KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL | Praditama | SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant 8832 18652 1 SM
1
KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM
PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL
Sandhi Praditama, Nurhadi, Atik Catur Budiarti
Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
sandhi858@gmail.com
ABSTRACT
This research aimed to explain the factors causing children abuse within
family.
This research was taken place in Klunggen Village of Slogohimo Sub
District of Wonogiri Regency with purposive sampling as the sampling
technique. The informant selected in this research was parents with children
above 15 years, parents with different occupation background, members of
society in Klunggen Village, and children living in that neighborhood. This study
was a qualitative research with descriptive qualitative approach with case study
type. The data used included primary and secondary data collected using
interview, observation, and documentation techniques. Data validation was
carried out using method and source triangulations. Data analysis in this
research started with data collection, data reduction, data display, and ended
with conclusion drawing.
The result of research showed that there were three factors causing children
abuse occurring within family: (1) violence inheritance from one generation to
another, (2) children abuse within family was difficult to disclose to public
space, and (3) cultural background (There was a relationship between positions
within society that always puts the children on the lowest position).
Durkheim’s social fact theory explained that the children as a weak
individual are always put on the lowest position within society. Thus, all of they
do should be consistent with what the parents/adult instructs and teaches within
family. When they did something beyond adult’s rule, they would be punished.
Keywords: violence, child, family
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang meneyebabkan
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan Desa Klunggen Kecamatan Slogohimo
Kabupaten Wonogiri dengan teknik pemilihan informan berupa purposive
sampling. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah orangtua yang telah
memiliki anak selama lebih dari 15 tahun, orangtua dengan latar belakang pekerjaan
yang berbeda, masyarakat di Desa Klunggen, dan anak – anak yang tinggal di
lingkungan tersebut. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Data yang digunakan berupa data
primer dan sekunder melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Uji
validitas data menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis
data dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan data, dan terakhir menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan kekerasan
terhadap anak terjadi dalam keluarga ada tiga yaitu, (1) Pewarisan kekerasan antar
generasi (2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang
publik (3) Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat
yang selalu menempatkan anak dalam posisi terbawah).
Teori fakta sosial Durkheim menjelaskan bahwa anak sebagai individu yang
lemah selalu diposisikan terbawah dalam masyarakat. Sehingga semua yang dia
lakukan harus sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan oleh orang
dewasa/orangtua dalam keluarga. Ketika anak melakukan sesuatu yang diluar
aturan orang dewasa tersebut, maka anak tersebut akan mendapat sanksi dari
perbuatannya.
Kata Kunci : kekerasan, anak, keluarga
PENDAHULUAN
terjadi di pelosok negeri ini, seperti
Latar Belakang Masalah
Wonogiri. Dua kasus yang sangat
Saat ini, kekerasan terhadap
menyita perhatian publik adalah
anak tidak hanya di kota besar saja
kasus seorang anak berusia di bawah
seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan
lima tahun (balita) berinisial Sy (4)
kota – kota besar saja yang terekspos
warga
media. Namun belakangan ini ramai
Wonogiri, diduga menjadi korban
diperbincangkan kekerasan anak yang
penganiayaan. Bocah itu mengalami
Slogohimo,
Kabupaten
luka lebam di mukanya. muncul
3
dugaan pelaku penganiayaan adalah
pelaku kekerasan dengan lokasi kasus
ibu kandung Sy, berinisial Sry (35)
kekerasan pada anak ada 3, yaitu di
(Solopos.com, Rabu 2/9/2015). Kasus
lingkungan keluarga, di lingkungan
penganiayaan itu terbongkar ketika
sekolah
ada salah satu tetangga yang datang
masyarakat. Hasil monitoring dan
ke rumah korban. Warga curiga
evaluasi KPAI tahun 2012 di 9
karena mata korban yang sedang tidur
provinsi menunjukkan bahwa 91
kondisinya
persen
lebam
dan
bengkak.
dan
di
anak
lingkungan
menjadi
korban
ibu
kekerasan di lingkungan keluarga,
kandungnya, dijelaskan bahwa anak
87.6 persen di lingkungan sekolah
tersebut jatuh. Tapi warga tidak
dan 17.9 persen di lingkungan
percaya dan melaporkannya kepada
masyarakat. Harian Terbit, Minggu
kepala desa setempat. Laporan itu pun
(14/6/2015).
Setelah
ditanyakan
kepada
Berdasarkan data dari KPAI di
dilanjutkan ke Polsek Slogohimo,
yang
kemudian
Polres
Wonogiri.
diketahui
ke
atas, anak korban kekerasan di
Belakangan,
lingkungan masyarakat jumlahnya
dilimpahkan
perempuan
itu
sering
Artinya, anak rentan menjadi korban
menganiaya anak mungilnya itu.
Berdasarkan data yang penulis
peroleh dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menyatakan
bahwa kekerasan pada anak selalu
meningkat
setiap
tahun.
Hasil
pemantauan KPAI dari 2011 sampai
2014,
terjadi
peningkatan
termasuk rendah yaitu 17,9 persen.
kekerasan
kasus kekerasan, 2012 ada 3512
kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada
5066 kasus. Wakil Ketua KPAI,
Maria Advianti mengatakan bahwa
anak bisa menjadi korban ataupun
di
lingkungan
keluarga dan sekolah. Lingkungan
yang mengenal anak-anak tersebut
cukup dekat. Pelaku kekerasan pada
anak justru lebih banyak berasal dari
kalangan yang dekat dengan anak.
Pada
yang
sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178
justru
hakikatnya
keluarga
merupakan tempat pertama bagi anak
untuk
memeperoleh
pengetahuan,
pembinaan mental, dan pembentukan
kepribadian
yang
nantinya
akan
ditambah dan disempurnakan oleh
lingkungan
sekolah
maupun
4
lingkungan sosial
diamana anak
ini sudah banyak kekerasan pada anak
tinggal, tumbuh, dan berkembang.
yang terjadi di lembaga pendidikan
terlihat sekali bagaimana pentingnya
seperti
peran keluarga sangat signifikan
lembaga pendidikan lainnya. Hal ini
dalam perkembangan, pembentukan
menjadi
karakter, serta masa depan anak.
masyarakat. Bagaimana tidak, anak
Bukan hal yang mustahil ketika
sebagai penerus bangsa yang berhak
sebuah keluarga khususnya orangtua
mendapatkan
yang
merupakan
pembentukan
mampu
sekolah,
ironi
pesantren,
yang
ada
dan
dalam
perlindungan,
elemen
awal
pendidikan, dan pendampingan yang
kepribadian
anak
baik
memberikan
dari
keluarga,
lingkungan
dan
masyarakat, maupun sekolah justru
maupun
mendapatkan perlakuan yang salah
tanggungjawab secara maksimal akan
bahkan mengarah ke kerasan fisik
mampu meciptakan generasi penerus
maupun ferbal dan tidak sesuai
bangsa
dengan apa yang diharapkan.
menjalankan
peran
yang
bertanggungjawab
terhadap agama, nusa, dan bangsa.
Berdasarkan
fenomena
Sehingga apa yang selama ini dicita –
tersebut,
citakan oleh suatu bangsa akan
melakukan
dicapai.
kekerasan anak yang terjadi di
Namun
tertarik
penelitian
untuk
terkait
di
Kabupaten Wonogiri. Yang menarik
berbanding
dari penelitian kali ini adalah dalam
terbalik dengan harapan ataupun yang
penelitian ini akan menfokuskan pada
dicita – citakan selama ini. Salah satu
alasan mengapa kekerasan terhadap
yang menjadi pusat perhatian dan
anak
menjadi bahan pembicaraan dewasa
lingkungan keluarga.
masyarakat
ini
adalah
kenyataan
penulis
seringkali
mengenai
kekerasan
terhadap anak. Kekerasan pada anak
justru
banyak
terjadi
di
Tujuan Penelitian
dapat kita jumpai kapanpun dan
Penelitian
dimanapun, baik di kota maupun di
Menjelaskan
desa,
terhadap anak banyak terjadi di
di
keluarga
maupun
di
lingkungan masyarakat, bahkan saat
ini
bertujuan
alasan
lingkungan keluarga.
untuk
kekerasan
5
negara dan pemerintah yang pernah
Kajian Pustaka
1.
ada dalam sejarah masyarakat Jawa.
Konsep Keluarga
Ideologi ini menekankan pada peran
Hildred
(1985)
reproduksi dan domestik perempuan
menjelasakan bahwa secara universal
sangat ditekankan pada perempuan
keluarga merupakan jembatan antara
kelas atas di zaman kerajaan –
individu dan budayanya, nilai-nilai
kerajaan
kemasyarakatan umum tertentu yang
digambarkan sebagai makhluk yang
tersebar
pembenaran
anggun, halus, rapi tetapi tidak
lembaga
memiliki daya pikir yang tinggi, dan
serta
Geertz
memberikan
makna
kekeluargaan
bagi
dan
berlaku
pula
Jawa.
