Onang-onang (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing Di Kota Medan)

(1)

ONANG-ONANG

(Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

Dalam Bidang Ilmu Antropologi

Disusun Oleh :

THIA AYU ARMINDASARI NST 070905045

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

OLEH

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan : Nama : Thia Ayu Armindasari Nst NIM : 070905045

Departemen : Antropologi

Judul : ONANG-ONANG (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan)

Medan, 28 April 2014

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Nuriza Dora S.Sos M.Hum Dr. Fikarwin Zuska

NIP. 19621220 1989031005

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 19680525 1992031 002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan : Nama : Thia Ayu Armindasari Nst Nim : 070905045

Departemen : Antropologi Sosial

Judul Skripsi : ONANG-ONANG (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan)

Pada Ujian Komprehensip Yang Dilaksanakan Pada : Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji Terdiri Dari :

Ketua Penguji : ( )


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

ONANG-ONANG

(Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan)

S K R I P S I

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, 28 April 2014 Penulis


(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul ONANG-ONANG (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan) atas nama ..., Nomor Induk Mahasiswa ..., Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 89 halaman, dengan 6 gambar dan 4 tabel.

Onang-onang adalah salah satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Mandailing. Sebagai bentuk kesenian, Onang-onang memiliki ciri khas tersendiri yaitu berupa penggunaan lirik lagu dan cara menyajikannya. Atas dasar hal tersebut maka penelitian terhadap kesenian Onang-onang dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang penggunaan Onang-onang di Kota Medan. Pada proses untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh maka dalam penelitian ini dipergunakan metode etnografi dengan pendekatan berupa observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat namun hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan dalam konteks penggunaan Onang-onang. Wawancara dilakukan kepada seluruh informan tentang asal-usul, proses penyelenggaraan, penggunaan Onang-onang serta keterlibatan individu maupun kelompok dalam penggunaan Onang-onang di Kota Medan. Keseluruhan hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa penggunaan Onang-onang mengalami proses perubahan dari bentuk penggunaan tradisional kepada bentuk penggunaan hiburan. Adapun fungsi Onang-onang tidak mengalami perubahan karena pada dasarnya fungsi dalam hal ini merupakan suatu hal yang menjadi dasar Onang-onang yakni seni (musik). Proses perubahan yang terjadi terhadap penggunaan Onang-onang dikarenakan oleh kehidupan perkotaan yang mensyaratkan aspek singkat, padat dan cepat.

Kata-kata Kunci : Onang-onang, Penggunaan, Mandailing, Perkawinan, Musik


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segala kerendahan hati, penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tuaku. Ibunda tercinta Ir Tri Hesti Wahyuni M.Sc yang tidak pernah berhenti memberikan begitu banyak do’a, dukungan dan pengorbanannya, thank’s already become everything for me. Ayahanda tersayang Ahmad Armijn Nasution S.H. Terima kasih telah membuat penulis akhirnya dapat berjalan dengan penuh keyakinan. Semoga lekas sembuh.

2. Kakak Windha Aresty Hartanti Nasution dan Abang ipar Syaeful Imam. Terima kasih untuk segala do’a dan dukungan. Adikku Ahmad Gunawan Muttaqien Nasution dan Yuki Marisah. Terima kasih untuk segala sindiran dan ejekan. Ketidakyakinan mu mampu membuatku berjalan dengan penuh keyakinan. See? Aku bisa! Sekarang giliranmu.

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Terima kasih untuk segala pengertiannya.

4. Ketua Jurusan Ilmu Antropologi Sosial, USU. Bapak Dr. Fikarwin Zuska. Terima kasih atas ketenggangan waktu yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum selaku dosen wali. Terima kasih telah membantu dan memberi segala masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis, terima kasih telah menjadi ibu dengan segudang kesabaran dalam menasehati penulis dari awal perkuliahan hingga selesai. Ibu Nuriza Dora S.Sos, M.Hum sebagai dosen pembimbing. Terima kasih telah


(7)

menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Irfan Simatupang S.Sos, M.Hum yang awalnya menjadi dosen pembimbing skripsi penulis tetapi harus diganti karena beliau sedang menjalankan studi S3-nya di U.I Jakarta. Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis walaupun hanya sampai di tahap menyelesaikan proposal penelitian.

6. Hay Ahmad Dani Febriansyah a.k.a Dule. Terima kasih untuk sebuah perkenalan dalam ketidakterdugaan yang manis. Aku banyak belajar darimu. 

7. Andi Dianardi. Terima kasih untuk segala do’a dan dukungannya, kang. auwoooo~hha

8. Bibskii. Thx for everything. So agree now, past shall pass! Hap hap.. 9. Nasution Brotherhood. Sindirannya benar – benar ampuh bikin kuping

panas. And finally... selesai juga! (tebar senyuman) hehe...

10. Radhit & Raffa (my nephews). Tempat segala lelah melebur. Teruslah tersenyum untukku, nak.

11. All my friend. Kerabat antropologi 2007 (yang tidak bisa disebutkan satu persatu tanpa bermaksud untuk melupakan kalian). Partner In Crime; Citra, Uwiq, Icut, Iput, Sheilla, Vara, Herlyna, Veriel (I never forget story about us). Nessya Presella (Battle it’s over now. Thank’s for everything, daliiiiiiin’. Common, u next! ;p). Ziza, Bytha, Inggrid (akhirnya... *grouphug).


(8)

12. Senior – senior terdahsyaaaat... Bang Ibnu Avena Matondang, Bang Fauzi Akbar, Bang Muhammad Gifari Azhari, Bang Siwa, Bang Tasvin, Kak Tika, Kak Sari. With all humility, i say many thanks for all attention (salim satu – satu).

13. Guys... Aank, Davi, Tata, Ijal, Vino, Fikri, Rendi, Pardin, Fauzi, Joe, Tino, Nunug, Ipin, Topiq, Samuel, Biber, Fajrin, Cokceng, Badak. Thank’s for the chit-chat, guys. hehhe

14. Damn Bloody Family #EasyListeningRap... eyow... akhirnya beres juga kan. Hihi :p

15. Apartment Family (fiza, ejathino, puteq, veve, dinda, ka citra, bang isan, harimbi, dafa, anggy n many moreeeee) psstt psstt .. i’m free, noooooow! Xoxoxo :D

16. Sist/ Brads (Ilmu Politik 2006). Kak Gitra, Bang Jiji, Bang Matthew, Bang Lek, Bang Reza, Bang Rino, Bang taufiq (2005). Lohaaa akhirnya nyusul kalian juga. (hmmph.. I never forget story about us in Fisip).

17. Sapma Pemuda Pancasila Komisariat FISIP USU 2007 – Now. Terima kasih untuk segala dukungan, senang bisa menjadi bagian dari kalian. Sekali layar terkembang surut kita berpantang. Pancasila Abadi!

18. All the story FISIP USU 2007 – Now. Huhuw... sudah lama yah saya disini Etek “Kantin”, Teteh, Nenek, Bang Udin, Pakde, Kak Sofie, Kak Nur. Terima kasih telah banyak membantu penulis selama ini. I never forget about that.


(9)

19. Jati Resident. Terima kasih atas segala do’a dan dukungan. Sei Mati dan Bandar Selamat Resident. Terima Kasih atas kerja sama yang telah diberikan kepada penulis dalam melengkapi data penelitian di lapangan. 20. Last but not least. Terima kasih atas diriku. Only Allah SWT knows why.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Thia Ayu Armindasari Nasution, kelahiran 04 September 1990 di Medan. Menamatkan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK. Swasta Adhyaksa Dharma Karini – Medan pada tahun 1995, melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD. Swasta Adhyaksa Dharma Karini – Medan dan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya meneruskan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 12 – Medan dan tamat pada tahun 2004, lalu menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Swasta Kartika I-1 – Medan pada tahun 2007 dan melanjutkan kejenjang pendidikan strata satu di Departemen Antropologi FISIP USU, Medan pada tahun 2007. Pernah menjabat sebagai Bendahara OSIS di SMP Negeri 12 periode 2002-2003, Ketua Palang Merah Remaja SMP Negeri 12 periode 2002-2004, Ketua Mading SMA Swasta Kartika I-1 periode 2005-2006, Ketua Grup Seni Tari SMA Swasta Kartika I-1 periode 2005-2007, Wakil dari SMA Swasta Kartika I-1 untuk mengikuti perlombaan model catwalk casual sporty antar pelajar SMA se- Kota Medan pada tahun 2006. Anggota Amperpala SMA Kartika I-1 periode 2004-2006. Memperoleh Juara 2 saat mewakili SMA Swasta Kartika I-1 dalam perlombaan modern dance yang diadakan Indosat pada tahun 2006, Anggota Himpunan Mahasiswa Islam pada tahun 2007-2008, Srikandi SAPMA Pemuda Pancasila Komisariat FISIP USU pada tahun 2007 – Sekarang.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. Penulisan dan penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “ONANG-ONANG (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan)”.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dalam menulis kepustakaan dan materi penulisan. Namun, berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan ketabahan, kesabaran dan kekuatan sehingga kesulitan tersebut dapat dihadapi.

