HAKIKAT ANAK DENGAN PROBLEMA BELAJAR

HAKIKAT ANAK DENGAN PROBLEMA BELAJAR
LATAR BELAKANG
Setiap anak memiliki potensi yang berbeda. Karena perbedaan itu, maka sebenarnya
setiap anak memerlukan perlakuan tersendiri sesuai potensi individualnya untuk mencapai
perkembangan yang optimal. Memang ada beberapa perlakuan yang sifatnya umum dan dapat
diberlakaukan untuk banyak anak, tetapi seharusnya tidak boleh mengorbankan kebutuhan
individual terse but.
Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan massal. Di tingkat SD misalnya, setiap kelas
rata-rata diisi oleh sekitar 40 anak dengan seorang guru, Kurikulum yang dipakai untuk 40 anak
sama, materinya sarna, metode mengajarnya sama, gurunya sama, waktu belajarnya sama, dan
cara evalauasinya juga sama. Pola pendidikan semacam ini telah berjalan berpuluh-puluh tahun
dan entah sampai kapan akan berubah. Oi setiap akhir catur wulan atau semester, atau akhir
tahun mereka akan menerima raport. Ada yang masuk rang king sepuluh besar, ada yang tidak
masuk, ada yang naik kelas ada yang tidak naik kelas, dan seterusnya.
Pertanyaan kemudian muncul, mengapa anak tertentu prestasi belajarnya tinggi dan
anak yang lain prestasi belajarnya rendah? Jawaban yang umum kit a dengar adalah, yang satu
anak pintar dan yang lainnya adalah anak bodoh. Benarkah demikian?
Oalam dunia pendidikan kit a tidak pernah mengenal faktor tunggal sebagai penyebab
apakah anak sukses atau gagal dalam belajar. Kita mengenal faktor internal dan faktor eksternal.
Antara kedua factor
tersebut, sebelum kita temukan diagnosisnya, memiliki peluang yang sama untuk

menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan anak dalam belajar di sekolah.
Banyak studi di bidang psikologi pendidikan yang menemukan bahwa tidak sedikit
(studi di Indonesia menemukan sekitar 39%) anak-anak yang secara potensial sebenarnya
termasuk kategori anak unggul tetapi prestasi belajar di sekolah hanya biasa-biasa saja bahkan di
bawah rata-rata prestasi anak yang lain. Mereka ini sering disebut sebagai anak 'under achiever'.
Sebaliknya banyak anakanak yang secara potensial sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi prestasi
belajar yang dicapai jauh di atas potensi dasarnya. Mereka sering disebut sebagai anak 'over
achiever'.
Bertitik tolak pada pemikiran di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di sekolah
banyak terdapat anak-anak dengan problema belajar. Bisa disebabkan oleh karena faktor
intelektif maupun non intelektif, internal maupun eksternal.
TUJUAN PEMBAHASAN
Pembahasan bab ini dimaksudkan sebagai upaya memperkenalkan . secara agak luas
tentang hakekat anak dengan problema belajar. Dengan mempelajari bab ini para pembaca
diharapkan memiliki pengetahuan, pemahaman dan sikap yang positif terhadap anak. dengan
problema belajar serta dapat mencoba memberikan perlakukan yang sesuai dengan kebutuhan
khususnya.

A.CAKUPAN PENGERTIAN
Cakupan pengertian tentang anak dengan problema belajar dapat dijelaskan sebagai

berikut. Di sekolah-sekolah umum kita menjumpai anak yang beraneka ragam. Ada anak yang
cepat tanggap dalam belajar, ada anak yang lamban dalam belajar di hampir semua mata
pelajaran, ada anak yang mengalami kesulitan belajar untuk mata pelajaran tertentu, ada anak
yang dasar potensinya sebenarnya bagus tetapi prestasi belajarnya selalu rendah, dan tentu saja
ada yang perkembangan belajarnya biasa-biasa saja. Menghadapi kondisi seperti itu, pada
umumnya guru dalam proses belajar mengajar, cenderung hanya mendasarkan pada pemenuhan
kebutuhan anak rata-rata, sedangkan anak dengan kebutuhan belajar cepat ataupun lamban
cenderung terabaikan. Berdasarkan hasil berbagai studi, diyakini bahwa mereka inilah yang
akhirnya merupakan kelompok potensial mengulang kelas atau putus sekolah. Jadi anak yang
mengulang kelas atau putus sekolah belum tentu disebabkan karena dasar potensinya yang rendah,
tetapi bisa juga karena faktor lain. Faktor lain itu bisa timbul dari dalam diri anak, seperti kondisi
fisik dan kesehatan, motivasi berlajar, dan dari luar seperti kondisi sekolah, lingkungan rumah,
serta masyarakat.
Dalam konteks pendidikan luar biasa, kita mengenal istilah anak
berkelainan. Anak berkelainan juga merupakan salah satu kondisi yang sangat potensial
menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam belajar yang dapat berdampak mengulang kelas
dan putus sekolah. Anak berkelainan (exceptional children) adalah anak yang dalam hal-hal
tertentu berbeda dengan anak lain pada umumnya. Perbedaan dapat terjadi pad a kondisi fisik,
kesehatan, kemampuan intelektual, emosional, sosial, persepsi, motorik dan/atau neurologis, dan
lain-lain. Kelainan dapat berupa kondisi di bawah rata-rata dan dapat pula di atas rata-rata.

