KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL | Praditama | SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant 8832 18652 1 SM

1

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM
PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL
Sandhi Praditama, Nurhadi, Atik Catur Budiarti
Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

sandhi858@gmail.com

ABSTRACT
This research aimed to explain the factors causing children abuse within
family.
This research was taken place in Klunggen Village of Slogohimo Sub
District of Wonogiri Regency with purposive sampling as the sampling
technique. The informant selected in this research was parents with children
above 15 years, parents with different occupation background, members of
society in Klunggen Village, and children living in that neighborhood. This study
was a qualitative research with descriptive qualitative approach with case study
type. The data used included primary and secondary data collected using
interview, observation, and documentation techniques. Data validation was

carried out using method and source triangulations. Data analysis in this
research started with data collection, data reduction, data display, and ended
with conclusion drawing.
The result of research showed that there were three factors causing children
abuse occurring within family: (1) violence inheritance from one generation to
another, (2) children abuse within family was difficult to disclose to public
space, and (3) cultural background (There was a relationship between positions
within society that always puts the children on the lowest position).
Durkheim’s social fact theory explained that the children as a weak
individual are always put on the lowest position within society. Thus, all of they
do should be consistent with what the parents/adult instructs and teaches within
family. When they did something beyond adult’s rule, they would be punished.
Keywords: violence, child, family

2

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang meneyebabkan
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan Desa Klunggen Kecamatan Slogohimo

Kabupaten Wonogiri dengan teknik pemilihan informan berupa purposive
sampling. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah orangtua yang telah
memiliki anak selama lebih dari 15 tahun, orangtua dengan latar belakang pekerjaan
yang berbeda, masyarakat di Desa Klunggen, dan anak – anak yang tinggal di
lingkungan tersebut. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Data yang digunakan berupa data
primer dan sekunder melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Uji
validitas data menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis
data dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan data, dan terakhir menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan kekerasan
terhadap anak terjadi dalam keluarga ada tiga yaitu, (1) Pewarisan kekerasan antar
generasi (2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang
publik (3) Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat
yang selalu menempatkan anak dalam posisi terbawah).
Teori fakta sosial Durkheim menjelaskan bahwa anak sebagai individu yang
lemah selalu diposisikan terbawah dalam masyarakat. Sehingga semua yang dia
lakukan harus sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan oleh orang
dewasa/orangtua dalam keluarga. Ketika anak melakukan sesuatu yang diluar
aturan orang dewasa tersebut, maka anak tersebut akan mendapat sanksi dari

perbuatannya.
Kata Kunci : kekerasan, anak, keluarga

PENDAHULUAN

terjadi di pelosok negeri ini, seperti

Latar Belakang Masalah

Wonogiri. Dua kasus yang sangat

Saat ini, kekerasan terhadap

menyita perhatian publik adalah

anak tidak hanya di kota besar saja

kasus seorang anak berusia di bawah

seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan


lima tahun (balita) berinisial Sy (4)

kota – kota besar saja yang terekspos

warga

media. Namun belakangan ini ramai

Wonogiri, diduga menjadi korban

diperbincangkan kekerasan anak yang

penganiayaan. Bocah itu mengalami

Slogohimo,

Kabupaten

luka lebam di mukanya. muncul


3

dugaan pelaku penganiayaan adalah

pelaku kekerasan dengan lokasi kasus

ibu kandung Sy, berinisial Sry (35)

kekerasan pada anak ada 3, yaitu di

(Solopos.com, Rabu 2/9/2015). Kasus

lingkungan keluarga, di lingkungan

penganiayaan itu terbongkar ketika

sekolah

ada salah satu tetangga yang datang


masyarakat. Hasil monitoring dan

ke rumah korban. Warga curiga

evaluasi KPAI tahun 2012 di 9

karena mata korban yang sedang tidur

provinsi menunjukkan bahwa 91

kondisinya

persen

lebam

dan

bengkak.


dan

di

anak

lingkungan

menjadi

korban

ibu

kekerasan di lingkungan keluarga,

kandungnya, dijelaskan bahwa anak

87.6 persen di lingkungan sekolah


tersebut jatuh. Tapi warga tidak

dan 17.9 persen di lingkungan

percaya dan melaporkannya kepada

masyarakat. Harian Terbit, Minggu

kepala desa setempat. Laporan itu pun

(14/6/2015).

Setelah

ditanyakan

kepada

Berdasarkan data dari KPAI di


dilanjutkan ke Polsek Slogohimo,
yang

kemudian

Polres

Wonogiri.

diketahui

ke

atas, anak korban kekerasan di

Belakangan,

lingkungan masyarakat jumlahnya


dilimpahkan

perempuan

itu

sering

Artinya, anak rentan menjadi korban

menganiaya anak mungilnya itu.
Berdasarkan data yang penulis
peroleh dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menyatakan
bahwa kekerasan pada anak selalu
meningkat

setiap

tahun.