Dalam skripsi ini dilakukan pembahasan secara holistik mengenai kegiatan Onang-onang di Kota Medan. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :

Bab I, memuat penjelasan mengenai dasar pemikiran terhadap Onang-onang dalam lingkup antropologis. Pada bab I memuat latar belakang hingga proses analisis data terhadap fokus penelitian, yaitu Onang-onang.

Bab II, merupakan deskripsi terhadap wilayah atau lokasi penelitian dan juga memuat mengenai masyarakat Mandailing di Kota Medan, yang mencakup


(12)

deskripsi sejarah, gambaran umum dan proses kedatangan etnik Mandailing di Kota Medan.

Bab III, Deskripsi mengenai Onang-onang secara menyeluruh yang memuat mengenai pengertian Onang-onang secara sederhana maupun pengertian secara kompleks dan juga memuat mengenai jenis, struktur, bentuk hingga kelengkapan Onang-onang dalam konteks pertunjukan

Bab IV, adalah deskripsi mengenai Onang-onang sebagai pertunjukan seni dan ekspresi etnik Mandailing di Kota Medan. Deskripsi pada bab IV ini menjelaskan mengenai penggunaan dan fungsi Onang-onang di Kota Medan, beragam bentuk pertunjukan (penggunaan) Onang-onang pada masyarakat Mandailing di Kota Medan serta proses perubahan yang terjadi terhadap penggunaan Onang-onang di Kota Medan

Bab V, sebagai penutup tulisan yang memuat kesimpulan dan saran yang bersumber pada hasil penelitian yang telah dilakukan.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, 28 April 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Pernyataan Originalitas ... iii

Abstraksi ... iv

Ucapan Terima Kasih ... v

Riwayat Hidup ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Tabel ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Lokasi Penelitian ... 8

1.5 Tinjauan Pustaka ... 9

1.5.1 Konsepsi Kebudayaan ... 9

1.5.2 Onang-onang ... 10

1.5.3 Kesenian dan Musik ... 12

1.5.4 Penggunaan ... 16

◦ Metodologi Penelitian ... 19

1.6.1 Jenis Penelitian ... 19

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.6.3 Catatan Lapangan ... 23

1.6.4 Analisis Data ... 26

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN ... 28

◦ Sejarah Kota Medan ... 28

◦ Gambaran Umum Kota Medan ... 31

2.2.1 Data Kependudukan Kota Medan ... 34

◦ Etnik Mandailing di Kota Medan ... 35

2.3.1 Sejarah Kedatangan Etnik Mandailing di Kota Medan ... 38


(14)

2.3.3 Etnik Mandailing di Wilayah Tembung ... 40

2.3.4 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan 41 BAB III ONANG-ONANG ... 43

◦ Pengertian Onang-onang ... 43

◦ Jenis Onang-onang ... 44

3.2.1 Pujian ... 48

3.2.2 Nasehat ... 49

3.2.3 Doa ... 51

◦ Struktur Penyajian Onang-onang ... 52

3.3.1 Teks Pembukaan Onang-onang ... 52

3.3.2 Teks Isi Onang-onang ... 53

3.3.3 Teks Penutup Onang-onang ... 54

◦ Bentuk Onang-onang ... 55

3.4.1 Siriaon ... 55

3.4.2 Siluluton ... 56

3.5 Paronang-onang ... 57

3.6 Kelengkapan Pelaksanaan Onang-onang ... 59

3.6.1 Musik dan Pemusik ... 59

3.6.2 Repertoir Gondang dan Onang-onang ... 65

3.6.3 Burangir ... 65

3.6.4 Manortor ... 67

BAB IV ONANG-ONANG DI KOTA MEDAN ... 69

◦ Penggunaan dan Fungsi Onang-onang di Kota Medan ... 69

◦ Pertunjukan Onang-onang di Kota Medan ... 77

4.2.1 Perkawinan ... 77

4.2.2 Melahirkan ... 82

4.2.3 Kematian ... 83

1. Perubahan Onang-onang di Kota Medan ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

Kesimpulan ... 87

Saran ... 89


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian 9

Gambar 2 Monumen Guru Pattimpus yang

Dianggap Sebagai Penemu Kota Medan 29 Gambar 3 Dua Orang Pemain Gondang Topap 60

Gambar 4 Klasifikasi Ensambel Musik Ritual Mandailing 61 Gambar 5 Kelompok Musik Tradisi Mandailing

Pengiring Onang-onang 64


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pertumbuhan Penduduk 34 Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Per-Kecamatan Kota Medan 34 Tabel 3 Penduduk Kecamatan Medan Maimun Berdasarkan Etnik 40 Tabel 4 Bentuk-bentuk Perubahan Onang-onang di Kota Medan 85


(17)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul ONANG-ONANG (Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan) atas nama ..., Nomor Induk Mahasiswa ..., Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 89 halaman, dengan 6 gambar dan 4 tabel.

Onang-onang adalah salah satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Mandailing. Sebagai bentuk kesenian, Onang-onang memiliki ciri khas tersendiri yaitu berupa penggunaan lirik lagu dan cara menyajikannya. Atas dasar hal tersebut maka penelitian terhadap kesenian Onang-onang dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang penggunaan Onang-onang di Kota Medan. Pada proses untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh maka dalam penelitian ini dipergunakan metode etnografi dengan pendekatan berupa observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat namun hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan dalam konteks penggunaan Onang-onang. Wawancara dilakukan kepada seluruh informan tentang asal-usul, proses penyelenggaraan, penggunaan Onang-onang serta keterlibatan individu maupun kelompok dalam penggunaan Onang-onang di Kota Medan. Keseluruhan hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa penggunaan Onang-onang mengalami proses perubahan dari bentuk penggunaan tradisional kepada bentuk penggunaan hiburan. Adapun fungsi Onang-onang tidak mengalami perubahan karena pada dasarnya fungsi dalam hal ini merupakan suatu hal yang menjadi dasar Onang-onang yakni seni (musik). Proses perubahan yang terjadi terhadap penggunaan Onang-onang dikarenakan oleh kehidupan perkotaan yang mensyaratkan aspek singkat, padat dan cepat.

Kata-kata Kunci : Onang-onang, Penggunaan, Mandailing, Perkawinan, Musik


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehidupan masyarakat saat ini telah berkembang menjadi bentuk kehidupan yang kompleks, terutama dalam bentuk kehidupan masyarakat perkotaan. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah perkembangan teknologi yang memiliki kemampuan untuk merubah pandangan masyarakat terhadap kehidupan itu sendiri, perkembangan tersebut juga membentuk pandangan masyarakat terhadap bentuk seni tradisi menjadi sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman, kolot berbeda dengan seni modern atau bentuk seni adaptif lainnya yang dianggap merepresentasikan hidup masyarakat perkotaan yang modern dan meminggirkan peran seni tradisi dalam kehidupan masyarakat (Matondang, 2013).

Perkembangan kehidupan masyarakat perkotaan tersebut memicu peneliti untuk melakukan penelitian yang akan mengkaji tentang penggunaan Onang-Onang sebagai ekspresi etnik mandailing di Kota Medan.

Penelitian ini melihat bentuk pertunjukan, baik secara ritual maupun hiburan. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan, dengan lokasi yang dianggap merepresentasikan etnis Mandailing di Kota Medan, adapun lokasi tersebut meliputi : 1. Kawasan Sei Mati, dan 2. Kawasan Bandar Selamat. Namun masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi


(19)

yang mewakili keberadaan etnik Mandailing yang bertempat tinggal di Kota Medan.

Bentuk kesenian yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah Onang-Onang, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu nasehat dan dapat juga diartikan sebagai penggunaan kosakata tertentu yang bersifat puitis. Onang-Onang termasuk dalam bentuk kesenian musik vokal (oral languange) yang memiliki kosakata tersendiri dan berkaitan dengan tujuan penyelenggaraan.

Onang-Onang dalam upacara adat menurut Siregar (2003:11) disampaikan secara lisan dan pada tiap ucapan akan diakhiri dengan kata “Onang-Onang”. Para penutur atau paronang-onang menyampaikan tuturan secara bergantian antara mora, kahanggi dan anak boru. Ketiga kelompok ini secara spontan mengucapkan larik-larik dengan nada suara yang bergelombang, irama yang mengalun untuk menonjolkan isi Onang-Onang yang berupa nilai budaya masyarakat dalam lingkup seni tradisi.

Untuk dapat melihat dengan jelas mengenai seni tradisi maka setidaknya deskripsi mengenai Indonesia sebagai negara dengan daerah kepulauan, yang dihuni oleh berbagai macam suku bangsa, yang memiliki kekayaan budaya dapat menjadi bentuk pemikiran dalam melihat seni tradisi dalam kehidupan masyarakat. Di antara keragaman tersebut terdapat musik yang sering digunakan suku-suku bangsa di Indonesia, baik itu dalam upacara adat, hiburan, dan komunikasi sosial. Dengan letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dan lalu lintas pelayaran, baik itu sejak zaman Hindu-Budha, Islam, dan hingga saat sekarang ini, musik sebagai bagian dari kebudayaan, mendapat


(20)

pengaruh-pengaruh dari luar Indonesia (Matondang, 2013).