Apabila kelainan ini mengakibatkan gangguan dalam fungsi sehari-hari, terutama dalam belajar,
sehingga anak memerlukan layanan khusus, penyandangnya disebut anak dengan problema
belajar. Pengertian ini mencakup "Anak dengan Kebutuhan Pendidikan Khusus" (children with
special educational needs).
Jadi cakupan pengertian dari anak dengan problema belajar adalah : anak yang karena
satu dan lain hal secara signifikan menunjukkan kesulitan da/am mengikuti pendidikan pada
umumnya, tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal, prestasi be/ajar yang
dicapai berada di bawah potensinya sehingga mereka memer/ukan perhatian dan pe/ayanan
khusus untuk mendapatkan hasi/ yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Anak
yang menga/ami gangguan atau ke/ainan fisik tertentu dan karena ke/ainannya tidak
menyebabkan gangguan da/am mengikuti pendidikan biasa tidak termasuk anak dengan
problema be/ajar, demikian juga anak berbakat. Akan tetapi jika karena ke/ainannya atau
keberbakatannya mereka menga/ami kesulitan da/am penyesuaian be/ajar, mereka termasuk
da/am kategori anak dengan problema be/ajar.
B. siapakah anak dengan problema belajar
Ada beberapa klasifikasi anak dengan problema belajar. Data Departemen
PendidikanAmerika Serikat misalnya, mengelompokkan anak dengan problema belajar (istilah yang
digunakan adalah children with special need) menjadi (1) anak berkesulitan belajar, (2) gangguan
wicara, (3) retardasi mental, (4) gangguan emosi, (5) gangguan fisik dan kesehatan (6) gangguan
pendengaran, (7) gangguan penglihatan, dan (8) tuna ganda (Lynch Lewis, 1988). Sementara itu ahli

lain, Ashman dan Elkins (1994), membagi jenis-jenis anak dengan kebutuhan khusus menjadi (1)
anak berbakat, (2) gangguan komunikasi, (3) berkesulitan belajar, (4) gangguan emosi dan perilaku,
(5) gangguan penglihatan, (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan intelektual, dan (8) gangguan
fisiko
Di di Indonesia anak dengan kebutuhan khusus tersebut dalam 'stilah perundang-undangan
dikenal sebagai anak berkelainan (Pasal 5 : 2 UUSPN No. 20/2003) dan anak yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa (Pasal 5 : 4 UU No. 20/2003). Dalam UUSPN yang lama No. 2/1989
dan PP No. 72/1991 disebut berkelainan fisik dan/atau mental dan atau perilaku. Mereka terdiri atas
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tunaganda. Oi samping itu terdapat anak

yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Mereka ini berhak mendapatkan perhatian
khusus (USPN No. 2/1989, Ps 8:2). Anak dengan problema belajar, tidak secara eksplisit disebutkan
dalam UUSPN 1989, UUSPN No. 20/2003 maupun PP No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Dengan memperhatikan berbagai literatur serta kebijakan pendidikan luar biasa di
Indonesia, untuk kepentingan pelayanan pendidikan khusus di sekolah umum, semua anak yang
memerlukan pendidikan khusus dikategorikan sebagai anak dengan problema belajar.
Dilihat dari gejala yang nampak, anak dengan problema belajar dapat digambarkan
sebagai berikut :
1) tidak dapat mengikuti pelajaran seperti yang lain,
2) sering terlambat atau tidak mau menyelesaikan tugas,

3) menghindari tugas-tugas yang agak berat,
4) ceroboh atau kurang teliti dalam banyak hal,
5) acuh tak acuh atau masa bodoh,
6) menampakkan semangat belajar yang rendah,
7) tidak mampu berkonsentrasi, mudah berubah-ubah,
8) perhatian terhadap suatu objek sing kat,
9) suka menyendiri, sulit menyesuikan diri,
10) murung,
11) suka memberontak, agresif, dan meledak-Iedak dalam merespon ketidakcocokan,
hasH belajar rendah
C. FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGALAMI PROBLEMA BELAJAR
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab anak mengalami problema belajar. Secara
umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.

