Analisis Tekstual Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola-Sipirok, Di Kelurahan Bunga Bondar Kecamatan Sipirok Sumatera Utara
ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN
ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI
KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA.
Skripsi Sarjana Dikerjakan o
l e h
Fera Mariany Sitompul NIM : 040707012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ENOMUSIKOLOGI MEDAN
(2)
ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN
ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI
KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA
Skripsi Sarjana Dikerjakan o
l e h
FERA MARIANY SITOMPUL NIM : 040707012
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Drs. Mauly Purba. M.A., Ph.D Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si NIP: 1961 082 9198 903 1003 NIP: 1956 082 8198 601 2001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam
bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
(3)
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,
Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP 1960 333 8198 803 2001
(4)
KATA PENGANTAR
Terpujilah Allah Tritunggal di dalam nama Yesus Kristus, atas KasihNya yang begitu besar telah menebus seluruh umat manusia, atas segala pertolongan, perlindungan, dan berkat yang tidak pernah berakhir terlebih disaat skripsi ini bisa terwujud.
Skripsi yang berjudul ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini secara khusus saya persembahkan kepada kedua orang tua saya. Mereka adalah penyemangat dan inspirasi yang terus memotivasi sejak saya kuliah sampai skripsi ini selesai. Saya mengucapkan terimakasih kepada ayahanda Drs. R.T Sitompul yang terus berjuang untuk menopang keluarga, terlebih lagi kepada saya pribadi yang telah merasakan ketulusan kasih dan pengorbanan seorang ayah yang begitu baik. Dan kepada ibunda H.br. Sirait, yang telah setia berdoa, mengingatkan dan memotivasi saya selama kuliah dan selama mengerjakan skripsi ini. Trimakasih telah menjadi seorang ibu yang terus berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya, yang tidak mengenal lelah dan selalu berusaha untuk mengerti setiap kondisi yang terjadi pada setiap anak-anaknya. Sungguh bersyukur karena Tuhan telah memberikan kedua orangtua yang begitu mengasihi kami. Untuk segala cinta dan kasih yang telah saya
(5)
terima dari kalian akan menjadi cinta kasih yang menjadi bekal di masa mendatang. Dan terimakasih telah menjadi teladan bagi kami dan terkhusus bagi saya sendiri.
Saya juga berterimakasih kepada Kak Maya Rosma Dewi Sitompul (K’May), S.Kom yang telah menjadi kakak dan juga sahabat bagiku, tempat berbagi banyak hal, dan menjadi sahabat doa bagi keluarga. Saya juga berterimakasih kepada Bang Rein Heart Einstein (Kengang) Sitompul, Amd yang menjadi teman bertukar pikiran dan melaluinya saya banyak belajar tentang kepedulian. Saya berterimakasih kepada Tiur Novita (Koping) Sitompul dan Grace Yetty ( Gelleng) Sitompul, adik-adikku yang telah menyemangati selama mengerjakan skrispsi ini dan melalui kalian penulis belajar untuk memiliki hati yang lemah lembut. Bersyukur buat segala dukungan dan doa dari kalian semua.
Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada setiap orang yang telah memberi dukungan kepada saya selama menimba ilmu sampai menyelesaikan skripsi ini.
Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak mengajarkan dan membimbing penulis banyak hal. Terimaksih buat pandangan yang membuat pandangan penulis terbuka lebar dalam belajar Etnomusikologi. Dan kepada Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku dosen Pembimbing II penulis. Terimakasih buat dukungan selama mengerjakan skripsi ini dan buat arahan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.
(6)
Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada ibu Dra. Frida Deliana, M.Si selaku ketua Departemen Etnomusikologi yang telah banyak membantu saya selama menyelesaikan skripsi ini dan berterimakasih juga untuk skripsi yang telah dipinjamkan kepada saya. Dan kepada ibu Dra. Heristina Dewi, Mpd yang telah banyak memberikan kemudahan dalam administrasi mahasiswa yang telah memberi nasehat kepada penulis.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen-dosen Etnomusikologi Departemen Etnomusikologi USU: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Arifni Netrirosa, SST, Drs. Perikuten Tarigan, M.Si, Dra. Rithaony Hutajulu, M.A, Drs. Irwansyah Harahap, M.A, Drs. M.Takari, M.Hum, Drs. Fadlin, dan seluruh Dosen Luar Biasa yang telah mengajar di Etnomusikologi. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Bu Aad dan bang Awang yang telah meluangkan waktunya untuk mengurus segala keperluan yang penulis butuhkan selama ini.
Kepada informan saya Bapak Mangaraja Tunggal, saya ucapkan banyak terimakasih karena telah banyak membantu saya selama berada di lapangan untuk mencari informan lain, menemani saya menyusuri wilayah Bunga Bondar dan yang memperkenalkan saya kepada raja-raja adat. Terimakasih untuk pengalaman yang begitu berharga selam di lapangan. Saya juga banyak belajar mengenal budaya Angkola melalui beliau.
Kepada Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) “Kasihh’’, saya mengucapkan banyak terimakasih karena telah menjadi bagian dalam hidupku. Tupa Sipayung yang telah menjadi sahabat terdekat penulis selama 6 tahun, banyak memotivasi saya untuk
(7)
menjadi lebih baik, menjadi bagian yang tidak terpisah karena Kasih Kristus sudah membawa kita semakin mengenal dan saling berbagi dalam suka dan duka. Kak Mariance Damanik, S.Sn yang sudah memperjuangkan penulis untuk bisa menjadi lebih baik dengan doa-doanya. Terimakasih buat perhatian dan pengertiannya. Kak Ika Sihombing yang juga telah bersedia menjadi kakak yang baru bagi kami dan senantiasa memberi diri untuk menjadi sahabat dan kakak bagi kami. Kak Sri Sipayung, SS yang menjadi sahabat dan banyak mengajarkan saya tentang arti ketekadan dan hidup penuh semangat. Terimakasih buat kalian semua, Tuhanlah yang akan terus mempersatukan kita dan mengajarkan kita untuk mencapai tujuan hidup demi KemuliaanNya.
Kepada adik-adik rohaniku Rebekka Sihombing dan Evi Nenta Sipahutar yang telah membuat saya banyak belajar akan arti mengasihi, memahami orang lain dan menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi. Bersyukur untuk kesempatan yang Tuhan berikan untuk bertemu dan menjadi bagian dalam hidup kalian.
Kepada alumni Etnomusikologi USU yang kepada mereka saya banyak belajar Tanjung Simanjuntak, S.Sn, Okta Matondang, S.Sn, Daniel Gurning, S.Sn, kang Irman Poetra (Irfas), S.Sn, bang Seno’Ian’ Butar-Butar, S.Sn, Herbet’Oncom’ Simanjuntak, S.Sn, Irbet Novandi, S.Sn, Intan Sinambela, S.Sn, Tyni Sormin, S.Sn, Hetty, S.Sn, Martahan Sitohang, S.Sn, Leonard Nainggolan,S.Sn, Saridin Sinaga, S.Sn, Frendy Sirait, S.Sn, dan kepada Brother Liat Roy P. Malau, S.Sn.
Kepada adik-adik junior yang memberikan banyak kenangan lucu: Rina, Inta, Destri, Amran, Ara, Imes, Jery, Jonedi, Jepry, Tumpal, ‘Mbah Toan Bebs, Winka, Andro, Pardon, Sandro, Marini, Dina, Ana, Yudi, Mario King, dan juga adik junior 09:
(8)
Huta Ade Marthin Tambunan, Rendi Siregar, Hanmard Sirait, Maruli, Herman, Ryan, dan Wahyu (kalian begitu lucu).
Kepada rekan-rekan UKM KMK USU UP SASTRA periode 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010, komponen pelayan dan juga alumni. Saya mengucapkan banyak terimakasih karena telah menjadi orang-orang yang begitu baik kepada saya. Menjadi pendoa bagi saya, banyak bertumbuh melalui kalian dan merasakan Kristus melalui hidup kalian, tetaplah menjadi murid-murid Kristus yang setia.
Kepada sahabat-sahabat yang terus mengingatkan saya untuk skripsi ini: Putra Purba, Tina Sitohang, Helmina Panjaitan, Despi Hutajulu, dan Ellyas Matondang. Terimakasih sobat buat dukungannya.
Kepada Big Fam’04, saya mengucapkan banyak terimaksih atas pengenalan dan kebersamaan yang begitu indah selama kita kuliah. Teman dan sahabat saya yang dikala ada teman kesusahan terkadang kita ketawain dulu baru dibantu, saat suka bercanda selalu saling ejek-mengejek, saat duka kita rasakan bersama, saat ditekan kita berusaha untuk bangkit. Semua itu membuat saya merasakan kedekatan kepada kalian semua. Saya bangga bisa mengenal orang-orang yang luar biasa, kreatif dan pro aktif seperti kalian. Kepada: Diateitupe si cerewet, Piens Lubis si emaki 04, Rie2 yang suka ketawa ngakak, Feri ‘ibun alias iban buncit’ si tongkar dan si tukang ejek, Welly si playboy dan ahli improve, Tulang Markus yang kadang seperti bapak2, wak Dul yang dalam kondisi apapun tetap nyantai (thanks buat idenya ya), Frans yang suka berpikir rasional tapi pemalu, Nancy yang suka diem tapi pengertian, Amran yang menjadi motivasi buat semua teman, Dodo yang cuek tapi suka kritis, Tri yang super sibuk tapi periang, Ata yang murah senyum dan Rebekka Nababan yang mempunyai suara
(9)
nyaring. Terimaksih saudara-saudaraku, semoga kelak kita semua menjadi orang-orang yang berhasil dan tidak sombong tetapi rendah hati. Amin.
Dan kepada setiap orang yang telah membantu saya selama menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya sangat mengucapkan banyak terimakasih. Semoga semua pihak yang membantu akan menerima berkat yang Yang Maha Kuasa.