Perempuan
kurang memiliki kemampuan serta
sebagai petunjuk normative untuk
kekuatan
tenggang – menenggang di antara
dianggap tidak mampu menduduki
para anggota keluarga setiap hari juga
jabatan – jabatan strategis dalam
di lingkungan sosial sekitarnya. Jadi
pemerintahan dan masyarakat.
secara umum menurut Geertz bahwa
keluarga merupakan miniatur suatu
masyarakat, karena semua norma –
norma,
maupun
aturan
dalam
bertingkah laku serta nilai – nilai
dalam
keluarga
tersebut
dapat
diterapkan dalam masyarakat secara
umum.
spiritual,
sehingga
Berdasarkan
ia
ideologi
familiarisme peran utama laki – laki
adalah
sebagai
penguasa
utama
rumah tangga yang memiliki hak
istimewa dan otoritas terbesar dalam
keluarga. Laki – laki dalam posisinya
sebagai suami dan ayah merupakan
figur sentral dalam keluarga. Dengan
Abdullah
(1997)
menjelaskan
demikian, anggota keluarga lain
bahwa dalam kebudayaan masyarakat
seperti istri dan anak harus tunduk
jawa
pada
mengenal
ideologi
penguasa
utama
tersebut.
Familialisme. Ideologi familialisme
Kewibawaan seorang laki – laki/ayah
ini dilestarikan dan secara terus
harus dijaga oleh anggota keluarga
menerus
karena
diredefinisikan
melalui
atribut
tersebut
sangat
hukum – hukum adat yang berlaku,
menentukan status dan kedudukan
kepercayaan – kepercayaan, serta
keluarga dalam masyarakat. Dalam
6
masyarakat,
sebagai
kelaurga
bentuk
diibaratkan
mikro
dari
masyarakat Jawa telah mendapatkan
latihan
kesopanan
sejak
mereka
masyarakat, maka kedudukan laki –
masih bayi, dalam berkomunikasi
laki dalam keluarga memberikan
sang
legimitasi bagi laki – laki untuk
dibiasakan
mendapatkan prestise dan kekuasaan
kalimat-kalimat yang sopan serta
dalam masyarakat.
santun terhadap orang lain. Seorang
2.
Kedudukan
Anak
dalam
anak
juga
diajarkan
untuk
dan
menggunakan
anak diajarkan untuk dapat hidup
harmonis dengan sanak saudaranya
Keluarga
juga bahkan dengan orang lain, jika
Dalam keluarga Jawa,
anak
sang anak tidak bertingkah laku baik
merupakan sosok yang istimewa
maka ia akan mendapatkan sanksi
dalam
perlu
langsung berupa hukuman agar anak
dan
tersebut tidak mengulanginya dan
keluarga
mendapatkan
bimbingan
dan
perlakuan
khusus
dari
seluruh
anggota keluarga tersebut. Hildred
Geertz (1985) menjelaskan bahwa
dalam keluarga jawa memandang
bahwa anak-anak adalah hal yang
disenangi dan diinginkan karena
anaklah yang dipandang akan mampu
meneruskan juga mengurusi orang
tuanya kelak ketika tua sehingga
keinginan memiliki anak-anak sangat
besar dalam masyarakat jawa.
Hubungan sosial seorang anak
baik
dengan
anggota
keluarga
maupun dengan lingkungannya juga
menjadi perhatian bagi masyarakat
Jawa, untuk dapat tumbuh sebagai
seorang
yang
baik,
anak-anak
dapat bersikap patuh.
Pelajaran penting yang harus
dikuasai oleh anak sebagai bagian
dari
pertumbuhannya
bagaimana
dan
ialah
bilamana
harus
bertindak-tanduk dengan tata karma.
Yang menjadi
komponen dalam
“Hormat” dalam masyarakat jawa
adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi
berarti takut, isin dapat diartikan
sebagai
malu,
enggan
ataupun
canggung.
Dari
pemaparan
mengenai
kedudukan anak dalam keluarga yang
disampaikan
menjelaskan
Geertz
bahwa
di
atas
secara
7
keseluruhan
seseorang
anak
yang
merupakan
penting
dalam
dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan
anak
(Suyanto,
keluarga. Ketika orangtua berhasil
2010:28). Sedangkan Henry Kempe
mendidik anak dengan baik, maka
menyebut kasus kasus penelantaran
masyarakat
bahwa
dan penganiayaan yang dialami anak
keluarga tersebut merupakan keluarga
– anak dengan istilah Batered Child
yang berhasil. Ataupun sebaliknya,
Syndrome yaitu: “setiap keadaan yang
ketika orangtua tersebut gagal dalam
disebabkan kurangnya perawatan dan
mendidik anak, maka masyarakat
perlindungan terhadap anak oleh
menganggap bahwa keluarga tersebut
orangtua atau pengasuh lain.” Disini
merupakan keluarga yang gagal. Dari
yang
hal inilah maka orangtua melakukan
kekerasan terhadap anak tidak hanya
segala upaya untuk mendidik anak
luka berat saja, tetapi termasuk juga
mereka dengan baik karena seolah –
luka
olah ada tuntutan dari masyarakat
sekalipun dan diikuti kegagalan anak
untuk
untuk berkembang baik secara fisik
menganggap
melakukan
hal
tersebut.
diartikan
memar
Bahkan tidak jarang pula orangtua
maupun
melakukan kekerasan terhadap anak
2010:27).
dengan alasan untuk mendidik supaya
si anak dapat terlihat baik dalam
masyarakat.
3.
atau
tindak
membengkak
intelektualnya
(Suyanto,
Menurut Suyanto (2010:29), ada
lima bentuk kekerasan terhadap anak,
yaitu : (1) kekerasan fisik, bentuk ini
Kekerasan terhadap Anak
Secara
sebagai
teoritis,
kekerasan
terhadap anak dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik,
mental, atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang – orang yang
memiliki tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang mana itu
semua diindikasikan dengan kerugian
paling
mudah
dikenali.
Korban
kekerasan jenis ini biasanya tampak
secara langsung pada fisik korban
seperti; luka memar, berdarah, dan
bentuk lain yang kondisinya lebih
berat. (2) Kekerasan Psikis, bentuk ini
tidak begitu mudah dikenali. Wujud
dari kekerasan ini bisa berupa kata –
kata kasar, ejekan, mempermalukan,
dan sebagainya. Dampak kekerasan
8
jenis ini akan berpengaruh pada
Sumjati (2001:28) menjelaskan
situasi perasaan yang tidak aman dan
secara sederhana tindak kekerasan
nyaman,
dalam
diartikan sebagai setiap perilaku yang
mengambil keputusan, dan bahkan
dapat menyebabkan perasaan atau
menurunnya harga diri serta martabat
tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman.
korban.
Perasaan tidak nyaman itu bisa
minder,
(3)
lemah
Kekerasan
seksual,
termasuk dalam kategori ini adalah
berupa:
segala tindakan yang mencul dalam
kesedihan,
bentuk paksaan untuk melakukan
kejengkelan,
hubungan seksual. (4) Kekerasan
sedangkan keadaan fisik yang tidak
Ekonomi, kekerasan jenis ini sangat
nyaman bisa berupa: lecet, luka,
sering
memar, patah tulang, dan sebagainya.
terjadi
di
lingkungan
keluaraga. Pada anak, kekerasan ini
sering
terjadi
ketika
orang
tua
memaksa anak yang masih usia di
bawah umur untuk dapat memebrikan
kontribusi
ekonomi
keluarga,
sehingga fenomena penjualan anak,
pengamen jalanan, pengemis anak,
dan lain – lain kian merebak. (5)
Kekerasan
anak
secara
sosial,
kekerasan anak jenis ini mencakup
penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap
dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak
kekhawatiran,
ketakutan,
ketersinggungan,
atau
kemarahan,
Berkenaan dengan ini, aspek
kualitatif dari tindakan ini dianggap
lebih
penting
untuk
diketahui
daripada aspek kuantitatifnya, karena
tindak kekerasan ini memberikan
akibat
serius
kehidupan
2001:29).
terhadap
manusia
Selain
penelitian
(Sumjati,
itu,
mengenai
kualitas
berbagai
kekerasan
terhadap anak ternyata sangat jarang
yang memberikan perhatian pada
bentuk
–
bentuk
kekerasannya
sendiri. Oleh karena itu, pembicaraan
kali ini akan lebih difokuskan pada
terhadap proses tumbuh kembang
bentuk – bentuk kekerasan yang
anak.
dialami oleh anak – anak di Indonesia
4.
Kekerasan
terhadap
dalam Perspektif Budaya
Anak
dalam proses sosialisasi mereka.
9
Sebagai gejala sosial budaya,
memaksa individu, individu dipaksa
tindak kekerasan terhadap anak tidak
dibimbing,
muncul begitu saja dalam situasi yang
atau dengan cara tertentu dipengaruhi
kosong atau netral. Ada kondisi –
oleh berbagai tipe fakta sosial dalam
kondisi
lingkungan sosialnya.
budaya
masyarakat,
tertentu
yakni
dalam
berbagai
sosial
ini
diyakinkan,
didorong,
Tipe fakta
mempunyai
kekuatan
pandangan, nilai dan norma sosial,
memaksa
yang seolah memudahkan terjadinya
kemauan individu itu sendiri. (3)
atau mendorong dilakukannya tindak
Bersifat umum dan tersebar, dengan
kekerasan terhadap anak tersebut. Hal
kata lain, fakta sosial itu merupakan
inilah yang dimaksud dengan latar
milik bersama, bukan sifat individu
belakang budaya terjadinya kekerasan
perorangan,
terhadap anak.
bersifat kolektif, dan pengaruhnya
5.
individu
terlepas
tetapi
dari
benar-benar
terhadap individu merupakan hasil
Teori Fakta Sosial
dari sifat kolektifnya.
