Analisis Struktur Teks, Makna dan Melodi Onang-onang Pada Adat Perkawinan Mandailing di Penyabungan

BAB II
MASYARAKAT MANDAILING DAN MUSIKALNYA
2.1 Aspek Kebudayaan Mandailing
2.1.1

Wilayah dan penduduk
Kabupaten Mandailing Natal atau juga sering disingkat Madina adalah hasil

pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten yang baru merayakan HUT
ke-18 pada bulan Maret tahun 2017 ini berpusat di Panyabungan. Kota ini dapat
dicapai dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara, melalui tiga rute. Rute pertama
adalah perjalanan darat melalui Medan - Siantar - Parapat - Tarutung - Sipirok Padangsidimpuan - Panyabungan dengan total jarak tempuh sekitar 480 km. Rute
kedua adalah perjalanan dari darat melalui Medan - Tebing Tinggi - Limapuluh Rantauparapat - Kota Pinang - Gunungtua - Sidempuan dan Panyabungan. Lama
perjalanan lebih kurang 14 jam dengan jarak tempuh 530 km. Rute ketiga perjalanan
udara dari Bandara Kualanamu di Medan ke Bandara Aek Godang di Kabupaten
Tapanuli Selatan dengan waktu tempuh lebih kurang 45 menit. Dari bandara ini,
perjalanan dilanjutkan lewat darat dengan menumpang bus ataupun angkutan lainnya
menuju Panyabungan dengan waktu tempuh kurang lebih dua jam perjalanan.

Universitas Sumatera Utara


Peresmian Kabupaten Mandailing Natal dilakukan oleh Menteri Dalam
Negeri tertanggal 9 Maret 1999. Sejak saat itu, Mandailing Natal menjadi satu
kabupaten yang terpisah dari Tapanuli Selatan. Pada saat ditetapkan menjadi
kabupaten, Mandailing Natal didukung oleh delapan kecamatan yang terdiri dari,
yaitu : 1) Kecamatan Siabu; 2) Kecamatan Panyabungan; 3) Kecamatan Kotanopan;
4) Kecamatan Muarasipongi; 5) Kecamatan Batang Natal; 6) Kecamatan Natal; 7)
Kecamatan Batahan dan 8) Kecamatan Muara Batang Gadis. Berdasarkan Tabloid
Madani

19

yang diakses tanggal 26 oktober 2012 diperoleh informasi bahwa

pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal telah melakukan tiga kali pemekeran
kecamatan dan hingga kini terdapat 23 kecamatan di wilayah Mandailing Natal.
Posisi astronomis Kabupaten Mandailing Natal berada diantara 0 10 - 1 50
LU dan 98 10 - 100 10 BT. Wilayah ini terletak pada ketinggian 0-2.145 meter di
atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 23 C - 32 C dengan
kelembapan antara 80-85 persen setiap tahunnya 20 . Secara umum, Kabupaten
Mandailing Natal merupakan daerah perbukitan yang berada di puncak Bukit Barisan

sehingga menyebabkan adanya lembah-lembah yang dalam maupun dangkal. Jalan
raya pada umumnya menurun dan menanjak.
19

Lihat http://tabloidrakyatmadani.wordpress.com/sambutan-ketua-pansus-pemekaran-dprdmadina/. Akses tanggal 26 Oktober 2012.
20
Hasil data dari kantor Pemkab Madina.

Universitas Sumatera Utara

Penduduk asli di wilayah Mandailing Natal umumnya hidup sebagai petani
sawah yang juga mengerjakan perkebunan karet dan kopi milik mereka sendiri.
Selain bertani sebahagian orang Mandailing Natal mempunyai mata pencaharian
sebagai pedagang, pengusaha pengangkutan darat dan bekerja sebagai Pegawai
Negeri.
Suku Mandailing sebagai penduduk asli di wilayah Mandailing dikenal
sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Pengembangan agama Islam yang intensif
terjadi di wilayah Mandailing disekitar dekade ketiga abad ke-1921, pada waktu kaum
Paderi dari wilayah Minangkabau memasuki wilayah tersebut untuk mengembangkan
agama Islam.

Penduduk asli Mandailing Natal sangat terikat dengan huta22 sehingga orangorang Mandailing Natal menggunakan nama desa atau huta asalnya sebagai identitas
untuk diri mereka masing-masing. Misalnya orang Mandailing Natal yang berasal
dari desa yang bernama Huta Bargot dalam pembicaraan sesama orang Mandailing
Natal akan menyebut dirinya sebagai orang Huta Bargot. Barangkali sikap orang
Mandailing Natal yang sangat terikat dengan desa atau huta asalnya masing-masing
itu tumbuh menjadi suatu kekuatan yang mendorong. Orang-orang Mandailing Natal
21
22

Dilihat dari data perpustakaan daerah Mandailing Natal
Tempat kelahiran atau desa kelahiran masing-masing masyarakat

Universitas Sumatera Utara

menciptakan ciri-ciri khas bagi masyarakat desanya. Sehingga pada gilirannya
muncullah berbagai variasi dalam berbagai aspek kehidupan pada masyarakat desa
atau huta yang berlain-lainan. Keadaan yang bervariasi itu antara lain kelihatan dalam
pelafalan atau pengucapan berbahasa. Sebagai contoh, dalam keadaan yang nyata
dapat diamati orang-orang Mandailing penduduk asli Kecamatan Panyabungan
berbicara, kemudian orang-orang Mandailing penduduk Padangsidimpuan berbicara,

antara keduanya akan terdengar keadaan yang bervariasi meskipun mereka samasama dari Mandailing.23
2.1.2

Sistem kemasyarakatan
Dalam membicarakan Onang-onang sebagai nyanyian adat Mandailing

kiranya perlu juga dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan sistem
kemasyarakatan Mandailing yang diatur menurut adat atau budaya masyarakat yang
bersangkutan. Sebab lirik onang-onang sebagai nyanyian adat tidak jarang
mengandung isi yang ada kaitannya dengan sistem kemasyarakatan Mandailing.
Misalnya yang berkaitan dengan status kelompok-kelompok masyarakat dalam sistem
kemasyarakatan Mandailing yang disebut Dalian Na Tolu (tiga tumpuan).

23

S.R.H. Sitanggang, Fonologi Bahasa Angkola. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1997. 12-16

Universitas Sumatera Utara


Suku Mandailing menganut garis keturunan patrilineal dan mempunyai satu
sistem kemasyarakatan tersebut sesuai dengan keadannya yang memang didukung
oleh atau terletak pada tiga tumpuan. Ketiga tumpuan tersebut terdiri dari tiga
kelompok fungsional yang satu sama lain terikat oleh hubungan kekerabatan berupa
ikatan darah (blood ties) dan ikatan perkawinan (affinity). Ketiga kelompok
fungsional tersebut masing-masing dinamakan Mora, yakni kelompok pemberi anad
gadis (wife givers), Kahanggi, yakni kelompok satu keturunan dan Anak Boru, yakni
kelompok penerima atau pengambil anak gadis (wife takers).
Ketiga kelompok tersebut merupakan tumpuan bagi sistem kemasyarakatan
Mandailing yang disebut Dalian Na Tolu. Ketiga-tiganya terikat secara fungsional,
dalam arti apabila salah satu dari ketiganya tidak berfungsi maka sistem
kemasyarakatan Dalian Na Tolu dengan sendirinya tidak akan berfungsi pula. Oleh
karena itu maka ketiganya, yaitu Mora, Kahanggi dan Anak Boru disebut sebagai
kelompok fungsional dalam sistem kemasyarakatan Dalian Na Tolu.
Disamping ketiga kelompok fungsional tersebut, orang-orang Mandailing
yang satu keturunan mengelompokkan diri mereka dalam marga atau clan. Orangorang Mandailing atau semarga disebut markahanggi. Dalam masyarakat Mandailing