Medan, 19 September 2010 Penulis,
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Pokok Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan dan Manfaat ... 8
1.3.1 Tujuan ... 8
1.3.2 Manfaat ... 8
1.4. Konsep dan Teori ... 9
1.4.1. Konsep ... 9
1.4.2. Teori ... 10
1.5. Metode Penelitian ... 13
1.5.1. Studi Pustaka ... 14
1.5.2. Pemilihan Lokasi Penelitian ... 14
1.5.3. Pengumpulan Data ... 15
1.5.3.1 Wawancara ... 15
1.5.3.2 Observasi ... 15
1.5.3.3 Rekaman ... 16
1.5.4. Kerja Laboratorium ... 16
BAB II: IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Terbentuknya Kampung/Desa ... 17
2.2. Typology Desa Bunga Bondar ... 20
2.3. Komposisi Penduduk Desa Bunga Bondar ... …21
(11)
2.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan ... 22
2.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 23
2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa ... 24
2.4.1 Penduduk Yang Bermata Pancarian Pertanian ... 25
2.4.2 Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan ... 25
2.4.3 Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/Kerajinan ... 27
2.4.4 Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa ... 27
2.5. Bahasa ... 29
2.6. Transportasi ... 31
2.7. Sistem Kekerabatan Masyarakat angkola-Sipirok ... 32
2.8. Kesenian ... 37
2.8.1 Seni Musik ... 37
2.8.2 Seni Suara ... 39
2.8.3 Seni Tari ... 41
2.8.4 Seni Sastra ... 42
2.8.5 Seni Rupa ... 42
BAB III: UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK 3.1 Jenis Perkawianan Adat Angkola Sipirok ... 43
3.1.1 Perkawinan Marlojong ... 44
3.1.2 Perkawinan Dipabuaton ... 45
3.1.3 Perkawinan Marhabuatan... 46
3.2 Pembagian Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Angkola-Sipirok ... 46
3.3 Proses Upacara Perkawianan Adat Nagodang Angkola ... 48
3.3.1 Martahi Ulu Nitot ... 48
3.3.2 Martahi Marunungunug Nibodat ... 48
3.3.3 Martahi Martuktuk Nisibahue ... 49
3.3.4 Martahi Godang ... 49
3.3.5 Mangkobar Manjujur Boru ... 50
(12)
3.3.8 Marosong-osong ... 53
3.3.9 Maralok-alok ... 56
3.4 Mata Ni Harejo ... 57
3.4.1 Panaek Gondang ... 57
3.4.2 Manyingko-nyingkoi ... 58
3.4.3 Patuaekkon Tu Tapian Raya Bangunan ... 59
3.4.4 Mangupa ... 60
3.4.5 Manabalkon Goar ... 61
BAB IV: ANALISIS TEKSTUAL NYANYIAN ONANG-ONANG 4.1. Kajian Tekstual ... 62
4.2 Struktur Teks... 64
4.2.1 Teks Pembukaan ... 65
4.2.2 Teks Isi... 66
4.2.3 Teks Penutup ... 67
4.3 Aspek Bahasa ... 67
4.3.1 Gaya Bahasa ... 68
4.3.2 Diksi ... 68
4.4 Makna Teks Onang-onang... 69
4.4.1 Makna Moral ... 69
4.5 Musik dalam Upacara Adat Nagodang ... 70
BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 72
5.2. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
GLOSARIUM... 77
DAFTAR INFORMAN ... 79
(13)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I: Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 21
Tabel II: Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan ... 23
Tabel III: Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 24
Tabel IV: Komposisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian ... 25
Tabel V : Komposisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan ... 26
Tabel VI: Kompisisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri ... 27
Tabel VII: Kompisisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa ... 29
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Martahi Godang ... 50
Gambar 2. Manortor Panaek Gondang ... 53
Gambar 3. Marosong-osong ... 54
Gambar 4. Marosong-osong ... 54
Gambar 5. Osong-osong ... 55
Gambar 6. Manyingko-nyingkoi ... 58
Gambar 7. Patuaekkon... 60
Gambar 8. Mangupa ... 61
Gambar 9. Bagas Godang ... 80
Gambar10. Bulang dan aksesori ... 81
Gambar 11. Payung rarangan ... 81
(15)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Dan oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koenjtaraningrat 1997:4).
Kenyataan ini dapat juga dijumpai dalam ernis Angkola-Sipirok yang merupakan salah satu etnis yang berdiam di provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Angkola-Sipirok begitu menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam keseharian mereka. Adat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sipirok karena mempunyai peranan yang begitu besar bagi masyarakat Angkola-Sipirok, misalnya adalah pernikahan adat nagodang. Adat nagodang adalah pesta besar masyarakat Angkola-Sipirok yang diadakan pada pesta perkawinan. Dalam pesta adat nagodang, setiap orang turut dalam upacara adat pernikahan ini bahkan telah ditentukan terlebih dahulu sebelum upacara adat dimulai.
Setiap kegiatan budaya yang diadakan oleh masyarakat Angkola-Sipirok tidak terlepas dari prinsip Dalihan Na ToluJojak di Bondul Na Opat. Dalihan na tolu terdiri dari kahanggi (teman semarga), anak boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki), mora (keluarga dari pihak isteri). Dan yang temasuk Bondul na opat yaitu hahutaon yang digambarkan ke dalam hatobangon-harajaon bonabulu. Bondul na opat
(16)
merupakan bagian yang membantu menyempurnakan berjalannya adat pada masyarakat Angkola- Sipirok termasuk upacara pernikahan adat nagodang.
Upacara pernikahan adat nagodang pada masyarakat Angkola-Sipirok merupakan upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat dalam setiap unsur misalnya dalam mempersiapkan keperluan upacara adat, musyawarah mufakat oleh raja-raja1
Biasanya adat nagodang ini berlangsung selama tiga hari ataupun dua hari berturut-turut. Namun berdasarkan wawancara dengan bapak Siregar
dan persiapan yang lainnya seperti mempersiapkan makanan, teratak, dan lain sebagainya.
2
Onang-onang awalnya berasal dari kata ‘inang’ yang berarti ‘ibu’. Dalam kisahnya dikatakan bahwa ada seorang anak yang merindukan ibunya dan akhirnya memanggil sambil bernyanyi dengan mengatakan
“onang..onang..” Oleh karena itu onang-onang merupakan suatu
pencetusan terhadap kerinduan kepada orang yang dikasihinya yaitu ibunya. Lama-kelamaan onang-onang mulai berkembang, tidak saja sebagai ungkapan kekecewaan dan kerinduan terhadap orang yang
, dahulu diadakan lebih lama lagi yaitu sekitar satu minggu. Karena melihat keefektifan waktu dan kegiatan masyarakat, akhirnya waktu yang dipergunakan sudah mulai dikurangi dan diefektifkan tetapi tidak mengurangi keabsahan adat nagodang tersebut.
Dalam adat nagodang, terdapat suatu nyanyian tradisi yang disebut dengan onang-onang. Berdasarkan sejarahnya, onang-onang belum diketahui dengan jelas asal muasalnya. Dalam Harahap (1987:66) dikatakan:
1
Raja-raja yang dimaksud adalah raja-raja adat yang sudah mendapat gelar. 2
(17)
dikasihinya tetapi sudah berubah fungsi sebagai ungkapan kasih (kegembiraan) seperti memasuki rumah baru, perkawinan dan anak lahir.
Menurut Harahap, dalam Pasaribu (2004:25), perkembangan onang-onang tidak saja dalam bentuk fungsi tetapi juga dalam bentuk penggunaannya. Bila dahulu
onang-onang dinyanyikan oleh seseorang sebagai ungkapan rasa rindu guna dirinya
sendiri dan tidak dalam konteks adat, maka saat ini onang-onang dinyanyikan oleh seseorang guna orang banyak dan dalam konteks adat.
Namun berdasarkan wawancara kepada bapak Sahrun Siregar 3
Onang-onang mulai dinyanyikan setelah acara pembukaan atau disebut dengan
panaek gondang. Onang-onang memiliki ritmis yang tetap dan berulang-ulang serta bersifat resitatif (seperti berbicara). Onang-onang selalu diawali dengan bunyi suling , beliau mengatakan bahwa saat ini onang-onang jarang sekali dinyanyikan oleh seseorang dan lebih banyak digunakan dalam konteks adat. Dan jikalau melihat kepada konteks adat,
onang-onang lebih banyak dinyanyikan pada upacara adat perkawinan sementara
untuk memasuki rumah baru dan anak lahir sudah jarang dilakukan.
Onang-onang yang ditampilkan dalam upacara adat akan diiringi oleh
penampilan gondang dan tor-tor. Onang-onang dinyanyikan secara spontan dan termasuk dalam tradisi lisan yaitu melodi dan teksnya tidak tertulis. Teks atau syair diciptakan sendiri oleh penyanyi setelah mereka mendapatkan deskripsi tentang bayo pangoli dan boru na nioli dan mengungkapkan keadaan dan suasana pada saat upacara adat berlangsung.
3
(18)
kemudian dilanjutkan oleh paronang-onang. Setelah menyanyikan beberapa kalimat,
paronang-onang kemudian memberikan jeda untuk pemain suling dan demikian
seterusnya.
Meskipun nyanyian onang-onang dinyanyikan secara spontan, namun paronang-onang (penyanyi onang-onang) harus memiliki suatu kreatifitas4
Paronang-onang harus memiliki nafas yang panjang dan mampu
menyanyikannya dengan vokal yang dapat didengar dengan baik oleh pendengar.
Paronang-onang juga harus banyak belajar dan mengetahui pantun-pantun adat yang
sering diistilahkan dalam upacara adat. Pantun-pantun ini akan banyak didapatkan . Seorang penyanyi onang-onang (paronang) terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan dari upacara adat, bagaimana kehidupan bayo pangoli dan boru na nioli dan dapat melihat situasi pada saat upacara adat berlangsung.
Untuk menjadi seorang paronang tidak dibutuhkan syarat khusus atau harus dilahirkan dari keturunan raja. Menjadi paronang adalah suatu bakat alamiah dan melalui proses belajar. Mereka belajar dari orang yang sudah menjadi paronang-onang atau yang disebut dengan oral tradition. Awalnya mereka menyimak bagaimana cara
paronang tersebut menyanyikannya, memperhatikan ekspresi wajah dan bagaimana
tehnik pernafasannya. Kemudian mereka berlatih dengan mempraktekkannya di rumah atau di hadapan gurunya. Untuk lebih mendalaminya mereka harus sering memperhatikan gurunya ketika bernyanyi pada upacara-upacara adat tertentu.
4
Kreatifitas yang dimaksud adalah kepandaian paronang-onang dalam menunjukkan kemampuannya dalam menyampaikan pesan nyanyian dilihat dari cara menyanyikannya, mengekspresikannya, dan kreatifitasnya dalam menyesuaikan lirik dengan situasi/keadaan yang sedang berlangsung.
(19)
melalui upacara-upacara adat melalui bahasa-bahasa adat yang sering disampaikan oleh raja-raja adat5
Berdasarkan pengamatan penulis, onang-onang tidak hanya nyanyian yang biasa dinyanyikan pada pesta nagodang masyarakat Angkola-Sipirok. Tetapi masyarakat Angkola-Sipirok sangat menantikan adanya onang-onang ketika gondang sudah dimainkan. Mereka merasa ‘tersentuh’ dengan syair/teks yang disampaikan.
.
Pada pelaksanaan upacara pernikahan adat nagodang, setiap tahapan akan diiringi oleh musik atau yang disebut dengan gondang. Gondang adalah ensambel yang terdiri 2 buah gondang (pangayak dan siayakaon), 2 buah ogung (jantan dan boru-boru), suling, sepasang tali sasayat, dan 1 buah doal. Adanya gondang dalam pernikahan adat nagodang ini tidak hanya sekedar mengiringi tetapi gondang disertakan dengan nyanyian onang-onang yang merupakan nyanyian yang berisi nasehat-nasehat penting bagi kedua mempelai yaitu bayo pangoli dengan boru na nioli. Selain kepada pengantin, nasehat-nasehat juga disampaikan kepada keluarga pengantin melalui nyanyian onang-onang.