PERBEDAAN TINGKAT KECERDASAN

Setiap anak sekalipun ia lahir kembar, tidak ada yang sama. Perbedaan individual ini
menyebabkan tidak mudah memberikan pelayanan yang sesuai dengan masing-masing anak. Jika
perbedaan itu tidak cukup signifikan, maka pelayanan secara massal atau kolektif dapat

dilakukan. Jika perbedaan itu sangat mencolok, misalnya tingkat kecerdasan, kreativitas,
kecacatan, dan motivasi, maka pada kondisi anak-anak seperti ini, maka diperlukan pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Menurut Mulyasa (2003) setidaknya ada lima aspek perbedaan individual yang harus
diperhatikan agar anak tidak mengalami problema dalam belajar. Kelima aspek tersebut adalah
perbedaan tingkat kecerdasan, perbedaan kreaivitas, perbedaan cacat fisik, perbedaan kebutuhan
khusus, dan perbedaan perkembangan kognisi.
A. Perbedaan tingkat kecerdasan
Penggolongan terhadap tingkat kecerdasan (IQ) seseorang dihitung dengan membagi usia
mental dengan usia kronologis serta mengalikannya dengan 100 (Till, 1971). Model pengukuran
ini antara lain dikembangkan oleh Alfred Binet (1905), Lewis M. Terman (1916), Thurstone
(1938). Tokoh lain yang juga dikenal sebagai pengembang tes IQ adalah Wechsler yang pertama
kali mempublikasikan karyanya pada tahun 1949 dan direvisi tahun 1973 dengan nama WISE
(Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak usia 5 - 16 tahun. Sedangkan untuk anak
usia 16 tahun ke atas diterbitkan tahun 1955 dengan nama tes WAIS (Wechsler Adult Intelligence
Scale). Untuk anak usia 4 - 6,5 tahun Wechsler mengembangkan tes dengan WPPSI pada tahun
1967 (Wechsler Preschool and Primary Scale of Inte/ligence)

Salah satu jenis tes kecerdasan adalah yang dikembangkan oleh Thurstone yang dikenal
dengan Primary Mental Abilities Test atau tes kemampuan mental dasar, yang meliputi

kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1) Verbal comprehention
diekspresikan dengan kata-kata.

:

kemampuan

untuk

memahami

ide-ide

yang

2) Number: kemampuan untuk menalar dan memanipulasi secara matematis.
3) Spatial: kemampuan untuk menvisualisasikan obyekobyek dalam bentuk ruang.
4) Reasoning: kemampuan untuk memecahkan masalah
5) Perceptual speed : kemampuan menemukan persamaan-persamaan dana

ketidaksamaan di antara obyek-obyek secara tepat.
Berdasarkan hasil tes kecerdasan, Till (1971) menggolongkan tingkat IQ seseorang
menjadi sebagai berikut :
1. Golongan anak dengan keterbelakangan mental yang berat, lemah pikiran atau cacat
mental/tunagrahita sedang Mereka memiliki 1Q 50 ke bawah. Mereka tidak mung kin
dapat mengikuti pendidikan biasa, mereka lebih banyak memerlukan latihan untuk
mengurusi diri sendiri
2. Golongan anak dengan keterbatasan mental yang lebih ringan dengan IQ antara 50 70. Mereka sering juga disebut sebagai anak moron atau tunagrahita ringan. Mereka
dapat dididik dan belajar membaca, menulis, berhitung sederhana serta dapat
mengembangkan kecakapan bekerja secara terbatas. Untuk melayani mereka
diperlukan latihan khusus.
3. Golongan anak dengan lamban belajar (slow learner) atau sebutan kasarnya anak
'bodoh' (istilah ini tidak tepat dan tidak perlu digunakan). Mereka memiliki tingkat IQ
antara 70 - 90. Golongan ini dapat dibantu dengan pemanfaatan metode dan strategi
serta membutuhkan waktu yang khusus, di samping kesabaran guru, untuk mencapai
hasil yang optimal.
2) Golongan anak rata-rata atau menengah dengan IQ 90110, merupakan bagian
yang paling besar jumlahnya, sekitar 45 - 60 persen. Mereka bisa belajar secara normal dan
wajar dalam kelas reguler tanpa pelayanan khusus.
3) Golongan anak di atas rata-rata dengan IQ 110 - 130 sering disebut sebagai anak