Hasil

pemantauan KPAI dari 2011 sampai
2014,

terjadi

peningkatan

termasuk rendah yaitu 17,9 persen.

kekerasan

kasus kekerasan, 2012 ada 3512
kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada
5066 kasus. Wakil Ketua KPAI,
Maria Advianti mengatakan bahwa
anak bisa menjadi korban ataupun

di

lingkungan

keluarga dan sekolah. Lingkungan
yang mengenal anak-anak tersebut
cukup dekat. Pelaku kekerasan pada
anak justru lebih banyak berasal dari
kalangan yang dekat dengan anak.
Pada

yang

sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178

justru

hakikatnya

keluarga

merupakan tempat pertama bagi anak
untuk

memeperoleh

pengetahuan,

pembinaan mental, dan pembentukan
kepribadian

yang

nantinya

akan

ditambah dan disempurnakan oleh
lingkungan

sekolah

maupun

4

lingkungan sosial

diamana anak

ini sudah banyak kekerasan pada anak

tinggal, tumbuh, dan berkembang.

yang terjadi di lembaga pendidikan

terlihat sekali bagaimana pentingnya

seperti

peran keluarga sangat signifikan

lembaga pendidikan lainnya. Hal ini

dalam perkembangan, pembentukan

menjadi

karakter, serta masa depan anak.

masyarakat. Bagaimana tidak, anak

Bukan hal yang mustahil ketika

sebagai penerus bangsa yang berhak

sebuah keluarga khususnya orangtua

mendapatkan

yang

merupakan

pembentukan
mampu

sekolah,

ironi

pesantren,

yang

ada

dan

dalam

perlindungan,

elemen

awal

pendidikan, dan pendampingan yang

kepribadian

anak

baik

memberikan

dari

keluarga,

lingkungan

dan

masyarakat, maupun sekolah justru

maupun

mendapatkan perlakuan yang salah

tanggungjawab secara maksimal akan

bahkan mengarah ke kerasan fisik

mampu meciptakan generasi penerus

maupun ferbal dan tidak sesuai

bangsa

dengan apa yang diharapkan.

menjalankan

peran

yang

bertanggungjawab

terhadap agama, nusa, dan bangsa.

Berdasarkan

fenomena

Sehingga apa yang selama ini dicita –

tersebut,

citakan oleh suatu bangsa akan

melakukan

dicapai.

kekerasan anak yang terjadi di

Namun

tertarik

penelitian

untuk
terkait

di

Kabupaten Wonogiri. Yang menarik

berbanding

dari penelitian kali ini adalah dalam

terbalik dengan harapan ataupun yang

penelitian ini akan menfokuskan pada

dicita – citakan selama ini. Salah satu

alasan mengapa kekerasan terhadap

yang menjadi pusat perhatian dan

anak

menjadi bahan pembicaraan dewasa

lingkungan keluarga.

masyarakat

ini

adalah

kenyataan

penulis

seringkali

mengenai

kekerasan

terhadap anak. Kekerasan pada anak

justru

banyak

terjadi

di

Tujuan Penelitian

dapat kita jumpai kapanpun dan

Penelitian

dimanapun, baik di kota maupun di

Menjelaskan

desa,

terhadap anak banyak terjadi di

di

keluarga

maupun

di

lingkungan masyarakat, bahkan saat

ini

bertujuan
alasan

lingkungan keluarga.

untuk

kekerasan

5

negara dan pemerintah yang pernah

Kajian Pustaka
1.

ada dalam sejarah masyarakat Jawa.

Konsep Keluarga

Ideologi ini menekankan pada peran
Hildred

(1985)

reproduksi dan domestik perempuan

menjelasakan bahwa secara universal

sangat ditekankan pada perempuan

keluarga merupakan jembatan antara

kelas atas di zaman kerajaan –

individu dan budayanya, nilai-nilai

kerajaan

kemasyarakatan umum tertentu yang

digambarkan sebagai makhluk yang

tersebar

pembenaran

anggun, halus, rapi tetapi tidak

lembaga

memiliki daya pikir yang tinggi, dan

serta

Geertz

memberikan
makna

kekeluargaan

bagi
dan

berlaku

pula

Jawa.