Gondang juga dapat disebut dengan lagu. Dalam hal ini misalnya dapat dilihat dari lagu suhut sihabolonan maka disebut gondang suhut sihabolonan, lagu mora maka dikatakan gondang mora. Gondang ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai pembawa melodi (suling dan paronang-onang) dan memiliki fungsi sebagai pembawa pola ritmis yang repetitive (berulang-ulang). Untuk gendang, gong dan tali sasayat besifat konstan dan variatif. Dari segi melodi, selain memiliki materi melodi yang sama namun teks nyanyian berubah atau disebut stropic.
5
Pantun-pantun ini dituliskan dalam suatu buku adat namun penulis tidak mendapatkannya karena tidak mendapatkan izin dari raja-raja adat.
(20)
Bukan hanya menimbulkan reaksi terhadap gerakan tubuh untuk menari (manortor) namun menimbulkan reaksi yang lain dengan menangis. Hal ini sejalan dengan pandapat Purba (2004:369) tentang nyanyian dalam kebudayaan:
“Fungsi utama nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu aktivitas dari berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat komunikasi sosial dibandingkan komunikasi individual-lebih bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi penciptaan musik. Teks memberikan akomodasi pada garapan struktur musiknya."
Dengan melihat pendapat tersebut, onang-onang juga menjadi bagian yang perlu untuk dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual maka akan berbicara mengenai bahasa. Dan bahasa merupakan salah satu sistem yang masuk ke dalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat 1981:203).
Pakar etnomusikologi dan ilmu sosial suda h sejak lama meneliti tentang hubungan antara musik dengan bahasa dan bunyi musikal dengan fenomena linguistik. Feld dalam Purba, (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu: yang meliputi hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, musik di dalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties) ke-musikal-an dari bahasa.
Demikian juga onang-onang sebagai musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya.
(21)
Onang-onang memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantun adat sebagai syair/teks nyanyian. Dan justru makna konotatif inilah yang memberi efek makna pada penikmatnya. Karena makna ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Angkola itu saja. Dan jika melihat kepada teori Nettl (1963: 104) yang mengatakan:
“Asumming that music is a form of communication, there must, in each musical style, be signals which communicate something to the initiated…it may be a nonmusical message or something intrinsically musical.”
[Terjemahan]: berdasarkan pandangan bahwa musik merupakan sebuah alat komunikasi, tentu saja setiap gaya musik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri yang menyampaikan suatu makna yang telah dipahami…apakah itu pesan non-musikal atau sesuatu yang bersifat musikal.
maka, onang-onang yang juga merupakan media komunikasi yang memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tersebut, telah menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami oleh masyarakat Angko la-Sipirok atau mungkin saja oleh masyarakat di luar kebudayaan Angkola-Sipirok.
Dengan demikian, onang-onang tidak hanya sebatas nyanyian pada pesta perkawinan adat nagodang dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau beberapa fungsi yang lain. Namun, onang-onang juga menggambarkan suatu ciri atau kebudayaan masyarakat Angkola-Sipirok lewat teks/syair dan menyampaikan makna yang terkadung dalam teks/ syair tersebut.
Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis teks onang-onang karena penulis melihat hal ini baik untuk
(22)
dibahas dan dituliskan dalan karya ilmiah dengan judul : “ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK DI KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA.”
1.2 Pokok Permasalahan
Adapun poko permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur teks onang-onang dalam upacara perkawinana adat Angkola-Sipirok?
2. Makna apa yang terkandung dalam onang-onang?
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks nyanyian onang-onang dalam upacara perkawinan adat Angkola-Sipirok.
2. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam nyanyian onang-onang yang dapat berguna sebagai pedoman bagi masyarakt Angkola- Sipirok.
1.3.2 Manfaat
Yang menjadi manfaat dari tulisan ini adalah:
1. Mengetahui secara jelas sampai sejauh mana onang-onang berperan dalam perkawinan adat Angkola-Sipirok.
(23)
2. Sebagai bahan pendokumentasian untuk perkembangan disiplin Etnomusikologi, khususnya terhadap kesenian tradisional Angkola.
3. Bermanfaat bagi pembaca terutama dapat melihat unsur-unsur tekstual yang terdapat pada perkawinan Angkola- Sipirok.
4. Untuk melestarikan kebudayaan Angkola- Sipirok sebagai salah satu upaya dalam memperkaya budaya Nasional.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret6
Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan atau isi dari suatu karangan. Dalam musik vokal, teks disebut dengan lirik/syair. Dan lirik merupakan susunan kata dalam suatu nyanyian yang berisi curahan perasaan
. Kata analisis berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya). Berangkat dari pengertian ini penulis akan menguraikan suatu peristiwa yang selanjutnya menuliskan keadaan yang sebenarnya untuk menemukan duduk perkaranya. Adapun yang menjadi objek penelitian yang akan diuraikan adalah upacara perkawinan pada masyarakat Angkola-Sipirok yang difokuskan kepada analisis tekstual nyanyian onang-onang dalam Perkawinan adat nagodang.
7
6
KBBI edisi kedua tahun 1995 7
KBBI edisi kedua tahun 1995
. Lirik tersebut akan menghasilkan makna yang tersirat. Pada tulisan ini penulis akan melihat
(24)
apa yang menjadi isi dari syair/lirik yang terdapat pada nyanyian onang-onang. Kemudian penulis akan menganalisis makna yang terkandung di dalamnya.
Onang-onang sebagai musik vokal yang dipakai dalam upacara perkawinan
masyarakat Angkola-Sipirok merupakan suatu media komunikasi untuk menyampaikan maksud dan tujuan upacara perkawinan diadakan.
Gondang adalah musik dan juga merupakan lagu. Dengan gondang, masyarakat di luar etnis Angkola-Sipirok dapat memahami kebudayaan masyarakat Angkkola- Sipirok karena gondang memiliki fungsi yang sangat penting dalam konteks adat yaitu sebagai media komunikasi dan ekspresi.
Masyarakat menurut Koentjaranigrat (1986:160) adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, dimana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama.
Masyarakat Bunga Bondar adalah masyarakat yang berinteraksi melalui sistem adat yang disebut adat dalihan na tolu. Kehidupan masyarakat Angkola-Sipirok di desa Bunga Bondar juga terikat oleh satu rasa identitas bersama. Identitas ini dapat dilihat dari kelompok marga yang tidak terlalu banyak dan masih dalam ikatan keluarga (satu darah) sehingga kehidupan masyarakat Bunga Bondar sangatlah rukun dan saling bersatu di dalam setiap acara adat bahkan dalam kegiatan-kegiatan adat lainnya.
1.4.2 Teori
Musik (nyanyian onang-onang) merupakan bagian penting pada upacara pernikahan adat Angkola-Sipirok. Menurut Merriam (1964:6), suara musik adalah hasil proses perilaku manusia yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai, sikap dan kepercayaan
(25)
dari masyarakat yang berbeda di dalam suatu kebudayaan. Demikian juga halnya dengan onang-onang yang dibentuk oleh adat istiadat, peradaban dan budaya suku Angkola-Sipirok. Sehingga untuk dapat memahami kebudayaan Angkola, kita dapat belajar dari kebudayaan musiknya (nyanyian onang-onang).
Malm (1977:9) mengatakan bahwa musik juga mempunyai hubungan dengan tekstual. Dalam menganalisis tekstual disini, penulis tidak hanya mencari apa yang menjadi arti dari syair yang dinyanyikan. Namun mencari makna yang terkadung dalam nyanyian onang-onang dan melihat karakteristik dari kebudayaannya. Oleh karena itu, menurut Mennheim dalam Bustan8
Menurut Palmer (2003:9) hermeneutika merupakan studi pemahaman makna teks sebagai uraian kesan manusia. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa, makna sebuah
agar dapat mengungkapkan makna, perlu dibedakan beberapa pengertian antara lain: (1) penerjemah atau translation, (2) tafsir atau interpretasi, (3) ekstrapolasi dan (4) pemaknaan atau meaning. Menurut Mennheim,
“Terjemah merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media berbeda. Mengacu pada materi terjemahan, dibuat penafsiran untuk mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konsep yang lebih jelas. Ekstrapolasi bertujuan menangkap berbagai fenomena di balik yang tersajikan berdasarkan kemampuan daya pikir manusia pada tataran empirik logik. Ekstrapolasi identik dengan pemaknaan, namun pemaknaan adalah upaya lebih jauh dari penafsiran karena, selain memerlukan kemampuan integratif manusia berupa kemampuan inderawi, kemampuan daya pikir, dan kemampuan akal budi, pemaknaan menjangkau hal-hal yang bersifat etik dan transendental.”
8
Lihat Dalam Ritual Penti Pada Guyup Tutur Etnik Manggarai Di Flores”. Vol 15, No 28. Maret 2008.
(26)
teks sebagai hasil cipta karya dan rasa manusia teranyam dalam satu kesatuan dengan kebudayaan yang mewadahinya.
Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu (1) peristiwa pemahaman teks, dan (2) persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi itu.
Ada tiga bentuk kata kerja dari hermeneutik, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing (Palmer 2003:10). Ketiga makna itu diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa lain (Palmer 2003:16).
Dalam pengertian ini interpretasi adalah bentuk dari perkataan. Demikian juga, perkataan lisan atau nyanyian juga termasuk sebuah interpretasi (Palmer 2003: 23). Nyanyian memiliki sesuatu untuk diekspresikan dan melalui nyanyian (teks lisan) ada pesan-pesan yang disampaikan. Pesan tersebut berasal dari teks lisan yang diekspresikan sehingga membawa makna tersendiri yang terkadang tersembunyi. Dengan mengetahui pesan dari teks lisan (dalam hal ini nyanyian) maka akan lebih mudah melihat maknanya. Namun dalam mencari makna, Palmer menganjurkan untuk terlebih dahulu melihat konteksnya. Onang-onang adalah nyanyian yang memiliki isi tentang doa, nasehat, menceritakan latar belakang keluarga. Melalui isi nyanyian ini dapat dilihat konteks yang terdapat pada onang-onang. Oleh karena itu, mekanisme penafsiran makna teks harus selalu mengacu pada konteks sosial budaya.
(27)
Untuk mendeskripsikan upacara perkawinan, penulis memakai teori unsur-unsur pendukung upacara seperti yang dikemukakan oleh Koenjtaraningrat. (1985:243). Koenjtaraningrat menyatakan bahwa upacara terbagi atas empat komponen yaitu :
(1) Tempat upacara (2) Saat upacara
(3) Benda- benda dan alat upacara (4) Pemimpin dan peserta upacara
Untuk mendeskripsikan musiknya, penulis menggunakan pendekatan Bruno Nettl (1963:98) tentang transkripsi dimana dikatakan bahwa ada dua hal yang dilakukan dalam mendeskripsikan musik, yaitu (1) kita mendengar dan mendeskripsikan musik, (2) kita dapat menuliskannya dalam bentuk tulisan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.