cerdas, superior atau anak berbakat. Anak dengan kategori ini memerlukan leyanan
individual untuk mengembangkan dan mewujudkan potensinya secara opimal.
6) Golongan anak 'genius' yaitu mereka yang memiliki 10 140 ke atas. Mereka
mampu belajar jauh lebih cepat dari golongan lainnya. Jika mereka tidak mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan potensinya, akan menimbulkan masalah pad a dirinya, bahkan
juga Iingkungannya, dan di sekolah mereka dapat menjadi anak yang 'under achiever'.
Dari gambaran tersebut diketahui bahwa, perbedaan kecerdasan menjadi salah satu faktor
penyebab anak akan mengalami problema belajar atau tidak jika mereka dimasukkan ke dalam
kelas-kelas biasa atau regular
b.Perbedaan Kreatifitas
Seperti halnya kecerdasan (IQ), kreativitas juga dapat diukur dengan menggunakan tes
tertentu, seperti tes kreativitas figural dan tes kreativitas verbal (Utami Munandar, 1995).
Perbedaan tingkat kreativitas juga dapat menjadi sumber penyebab anak mengalami problema
dalam be/ajar. Untuk mata pelajaran tertentu yang membutuhkan tingkat imajinasi dan kreativitas

tinggi terutama yang menyangkut pemecahan masalah yang sulit, seperti matematika, fisika,
kimia, potensi kreativitas ini sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan guru yang mengerti
bagaimana memupuk dan mengelola potensi kreativitas ini sehingga tidak menjadi sumber
kesulitan dalam belajar.
c. Perbedaan Kelainan/cacat Fisik

Perbedaan individu dalam hal kelainan/cacat fisik antara lain kelainan penglihatan
(tunanetra), kelainan pendengaran (tunarungu), kelainan wicara (tunawicara), kelainan anggota
tubuh dan gangguan motorik lainnya karena kerusakan otak (tunadaksa). Terhadap anak-anak
yang mengalami hambatan-hambatan di atas, diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam
mengikuti pendidikan reguler, dan karenanya diperlukan sikap dan layanan yang berbeda dalam
rangka membantu perkembangan pribadi mereka.
Anak-anak seperti ini tidak harus dipisahkan dari sekolah reguler. Mereka bisa dilayani
pendidikannya di sekolah regular, tetapi denga n penanganan khusus atau penanganan individual.
Mengasingkan mereka dari sekolah-sekolah umum, akan menghilangkan hak mereka untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, dan hanya akan mengasingkan anak dari dunia yang
sesungguhnya.
Sehubungan dengan anak-anak yang mengalami hambatan fisik ini, Ornstein dan Levine
(1966) dalam Mulyasa (2003) menegaskan sebagai berikut :
1) Orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya ketidak mampuan mereka, harus
diberi kebebasan dan pendidikan yang sesuai.
2) Penilaian terhadap mereka harus adil dan menyeluruh.
3) Orangtua atau wali mereka harus adil, dan boleh memprotes keputusan yang dibuat oleh
pimpinan sekolah (jika merugikan anak-pen).
4) Rencana pendidikan individual yang meliputi pendidikan jangka panjang dan jangka apendek
harus diberikan. Harus pula diadakan tinjauan ulang terhadap tujuan dan metode yang

di[pilih.
5) Layanan pendidikan diberikan dalam lingkungan yang akan terbatas, anak-anak dapat
ditempatkan di kelas khusus atau terpisah pada saat tertentu untuk memberikan layanan yang
sesuai bagi mereka.