Universitas Sumatera Utara

terdapat sejumlah marga, antara lain marga Lubis, Nasution, Rangkuti, Daulay,

Pulungan, Matondang dan Batubara.24
Menurut sistem kemasyarakatan Mandailing pada masa dahulu, terdapat tiga
lapisan sosial yaitu lapisan golongan bangsawan yang disebut Namora-mora, lapisan
orang kebanyakan yang disebut alak na bahat dan lapisan atau golongan hamba
sahaya yang disebut hatoban. Lapisan atau golongan namora-mora (kaum
bangsawan) terdiri dari raja-raja dan kerabat dekat mereka yang semarga. Mereka
merupakan keturunan dari tokoh-tokoh pertama tempat-tempat pemukiman atau desadesa di Mandailing. Golongan alak na bahat adalah rakyat biasa yang tidak semarga
dengan golongan bangsawan. Sedangkan golongan hatoban terdiri dari orang-orang
yang kalah dan ditawan dalam peperangan, juga hamba sahaya yang sengaja dibeli
karena tidak dapat melunasi hutang mereka. Keturunan mereka juga termasuk dalam
golongan hatoban.
Sebelum masa kemerdekaan masyarakat Mandailing terdiri dari sejumlah
masyarakat huta (desa). Setiap huta yang juga disebut banua yang terdiri dari
beberapa kampung kecil merupakan satu kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang
raja yang menyelenggarakan pemerintahan dalam huta bersama pemimpin-pemimpin
24

Z. Pangaduan Lubis. Asal Usul Marga-Marga Di Mandailing. Penerbit MITRA Medan.
(Medan. 2011.) 15-70


Universitas Sumatera Utara

kelompok marga yang menjadi penduduk huta. Raja dan pemimpin-pemimpin
kelompok marga yang menjalankan pemerintahan dalam satu huta atau banua disebut
Na Mora Na Toras (yang dimuliakan yang dituakan). Mereka menyelenggarakan
pemerintahan dalam huta secara demokratis dengan menggunakan musyawarah dan
mufakat sebagai sarana penampungan aspirasi rakyat atau penduduk.
Penduduk satu huta terdiri dari beberapa kelompok marga disebut ripe. Setiap
kelompok marga atau ripe dipimpin oleh seorang kepala ripe. Para kepala ripe yang
terdapat di satu huta disebut Hatobangon. Raja dan Hatobangon disebut Na Mora Na
Toras dan berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan dalam setiap huta.
Pada masa dahulu raja-raja yang mengepalai pemerintahan dalam huta-huta
(desa-desa) di kawasan Mandailing Godang bernama Nasution. Sedangkan raja-raja
yang mengepalai pemerintahan di desa-desa di kawasan Mandailing julu bermarga
Lubis. 25 Sesuai dengan azaz pemerintahan yang demokratis raja-raja yang dahulu
mengepalai pemerintahan desa di Mandailing menjalankan kekuasaan mereka
berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan kepala-kepala ripe, yaitu para
pemimpin kelompok marga yang terdapat disetiap desa. Dengan kata lain, raja tidak
mempunyai kekuasaan mutlak.


25

Ibid., 15-70

Universitas Sumatera Utara

Kegiatan sosial dalam masyarakat Mandailing, seperti misalnya upacaraupacara adat senantiasa harus dilaksanakan oleh tiga kelompok sosial yang terdiri dari
kelompok Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Tidak ada upacara adat yang dapat
dilakukan tanpa kerja sama antara ketiga kelompok sosial tersebut sebagai unsur
mutlak sistem kemasyarakatan Dalian Na Tolu.
Dalam kegiatan bertani sebagai aktifitas kehidupan terpenting dalam
masyarakat Mandailing, terdapat sistem gotong royong tradisional yang disebut
marsialap ari (bergantian hari). Menurut sistem gotong royong ini, pada hari tertentu
sejumlah penduduk suatu desa pergi bersama-sama mengerjakan sawah milik
seseorang diantara mereka. Setelah pekerjaan itu selesai, pada hari yang lain mereka
akan mengerjakan pula bersama-sama sawah kepunyaan seorang yang lain diantara
mereka. Demikianlah mereka lakukan seterusnya sampai semua sawah milik setiap
orang diantara mereka mendapat giliran untuk dikerjakan bersama-sama. Namun
pada masa belakangan ini sistem gotong royong marsialap ari sudah mulai jarang
dilakukan oleh penduduk di daerah pedesaan Mandailing, tapi tidak pada Mandailing

Godang. Merosotnya aktifitas bergotong royong itu kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh tata kehidupan baru yang mulai menjurus kearah yang bersifat
individualistis.

Universitas Sumatera Utara

Dalam sistem kemasyarakatan Mandailing, sesuai dengan aturan adatnya,
perkawinan dilakukan antara orang-orang yang berlainan marga (exogamy marga).
Perkawinan antara orang-orang semarga merupakan perbuatan yang terlarang
menurut adat. Tetapi pada masa belakangan ini aturan adat yang demikian itu sudah
banyak dilanggar, karena sebahagian anggota masyarakat Mandailing yang menganut
agama Islam lebih cenderung mengikuti aturan agama Islam yang tidak melarang
perkawinan antara orang-orang yang semarga. Selain itu, dalam keadaan yang
sekarang kelihatannya para pemuka adat dalam masyarakat hampir tidak punya
kekuasaan lagi untuk menjatuhkan sangsi terhadap orang-orang yang melakukan
pelanggaran adat perkawinan.26
2.1.3

Sistematika hukum adat Mandailing


2.1.3.1 Landasan idiel (falsafah) adat Mandailing
Setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus
diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan. Ketentuanketentuan itu selalu didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari
masyarakat itu sendiri. Masyarakat adat mempunyai nilai-nilai luhur yang tinggi dan

26

Aspan Matondang. Hasil wawancara Paronang-onang dari Hulupungkut Kotanopan yang
sudah dikenal dan sering diundang pada acara seremonial adat sampai keluar kota. Wawancara ini
dilakukan pada tanggal 23 Juni 2015.