1.5 Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan metode penelitian ini maka hasil penelitian akan dijelaskan dan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh yaitu: sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan, atau kelompok tertentu agar penulis dapat memaparkan dan menggambarkan keadaan secara mendetail sesuai data yang diperoleh dari ungkapan, catatan, dan tingkah laku masyarakat yang diteliti. (Koenjtaraningrat, 1985: 20).
(28)
1.5.1 Studi Pustaka
Sebelum mengerjakan tulisan ini, penulis terlebih dahulu mencari data-data yang berkaitan dengan judul atau topik yang akan ditulis dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan objek pembahasan. Studi ini diperlukan untuk mendapatkan teori, konsep dan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan atau perbandingan dalam tulisan.
Sumber bacaan dapat diperoleh dengan membaca skripsi yang pernah membahas tentang kebudayaan Angkola dan juga tentang nyanyian onang-onang. Selain itu penulis juga mencari bacaan lain yang mendukung tulisan ini dengan mencari buku-buku yang relevan, dan mencari informasi dari situs internet. Dalam mencari data melalui literatur penulis masih mengalami kesulitan karena buku yang tersedia tentang onang-onang masih terbatas, namun penulis berusaha untuk mendapatkannya melalui wawancara kepada informan.
1.5.2 Pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi yang menjadi objek dalam tulisan ini adalah kelurahan Bunga Bondar. Alasan penulis dalam menentukan daerah ini adalah karena daerah ini masih belum mendapatkan perubahan dalam pesta perkawinan dan masih memegang teguh adat Angkola. Selain itu Bunga Bondar adalah salah satu daerah dimana terdapat banyak keturunan raja. Sementara grup yang memainkan gondang adalah grup “Gondang Saraban” dari daerah Bunga Bondar sendiri.
(29)
1.5.3 Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang mendukung tentang kasus dalam peneltian ini, penulis melakukan pengumpulan data-data dengan melalui wawancara, observasi, rekaman (audio visual/video, kamera), dan menganalisis semua data yang diperoleh.
1.5.3.1 Wawancara
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terfokus (focused interview) yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat pada satu pokok (Koenjtaraningrat 1976:175). Selain itu penulis juga mengadakan wawancara bebas (free interview) yaitu dengan bertanya tidak hanya berpusat pada suatu pokok permsalahan namun tidak beralih dari suatu hal ke hal lain. Sebagai informan pokok penulis menetapkan bapak Mangaraja Tunggal sebagai penatua adat dan termasuk salah satu raja dan kepada bapak Mangaraja Endar sebagai
paronang-onang. Dan informan lain yang berasal dari beberapa pemain musik dan
penatua adat yang lainnya.
1.5.3.2 Observasi
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, penulis melakukan studi lapangan dengan cara observasi langsung dan penulis berusaha dapat mengamati dan mengikuti bagaimana persiapan dan pelaksaan upacara ketika berlangsung.
Untuk membantu data yang masih kurang di lapangan, maka penulis mencari data tersebut dari alat audio visual, yaitu video yang berisi tentang perkawinan Angkola-Sipirok.
(30)
1.5.3.3 Rekaman
Untuk merekam hasil wawancara pada upacara adat perkawinan, penulis menggunakan microcassette recorder merk Panasonic RN-202, sementara dalam merekam suara paronang-onang dan pemain gondang penulis menggunakan tape recorder merk sony TP-S350 dengan kaset Maxell UE-60, dan dalam merekam berjalannya upacara perkawinan dan memotret penulis menggunakan digital video camera merk Spectra vertex Dx1. Semua gambar berupa foto dan video merupakan dokumentasi penulis.
1.5.4 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium semua data akan dianalisis untuk mengoreksi data-data sehingga dapat ditulis dengan baik oleh penulis. Data-data-data yang didapatkan akan didengar secara berulang-ulang untuk mendapatkan tekstual secara benar dan mengetahui lebih tepat setiap kata demi kata yang dinyanyikan oleh paronang-onang, kemudian dicatat dan diklasifikasikan. Setelah dicatat, penulis meminta bantuan kepada informan untuk menyampaikan terjemahan dan menganalisis bagaimana makna tekstual pada onang-onang.
(31)
BAB II
IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN
2.1 Sejarah Terbentuknya Kampung/ Desa
Siregar (1977:111) menuliskan bahwa daerah Sipirok dahulu terdiri dari kesatuan tiga daerah yaitu Sipirok, Baringin-Bunga Bondar dan Parau Sorat yang akhirnya menjadi suatu kecamatan dengan ibukota kecamatan Sipirok. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang terdiri dari wilayah perkebunan dan sawah. Menurut sejarah atau keterangan-keterangan dari orang-orang tua, kalau hendak mendirikan suatu huta/ kampung pada waktu dahulu ialah dengan berangkatnya suatu kelompok yang terdiri dari tiga unsur yang dikenal pada orang Batak Angkola-Sipirok ialah:
1. Suhut Marhamaranggi
2. Anakboru, yaitu pihak pemberian boru 3. Mora, yaitu pihak pengambilan boru
Sesampainya mereka ke tempat yang dituju untuk mendirikan kampung tersebut, mereka menanam tiga macam tanaman yang merupakan lambang suatu huta atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud ialah:
1. Pohon Beringin, yang dalam Bahasa Daerah disebut namanya haruaya tambang baringin.
2. Pohon Bambu, yang disebut dalam Bahasa Daerahnya bulu hait madungdung. 3. Sirih, yang disebut burangir na naharpean na marjungjungkon hayu jalakan.
(32)
Apabila ketiga jenis tanaman ini tumbuh dengan baik merupakan suatu pertanda bahwa tempat itu dapat dijadikan huta, seandainya tidak mau tumbuh maka tempat itu ditinggalkan.
Sesudah itu mereka mulai menetapkan dimana tempat untuk pendirian rumah nanti dan dimana tempat yang akan dijadikan persawahan, perladangan dan perkebunan. Dengan bekerja keras mereka membuat lahan persawahan, perkebunan kopi dan berusaha untuk menanam tanaman yang dapat memberikan mereka makanan.
Setelah tersebar ke seluruh kampung bahwa daerah tersebut memiliki lahan yang baik untuk dijadikan mata pencaharian, maka banyaklah orang-orang datang mengunjungi dan menetap di kampung tersebut. Semakin lama akhirnya semakin bertambah jumlah orang yang menetap sehingga mulailah terbentuk suatu komunitas dengan adat. Adat yang mereka bentuk adalah adat yang sebelumnya dipakai oleh kelompok sipungka huta (yang membentuk kampung) ketika masih berada di kampung awal.
Setiap orang yang datang ke kampung itu diberikan tanah untuk membangun rumah, tanah untuk bersawah, tanah untuk berkebun yang disebut “Salipi na tatar” dan tidak boleh dijual jikalau mereka pindah atau meninggalkan kampung supaya bisa diberikan kepada yang lain apabila mereka menetap.
Maka saat ini ada unsur-unsur penting dalam kampung/ huta yang terdiri dari: 1. Yang membuka kampung, yaitu Suhut Na Marhamaranggi
2. Anakboru, yaitu Suhut Na Marhamaranggi
3. Mora ni Suhut Na Marhamaranggi
(33)
Mereka juga membentuk peradaton, sehingga terbentuklah Lembaga Adat di kampung dengan fungsionaris adatnya. Tetapi supaya fungsionaris ini berkekuatan haruslah lebih dahulu bonabulu itu diresmikan menurut adat penuh agar kampung itu berstatus bonabulu.
Apabila kampung tersebut sudah berstatus bonabulu maka peradatan yang ada dihuta itu sudah dapat berdiri sendiri artinya telah dapat melaksanakan pekerjaan adat yang penuh. Oleh sebab itu harus ada sitiop gagang sitiop adat dohot uhum9
1. Harajaon. Harajaon ini yang berasal dari sipungka huta itu.
, maka terbentuklah yang bernama fungsionaris adat.
Adapun yang termasuk fungsionaris adat di kampung itu ialah:
2. Hatobangon. Ini adalah perwakilan-perwakilan dari parripe yang ada di kampung dengan persyaratan mereka ini harus sanggup mengisi ampang yang memiliki ukuran isi yang isinya kira-kira 32 canting beras pada saat ada kerja adat di kampung apakah itu sukacita ataupun dukacita.
Sehubungan dengan fungsionaris adat yang disebut di atas, maka terbentuklah Raja Bonabulu yaitu Harajaon, ada Anakboru Bonabulu, yaitu anakboru yang ikut mendirikan huta/kampung, Mora Bonabulu yaitu mora yang ikut mendirikan huta/kampung tersebut.
Raja itulah yang dapat mengetahui segala sesuatu tentang hal adat dan uhum (hukum) di kampung tersebut, tetapi untuk melaksanakannya maka hal itu diserahkan kepada Orangkaya, pelaksanaan adat itulah yang disebut ugari.
9
Yang dimaksud disini adalah tokoh/orang yang memegang teguh adat dan hukum adat (fungsionaris adat).
(34)
2.2 Typology Desa Bunga Bondar
Bunga Bondar terletak pada areal seluas 542 ha dengan perbatasan : - Sebelah Utara dengan Bunga Bondar Sepuluh ( Aek Pinagar) - Sebelah Barat dengan Desa Sumpean
- Sebelah Timur dengan pegunungan Sumatera Utara - Sebelah Selatan dengan Desa pangkal Dolok ( Aek Garut) - Sebelah Barat Daya dengan Desa Hasang Marsada ( Aek Siguti)
Secara garis besar keadaan alam desa Bunga Bondar adalah luas perumahan: 15 ha, sawah setengah teknis: 80 ha, sawah sederhana: 180 ha, perkebunan: 50 ha, danau/rawa: 2,7 ha dan lain-lain: 204,3 ha.10
10
Sumber: Kantor Lurah Bunga Bondar Tahun 2010.
Desa Bunga Bondar berada di sebelah timur dari kecamatan Sipirok. Desa ini merupakan dataran tinggi yang masih berada di bawah pegunungan Bukit Barisan yang berada di sebelah timur desa Bunga Bondar. Sebelah barat desa ini merupakan daerah sawah dan beberapa lahan untuk berkebun. Karena berada di bawah pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa aliran sungai kecil yang akhirnya bermuara menuju Danau Marsabut yang terdapat di sebelah timur.
Wilayah Angkola di Kotamadya Tapanuli Selatan terdiri dari tiga bagian yaitu: Angkola Julu (Angkola Hulu), Angkola Jae (Angkola Hilir), dan Angkola Dolok (Angkola Pegunungan), Padang Bolak dan Mandailing (Siregar 1977:113).
