yang berpendapat bahwa di
dalam hal tarjih al-bayyinah sebenarnya, cukup berpegang kepada kaidah umum hadis, yakni albayyinah ‘ala al-mudda’i, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti
teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli fiqih belakangan.18
d) Alat-alat Bukti
Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), alat bukti artinya
adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakim di muka Pengadilan. Dipandang dari segi Pengadilan yang memeriksa
perkara, alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk
memutus perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan atau Pengadilan. 19
Sebagaimana yang telah penulis utarakan pada sub pengertian pembuktian di atas, bahwa
pembuktian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-bayyinah. Hal ini mengacu kepada
hadis Nabi “al-bayyinatu ‘ala al-mudda’i”. Ada pula yang menyebutnya dengan al-hujjah, aldalil, al-burhan, tetapi yang tiga terakhir ini tidak lazim dipakai.
Para fuqaha berpendapat bahwa alat-alat bukti itu ada 7 macam, yaitu: iqrar (pengakuan),
syahadah (kesaksian), yamin (sumpah), nukul (menolak sumpah), qasamah (bersumpah 50
orang), keyakinan hakim dan bukti-bukti lainnya yang dapat diperlukan. Dari semua alat-alat
pembuktian tersebut, Hasbi Ash-Shiddieqy menilai bahwa yang terpokok untuk diperlukan
dalam soal gugat-menggugat hanya tiga saja, yaitu: iqrar, syahadah dan yamin.20
Adapun alat-alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Peradilan Umum termasuk juga
pada Peradilan Agama di Indonesia pada sekarang ini adalah sebagai berikut:21
1. Alat bukti dengan surat/ tulisan
2. Alat bukti saksi
18

Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, (Kairo: Mathba’ah Sa’adah, t.th), hal. 299.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 144.
20
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.
19

136.

21

Lihat K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/ HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 71.
Lihat juga Subekti dan R. Tjiro Sudibo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992),
hal. 397.

8

3. Alat bukti persangkaan (dugaan)
4. Alat bukti pengakuan
5. Alat bukti sumpah
6. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)
7. Alat bukti keterangan ahli (expertise).
Selanjutnya ketujuh alat bukti tersebut akan penulis paparkan secara ringkas sebagai
berikut:
1. Alat Bukti Tertulis atau Surat-surat
Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam pembuktian perkara, karena peranan
surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat berhubung dengan kemungkinan
diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Yang menjadi patokan adalah alat bukti tulisan
atau surat tersebut tidak boleh mengorbankan hukum materil Islam, karena hukum formil
tersebut semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil.22 Misalnya: seseorang yang
berwasiat di depan notaris dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada orang lain setelah ia
wafat nanti, sehingga dalam kasus ini timbul permasalahan apakah surat wasiat itu sah dan dapat
dilaksanakan atau tidak.
Menurut hukum materil Islam, siapa dan di mana pun yang membuat dan dibuat surat
wasiat itu, mutlak tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan, karena maksimal wasiat harta
hanyalah sepertiga saja dari seluruh harta yang membuat wasiat. Ada juga sebagian kecil ahli
hukum Islam yang berpendapat, surat wasiat itu sah tetapi tidak dapat dilaksanakan. Namun
apabila notaris tidak mengerti akan hukum Islam atau tidak beragama Islam, wasiat seluruh harta
itu kemungkinan dapat terjadi. Dan inilah yang dimaksud dengan mengorbankan hukum materil
Islam. 23
2.

Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah
(saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata

22
23

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 146.
Lebih lengkap lihat juga Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 146-147.