Universitas Sumatera Utara

kekuatan batin yang dalam. Nilai-nilai luhur dan kekuatan batin ini sudah terpatri dan
sudah merupakan jiwa dari masyarakat sendiri.
Demikian juga halnya dengan masyarakat adat Mandailing mempunyai nilainilai luhur yang didasari atas nilai-nilai yang sudah terpatri dalam hati sanubari tiap
anggotanya yang disebut dengan holong dan domu. Sebutan tubu unte, tubu dohot
durina, tubu jolma, tubu dohot adatna yang berarti manusia sejak dilahirkan sudah
mempunyai nilai-nilai luhur yang melekat dalam dirinya.
Holong dan domu itu tumbuh dari lubuk hati yang dalam dan dengan

pemikiran yang dalam pula. Masyarakat yang didasari holong akan menimbulkan
suatu masyarakat yang marsihaholongan (perasaan kasih saying diantara sesama). Di
antara orang yang marsihaholongan itu akan timbul hatigoran (kejujuran). Demikian
juga domu akan menimbulkan hadomuan (persatuan). Jika tercipta persatuan tentu
akan mewujudkan hadamean (keamanan).27
1) Holong
Seseorang baru mempunyai arti di dalam suatu masyarakat, apabila ia dapat
menyeimbangkan diri pribadinya dalam masyarakat dan sebaliknya masyarakat dapat
menerima kepribadiannya pada tempat yang seharusnya. Nilai-nilai kesepakatan yang

27

H. Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Penerbit
FORKALA, (Prov. Sumatera Utara, 2005,) 57-59

Universitas Sumatera Utara

telah diterima sejak dari nenek moyang yang sesuai dengan diri pribadi dan
masyarakat yang kemudian disebut adat, merupakan tata cara yang harus dilakukan
agar tercapai kehidupan yang damai dan tentram.
Etika dan tata cara hidup bermasyarakat tidak dipelajari disekolah. Agar
diperoleh kehidupan bermasyarakat yang bahagia, hanya dapat dipelajari didalam
lubuk hati yang dalam dan dengan pemikiran yang dalam pula. Berbuat kebaikan
kepada orang lain, menyesuaikan diri dengan orang lain, hanya dapat dilakukan jika
didalam lubuk hati yang dalam telah terpatri rasa cinta kasih terhadap sesamanya.
Cinta kasih tersebutlah yang di dalam masyarakat adat Mandailing disebut dengan
holong.
2) Domu
Rasa satu kesatuan yang merupakan perwujudan dari holong disebut dengan
domu. Holong dohot domu tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena holong
menjalahi domu, domu manjalahi holong, yang berarti : holong dapat menimbulkan
domu, sebaliknya agar domu tetap terjaga harus selalu dijiwai oleh holong. Rasa satu
kesatuan ini bukan saja karena diikat oleh rasa kedaerahan (tetitorial) tetapi yang
paling penting adalah rasa adanya pertalian darah (genealogis).

Universitas Sumatera Utara

Hubungan pertalian darah dapat dilambangkan sebagai sirih dan perangkatnya
yang walaupun jenisnya berbeda-beda tetapi jika dicampur dan dilumatkan akan
berbeda-beda tetapi jika dicampur dan dilumatkan akan mengeluarkan warna merah
yang dilambangkan sebagai darah. Dengan demikian falsafah holong dohot domu ini
menjadi :
a. Landasan hidup bermasyarakat dan bernegara
b. Jiwa dan kepribadian
c. Pegangan dan pedoman hidup
d. Cita-cita/tujuan yang ingin dicapai
2.1.3.2 Landasan struktural
Pertunjuka dan pegangan hidup yang harus dipatuhi dan dilaksamakan di
dalam hidup bermasyarakat dijabarkan dari holong dohot domu yang disebut dengan
pastak-pastak ni paradaton yang berisi sebagai batasan dan aturan yang berlaku di
dalam masyarakat adat yang secara hierarki terdiri dari (Pandapotan Nasution :
2005:60-74) :
1) Patik
2) Uhum
3) Ugari

Universitas Sumatera Utara

4) Hapantunon
1) Patik
Patik adalah aturan dasar dalam melaksanakan hidup dan berkehidupan dalam
bermasyarakat menurut adat. Ia berisi ajaran-ajaran untuk menumbuhkan budi
pekerti, sekaligus merupakan norma-norma sosial yang tidak tertulis yang berfungsi
sebagai pedoman hidup yang harus dipegang teguh baik dalam berbicara, bersikap,
maupun bertidak di tengah pergaulan hidup sehari-hari.

2) Uhum
Uhum adalah peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari
patik tersebut. Uhum merupakan landasan operasional dari patik yang bersifat tatanan
yang praktis. Dalam uhum diatur tentang :
a. Susunan masyarakat yang berlandaskan holong dohot domu
b. 1. Susunan, tugas, kedudukan lembaga dalian na tolu
2. Hak dan kewajiban raja, hak dan kewajiban rakyat
3. Hubungan antara raja dan rakyat secara timbal balik, hubungan antara
rakyat (anggota masyarakat)
c. 1. Hak dan kewajiban pimpinan (raja) kampung

Universitas Sumatera Utara

2. Hak dan kewajiban rakyat terhadap kampung
d. 1. Hubungan antara huta raja Panusunan dengan huta lain
2. Hubungan antara anggota masyarakat huta yang satu kepada huta
lainnya.
3) Ugari
Ugari bukanlah kebiasaan-kebiasaan yang muncul begitu saja, melainkan
berdasarkan hasil yang dimusyawarahkan, dengan tetap mempedomani patik dan
uhum sebagai peraturan yang lebih tinggi dan senantiasa dipayungi filosofi holong
dohot domu. Ugari akan selalu timbul seiring dengan dinamika yang berkembang di
dalam masyarakat. Ia berfungsi menjaga dan memelihara adat dalam segala
implementasinya agar tetap hidup, fungsional, luwes, aktual sesuai dengan
perkembangan sosial budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan yang selalu
dibutuhkan di dalam masyarakat.
2.1.3.3 Landasan operasional
-

Domu ni tahi
Atas landasan struktural tadi lahirlah landasan operasional yang diwujudkan

dalam musyawarah mufakat yang disebut domu ni tahi. Ungkapan mago pahat, mago
uhuran di toru ni jabi-jabi, mago adat tulus aturan anggo dung mardomu tahi.

Universitas Sumatera Utara

Berarti kekuasaan tertinggi adalah musyawarah mufakat (mardomu tahi). Itulah
sebabnya hukum adat dinamis, dapat berubah sesuai tuntunan zaman, asal adat kata
sepakat yang didasarkan kepada patik, uhum, ugari dan hapantunon.
Setiap melaksanakan horja yang berhubungan dengan adat diperlukan lebih
dulu kata sepakat. Horja yang tidak dimusyawarahkan, hasilnya tidak akan baik,
karena kaum kerabat merasa tidak ikut bertanggung jawab. Kaum kerabat merasa
tidak diikut sertakan merencanakan horja, merasa tidak dihargai dan tidak diharapkan
untuk turut bertanggung jawab dalam horja. Horja sifatnya luwes. Tidak ada
ketentuan yang tegas tentang berapa dana yang harus disediakan, apa yang harus
disajikan dan berapa hari waktu yang disediakan. Untuk melaksanakan horja dapat
dengan biaya dan tenaga yang maksimal dapat juga minimal. Besar kecilnya horja
tergantung kepada partisipasi seluruh keluarga. Dalam hal ini lah dalian na tolu
berfungsi. Semua anggota keluarga berhak bicara tanpa kecuali. Jika semua kaum
kerabat telah berbicara barulah diambil kata sepakat sebagai hasil musyawarah dan
kata sepakat itulah yang disebut domu ni tahi.
Domu ni tahi ini adalah merupakan modal yang utama dari suatu horja. Bisa
saja suatu horja tadinya direncanakan kecil tapi setelah dimusyawarahkan barulah
menjadi horja besar, karena adanya kesatuan kaum kerabat. Rasa kebersamaan dan