Emile Durkheim berpendapat
bahwa sosiologi adalah ilmu yang
METODE PENELITIAN
Penelitian
memepelajari apa yag dimaksud fakta
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
dengan
Durkheim fakta sosial merupakan
pendekatan
deskriptif
kualitatif
cara
dan
dengan jenis penelitian studi kasus.
berperasaan, yang berada di luar
Penelitian ini dilaksanakan Desa
inidividu, dan mempunyai kekuatan
Klunggen
memaksa yang mengendalikannya
Kabupaten Wonogiri dengan teknik
(Sunarto,
tiga
pemilihan informan berupa purposive
karakteristik fakta sosial, yaitu : (1)
sampling. Informan yang dipilih
bersifat
cara
dalam penelitian ini adalah orangtua
bertindak, berpikir, dan berperasaan
yang telah memiliki anak selama
yang memperlihatkan sifat patut
lebih dari 15 tahun, orangtua dengan
dilihat sebagai sesuatu yang berada di
latar
luar kesadaran individu. (2) bersifat
berbeda,
sosial
(fait
social).
bertindak,
berpikir,
2000:11).
eksternal,
Menurut
Ada
bahwa
Kecamatan
belakang
Slogohimo
pekerjaan
masyarakat
di
yang
Desa
10
Klunggen, dan anak – anak yang
Pandangan yang salah ini
tinggal di lingkungan tersebut. Data
masih banyak digunakan oleh
yang digunakan berupa data primer
orangtua lainnya sampai saat ini.
dan
Mereka
sekunder
melalui
teknik
observasi,
dan
perlakuan keras dan kasar malah
data
justru mampu membentuk karakter
menggunakan triangulasi metode dan
yang kuat dan baik anak di massa
triangulasi sumber. Analisis data
yang akan datang atau massa
dalam penelitian ini diawali dengan
dimana anak tumbuh dewasa.
wawancara,
dokumentasi.
Uji
validitas
pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan
data,
dan
terakhir
menarik kesimpulan.
menganggap
bahwa
Anak – anak yang mengalami
tindak
kekerasan
di
rumah
biasanya akan bersikap murung,
ketakutan, tidak bersemangat, dan
HASIL PENELITIAN
1. Pendidikan
memprihatinkan, tidak jarang akan
Anak
dalam
Keluarga yang Mengedepankan
Kekerasan
(Anita
Lie
kepercayaan
dalam
diri
Suyanto,
2010:77). Abu Huraerah juga
Berdasarkan wawancara yang
peneliti lakukan dengan informan
menunjukan bahwa mereka seolah
menghalalkan kekerasan dengan
tujuan mendidik anak. Bahkan
salah satu informan menyebutkan
bahwa cara mendidik anaknya saat
ini meniru apa yang orangtuanya
dulu lakukan padanya. Hal ini
membuktikan
pendidikan
kehilangan
bahwa
itu
pola
sebenarnya
menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
menjelaskan dampak kekerasan
terhadap kondisi psikologis anak.
Dijelaskan bahwa anak - anak
yang masih kecil sering susah tidur
dan bangu di tengah malam
menjerit ketakutan. Mereka juga
ada yang menderita Psikosomatik,
misalnya asma. Ketika mereka
semakin besar, anak laki – laki
cenderung menjadi sangat agresif
dan bermusuhan dengan orang
lain, sementara anak perempuan
sering mengalami kemunduran
11
dan menarik diri ke dalam dunia
minat, kebutuhan, dan gaya bagi
fantasi sendiri.
anak sering kali diabaikan oleh
2. Pelanggaran
Anak
terhadap
dalam
Hak
masyarakat, bayak alasan lain
Setiap orangtua pasti selektif
dan menginginkan yang terbaik
untuk anaknya. Namun saat ini
masih banyak kita temui dalam
orangtua
yang
memaksakan kehendak
kepada
anaknya untuk bersekolah sesuai
dengan pilihan mereka, baik ke
sekolah negeri, pondok pesantren,
ataupun sekolah – sekolah swasta
yang menurut mereka memiliki
kualitas terbaik.
Anak
paling
posisi
berkepentingan
untuk
tidak memiliki kesempatan untuk
pilihan
mereka
untuk menentukan dimana dia
akan sekolah. Anak seringkali
dijadikan sebagai objek demi
gengsi bahkan ego orangtuanya
agar terlihat memiliki tingkatan
lebih
bagi anaknya. Misalnya karena
alasan ekonomi, khawatir akan
pengaruh
buruk
lingkungan,
bahkan ada yang ikut – ikutan tren
saja. Kita ambil contoh orangtua
yang
memilih
memasukkan
anaknya ke pondok pesantren.
Salah satu alasan mereka memilih
memasukkan anaknya ke pondok
pesantren dengan alasan khawatir
dengan pergaulan di lingkungan
yang
mendapatkan pendidikan justru
yang
orangtua dalam memilih sekolah
tempat mereka tinggal.
dalam
menyampaikan
Selain alasan gengsi dalam
Menentukan
Pilihan Sekolah
masyarakat
orangtua.
tinggi
dalam
masyarakat. Sementara sesuai atau
tidaknya sekolah tersebut dengan
Akibat yang muncul pada
anak
yang
orangtuanya
dipaksa
untuk
oleh
bersekolah
sesuai pilihan orangtuanya adalah
anak tidak mampu mengikuti
peajaran
dengan
adanya
rasa
orangtuanya,
baik
karena
paksaan
karena
dari
memiliki
prestasi yang kurang baik di
sekolah, maka anak menjadi sosok
yang minder dan kurang percaya
diri.
12
Kebanyakan
orangtua
PEMBAHASAN
menganggap bahwa pendidikan
Faktor terjadi kekerasan terhadap
yang keras merupakan hal yang
anak dalam keluarga
wajar. “Keras tidak apa – apa
Berdasarkan temuan penelitian,
maka
terdapat
beberapa
alasan
mengapa kasus kekerasan terhadap
anak dalam keluarga selalu ada dalam
masyarakat,
diantaranya
adalah
asal mendidik”. Yang dimaksud
keras disini adalah menerapkan
aturan – aturan yang ketat dan
disertai dengan sanksi – sanksi jika
anak melanggar berupa bentakan,
ataupun pukulan. Tidak jarang
sebagai berikut:
ketika pendidikan yang keras
1. Pewarisan
kekerasan
antar
generasi
dalam
keluarga
menimbulkan
perilaku kasar dari orangtuanya.
Banyak anak belajar perilaku
Anggapan yang salah ini terus
kekerasan dari orangtuanya dan
berlanjut
ketika tumbuh menjadi dewasa
sekarang, karena mereka belum
mereka
hingga
tindakan
menyadari akibat dari perlakuan
terhadap
anaknya.
keras
demikian,
perilaku
perkembangan psikologis anak –
diwarisi
anaknya.
kekerasan
yang
generasi.
Seperti
dikemukakan
oleh
berinisial
yang
salah
AI
satu
bahwa
dan
kasar
bagi
Anak – anak memang selalu
(transmintted) dari generasi ke
informat
dulu
melakukan
kekerasan
Dengan
dari
peka.
Sering
orangtua
tidak
menyadari bahwa apa yang terjadi
di
antara
mereka
begitu
anak.
Sering
ketika dia kecil dia dididik keras
mempengaruhi
oleh orangtuanya, bahkan ketika
dikatakannya, anak merupakan
beliau melakukan kesalahan, tidak
cermin dari apa yang terjadi dalam
jarang
suatu rumah tangga (Huraerah,
orangtuanya
menghukumnya
cara
2012: 56). Jika suasana keluaraga
memukul,
sehat dan bahagia, maka wajah
dengan dalih untuk mendidiknya.
anak begitu ceria dan bersih.
menjewer
dengan
ataupun
13
Sebaliknya jika mereka murung
seperti
dan sedih, biasanya terjadi sesuatu
pemerkosaan. Kalaupun kemudian
yang
dengan
diketahui umum biasanya berkat
wadah
peran
berkaitan
orangtuanya.
Sebagai
pembunihan
dan
ataupun
keterlibatan
media
sosialisasi primer, dimana anak
massa atau karena kejadian yang
belajar untuk pertama kalinya
menghebohkan.
mengenal nilai – nilai dan cara
bertingkah laku, perilaku orangtua
sering
anak
mempengaruhi
–
anaknya
perilaku
kelak.
Jika
kekerasan begitu domonan, tidak
mengherankan
jika
melakukannya
terbawa
kemudian
dan
sampai
bahkan
dia
diwasa.