9

kepala sendiri. Jadi saksi dimaksudkan adalah manusia hidup. 24 Dalam perkara pidana,
keterangan saksi adalah alat bukti yang paling utama.
Dalam sistem peradilan Islam, kesaksian diperuntukkan untuk memperkuat dakwaan atas
orang yang didakwa. Kesaksian hanya terjadi dalam kasus dakwaan di hadapan seorang Qadhi.
Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa salah satu syarat dari kesaksian harus didahului dengan
dakwaan. Kesaksian itu harus didahului dengan adanya dakwaan, dalam kasus-kasus yang
menyangkut hak-hak manusia, seperti dalam masalah harta, jual beli, begitu juga qishash.
Sementara itu dalam kasus-kasus yang tidak menyangkut hak-hak manusia, tidak disyaratkan di
dahului oleh adanya dakwaan. Namun demikian, kesaksian itu agar bisa menjadi kesaksian
dalam pembuktian, harus dilakukan di dalam sidang pengadilan. 25
Para fuqaha telah menerangkan syarat-syarat yang wajib sempurna pada kesaksian
supaya kesaksian itu harus diterima dan dipergunakan. Demikian pula mereka telah
menerangkan tentang orang-orang yang diterima kesaksiaannya dan orang-orang yang ditolak
kesaksiannya, tentang hukum berbeda kesaksian dari gugutan, perbedaan para saksi satu sama
lain, hukum mencabut kesaksian dan sebagainya. Menurut jumhur, fiqih Islam menerima
bayyinah syakhshiyah atau kesaksiaan dalam segala macam keadaan. Akan tetapi dengan ada
ketentuan-ketentuan dan ada batas-batasnya, berdasarkan perbedaan mazhab dan perkara-perkara
yang dihadapi. 26
Seluruh ahli fiqih juga berpendapat bahwa apabila seorang hakim meragukan saksi-saksi
yang diajukan oleh para pihak, maka untuk mengoreksi bagaimana mereka menyaksikannya,
maka saksi-saksi tersebut harus diperiksanya secara terpisah. Cara yang demikian ini harus
diterapkan oleh hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya. Jika cara ini
dikesampingkan, maka dia telah berdosa dan telah menyalahi ketentuan-ketentuan hukum acara
yang berlaku.27
3. Alat Bukti Persangkaan (Dugaan)

24
25

325-326.

26
27

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 152.
Lihat Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur, Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat…, hal.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 140.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Thuruq al-Hukmiyyah…, hal. 38.

10

Alat bukti persangkaan (Belanda, Vermoeden) yang di dalam Hukum Acara Peradilan
Islam disebut dengan al-qarinah. Al-Qarinah adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau
pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk. Di
lingkungan Peradilan Umum Pidana, istilah alat bukti ini dinamakan aanwijzingen (Belanda)
atau diterjemahkan dengan “petunjuk-petunjuk”. Dalam Hukum Acara Peradilan Islam,
aanwijzingen maupun vermoeden, disebut dengan qarinah juga.28
Banyak contoh-contoh yang menunjukkan bahwa Islam menganggap qarinah sebagai
alat bukti. Di antaranya, bahwa Rasulullah saw. menganggap dan menggunakan qarinah sebagai
dasar putusannya, disebutkan Rasulullah saw. pernah menahan orang dan menghukum tertuduh
setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda mencurigakan pada diri tertuduh. Begitu
juga di dalam Alquran juga benar-benar menganggap qarinah sebagai alat bukti, sebagaimana
pada kisah Nabi Yusuf (lihat surat Yusuf (12): 26).29
4. Alat Bukti Pengakuan
Alat bukti pengakuan di dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al-iqrar dan dalam
bahasa Acara Peradilan Umum disebut bekentenis (Belanda), confession (Inggris), yang artinya
ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat “di muka sidang”
bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar.30
Untuk membenarkan pengakuan, maka hendaklah orang yang memberikan pengakuan itu
dalam keadaan berakal, baligh, tidak dipaksa dan bukan orang yang di bawah pengampunan
(curatele). Apabila si tergugat sudah memberikan pengakuan, maka dia tidak dapat menarik
kembali pengakuannya dalam hal-hal yang mengenai hak hamba, tetapi dia dapat menarik
kembali dalam perkara zina dan meminum arak. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan hakhak Allah, menurut jumhur, dapat ditarik kembali. 31

28
29

hal. 119.

30
31

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 166.
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam, terj. Oleh: Imron AM, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.th),
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradian Agama…, hal. 170.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 136-137.