(35)
2.3 Komposisi Penduduk Desa Bunga Bondar
Penduduk asli desa Bunga Bondar adalah masyarakat suku Angkola yang sering disebut Angkola-Sipirok. Penduduknya berjumlah 1.242 jiwa dan mayoritas beragama Islam. Warga yang tinggal di desa ini mayoritas bermarga Siregar, hal ini disebabkan karena desa Bunga Bondar didirikan oleh marga Siregar dan orang yang menjadi raja adalah yang bermarga Siregar. Hal ini mengakibatkan bahwa marga Siregar dihormati masyarakat oleh karena keturunan raja. Meskipun suku Angkola telah tersebar di seluruh wilayah di Sumatera Utara namun warga Angkola yang berasal dari Bunga Bondar tetap menjaga norma-norma adat yang diajarkan kepada mereka. Dan hal ini juga terlihat dari kepedulian masyarakat Bunga Bondar kepada warganya begitu juga kepada warga yang berasal dari suku atau daerah lain. Keharmonisan masyarakat mengakibatkan budaya Angkola- Sipirok tetap terjaga.
2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang jumlah dan komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin:
Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Umur Jenis kelamin Jumlah
Pria Wanita
0-4 46 47 93
5-9 44 43 87
10-14 45 47 92
15-19 55 57 112
20-24 62 64 126
25-29 54 58 112
30-34 40 41 81
(36)
40-44 36 35 71
45-49 35 32 67
50-ke atas 179 144 323
Jumlah 634 608 1242
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
Dari data di atas yang paling banyak mendiami wilayah Bunga Bondar ditinjau dari umur dan jenis kelamin adalah penduduk dengan usia 50 tahun keatas dengan jumlah 323 jiwa. Dari pemantauan penulis kemungkinan yang menyebabkan hal ini adalah karena banyak penduduk Bunga Bondar yang merantau dan berpindah tempat ke daerah Sipirok, Padangsidimuan, dan bahkan di luar kota dan pulau.
2.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan
Dilihat dari segi pendidikan, penduduk Bunga Bondar hanya mengikuti pendidikan formil. Sementara pendidikan non formil seperti pendidikan keterampilan khusus tidak didirikan oleh pemerintah setempat.
Meskipun dari segi pendidikan masyarakat Bunga Bondar belum mendapatkan fasilitas yang memadai seperti di daerah kecamatan Sipirok, namun mereka tetap bergiat untuk mengikuti pengajaran dan penduduk Bunga Bondar tetap menomor satukan pendidikan kepada anak-anak mereka. Hal ini terlihat dengan jarak sekolah yang berada di daerah Sipirok dan juga di desa yang lain tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar dan bersekolah. Jenjang perguruan tinggi adalah impian setiap orang tua terhadap anak-anak mereka. Hal ini menyebabkan tidak sedikit yang melanjut ke perguruan tinggi dan merantau untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang memadai dan tidak sedikit pula para pejabat negeri yang berasal dari
(37)
daerah Bunga Bondar seperti Raja Inal Siregar, Dr. Bajora dan bebebapa pejabat lainnya (wawancara dengan Bpk. Mangaraja Tunggal).
Table berikut akan menunjukkan komposisi pendidikan formil desa Bunga Bondar:
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan
Jenis pendidikan Jumlah jiwa
Belum sekolah 127 jiwa
Belum tamat SD 148 jiwa
Tamat SD 148 jiwa
Tamat SLTP 337 jiwa
Tamat SMU 435 jiwa
Tamat Akademi 26 jiwa
Tamat Perguruan Tinggi 21 jiwa
Buta aksara 10-55 thn -
Jumlah 1242 jiwa
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama
Mayoritas penduduk Bunga Bondar adalah pemeluk agama Islam. Sebelum masuknya agama ke desa ini, dahulu mereka mengabut kepercayaan pele begu (menyembah roh-roh nenek moyang). Dan ketika masuknya penyebar agama Islam dan Kristen maka mereka mulai memeluk agama tersebut dan penduduk tersebut lebih dominan kepada ajaran agama Islam.
Perbedaan agama di desa ini tidaklah menjadi penghalang kekerabatan mereka. Masyarakat Bunga Bondar sendiri adalah masyarakat yang memiliki hubungan darah meskipun dalam kepercayaan mereka memilih agama yang mereka yakini. Oleh karena itu kehidupan beragama juga sangatlah erat, perbedaan agama tersebut dijadikan
(38)
menjadi keunikan dan keberagaman mereka. Kedekatan kekerabatan ini dapat dilihat dengan terlibatnya seluruh warga pada saat upacara adat nagodang sekalipun yang mengadakan pernikahan adalah yang berbeda agama dengan agama mereka. Masyarakat Bunga Bondar mengatakan hal ini dengan istilah “mudar do na
mangkatai” artinya, mereka masih dalam satu garis keturunan dan tidak dapat
membeda-bedakan hanya karena agama.
Berdasarkan komposisi agama, jumlah penduduk Bunga Bondar dapat dilihat melalui table berikut:
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Agama
Agama Jumlah Penduduk
Islam 810 jiwa
Kristen Protestan 432 jiwa
Jumlah 1242 jiwa
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa
Masyarakat Bunga Bondar dominan bekerja sebagai petani dan pekerja kebun. Hampir 80% masyarakat Bunga Bondar memperoleh penghasilan berdasarkan hasil panen padi yang sudah ditanam selama 6 bulan. Selain itu mereka juga bertanam coklat, menjual kayu bakar. Setiap hari mereka akan mempersiapkan diri terlebih dahulu baik sarapan pagi, memberangkatkan anak-anak mereka ke sekolah dan mulai ke sawah sambil membawa bekal makan siang karena pada sore menjelang magrib mereka berhenti bekerja. Dan pekerjaan itu mereka kerjakan setiap hari dan setelah mereka panen maka mereka dapat mengerjakan pekerjaan lain nisalnya mengadakan horja atau pesta karena disaat itulah waktu yang paling tepat untuk mereka kerjakan.
(39)
Mata pencarian lain yang terdapat di desa ini adalah adanya orang yang berjualan kopi, sebagai guru, pegawai negeri, tukang kayu, tukang jahit, dan angkutan. Jikalau diperhatikan, kehidupan masyarakat Bunga Bondar tidak terpengaruh dengan berkembangnya beberapa daerah dengan memasukkan kemajuan yang ada di perkotaan seperti hal yang berhubungan dengan teknologi. Hal ini memang diterima oleh masyarakat Bunga Bondar namun mereka tidak begitu memusatkan perhatian pada kehidupan yang modern. Hal ini dikarenakan mereka dapat hidup rukun satu dengan yang lain dalam satu kelurahan dan mereka lebih menekankan anak-anak mereka untuk lebih mengutamakan kehidupan yang beragama dan beradat agar tidak terpengaruh kepada perkembangan dunia meskipun sesungguhnya mereka tetap memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka untuk mengikuti perkembangan tersebut demi perkembangan pendidikan mereka.
Berikut akan dipaparkan tabel mata pencarian masyarakat Bunga Bondar dilihat dari faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa:
2.4.1 Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:
Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian pertanian:
Tabel 4. Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:
Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa
Petani pemilik tanah 145 jiwa
Petani penggarap tanah 29 jiwa
Peternakan 3 jiwa
(40)
Dengan melihat tabel di atas dapat di ketahui bahwa dari 1.242 jiwa yang terdapat di desa Bunga Bondar terdapat 81, 9% jiwa penduduk yang bermata pencarian sebagai petani. Namun jika diperhatikan berdasarkan tabel tidak semua memiliki lahan sendiri, masih ada yang mengusahakan dengan menggarap tanah. Sementara dilihat dari usaha beternak, hanya sekitar 1,6% dan ini tidak mendominasi di desa Bunga Bondar.
2.4.2 Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:
Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian perdagangan:
Tabel 5. Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:
Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa
Toko 2 jiwa
Warung kopi 7 jiwa
Jumlah 9 jiwa
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
Berdasarkan data yang tertera di atas terdapat 9 jiwa yang memiliki usaha berdagang dan jika dilihat dengan persentase, hanya sekitar 0,72% dari jumlah keseluruhan penduduk Bunga Bondar. Kondisi jarak yang tidak begitu jauh dari kecamatan Sipirok dan memadainya angkutan kota mengakibatkan tidak banyak penduduk Bunga Bondar yang menekuni usaha berdagang ini.
Penulis mengamati bahwa penduduk Bunga Bondar sudah mempersiapkan bahan pokok makanan seperti cabe, bawang dan bahan rempah-rempah yang akan
(41)
mereka pergunakan selama seminggu. Setiap seminggu sekali pada hari Selasa subuh diadakan pasar (poken) yang khusus menjual bahan-bahan pokok lauk pauk, sayur mayor dan beberapa keperluan rumah tangga yang senantiasa dibutuhkan. Untuk beras mereka tidak lagi membelinya karena mereka sendiri adalah petani.
Penduduk Bunga Bondar juga memanfaatkan tanah yang ada disekitar rumah mereka dengan menanam bahan pokok makanan seperti cabe, daun bawang, sayur. Hal inilah yang membuat mereka lebih sehat karena mengkonsumsi makanan hasil tanaman sendiri dan jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia.
Apabila mereka kekurangan persediaan, mereka dapat berbelanja ke Sipirok dan hanya memakan waktu selama 30 menit dengan angkutan kota dan sekitar 15-20 menit dengan mengendarai sepeda motor.
2.4.3 Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan
Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian dalam industri :
Tabel 6. Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan
Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa
Kerajinan tangan -
Industri kecil 1
Pandai besi -
Jumlah 1 Jiwa
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
Jikalau dilihat berdasarkan tabel di atas hanya 1 jiwa yang mempunyai usaha dalam industri kecil. Kemungkinan hal ini dikarenakan kurangnya penyuluhan yang
(42)
datang ke desa ini untuk mengajarkan dan membantu masyarakat untuk membuka usaha baru. Dari data yang diperoleh oleh penulis, beberapa penyuluhan yang sering dibuka di daerah ini adalah penyuluhan terhadap bercocok tanam dan pemberian pupuk. Namun pada tahun 2010, perencanaan yang mereka adakan adalah bagian perhubungan dan gotong royong untuk prasarana produksi.
2.4.4 Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa
Dengan melihat tabel di bawah ini akan terlihat jelas persentase penduduk yang bermata pencarian dalam bidang jasa seperti pegawai swasta yang berjumlah sekitar 42, 6% dan guru dengan persentase 31, 2 % dari jumlah keseluruhan penduduk yang bermata pencarian jasa. Namun dengan melihat keseluruhan jumlah penduduk Bunga Bondar maka penduduk dalam bidang jasa hanya berjumlah 4, 9%.