Karena kekerasan begitu sering
dalam
keluarganya,
maka
ia
menganggap hal tersebut sebagai
hal yang “normal” dan sudah
seharusnya dilakukan.
sulit
diungkap
ke
Sebagai suatu kasus yang
tabu
dan
disadari
melanggar batas – batas etika,
kesus – kasus kekerasan terhadap
anak
dalam
keluarga
jarang
terekspos keluar. Hanya kasus –
kasus
anaknya atau menghajar keras
anaknya sekalipun, sepanjang apa
yang mereka lakukan tidak sampai
menimbulkan luka fisik yang
serius
atau
kematian,
maka
kejadian itu akan lewat dan
menguap begitu saja. Kesulitan
dalam
mengungkapkan
kasus
kekerasan terhadap anak bisa
disebabkan oleh faktor internal
Huraerah,
2012:
60).
Yang
dimaksud faktor internal adalah
faktor dari korbannya itu sendiri
ruang publik
tergolong
atau ibu yang memukul kepala
maupun eksternak (Suharto dalam
2. Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga
Sebagai contoh seorang ayah
kekerasan
berat
yang
seringkali muncul ke ruang publik,
yang menolak melaporkan ke
masyarakat,
eksternal
sedangkan
adalah
masyarakat
yang
faktor
faktor
dari
menganggap
biasa suatu kekerasan terhadap
anak dalam keluarga.
Selain itu ada dua faktor lain
yang
menyebabkan
kasus
14
Dalam
kekerasan terhadap anak dalam
teori
fakta
sosial,
menjelaskan
bahwa
keluarga sulit diungkap ke ruang
Durkheim
publik, yaitu tidak adanya kontrol
semua aktivitas seorang inidividu
sosial terhadap terjadinya kasus
dalam
atau tindakan kekerasan terhadap
oleh faktor eksternal atau faktor di
anak
luar
dalam
keluarga
dan
masyarakat
dirinya
dipengaruhi
yang
bersifat
penolakan dari korban/anggota
memaksa.
lain dalam keluarga sendiri untuk
terjadi pada anak yang hidup
melaporkan
dalam lingkungan keluarganya.
ke
ranah
Durkheim
publik/masyarakat.
3. Latar belakang budaya (Adanya
hubungan
kedudukan
masyarakat
yang
dalam
selalu
menempatkan anak dalam posisi
Kenyataan itu juga
menjelaskan
bahwa
semua perilaku anak sejak lahir
hingga dewasa selalu mendapat
kontrol dari luar dirinya, dan
ketika dia melakukan perbuatan
yang tidak sesuai denganapa yang
terbawah)
ditetapkan
Pandangan masyarakat yang
masyarakat
oleh
keluarga
maka
ia
dan
akan
menyebutkan anak harus patuh
mendapatkan sanksi dari luar,
pada orangtua sangat berkembang
dalam hal ini yang dimaksud luar
luas dalam masyarakat dan bahkan
adalah keluarga dan masyarakat.
seringkali pandangan ini disalah
artikan oleh orangtua. Berdasarkan
pandangan ini kalau si anak lalai
dalam
menjalankan
tugas
membantu
meringankan
beban
orangtua
sebagaimana
yang
diharapkan orangtua mereka, dia
akan
memperoleh
berabagai
macam sanksi atau hukuman, yang
kemudian sampai pada tindak
kekerasan.
Masyarakat
selalu
memposisikan anak pada tangga
terbawah, sehingga orang dewasa
seolah – olah cenderung memiliki
hak untuk memperlakukan anak –
anak
sesuka
hati
mereka,
sementara anak sendiri seolah
tidak memiliki hak apapun, baik
hak untuk bersuara ataupun hak
untuk protes. Anak dipaksa untuk
tunduk
terhadap
aturan
yang
15
dibuat oleh orang yang lebih
dengan orang dewasa diperkuat
dewasa darinya.
dengan
Nilai, norma, dan kebiasaan
yang berkembang di masyarakat,
tanpa sadar selalu menempatkan
anak hanya sebagai objek bagi
orang dewasa, dan bahkan seolah
orangtua
berhak
melakukan
apapun terhadap anak – anaknya,
dengan alasan karena mereka yang
melahirkan, membesarkan, dan
membiayai
anaknya.
Ketika
seoarang anak berani membantah
atau bahkan melawan orangtua,
selain dicap sebagai anak durhaka,
tidak jarang kemudian orangtua
memperlakukan anak – anaknya
secara kasar, memaki atau bahkan
memukul dengan harapan anak
akan jera dan kembali ke sikapnya
sebagai anak yang patuh. Anak –
anak yang menjadi korban tindak
kekerasan dan perlakuan kasar dari
orangtua
atau
orang
lainnya hanya akan
dewasa
bersikap
pasrah dan tidak mampu untuk
berbuat apa – apa. Seorang anak
yag dipukul orangtuanya, pasti ia
akan sama sekali tidak berani
melawan.
Ketidakseimbangan
hubungan antara anak – anak
ketidakseimbangan
kultural yang ditanamkan oleh
orang dewasa kepada anak – anak
(Sumjati, 2001:45). Dengan kata
lain melalui ketidakseimbangan
ini, orang dewasa/orangtua sadar
atau tidak sadar telah membangun
ketidakseimbangan
kultural
(ketidakseimbangan
secara
budaya) dalam hubungan mereka
dengan
anak,
yang
menguntungkan orang dewasa.
Hasilnya adalah anak – anak
menerima hubungan yang tidak
seimbang antara mereka dengan
orang
dewas/orangtua
di
sekelilingnya. Disini anak tanpa
sadar
telah
hubungan
mereproduksi
asimetris
yang
merugikan. Inilah realita yang
terjadi di dalam keluarga dan
masyarakat saat ini, dan ini pula
gambaran nyata kondisi kultural
yang
menyebabkan
terhadap
anak
kekerasan
akan
terjadi
kapanpun dan dimanapun selama
pemahan kutural tersebut terus
berkembang dan hidup dalam
masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
16
Berdasarkan pembahasan yang
telah
dipaparkan,
maka
dapat
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. (1997). Sangkan
disimpulkan bahwa ada tiga faktor
yang menyebabkan kasus kekerasan
terhadap anak dalam keluaraga, yaitu:
(1)
Pewarisan
kekerasan
Paran
Gender.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar Offset.
antar
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian
generasi
Kualitatif. Jakarta: Kencana
(2) Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga sulit diungkap ke ruang
Frans Husken dan Huub de Jonge.
Kekerasan
dan
publik. (3) Latar belakang budaya
(2003).
(Adanya hubungan kedudukan dalam
Dendam
masyarakat yang selalu menempatkan
Terjemahan oleh: Imam Aziz.
anak dalam posisi terbawah).
Yogyakarta: LkiS
Berdasarkan temuan penelitian
Geertz,
di
Clifford.
Indonesia,
(1992).
maka peneliti menyarankan pada
Kebudayaan.
masyarakat hendaknya lebih peka
Yogyakarta:Kanisius
terhadap kekerasan terhadap anak
yang terjadi di lingkungan mereka,
Tafsir
Geertz, Hildred. (1985). Keluarga
Jawa. Jakarta: Grafiti Pers
sehingga ketika ada kasus kekerasan
bisa menasihati atau memberitahukan
ke pihak yang berwajib dan pada
orangtua untuk mengetahui dampak –
dampak negatif yang ditimbulan dari
kekerasan
(kekerasan
fisik
dan
kekerasan psikis) yang dilakukan
kepada anak terhadap perkembangan
Huraerah, Abu. (2012). Kekerasan
Terhadap Anak. Bandung: Nuansa
Cendekia
Johnsons, Doyle Paul. (1994). Teori
Sosiologi Klasik dan Modern,
Tarjamahan oleh: Robert MZ
LAwang.
Jakarta:
PT
Gramedia
fisik dan psikis anak serta orangtua
harus mengetahui metode yang tepat
Moeleong, Lexi J. (2001). Metodologi
untuk mendidik anak – anaknya tanpa
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
menggunakan kekerasan.
PT Remaja Rosdakarya.
17
Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi
Penelitian. Jakarta: Kencana.
Ritzer,
George.
Teori
(2004).
Sosiologi
Modern,
Wisadiro, Darsono. (2004). Sosiologi
Pedesaan. Malang:
Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang
Tarjamahan oleh: Alimandan.
Yin, K. Robert. (2000). Studi Kasus.
Jakarta: Prenada Media Group
Jakarta: PT Raja Grafindo
Santoso, Thomas. (2002). Teori –
Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia
Persada
DARI INTERNET
http://kpai.go.id/
Indonesia
KPAI-Pelaku
Kekerasan-Terhadap-Anak
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian
Tiap-Tahun-Meningkat
Kuantitatif Kualitatif Dan
_Komisi-Perlindungan-Anak
R&D. Bandung:Alfabeta
Indonesia-(KPAI).htm
Sumjati. (2001). Manusia dan
Dinamika Budaya. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM
http://solopos.com/ PEMBUNUHAN
WONOGIRI-Korban
Kekerasan-Seksual-Tersangka-
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah
Sosial
Anak.
Jakarta:
Kencana
Taufik
Mohammda,
Riki-Ada-9-Anak!-SolorayaSOLOPOS.COM.htm
http://PENGANIAYAAN
dkk.
2013.