11

Walaupun pengakuan ini dipandang sebagai hujjah yang paling kuat, namun terbatas,
hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain.
Demikian dalam garis besarnya, berbeda dengan kesaksian. 32
5. Alat Bukti Sumpah
Di antara hak penggugat, apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya, sedang
tergugat menolak isi gugatan tersebut, adalah mengajukan tuntutan kepada hakim agar
menyumpah tergugat. Sebagaimana sabda Nabi saw: “al-bayyinatu ‘ala al-mudda’i wal yamin
‘ala man ankara” (Bukti itu wajib atas penggugat dan sumpah itu wajib atas pihak yang
menolak).33
Alat bukti sumpah ini bermacam-macam tetapi bagaimana pun, selain sumpah li’an dan
sumpah pemutus, ia tidak bisa berdiri sendiri, artinya hakim tidak bisa memutus hanya sematamata mendasarkan kepada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti lainnya. 34
6. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat (Discente)
Dasar pemeriksaan setempat dapat dipakai sebagai alat bukti sebenarnya hanya tafsiran
analogi (qiyas, Arab) atas pasal 153 HIR atau 180 RBg dan kepada keperluan praktek
pengadilan, yang kebanyakan diperoleh dari yurisprudensi. Pemeriksaan setempat sebenarnya
adalah sidang pengadilan (majelis lengkap) yang dipindahkan ke suatu tempat tertentu, yang
lengkap Berita Acara Sidangnya seperti biasa dan masih termasuk wilayah Pengadilan tersebut.35
Dalam Acara Peradilan Islam, mungkin pemeriksaan setempat ini bisa dimasukkan dalam
pembahasan tentang ‘ilm al-qadhi. Jadi sebenarnya, pemeriksaan setempat tidak perlu
diistilahkan sebagai alat bukti tersendiri. Bagi peradilan Umum, bisa saja dimasukkan dalam
pembahasan tentang “Persangkaan”. Bagi Peradilan Islam, ‘ilm al-qadhi bisa dimasukkan dalam
pembahasan tentang al-qarinah.36
7. Alat Bukti Keterangan Ahli (expertise)
32

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 137.
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam…, hal. 112
34
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 179.
35
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 188.
36
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 189.
33

12

Bantuan dari orang ke tiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh
kejelasan obyektif bagi Hakim, atas suatu peristiwa yang dipersengketakan dalam suatu perkara,
disebut “keterangan ahli” atau ada juga yang menyebutnya dengan “saksi ahli”.
Menurut Roihan Rasyid, permasalahan Peradilan Agama sehubungan dengan keterangan
ahli ini, meliputi dua hal:37
a. Apakah Peradilan Agama sudah mampu melaksanakan, maksudnya tentang caracaranya.
b. Apakah narasumber atau para ahli tersebut mau mengerti bahwa Peradilan Agama itu
Peradilan Negara atau tidak. Praktek selama ini, polisi, notaris, dokter dan
sebagainya, kelihatan enggan membantu, dengan kata lain, masih menganggap
Peradilan Agama itu sebagai instansi Agama biasa (bukan Badan Peradilan Negara).
e) Prinsip Umum di Dalam Pembuktian Perkara
Seorang hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, maka wajib
baginya untuk memenuhi tuntutan keadilan, di antaranya: 38
1. Mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan;
2. Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.
Yang pertama, hakim mengetahui gugatan-gugatan yang dihadapkan kepadanya, baik
dengan menyaksikan sendiri apa yang digugat itu, atau pun dengan sampainya berita secara
mutawatir kepadanya. Kalau berita yang sampai kepadanya tidak mutawatir, tentulah berita itu
tidak dapat meyakinkannya, hanya menimbulkan persangkaan yang kuat saja. Dan oleh karena
harus berpegang dengan prinsip ini akan menimbulkan kesukaran, maka agama membolehkan
hakim menerima keterangan yang dapat menimbulkan persangkaan yang kuat dan dibenarkan
hakim menerima keterangan tersebut. Untuk mengetahui tentang gugatan-gugatan yang diajukan
itu, cukuplah dengan pengakuan orang yang digugat, atau keterangan-keterangan para saksi yang

37
38

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama…, hal. 190.
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam…, hal. 92.