Sebagai daerah kelurahan seharusnya terdapat dokter di desa ini. Namun hal ini belum diperhatikan oleh kepala kelurahan karena penduduk yang juga tidak pernah mengeluh akan keberadaan dokter. Hal ini juga didukung dengan jarak Rumah Sakit Katolik yang berada di desa Hasang yang berjarak sekitar 1 km dari Bunga Bondar dan ditempuh hanya sekitar 10-15 menit dengan kenderaan umum. Sementara di desa Bunga Bondar sendiri hanya tersedia Puskesmas dan dilayani oleh bidan dan tidak setiap hari dapat melayani karena bidan yang melayani juga tidak semua berasal dari Bunga Bondar tetapi datang dari daerah Sipirok yang memiliki jadwal ke desa ini. Namun hanya 3 orang bidan yang merupakan penduduk Bunga Bondar.
(43)
Berikut akan dipaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian dalam jasa:
Tabel 7. Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa
Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa
Dokter - jiwa
Bidan 3 jiwa
Mantri - jiwa
Guru 19 jiwa
Pegawai Negeri 21 jiwa
Pegawai Swasta 26 jiwa
Dukun bayi 1 jiwa
Tukang cukur/ tukang pangkas 1 jiwa
Tukang jahit 1 jiwa
Tukang kayu 4 jiwa
Pensiunan 23 jiwa
Tukang batu 5 jiwa
Angkutan 7 jiwa
Jumlah 61 jiwa
(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)
2.5 Bahasa
Masyarakat Bunga Bondar umumnya mempergunakan bahasa Angkola-Sipirok. Bahasa ini tidak hanya digunakan oleh warga asli Bunga Bondar saja namun juga sudah digunakan oleh warga pendatang.
Bahasa Angkola-Sipirok memiliki sedikit perbedaan dengan bahasa Angkola yang sering didengar di kota Padangsidempuan atau diseluruh wilayah Tapanuli Selatan. Selain dari bahasa, cara berbicara masyarakat Bunga Bondar juga berbeda. Misalnya tante dalam bahasa Angkola di kota Padangsidempuan disebut etek. Namun jika di wilayah Bunga Bondar ini disebut dengan bujing .
(44)
Bahasa Angkola dituliskan dalam Surat Tulak-tulak yang dibaca dengan ejaan latin yaitu A, HA, MA, NA, RA, TA, BA, WA, SA, NYA, I, YA, JA, LA, PA, DA, NGA, KA, GA, U, CA sebagai konsonan ina ni surat dan vokal E, I, U, O, dan U yang disebut juga sebagai Anak ni surat. Untuk menandakan bunyi vokal pada Surat Tulak-tulak maka disisipkan simbol sebagai penanda bunyi vokal antara lain:
1. Lingkaran kecil (hauluan atau haluaan) dengan simbol (○) dipakai untuk bunyi i,
Contoh: mi =
α
○
2. Tanda lebih besar (haboritan atau haboruan) dengan simbol (>) dipakai untuk bunyi u,
Contoh: mu =
α
3. Tanda silang (hasialan atau sikora) dengan simbol (x) dipakai untuk bunyi o,
Contoh: mo =
α
x4. Tanda penghubung sebelah kiri atas (hatadingan atau hatalingan) dengan simbol (-) dipakai untuk bunyi e,
Contoh: me = ‾
α
5. Tanda penghubung sebelah kanan atas (hamisaran atau paninggil) dengan simbol (-) dipakai untuk bunyi ng,
Contoh: mang =
α
‾6. Tanda garis miring ke kanan (pangolat) dengan simbol (\) dipakai untuk menghilangkan atau mamatikan bunyi a,
(45)
Bahasa yang dipakai masyarakat Angkola-Sipirok pada kegiatan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara adat dikarenakan dalam upacara- upacara banyak hal yang diumpamakan dan merupakan perlambangan yang memiliki arti tersendiri. Demikian juga hal ini dikemukakan oleh Matondang11
1. Bahasa sehari-hari
, mengatakan bahwa ada empat ragam bahasa etnik Angkola yakni :
2. Bahasa pantun
3. Bahasa ratapan (andung) 4. Bahasa adat
2.6 Transportasi
Jalan menuju Bunga Bondar sudah sangat baik dikarenakan jalan besar bukan merupakan jalan yang dipakai untuk jalan lintas Sumatera yang dilewati oleh berbagai angkutan umum. Transportasi di daerah ini sudah dapat dikatakan cukup baik. Angkutan yang tersedia adalah : sepeda motor, angkutan umum kota, dan juga mobil pengangkutan barang ke kota. Desa Bunga Bondar tidak lagi seperti desa yang susah untuk dikunjungi dikarenakan ada tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti Danau Marsabut di daerah Bunga Bondar Sappulu (X) dan melewati desa Bunga Bondar. Meskipun desa Bunga Bondar hanya memiliki daerah sekitar 502 ha, namun dari segi tatanan desa, dan jalanan serta transportasi sudah dapat dikatakan baik sehingga bagi
11
Lihat Perkawinan Angkola_Mandailing, 2001.
(46)
pendatang atau para wisatawan yang hendak berkunjung tidak mengalami kendala dalam fasilitas kenderaan.
2.7 Sistem Kekerabatan Masyarakat Angkola-Sipirok
Pada masyarakat Angkola-Sipirok ada disebut falsapah Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dalihan dahulu diawali dari batu kemudian dibuat lagi dari besi dengan tiga kaki yang biasa dibuat untuk tungku (tataring). Dahulu tungku ini ditancapkan pada lantai agar tidak goyang dan dan diatasnya dibuat kayu sebanyak empat dan inilah yang disebut dengan bondul. Bondul inilah yang akan menjaga dalihan yang berada di atas tungku agar tidak jatuh. Sehingga hal ini disebut falsapah bagi masyrakat Angkola-Sipirok dengan Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dan dalam ketetapannya dikatakan:
1. Manat sangape jamot markahanggi
2. Elek marboru
3. Hormat Marmora
Sedangkan Bondul Na Opat, yaitu: Hahutaon yang digambarkan pada
Hatobangon-Harajaon Bonabulu. Dalam istilah Angkola-Sipirok, nasi dapat masak
dengan lauknya di dalam periuk jika dimasak di atas tungku, artinya Dalihan Na Tolu adalah adat tetapi tidak boleh keluar dari aturan di daerah, oleh karena itu harus melibatkan Bondul Na Opat (Hatobangon- Harajaon) di dalam kerja adat. Falsapah
Dalihan Na Tolu inilah yang menentukan tutur sapa masyarakat Angkola-Sipirok.
(47)
a. Mora
Mora artinya pengambilan perempuan untuk menjadi istri. Perempuan inilah yang akan menghasilkan keturunan supaya marga ayahnya tidak hilang dari garis keturunan berikutnya.
Menurut orangtua dahulu, mora dalam keluarga adalah pemula/pangkal dan
mora itu adalah dari Pencipta, jiwanya memberi berkat dan juga pemberi wibawa
kepada anakborunya. Apabila ada pertentangan di dalam keluarga maka mora akan menjadi pihak yang mendamaikan tidak memihak sebelah sehingga ada peribahasa yang mengatakan “Katian na so ra miling, batuan na so ra teleng“ yang berarti sebagai neraca beban dan anak timbangan tidak berat sebelah. Anakboru sangat percaya kepada moranya karena mora harus berdiri dengan kebenaran, bahkan dikatakan mora mau bertindak rugi demi kesenangan anakboru. Karena mora dikatakan juru damai bagi anakboru, maka lahirlah suatu umpama:
Lelan ni Malombu Siliming ni Raniate
Horas, mardame-dame anakboru Anso sumonang ate-ate
Artinya seekor ikan yang bernama Lelan yang berasal dari Malombu dan ikan yang bernama Siliming yang berasal dari Raniate, diharapkan selamat dan damailah Anakboru agar mora tetap gembira dan senang.
Penuturan dalam mora:
1. Nenek laki-laki dan yang perempuan dari pihak ibu kita disebut Ompung. 2. Kakak, abang, adik dari ibu kita disebut Tulang.
(48)
3. Istri dari tulang kita disebut Nantulang.
4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut Tunggane
5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut Anggi 6. Istri dari tunggane kita disebut Ompung
7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut Tulang
8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut Parumaen atau Maen 9. Tulang dari ibu kita= mora ni mora disebut Ompung
10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut Tulang.
b. Kahanggi
Kahanggi artinya teman semarga. Kahanggi terlihat keakrabannya dalam
satahi (semufakat), saparadaton (teman seadat), sapanganan (sepenganan),
sapangupaan(sepenerima berkah), salaksak sasingkoru saanak saboru (anak dari yang satu dan anak yang satu lagi dalam pengertian luas sama-sama anaknya), sajop ni roha (satu kegembiraan), salungun (satu kerinduan), samalu sabile (dihina satu berarti semua yang dihina).
Penuturan dalam kahanggi :
1. Bapak ibu dari bapak kita disebut Ompung 2. Ayah kandung dari ayah kita disebut Amang 3. Ibu kandung kita disebut Inang
4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut Angkang 5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut Anggi
(49)
7. Anak perempuan dari ayah kita disebut Ito
8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut Ito 9. Abang dari ayah kita disebut Amantua
10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut Uda 11. Istri dari amantua kita disebut Nantua 12. Istri dari uda kita disebut Nanguda
13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut Amang-Inang 14. Cucu dari ayah kita terhadap nenek kita disebut Nini dan Nono 15. Cucu kita terhadap nenek kita disebut Ondok-Ondok
Dalam ikatan markahanggi diharapkan terjalin hubungan yang erat karena dimana dan kapan saja mereka tetaplah satu keluarga. Seperti peribahasa dalam masyarakat Angkola-Sipirok: “Tampulon aek do na marhamaranggi, sigaton lalai do
na Marmora” artinya, sifat air yang dihempang tidak akan menyatu karena ada
penghempangnya tetapi kalau sudah ditarik maka mereka akan menjadi satu. Dan inilah yang menjadi nasehat orangtua yang sudah pertama sekali diamalkan untuk menjauhkan selisih markahanggi. Perselisihan ini sering muncul dikarenakan harta warisan dari ompung dan orang tua. Dan untuk menjaga agar perselisihan ini tidak terjadi maka dibuatlah sebuah umpama yang berisi:
Habang na Ambaroba Tu bona ni sanduduk Nada ra au marbada Nada ra au pangulut
(50)
Artinya tidak mau ceroboh dan tidak mau berkelahi dalam hal harta warisan dari nenek.
c. Anak Boru
Anak boru artinya kelompok yang diberi gadis untuk menjadi istri dan menantu. Sementara yang mengambil anak gadis ini disebut bere dibagian mora dan
bere yang akan membantu mora. Meskipun boru (anak perempuan) tersebut sudah
menikah dan memiliki keluarga yang baru, rasa sayang tidak akan berhenti bahkan semakin bertambah dalam doa supaya memiliki keturunan dan dapat diperhitungkan bagi masyarakat. Kedudukan boru (anak perempuan) tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki.