Universitas Sumatera Utara

martabat keluarga yang harus dijaga bersama menyebabkan partisipasi kaum kerabat
dengan sendirinya tumbuh. Disinilah timbul salah satu perwujudan holong dohot
domu yang menjadi falsafah dasar dari adat. Ada dua hal bentuk partisipasi kerabat
dalam horja, yaitu :
1) Tumpak yaitu bantuan dana
2) Sabat yaitu bantuan waktu dan tenaga
Tumpak dan sabat ini merupakan tanggung jawab dari semua kaum kerabat
yang tergabung dalam dalian na tolu. Tumpak merupakan bantuan yang bersifat
materi, sedangkan sabat berupa peneydiaan waktu maupun tenaga untuk membantu
penyelenggaraan horja. Diantara anggota keluarga ada yang mempunyai materi yang
cukup, tapi tidak punya waktu dan ada pula yang memiliki waktu dan tenaga, tapi
dalam materi kurang mencukupi. Semuanya harus dipadu dalam musyawarah,
sehingga terwujud salaklak sasingkoru, sasanggar saria-ria, saanak saboru,
nadenggan marsada ina, sapanyanggar sadabuan, satataring sabungkulan,
sadalanan sauduran, martahi marsipaihutan.
Demikian pula dalam upacara kematian, seluruh kaum kerabat membawa
beras untuk dimakan bersama sampai selesai upacara penguburan dan lainnya disebut
padomu hudon (menyatukan periuk), padomu kobun (hasil kebun siapapun boleh

Universitas Sumatera Utara

diambil untuk keperluan horja). Yang berarti setiap orang merupakan bagian dari
suatu keluarga besar yang senasib sepenanggungan, berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing dan harus seia sekata.
Itulah sebabnya semua anggota keluarga harus diberi kesempatan untuk
memberikan pendapatnya, karena semua anggota keluarga mempunyai kedudukan
hak dan tanggung jawab yang sama didalam menentukan berhasil tidaknya suatu
pekerjaan. Sebagai contoh upacara mengawinkan anak yang disebut dengan horja
siriaon. Sebelum horja ini dimulai suhut harus mengajak sanak keluarga, kaum
kerabat untuk bermusyawarah. Ada lima tingkatan permusyawaratan atau pokat yang
harus dilalui, yaitu :
1) Tahi ulu ni tot (pokat ulu ni tot) musyawarah antara suami dan istri dalam
rumah tangga.
2) Tahi sabagas (pokat sabagas = parsidudan), yaitu musyawarah antara
satu keturunan (satu nenek) berikut anak boru dan moranya (mora sebagai
penasehat) yang terdekat.
3) Tahi saripe, yaitu musyawarah dalam suatu ripe (bagian dari kampung).

Universitas Sumatera Utara

4) Tahi sahuta (pokat sahuta) yaitu musyawarah antara kahanggi, anak boru,
pisang raut, mora, namora natoras dan raja pamusuk dalam satu
kampung.
5) Tahi godang (pokat godang) atau pokat pantar bolak paradaton, yang
dihadiri oleh semua yang disebut pada poin empat ditambah dengan rajaraja torbing balok, raja-raja tingon desa na walu dan raja panusunan.
Karena itu domu ni tahi (mufakat) merupakan pokok pangkal dari adat. Horja
yang tidak dimusyawarahkan bukanlah upacara adat. Demikian juga peraturanperaturan adat yang sudah baku dapat berubah, asalkan melalui musyawarah dengan
tetap mengacu kepada patik-patik ni paradaton. Dari situlah timbul ungkapan :
Mago pahat mago uhuran
Ditoru ni jabi-jabi
Mago adat tulus aturan
Anggo dung mardomu tahi
Dengan demikian semua masalah dapat diselesaikan dengan domu ni tahi
(mufakat) yang berat menjadi ringan, susah menjadi mudah dan yang rumit menjadi
sederhana.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4

Bahasa
Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di daerah Mandailing dan

di daerah-daaerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesama
etnik Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen (irama) yang
lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. Sesuai dengan pemakaiannya
bahasa Mandailing terdiri dari :
a.

Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)

b.

Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)

c.

Bahasa parkapur (bahasa waktu di hutan)

d.

Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari)

e.

Bahasa bura (bahasa waktu marah/kasar)28
Tabel : 2.1.4 (1)
Bahasa sastra Mandailing

Contoh :
Kata

Bahasa Adat

Sirih
Harimau

28

Napuran

Bahasa
Andung
Simanggurak

Bahasa
Parkapur
Siroan

Bahasa
Na Biaso
Burangir

Bahasa
Bura
--

Belemun

--

Ompu i

Babiat

Simorjut

H. Pandapotan Nasution, op, cit., 14-16

Universitas Sumatera Utara

Makan

Marpanyogon

--

--

Mangan

Mandursik

Perut

--

Siubeon

--

Boltok

Rojan

Sayang bahasa ini tidak begitu dikenal lagi dan didalami, terutama oleh
generasi penerus. Sedangkan menurut Mangaraja Gunung Sorik Marapi bahasa
Mandailing dibagi atas 5 macam, yaitu :
a. Hata somal i ma na niparkasajahon ari-ari
Istilah dan kosakata yang dipergunakan sehari-hari.
b. Hata andoeng di hatiha siloeloeton
Istilah dan kosakata dalam peristiwa duka.
c. Hata teas dohot djampolak di hatiha parbadaan
Istilah dan kosakata dalam perkelahian.
d. Hata sibaso di hatiha hadatoean
Istilah dan kosakata dalam upacara spiritual (kedukunan)
e. Hata parkapoer hatiha di harangan
Istilah dan kosakata sewaktu berada dikawasan hutan.
Singkatnya, ada bahasa biasa, bahasa bersedih, bahasa marah, bahasa datu
(spiritual) dan bahasa di hutan.
Sementara masyarakat Mandailing asli yang sudah menetap di luar daerah
Mandailing seperti di daerah Tapanuli Selatan, akan mengalami perbedaan logat
maupun pengucapannya. Dikarenakan menurut cerita orangtua, penduduk Batak

Universitas Sumatera Utara

Angkola berasal dari Batak Toba (Tapanuli Utara) dimana Tapanuli Utara adalah
bertetangga dengan Tapanuli Selatan.29

Tabel : 2.1.4 (2)
Bahasa Mandailing dalam pengucapan di Tapanuli Selatan
Contoh :
Bahasa Mandailing
Asli
Si Angkangan

Bahasa Mandailing Pada
Penduduk Di Luar Daerah
Mandailing
Si Akkaan

Inanta

Inatta

Roangku

Roakku

Arti

Kakak an/Abang an
Wanita yang
dihormati
Perasaanku

Dari uraian di atas dapat diketahui sejauh mana wilayah pemakaian bahasa,
gaya bahasa, dan variasi tingkatan bahasa yang terdapat pada masyarakat Mandailing
di Mandailing Natal. Begitu juga halnya dengan jumlah persentasi pemakaian bahasa
tersebut, bahwa jumlah terbesar penduduk yang menggunakan bahasa Mandailing
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari ialah pada masyarakat Mandailing yang
berada di wilayah Mandailing Natal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sedikit
29