Perempuan

kurang memiliki kemampuan serta

sebagai petunjuk normative untuk

kekuatan

tenggang – menenggang di antara

dianggap tidak mampu menduduki

para anggota keluarga setiap hari juga

jabatan – jabatan strategis dalam

di lingkungan sosial sekitarnya. Jadi

pemerintahan dan masyarakat.

secara umum menurut Geertz bahwa
keluarga merupakan miniatur suatu
masyarakat, karena semua norma –
norma,

maupun

aturan

dalam

bertingkah laku serta nilai – nilai
dalam

keluarga

tersebut

dapat

diterapkan dalam masyarakat secara
umum.

spiritual,

sehingga

Berdasarkan

ia

ideologi

familiarisme peran utama laki – laki
adalah

sebagai

penguasa

utama

rumah tangga yang memiliki hak
istimewa dan otoritas terbesar dalam
keluarga. Laki – laki dalam posisinya
sebagai suami dan ayah merupakan
figur sentral dalam keluarga. Dengan

Abdullah

(1997)

menjelaskan

demikian, anggota keluarga lain

bahwa dalam kebudayaan masyarakat

seperti istri dan anak harus tunduk

jawa

pada

mengenal

ideologi

penguasa

utama

tersebut.

Familialisme. Ideologi familialisme

Kewibawaan seorang laki – laki/ayah

ini dilestarikan dan secara terus

harus dijaga oleh anggota keluarga

menerus

karena

diredefinisikan

melalui

atribut

tersebut

sangat

hukum – hukum adat yang berlaku,

menentukan status dan kedudukan

kepercayaan – kepercayaan, serta

keluarga dalam masyarakat. Dalam

6

masyarakat,
sebagai

kelaurga

bentuk

diibaratkan

mikro

dari

masyarakat Jawa telah mendapatkan
latihan

kesopanan

sejak

mereka

masyarakat, maka kedudukan laki –

masih bayi, dalam berkomunikasi

laki dalam keluarga memberikan

sang

legimitasi bagi laki – laki untuk

dibiasakan

mendapatkan prestise dan kekuasaan

kalimat-kalimat yang sopan serta

dalam masyarakat.

santun terhadap orang lain. Seorang

2.

Kedudukan

Anak

dalam

anak

juga

diajarkan

untuk

dan

menggunakan

anak diajarkan untuk dapat hidup
harmonis dengan sanak saudaranya

Keluarga

juga bahkan dengan orang lain, jika
Dalam keluarga Jawa,

anak

sang anak tidak bertingkah laku baik

merupakan sosok yang istimewa

maka ia akan mendapatkan sanksi

dalam

perlu

langsung berupa hukuman agar anak

dan

tersebut tidak mengulanginya dan

keluarga

mendapatkan
bimbingan

dan

perlakuan
khusus

dari

seluruh

anggota keluarga tersebut. Hildred
Geertz (1985) menjelaskan bahwa
dalam keluarga jawa memandang
bahwa anak-anak adalah hal yang
disenangi dan diinginkan karena
anaklah yang dipandang akan mampu
meneruskan juga mengurusi orang
tuanya kelak ketika tua sehingga
keinginan memiliki anak-anak sangat
besar dalam masyarakat jawa.
Hubungan sosial seorang anak
baik

dengan

anggota

keluarga

maupun dengan lingkungannya juga
menjadi perhatian bagi masyarakat
Jawa, untuk dapat tumbuh sebagai
seorang

yang

baik,

anak-anak

dapat bersikap patuh.
Pelajaran penting yang harus
dikuasai oleh anak sebagai bagian
dari

pertumbuhannya

bagaimana

dan

ialah

bilamana

harus

bertindak-tanduk dengan tata karma.
Yang menjadi

komponen dalam

“Hormat” dalam masyarakat jawa
adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi
berarti takut, isin dapat diartikan
sebagai

malu,

enggan

ataupun

canggung.
Dari

pemaparan

mengenai

kedudukan anak dalam keluarga yang
disampaikan
menjelaskan

Geertz
bahwa

di

atas
secara

7

keseluruhan
seseorang

anak
yang

merupakan

penting

dalam

dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan

anak

(Suyanto,

keluarga. Ketika orangtua berhasil

2010:28). Sedangkan Henry Kempe

mendidik anak dengan baik, maka

menyebut kasus kasus penelantaran

masyarakat

bahwa

dan penganiayaan yang dialami anak

keluarga tersebut merupakan keluarga

– anak dengan istilah Batered Child

yang berhasil. Ataupun sebaliknya,

Syndrome yaitu: “setiap keadaan yang

ketika orangtua tersebut gagal dalam

disebabkan kurangnya perawatan dan

mendidik anak, maka masyarakat

perlindungan terhadap anak oleh

menganggap bahwa keluarga tersebut

orangtua atau pengasuh lain.” Disini

merupakan keluarga yang gagal. Dari

yang

hal inilah maka orangtua melakukan

kekerasan terhadap anak tidak hanya

segala upaya untuk mendidik anak

luka berat saja, tetapi termasuk juga

mereka dengan baik karena seolah –

luka

olah ada tuntutan dari masyarakat

sekalipun dan diikuti kegagalan anak

untuk

untuk berkembang baik secara fisik

menganggap

melakukan

hal

tersebut.