Penuturan dalam Anak boru :
1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut Namboru 2. Suami dari namboru kita disebut Amangboru
3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut Lae
4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut Ompung 5. Anak dari lae kita disebut Bere
6. Mantu dari amangboru kita disebut Ito
7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut Ompung 8. Yang mengambil bere kita disebut Bere Huladongan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Angkola adalah patrilineal (garis keturunan ayah). Dan berdasarkan garis patrilineal inilah keturunan dibentuk kelompok-kelompok marga. Matondang mengatakan bahwa marga yang termasuk ke
(51)
dalam etnis Angkola-Sipirok adalah Siregar, Harahap. Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae, Rambe, dan Pane.
2.8 Kesenian
Masyarakat Sipirok mempunyai kesenian tradisonal yang pada dasarnya dipergunakn untuk upacara adat. Kesenian tradisional tersebut terdiri atas:
a. Seni musik
b. Seni suara / musik vokal c. Seni rupa/ukir
d. Seni sastra
2.8.1 Seni Musik
Seni musik tradisional masyarakat Sipirok dikenal dengan nama gondang. Musik gondang dimainkan oleh pemain musik yang disebut dengan pargondang. Masyarakat Sipirok sering menyebutkan musik dengan kata gondang karena musik yang ditampilkan dalam upacara adat adalah gondang.
Godang merupakan suatu ensambel yang terdiri dari:
- Dua buah gendang bermuka dua (double headed drum) yang masing-masing dinamakan gondang inang (gendang induk) atau gondang siayakon dan gondangpangayak (gendang anak).
- Dua buah gong yang masing-masing dinamakan ogung jantan (gong jantan) dan ogung betina (gong betina). Ukuran gong betina lebih besar daripada gong jantan.
(52)
- Satu buah doal (gong kecil)
- Sepasang tali sasayat (simbal kecil) - Satu suling bambu
Gbr 1. Gondang dua Gbr 2. Ogung
Gbr 3. Doal Gbr 4. Ogung dan doal
(53)
Gondang dimainkan pada saat pesta besar atau horja godang. Para pemain
gondang haruslah diminta terlebih dahulu untuk memainkannya barulah mereka
memainkan gondang setelah dilakukan upacara adat atau sering disebut dengan panaek gondang. Maksudnya adalah agar bunyi gondang yang dimainkan sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan.
Gondang yang mengiringi tor-tor memiliki repertoar yang masing-masing
disesuaikan dengan tor-tor yang diiringinya. Misalnya gondang suhut dengan lagu yang bernama gondang suhut dipergunakan untuk mengiringi suhut ketika melakukan tarian adat (manortor).
Pada masa sekarang musik gondang tidak lagi hanya dimainkan dalam upacara adat, tetapi dapat jug dimainklan di luar upacara adat. Misalnya dalam kegiatan kesenian dan ketika menyambut kedatangn tamu-tamu terhormat.
2.8.2 Seni Suara
Seni suara tradisional berupa musik vokal atau nyanyian yang hingga sekarang sangat poluper dalam masyarakat Siprok ada dua macam yaitu nyanyian tradisional yang disebut onang-onang dan sitogol Keduanya bisa dinyanyikan oleh pria. Sitogol biasanya dinyanyikan oleh pemuda.
Seperti yang sudah dituliskan oleh penulis sebelumnya, onang-onang merupakan nyanyian yang dinyanyikan secara spontan dan biasanya dinyanyikan pada upacara adat. Penyanyinya disebut dengan paronang-onang dan dinyanykan dengan diiringi oleh pargondang.
(54)
Sitogol merupakan ende atau nyanyian tradisional yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sipirok dan hingga kini masih sangat populer. Berbeda dari
onang-onang, sitogol lebih merupakan nyanyian hiburan yang berlaku dalam
kehidupan muda-mudi. Oleh karena itu sitogol yang biasa dinyanyikan oleh pemuda tidak begitu terkait dengan kegiatan adat. Pangaduan (1998:276) mengatakan, nyanyian sitogol hanya khusus dinyanyikan oleh muda-mudi pada masa yang lalu. Misalnya pada upacara pamit yang dahulu dilakukan oleh muda-mudi pada waktu memberangkatkan pengantin dan akan meninggalkan desanya. Bahkan biasanya muda-mudi akan menunggu pasangan pengantin itu dari luar batas desa. Dan ketika pengantin melintasi batas desa dinyanyikanlah sitogol oleh pemuda sebagai pengiring kepergian pangantin tersebut.
Lirik atau teks sitogol cenderung berisi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan muda-mudi, seperti hal-hal yang berkaitan dengan cinta, rasa rindu, duka cita, perpisahan dan lain-lain. Liriknya kadang-kadang diambil dari pantun yang poluler dalam kehidupan muda-mudi.
Nyanyian sitogol biasanya dinyanyikan dengan memainkan suling bambu atau puput padi yang dinamakan ole-ole. Ole-ole bisa dimainkan oleh orang yang menyanyikan sitogol dan bisa pula dimainkan oleh orang lain. Dan sesuai dengan aturan tradisi (adat), sitogol (yang berisi lirik yang romantik) hanya boleh dinyanyikan di luar desa.
Selain onang-onang dan sitogol ada lagi nyanyian yang dulu sering dinyanyikan di Sipirok yaitu bue-bue atau yang disebut marbue-bue bagi yang melakukannya. Bue-bue adalah nyanyian menidurkan anak yang dilakukan oleh
(55)
seorang ibu atau kakak. Pada masa sekrang nyanyian ini sudah jarang dinyanyikan. Bue-bue juga dapat dikategorikan sebagai nyanyian nina bobok.
2.8.3 Seni Tari
Dalam kehidupan masyarakat Sipirok terdapat suatu tarian yang disebut tor-tor. Sebagai tarian adat, tor-tor pada dasarnya hanya ditarikan dalam konteks adat. Tor-tor dapat ditarikan oleh siapa saja karena tidak ada penari khusus untuk menarikannya. Setiap orang yang hadir dalam pesta adat dapat manortor dan diharapkan dapat mengambil bagian di dalamnya karena tidak ada keahlian khusus yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak menari.
Tor-tor diiringi oleh gondang dan onang-onang. Seperti seni musik (gondang),
tor-tor juga dilakukan sesuai dengan aturan adat. Artinya, tidak sembarang waktu
untuk manortor. Misalnya, dalam upacara perkawinan, tor-tor boleh dilakukan setelah selesai menyampaikan pidato adat dalam suatu upacara yang disebut maralok-alok. Parlaungan (1998: 278) mengatakan bahwa ketika menarikan tor-tor, tidak dapat dilakukan dengan berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan terkecuali tor-tornaposo nauli bulung.
Tor-tor atau tarian adat yang terdapat pada masyarakat Sipirok diberi nama sesuai dengan status adat atau status sosial orang-orang atau tokoh yang menarikannya dalam konteks adat. Oleh karena itu ada tor-tor yang dinamakan sebagai berikut :
1. Tor-tor Suhut Sihabolonan (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok suhut ) 2. Tor-tor Kahanggi (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok kahanggi) 3. Tor- tor Anak boru (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok anak boru)
(56)
4. Tor-tor Mora (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok mora)
5. Tor-tor Hatobangon (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok hatobangon)
6. Tor-tor Harajaon (tor-tor yang ditarikan oleh golongan harjaon atau tokoh-tokoh adat)
7. Tor-tor Panusunan Bulung (tor-tor yang ditariakn oleh tokoh raja panusunan bulung)
8. Tor-tor Namura Pule (tor-tor yang ditarikan oleh pengantin)
9. Tor-tor Naposo nauli Bulung (tor-tor yang ditarikan oleh muda-mudi)
2.8.4 Seni sastra
Seni sastra yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sipirok adalah seni sastra berupa sastra lisan yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang berupa prosa berupa cerita-cerita rakyat yang dinamakan turi-turian. Dan sastra lisan yang berbentuk puisi berisi berupa pantun yang dinamakan ende-ende.
Selain cerita rakyat yang berbentuk pantun terdapat pula sastra lisan berbentuk perumpamaan yang disebut umpama dan peribahasa yang disebut hata tambisan (Parlaungan 1998: 279).
2.8.5 Seni Rupa
Seni rupa yang terdapat pada masyarakat Angkola adalah seni ukir yang disebut dengan gorga. Gorga dapat dilihat pada rumah adat yang disebut bagas godang atau
sopo godang. Ukiran (ornamen) ini berupa hewan kalajengking yang tertera pada
(57)
sopo godang melambangkan kekuatan dan keperkasaan untuk menjaga keamanan, ketentraman, dan kedamaian serta kesejahteraan masyarakat dan pemimpinannya. Ornamen berupa kadal yang tertera pada bidang tersebut melambangkan kemakmuran dan kesuburan (Lubis 1998: 281).
(58)
BAB III
UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK
Setiap individu dalam kehidupan mengalami tiga siklus yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga momen tersebut menjadi lingkaran kehidupan yang dijalani oleh masyarakat dimana terdapat momen yang direncanakan namun ada juga yang tidak dapat direncanakan karena di luar konteks akal pikiran manusia, yang telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu yang dapat direncanakan adalah perkawinan. Dalam masyarakat Angkola misalnya, sebelum melangsungkan perkawinan terdapat beberapa tahapan yang telah direncanakan. Namun sebelumnya tentunya terjadi pertemuan antara lelaki dan perempuan. Ada 3 cara yang dilakukan untuk mempertemukan laki-laki dan perempuan supaya membentuk rumah tangga, yaitu:
1. Martandang, yaitu si laki-laki datang sendiri mendekati si perempuan untuk lebih mengenal dan untuk menjalin hubungan.
2. Mangaririt, yaitu ada perbincangan kecil antara orang tua dari pihak laki-laki dengan orang tua dari pihak perempuan.
3. Manunang, yaitu melamar atau bertunangan.
3.1 Jenis Perkawianan Adat Angkola Sipirok
Adapun jenis perkawinan pada masyarakat Angkola antara lain:
(59)
2. Dipabuat
3. Marhabuatan
Untuk mengikuti undang-undang perkawinan seperti di Negara Indonesia, maka sahnya pernikahan seseorang adalah dengan mengikuti ajaran agama yang dianut oleh mereka. Namun pernikahan ini tidak terasa sempurna bagi kedua belah pihak karena tidak disertai oleh adat, karena adat merupakan salah satu jati diri orang Batak terutama masyarakat Angkola-Sipirok. Seperti terdapat istilah bagi masyarakat Angkola-Sipirok “Hombar do adat i dohot ugamo.”
3.1.1 Perkawinan Marlojong
Secara etimologi, kata lojong berarti “lari” dan mar berarti “ber”. Jadi kata marlojong berarti berlari dan jika diartikan perkawinan marlojong adalah “kawin lari. Perkawinan marlojong ini dilakukan oleh laki-laki dn perempuan karena tidak mendapat persetujuan dari kedua orang tua oleh kedua belah pihak atau orangtua dari salah satu pihak.