S.R.H. Sitanggang, op.cit, 4-5

Universitas Sumatera Utara

banyaknya keberlangsungan dan pemeliharaan budaya Mandailing di daerah
Mandailing Natal ini lebih terpelihara jika dibandingkan dengan wilayah Mandailing
lainnya.
2.1.5

Seni musik
Secara umum, seni musik yang terdapat pada masyarakat Mandailing dapat

digolongkan ke dalam dua bagian besar, yaitu musik vokal (ende) dan musik
instrument (gondang).30
2.1.5.1 Seni musik vokal (ende)
Sebenarnya sejak lahir manusia itu didalam masyarakat Tapanuli dan
Mandailing telah diperkenalkan seni suara walaupun seni itu belum mendapatkan
tanggapan yang spontan dari bayi itu sendiri sebagaimana tanggapan seorang yang
sudah berakal. Sadar atau tidak sadar, seni ini telah mulai diperkenalkan karena
didorong rasa cinta kasih sayang, yang menggembirakan hati, yakni juga merupakan
seni dalam mengasuh anak. Dalam bidang seni suara yang dalam bahasa daerahnya
disebut Ende atau Marende, kita dapat mengenal beberapa macam nama-nama ende
antara lain :

30

Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam. Seni Budaya Tradisional Daerah Tapanuli Selatan.
Padangsidimpuan. 1981

Universitas Sumatera Utara

a. Ende marbue/marorot
Dalam mengasuh anak (marorot), selalu bernyanyi untuk menidurkan atau
meredamkan

tangisan

si

anak

yang

sedang

diasuh.

Skurang-kurangnya

menyenangkan hati si anak yang diasuh itu. Pengasuh yang bernyanyi itu, disebut
mangurdo-urdohon.
b. Ende onang-onang
Onang-onang ini diorbitkan seseorang dengan suara dan gaya yang bebas
diluar perkampungan, dan dengan suara yang agak tinggi. Bila secara terpimpin dan
teratur, dalam waktu-waktu tertentu boleh dikumandangkan dalam rumah atau dalam
kampung. Seperti dalam upacara mahorja, marbodong. Yaitu pada pesta upacara
adat. Orang yang melakukan onang-onang disebut dengan tukang onang-onang atau
panggora (paronang-onang). Namun disaat zaman Mandailing dahulu, onang-onang
ada juga yang menyebutkan istilahnya adalah jeir.
Sebelum masuknya Belanda, Mandailing adalah wilayah yang sangat luas
sehingga banyak ragam bahasa yang digunakan di Mandailing. Onang-onang yang
disebut milik Sipirok dan Angkola, sementara Jeir adalah milik Mandailing ialah
presepsi yang salah. Onang-onang juga adalah milik masyarakat Mandailing. Karena

Universitas Sumatera Utara

Bangsa Mandailing (1922) ialah terdiri dari sebelah timur (sungai siak), sebelah utara
(asahan), sebelah selatan (sipitang/lubuk sikaping) dan sebelah barat (pantai barat).
c. Ende campong
Disiang hari anak-anak sambil mengasuh adik-adik mereka, begitu juga
pemuda atau orang-orang tua yang kebetulan tidak ke sawah atau kerja yang sedang
beristirahat sering berkumpul di sopo godang yang membuat kerja sambilan seperti
mengasuh anak, menganyam rambang ikan (jala) sembari mereka bersenda gurau,
anak-anak bernyanyi sambil belajar.
d. Ende ungut-ungut
Nyanyian ini boleh diorbitkan seseorang dimana saja, asal tidak di tempat
peribadatan. Biasanya ini mengandung sesuatu kisah yang disusun dalam syair atau
pantun. Mengorbitkannya dengan suara yang rendah (halus). Tidak seperti ende
sitogol dan onang-onang dengan suara yang tinggi. Para penggemar lagu ini sering
mempergunakan diwaktu-waktu senggang atau mangaso juga sebagai pelipur lara
diwaktu susah. Karena yang dibaca dan disenandungkan adalah kisah yang kadangkadang isinya adalah kisah seseorang yang hidupnya lebih sengsara atau lebih sedih,
yang melebihi dari hidup yang dialami pembaca ungut-ungut.
e. Qasidah

Universitas Sumatera Utara

Qasidah yang mula-mula dibawakan oleh santri, kemudian berkembang pada
masyarakat. Alunan suaranya disebut irama padang pasir. Utamanya dalam bahasa
Arab. Kemudian diolah menjadi bahasa daerah atau bahasa Indonesia.
f. Bersanji dan dzikir
Bersanji diambil dari satu kitab yang disebut berzanzi yang dibaca dan
dilagukan. Ini juga bernapaskan tentang agama. Sedangkan Dzikir merupakan bacaan
yang diambil dari kitab berzanzi juga diikuti oleh gendang yang disebut Rebana.
Biasanya dimainkan dan dinyanyikan bebrapa orang dengan bergantian.
g. Lagu-lagu orkes
Nyanyian ini ada yang berbahasa daerah, nasional dan bahasa asing. Diikuti
instrument modern seperti organ, dan lain-lain.
2.1.5.2 Musik instrument (gondang)
Susai dengan keadaan alam, masa dan kehidupan, arena seni dalam hati
sanubari, juga mempunyai perkembangan dan perobahan-perobahan yang sangat
mempengaruhi pula oleh situasi yang sedang terjadi pada alam sekelilingnya.
Demikian nenek moyang kita pada masa dahulu.
Masa atau musim, situasi dan keadaan juga merupakan sumber gerak
timbulnya perasaan seni. Dengan demikian timbullah alat-alat seni yang bercorak

Universitas Sumatera Utara

ragam bentuk, macam, irama dan suara serta penggunaannya. Mulai dari alat yang
paling sederhana.
a. Tung-tung
Para petani yang merambah membuka ladang, atau sawah, dikarenakan sunyi
menghadapi hutan belukar atau rimba dan antara lahan seseorang dengan yang lain
sangat berjauhan. Untuk meramaikan perasaan dan memberikan semangat, petani
membuat alat gendang sederhana dari kayu atau bambu yang disebut “kentong”.
Dalam bahasa daerahnya disebut “tung-tung”. Kentong ini sangat mengandung arti
bagi petani apalagi diareal yang sangat luas. Bila petani datang untuk bekerja, mulamula petani akan memukul-mukul kentong yang bergantungan di dangaunya. Bila
kentong itu berbunyi dipagi hari ibarat memberi tanda bahwa petani sudah berada
disawah atau ladang pada saat itu. Dengan sendirinya bagi orang-orang yang berada
diladang mereka akan senantiasa menyahutnya dengan membunyikan balik suara
kentong milik mereka. Biasanya kentong ini saling sahut menyahut dari lokasi yang
berbeda-beda dan juga menjadi pertanda bagi mereka sama-sama lagi bekerja
diladang.