13

adil, walaupun ada kemungkinan yang mengajukan perkara itu berdusta dan demikian pula saksisaksinya. 39
Adapun yang kedua, pengetahuan hakim tentang hukum Allah, yaitu bahwa hakim
tersebut harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i, atau hukum-hukum yang
telah disepakati oleh ulama, dan jika tidak ditemukan ketentuan hukum pada nash-nash yang
qath’i dan tidak terdapat pula hukum yang disepakati oleh para ulama, maka ditempuhlah jalan
ijtihad, dan ijtihad ini pun didasarkan pada persangkaan yang kuat (zhan).40
Ringkasnya, ada hal-hal yang kita tetapkan karena kita menyaksikan dengan mata kepala
kita sendiri dan ada pula hal-hal yang memerlukan keterangan-keterangan untuk membuktikan
kebenarannya. Kedua jalan ini sebenarnya setingkat keadaannya. Dalam hal ini para fuqaha
menetapkan satu kaidah:41

‫اﻟﺜَﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﺒﺮﻫﺎن ﻛﺎﻟﺜَﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻌﻴﺎن‬
“Apa yang dibuktikan adanya dengan keterangan, sama dengan pembuktian yang dilihat
oleh mata kepala sendiri”
Maka dengan demikian, hakim harus benar-benar jeli di dalam melihat alat-alat bukti
yang ditunjukkan di depan pengadilan, karena yang namanya membuktikan sesuatu, pasti orangorang yang berperkara tersebut akan memberikan keterangan atau dalil sehingga benar-benar
dapat meyakinkan hakim. Di sini kecermatan hakim sangat menentukan, di saat bukti-bukti yang
ditunjukkan oleh orang-orang yang berperkara saling bertolak belakang, hakim harus benarbenar cermat dalam memberi penilaian di antara bukti tersebut mana yang benar, sehingga
keputusan yang dijatuhkan olehnya nanti tidak merugikan pihak yang benar di dalam perkara
tersebut.
C. Kedudukan Kebenaran Materil dan Prinsip Umum Dalam Pembuktian Perkara
a) Kebenaran Formil dan Materil
Sistem hukum Islam, khususnya di bidang peradilan, bersifat tegas. Seluruh masyarakat
sama kedudukannya di depan hukum. Terdakwa maupun pendakwa mempunyai kesempatan
39

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 127. Dan lihat juga Muhammad Salam
Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam…, hal. 92-93.
40
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam…, hal. 93.
41
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam…, hal. 12٨.

14

yang sama untuk melontarkan argumentasi di dalam sidang peradilan. Dengan demikian, sistem
pembuktian sangat menentukan bagi hakim di dalam memutuskan perkara. Terlebih lagi, agar
keputusan yang dijatuhkan itu nantinya dapat menjadi keputusan yang adil, maka hakim harus
mempertimbangkan dengan benar setiap alat bukti yang dipaparkan di depan persidangan, agar
keputusan yang diambil nanti tidak akan merugikan pihak yang benar.
Agar kebenaran dan keadilan ini tercapai, maka praktek peradilan pada masa sekarang ini
telah meninggalkan sistem pembuktian yang hanya mengejar kepada kebenaran formil semata,
namun juga kepada kebenaran materil. Karena seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa
sebenarnya seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang
diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan
kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Oleh karena itu,
mempertahankan sistem kebenaran materil, bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya
kekecewaan hukum yang kemungkinan akan timbul nantinya.
Sebenarnya sistem pembuktian semacam ini, yaitu yang mengejar kepada kebenaran
materil, telah lama dikenal di dalam sistem peradilan Islam. Memang benar di dalam terminologi
Islam, para ulama fiqih tidak membedakan hukum-hukum bayyinah (pembuktian) dalam perkara
mu’amalat (kasus-kasus perdata) dengan hukum bayyinah dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus
pidana). Lebih dari itu, pada kasus-kasus tertentu Allah dan Rasul-Nya telah langsung
menetapkan hukum acaranya dalam hal pembuktian, seperti pembuktian pada kasus zina serta
tata cara li’an dan sebagainya.
Namun yang perlu diingat, di dalam sistem peradilan Islam, sekalipun untuk suatu
peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai
atau di dalam istilah hukum Islam dikenal juga dengan tarjihul bayyinah. 42 Dalam hal ini,
Undang-undang memang mengikat para hakim kepada alat-alat bukti tertentu, sehingga hakim
tidak bebas menilainya. Sebaliknya, Undang-undang pun menyerahkan dan memberi kebebasan
penuh kepada hakim dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam hukum acara perdata umum,
terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam penilaiannya, sebaliknya

42

Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafah Hukum Islam..., hal. 134.