diartikan

memar

Bahkan tidak jarang pula orangtua

maupun

melakukan kekerasan terhadap anak

2010:27).

dengan alasan untuk mendidik supaya
si anak dapat terlihat baik dalam
masyarakat.
3.

atau

tindak

membengkak

intelektualnya

(Suyanto,

Menurut Suyanto (2010:29), ada
lima bentuk kekerasan terhadap anak,
yaitu : (1) kekerasan fisik, bentuk ini

Kekerasan terhadap Anak
Secara

sebagai

teoritis,

kekerasan

terhadap anak dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik,
mental, atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang – orang yang
memiliki tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang mana itu
semua diindikasikan dengan kerugian

paling

mudah

dikenali.

Korban

kekerasan jenis ini biasanya tampak
secara langsung pada fisik korban
seperti; luka memar, berdarah, dan
bentuk lain yang kondisinya lebih
berat. (2) Kekerasan Psikis, bentuk ini
tidak begitu mudah dikenali. Wujud
dari kekerasan ini bisa berupa kata –
kata kasar, ejekan, mempermalukan,
dan sebagainya. Dampak kekerasan

8

jenis ini akan berpengaruh pada

Sumjati (2001:28) menjelaskan

situasi perasaan yang tidak aman dan

secara sederhana tindak kekerasan

nyaman,

dalam

diartikan sebagai setiap perilaku yang

mengambil keputusan, dan bahkan

dapat menyebabkan perasaan atau

menurunnya harga diri serta martabat

tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman.

korban.

Perasaan tidak nyaman itu bisa

minder,

(3)

lemah

Kekerasan

seksual,

termasuk dalam kategori ini adalah

berupa:

segala tindakan yang mencul dalam

kesedihan,

bentuk paksaan untuk melakukan

kejengkelan,

hubungan seksual. (4) Kekerasan

sedangkan keadaan fisik yang tidak

Ekonomi, kekerasan jenis ini sangat

nyaman bisa berupa: lecet, luka,

sering

memar, patah tulang, dan sebagainya.

terjadi

di

lingkungan

keluaraga. Pada anak, kekerasan ini
sering

terjadi

ketika

orang

tua

memaksa anak yang masih usia di
bawah umur untuk dapat memebrikan
kontribusi

ekonomi

keluarga,

sehingga fenomena penjualan anak,
pengamen jalanan, pengemis anak,
dan lain – lain kian merebak. (5)
Kekerasan

anak

secara

sosial,

kekerasan anak jenis ini mencakup
penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap
dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak

kekhawatiran,

ketakutan,

ketersinggungan,
atau

kemarahan,

Berkenaan dengan ini, aspek
kualitatif dari tindakan ini dianggap
lebih

penting

untuk

diketahui

daripada aspek kuantitatifnya, karena
tindak kekerasan ini memberikan
akibat

serius

kehidupan
2001:29).

terhadap
manusia

Selain

penelitian

(Sumjati,

itu,

mengenai

kualitas

berbagai
kekerasan

terhadap anak ternyata sangat jarang
yang memberikan perhatian pada
bentuk



bentuk

kekerasannya

sendiri. Oleh karena itu, pembicaraan
kali ini akan lebih difokuskan pada

terhadap proses tumbuh kembang

bentuk – bentuk kekerasan yang

anak.

dialami oleh anak – anak di Indonesia

4.

Kekerasan

terhadap

dalam Perspektif Budaya

Anak

dalam proses sosialisasi mereka.

9

Sebagai gejala sosial budaya,

memaksa individu, individu dipaksa

tindak kekerasan terhadap anak tidak

dibimbing,

muncul begitu saja dalam situasi yang

atau dengan cara tertentu dipengaruhi

kosong atau netral. Ada kondisi –

oleh berbagai tipe fakta sosial dalam

kondisi

lingkungan sosialnya.

budaya

masyarakat,

tertentu
yakni

dalam
berbagai

sosial

ini

diyakinkan,

didorong,

Tipe fakta

mempunyai

kekuatan

pandangan, nilai dan norma sosial,

memaksa

yang seolah memudahkan terjadinya

kemauan individu itu sendiri. (3)

atau mendorong dilakukannya tindak

Bersifat umum dan tersebar, dengan

kekerasan terhadap anak tersebut. Hal

kata lain, fakta sosial itu merupakan

inilah yang dimaksud dengan latar

milik bersama, bukan sifat individu

belakang budaya terjadinya kekerasan

perorangan,

terhadap anak.