Universitas Sumatera Utara

b. Hotuk
Apabila petani sudah selesai menanam, baik diladang maupun disawah
tentunya tanaman itu harus dijaga dari hama tanaman maupun dari hewan yang
merusak tanaman mereka. Hotuk diciptakan sebagai sarana untuk mengusir hama
ataupun hewan yang berkeliaran disekitar ladang/sawah. Tidak itu pula, hotuk juga
sebagai sarana hiburan bagi petani yang menginap disawah saat ladang/sawah mereka
akan melangsungkan panen. Biasanya juga hotuk ini sama halnya dengan kentong
yang akan menimbulkan suara saling sahut menyahut antara petani yang lain.
c. Nung-neng
Nung-neng atau gendang bambu bila panen tiba, pada masa dulu orang sering
mengadakan pesta upacara adat. Ada yang mengadakan pesta perkawinan, memasuki
rumah baru, membesarkan kelahiran anak. Pada acara upacara adat, tentunya mudamudi akan melangsungkan tor-tor saat acara berlangsung. Dalam melatih muda-mudi
ini menortor tidak selalu menggunakan gondang dan gong dikarenakan banyaknya
formasi yang harus dilakukan. Untuk ganti instrument ini dapat diganti dengan NungNeng yang dapat memainkan segala bentuk suara dan peran gondang dan gong serta
lainnya. Nung-Neng ini cukup satu orang memainkannya. Bahannya dibuat dari

Universitas Sumatera Utara

seruas bambu yang bahagian bawahnya dikopek dan bahagian atas kulitnya dicongkel
tiga jalur yang merupakan tali gitar.
d. Suling atau sordam
Di alam terbuka, di bukit-bukit tandus, dipadang rumput diikuti hembusan
angin dengan diiringi panasnya matahari, membuat kita mencari pepohonan atau
tumpuan rumput-rumput yang dapat kita pergunakan untuk bernaung dan berlindung
dari panas matahari. Seperti seorang pengembala ditengah padang rumput yang
disebut “bayo parmahan”. Alam membuat perasaan mengenang dan menghayal rindu
dan kasih, seakan-akan ingin berkirim salam di angin lalu. Maka timbulnya siulan
dan siut yang dipermainkan lidah dan mulut beserta dua jari tangan kemudian dengan
mempergunakan alat tiup yang diperbuat dari bambu yang disebut “suling atau
sordam”.
e. Tulila atau uyup-uyup
Diperbuat dari sepotong bambu kecil kurang lebih sebesar anak batu tulis atau
lebih kecil dari pensil biasa. Suaranya nyaring mendenging, tetapi halus dan kecil
seperti suara nyamuk. Indah berkesan karena dapat menggambarkan suasana
kesunyian ditengah malam. Membuat hati lebih terharu memadu cinta asmara
ditengah malam menjelang subuh. Inilah dipergunakan anak muda bersambut kasih

Universitas Sumatera Utara

diwaktu malam, dengan suara yang berbisik-bisik, sayup-sayup terdengar yang
disebut “markusip”. Tulila adalah sebagai alat penghibur yang menyeling-nyelingi
perkataan. Bebas tetapi tertutur, dekat tetapi berantara, walaupun dengan hanya
perantara dinding.
f. Gondang saraban
Bila kita tinjau alat budaya baik seni tari dan seni musik, begitu juga bentuk
rumah-rumah adat, seluruh adat suku batak hampirlah sama. Atau sekurangkurangnya mempunyai dasar yang sama. Baik suku Batak Angkola, Padang Lawas,
Mandailing, Toba, Simalungun, Karo, Dairi, Pak-pak dan sebagainya. Hal ini dapat
diperhatikan pada pertunjukan-pertunjukan masing-masing daerah, contohnya di
acara Medan Fair (PRSU). Hanya saja alat-alat yang dipergunakan terkadang ada
yang berbeda. Didaerah Tapanuli Selatan dalam satu perangkat sering kita temui :
1. Dua buah Gondang Topap, yang satu besar dan yang satunya lagi
tidak terlalu kecil. Gendang ini terbuat dari kayu yang dikorek dan
ditutup kedua lobangnya dengan kulit kambing.
2. Dua buah Gong (Ogung), yang satu besar dan yang satu tidak terlalu
besar. Ogung ini tebuat dari campuran besi dengan kuningan atau
perunggu.

Universitas Sumatera Utara

3. Satu buah Gong besar yang disebut Ogung Manunggal Sitingguang
Dilangit. Dipakai dalam acara Horja Siriaon (pesat suka cita).
Suaranya mendengung bulat dan besar meninggi.
4. Satu Mong-mongan, sebuah gong yang kecil.
5. Sepasang tali Sayat (Sasayat)
6. Sebuah Doal kecil (sebentuk gong kecil).
7. Sebuah Talempong (selempong) yang diatasnya disusun enam doal.
Sekarang sudah agak jarang dipakai talempong dan doalnya juga
cukup dua atau tiga buah saja diletakkan telungkup, dan dipukul satu
persatu bergiliran. Daerah yang masih memelihara dengan baik
talempong ini terdapat didaerah Sosa.
8. Gordang, pemakaian gordang lebih popular di Mandailing. banyaknya
terdiri dari Sembilan, tujuh dan ada yang lima. Berbeda dengan di
Angkola dan Padang Lawas, Gordang ini dulu hanya dipakai dalam
upacara kematian (siluliton). Suaranya geram dan hiruk-pikuk
menandakan ada bahaya yang disebut “Tabu Sitaroktok Di Tano”.
9. Tawak-tawak, alat ini juga seperti gong. Namun lebih tipis
pinggirannya dan suaranya lebih menyebar. Dipergunakan dalam

Universitas Sumatera Utara

waktu upacara kematian, dibunyikan tiada hentinya sebelum yang
meninggal dikuburkan. Suaranya tersebar sampai kemana-mana
hingga desa-desa yang disebelah pun kedengaran dan berdatangan.
10. Kecapi atau Hasapi. Bentuknya seperti keroncong tetapi lebih kecil
dan talinya dua buah diperbuat dari ijuk dan dimainkan dengan cara
dipetik.
11. Singkadu. Diperbuat dari bambu serupa dengan seruling. Banyak
dipakai di Natal/Batang Natal. Biasanya untuk perlengkapan alat
kesenian Natal.
12. Rebana. Dengan datangnya agama Islam, maka juga ada pengaruh
perkembangannya terhadap kesenian. Dengan lagu dzikir yang disertai
rebana sebagai alat gondangnya, sudah menjadi kecintaan masyarakat
pula. Baik orang-orang tua maupun yang muda-mudi.
2.2 Upacara Adat dalam Masyarakat Mandailing
2.2.1

Jenis upacara adat
Ada satu pihak upacara adat dalam masyarakat Mandailing erat hubungannya

dengan upacara selingkaran hidup (life cycle ceremonies). Upacara adat yang
demikian itu diselenggarakan sejalan dengan siklus kehidupan manusia yang dimulai

Universitas Sumatera Utara

dari masa bayi dalam kandungan, disusul dengan berbagai upacara setelah bayi lahir
sampai ia menjadi dewasa, menikah dan diakhiri dengan upacara kematian.
Lain dari upacara adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia,
masyarakat Mandailing pada masa yang lalu menyelenggarakan pula berbagai
upacara adat yang berkenaan dengan berabagai aktifitas kehidupan dan peristiwaperistiwa penting. Misalnya upacara adat menjelang dan setelah panen padi, upacara
memasuki rumah baru, upacara adat menerima tamu terhormat, dan lainnya.
Semua upacara adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Mandailing
dibagi menjadi dua jenis. Masing-masing ialah upacara adat siriaon, yaitu upacara
adat yang mengandung suka cita dan upacara adat siluluton, yaitu upacara adat yang
berkenaan dengan hal-hal yang mengandung duka, seperti misalnya upacara adat
kematian.
Menurut Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam (1989), pada adat upacara
masyarakat Mandailing mengatakan :
“masyarakat Mandailing terdapat pula penggolongan upacara adat
yang didasarkan kepada besar kecilnya upacara adat yang
diselenggarakan. Apabila suatu upacara adat disembelih kerbau, dan
upacara adat tersebut dihadiri oleh Raja dan Na Mora Na Toras dari
berbagai desa atau huta yang menjadi tetangga dari huta tempat
diselenggarakannya upacara adat tersebut, maka upacara adat tersebut
digolongkan sebagai upacara adat na godang (upacara adat yang
besar). Tetapi apabila untuk suatu upacara adat yang disembelih hanya

Universitas Sumatera Utara

kambing atau ayam dan tidak dihadiri oleh Raja-Raja dan Na Mora Na
Toras dari huta tetangga, maka upacara adat tersebut digolongkan
sebagai upacara adat na menek (upacara adat kecil)”.