Menurut Matondang (2013) musik adalah bentuk ekspresi kultural yang memiliki dua sifat utama, yaitu sifat universal dan sifat partikular. Musik juga merupakan ekspresi emosi yang berkait dengan kehidupan. Rhytim atau ritem dan melodi dalam musik dapat mengungkapkan emosi yang disampaikan oleh senimannya. Selain itu musik juga merupakan alat komunikasi sosial yang berhubungan dengan aspek kebudayaan. Di dalamnya terkandung sistem kepercayaan, konsep struktur sosial, dan juga sistem perekonomian suatu masyarakat. Musik juga dapat disajikan sebagai hiburan yang mempunyai peranan penting dalam suatu kehidupan masyarakat. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan musik yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi di negara Indonesia, yang memiliki ratusan suku bangsa dan kebudayaannya.

Mengkaji seni tradisi dalam konteks antropologi dapat dilihat sebagai bagian dari kajian antropologi, dimana antropologi secara harfiah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia beserta kebudayaannya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1980:193). Dari definisi tersebut maka ilmu antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia beserta segala aspek kehidupan manusia.

Koentjaraningrat mengatakan bahwa kesenian merupakan salah satu bagian dari tujuh unsur kebudayaan universal (1996:80-81), sebagai bagian dari tujuh unsur kebudayaan, kesenian memiliki peranan yang menentukan dalam


(21)

suatu bentuk kebudayaan, salah satunya adalah upacara keagamaan, dalam upacara keagamaan terdapat unsur menyanyi nyanyian suci dan memainkan drama (Koentjaraningrat, 1980:393), dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu : (1) seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga (Koentjaraningrat, 1980:395-396), dalam hal ini kesenian dimunculkan salah satunya dalam bentuk alat musik.

Menurut Koentjaraningrat (1999:19) bagi masyarakat Indonesia pengertian kebudayaan selalu dilekatkan pada kesenian walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar, secara lebih jelas Koentjaraningrat (1999:19) memberikan pendapat mengenai kaitan antara kebudayaan dan kesenian, bunyinya sebagai berikut :

“Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan pancainderanya (yaitu penglihat, penghidu, pengecap, perasa, dan pendengar).”

Kesenian dapat bertahan dan berkembang didukung oleh masyarakat pendukungnya, perpindahan penduduk dari desa menuju kota telah menciptakan suatu kondisi perubahan yang berbeda, dalam artian terjadi perubahan lingkungan, kebiasaan dan proses adaptasi terhadap perubahan tersebut. Perpindahan masyarakat Mandailing dari daerah asal menuju Kota Medan turut merubah kebiasaan atas ekspresi seni Onang-Onang.

Perubahan bentuk penggunaan hingga pada isi Onang-Onang serta pesan yang disampaikan secara puitis melalui Onang-Onang pun mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan lingkungan perkotaan dalam kurun waktu sekarang.


(22)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting agar diketahui jalannya suatu penelitian, hal ini berlaku bagi penulisan tentang “Onang-Onang : Studi Etnografi Mengenai Penggunaan Onang-Onang Sebagai Ekspresi Etnik Mandailing di Kota Medan”, bertujuan untuk melihat bentuk Onang-Onang dalam penggunaan sebagai ekspresi musik yang mewakili kebudayaan masyarakat Batak- Mandailing, dan juga ruang penggunaan pada masa kini yang berkaitan dengan peruntukkan Onang-Onang dari pada awalnya sebagai ekspresi musik yang mengiringi upacara adat menjadi peruntukkan yang bernilai profan (hiburan).

Berdasarkan uraian latar belakang maka permasalahan utama dari penulisan ini adalah bentuk pertunjukan dan ruang penggunaan Onang-Onang di Kota Medan.

Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu :

2. Seperti apa jenis dan variasi bentuk Onang-Onang di Kota Medan ? 3. Apa sajakah guna dan fungsi Onang-Onang bagi masyarakat Mandailing

di Kota Medan ?

4. Bagaimana masyarakat Mandailing di Kota Medan melestarikan kesenian Onang-Onang ditengah menjamurnya musik-musik modern ?


(23)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki tujuan yang hendak dicapai dan manfaat dari penelitian tersebut, adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini juga bertujuan sebagai sebentuk tulisan ilmiah yang bermaksud untuk dapat menghadirkan suasana dan gambaran mengenai penggunaan Onang-Onang secara utuh dan menyeluruh.

Tujuan selanjutnya adalah untuk melihat secara keseluruhan penggunaan Onang-Onang bagi masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di Kota Medan, hal ini ditujukan untuk melihat bagaimana penggunaan terhadap Onang-Onang sebagai suatu manifestasi kebudayaan Mandailing dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk studi antropologis.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sebagai sebentuk penelitian, besar harapan penulis agar nantinya hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangan nyata yang berarti bagi khalayak umum dan masyarakat Mandailing pada khususnya, secara sederhana manfaat yang diharapkan dari penelitian dan hasil penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskripsi tentang penggunaan Onang-Onang bagi masyarakat Mandailing Kota Medan, untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan Onang-Onang pada masyarakat Mandailing di Kota Medan secara utuh, penelitian ini melihat Onang-Onang


(24)

sebagai suatu ekspresi musik yang memiliki nilai ritual adat dan hiburan dalam lingkup masyarakat Mandailing di Kota Medan didalam penerapannya. Penelitian tentang Onang-Onang ini juga bermanfaat sebagai suatu yang penting, menarik dan berguna untuk melestarikan bentuk alat dan bentuk ritual adat dari penggunaan Onang-Onang tersebut.

Menariknya penelitian ini untuk semakin memperkokoh jatidiri masyarakat Mandailing melalui media Onang-Onang dengan tujuan utama agar para generasi berikutnya mengenal bentuk kesenian tradisional mengingat kemunculan beragam bentuk kesenian modern.

Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah :

 Pada bidang akademis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi penambah khasanah penelitian bidang antropologi.

 Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan evaluasi terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya mengenai Onang-Onang sebagai suatu ritual adat maupun sebagai suatu bentuk hiburan.


(25)

1.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan, dengan lokasi yang dianggap merepresentasikan etnis Mandailing di Kota Medan, adapun lokasi tersebut meliputi : 1. Kawasan Sei Mati, dan 2. Kawasan Bandar Selamat, pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan didasarkan atas :

 Kota Medan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, sehingga Kota Medan adalah bentuk kota modern yang dihuni oleh berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus adalah masyarakat Mandailing.

 Adanya masyarakat Mandailing dengan kelengkapan adat istiadat di Kota Medan.

 Secara historis kawasan Sei Mati merupakan kawasan yang didiami oleh masyarakat Mandailing pada saat Kesultanan Deli berkuasa di Medan.  Kawasan Medan Tembung, pada kawasan ini banyak bertempat tinggal

seniman Gordang Sambilan.

Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan etnik Mandailing yang bertempat tinggal di Kota Medan.


(26)

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Sumber : googlemaps.com/peta_kota_medan/ diakses pada tanggal 12 Desember 2013 1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka diperlukan untuk dapat menentukan arah dari penelitian tersebut, maka dengan adanya tinjauan pustaka diharapkan penelitian nantinya akan berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan sebelumnya. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan secara sistematis mengenai hal-hal yang bersifat teoritik serta dapat membantu menjelaskan penelitian ini, adapun hal-hal bersifat teoritik yang akan dijelaskan secara sistematis adalah :

1.5.1 Konsepsi Kebudayaan

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193), dan dari definisi kebudayaan ini, maka Onang-Onang dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk


(27)

menjadikan sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil karya tersebut kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga wujud kebudayaan yang secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut, yaitu : 1. wujud ide/gagasan, 2. wujud sistem sosial serta 3. wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1980:201-203).

Untuk memperkuat hal ini digunakan analisis folklor, dimana folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat peraga pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1986:2), hal ini juga berlaku bagi Onang-Onang.

1.5.2 Onang-Onang

Onang-Onang didefinisikan oleh Siregar (2003:2) sebagai bentuk bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari dan upacara adat, selain itu Onang-Onang juga merupakan salah satu ragam bahasa dalam lingkup bahasa Tapanuli Selatan. Selain definisi tersebut, Onang-Onang dapat juga diartikan dalam beberapa bentuk, yaitu :

1. Onang-Onang adalah suatu bentuk jenis musik yang yang hanya dipakai dalam pelaksanaan upacara adat nagodang. Istilah umum terhadap musik ini disebut juga gondang, Onang-Onang sebagai bentuk seni tradisi dalam penggunaannya dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya iringan gendang (musik).


(28)

2. Onang-Onang hanya dapat dipakai dalam konteks upacara adat sehingga disebut juga gondang maradat.

Pada prakteknya, Onang-Onang merupakan bentuk seni tradisi yang berakar pada kebudayaan masyarakat Angkola namun pada bentuk penggunaannya Onang-Onang tidak terbatas menjadi bentuk seni tradisi masyarakat Angkola semata melainkan juga menjadi bentuk seni tradisi masyarakat Mandailing, hal ini disebabkan wilayah budaya yang berdampingan dan saling memberikan pengaruh satu sama lain dalam perjalanan kedua kebudayaan tersebut.