bersifat kolektif, dan pengaruhnya

5.

individu

terlepas

tetapi

dari

benar-benar

terhadap individu merupakan hasil

Teori Fakta Sosial

dari sifat kolektifnya.
Emile Durkheim berpendapat
bahwa sosiologi adalah ilmu yang

METODE PENELITIAN
Penelitian

memepelajari apa yag dimaksud fakta

ini

merupakan

penelitian

kualitatif

dengan

Durkheim fakta sosial merupakan

pendekatan

deskriptif

kualitatif

cara

dan

dengan jenis penelitian studi kasus.

berperasaan, yang berada di luar

Penelitian ini dilaksanakan Desa

inidividu, dan mempunyai kekuatan

Klunggen

memaksa yang mengendalikannya

Kabupaten Wonogiri dengan teknik

(Sunarto,

tiga

pemilihan informan berupa purposive

karakteristik fakta sosial, yaitu : (1)

sampling. Informan yang dipilih

bersifat

cara

dalam penelitian ini adalah orangtua

bertindak, berpikir, dan berperasaan

yang telah memiliki anak selama

yang memperlihatkan sifat patut

lebih dari 15 tahun, orangtua dengan

dilihat sebagai sesuatu yang berada di

latar

luar kesadaran individu. (2) bersifat

berbeda,

sosial

(fait

social).

bertindak,

berpikir,

2000:11).

eksternal,

Menurut

Ada

bahwa

Kecamatan

belakang

Slogohimo

pekerjaan

masyarakat

di

yang
Desa

10

Klunggen, dan anak – anak yang

Pandangan yang salah ini

tinggal di lingkungan tersebut. Data

masih banyak digunakan oleh

yang digunakan berupa data primer

orangtua lainnya sampai saat ini.

dan

Mereka

sekunder

melalui

teknik

observasi,

dan

perlakuan keras dan kasar malah

data

justru mampu membentuk karakter

menggunakan triangulasi metode dan

yang kuat dan baik anak di massa

triangulasi sumber. Analisis data

yang akan datang atau massa

dalam penelitian ini diawali dengan

dimana anak tumbuh dewasa.

wawancara,
dokumentasi.

Uji

validitas

pengumpulan data, mereduksi data,
menyajikan

data,

dan

terakhir

menarik kesimpulan.

menganggap

bahwa

Anak – anak yang mengalami
tindak

kekerasan

di

rumah

biasanya akan bersikap murung,
ketakutan, tidak bersemangat, dan

HASIL PENELITIAN
1. Pendidikan

memprihatinkan, tidak jarang akan

Anak

dalam

Keluarga yang Mengedepankan
Kekerasan

(Anita

Lie

kepercayaan
dalam

diri

Suyanto,

2010:77). Abu Huraerah juga

Berdasarkan wawancara yang
peneliti lakukan dengan informan
menunjukan bahwa mereka seolah
menghalalkan kekerasan dengan
tujuan mendidik anak. Bahkan
salah satu informan menyebutkan
bahwa cara mendidik anaknya saat
ini meniru apa yang orangtuanya
dulu lakukan padanya. Hal ini
membuktikan
pendidikan

kehilangan

bahwa
itu

pola

sebenarnya

menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya.

menjelaskan dampak kekerasan
terhadap kondisi psikologis anak.
Dijelaskan bahwa anak - anak
yang masih kecil sering susah tidur
dan bangu di tengah malam
menjerit ketakutan. Mereka juga
ada yang menderita Psikosomatik,
misalnya asma. Ketika mereka
semakin besar, anak laki – laki
cenderung menjadi sangat agresif
dan bermusuhan dengan orang
lain, sementara anak perempuan
sering mengalami kemunduran

11

dan menarik diri ke dalam dunia

minat, kebutuhan, dan gaya bagi

fantasi sendiri.

anak sering kali diabaikan oleh

2. Pelanggaran
Anak

terhadap

dalam

Hak

masyarakat, bayak alasan lain

Setiap orangtua pasti selektif
dan menginginkan yang terbaik
untuk anaknya. Namun saat ini
masih banyak kita temui dalam
orangtua

yang

memaksakan kehendak

kepada

anaknya untuk bersekolah sesuai
dengan pilihan mereka, baik ke
sekolah negeri, pondok pesantren,
ataupun sekolah – sekolah swasta
yang menurut mereka memiliki
kualitas terbaik.
Anak
paling

posisi

berkepentingan

untuk

tidak memiliki kesempatan untuk
pilihan

mereka

untuk menentukan dimana dia
akan sekolah. Anak seringkali
dijadikan sebagai objek demi
gengsi bahkan ego orangtuanya
agar terlihat memiliki tingkatan
lebih

bagi anaknya. Misalnya karena
alasan ekonomi, khawatir akan
pengaruh

buruk

lingkungan,

bahkan ada yang ikut – ikutan tren
saja. Kita ambil contoh orangtua
yang

memilih

memasukkan

anaknya ke pondok pesantren.
Salah satu alasan mereka memilih
memasukkan anaknya ke pondok
pesantren dengan alasan khawatir
dengan pergaulan di lingkungan

yang

mendapatkan pendidikan justru

yang

orangtua dalam memilih sekolah

tempat mereka tinggal.