15

hakim juga tidak wajib untuk mempercayai seseorang saksi, yang berarti hakim bebas menilai
kesaksian seseorang.43
Pada umumnya sepanjang Undang-undang tidak mengatur, hakim bebas menilai
pembuktian. Apabila alat bukti yang diajukan telah cukup memberi kepastian tentang peristiwa
yang disengketakan, maka bukti tersebut telah dinilai sebagai bukti yang lengkap atau sempurna
untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh si penggugat, kecuali kalau ada bukti
lawan. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya, selengkap apapun suatu pembuktian
bisa saja dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang
bertujuan untuk menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk
membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Dengan adanya
bukti lawan, tidak dimungkinkan bukti si penggugat menjadi bukti yang bersifat menentukan
atau memutuskan. Jadi bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna
yang mana tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
Dikarenakan pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan bukti tersendiri,
maka dari alat-alat bukti tersebut, baik dari si penggugat atau si tergugat, dapat menimbulkan
implikasi-implikasi tersendiri yang mana nantinya dapat berpengaruh terhadap akibat hukum.
Maka perlu adanya kecermatan dan kejelian hakim dalam membaca atau melihat terhadap alatalat bukti, mana alat bukti yang benar dan kuat di antara alat-alat bukti yang telah diajukan
kepadanya. Menurut penulis, di sinilah hakim dapat dikatakan mempunyai kebebasan penuh.
Sehingga, kebenaran materil dari perkara yang diperiksanya dapat ditemukan.
Untuk menguatkan keterangan bahwa sistem pembuktian formil semata-mata hanya akan
membawa kepada kekecewaan hukum, penulis sebelumnya juga telah mengutip sebuah ilustrasi
pada halaman 7, kemudian ditambah dengan beberapa keterangan di atas, bertambah jelas bahwa
dibutuhkannya juga sistem pembuktian secara materil di dalam memberi keputusan terhadap
suatu perkara. Oleh karena itu, sejalan dengan sistem pembuktian yang dipegang di dalam
peradilan Islam, penulis menilai perlu adanya tarjihul bayyinah, juga dengan berpegang kepada
hadis Nabi al-bayyinah ‘ala al-mudda’i, maka selanjutnya diserahkan pada pertimbangan hakim.

43

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 109.

16

Sehingga hakim bebas menilai dan memberi keputusan, namun tetap dilandasi kepada kebenaran
dan keadilan.
b) Prinsip Umum di Dalam Pembuktian Perkara
Mengenai prinsip umum yang harus dipegang hakim ketika pembuktian perkara, seperti
yang telah penulis paparkan sebelumnya, ada dua. Prinsip pertama, hakim harus mengetahui
hakikat dakwaan/ gugatan. Maksudnya di sini adalah hakim mengetahui perkara tersebut baik
dengan cara melihatnya sendiri atau menerima keterangan dari pihak lain dengan cara mutawatir.
Hal ini dimaksudkan agar hakim benar-benar yakin di dalam pembuktian perkara. Menurut
penulis, juga senada dengan apa yang diutarakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa
berpegang penuh dengan prinsip ini malah justru akan menyulitkan manusia dan bahkan
menyebabkan terlantarnya sebagian besar hak-hak manusia.
Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
1. Yaqin: meyakinkan, yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%)
2. Zhann: sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan adanya
pembuktian (terbukti 75-99%)
3. Syubhaat: ragu-ragu (terbukti 50 %)
4. Wahm: sangsi (terbukti -50%)
Seorang hakim harus menghindarkan diri dalam memberi putusan apabila terdapat
kondisi syubhaat atau lebih rendah lagi yaitu wahm, tapi hakim boleh berpegang serendahrendahnya pada tingkatan zhann namun dengan syarat, setelah mengambil langkah-langkah yang
cermat dan benar-benar menimbang sepenuhnya dari bukti-bukti yang ada.
Dalam hal untuk mencapai keyakinan hakim ini, Ibn Rusyd juga berkata di dalam
kitabnya Bidayatul Mujtahid sebagai berikut:44
“Para ulama bersepakat bahwa seorang qadli menghukum dengan ilmunya
(keyakinannya) di dalam menerima dan menolak bukti-bukti. Bila ada beberapa orang
saksi memberikan keterangan yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan)
hakim, maka hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut.”