WONOGIRI-Balita-di-
Hukum Perlindungan Anak
Wonogiri-Diduga-Dianiaya
dan
Ibunya-Hingga-Lebam-
Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Rineka
Cipta
Soloraya-SOLOPOS.COM.htm
18
KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM
PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL
Sandhi Praditama, Nurhadi, Atik Catur Budiarti
Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
sandhi858@gmail.com
ABSTRACT
This research aimed to explain the factors causing children abuse within
family.
This research was taken place in Klunggen Village of Slogohimo Sub
District of Wonogiri Regency with purposive sampling as the sampling
technique. The informant selected in this research was parents with children
above 15 years, parents with different occupation background, members of
society in Klunggen Village, and children living in that neighborhood. This study
was a qualitative research with descriptive qualitative approach with case study
type. The data used included primary and secondary data collected using
interview, observation, and documentation techniques. Data validation was
carried out using method and source triangulations. Data analysis in this
research started with data collection, data reduction, data display, and ended
with conclusion drawing.
The result of research showed that there were three factors causing children
abuse occurring within family: (1) violence inheritance from one generation to
another, (2) children abuse within family was difficult to disclose to public
space, and (3) cultural background (There was a relationship between positions
within society that always puts the children on the lowest position).
Durkheim’s social fact theory explained that the children as a weak
individual are always put on the lowest position within society. Thus, all of they
do should be consistent with what the parents/adult instructs and teaches within
family. When they did something beyond adult’s rule, they would be punished.
Keywords: violence, child, family
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang meneyebabkan
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan Desa Klunggen Kecamatan Slogohimo
Kabupaten Wonogiri dengan teknik pemilihan informan berupa purposive
sampling. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah orangtua yang telah
memiliki anak selama lebih dari 15 tahun, orangtua dengan latar belakang pekerjaan
yang berbeda, masyarakat di Desa Klunggen, dan anak – anak yang tinggal di
lingkungan tersebut. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Data yang digunakan berupa data
primer dan sekunder melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Uji
validitas data menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis
data dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan data, dan terakhir menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan kekerasan
terhadap anak terjadi dalam keluarga ada tiga yaitu, (1) Pewarisan kekerasan antar
generasi (2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang
publik (3) Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat
yang selalu menempatkan anak dalam posisi terbawah).
Teori fakta sosial Durkheim menjelaskan bahwa anak sebagai individu yang
lemah selalu diposisikan terbawah dalam masyarakat. Sehingga semua yang dia
lakukan harus sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan oleh orang
dewasa/orangtua dalam keluarga. Ketika anak melakukan sesuatu yang diluar
aturan orang dewasa tersebut, maka anak tersebut akan mendapat sanksi dari
perbuatannya.
Kata Kunci : kekerasan, anak, keluarga
PENDAHULUAN
terjadi di pelosok negeri ini, seperti
Latar Belakang Masalah
Wonogiri. Dua kasus yang sangat
Saat ini, kekerasan terhadap
menyita perhatian publik adalah
anak tidak hanya di kota besar saja
kasus seorang anak berusia di bawah
seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan
lima tahun (balita) berinisial Sy (4)
kota – kota besar saja yang terekspos
warga
media. Namun belakangan ini ramai
Wonogiri, diduga menjadi korban
diperbincangkan kekerasan anak yang
penganiayaan. Bocah itu mengalami
Slogohimo,
Kabupaten
luka lebam di mukanya. muncul
3
dugaan pelaku penganiayaan adalah
pelaku kekerasan dengan lokasi kasus
ibu kandung Sy, berinisial Sry (35)
kekerasan pada anak ada 3, yaitu di
(Solopos.com, Rabu 2/9/2015). Kasus
lingkungan keluarga, di lingkungan
penganiayaan itu terbongkar ketika
sekolah
ada salah satu tetangga yang datang
masyarakat. Hasil monitoring dan
ke rumah korban. Warga curiga
evaluasi KPAI tahun 2012 di 9
karena mata korban yang sedang tidur
provinsi menunjukkan bahwa 91
kondisinya
persen
lebam
dan
bengkak.
dan
di
anak
lingkungan
menjadi
korban
ibu
kekerasan di lingkungan keluarga,
kandungnya, dijelaskan bahwa anak
87.6 persen di lingkungan sekolah
tersebut jatuh. Tapi warga tidak
dan 17.9 persen di lingkungan
percaya dan melaporkannya kepada
masyarakat. Harian Terbit, Minggu
kepala desa setempat. Laporan itu pun
(14/6/2015).
Setelah
ditanyakan
kepada
Berdasarkan data dari KPAI di
dilanjutkan ke Polsek Slogohimo,
yang
kemudian
Polres
Wonogiri.
diketahui
ke
atas, anak korban kekerasan di
Belakangan,
lingkungan masyarakat jumlahnya
dilimpahkan
perempuan
itu
sering
Artinya, anak rentan menjadi korban
menganiaya anak mungilnya itu.
Berdasarkan data yang penulis
peroleh dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menyatakan
bahwa kekerasan pada anak selalu
meningkat
setiap
tahun.
Hasil
pemantauan KPAI dari 2011 sampai
2014,
terjadi
peningkatan
termasuk rendah yaitu 17,9 persen.
kekerasan
kasus kekerasan, 2012 ada 3512
kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada
5066 kasus. Wakil Ketua KPAI,
Maria Advianti mengatakan bahwa
anak bisa menjadi korban ataupun
di
lingkungan
keluarga dan sekolah. Lingkungan
yang mengenal anak-anak tersebut
cukup dekat. Pelaku kekerasan pada
anak justru lebih banyak berasal dari
kalangan yang dekat dengan anak.
Pada
yang
sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178
justru
hakikatnya
keluarga
merupakan tempat pertama bagi anak
untuk
memeperoleh
pengetahuan,
pembinaan mental, dan pembentukan
kepribadian
yang
nantinya
akan
ditambah dan disempurnakan oleh
lingkungan
sekolah
maupun
4
lingkungan sosial
diamana anak
ini sudah banyak kekerasan pada anak
tinggal, tumbuh, dan berkembang.
yang terjadi di lembaga pendidikan
terlihat sekali bagaimana pentingnya
seperti
peran keluarga sangat signifikan
lembaga pendidikan lainnya. Hal ini
dalam perkembangan, pembentukan
menjadi
karakter, serta masa depan anak.
masyarakat. Bagaimana tidak, anak
Bukan hal yang mustahil ketika
sebagai penerus bangsa yang berhak
sebuah keluarga khususnya orangtua
mendapatkan
yang
merupakan
pembentukan
mampu
sekolah,
ironi
pesantren,
yang
ada
dan
dalam
perlindungan,
elemen
awal
pendidikan, dan pendampingan yang
kepribadian
anak
baik
memberikan
dari
keluarga,
lingkungan
dan
masyarakat, maupun sekolah justru
maupun
mendapatkan perlakuan yang salah
tanggungjawab secara maksimal akan
bahkan mengarah ke kerasan fisik
mampu meciptakan generasi penerus
maupun ferbal dan tidak sesuai
bangsa
dengan apa yang diharapkan.
menjalankan
peran
yang
bertanggungjawab
terhadap agama, nusa, dan bangsa.
Berdasarkan
fenomena
Sehingga apa yang selama ini dicita –
tersebut,
citakan oleh suatu bangsa akan
melakukan
dicapai.
kekerasan anak yang terjadi di
Namun
tertarik
penelitian
untuk
terkait
di
Kabupaten Wonogiri. Yang menarik
berbanding
dari penelitian kali ini adalah dalam
terbalik dengan harapan ataupun yang
penelitian ini akan menfokuskan pada
dicita – citakan selama ini. Salah satu
alasan mengapa kekerasan terhadap
yang menjadi pusat perhatian dan
anak
menjadi bahan pembicaraan dewasa
lingkungan keluarga.
masyarakat
ini
adalah
kenyataan
penulis
seringkali
mengenai
kekerasan
terhadap anak. Kekerasan pada anak
justru
banyak
terjadi
di
Tujuan Penelitian
dapat kita jumpai kapanpun dan
Penelitian
dimanapun, baik di kota maupun di
Menjelaskan
desa,
terhadap anak banyak terjadi di
di
keluarga
maupun
di
lingkungan masyarakat, bahkan saat
ini
bertujuan
alasan
lingkungan keluarga.
untuk
kekerasan
5
negara dan pemerintah yang pernah
Kajian Pustaka
1.
ada dalam sejarah masyarakat Jawa.
Konsep Keluarga
Ideologi ini menekankan pada peran
Hildred
(1985)
reproduksi dan domestik perempuan
menjelasakan bahwa secara universal
sangat ditekankan pada perempuan
keluarga merupakan jembatan antara
kelas atas di zaman kerajaan –
individu dan budayanya, nilai-nilai
kerajaan
kemasyarakatan umum tertentu yang
digambarkan sebagai makhluk yang
tersebar
pembenaran
anggun, halus, rapi tetapi tidak
lembaga
memiliki daya pikir yang tinggi, dan
serta
Geertz
memberikan
makna
kekeluargaan
bagi
dan
berlaku
pula
Jawa.