dalam

menyampaikan

Selain alasan gengsi dalam

Menentukan

Pilihan Sekolah

masyarakat

orangtua.

tinggi

dalam

masyarakat. Sementara sesuai atau
tidaknya sekolah tersebut dengan

Akibat yang muncul pada
anak

yang

orangtuanya

dipaksa
untuk

oleh

bersekolah

sesuai pilihan orangtuanya adalah
anak tidak mampu mengikuti
peajaran

dengan

adanya

rasa

orangtuanya,

baik

karena

paksaan
karena

dari

memiliki

prestasi yang kurang baik di
sekolah, maka anak menjadi sosok
yang minder dan kurang percaya
diri.

12

Kebanyakan

orangtua

PEMBAHASAN

menganggap bahwa pendidikan

Faktor terjadi kekerasan terhadap

yang keras merupakan hal yang

anak dalam keluarga

wajar. “Keras tidak apa – apa

Berdasarkan temuan penelitian,
maka

terdapat

beberapa

alasan

mengapa kasus kekerasan terhadap
anak dalam keluarga selalu ada dalam
masyarakat,

diantaranya

adalah

asal mendidik”. Yang dimaksud
keras disini adalah menerapkan
aturan – aturan yang ketat dan
disertai dengan sanksi – sanksi jika
anak melanggar berupa bentakan,
ataupun pukulan. Tidak jarang

sebagai berikut:

ketika pendidikan yang keras
1. Pewarisan

kekerasan

antar

generasi

dalam

keluarga

menimbulkan

perilaku kasar dari orangtuanya.

Banyak anak belajar perilaku

Anggapan yang salah ini terus

kekerasan dari orangtuanya dan

berlanjut

ketika tumbuh menjadi dewasa

sekarang, karena mereka belum

mereka

hingga

tindakan

menyadari akibat dari perlakuan

terhadap

anaknya.

keras

demikian,

perilaku

perkembangan psikologis anak –

diwarisi

anaknya.

kekerasan

yang

generasi.

Seperti

dikemukakan

oleh

berinisial

yang
salah
AI

satu
bahwa

dan

kasar

bagi

Anak – anak memang selalu

(transmintted) dari generasi ke

informat

dulu

melakukan

kekerasan
Dengan

dari

peka.

Sering

orangtua

tidak

menyadari bahwa apa yang terjadi
di

antara

mereka

begitu

anak.

Sering

ketika dia kecil dia dididik keras

mempengaruhi

oleh orangtuanya, bahkan ketika

dikatakannya, anak merupakan

beliau melakukan kesalahan, tidak

cermin dari apa yang terjadi dalam

jarang

suatu rumah tangga (Huraerah,

orangtuanya

menghukumnya

cara

2012: 56). Jika suasana keluaraga

memukul,

sehat dan bahagia, maka wajah

dengan dalih untuk mendidiknya.

anak begitu ceria dan bersih.

menjewer

dengan

ataupun

13

Sebaliknya jika mereka murung

seperti

dan sedih, biasanya terjadi sesuatu

pemerkosaan. Kalaupun kemudian

yang

dengan

diketahui umum biasanya berkat

wadah

peran

berkaitan

orangtuanya.

Sebagai

pembunihan

dan

ataupun

keterlibatan

media

sosialisasi primer, dimana anak

massa atau karena kejadian yang

belajar untuk pertama kalinya

menghebohkan.

mengenal nilai – nilai dan cara
bertingkah laku, perilaku orangtua
sering
anak

mempengaruhi


anaknya

perilaku

kelak.

Jika

kekerasan begitu domonan, tidak
mengherankan

jika

melakukannya
terbawa

kemudian

dan

sampai

bahkan

dia

diwasa.

Karena kekerasan begitu sering
dalam

keluarganya,

maka

ia

menganggap hal tersebut sebagai
hal yang “normal” dan sudah
seharusnya dilakukan.

sulit

diungkap

ke

Sebagai suatu kasus yang
tabu

dan

disadari

melanggar batas – batas etika,
kesus – kasus kekerasan terhadap
anak

dalam

keluarga

jarang

terekspos keluar. Hanya kasus –
kasus

anaknya atau menghajar keras
anaknya sekalipun, sepanjang apa
yang mereka lakukan tidak sampai
menimbulkan luka fisik yang
serius

atau

kematian,

maka

kejadian itu akan lewat dan
menguap begitu saja. Kesulitan
dalam

mengungkapkan

kasus

kekerasan terhadap anak bisa
disebabkan oleh faktor internal

Huraerah,

2012:

60).

