HUKUMAN MATI DI INDONESIA Studi Perbandi (1)
HUKUMAN MATI DI INDONESIA: Studi Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam
Dalam Tinjauan Humanisme
Samsudin
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Email: samsudincrbyahoo.co.id
Abstrak
Perdebatan utama dalam masalah hukuman mati adalah apakah hukuman itu melanggar hak-hak setiap orang dan untuk itu harus dihentikan atau tetap harus diterapkan mengingat besarnya kepentingan masyarakat yang harus dilindungi dari penerapannya tersebut. Tulisan ini menegaskan bahwa pendekatan hukum progresif dapat digunakan untuk menjawab permasalahan hukuman mati di Indonesia yang selama ini banyak dikritik oleh sejumlah pihak, dengan meletakkan kepentingan masyarakat secara luas dalam penerapannya dan serta menghilangkan aspek-aspek diskriminatif yang justru menjadikan hukuman mati justru jauh dari kepentingan publik. Dalam perspektif hukum Islam, penelitian ini menegaskan pentingnya membangun pendekatan humanis terhadap hukuman mati, yang didasarkan pada kepentingan masyarakat secara umum, namun di sisi yang lain tetap mempertimbangkan orisinalitas hukum Islam. Untuk itu, adalah penting untuk menggunakan metode historis dalam hukum Islam dan pendekatan budaya yang tidak hanya memperhatikan justifikasi sosial politik di kalangan umat Islam, namun juga kepentingan metode tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam hukuman mati di Indonesia dewasa ini.
Kata Kunci: Hukuman mati, hukum Islam, humanisme, Hukum Progresif, hak asasi manusia
Abstract
The main issue in death penalty is whether the sentence is in violation of the rights of every person and accordingly has to be stopped or must be implemented because of the magnitude of public interests that should be protected from its application. This paper confirms that the approach of progressive law can be used to answer the problems of the death penalty in Indonesia that has been widely criticized by a number of parties, by putting the interests of society at large in its application as well as eliminating aspects of discrimination that actually makes the death penalty far from the public interest. In the perspective of Islamic law, this study confirms the importance of upholding a humanist approach to the death penalty, which is based on the interests of society in general, but remains considering the originality of Islamic law. To that end, it is important to use the historical method in Islamic law and a cultural approach which not only concerned with the socio-political justification in the Muslim community, but also the interests of such methods to be able to answer problems that arise because of the death penalty in Indonesia today.
Keywords: Death penalty, Islamic law, humanism, Progressive Law, human rights
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam
Vol. 1, No. 2, Desember 2016 E-ISSN: 2502-6593
Samsudin
A. Pendahuluan
begitu merusak bagi generasi bangsa Hukum sejatinya berfungsi untuk 2 Indonesia. Pemerintah Indonesia
mengatur tata kehidupan di masyarakat dan
berpandangan bahwa kelaikan hukuman
mati bandar narkoba ini sesuai dengan
komunitas yang damai, adil dan beradab.
dampak negatif yang ditimbulkan dari
Untuk itu pula dalam setiap hukum
narkoba
itu
sendiri, sebagaimana
seringkali disertai dengan sanksi, baik
disampaikan oleh Joko Widodo, bahwa
secara fisik, sosial, ataupun sanksi-sanksi
sebanyak 50 orang meninggal di Indonesia
lain yang dianut oleh sebuah komunitas
karena narkoba dalam satu hari.