Perempuan
kurang memiliki kemampuan serta
sebagai petunjuk normative untuk
kekuatan
tenggang – menenggang di antara
dianggap tidak mampu menduduki
para anggota keluarga setiap hari juga
jabatan – jabatan strategis dalam
di lingkungan sosial sekitarnya. Jadi
pemerintahan dan masyarakat.
secara umum menurut Geertz bahwa
keluarga merupakan miniatur suatu
masyarakat, karena semua norma –
norma,
maupun
aturan
dalam
bertingkah laku serta nilai – nilai
dalam
keluarga
tersebut
dapat
diterapkan dalam masyarakat secara
umum.
spiritual,
sehingga
Berdasarkan
ia
ideologi
familiarisme peran utama laki – laki
adalah
sebagai
penguasa
utama
rumah tangga yang memiliki hak
istimewa dan otoritas terbesar dalam
keluarga. Laki – laki dalam posisinya
sebagai suami dan ayah merupakan
figur sentral dalam keluarga. Dengan
Abdullah
(1997)
menjelaskan
demikian, anggota keluarga lain
bahwa dalam kebudayaan masyarakat
seperti istri dan anak harus tunduk
jawa
pada
mengenal
ideologi
penguasa
utama
tersebut.
Familialisme. Ideologi familialisme
Kewibawaan seorang laki – laki/ayah
ini dilestarikan dan secara terus
harus dijaga oleh anggota keluarga
menerus
karena
diredefinisikan
melalui
atribut
tersebut
sangat
hukum – hukum adat yang berlaku,
menentukan status dan kedudukan
kepercayaan – kepercayaan, serta
keluarga dalam masyarakat. Dalam
6
masyarakat,
sebagai
kelaurga
bentuk
diibaratkan
mikro
dari
masyarakat Jawa telah mendapatkan
latihan
kesopanan
sejak
mereka
masyarakat, maka kedudukan laki –
masih bayi, dalam berkomunikasi
laki dalam keluarga memberikan
sang
legimitasi bagi laki – laki untuk
dibiasakan
mendapatkan prestise dan kekuasaan
kalimat-kalimat yang sopan serta
dalam masyarakat.
santun terhadap orang lain. Seorang
2.
Kedudukan
Anak
dalam
anak
juga
diajarkan
untuk
dan
menggunakan
anak diajarkan untuk dapat hidup
harmonis dengan sanak saudaranya
Keluarga
juga bahkan dengan orang lain, jika
Dalam keluarga Jawa,
anak
sang anak tidak bertingkah laku baik
merupakan sosok yang istimewa
maka ia akan mendapatkan sanksi
dalam
perlu
langsung berupa hukuman agar anak
dan
tersebut tidak mengulanginya dan
keluarga
mendapatkan
bimbingan
dan
perlakuan
khusus
dari
seluruh
anggota keluarga tersebut. Hildred
Geertz (1985) menjelaskan bahwa
dalam keluarga jawa memandang
bahwa anak-anak adalah hal yang
disenangi dan diinginkan karena
anaklah yang dipandang akan mampu
meneruskan juga mengurusi orang
tuanya kelak ketika tua sehingga
keinginan memiliki anak-anak sangat
besar dalam masyarakat jawa.
Hubungan sosial seorang anak
baik
dengan
anggota
keluarga
maupun dengan lingkungannya juga
menjadi perhatian bagi masyarakat
Jawa, untuk dapat tumbuh sebagai
seorang
yang
baik,
anak-anak
dapat bersikap patuh.
Pelajaran penting yang harus
dikuasai oleh anak sebagai bagian
dari
pertumbuhannya
bagaimana
dan
ialah
bilamana
harus
bertindak-tanduk dengan tata karma.
Yang menjadi
komponen dalam
“Hormat” dalam masyarakat jawa
adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi
berarti takut, isin dapat diartikan
sebagai
malu,
enggan
ataupun
canggung.
Dari
pemaparan
mengenai
kedudukan anak dalam keluarga yang
disampaikan
menjelaskan
Geertz
bahwa
di
atas
secara
7
keseluruhan
seseorang
anak
yang
merupakan
penting
dalam
dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan
anak
(Suyanto,
keluarga. Ketika orangtua berhasil
2010:28). Sedangkan Henry Kempe
mendidik anak dengan baik, maka
menyebut kasus kasus penelantaran
masyarakat
bahwa
dan penganiayaan yang dialami anak
keluarga tersebut merupakan keluarga
– anak dengan istilah Batered Child
yang berhasil. Ataupun sebaliknya,
Syndrome yaitu: “setiap keadaan yang
ketika orangtua tersebut gagal dalam
disebabkan kurangnya perawatan dan
mendidik anak, maka masyarakat
perlindungan terhadap anak oleh
menganggap bahwa keluarga tersebut
orangtua atau pengasuh lain.” Disini
merupakan keluarga yang gagal. Dari
yang
hal inilah maka orangtua melakukan
kekerasan terhadap anak tidak hanya
segala upaya untuk mendidik anak
luka berat saja, tetapi termasuk juga
mereka dengan baik karena seolah –
luka
olah ada tuntutan dari masyarakat
sekalipun dan diikuti kegagalan anak
untuk
untuk berkembang baik secara fisik
menganggap
melakukan
hal
tersebut.
diartikan
memar
Bahkan tidak jarang pula orangtua
maupun
melakukan kekerasan terhadap anak
2010:27).
dengan alasan untuk mendidik supaya
si anak dapat terlihat baik dalam
masyarakat.
3.
atau
tindak
membengkak
intelektualnya
(Suyanto,
Menurut Suyanto (2010:29), ada
lima bentuk kekerasan terhadap anak,
yaitu : (1) kekerasan fisik, bentuk ini
Kekerasan terhadap Anak
Secara
sebagai
teoritis,
kekerasan
terhadap anak dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik,
mental, atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang – orang yang
memiliki tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang mana itu
semua diindikasikan dengan kerugian
paling
mudah
dikenali.
Korban
kekerasan jenis ini biasanya tampak
secara langsung pada fisik korban
seperti; luka memar, berdarah, dan
bentuk lain yang kondisinya lebih
berat. (2) Kekerasan Psikis, bentuk ini
tidak begitu mudah dikenali. Wujud
dari kekerasan ini bisa berupa kata –
kata kasar, ejekan, mempermalukan,
dan sebagainya. Dampak kekerasan
8
jenis ini akan berpengaruh pada
Sumjati (2001:28) menjelaskan
situasi perasaan yang tidak aman dan
secara sederhana tindak kekerasan
nyaman,
dalam
diartikan sebagai setiap perilaku yang
mengambil keputusan, dan bahkan
dapat menyebabkan perasaan atau
menurunnya harga diri serta martabat
tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman.
korban.
Perasaan tidak nyaman itu bisa
minder,
(3)
lemah
Kekerasan
seksual,
termasuk dalam kategori ini adalah
berupa:
segala tindakan yang mencul dalam
kesedihan,
bentuk paksaan untuk melakukan
kejengkelan,
hubungan seksual. (4) Kekerasan
sedangkan keadaan fisik yang tidak
Ekonomi, kekerasan jenis ini sangat
nyaman bisa berupa: lecet, luka,
sering
memar, patah tulang, dan sebagainya.
terjadi
di
lingkungan
keluaraga. Pada anak, kekerasan ini
sering
terjadi
ketika
orang
tua
memaksa anak yang masih usia di
bawah umur untuk dapat memebrikan
kontribusi
ekonomi
keluarga,
sehingga fenomena penjualan anak,
pengamen jalanan, pengemis anak,
dan lain – lain kian merebak. (5)
Kekerasan
anak
secara
sosial,
kekerasan anak jenis ini mencakup
penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap
dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak
kekhawatiran,
ketakutan,
ketersinggungan,
atau
kemarahan,
Berkenaan dengan ini, aspek
kualitatif dari tindakan ini dianggap
lebih
penting
untuk
diketahui
daripada aspek kuantitatifnya, karena
tindak kekerasan ini memberikan
akibat
serius
kehidupan
2001:29).
terhadap
manusia
Selain
penelitian
(Sumjati,
itu,
mengenai
kualitas
berbagai
kekerasan
terhadap anak ternyata sangat jarang
yang memberikan perhatian pada
bentuk
–
bentuk
kekerasannya
sendiri. Oleh karena itu, pembicaraan
kali ini akan lebih difokuskan pada
terhadap proses tumbuh kembang
bentuk – bentuk kekerasan yang
anak.
dialami oleh anak – anak di Indonesia
4.
Kekerasan
terhadap
dalam Perspektif Budaya
Anak
dalam proses sosialisasi mereka.
9
Sebagai gejala sosial budaya,
memaksa individu, individu dipaksa
tindak kekerasan terhadap anak tidak
dibimbing,
muncul begitu saja dalam situasi yang
atau dengan cara tertentu dipengaruhi
kosong atau netral. Ada kondisi –
oleh berbagai tipe fakta sosial dalam
kondisi
lingkungan sosialnya.
budaya
masyarakat,
tertentu
yakni
dalam
berbagai
sosial
ini
diyakinkan,
didorong,
Tipe fakta
mempunyai
kekuatan
pandangan, nilai dan norma sosial,
memaksa
yang seolah memudahkan terjadinya
kemauan individu itu sendiri. (3)
atau mendorong dilakukannya tindak
Bersifat umum dan tersebar, dengan
kekerasan terhadap anak tersebut. Hal
kata lain, fakta sosial itu merupakan
inilah yang dimaksud dengan latar
milik bersama, bukan sifat individu
belakang budaya terjadinya kekerasan
perorangan,
terhadap anak.
bersifat kolektif, dan pengaruhnya
5.
individu
terlepas
tetapi
dari
benar-benar
terhadap individu merupakan hasil
Teori Fakta Sosial
dari sifat kolektifnya.