Yang

dimaksud faktor internal adalah
faktor dari korbannya itu sendiri

ruang publik

tergolong

atau ibu yang memukul kepala

maupun eksternak (Suharto dalam

2. Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga

Sebagai contoh seorang ayah

kekerasan

berat

yang

seringkali muncul ke ruang publik,

yang menolak melaporkan ke
masyarakat,
eksternal

sedangkan
adalah

masyarakat

yang

faktor

faktor
dari

menganggap

biasa suatu kekerasan terhadap
anak dalam keluarga.
Selain itu ada dua faktor lain
yang

menyebabkan

kasus

14

Dalam

kekerasan terhadap anak dalam

teori

fakta

sosial,

menjelaskan

bahwa

keluarga sulit diungkap ke ruang

Durkheim

publik, yaitu tidak adanya kontrol

semua aktivitas seorang inidividu

sosial terhadap terjadinya kasus

dalam

atau tindakan kekerasan terhadap

oleh faktor eksternal atau faktor di

anak

luar

dalam

keluarga

dan

masyarakat

dirinya

dipengaruhi

yang

bersifat

penolakan dari korban/anggota

memaksa.

lain dalam keluarga sendiri untuk

terjadi pada anak yang hidup

melaporkan

dalam lingkungan keluarganya.

ke

ranah

Durkheim

publik/masyarakat.
3. Latar belakang budaya (Adanya
hubungan

kedudukan

masyarakat

yang

dalam
selalu

menempatkan anak dalam posisi

Kenyataan itu juga

menjelaskan

bahwa

semua perilaku anak sejak lahir
hingga dewasa selalu mendapat
kontrol dari luar dirinya, dan
ketika dia melakukan perbuatan
yang tidak sesuai denganapa yang

terbawah)

ditetapkan
Pandangan masyarakat yang

masyarakat

oleh

keluarga

maka

ia

dan
akan

menyebutkan anak harus patuh

mendapatkan sanksi dari luar,

pada orangtua sangat berkembang

dalam hal ini yang dimaksud luar

luas dalam masyarakat dan bahkan

adalah keluarga dan masyarakat.

seringkali pandangan ini disalah
artikan oleh orangtua. Berdasarkan
pandangan ini kalau si anak lalai
dalam

menjalankan

tugas

membantu

meringankan

beban

orangtua

sebagaimana

yang

diharapkan orangtua mereka, dia
akan

memperoleh

berabagai

macam sanksi atau hukuman, yang
kemudian sampai pada tindak
kekerasan.

Masyarakat

selalu

memposisikan anak pada tangga
terbawah, sehingga orang dewasa
seolah – olah cenderung memiliki
hak untuk memperlakukan anak –
anak

sesuka

hati

mereka,

sementara anak sendiri seolah
tidak memiliki hak apapun, baik
hak untuk bersuara ataupun hak
untuk protes. Anak dipaksa untuk
tunduk

terhadap

aturan

yang

15

dibuat oleh orang yang lebih

dengan orang dewasa diperkuat

dewasa darinya.

dengan

Nilai, norma, dan kebiasaan
yang berkembang di masyarakat,
tanpa sadar selalu menempatkan
anak hanya sebagai objek bagi
orang dewasa, dan bahkan seolah
orangtua

berhak

melakukan

apapun terhadap anak – anaknya,
dengan alasan karena mereka yang
melahirkan, membesarkan, dan
membiayai

anaknya.

Ketika

seoarang anak berani membantah
atau bahkan melawan orangtua,
selain dicap sebagai anak durhaka,
tidak jarang kemudian orangtua
memperlakukan anak – anaknya
secara kasar, memaki atau bahkan
memukul dengan harapan anak
akan jera dan kembali ke sikapnya
sebagai anak yang patuh. Anak –
anak yang menjadi korban tindak
kekerasan dan perlakuan kasar dari
orangtua

atau

orang

lainnya hanya akan

dewasa
bersikap

pasrah dan tidak mampu untuk
berbuat apa – apa. Seorang anak
yag dipukul orangtuanya, pasti ia
akan sama sekali tidak berani
melawan.