Ahmad Samin Siregar dalam tulisannya pada Waspada Online tanggal 8 Agustus 2007 mengatakan secara umum terjadinya perkawinan marlojong disebabkan karena status sosial dan juga karena melangkahi kakak yang belum kawin dan tidak sesuai dengan adat istiadat. Ahmad Samin Siregar juga mengatakan bahwa jikalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda hal itu disebabkan karena keadaan terpaksa.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang anak gadis ketika mereka hendak melakukan perkawinan marlojong atau kawin lari yaitu:
(60)
1. Meninggalkan abit partading (kain pertinggal)
2. Si anak gadis harus menuliskan surat kepada orangtuanya yang berisikan bahwa dia benar akan menikah dengan pemuda yang dipilihnya dan menyebutkan nama pemuda tersebut.
3. Meninggalkan tanda pandok-dok atau pemberitahuan. Tanda ini berupa surat, kain sarung dan uang. Semua tanda ini dimasukkan dalam satu tempat dan ditinggalkan di dalam kamar si anak gadis.
Perkawinan Dipabuaton
Secara etimologi dipabuaton berarti “diambil” atau “dibawa”. Jadi, perkawinan dipabuaton adalah perkawinan yang dilakukan dengan persetujuan keluarga.
Laki-laki dan perempuan yang saling menyukai berencana untuk menikah dan menyampaikannya kepada kedua orangtua mereka. Dengan mendapatkan persetujuan dari orangtua maka mereka merencanakan akan menikah dengan mengadakan adat yang sederhana.
Pada hari yang telah ditentukan, pihak laki-laki akan datang menjemput perempuan dan pihak perempuan telah menunggu kedatangan pihak laki-laki. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk melamar dan juga untuk mengadakan rencana perkawinan. Pada perkawinan ini ditentukan upacara perkawinan adat pakupangi (potong kambing). Pelaksanaan adat dipabuat dilaksanakan di rumah pihak perempuan.
(61)
3.1.3 Perkawinan Marhabuatan
Perkawinan ini jarang sekali bisa diadakan dikarenakan banyak hal yang dikerjakan dan banyaknya biaya yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak, paranak
dengan parboru. Adat perkawinan marhabuatan adalah adat nagodang atau disebut
dengan horja godang. Upacara adat ini sering dikatakan upacara diparborhat raja
dohot gondang, artinya upacara tersebut merupakan upacara besar dan diadakan di
rumah pihak laki-laki.
Pada saat sekarang upacara perkawinan masyarakat Angkola-Sipirok sudah sangat jarang diterapkan karena dana yang begitu besar karena menjemput anak boru dengan gondang dari kampung pihak laki-laki ke kampung pihak perempuan. Oleh karena itu perkawinan adat Angkola-Sipirok sudah lebih disederhanakan dengan adat pabuat boru namun dengan upacara adat nagodang(potong horbo).
3.2 Pembagian Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Angkola-Sipirok Terdapat tiga bentuk upacara pada masyarakat Angkola-Sipirok yaitu: 1. Adat Namenek (upacara adat kecil)
Dalam perkawianan ini diadakan upacara sederhana yang terdiri dari keluarga dan juga kerabat. Ketika mangupa pangoli mereka memotong ayam sebagai makanan pangupa. Hal ini menujukkan bahwa perkawinan ini sangatlah sederhana dan keluarga yang mengadakan juga berasal dari keluarga yang sangat sederhana sekali.
(62)
2. Adat Pakupangi (upacara adat sedang)
Perkawinan ini juga tergolong sederhana namun dari pihak yang menghadiri sudah terdapat Dalihan Natolu (kahanggi, anak boru, dan mora) dan juga keluarga serta kerabat. Dalam perkawinan ini bahan untuk mangupa dipotong kambing. Upacara ini biasanya diadakan oleh keluarga dari golongan menengah ke atas.
3. Adat Nagodang (upacara besar)
Perkawinan adat nagodang adalah perkawinan yang melibatkan banyak orang. Mulai dari Dalihan Natolu, hatobangon-harajaon, dan pisang raut. Kata “godang” berarti besar. Dikatakan besar selain melibatkan dalihan natolu, juga melibatkan kerabat dari jauh dan dekat begitu juga warga sekampung. Dalam adat nagodang ini, setiap pihak mendapatkan tugas dalam pesta nagodang dimana raja-raja telah menentukan terlebih dahulu dalam sidang adat raja-raja. Adat nagodang juga menunjukkan besarnya upacara dengan dipotongnya kerbau sebagai binatang yang besar.
Dalam adat nagodang, raja-raja turut mengambil bagian dalam menentukan dan menetapkan bagaimana supaya upacara perkawinan berjalan dengan baik sesusi dengan harapan. Dan terwujudnya upacara yang baik tidak hanya sesuai harapan keluarga paranak dengan keluarga parboru tetapi dapat berjalan baik sesuai dengan adat Angkola-Sipirok.
Sebelum adat ini terlaksana, pihak laki-laki sudah terlebih dahulu berkunjung ke rumah pihak perempuan menyampaikan kedekatan anak mereka dan bermaksud untuk menanyakan sikap si perempuan terhadap si laki-laki. Dan dalam kunjungan
(63)
tersebut, maka si pihak laki-laki akan meminang dan bertanya apakah si perempuan menerima pinangan dari pihak laki-laki.
Perkawinan adat nagodang hanya diadakan oleh keturunan raja-raja dan sudah mendapat gelar. Dan selama proses persiapan perkawinan ini, raja-raja akan membicarakan hal terbaik demi berjalannya adat dengan baik pula. Sehingga ada proses-proses upacara nagodang yang perlu dipersiapkan.
Disinilah penulis akan membahas dan menulis tentang upacara adat perkawinan nagodang pada masyarakat Angkola-Sipirok.
Proses Upacara Perkawinan Adat Nagodang Angkola 3.3.1 Martahi Ulu Nitot
Martahi Ulu Nitot adalah pembicaraan suami-istri terhadap perencanaan untuk mengadakan perkawinan anak perempuan mereka. Dalam pembicaraan ini keluarga si perempuan membicarakan perihal kedekatan anak mereka dan rencana mereka ke depan untuk membina rumah tangga. Permbicaraan ini hanya diketahui oleh kedua orangtua si perempuan saja. Dan oleh karena itulah pembicaraan ini disebut Tahi Ulu Nitot, karena dahulu kala ketika suami dan istri berbicara mereka sering berada di dapur dan duduk jongkok sampai lutut (nitot) ke semen.
3.3.2 Martahi Marunugunung Nibodat.
Setelah pihak perempuan mengadakan Tahi Ulu Nitot maka selanjutnya mereka mengadakan Tahi Marunungunung Nibodat, yaitu rapat yang dihadiri oleh Suhut
(64)
mereka telah menerima maksud kedatangan pihak laki-laki dan telah menyetujui maksud tersebut. Setelah itu mereka meminta kepada kerabat Suhut Bolon, Anak boru
dan Mora untuk membantu mempersiapkannya, baik dalam menyampaikan hasil
pertemuan tersebut kepada satu kampung (parsahutaon) dan juga menyampaikan maksud tersebut kepada Hatobangon-harajaon.
Dikatakan Martahi Marunungunug Nibodat adalah karena diibaratkan binatang monyet ketika menyampaikan sesuatu hanya kelompok mereka saja yang tahu, dan dengan mengamati cara mereka maka diberi nama Tahi Marunungunung Nibodat.
3.3.3 Martahi Martuktuk Nisibahue
Ketika perihal rencana perkawinan tersebut telah disampaikan kepada Hatobangon-harajaon, selanjutnya diadakan Tahi Martuktuk Nisibahue yaitu membicarakan lebih dalam tentang perkawinan tersebut. Tahi Martuktuk Nisibahue adalah tahi yang diadakan dengan mengikutsertakan Dalihan Natolu, Bondil Na Opat, (harajaon ni huta) dan warga kampung. Dikatakan Tahi Martuktuk Nisibahue adalah karena dahulu kala ada burung Sibahue yang bersuara sampai terdengar ke seluruh daerah begitu juga ke dalam kampung. Dan demikianlah tahi ini juga mengabarkan kepada kampung dan di dengar oleh seluruh kampung.
3.3.4 Martahi Godang
Setelah hatobangon-harajaon bonabulu satu pandangan maka rapat dilajutkan ke Sopogodang (tempat rapat yang besar). rapatnya juga besar karena dihadiri oleh Dalihan natolu, raja pamusuk, dan raja-raja. Dalam Tahi Godang ini akan dibagi tugas
(65)
kerja mulai dari tugas kecil sampai kepada tugas besar. Harajaon-hatobangonlah yang akan membagi pekerjaan ini kepada kerabat satu kampung, baik kahanggi, anak boru dan mora. Sehingga sering sekali dalam tahi godang ini hampir semua penduduk di satu kampung terlibat dan ambil bagian dalam perkerjaan.
Gbr1. Martahi Godang
3.3.5 Manghobar Manjujur Boru
Manghobar manjujur boru adalah lamaran kepada pihak perempuan. Dalam
lamaran ini pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangan mereka yaitu hendak melamar (manghobar boru) dihadapan Hasuhuton, Anakboru, Pisangraut dan Mora dari pihak perempuan. Sebagai kata pengantar dari dari acara ini, anak boru dari pihak laki-laki akan menyuguhkan burangir nahombang kepada pihak perempuan. Dan setelah mereka mendapatkan keputusan maka pihak parboru akan menerima lamaran
(1)
DATA INFORMAN
1. Nama : Mustajab Siregar Gelar Ompun Doro Usia : 72 Thn
Pekerjaan : Petani
2. Nama : Mangaraja Tunggal Usia : 68 Thn
Pekejaan : Wiraswasta
3. Nama : Sahrun Siregar Gelar Mangaraja Endar Usia ; 54 thn
Pekerjaan : Petani
4. Nama ; Idun Siagian Gelar Baginda Hopong Usia : 76 thn
Pekerjaan ; Petani
5. Nama : Imrantonni Siregar Usia : 47 thn
Pekerjaan : Petani
6. Nama : Kasna Batubara Usia : 52 thn
Pekerjaan : Petani
7. Nama : Irwan Siagian Usia : 39 Thn Pekerjaan : petani
8. Nama ; Maruli Batubara Usia : 54 thn
Pekerjaan : Petani
9. Nama : Tamba Siregar Usia : 47 thn
(2)
Lampiran 1
Gbr 9. Bagas Godang Dokumentasi Penulis
(3)
Gbr 8. Bulang dan aksesorisnya Dokumentasi Penulis
Gbr 10. Tapa tuku dengan perlengkapan serta aksesoris pengantin pria
Dokumentasi penulis
Gbr 11. Payung rarangan Dokumentasi penulis
(4)
Gbr 12. Pangoli dohot Boru na nioli Dokumentasi Penulis
(5)
Gbr 13. Peta Tapanuli Selatan Sumber:www.asiamaya.com
(6)
Gbr 14. Peta Sumatera Utara Sumber ; www.asiamaya.com