d.perbedaan kebutuhan khusus
Secara umum, manusia termasuk anak-anak memiliki kebutuhan dalam kehidupannya.
Menurut Maslow (1970) percaya bahwa setiap manusia memiliki lima kategori kebutuhan yang
membentuk suatu hirarki dari yang paling Pokok atau dasar hingga yang paling tinggi, ialah
kebutuhan fisiologis, seperti oksigen, makan dan minum, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan
untuk diakui, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri
Sementara itu Hurlocks (1962) mengemukakan bahwa ada duabelas kategori kebutuhan
manusia khususnya dari aspek psikologis, ialah kebutuhan
1. Penerimaan : kebutuhan untuk merasakan bahwa orang lain bersikap baik atau positif,
hormat, mendukung atau menyetujui, tidak menolak dirinya.
2. Prestasi kebutuhan untuk memperoleh, mencapai, menerima, menang, dan sebagainya.
3. Kasih sayang : kebutuhan untuk dicintai, dihargai.
4. Persetujuan atau rstu : kebutuhan untuk melihat orang lain menyenangkan, menghindari
kritik, kesalahan dan hukuman.
5. Menjadi bagian : kebutuhan untuk merasa sebagai bagian dari suatu kelompok atau
lingkungan.
6. Kesesuaian : kebutuhan untuk menjadi sebagaimana orang lain, menghindari perbedaan.

7. Ketergantungan : kebutuhan untuk mendapatkan dukungan emosional, perlindungan,
perhatian, dorongan dan bantuan dari orang lain.
8. Ketidak tergantungan :kebutuhan untuk bebas, mandiri, keputusan sendiri, kepercayaan.
9. Penguasaan - kekuasaan (menguasai - berkuasa) : kebutuhan untuk mengendalikan,
berkuasa, memimpin, mengelola, memerintah, mengatasi masalah, mengatasi hambatan,
mempengaruhi orang lain.
10. Pengenalan atau pengakuan : kebutuhan untuk diketahui, dikenal, dianggap sebagai
pribadi yang unik, dibedakan dari yang lain, tidak dianggap sama.
11. Pernyataan diri : kebutuhan untuk berfungsi, belajar mengerti, berformasi
12. Dimengerti : kebutuhan untuk merasa dalam hubungan yang simpatik dengan orangtua,
saudara, teman, merasa bebas bergaul dan mengemukakan ikiran tanpa kehilangan kasih
sayang.
Dengan memperhatikan kebutuhan individual setiap anak, maka kesulitan individu dapat
dikurangi, dan dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka akan
menjadi sumber utama timbulnya problema dalam belajar pada diri anak.
e. Perbedaan perumbuhan dan perkembangan kognisi
Seperti diuraikan sebelumnya, prkembangan kognitif seseorang sesuai teori Piaget melaju
dalam empat tahap, ialah tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap preoperasional (2-7 tahun), tahap
operasional kongkrit (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11 tahun ke atas). Menurut teori
trsebut, proses kematangan merupakan kontinuitas berdasarkan pertumbuhan sebelumnya.
Walaupun tahap-tahap tersebut dibatasi dalam suatu periode, sebenarnya semuanya dapat
tumpang tindih (overlap) dan sesekali tidak terikat persis oleh usia tertentu.
Jika pada anak usia tertentu belum mencapai taraf perkembangan yang diharapkan,
sesungguhnya anak dalam kondisi tingkat kematangan yang berbeda dengan rata-rata anak pada
umumnya. Atau sebaliknya, pada usia tertentu anak telah mencapai tingkat perkembangan yang
melampaui batas kelompok usianya, mung kin ia memiliki tingkat kematangan yang jauh lebih
cepat dari rata-rata anak usia sebayanya.
Dalam kondisi seperti inilah kemungkinan problema belajar pada diri anak akan muncul
jika idak mendapatkan perhatian dan pelayanan yang sesuai dari guru maupun orangtua.
Ada anak-anak yang karena faktor ekonomi dan kemiskinan, ia tidak mampu mengikuti
pendidikan secara wajar, sehingga berprestasi belajar yang rendah. Ada pula anak-anak yang lahir
dan dibesarkan dalam lingkungan budaya terasing, ad at terpencil Karena kondisi latar belakang
budaya terse but mereka tidak mampu mengikuti pendidikana reguler seperti yang lain sehingga
prestasi belajarnya rendah. Baik karena faktor ekonomi maupun budaya atau faktor keterpencilan,
keduanya dapat menjadi sumber penyebab hasil belajar anak. Jika anak tersebut sebenarnya
memiliki IQ normal bahkan di atas normal, tetapi karena faktor ekonomi dan kultural terse but
sehingga prestasinya rendah, mereka disebut anak yang menga/ami hambata(l be/ajar
D.PREVALENSI ANAK DENGAN PROBLEMA BELAJAR
Memang belum ada studi secara khusus tentang angka prevalensi anak dengan problema
belajar. Namun, jika kita menggunakan prevalensi anak dengan berkesulitan belajar, menurut
beberapa literatur berkisar antara 1 %-3% (Lovit, 1989). Oi beberapa negara industri seperti
Amerika dan Eropa Barat, jumlah anak berkesulitan belajar diperkirakan mencapai 15% dari
populasi anak sekolah tingkat dasar (Gaddes, 1985). Oi negara-negara berkembang seperti
Indonesia, prevalensi anak berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah
masih cukup tinggi angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, angka sakit diare, angka
penyakit persalinan serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi. Gangguan atau kondisi di atas
sering kali mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar pada anak.
Oengan menggunakan instrumen khusus, Balitbang Oikbud dalam penelitian di empat
propinsi pada tahun 1996 dan dilaporkan pad a tahun 1997, menemukan bahwa sekitar 10% anak
mengalami kesulitan belajar menulis, 9% mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari
8% mengalami kesulitan berhitung. Oi samping itu, diketahui pula bahwa 22% anak berkesulitan