Ketidakseimbangan

hubungan antara anak – anak

ketidakseimbangan

kultural yang ditanamkan oleh
orang dewasa kepada anak – anak
(Sumjati, 2001:45). Dengan kata
lain melalui ketidakseimbangan
ini, orang dewasa/orangtua sadar
atau tidak sadar telah membangun
ketidakseimbangan

kultural

(ketidakseimbangan

secara

budaya) dalam hubungan mereka
dengan

anak,

yang

menguntungkan orang dewasa.
Hasilnya adalah anak – anak
menerima hubungan yang tidak
seimbang antara mereka dengan
orang

dewas/orangtua

di

sekelilingnya. Disini anak tanpa
sadar

telah

hubungan

mereproduksi

asimetris

yang

merugikan. Inilah realita yang
terjadi di dalam keluarga dan
masyarakat saat ini, dan ini pula
gambaran nyata kondisi kultural
yang

menyebabkan

terhadap

anak

kekerasan

akan

terjadi

kapanpun dan dimanapun selama
pemahan kutural tersebut terus
berkembang dan hidup dalam
masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN

16

Berdasarkan pembahasan yang
telah

dipaparkan,

maka

dapat

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. (1997). Sangkan

disimpulkan bahwa ada tiga faktor
yang menyebabkan kasus kekerasan
terhadap anak dalam keluaraga, yaitu:
(1)

Pewarisan

kekerasan

Paran

Gender.

Yogyakarta:

Pustaka

Pelajar Offset.

antar
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian

generasi

Kualitatif. Jakarta: Kencana
(2) Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga sulit diungkap ke ruang

Frans Husken dan Huub de Jonge.
Kekerasan

dan

publik. (3) Latar belakang budaya

(2003).

(Adanya hubungan kedudukan dalam

Dendam

masyarakat yang selalu menempatkan

Terjemahan oleh: Imam Aziz.

anak dalam posisi terbawah).

Yogyakarta: LkiS

Berdasarkan temuan penelitian

Geertz,

di

Clifford.

Indonesia,

(1992).

maka peneliti menyarankan pada

Kebudayaan.

masyarakat hendaknya lebih peka

Yogyakarta:Kanisius

terhadap kekerasan terhadap anak
yang terjadi di lingkungan mereka,

Tafsir

Geertz, Hildred. (1985). Keluarga
Jawa. Jakarta: Grafiti Pers

sehingga ketika ada kasus kekerasan
bisa menasihati atau memberitahukan
ke pihak yang berwajib dan pada
orangtua untuk mengetahui dampak –
dampak negatif yang ditimbulan dari
kekerasan

(kekerasan

fisik

dan

kekerasan psikis) yang dilakukan
kepada anak terhadap perkembangan

Huraerah, Abu. (2012). Kekerasan
Terhadap Anak. Bandung: Nuansa
Cendekia
Johnsons, Doyle Paul. (1994). Teori
Sosiologi Klasik dan Modern,
Tarjamahan oleh: Robert MZ
LAwang.

Jakarta:

PT

Gramedia

fisik dan psikis anak serta orangtua
harus mengetahui metode yang tepat

Moeleong, Lexi J. (2001). Metodologi

untuk mendidik anak – anaknya tanpa

Penelitian Kualitatif. Jakarta:

menggunakan kekerasan.

PT Remaja Rosdakarya.

17

Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi
Penelitian. Jakarta: Kencana.
Ritzer,

George.

Teori

(2004).

Sosiologi

Modern,

Wisadiro, Darsono. (2004). Sosiologi
Pedesaan. Malang:
Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang

Tarjamahan oleh: Alimandan.

Yin, K. Robert. (2000). Studi Kasus.

Jakarta: Prenada Media Group

Jakarta: PT Raja Grafindo

Santoso, Thomas. (2002). Teori –
Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia

Persada
DARI INTERNET
http://kpai.go.id/

Indonesia

KPAI-Pelaku

Kekerasan-Terhadap-Anak
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian

Tiap-Tahun-Meningkat

Kuantitatif Kualitatif Dan

_Komisi-Perlindungan-Anak

R&D. Bandung:Alfabeta

Indonesia-(KPAI).htm

Sumjati. (2001). Manusia dan
Dinamika Budaya. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM

http://solopos.com/ PEMBUNUHAN
WONOGIRI-Korban
Kekerasan-Seksual-Tersangka-

Suyanto, Bagong. 2010. Masalah
Sosial

Anak.

Jakarta:

Kencana
Taufik

Mohammda,

Riki-Ada-9-Anak!-SolorayaSOLOPOS.COM.htm
http://PENGANIAYAAN

dkk.

2013.

WONOGIRI-Balita-di-

Hukum Perlindungan Anak

Wonogiri-Diduga-Dianiaya

dan

Ibunya-Hingga-Lebam-

Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Rineka
Cipta

Soloraya-SOLOPOS.COM.htm

18