Onang-Onang dipergunakan dalam beberapa ritual tahapan kehidupan, seperti perkawinan, menyambut kelahiran bayi, memasuki rumah baru, kematian dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Onang-Onang dapat terbagi atas dua bentuk, yaitu Onang-Onang dalam konteks citasuka atau siriaon dan bentuk Onang-Onang dalam konteks dukacita atau siluluton.

Onang-Onang lazimnya dipergunakan dalam konteks ritual perkawinan, dimana Onang-Onang memberikan petuah atau pesan kehidupan kepada individu yang melakukan perkawinan, Onang-Onang juga dapat dipergunakan sebagai bentuk petuah orangtua kepada anak-anaknya dan secara keseluruhan Onang-Onang hanya dapat dilakukan oleh individu yang memiliki tondi (jiwa atau kedudukan) yang lebih tinggi.

Keberlangsungan seni tradisi Onang-Onang masih dapat bertahan hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat Mandailing di Kota Medan disebabkan karena masih bertahannya ritual perkawinan secara adat, dalam persaingan secara


(29)

musik (musik populer) Onang-Onang juga dapat bertahan dengan adanya masyarakat pendukung dan usaha variatif yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan Onang-Onang, selain itu usaha lainnya yang dilakukan adalah melestarikan Onang-Onang dalam bentuk inventarisasi seni budaya serta mempergunakan Onang-Onang dalam beragam kesempatan.

1.5.3 Kesenian dan Musik

Untuk mendapatkan penjelasan mengenai perhatian penulisan ini terhadap kesenian, maka definisi atas seni diperlukan agar kesenian yang dimaksudkan dalam penelitian ini sesuai dengan konsepsi kesenian itu sendiri. Pendapat Hatcher (1999:1) mendeskripsikan seni sebagai :

“Art is something that human beings do in a great many ways, for a great many reasons, and if one is curious about art or about people it is natural to ask questions about the whole process and the whole background or context of an art style.”

“Seni adalah sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam banyak cara, untuk beragam alasan, dan jika ada yang ingin tahu tentang seni atau tentang orang-orang adalah wajar untuk bertanya tentang seluruh latar belakang proses atau konteks gaya seni.”

Definisi atas seni tersebut secara lebih lanjut dibahas sebagai proses memahami seni dalam kehidupan masa kini yang melebarkan definisi seni yang terentang dari seni tradisi hingga seni modern, hal ini didesksripsikan oleh Hatcher (1999:8) sebagai :

“In studying the art of a particular culture it would be ideal if we could determine the way the people themselves distinguish artistic work from the purrely utilitarian ... In actual modern usage, the word “art” is no longer limited to sculpture and painting, happenings, and whatever, so that the narrow definitions of the past do not limit the cross-cultural view as they once did.”


(30)

“Dalam mempelajari seni budaya tertentu akan ideal jika kita bisa menentukan cara masyarakat itu sendiri dalam membedakan karya artistik dari kemurnian utilitarian ... Dalam penggunaan modern yang sebenarnya, kata "seni" tidak lagi terbatas pada patung dan lukisan, kejadian, dan apa pun, sehingga definisi sempit masa lalu tidak membatasi pandangan lintas budaya seperti dulu.”

Luasnya rentangan seni juga diperhatikan oleh Firth (1992:15) sebagai : “The term 'art' in English (Kunst and other analogues can have different glosses) indicates a conventional category of great diffuseness. It can refer to almost any patterned application of skill, from cooking or public speaking (rhetoric) to a variety of graphic and plastic creations. Historically, painting, sculpture, architecture, music, and poetry (or literature generally) have been distinguished as 'fine arts'.”

“Istilah 'seni' dalam bahasa Inggris (Kunst dan analog lainnya dapat memiliki sudut pandang yang berbeda) menunjukkan kategori konvensional kelonggaran besar. Hal ini dapat merujuk ke hampir semua aplikasi bermotif keterampilan, dari memasak atau berbicara di depan umum (retorika) ke berbagai kreasi grafis dan plastik. Secara historis, seni lukis, patung, arsitektur, musik, dan puisi (atau sastra pada umumnya) telah dibedakan sebagai 'seni rupa'.”

Definisi seni dan luas rentang seni dari segi bentuk, jenis dan waktu disingkat oleh Firth (1992:16) sebagai “art as I see it is part of the result of attributing meaningful pattern to experience or imagined experience.” “seni seperti yang saya lihat adalah bagian dari hasil dari menghubungkan pola bermakna untuk mengalami atau pengalaman yang dibayangkan.”

Pertunjukan seni juga terdapat fungsi dari usaha interpretasi pertunjukan seni yang dikemukakan Royce (2004:9) bahwa :

“All performing arts share this interpretive function. Dances interpret choreographers, musicians interpret composer, actors interpret dramatists, or, in the case of the commedia dell'arte, actors interpret commonly understood plots and stories adding the spice of political satire.”


(31)

“Semua seni pertunjukan berbagi fungsi interpretatif. Tarian menafsirkan koreografer, musisi menafsirkan komposer, aktor menafsirkan dramawan, atau, dalam kasus seni pertunjukan komedi, aktor menafsirkan umum dipahami plot dan cerita menambahkan bumbu sindiran politik.”

Secara khusus, proses interpretasi atas simbol yang muncul dalam kegiatan manusia disebutkan Geertz (1973:216) sebagai :

“Whatever their other differences, both so-called cognitive and so called expressive symbols or symbol-systems have, then, at least one thing in common: they are extrinsic sources of information in terms of which human life can be patterned-extrapersonal mechanisms for the perception, understanding, judgment, and manipulation of the world.”

“Apapun bentuk perbedaan-perbedaanya, keduanya disebut kognitif dan disebut simbol ekspresif atau simbol-sistem setidaknya memiliki satu kesamaan: mereka adalah sumber ekstrinsik informasi dalam hal mana kehidupan manusia dapat berpola-extra-personal mekanisme untuk persepsi, pemahaman, penilaian, dan manipulasi dunia.”

Untuk dapat menemukan dan menghasilan ekspresi simbol dari proses pertunjukan seni musik, Geertz (1973:353) memberikan pernyataan bahwa “to produce symbolic structures capable of formulating and communicating objective (which is not to say accurate) analyses of the social and physical worlds.” “untuk menghasilkan struktur simbolis yang mampu merumuskan dan mengkomunikasikan tujuan (yang tidak berarti akurat) analisis dunia sosial dan fisik.”

Pendapat Brunner (1986:23) yang mengatakan bahwa kegiatan seni memerlukan pertunjukan sebagai suatu bentuk usaha evaluasi terhadap kegiatan tersebut dan juga sebagai bentuk penyampaian atau komunikasi kepada masyarakat lainnya, secara spesifik hal tersebut dikatakan sebagai :


(32)

“Clifford Geetz, Victor Turner, and other theorists have repeatedly informed us that cultural expressions and performances are not mere reflections of society but are metacommentaries on society.” “Clifford Geetz, Victor Turner, dan teorikus lainnya telah berulang kali memberitahukan bahwa ekspresi budaya dan pertunjukan tidak hanya refleksi dari masyarakat tetapi metacommentaries/beragam pendapat pada masyarakat.”

Dalam tahapan interpretasi selanjutnya, Geertz (1983:120) memberikan penekanan terhadap usaha interpretasi dalam seni yang disebutnya sebagai :

“To be of effective use in the study of art, semiotics must move beyond the consideration of signs as means of communication, code to be deciphered, to a consideration of them as modes of thought, idiom to be interpreted.”

“Agar penggunaan efektif dalam studi seni, semiotika harus bergerak melampaui pertimbangan tanda-tanda sebagai sarana komunikasi, kode harus diuraikan, dengan pertimbangan mereka sebagai cara berpikir, idiom untuk ditafsirkan.”

Musik adalah ekspresi kultural yang mempunyai yang mempunyai kaitan dengan kehidupan yaitu emosi; musik tidak terpakai apabila tidak ada emosi. Kaitan antara musik dan Onang-Onang adalah sebagai bentuk hubungan ekspresi kesenian yang memiliki unsur bunyi-bunyian dengan karakteristik tertentu, Onang-Onang menurut Siregar (2003:13) mengatakan sebagai : “Onang-Onang adalah suatu tuturan yang bersifat susastra dan berbentuk puisi.”

Berikut ini merupakan contoh bentuk Onang-Onang yang umum dipergunakan dalam setiap kegiatan upacara :

“Ile onang baya onang / tapuka ma le tajolo mulai on / nda asok ma jolo le fikiri ada / ulang nda maruba nian ale luai on / sian najolo indu nda sannari on / Santabi nda jolo sappulu on / sappulu noli marsatabi on / tu jolo na dua le tolu on / lobi nda tarpasangapi on / ois nda taronang ale baya onang.”


