INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (1)

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS
Mata KuliahAkhlakTasawuf
Dosen : Dr. Ja’far, MA.,
Oleh :
Cucun Nurhalimah (0702171043)
SistemInformasi - 5
FakultasSainsdanTeknologi
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

A. INTEGRASI DALAM SEJARAH ISLAM
Dalam sejarah intelektual Islam Klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan
dikembangkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information
(CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog, dan saintis. Meskipun profesi dalam bidang
saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir muslim klasik menempuh pola hidup
sufistik dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius
dan spiritual. Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran islam yang bersumber kepada Al-Quran dan
hadis, karena tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma
islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
yang terdiri atas ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan.
Berikut adalah beberapa ilmuwan muslim beserta berbagai bidang keilmuannya, yaitu :

-

-

Al-Jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah,
filsafat, psikologi, teologi dan politik.
Al-Kindi (w.873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika,
logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan
meteorologi.
Al-Razi (w. 925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, musik, dan
politik.
Ibn Bajjah (w. 1138) adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf,
musisi, dokter, fisikawan, psikolog, dan botanis.
Ibn Thufail (w. 1185) juga seorang ahli filsafat, kedokteran dan hukum islam.
Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsf dan sufi.
Umar Khayyam (w.1131) adalah matematikawan,astronom, dan sufi.
Al-Shafa (abad 10 masehi) adalah kelompok filsuf yang menguasai filsafat, psikologi,
biologi, dan fisika.
Ibn a-Haitsam (w. 1039) merupakan tokoh dalam bidang falak, matematika, geometri,
pengobatan dan filsafat.

Al-Biruni (w. 1048) merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf,
sejarawan, ahli farmasi, matematikawan, dan dokter.
Ibn Rusyd (w. 1198) adalah pakar kedokteran, hukum islam, matematika dan filsafat.

-

Ibn Sina (w. 1037) menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi,
geologi, psikologi, logika, matematika, fisika dan puisi.
Fakhr al-Din al-Razi (w.1209) dikenal sebagai ahli filsafat tasawuf, kedukteran , tafsir
dan fikih.

Diantara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan muslim adalah kemampuan mereka
menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu
kewahyuan. Secara keilmuan mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara personal
mereka berperan sebagai seorang saintis muslim yang berpola hidup religius dan sufistik.
Sedangkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa
semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fardh al-kifayah yang diwajibkan kepada
sebagaian muslim atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk
menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.Dengan demikian, integrasi
ilmu dalam islam bukan hal yang baru. Sebab, para ilmuan muslim klasik telah mengerjakan

proyek keilmuan tersebut sepanjang masa keemasan islam.Meskipun mereka seorang filsuf
dan saintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai
filsafat dan sufisme. Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua
jenis ilmu tersebut dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup
mereka sehari-hari.
A. INTEGRASI DALAM RANAH ONTOLOOGI
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang berarti keberadaan, dan logos yang
berarti teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna
teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu
tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan
bagian dari filsafat dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan
karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai
bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan
hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi
adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan
tentang objek kajian ilmu. Para sufi awal memang lebih banyak memfokuskan kepada
masalah kedekatan kepada Allah Swt., tetapi belakangan mereka meluaskan objek kajian
tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf juga mulai bersinggungan dengan
filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyimak hakikat wujud –Nya tetapi juga
wujud alam dan manusia. Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf muslim dan sufi

berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi
(w.1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proes tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam
empiris yang majemuk. Tajalli Allah wt. Mengambil dua bentuk :
-

tajalli dzati dalam bentuk peniptaan potensi
tajalli yuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam itra alam semesta

Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin
bagi-Nya. Saintis muslim sebagi peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan,
binatang dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi

Allah Swt; dan ajaran islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan
dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan
memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana
ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-sekular.
B. INTEGRASI DALAM RANAH EPISTEMOLOGI
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan
logos yang bermakna ilmu atau eksplansi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan

pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan
manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang meneluuri asal/sumber, struktur, metode, dan
validita ilmu pengetahuan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa epitemologi sebagai bagian
dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proes dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, erta arana yang digunakan untuk
mendapatkan ilmu.Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan
eksperimen yang disebut dalam epistemologi islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian
tasawuf mengandalkan metode irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Sufi seperti
Ibn ‘Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap
dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan shalat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak
hal, terutama pemahaman terhadap dunia fiisik dan non fisik. Hal itu merupakan wujud
ketundukan mereka terhadap Allah Swt. sebagai pemilik dan pemberi ilmu kepada manusia
dan harapan terhadap kasih sayang-Nya agar diberikan pemahaman terhadap berbagai
persoalan rumit yang dihadapi dalam kegiatan akademiknya. Dari aspek ini, saintis muslim,
meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen) dalam
mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan
ilmu-ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs
(penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah termasuk zikir merta
melakukan praktik riyadhah dan mujahadah.

C. INTEGRASI DALAM RANAH AKSIOLOGI
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang
berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal kriteria, dan situs
metafisik dan nilai tersebut. Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang
nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan
karakter pertimbangan nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga
dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. Suriasumantri
menyimpulkan bahwa aksiologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang
kegunaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu dengan kaidah moral, dan
hubungan antara prosedur dan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral
dan profesional.Konsep al-maqamat dan al-ahwali dapat menjadi semacam etika profesi
seorang saintis sebagai ilmuwan muslim. Contohnya, seorang saintis muslim sebagimana
ilmuwan muslim klasik, harus menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak,

sabar, tawakkal, cinta, fakir, dan rida dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam
kegiatan sosialnya, maksudnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
-

-


-

-

-

Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang saintis muslim masa depan
harus bersikap zuhud dan fakir dan menolak harta yang syubhat dan haram. Seorang
saintis muslim harus zuhud dan fakir dalam arti bahwa ia menampilkan hidup
sederhana meskipun memiliki hanyak harta dan bersikap dermawan.
Seorang saintis harus memiliki sikap sabar (sabar dalam beribadah [termasuk kagiatan
riset yang didasari oleh etika religius], sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar
dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat).
Seorang saintis muslim harus tawakal, artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik
dan sosialnya hanya kepada Allah Swt. setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat
telah dilakukan secara maksimal.
Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan
seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt.,
bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.
Seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram,

tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan
sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal,
sembari tetap meyakini bahwa keputusan tersebut berasal dari Allah Swt. dan harus
diterima dengan lapang dada, serta meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan
terbaik untuk kemudian tetap berusaha untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan sejak awal.

Dengan demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk menggali kearifan dalam ajaran
tasawuf dan dapat menginternalisasikannya dalam kehdupan akademik dan sosialnya.