Setiap penyelenggaraan upacara adat biasanya didahului dengan mengadakan
musyawarah anatara anggota kerabat dengan unsur-unsur Dalian Na Tolu dalam
lingkungan keluarga yang akan menyelenggarakan upacara tersebut diberitahukan
kepada Na Mora Na Toras sebagai penguasa adat setempat. Apabila Na Mora Na
Toras telah menyetujuinya barulah upacara adat tersebut dapat diselenggarakan.31
Penyelenggaraan suatu upacara adat dilakukan secara gotong royong oleh
unsur-unsur Dalian Na Tolu baik dalam penyediaan biaya maupun dalam aktifitas
penyelenggaraannya. Dalam penyelenggaraan upacara adat besar, biasanya seluruh
penduduk huta tempat upacara tersebut diselenggarakan ikut terlibat untuk membantu
pelaksanaannya.
2.2.1.1 Upacara siriaon (suka cita)
Dalam setiap daerah bermasyarakat pastinya setiap daerah memiliki jenisjenis upacara adat, baik upacara adat suka cita maupun duka cita. Di Mandailing
sendiri juga memiliki upacara adat yang jenisnya suka cita. Antara lain :
31

Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam. Pelajaran Adat Tapanuli Selatan Pebagas Boru.
Padangsdimpuan. 78-80.

Universitas Sumatera Utara

a. Upacara pemberian marga,
b. Upacara mangupa,
c. Upacara perkawinan,
d. Upacara partubu ni pinompar (kelahiran anak), dan
e. Upacara pajongjong bagas (mendirikan rumah baru)
2.2.1.1.1

Upacara pemberian marga

a. Peranan dan fungsi marga di dalam masyarakat adat
Marga di dalam masyarakat Mandailing mempunyai peranan penting dalam
menentukan kedudukan seseorang yang didalam pelaksanaan berkehidupan,
berkeluarga dan bermasyarakat yang merupakan tata aturan dari Dalian Na Tolu.
Fungsi dari marga ini sendiri adalah untuk mengetahui siapa saja yang berkedudukan
sebagai suhut atau kahanggi, mora dan anak boru yang dipilah pilih sesuai dengan
marganya masing-masing.32
b. Alasan pemberian marga
Marga lahir pada saat suatu keluarga membentuk suatu kelompok atau
membentuk suatu kampung. Dengan lahirnya marga ini, maka setiap turunannya akan
tetap memakai marga yang sama. Dengan kata lain marga ayahnya akan diturunkan

32

H. Pandapotan Nasution, op.Cit, 214-221

Universitas Sumatera Utara

kepada anaknya. Jika anaknya perempuan, meskipun tetap memakai marga ayahnya
namun setelah kawin dan memperoleh anak, maka anak yang dilahirkan tidak akan
mengikuti marga ibunya, tetapi marga ayahnya.
Namun demikian sesuai dengan perkembangan zaman masih terdapat
pemberian marga yang bukan didasarkan atas keturunan, walaupun sangat selektif
sekali dan harus diberikan melalui suatu musyawarah adat dengan berbagai
pertimbangan. Pemberian marga seperti itu antara lain karena pengabdian, karena
perkawinan, dan ada juga untuk penghormatan kepada seseorang.
c. Pelaksanaan pemberian marga
1) Tata cara dan syarat-syarat pemberian marga
Pemberian marga yang berasal dari garis keturunan sudah pasti tidak memiliki
syarat untuk memperoleh marga. Akan tetapi pemberian marga yang bukan karena
keturunan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:


Setiap pemberian marga haruslah didasarkan pada musyawarah adat
dalam suatu kerapatan adat, yang dilaksanakan pemangku adat (raja adat).



Besar kecilnya acara, jumlah peserta musyawarah, siapa yang memimpin,
apa lahanannya/landasannya, bergantung kepada status dan kedudukan
yang diberikan marga.

Universitas Sumatera Utara



Harus ada tanda sebagai tanda perkerabatan, misalnya ulos untuk
manggobak tondi dohot badan.



Dalam acara pemberian marga yang diberikan sebagai penghormatan,
tanda yang diberikan di samping ulos ni tondi, pakaian adat, diberikan
juga keris. Keris ini adalah keris kembar. Satu tinggal pada yang
memberikan marga, satu tinggal pada yang menerima marga.



Marga yang diberikan atas pengabdian yang tulus, baik atas permohonan
sendiri maupun atas kehendak raja karena sudah menyatu dengan
masyarakat kampung dan tinggal di kampung itu, pemberi marga biasanya
memberikan tapak perumahan dan tanah persawahan.



Ingot-ingot berupa uang dari logam agar tahan lama, sebagai tanda ingat
akan peristiwa yang terjadi dan ikut sebagai saksi pada peristiwa itu.

2) Unsur-unsur yang diperlukan pada musyawarah adat (kerapatan adat)
sebagaimana halnya dalam setiap pelaksanaan acara adat (Kerapatan Adat),
maka semua unsur (anggota) masyarakat adat harus lengkap yang terdiri dari :


Suhut dan Kahanggi



Anak Boru



Mora

Universitas Sumatera Utara



Namora Na Toras



Raja di Huta (Raja Pamusuk)



Harajaon Torbing Balok



Raja Panusunan

2.2.1.1.2

Upacara mangupa

a. Pengertian
a. Mangupa adalah suatu upacara adat dengan menyampaikan pesan-pesan
dan petunjuk kepada orang yang diupa.
b. Pangupa adalah alat atau sarana yang dibaca pada waktu upacara
mangupa. Dengan perkataan lain, pangupa adalah buku bacaan yang
berisi petunjuk dan pesan agar selamat dalam menempuh kehidupan.33
b. Tujuan
Tujuan dari mangupa adalah memperkuat tondi atau mengembalikan tondi ke
dalam tubuh agar yang diupa tegar dalam menghadapi tantangan ataupun dapat hidup
normal kembali seperti biasa apabila tondinya telah hilang. Dengan kata lain, tujuan
dari mangupa adalah memulihkan semngat yang tadinya seakan-akan melayang atau
menguatkan kembali semangat yang tadinya mengalami kegoncangan.