(33)

“Ile onang baya onang / mulailah kita buka dulu ini / pelan-pelanlah kita pikirkan / janganlah hendaknya ada berubah / dari dahulu sampai sekarang / maaf terlebih dahulu sepuluh kali maaf / sepuluh kali mohon maaf / ke hadapan dua tiga (seluruh kerabat yang hadir) / terlebih-lebih kehadapan yang dihormati / Ois nda taronang ale baya onang.”

Selain sebagai suatu tuturan (oral languange) yang bersifat sastra dan puitis, Onang-Onang juga dibawakan dalam bentuk melodi dan irama tertentu sebagai bagian penegasan terhadap pesan yang akan disampaikan.

Onang secara umum terbagi atas dua bagian besar, yaitu Onang-Onang dalam bentuk penggunaan suka-cita dan penggunaan duka-cita. Kedua bentuk penggunaan Onang-Onang pada masa sekarang ini hanya terbatas pada penggunaan suka-cita yang meliputi : perkawinan, persemian rumah baru, kenaikan jabatan, dan upah-upah. Penggunaan pada bentuk duka-cita sudah tidak lagi dilakukan karena adanya ketidaksesuaian dengan ajaran agama terhadap suasana duka-cita.

1.5.4 Penggunaan

Secara penggunaan (Use), Merriem (1964:210) mendeksripsikan sebagai : “When we speak of the uses of music, we are reffering to the ways

in which music is employed in human society, to the habitual practice or customary exercise of music either as a thing in itself or in conjuction with other activities…When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjuction with other mechanisms such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts.”

“Ketika berbicara tentang penggunaan dari musik, kita sedang kembali kepada tatacara dimana musik dipekerjakan di masyarakat manusia, bagi praktek kebiasaan atau latihan yang biasa tentang musik baik sebagai suatu hal dengan sendirinya atau dihubungkan dengan aktivitas yang lain … Ketika permintaan penggunaan musik untuk mendekati dewanya, ia sedang memanfaatkan mekanisme tertentu dikaitkan dengan mekanisme yang lain seperti


(34)

tarian, doa, upacara agama yang diorganisir, dan peraturan adat bertindak.”

Berdasarkan konsepsi mengenai penggunaan dari musik dalam tatanan masyarakat, Onang-Onang dalam penelitian ini dilihat sebagai ekspresi musik yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas lainnya, aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan Onang-Onang terbagi atas dua bagian besar, yaitu : 1. sebagai suatu ritual adat, dan 2. sebagai ekspresi musik yang bernilai hiburan.

Penggunaan dan fungsi digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk melihat seberapa jauh penggunaan dan fungsi musik (dalam hal ini Onang-Onang) bagi masyarakat Mandailing yang merupakan pendukung dari kebudayaan tersebut.

Penggunaan dan fungsi dalam menerjemahkan musik sebagai suatu bagian dari sistem sosial, memiliki bagian-bagian untuk dapat menjelaskannya, adapun bagian-bagian tersebut dijelaskan oleh Merriem (1964:221) sebagai :

“1. The function of aesthetic enjoyment, 2. The function of entertainment, 3. The Function of communication, 4. The Function of symbolic representation, 5. The function of physical response, 6, The function of enforcing conformity to social norms, 7. The function of validation of social institutions and religious ritual, 8. The function of contribution to the continuity and stability of culture, 9. The function of contribution to the integration of society”

“1. fungsi dari kenikmatan estetik, 2. fungsi dari pertunjukan, 3. fungsi dari komunikasi, 4. fungsi dari penyajian yang simbolis, 5. fungsi dari tanggapan secara fisik, 6. fungsi dari menguatkan penyesuaian ke norma-norma yang sosial, 7. fungsi dari pengesahan dari institusi sosial dan upacara agama yang religius, 8. fungsi dari kontribusi bagi stabilitas dan kesinambungan dari budaya, 9. fungsi dari kontribusi kepada pengintegrasian dari masyarakat.”


(35)

Dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan, Onang-Onang dalam penelitian ini akan diarahkan kepada hanya beberapa fungsi saja, yaitu : 1. fungsi dari kenikmatan secara estetika, 2. fungsi pertunjukan, 3. fungsi dari penyajian yang simbolis, 4. fungsi dari kontribusi bagi stabilitas dan kesinambungan dari budaya. Pembatasan terhadap fungsi-fungsi musik yang akan diterapkan pada penelitian ini bertujuan agar penelitian ini fokus pada satu tujuan, yakni penggunaan dan fungsi Onang-Onang bagi masyarakat Mandailing Kota Medan, dengan adanya pembatasan diharapkan penelitian ini tidak melebar pada persoalan lain.

Fungsi-fungsi yang dijelaskan oleh Merriem (1964:221) tersebut membuka ruang pada terbentuknya fungsi lainnya yang terdapat dalam seni tradisi masyarakat, fungsi lainnya tersebut muncul oleh karena adanya proses dalam kehidupan yang dapat menambah maupun mengurangi fungsi-fungsi tersebut. Setidaknya fungsi lainnya yang dapat muncul dari penelitian yang akan dilakukan adalah adanya bentuk fungsi pelestarian terhadap penggunaan bahasa daerah, fungsi penyampaian pesan, fungsi pelestarian seni tradisi budaya serta fungsi merangkum kearifan tradisional.


(36)

1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang bermaksud menggambarkan secara terperinci mengenai Onang-Onang pada masyarakat Mandailing Kota Medan, selain melihat Onang-Onang sebagai suatu jenis ekspresi musik tradisional Mandailing, juga akan melihat Onang-Onang sebagai suatu keseluruhan, hal ini sejalan dengan Goodenough (1970:101) :

“When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other things as culture, also consequently ”.

“Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.”

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah orientasi teoritik dalam bentuk kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, cara memainkan, cara-cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari masyarakat yang diteliti mengenai makna yang ada dalam ritual adat melalui media Gordang, itu justru digunakan sebagai data dalam penelitian ini.


(37)

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal mendeskripsikan tentang penggunaan Onang-Onang pada masyarakat Mandailing, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi atau pengamatan dan wawancara.

 Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu : Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi) observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam observasi jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini akan dilakukan, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti


(38)

merupakan penduduk Kota Medan sendiri, observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan.

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Informan disini adalah para paronang-onang (individu yang melakukan Onang-Onang atau maronang-onang) sebagai informan utama, para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Mandailing lainnya sebagai informan biasa. Para paronang-onang adalah mereka yang secara luas mengetahui seluk beluk tentang Onang-Onang tersebut secara menyeluruh, selain para paronang-onang tersebut tokoh-tokoh adat dan masyarakat Mandailing dikategorikan sebagai informan untuk memperoleh pengetahuan masyarakat luas tentang makna penggunaang Onang-Onang. Besar kecilnya jumlah informan tergantung pada data yang diperoleh di lapangan.

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para paronang-onang yang dianggap mempunyai dan memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang sejarah, asal-usul Onang-Onang. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asal-usul Onang-Onang tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami makna dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan.


(39)

Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field video ethnography).

 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini adalah :

Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan etnik Mandailing yang bertempat tinggal di Medan.


(40)

1.6.3 Catatan Lapangan

Perjalanan pertama kumulai dengan pergi menuju daerah Tembung, daerah yang kalau kata orang-orang Medan 'gak masuk tangga lagu-lagu' atau daerah paling pinggir walau sesungguhnya daerah ini tidak terlalu pinggir, jatuhnya pilihan menuju daerah tersebut didasarkan atas cerita bahwa di daerah tersebut terdapat banyak penduduk yang berasal dari daerah Mandailing, hal ini juga didukung disekitar daerah tersebut terdapat beberapa stasiun bus antar kota dengan tujuan Medan – Panyabungan (dan daerah Mandailing lainnya), selain itu pengalaman selama ini yang terkadang iseng berjalan ke daerah itu dan melihat acara-acara perkawinan yang menggunakan Onang-Onang.

Daerah Pancing, beberapa kilometer dari lokasi yang nantinya akan dituju, berbekal keberanian dan seorang teman perjalanan akhir aku memutuskan untuk bertanya dengan masyarakat sekitar. Tentunya masyarakat yang akan kutanya adalah masyarakat yang kuanggap sudah cukup berpengalaman tinggal di daerah itu dan memiliki kaitan dengan Mandailing.

Akhirnya proses pencarian tersebut terhenti pada sebuah kedai jualan dipinggir jalan, dimana perlahan terdengar mereka yang ada di kedai tersebut berbincang-bincang dengan menggunakan bahasa Mandailing, walaupun aku tak bisa berbahasa Mandailing tapi aku tahu jikalau mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Mandailing hal ini aku ketahui dari dialek mereka ketika bercakap-cakap.


(41)

Setelah lama aku dan teman perjalananku mendengar percakapan mereka, lalu aku berkata “cak ko tanya dulu sama bapak itu, alamat pak Fachruddin” ungkapku kepada teman perjalananku itu dan seraya menambahkan “segan kalo aku yang nanya, aku kan perempuan”, dan akhirnya temanku itu pun bertanya kepada dua orang bapak yang sedari tadi berbincang dengan dialek Mandailing.