44

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal. 470.

17

Dari keterangan Ibn Rusyd di atas jelaslah bahwa di dalam sistem peradilan Islam, maka
pedoman hakim dalam menjatuhkan putusan adalah adanya bukti yang sah dan meyakinkan
hakim akan kebenarannya. Senada dengan itu, Samir Aliyah menyebutkan bahwa di antara
kaidah dasar dalam penetapan hukum adalah bahwa hakim tidak menetapkan hukum melainkan
dengan bukti. Maka hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan ilmunya secara mutlak, baik
yang diketahuinya sebelum maupun setelah menjabat hakim. 45
Sedangkan prinsip kedua, hakim mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya.
Maksudnya adalah hakim harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i, atau
hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama terhadap kasus yang dihadapinya, apabila tidak
ditemukan ketentuan hukumnya di dalam keduanya, maka baru ditempuhlah jalan ijtihad.
Menurut penulis, tujuan dari prinsip ini adalah agar ketika hakim memutuskan perkara agar tidak
menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan Islam. Sehingga hukum Allah tetap tegak di
dalam setiap keputusan yang diambilnya.
Menurut penelusuran penulis, prinsip ini dilatarbelakangi dengan syarat terakhir yang
ditetapkan oleh para ulama, termasuk al-Mawardi, agar seseorang itu bisa menjadi hakim. Syarat
tersebut adalah bahwa seseorang hakim itu mengetahui hukum-hukum syari’at; ilmu-ilmu dasar
(ushul) dan cabang-cabangnya (furu’). Menurut al-Mawardi, ilmu-ilmu dasar dalam syari’at itu
ada empat, yaitu:46
1. Mengetahui Kitabullah dengan benar, hingga ia mengetahui hukum-hukumnya yang
nasikh dan mansukh, serta mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, umum dan
khusus.
2. Mengetahui Sunnah Rasul saw. yang eksis; ucapan dan tindakan beliau, tehnis
penyampaiannya; mutawatir atau ahad, shahih atau tidak dan sebab-sebabnya.
3. Mengetahui penafsiran para generasi salaf dalam kesepakatan mereka dan
ketidaksepakatan mereka, agar ia bisa ber-hujjah dengan ijma’ mereka dan ber-ijtihad
dengan pendapatnya sendiri dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.

45

Lihat Samir Aliyah, Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam…, hal. 467.
Lihat al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, terj. Oleh: Fadli Bahri, (Jakarta:
Darul Falah, 2006), hal. 124-125.
46

18

4. Mengetahui qiyas yang mengharuskannya mengembalikan masalah-masalah yang
tidak disebutkan di dalam nash kepada akarnya yang disebutkan dalam nash,
sehingga ia mendapatkan jalan untuk mengetahui ilmu tentang kasus-kasus aktual dan
membedakan antara yang benar dan yang batil.
Di sini penulis setuju dengan berorientasi kepada apa yang dipaparkan oleh al-Mawardi
di atas, seorang hakim apabila telah menguasai keempat ilmu-ilmu dasar syari’at itu, maka di
saat ia menghadapi sebuah kasus dan mengambil keputusan, dia telah memenuhi prinsip kedua
dari prinsip umum yang harus dipegang hakim ketika pembuktian perkara. Prinsip ini penulis
rasa perlu, karena selain menimbang alat-alat bukti, hakim juga harus menimbang hukum yang
telah ditetapkan Islam pada kasus yang dihadapinya. Supaya ketika mengeluarkan keputusan
nantinya, hukum materil Islam tidak dikorbankan. Hal ini dikarenakan bahwa hukum formil
tersebut semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil. Apabila ada hukum formil
pada suatu kasus yang bertentangan dengan hukum materil Islam, maka hukum materil Islam
tersebut-lah yang harus dikedepankan.
D. Penutup
Berdasarkan dari hasil pembahasan dan analisa penulis sendiri, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan pada setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pengadilan terhadap suatu kasus, maka seorang hakim dituntut agar
dapat mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Dalam
artian bahwa hakim tidak boleh mendasarkan sistem pembuktiannya hanya kepada
kebenaran formil, karena tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk meyakinkan
hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa
tertentu, karena alat-alat bukti juga berfungsi untuk meyakinkan hakim. Sekalipun
alat-alat bukti telah lengkap diajukan oleh para pihak yang berperkara, namun
kebenaran yang dicari adalah kebenaran materil.
Dengan kata lain, mempertahankan sistem kebenaran materil adalah bertujuan untuk
mengantisipasi terjadinya kekecewaan hukum yang kemungkinan dapat terjadi
setelah keputusan nantinya.
19