Emile Durkheim berpendapat
bahwa sosiologi adalah ilmu yang
METODE PENELITIAN
Penelitian
memepelajari apa yag dimaksud fakta
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
dengan
Durkheim fakta sosial merupakan
pendekatan
deskriptif
kualitatif
cara
dan
dengan jenis penelitian studi kasus.
berperasaan, yang berada di luar
Penelitian ini dilaksanakan Desa
inidividu, dan mempunyai kekuatan
Klunggen
memaksa yang mengendalikannya
Kabupaten Wonogiri dengan teknik
(Sunarto,
tiga
pemilihan informan berupa purposive
karakteristik fakta sosial, yaitu : (1)
sampling. Informan yang dipilih
bersifat
cara
dalam penelitian ini adalah orangtua
bertindak, berpikir, dan berperasaan
yang telah memiliki anak selama
yang memperlihatkan sifat patut
lebih dari 15 tahun, orangtua dengan
dilihat sebagai sesuatu yang berada di
latar
luar kesadaran individu. (2) bersifat
berbeda,
sosial
(fait
social).
bertindak,
berpikir,
2000:11).
eksternal,
Menurut
Ada
bahwa
Kecamatan
belakang
Slogohimo
pekerjaan
masyarakat
di
yang
Desa
10
Klunggen, dan anak – anak yang
Pandangan yang salah ini
tinggal di lingkungan tersebut. Data
masih banyak digunakan oleh
yang digunakan berupa data primer
orangtua lainnya sampai saat ini.
dan
Mereka
sekunder
melalui
teknik
observasi,
dan
perlakuan keras dan kasar malah
data
justru mampu membentuk karakter
menggunakan triangulasi metode dan
yang kuat dan baik anak di massa
triangulasi sumber. Analisis data
yang akan datang atau massa
dalam penelitian ini diawali dengan
dimana anak tumbuh dewasa.
wawancara,
dokumentasi.
Uji
validitas
pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan
data,
dan
terakhir
menarik kesimpulan.
menganggap
bahwa
Anak – anak yang mengalami
tindak
kekerasan
di
rumah
biasanya akan bersikap murung,
ketakutan, tidak bersemangat, dan
HASIL PENELITIAN
1. Pendidikan
memprihatinkan, tidak jarang akan
Anak
dalam
Keluarga yang Mengedepankan
Kekerasan
(Anita
Lie
kepercayaan
dalam
diri
Suyanto,
2010:77). Abu Huraerah juga
Berdasarkan wawancara yang
peneliti lakukan dengan informan
menunjukan bahwa mereka seolah
menghalalkan kekerasan dengan
tujuan mendidik anak. Bahkan
salah satu informan menyebutkan
bahwa cara mendidik anaknya saat
ini meniru apa yang orangtuanya
dulu lakukan padanya. Hal ini
membuktikan
pendidikan
kehilangan
bahwa
itu
pola
sebenarnya
menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
menjelaskan dampak kekerasan
terhadap kondisi psikologis anak.
Dijelaskan bahwa anak - anak
yang masih kecil sering susah tidur
dan bangu di tengah malam
menjerit ketakutan. Mereka juga
ada yang menderita Psikosomatik,
misalnya asma. Ketika mereka
semakin besar, anak laki – laki
cenderung menjadi sangat agresif
dan bermusuhan dengan orang
lain, sementara anak perempuan
sering mengalami kemunduran
11
dan menarik diri ke dalam dunia
minat, kebutuhan, dan gaya bagi
fantasi sendiri.
anak sering kali diabaikan oleh
2. Pelanggaran
Anak
terhadap
dalam
Hak
masyarakat, bayak alasan lain
Setiap orangtua pasti selektif
dan menginginkan yang terbaik
untuk anaknya. Namun saat ini
masih banyak kita temui dalam
orangtua
yang
memaksakan kehendak
kepada
anaknya untuk bersekolah sesuai
dengan pilihan mereka, baik ke
sekolah negeri, pondok pesantren,
ataupun sekolah – sekolah swasta
yang menurut mereka memiliki
kualitas terbaik.
Anak
paling
posisi
berkepentingan
untuk
tidak memiliki kesempatan untuk
pilihan
mereka
untuk menentukan dimana dia
akan sekolah. Anak seringkali
dijadikan sebagai objek demi
gengsi bahkan ego orangtuanya
agar terlihat memiliki tingkatan
lebih
bagi anaknya. Misalnya karena
alasan ekonomi, khawatir akan
pengaruh
buruk
lingkungan,
bahkan ada yang ikut – ikutan tren
saja. Kita ambil contoh orangtua
yang
memilih
memasukkan
anaknya ke pondok pesantren.
Salah satu alasan mereka memilih
memasukkan anaknya ke pondok
pesantren dengan alasan khawatir
dengan pergaulan di lingkungan
yang
mendapatkan pendidikan justru
yang
orangtua dalam memilih sekolah
tempat mereka tinggal.
dalam
menyampaikan
Selain alasan gengsi dalam
Menentukan
Pilihan Sekolah
masyarakat
orangtua.
tinggi
dalam
masyarakat. Sementara sesuai atau
tidaknya sekolah tersebut dengan
Akibat yang muncul pada
anak
yang
orangtuanya
dipaksa
untuk
oleh
bersekolah
sesuai pilihan orangtuanya adalah
anak tidak mampu mengikuti
peajaran
dengan
adanya
rasa
orangtuanya,
baik
karena
paksaan
karena
dari
memiliki
prestasi yang kurang baik di
sekolah, maka anak menjadi sosok
yang minder dan kurang percaya
diri.
12
Kebanyakan
orangtua
PEMBAHASAN
menganggap bahwa pendidikan
Faktor terjadi kekerasan terhadap
yang keras merupakan hal yang
anak dalam keluarga
wajar. “Keras tidak apa – apa
Berdasarkan temuan penelitian,
maka
terdapat
beberapa
alasan
mengapa kasus kekerasan terhadap
anak dalam keluarga selalu ada dalam
masyarakat,
diantaranya
adalah
asal mendidik”. Yang dimaksud
keras disini adalah menerapkan
aturan – aturan yang ketat dan
disertai dengan sanksi – sanksi jika
anak melanggar berupa bentakan,
ataupun pukulan. Tidak jarang
sebagai berikut:
ketika pendidikan yang keras
1. Pewarisan
kekerasan
antar
generasi
dalam
keluarga
menimbulkan
perilaku kasar dari orangtuanya.
Banyak anak belajar perilaku
Anggapan yang salah ini terus
kekerasan dari orangtuanya dan
berlanjut
ketika tumbuh menjadi dewasa
sekarang, karena mereka belum
mereka
hingga
tindakan
menyadari akibat dari perlakuan
terhadap
anaknya.
keras
demikian,
perilaku
perkembangan psikologis anak –
diwarisi
anaknya.
kekerasan
yang
generasi.
Seperti
dikemukakan
oleh
berinisial
yang
salah
AI
satu
bahwa
dan
kasar
bagi
Anak – anak memang selalu
(transmintted) dari generasi ke
informat
dulu
melakukan
kekerasan
Dengan
dari
peka.
Sering
orangtua
tidak
menyadari bahwa apa yang terjadi
di
antara
mereka
begitu
anak.
Sering
ketika dia kecil dia dididik keras
mempengaruhi
oleh orangtuanya, bahkan ketika
dikatakannya, anak merupakan
beliau melakukan kesalahan, tidak
cermin dari apa yang terjadi dalam
jarang
suatu rumah tangga (Huraerah,
orangtuanya
menghukumnya
cara
2012: 56). Jika suasana keluaraga
memukul,
sehat dan bahagia, maka wajah
dengan dalih untuk mendidiknya.
anak begitu ceria dan bersih.
menjewer
dengan
ataupun
13
Sebaliknya jika mereka murung
seperti
dan sedih, biasanya terjadi sesuatu
pemerkosaan. Kalaupun kemudian
yang
dengan
diketahui umum biasanya berkat
wadah
peran
berkaitan
orangtuanya.
Sebagai
pembunihan
dan
ataupun
keterlibatan
media
sosialisasi primer, dimana anak
massa atau karena kejadian yang
belajar untuk pertama kalinya
menghebohkan.
mengenal nilai – nilai dan cara
bertingkah laku, perilaku orangtua
sering
anak
mempengaruhi
–
anaknya
perilaku
kelak.
Jika
kekerasan begitu domonan, tidak
mengherankan
jika
melakukannya
terbawa
kemudian
dan
sampai
bahkan
dia
diwasa.