Kudengar dan kulihat sepintas jikalau kedua bapak dan seorang temanku ini sepertinya sudah mendapatkan sedikit informasi tentang keberadaan alamat informan penelitian yang kudapatkan dari seorang kenalan. “Terima Kasih ya pak”, kudengar temanku mengucapkan hal itu kepada kedua orang bapak tersebut, dan kemudian temanku ini mengatakan “iya, benar rumah bapak itu di ujung jalan ini, jalan aja terus dari sini sampe nanti galon, ha di depan galon tu ada gang taufik, disitu rumah bapak itu”.

Dengan petunjuk jalan tadi kususuri jalanan menuju gang taufik yang disebutkannya tadi dan akhirnya kutemukan tepat berseberangan dengan pom bensin, gang yang sempit dan rumah-rumah yang rapat nyaris tanpa batas antar rumah. Muncul seorang anak perempuan dari rumah sebelah kanan, kuberanikan bertanya padanya “dek, permisi, tau rumah pak Fachruddin ?”, “ooo, itu kak yang ujung sebelah kiri”.

Kuberdiri dan terdiam sejenak didepan pintu rumah kecil itu, rasa grogi berkeluaran bersama cucuran keringat “apa betul ini rumahnya ?” tandasku dalam hati. “Assalamualaikum” sapa temanku sebagai perkenalan awal karena terlihat ada tulisan itu tepat diatas pintu rumahnya, “Waalaikumsalam” jawab dari dalam, “cari siapa ?” kata pria paruh baya dengan tinggi badan tidak melebihi pundakku,


(42)

cari pak Fachruddin” kata kami, “ooo., masuk, masuk” katanya mempersilahkan aku dan temanku untuk bergabung dalam rumah kecilnya.

Darimana ?” katanya padaku, “dari kampus, pak. Saya lagi nyari pak Fachruddin yang pemain Onang-Onang itu” kataku memberanikan diri dan tanpa bisa menghilangkan rasa grogi, “akulah yang kau cari itu” katanya, memang betul-betul keberuntungan yang tidak terduga, sekali mencari langsung dapat.

Jadi kau mau meneliti Onang-Onang ?” tanyanya padaku, “iya pak, saya mau nulis tentang Onang-Onang” jawabku, “baiklah, memang tak banyak yang bapak tahu tentang Onang-Onang ini” katanya menutup sesi pertanyaan perkenalan.

“bapak pernah maen sampe Amerika” katanya sambil menyodorkan foto yang usang kepadaku, memang tampak pada foto itu wajah Fachruddin muda dengan latar belakang papan nama bertuliskan San Fransisco Train Station, “wah, Amerika ya pak” kataku penuh dengan rasa terkejut.

Perbincangan dengannya akhir terhenti karena pada waktu itu ia mesti berkemas pergi, “minggu depan aja orang adek datang lagi, bapak mau pigi maen ke Tebing” katanya, “baiklah pak, terima kasih” jawabku.

Bermodal pertemuan dengannya menimbulkan rasa keingintahuan yang lebih,mungkin ini yang dikatakan antropolog-antropolog barat bahwa penelitian yang memiliki balasan positif menjadi candu untuk terus-menerus mengumpulkan pecahan-pecahan data tanpa henti dan terkadang yang tidak ada hubungannya pun dianggap layak masuk data juga.


(43)

Melalui pertemuan yang dapat dikatakan sebagai proses mendapatkan informan, pada proses ini setidaknya sudah memiliki gambaran siapa-siapa yang akan mengisi posisi informan pangkal, kunci dan informan biasa. Kategorisasi informan ini penting dilakukan karena data yang diberikan akan berdampak pada penulisan etnografi nantinya. Pertemuan dengan Bapak Fachruddin tersebut membuka jalan kepada beragam informasi dan data penting mengenai Onang-Onang.

1.6.4 Analisis Data

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam penelitian ini penulis berusaha untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh dilapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

Analisis data dalam penelitian merupakan suatu pandangan mengenai penulis untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh dilapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

Analisis data merupakan proses lanjutan dari bentuk catatan lapangan sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) sebagai :

“Fieldnotes are accounts describing experiences and observations the researcher has made while participating in an intense and involved manner.”


(44)

“Catatan lapangan yang menggambarkan kumpulan pengalaman dan pengamatan peneliti yang dicatat saat turut berpartisipasi secara intens dan terlibat.”

Langkah selanjutnya data-data ini akan dianalisa secara kualitatif melalui teknik taxonomy data, sehingga data yang diperoleh akan dikategorikan berdasarkan jenisnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.


(45)

BAB II

LETAK DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan dan difokuskan kepada masyarakat etnik Mandailing di Kota Medan, untuk itu penjelasan akan dimulai dari deskripsi mengenai Kota Medan secara umum untuk dapat mendapatkan gambaran yang utuh mengenai letak dan lokasi penelitian ini dilakukan.

2.1 Sejarah Kota Medan

Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan “Medan”, bermula dari wilayah kecil dan dijadikan pusat perkebunan tembakau menuju pada bentuk kota metropolitan.

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri oleh Guru Patimpus. dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar", kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bungkusan, atau balutan pembungkus. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat dilihat pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan, tepatnya di Jalan Kapten Maulana Lubis persimpangan Jalan Letjen. S.


(46)

Parman (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 27-Agustus-2013).

Gambar 2

Monumen Guru Pattimpus, Tokoh yang Dianggap Sebagai Penemu Kota Medan Sumber : Matondang (2013:43)

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu.

Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung


(47)

Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu, menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas. Nienhuys yang menjadi pelopor atas konsesi tanah Sultan Mahmud kembali ke Belanda dan untuk kemudian digantikan posisinya oleh J.T. Cremer, usaha perkebunan yang semakin pesat ditunjukkan dengan dibukanya kebun-kebun baru dengan beragam nama, dan hal ini berdampak pada pembangunan kantor perkebunan Deli Mij di Medan Putri, suatu wilayah yang berada di pertemuan dua sungai, yaitu sungai Deli dan sungai Babura. Kelak wilayah yang menjadi pertemuan kedua sungai tersebut menjadi asal penamaan Kota Medan.

Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal Kota Medan seperti sekarang ini, sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.


(48)

2.2 Gambaran Umum Kota Medan

Medan sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara secara umum dapat dilihat sebagai kota kelima terbesar di Indonesia dan kota terbesar di Pulau Sumatera. Perkembangan Kota Medan mengalami pasang surut, pada masa sebelum munculnya perkebunan di Sumatera Utara, Kota Medan berada dibawah Padang. Namun sejak munculnya industri perkebunan di Sumatera Utara atau tepatnya Sumatera Timur, pertumbuhan Kota Medan mengalami peningkatan yang cukup drastis.

Kota Medan muncul sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, politik dan kebudayaan. Kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi perkebunan menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum pendatang untuk mengadu nasib. Akibatnya berbagai macam kelompok etnik, diantaranya adalah : Karo, Toba, Mandailing, Minangkabau, Aceh, Cina, Jawa, India dan lain lain menjadi penghuni kota medan bersama dengan etnik asli yakni Melayu (Suprayitno : 2005).

Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Kota Medan.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis


(49)

secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kota memiliki berbagai kelebihan yang dapat dilihat dari berbagai aspek.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.109.339 jiwa (BPS:2010).

Luas kota Medan mecapai 26.510 hektar (265,10 Km2 ) atau 3.6% dari keseluruhan wilayah sumatera utara (BPS:2010). Dengan demikian, dibandingkan dengan kota /kabupaten lainnya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar.

Geografi Kota Medan terletak pada 3o 30’ – 3o 43’ lintang utara dan 98o 35’- 98o 44’ bujur timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37.5 meter di atas permukaan laut (BPS:2010)

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21


(50)

September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir b erdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitifan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.


(51)

2.2.1 Data Kependudukan Kota Medan Tabel 1

Pertumbuhan Penduduk

Sumber : bps.go.id/ diakses pada tanggal 21 Desember 2013

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Per-Kecamatan Kota Medan

Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan

Perempuan Medan Tuntungan 39.729 42.25 81.974

Medan Johor 60.912 62.557 123.469

Medan Amplas 58.320 59.456 117.776

Medan Denai 71.346 70.496 141.842

Medan Area 47.590 48.801 96.361

Medan Kota 35.258 37.603 72.861

Medan Maimun 19.402 20.517 39.919

Medan Polonia 25.897 26.655 52.552

Medan Baru 18.838 23.351 42.189

Medan Selayang 48.587 50.780 99.367

Medan Sunggal 55.164 57.262 112.426

Medan Helvetia 70.880 73.598 114.478

Medan Petisah 29.590 32.572 62.162

Medan Barat 34.596 36.117 70.713

Medan Timur 52.438 55.970 108.408

Tahun Jumlah Penduduk Luas Wilayah (KM²)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)

2005 2.036.185 265,10 7.681

2006 2.067.288 265,10 7.798

2007 2.083.156 265,10 7.858

200 8 2.102.105 265,10 7.929,5


(52)

Medan Perjuangan 45.171 48.791 93.962

Medan Tembung 65.760 69.003 134.763

Medan Deli 84.671 82.521 167.192

Medan Labuhan 56.795 54.696 111.491

Medan Marelan 70.903 68.917 139.820

Medan Belawan 48.833 46.751 95.584

Sumber : bps.go.id/ diakses pada tanggal 21 Desember 2013

2.3 Etnik Mandailing di Kota Medan

Suku dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku.