33

H. Pandapotan Nasution, SH, op.Cit, 172-173

Universitas Sumatera Utara

c. Sasaran
Sasaran dari pangupa adalah tondi.
Perkataan tondi tidak dapat dipisahkan dari perkataan pangupa. Tondi adalah
tenaga spiritual yang memelihara ketegaran jasmani dan rohani agar serasi,
selaras dan seimbang dalam kehidupan seseorang dalam bermasyarakat.
2.2.1.1.3

Upacara perkawinan

a. Acara di rumah boru na ni oli

Dalam upacara adat perkawinan Mandailing, terdapat pembagian tata cara
pelaksanaan perkawinan yang dimulai dari acara di rumah Boru Na Ni Oli (pengantin
wanita). Adapaun tata cara pelaksanaan adat perkawinan Mandailing ialah sebagai
berikut :
1. Manyapai boru
Bertemunya seorang laki-laki dan perempuan yang saling mengenal dan
saling menyukai, diharapkan hubungan ini dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Untuk
melanjutkan niat baik ini harus dilakukan mengikuti tata cara yang telah di adatkan,
salah satunya adalah manyapai boru (melamar/meminang). Hubungan ini nantinya
harus dipertahankan sebaik-baiknya. Dengan ikatan kekeluargaan ini bukan saja
meninmbulkan 2 (dua) hubungan antara pihak laki-laki dan perempuan, namun lebih

Universitas Sumatera Utara

luas lagi yaitu hubungan kekeluargaan yang bersifat Dalian Na Tolu (kahanggi, anak
boru dan mora).
2. Mangaririt boru
Dalam acara mangaririt boru ini pihak orang tua laki-laki menjelaskan
terlebih dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah saling mengenal dengan anak
perempuan mereka. Pada waktu dulu, dapat terjadi si calon pengantin tidak saling
mengenal namun orang tua dari si calon saling mengenal ataupun sebaliknya. Apabila
calon pengantin tidak saling mengenal disebut perkawinan yang dijodohkan.
Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orang tua si laki-laki secara
langsung, ada kalanya dengan membawa kahanggi dan anak boru. Biasanya orang
tua si perempuan tidak langsung mengiakan keinginan pihak laki-laki. Orang tua
perempuan akan memberikan waktu untuk menanyakan kepada anak perempuan
mereka apakah menerima pinangan dari pihak laki-laki.
3. Padamos hata
Jika pada waktu mangaririt boru tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk
melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula, maka pembicaraan akan sampai
pada tahap padamos hata. Pihak keluarga laki-laki akan datang kembali kerumah

Universitas Sumatera Utara

keluarga perempuan untuk meminang. Dalam hal meminang ini akan dibicarakan
sekaligus tentang :
a. Hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi (patobang hata).
b. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pada waktu pinangan nanti,
yaitu:
-

Apa saja yang perlu disiapkan

-

Berapa mas kawin dan dalam bentuk apa

-

Berapa tuhor (uang jujur)

-

Perlengkapan-perlengkapan lainnya.

4. Patobang hata
Dalam acara patobang hata ini pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan
hasratnya dengan kata-kata yang benar-benar menunjukkan kesungguhan dan
keinginan, biasanya disampaikan dengan perumpamaan :
-

Mangido lopok ni tobu sisuanon, baen suanon di tano rura buana name,
anso adong tambus ni namboru na anso martumbur on lopus tu pudi ni
ari. (ditujukan kepada si gadis).

-

Mangido ondor na mangolu parsiraiasan. (ditujukan kepada keluarga si
gadis/mora)

Universitas Sumatera Utara

-

Mangido titian batu na so ra buruk. (ditujukan untuk menjalin hubungan
secara terus-menerus).

b. Manulak sere (seserahan)
Dalam proses manulak sere, pihak kelurga laki-laki membawa batang boban34
yang telah disepakati sebelumnya dirumah keluarga perempuan. Pada waktu manulak
sere, di rumah keluarga perempuan sudah siap menunggu kedatangan rombongan
anak boru yang akan manulak sere.
c. Mangalehen mangan pamunan
Didalam adat perkawinan Mandailing, anak perempuan yang akan melangkah
ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada
keluarga calon suami. Oleh sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut
diberangkatkan, maka orang tuanya beserta sanak famili akan berkumpul untuk
memberi makan anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).
d. Acara pernikahan
Nikah secara islam yang dilaksanakan menurut hukum fiqih adalah
merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat.
Nikah juga merupakan hal yang sangat penting baik bagi yang bersangkutan maupun

34

Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pada waktu pinangan yang telah disepakati
saat padamos hata.

Universitas Sumatera Utara

suami isteri, maupun bagi masyarakat pada umumnya, ialah merupakan penentuan
mulai saat manakah dapat dan harus dikatakan, bahwa ada sesuatu perkawinan selaku
suatu kejadian hukum dengan segala akibat-akibat hukumnya. (Soekanto, dalam
Sarjono Soekanto, 1985: 105).
1. Horja pabuat boru
a) Pasahat mara
Pada acara pasahat mara, bayo pangoli dan boru na ni oli ikut duduk di
pantar bolak. Mereka berdua diberi nasehat. Semua barang bawaan sudah diletakkan
ditengah pangkobaran. Yang diartikan sebagai pasahat mara (artinya menyerahkan
keselamatan) boru na ni oli serta barang bawaannya kepada bayo pangoli dan
keluarganya (merupakan tanggung jawab penuh). Pada acara pasahat mara ini
keluarga boru na ni oli harus menjelaskan kepada keluarga bayo pangoli, bahwa boru
ini tidak boleh disia-siakan. Bagi keluarganya anak ini merupakan anak mata (punya
nilai tinggi).
b) Barang bawaan boru na ni oli
Pada waktu pasahat mara barang bawaan boru na ni oli sebagaimana disebut
di atas ditaruh di tengah pantar paradaton agar dapat disaksikan semua yang hadir.
Barang bawaan tersebut terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara

-

Tikar adat (amak lampisan/amak sampistuk)

-

Kain adat

-

Barang boru (bulang)

-

Batal yang digulung/dibungkus dengan tikar lengkap dengan sarung
bantalnya

-

Tempat tidur pengantin beserta perlengkapannya tilam, bantal dan alas
tempat tidur

-

Piring, mangkuk dan perlengkapan dapur lainnya

-

Pakaian boru na ni oli

-

Beras dan telut beserta sonduk (sendok nasi yang terbuat dari tepurung
kelapa)

-

Haronduk dan garigit (karung kecil yang dianyam disebut haronduk dan
garigit adalah terbuat dari bambo untuk penampungan air disungai)

-

Silua (nasi serta lauk pauk ditambah dengan itak poul).

2. Horja haroan boru
a) Marpokat haroan boru
Jika dari pihak boru na ni oli acaranya disebut pabuat boru, maka dirumah
keluarga bayo pangoli disebut dengan haroan boru. Pada saat yang telah

Universitas Sumatera Utara

direncanakan niat untuk patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), maka sebelum
acara hari yang ditetapkan untuk mengadakan horja godang (pesta adat) tersebut,
pihak keluarga laki-laki (suhut) mengundang sanak family (keluarga dekat) untuk
marpokat (mufakat). Biasanya didahului dengan marpokat sabagas kemudian
marpokat saripe baru kemudian dilanjutkan marpokat sahuta.
Dalam mufakat inilah diperinci siapa yang ikut rombongan mangalap boru,
siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi,
kesenian, undangan dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja. Sesuai dengan
prinsip dalian na t