2. Prinsip umum yang harus dipegang oleh seorang hakim ketika pembuktian perkara
ada dua, yaitu: hakim harus mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan dan hakim
mengetahui hukum Allah atas kasus yang dihadapinya.
Prinsip yang pertama bertujuan agar hakim benar-benar yakin di dalam pembuktian
perkara, karena kedudukan dan kekuatan alat bukti akan memberikan pengaruh
kepada hakim untuk sampai kepada keyakinannya dalam memutus perkara. Di
samping juga peran keyakinan hakim itu sangat penting dalam hukum acara perdatan
dan hukum Islam. Namun, karena untuk mencapai keyakinan yang seratus persen itu
sangat sulit, maka seorang hakim boleh memutuskan perkara dalam keadaan
persangkaan yang kuat.
Prinsip kedua, bertujuan agar ketika hakim memutuskan perkara agar tidak
menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan Islam. Sehingga hukum Allah tetap
tegak di dalam setiap keputusan yang diambilnya. Dengan kata lain, supaya hakim
dalam mengeluarkan keputusan nantinya tidak mengorbankan hukum materil Islam.
Hal ini dikarenakan bahwa hukum formil tersebut semata-mata mengabdi untuk
kepentingan hukum materil. Apabila ada hukum formil pada suatu kasus yang
bertentangan dengan hukum materil Islam, maka hukum materil Islam tersebut-lah
yang harus dikedepankan oleh hakim.
Dengan demikian, hendaknya pada setiap keputusan hakim selalu mengacu untuk
berdasarkan kepada kebenaran materil dari kasus yang dihadapinya. Sehingga keputusan yang
dihasilkan nantinya dapat menjadi keputusan yang benar dan adil. Begitu juga hakim harus dapat
mengimplementasikan dua prinsip umum di atas ketika pembuktian perkara, hal ini dirasa perlu
karena agar seorang hakim benar-benar yakin di dalam memutuskan perkara dan keputusannya
pun tidak bertentangan dengan hukum Islam.

20

REFERENSI

Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad al-Da’ur. Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat. terj.
Oleh: Syamsuddin Ramadhan. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2004.
Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi. al-Qadha’ Wa Nizamuhu Fi al-Kitab Wa al-Sunnah.
Makkah: Jami’ah Umm al-Qura Press. 1989.
Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah. terj. Oleh: Fadli Bahri.
Jakarta: Darul Falah. 2006.
Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970.
----------. Peradilan & Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah. al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah. terj. Oleh:
Adnan Qohar dan Anshoruddin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
----------. I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin. Kairo: Dar al-Hadits. 2006.
Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.
K. Wantjik Saleh. Hukum Acara Perdata RBg/ HIR. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990.

KBBI Offline Versi 1.5. Kamus Besar Bahasa Indonesia. aplikasi di download dari
http://www.ketikankomputer.com/2013/03/download-kamus-besar-bahasaindonesia.html. pada tanggal 30 Mai 2013.
Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya.
Bandung: PT. Alumni, 2007.
Mahmasani. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam. Kairo: Mathba’ah Sa’adah. t.th.
Muhammad ibn Ismail Ash-Shan’ani. Subul al-Salam. Riyadh: Maktabah al-Mu’arif lil al-Nasyr
wa al-Tauzi’. 2006.

21

Muhammad Salam Madkur. al-Qadha’ fi al-Islam. terj. Oleh: Imron AM. Surabaya: PT Bina
Ilmu. t.th.
Riduan Syahrani. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2004.
Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.
Samir Aliyah. Nizham al-Daulah wa al-Qadha’ wa al-‘Urf fi al-Islam. terj. Oleh: Asmuni
Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Khalifa. 2004.
Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita. 1975.
Subekti dan R. Tjiro Sudibo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
1992.
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 2006.

22