Definisi tentang suku Batak (Purba, 2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola

Etnik Mandailing dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya seperti Nasution (2005:13) mengatakan bahwa Mandailing tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga


(53)

termasuk sebagai bagian Mandailing dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (patrilineal).

Secara geografis etnik Mandailing mencakup wilayah Tapanuli Selatan secara umum, wilayah Tapanuli Selatan terdiri beberapa bagian, yaitu : Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, dan Mandailing Natal. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1998 dibentuk Kabupaten Mandailing Natal yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

Deskripsi mengenai etnik Mandailing penting untuk menegaskan masyarakat yang menjadi pendukung utama dari kesenian Onang-Onang, dan dalam penggunaannya Onang-Onang sarat akan nilai-nilai budaya Mandailing.

Silsilah atau proses keturunan dalam budaya Mandailing dinamakan dengan tarombo dan hingga saat ini silsilah tersebut masih banyak disimpan oleh masyarakat Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, masyarakat Mandailing yang semarga dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka hingga saat ini.

Perhitungan mengenai lama suatu marga telah ada dapat dihitung melalui jumlah keturunan hingga saat ini, marga dapat didefiniskan secara sederhana sebagai suatu kelompok individu yang berasal dari suatu keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan secara “patrilineal”.

Seluruh anggota marga memakai nama marga yang digunakan sesudah nama sendiri dan nama marga tersebut menjadi penanda bahwa orang tersebut memiliki garis nenek moyang yang sama. Proses keturunan dan marga melahirkan suatu konsep larangan perkawinan bagi marga yang sama karena perkawinan


(54)

semarga tidak direstui secara adat-budaya Mandailing dan dianggap merusak proses keturunan.

Nasution (2005:13) memberi pandangan mengenai nama marga (klan) pada wilayah Batak-Mandailing yang terdiri dari beberapa marga. Marga-marga tersebut adalah : Nasution, Lubis, Hasibuan, Matondang, Dalimunthe, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daule/Daulay, Tanjung, Parinduri, Lintang, Mardia.

Pada umumnya setiap marga memiliki nenek moyang yang sama, tetapi terdapat sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama, misalnya marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae, Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyangbersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.

Persebaran penduduk menyebabkan pola pemukiman masyarakat Mandailing terdapat dibeberapa wilayah di Sumatera Utara, yaitu daerah Tapanuli Selatan dan daerah di luar Tapanuli Selatan, seperti daerah Medan, Toba, Samosir, Tanjung Pura, Padang, dan lain-lain. Persebaran tersebut tidak menyebabkan seorang keturunan Mandailing kehilangan haknya sebagai Mandailing.

Keberadaan Islam dan pengaruhnya pada sosial, budaya dan hukum masyarakat Mandailing dijelaskan oleh Sibeth (1991:11) sebagai :

“Islam strengthened the position of the dominant aristocratic class of the Mandailing, which appointed a ruler, the raja pamusuk, who was thereafter usually a Moslem Islam influenced the legal, social and cultural aspects of Mandailing and Angkola Batak life.”


(55)

2.3.1 Sejarah Kedatangan Etnik Mandailing di Kota Medan

Keberadaan etnik Batak-Mandailing di Kota Medan dimulai ketika masa kolonial Belanda mulai masuk ke tanah Sumatera untuk meluaskan daerah koloni mereka dan juga membuka usaha perkebunan di wilayah Sumatera Utara, usaha perkebunan tembakau tersebut berpusat di Kota Medan yang pada masa itu dikenal dengan sebutan Tanah Deli. Perret (2010:275) mengatakan bahwa aliran migrasi yang berasal dari wilayah Selatan Tapanuli telah dimulai sebelum kedatangan perkebunan Barat (tembakau) dan berlanjut hingga tahun 1920-an.

Perkembangan Kota Medan dari zaman Kesultanan Melayu hingga masuknya usaha perkebunan telah menjadikan Medan sebagai suatu titik wilayah yang berkembang pada masa itu, Perret (2010:280) mengatakan bahwa pada masa itu etnik Batak-Mandailing menetap pada wilayah utara diluar kampung-kampung Melayu, dan wilayah Selatan yang disebut dengan Kampung Sungai Mati.

Kondisi kampung-kampung pemukiman yang tersebar di Kota Medan dikemukakan oleh Pelly (dalam Faiq, 2012:36) dengan memberi catatan penting mengenai awal bentuk kehidupan Kota Medan pada awal berkembangnya, dimana masing-masing etnis hidup secara berkelompok dan kemudian beradaptasi dengan kelompok lainnya yang memunculkan sikap toleransi.

Aliran migrasi menuju Tanah Deli sebelum masa kedatangan perkebunan juga telah dilakukan oleh etnik Batak-Mandailing sebagai suatu upaya penyebarluasan agama yang dipicu oleh peristiwa Perang Paderi yang menyerang ke Mandailing pada tahun 1830 (Perret, 2010:160).


(56)

2.3.2 Etnik Mandailing di Wilayah Sei Mati

Sejarah berdirinya, munculnya daerah Sei Mati ini diawali ketika pada zaman kolonial Belanda, maka perkebunan yang dikelola oleh kolonial Belanda memerlukan tenaga pekerja dalam mengerjakan perkebunan tersebut, oleh karena itu banyak pekerja yang berdatangan ke Kota Medan, diantara para pekerja tersebut terdapat pekerja-pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Seiring berjalannya waktu, maka semakin bertambah jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada sektor perkebunan milik kolonial Belanda tersebut, hal ini juga mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah tenaga kerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Pada masa itu dikarenakan mayoritas tenaga kerja perkebunan yang berasal dari Mandailing tersebut beragama Islam, maka mereka menghadap Sultan Deli, hal ini dikarenakan mereka berpendapat tentunya Sultan Deli yang beragama Islam juga maka tentu akan membantu mereka. Sultan Deli kemudian memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal para pekerja yang berasal daerah Mandailing tersebut.


(57)

Tabel 3

Penduduk Kecamatan Medan Maimun Berdasarkan Etnik Penduduk Medan Maimun

Berdasarkan Etnik

Jumlah

Mandailing 12591 Jiwa

Tapanuli Utara/Toba 1963 Jiwa

Karo 545 Jiwa

Nias 268 Jiwa

Dairi 686 Jiwa

TOTAL 16053 Jiwa

(Sumber : Kecamatan Medan Maimun dalam Angka 2011, data diolah penulis).

Pada saat sekarang ini wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Sungai/Sei Mati dan berada dibawah naungan Kecamatan Medan Maimun. Terdapat 12.591 Jiwa penduduk Batak-Mandailing dari total penduduk Medan Maimun sebanyak 16.053 Jiwa.

2.3.3 Etnik Mandailing di Wilayah Tembung

Etnik Mandailing di wilayah Tembung, Kecamatan Medan Tembung difokuskan di daerah Bandar Selamat yang pada perkembangannya merupakan wilayah pusat transportasi antar kota yang terdapat di Kota Medan, sama hal seperti wilayah Mariendal, Kecamatan Medan Amplas. Terbentuknya wilayah Bandar Selamat sebagai pusat transportasi Kota Medan dipengaruhi oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut.

Kebijakan pemerintah Kota Medan yang melarang kendaraan berat melintas didalam kota, memunculkan pembangunan jalan tol, untuk memudahkan perjalanan kendaraan berat yang ingin melintas di Kota Medan.


(58)

Pembangunan jalan tol di wilayah Bandar Selamat telah menyebabkan wilayah tersebut menjadi lokasi perwakilan kendaraan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendaraan antar kota diwilayah ini didominasi oleh usaha kendaraan yang berasal dari daerah Mandailing dan sekitarnya, hal ini yang kemudian menyebabkan banyaknya masyarakat Mandailing yang mendiami wilayah ini, selain itu pada wilayah ini terdapat organisasi HIKMA (Organisasi keluarga Mandailing), organisasi ini setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga, tujuan organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antara masyarakat Mandailing di Kota Medan.

2.3.4 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Dari sejumlah wilayah penelitian yang tersebar di Kota Medan, masing-masing wilayah tersebut memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah persatuan masyarakat yang didasarkan oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Batak-Mandailing di Kota Medan terdapat pada beberap organisasi masyarakat yang didasarkan oleh perkumpulan marga maupun asal daerah.

Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan kunci pembuka kepada beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun organisasi masyarakat tersebut adalah :


(59)

 HIKMA

Merupakan Himpunan Keluarga Mandailing, organisasi masyarakat ini merupakan wadah perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan, HIKMA di Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu : Dewan Pengurus Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang.

 Organisasi Massa

Organisasi berbasiskan massa, pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturunan yang didasarkan pada marga (parsadaan marga) ataupun tempat asal (daerah Mandailing) dan memiliki pengaruh dalam tingkatan keluarga, lokal maupun nasional, salah satunya adalah organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution atau Ikatan Keluarga Nasution (IKANAS) dan parsadaan Lubis, organisasi ini tidak saja beranggotakan satu afiliasi marga saja melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi.