Karena kekerasan begitu sering
dalam
keluarganya,
maka
ia
menganggap hal tersebut sebagai
hal yang “normal” dan sudah
seharusnya dilakukan.
sulit
diungkap
ke
Sebagai suatu kasus yang
tabu
dan
disadari
melanggar batas – batas etika,
kesus – kasus kekerasan terhadap
anak
dalam
keluarga
jarang
terekspos keluar. Hanya kasus –
kasus
anaknya atau menghajar keras
anaknya sekalipun, sepanjang apa
yang mereka lakukan tidak sampai
menimbulkan luka fisik yang
serius
atau
kematian,
maka
kejadian itu akan lewat dan
menguap begitu saja. Kesulitan
dalam
mengungkapkan
kasus
kekerasan terhadap anak bisa
disebabkan oleh faktor internal
Huraerah,
2012:
60).
Yang
dimaksud faktor internal adalah
faktor dari korbannya itu sendiri
ruang publik
tergolong
atau ibu yang memukul kepala
maupun eksternak (Suharto dalam
2. Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga
Sebagai contoh seorang ayah
kekerasan
berat
yang
seringkali muncul ke ruang publik,
yang menolak melaporkan ke
masyarakat,
eksternal
sedangkan
adalah
masyarakat
yang
faktor
faktor
dari
menganggap
biasa suatu kekerasan terhadap
anak dalam keluarga.
Selain itu ada dua faktor lain
yang
menyebabkan
kasus
14
Dalam
kekerasan terhadap anak dalam
teori
fakta
sosial,
menjelaskan
bahwa
keluarga sulit diungkap ke ruang
Durkheim
publik, yaitu tidak adanya kontrol
semua aktivitas seorang inidividu
sosial terhadap terjadinya kasus
dalam
atau tindakan kekerasan terhadap
oleh faktor eksternal atau faktor di
anak
luar
dalam
keluarga
dan
masyarakat
dirinya
dipengaruhi
yang
bersifat
penolakan dari korban/anggota
memaksa.
lain dalam keluarga sendiri untuk
terjadi pada anak yang hidup
melaporkan
dalam lingkungan keluarganya.
ke
ranah
Durkheim
publik/masyarakat.
3. Latar belakang budaya (Adanya
hubungan
kedudukan
masyarakat
yang
dalam
selalu
menempatkan anak dalam posisi
Kenyataan itu juga
menjelaskan
bahwa
semua perilaku anak sejak lahir
hingga dewasa selalu mendapat
kontrol dari luar dirinya, dan
ketika dia melakukan perbuatan
yang tidak sesuai denganapa yang
terbawah)
ditetapkan
Pandangan masyarakat yang
masyarakat
oleh
keluarga
maka
ia
dan
akan
menyebutkan anak harus patuh
mendapatkan sanksi dari luar,
pada orangtua sangat berkembang
dalam hal ini yang dimaksud luar
luas dalam masyarakat dan bahkan
adalah keluarga dan masyarakat.
seringkali pandangan ini disalah
artikan oleh orangtua. Berdasarkan
pandangan ini kalau si anak lalai
dalam
menjalankan
tugas
membantu
meringankan
beban
orangtua
sebagaimana
yang
diharapkan orangtua mereka, dia
akan
memperoleh
berabagai
macam sanksi atau hukuman, yang
kemudian sampai pada tindak
kekerasan.
Masyarakat
selalu
memposisikan anak pada tangga
terbawah, sehingga orang dewasa
seolah – olah cenderung memiliki
hak untuk memperlakukan anak –
anak
sesuka
hati
mereka,
sementara anak sendiri seolah
tidak memiliki hak apapun, baik
hak untuk bersuara ataupun hak
untuk protes. Anak dipaksa untuk
tunduk
terhadap
aturan
yang
15
dibuat oleh orang yang lebih
dengan orang dewasa diperkuat
dewasa darinya.
dengan
Nilai, norma, dan kebiasaan
yang berkembang di masyarakat,
tanpa sadar selalu menempatkan
anak hanya sebagai objek bagi
orang dewasa, dan bahkan seolah
orangtua
berhak
melakukan
apapun terhadap anak – anaknya,
dengan alasan karena mereka yang
melahirkan, membesarkan, dan
membiayai
anaknya.
Ketika
seoarang anak berani membantah
atau bahkan melawan orangtua,
selain dicap sebagai anak durhaka,
tidak jarang kemudian orangtua
memperlakukan anak – anaknya
secara kasar, memaki atau bahkan
memukul dengan harapan anak
akan jera dan kembali ke sikapnya
sebagai anak yang patuh. Anak –
anak yang menjadi korban tindak
kekerasan dan perlakuan kasar dari
orangtua
atau
orang
lainnya hanya akan
dewasa
bersikap
pasrah dan tidak mampu untuk
berbuat apa – apa. Seorang anak
yag dipukul orangtuanya, pasti ia
akan sama sekali tidak berani
melawan.
Ketidakseimbangan
hubungan antara anak – anak
ketidakseimbangan
kultural yang ditanamkan oleh
orang dewasa kepada anak – anak
(Sumjati, 2001:45). Dengan kata
lain melalui ketidakseimbangan
ini, orang dewasa/orangtua sadar
atau tidak sadar telah membangun
ketidakseimbangan
kultural
(ketidakseimbangan
secara
budaya) dalam hubungan mereka
dengan
anak,
yang
menguntungkan orang dewasa.
Hasilnya adalah anak – anak
menerima hubungan yang tidak
seimbang antara mereka dengan
orang
dewas/orangtua
di
sekelilingnya. Disini anak tanpa
sadar
telah
hubungan
mereproduksi
asimetris
yang
merugikan. Inilah realita yang
terjadi di dalam keluarga dan
masyarakat saat ini, dan ini pula
gambaran nyata kondisi kultural
yang
menyebabkan
terhadap
anak
kekerasan
akan
terjadi
kapanpun dan dimanapun selama
pemahan kutural tersebut terus
berkembang dan hidup dalam
masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
16
Berdasarkan pembahasan yang
telah
dipaparkan,
maka
dapat
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. (1997). Sangkan
disimpulkan bahwa ada tiga faktor
yang menyebabkan kasus kekerasan
terhadap anak dalam keluaraga, yaitu:
(1)
Pewarisan
kekerasan
Paran
Gender.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar Offset.
antar
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian
generasi
Kualitatif. Jakarta: Kencana
(2) Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga sulit diungkap ke ruang
Frans Husken dan Huub de Jonge.
Kekerasan
dan
publik. (3) Latar belakang budaya
(2003).
(Adanya hubungan kedudukan dalam
Dendam
masyarakat yang selalu menempatkan
Terjemahan oleh: Imam Aziz.
anak dalam posisi terbawah).
Yogyakarta: LkiS
Berdasarkan temuan penelitian
Geertz,
di
Clifford.
Indonesia,
(1992).
maka peneliti menyarankan pada
Kebudayaan.
masyarakat hendaknya lebih peka
Yogyakarta:Kanisius
terhadap kekerasan terhadap anak
yang terjadi di lingkungan mereka,
Tafsir
Geertz, Hildred. (1985). Keluarga
Jawa. Jakarta: Grafiti Pers
sehingga ketika ada kasus kekerasan
bisa menasihati atau memberitahukan
ke pihak yang berwajib dan pada
orangtua untuk mengetahui dampak –
dampak negatif yang ditimbulan dari
kekerasan
(kekerasan
fisik
dan
kekerasan psikis) yang dilakukan
kepada anak terhadap perkembangan
Huraerah, Abu. (2012). Kekerasan
Terhadap Anak. Bandung: Nuansa
Cendekia
Johnsons, Doyle Paul. (1994). Teori
Sosiologi Klasik dan Modern,
Tarjamahan oleh: Robert MZ
LAwang.
Jakarta:
PT
Gramedia
fisik dan psikis anak serta orangtua
harus mengetahui metode yang tepat
Moeleong, Lexi J. (2001). Metodologi
untuk mendidik anak – anaknya tanpa
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
menggunakan kekerasan.
PT Remaja Rosdakarya.
17
Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi
Penelitian. Jakarta: Kencana.
Ritzer,
George.
Teori
(2004).
Sosiologi
Modern,
Wisadiro, Darsono. (2004). Sosiologi
Pedesaan. Malang:
Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang
Tarjamahan oleh: Alimandan.
Yin, K. Robert. (2000). Studi Kasus.
Jakarta: Prenada Media Group
Jakarta: PT Raja Grafindo
Santoso, Thomas. (2002). Teori –
Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia
Persada
DARI INTERNET
http://kpai.go.id/
Indonesia
KPAI-Pelaku
Kekerasan-Terhadap-Anak
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian
Tiap-Tahun-Meningkat
Kuantitatif Kualitatif Dan
_Komisi-Perlindungan-Anak
R&D. Bandung:Alfabeta
Indonesia-(KPAI).htm
Sumjati. (2001). Manusia dan
Dinamika Budaya. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM
http://solopos.com/ PEMBUNUHAN
WONOGIRI-Korban
Kekerasan-Seksual-Tersangka-
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah
Sosial
Anak.
Jakarta:
Kencana
Taufik
Mohammda,
Riki-Ada-9-Anak!-SolorayaSOLOPOS.COM.htm
http://PENGANIAYAAN
dkk.
2013.
WONOGIRI-Balita-di-
Hukum Perlindungan Anak
Wonogiri-Diduga-Dianiaya
dan
Ibunya-Hingga-Lebam-
Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Rineka
Cipta
Soloraya-SOLOPOS.COM.htm
18