belajar mempunyai inteligensi taraf tinggi, 25% taraf sedang dan 52% taraf kurang.
Sejalan dengan temuan di atas, dari hasil diagnosis terhadap 659 pasien berkesulitan
belajar di RS dr. Karyadi Semarang dalam kurun waktu tahun 1991, ditemukan 26,3% mengalami
gangguan pemusatan perhatian plus Disfungsi Minimal Otak (OMO) lain, 18,6% mengalami
disfasia (gangguan bahasa), disleksia (gangguan membaca) dan diskalkulia (gangguan berhitung),
11 % gangguan tunggal disfasia, 10,9% disfasia dan dispraksia (gangguan gerak), 9,4%
ganggunan memori (ingatan) dan OMO lain, 8,7% gangguan pemusatan perhatian, ' 6,5%
hiperaktif, 3,2% gangguan memori auditorik, dan sisanya (4,6%) gangguan lain-lain (Bambang
Hartono, 1991).
E. LAYANAN YANG DIPERLUKAN
Untuk membantu anak yang mengalami problema dalam belajar, maka diperlukan
program layanan secara terpadu, baik dari guru di sekolah, maupun orangtua di rumah. Beberapa
bentuk layanan yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak, dapat disebutkan antara
lain sebagai berikut :
1. Peran Guru di Sekolah :
a. Guru harus memahami perbedaan individual anak
b. Guru perlu melakukan identifikasi atas kekuatan dan kekurangan atau kelemahan dari
masing-masing anak didiknya.
c. Guru mencoba mengelompokkan anak didik di kelas dalam beberapa kelompok sesuai
dengan tingkat permasalahan yang perlu diatasi.
d. Guru bekerjasama dengan orangtua dan profesi lain untuk mendapatkan hasH
pembelajaran yang optimal.
e. Guru harus menyiapkan materi, strategi dan media pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan peserta didik.
f. Pad a anak-anak yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi, guru dapat
mengembangkan model pembelajaran pengayaan dan/atau akselerasi. Pad a anak yang
memiliki kecepatan belajar yang rendah, guru dapat memberikan layanan remedial dan
atau porsi waktu yang lebih dibandingkan dengan yang lain.
g. Dalam sistem evaluasi, guru sebaiknya tidak cukup hanya mengukur aspek akademik dari
yang dicapai oleh anak. Aspek-aspek lain di bidang kemampuan non akademik juga perlu
diperhatikan.
h. Umpan balik atas keberhasilan atau kegagalan anak dalam perkembangannya di sekolah,
harus selalu disampaikan kepada orangtua. Catatan kualitatif kemajuan-kemajuan anak
dalam belajar perlu dicatat untuk bahan laporan guru dengan kepala sekolah dan orangtua.
2.

Peran Orang Tua
Orangtua memiliki peranan yang penting bagi upaya membantu anak yang mengalami
problema dalam belajar.
Beberapa tindakan orangtua yang diperlukan antara lain:
1. Menerima adanya perbedaan pad a diri anak
2. Memberikan perhatian yang proporsional dan tidak membedabedakan dalam memberikan
perlakuan kepada anaknya sesuai dengan karakteristik khususnya.
3. Menyampaikan data dan informasi tentang perkembangan anak secara terbuka kepada
sekolah dan guru.
4. Menjalin kerjasama secara ikhlas dan jujur dengan guru untuk membantu anaknya yang
mengalami problema dalam belajar.

5. Tidak memaksakan kehendak kepada anak untuk pencapaian suatu keinginan dan harapan
dari orangtua.