Organisasi lainnya, adalah organisasi yang bergerak tidak hanya berdasarkan nilai ke-suku-an melainkan aspek lain yang berkaitan, seperti kelompok mahasiswa asal daerah, kelompok pekerjaan berdasarkan marga, dan lainnya.


(60)

BAB III ONANG-ONANG

3.1 Pengertian Onang-Onang

Onang-Onang tidak dapat diartikan secara harafiah, namun beberapa sumber mengatakan bahwa asal kata onang adalah inang yang artinya ibu. Menurut folklore yang berkembang di masyarakat Mandailing, kisah terjadinya Onang-Onang adalah sebagai berikut:

Pada suatu ketika ada seorang yang sedang merantau dan sedang mendapatkan suatu kesusahan. Ia ingin pulang tetapi biaya tidak ada, sedangkan kerinduan hatinya tidak tertahan lagi. Pada saat kerinduan itu muncul, yang diingatnya adalah orang yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya. Untuk melepaskan kerinduannya itu ia cetuskan lewat suatu nyanyian dengan kata Onang-Onang. Dengan demikian mulanya Onang-Onang adalah suatu pencetusan perasaan kerinduan hati terhadap yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya.

Menurut pengamatan dalam penelitian dalam kurun waktu yang lama kelamaan Onang-Onang ini berkembang secara pengertian, tidak hanya merupakan pencetusan kerinduan hati kepada ibu dan kekasihnya, akan tetapi ia dipergunakan juga dalam suasana gembira. Misalnya: upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan anak lahir. Kalau dahulu Onang-Onang dinyanyikan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, saat sekarang ada juga (bahkan pada umumnya) Onang-Onang dinyanyikan untuk orang banyak (dalam suasana gembira). Sehingga pada saat sekarang ini ada dua pembagian nyanyian


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran sangat penting pada akhir penelitian, karena kedua hal tersebut mempengaruhi kondisi penelitian. Kesimpulan memuat hal-hal apa saja yang menjadi kata akhir dalam penelitian ini, sedangkan saran merupakan kumpulan masukan maupun kritikan terhadap fokus penelitian yang dapat membangun dan memperbaiki fokus penulisan dan penelitian dikemudian hari.

5.1 Kesimpulan

Onang-Onang dilihat dari sisi penggunaan di Kota Medan telah mengalamu suatu proses perubahan penggunaan. Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap penggunaan Onang-Onang pada masyarakat Mandailing di Kota Medan, Onang-Onang memiliki satu fungsi utuh, yaitu sebagai suatu sarana hiburan bagi kalangan masyarakat Mandailing maupun bagi masyarakat luas.

Fungsi yang terdapat pada Onang-Onang secara garis besar terbagi atas dua bagian besar, yaitu fungsi yang melekat pada Onang-Onang sebagai ekspresi masyarakat Mandailing dalam konteks seni dan fungsi yang terkait dengan kehidupan masyarakat Mandailing di perkotaan (Kota Medan).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dideskripsikan sebelumnya, temuan-temuan penelitian menjadi kesimpulan pada penelitian ini sebagi bab penutup dari rangkaian penelitian dan pengamatan adalah sebagai berikut :


(2)

1. Jenis dan variasi pertunjukan Onang-Onang di Kota Medan mengalami perubahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan wilayah perkotaan, jenis dan variasi Onang-Onang juga meliputi penggunaan dan musik. Perubahan jenis dan variasi Onang-Onang di Kota Medan disebabkan oleh beberapa sebab, seperti : kebutuhan yang ringkas, upacara adat yang tidak terlalu panjang dan tidak mengikat serta masuknya pengaruh musik modern dalam penggunaan musik dalam upacara adat.

2. Variasi bentuk Onang-Onang di Kota Medan meliputi beberapa hal penting, yakni : individu paronang-onang yang telah digantikan perannya oleh kelompok musik tradisi Mandailing (paruning-uningan) dan variasi Onang-Onang dalam pelaksanaannya berupa sedikitnya masyarakat Mandailing yang menyelenggarakan pertunjukan Onang-Onang dalam konteks upacara kematian yang disebabkan oleh kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kegunaan dan fungsi Onang-Onang bagi masyarakat Mandailing di Kota Medan, mengenai hal ini telah dijelaskan secara mendalam dalam bab III penulisan skripsi ini. Adapun kegunaan utama Onang-Onang hanya berlaku dalam upacara bersifat sukacita (siriaon), yaitu upacara perkawinan dan melahirkan. Walaupun terdapat bentuk kegunaan lain dalam konteks upacara adat akan tetapi Onang-Onang lebih kepada penggunaan hiburan.

Adapun fungsi Onang-Onang di Kota Medan meliputi beberapa fungsi penting, yaitu : (1) fungsi kenikmatan secara estetika, yang direpresentasikan pada pertunjukan Onang-Onang beserta dengan kelengkapan adat lainnya (musik, upacara, pelaksanaan, dan lain-lain), (2) fungsi pertunjukan, (3) fungsi dari


(3)

penyajian secara simbolis, yang dimanifestasikan dalam bentuk penggunaan Onang-Onang menghadirkan raja, lirik Onang-Onang dan pelaksanaan upacara adat dan (4) fungsi dari kontribusi bagi stabilitas dan kesinambungan budaya, yang dalam hal ini Onang-Onang menjadi materi budaya yang menjaga nilai adat-budaya dan tradisi Mandailing di Kota Medan serta menjadi bentuk ekspresi (seni) masyarakat Mandailing di Kota Medan.

4. Usaha pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing di Kota Medan terhadap kesenian Onang adalah dengan mempergunakan Onang-Onang dalam setiap kesempatan dan tidak terbatas pada bentuk acara, baik dalam acara yang bersifat adat (ritual, upacara) maupun penggunaa yang bersifat tidak mengikat seperti hiburan.

Usaha pelestarian ini setidaknya memberikan dampak pada keberlangsungan Onang-Onang sebagai kesenian tradisi Mandailing yang dipertunjukan di Kota Medan.

5.2 Saran

Saran terhadap penelitian yang telah dilakukan ini mencakup beberapa hal, seperti :

1. Pentingnya penguatan nilai atas ekspresi seni Onang-Onang sebagai bagian dari ekspresi kebudayaan Mandailing, meliputi penguatan peran musisi tradisi dalam konteks keberlanjutan pengetahuan dan juga penguatan terhadap adat-budaya Mandailing di Kota Medan.


(4)

2. Adanya sikap keterbukaan terhadap bentuk perubahan Onang-Onang di Kota Medan sebagai salah satu upaya pelestarian kesenian tradisional Mandailing di Kota Medan.

3. Perlunya peran pemerintah dalam menginvetarisasi beragam kebudayaan (seni tradisi) yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan dan proses penyebarluasan kebudayaan (seni tradisi) Onang-Onang untuk dapat menjadi kekayaan kebudayaan pada masa kini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Edward. M. 1986. Experience and Its Expressions. Dalam Victor W Turner and Edward M, Bruner (Eds) : The Anthropology of Experience. University of Illinois Press Urbana and Chicago.

Danandjaja, James P. 1994. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain lain. Jakarta: Rajawali Press.

Emerson, Fretz, dan Linda L Shaw. 1995. Writing Ethnography Fieldnotes. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Frith, Raymond. 1992. Art and Anthropology. Dalam Jeremy Coote and Anthony Shelton (Eds) : Anthropology, Art, and Aesthetics. New York: Oxford University Press Inc.

Frith, S. 1996. Music and identity. Dalam S. Hall & P. du Gay (Eds) : Questions of Cultural Studies. London: Sage.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Geertz, Clifford. 1983. Local Knowledge; Further Essay in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books Inc.

Goodenough, Ward E. 1970. Description and Comparison in Cultural Anthropology. Cambridge University Press.

Harahap, Irwansyah dan Rithaony Hutajulu. 2004. Kebudayaan Musik Mandailing: Suatu Pengantar. Dalam Ben M. Pasaribu (Ed) : Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo dan Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen.

Hatcher, Evelyn Payne. 1999. Art as Culture; An Introduction to the Anthropology of Art Second Edition. Bergin and Garvey – Greenwood Publishing Group, Inc. Kartomi, Margaret J. 1990. On Concepts and Clasiffications of Musical Instrument. The University of Chicago Press.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. ---, 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.


(6)

Matondang, Ibnu Avena. 2013. Kajian Bentuk Penggunaan dan Ruang Pertunjukan Gordang Sambilan di Kota Medan. Tesis Pascarasarjana Antropologi, Universitas Negeri Medan (tidak diterbitkan).

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Lkis.

Merriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston - Illinois: Northwestern University Press.

Nettl, Bruno. 1963. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collier MacMillan ltd.

Royce, Anya Peterson. 2004. Anthropology of the performing arts : Artistry, Virtuosity, and Interpretation in a Cross-Cultural Perspective. UK. AltaMira Press.

Siregar, Ahmad Samin. 1977. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Siregar, Anni Krisna. Onang-Onang dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Angkola. Medan: Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.

Siregar. Marida Gahara. 2003. Onang-Onang dalam Budaya Batak Angkola. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.