tertentu. Salah satu sanksi yang saat ini
Menguatkan apa yang menjadi
masih menjadi perdebatan adalah hukuman
perhatian pemerintah ini, lembaga-lembaga
mati yang sudah dihapuskan di sejumlah
keagamaanpun mengeluarkan keputusan
negara, namun juga masih diterapkan di
atau statemen tentang pentingnya hukuman
beberapa negara-negara di dunia. 1 Sejauh
mati tersebut. Majelis Ulama Indonesia,
ini, Indonesia masih menerapkan hukuman
misalnya, mengengeluarkan Fatwa Nomor
mati untuk sejumlah tindak pidana, di
53 tahun 2014 yang menegaskan bahwa
antaranya adalah diatur di dalam KUHP,
halal hukumnya bagi pemerintah untuk
UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti
melakukan eksekusi mati bagi bandar
Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. 3 narkoba.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah
Di sisi yang lain, kelompok-
satu isu di Indonesia yang menjadi perhatian
kelompok hak asasi manusia (HAM)
banyak pihak, baik di dalam ataupun di luar
memandang bahwa hukuman mati sudah
negeri, akhir-akhir ini adalah terkait dengan
tidak lagi relevan lagi bagi perkembangan
pelaksanaan hukuman mati. Terutama akhir-
zaman saat ini dan sudah seharusnya
akhir ini, belum genap satu tahun,
dihapuskan dari sistem hukum Indonesia
Kejaksaan Agung di bawah pemerintahan
atau untuk sementara waktu dihentikan
Jokowi telah melakukan eksekusi mati 4 pelaksanaannya. Argumentasi kelompok sebanyak dua kali, dengan jumlah terpidana
penentang hukuman mati ini dapat
16 orang. Dua kali eksekusi ini
disimbulkan kepada beberapa hal, yaitu:
bahwa hukuman mati merupakan bentuk
Indonesia, baik di media massa, khalayak
hukuman yang merendahkan martabat
ramai, bahkan di dunia akademik. Pro dan
manusia dan bertentangan dengan HAM,
kontra menyeruak ke permukaan, sementara
sehingga ada banyak negara menghapuskan
di sisi yang lain kepentingan bersama untuk
hukuman mati dalam sistem peradilan memberantas 5 korupsi juga menjadi pidananya. Beberapa waktu lalu, pada
perhatian semua pihak yang tidak bisa
ditoleransi.
2 “BNN: Hukuman Mati Bandar Narkoba Tak
Badan Narkotika Nasional (BNN)
Langgar HAM”, Tempo, Selasa, 23 Desember 2014,
secara khusus atau Pemerintah Indonesia
diakses
dari
secara umum berkepentingan agar hukuman
http:metro.tempo.coreadnews20141223064630
mati tetap dilanjutkan dan menjadi bagian
484bnn-hukuman-mati-bandar-narkoba-tak-langgar-
dari sistem hukum di Indonesia karena ham hukuman mati setimpal dengan kejahatan 3 “MUI Dukung Hukuman Mati Bandar
Narkoba”,
4 Maret 2015,
yang dilakukan oleh para bandar narkoba dan mengingat dampak dari narkoba yang http:mui.or.idmuihomepageberitaberita-
singkatmui-dukung-hukuman-mati-bandar-
narkoba.html
1 Lihat lebih lanjut tentang Negara-negara yang
4 Schabas, William A., The Abolition of the Death
telah menghapuskan
hukuman
mati dalam
Penalty in International Law. Cambridge: Cambridge
International Commission on Death Penalty, How
University Press, 2002
States Abolish the Death Penalty, (Geneva: ICDP,
Terkait dengan hal ini, lihat, A. Mukhtie Fadjar, “Mahkamah Konstitusi dan HAM: Masalah Pidana
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Maret 2015, sejumlah akademisi dari
perlindungan kuat terhadap nyawa setiap
Perguruan Tinggi di Indonesia juga menolak
orang, namun dalam situasi tertentu, Syariat
hukuman mati di Jakarta. Para akademisi ini
Islam memungkinkan membatasi hak
menolak tegas penerapan hukuman mati di
tersebut, di antaranya dengan menerapkan
Indonesia karena tidak berperikemanusiaan
hukuman mati. Secara praktik, William A.
dan merupakan hukuman yang kejam.
Schabas menegaskan dalam penelitiannya,
Hukuman mati dinilai telah melanggar
walaupun hukum Islam menganut hukuman
standar HAM yang berlaku secara
mati sebagai hukuman, namun negara-
internasional karena hak hidup adalah hak
negara Islam sendiri tidak mengaitkan yang paling penting. 6 antara hukuman tersebut dengan hukum
Dilihat dari perdebatan yang muncul 9 Islam itu sendiri. di lapangan dan sejumlah studi yang telah
Menanggapi pergulatan hak asasi
dilakukan, terutama di beberapa negara
manusia di satu sisi dan kepentingan
yang menerapkan hukuman mati, nampak
masyarakat dengan segala macam konteks
sangat terlihat bahwa hukuman mati
lokalnya, Abdullah Ahmed An-Naim
menyinggung tentang legitimasi kultural
sederhana. Lebih dari itu, ia sangat pelik
(cultural legitimacy) dalam penerapan HAM
dalam perdebatan antara kepentingan
yang harus diselesaikan melalui dialog dan
nasional dan kepentingan kemanusiaan. Ada
berupaya kuat membangun argumentasi
untuk menafsirkan kembali komponen-
dikemukakan, namun kecenderungan negara 10 komponen norma yang diperselisihkan. untuk menerapkan hukuman mati pada
Untuk itu pula, ia menegaskan, membangun
dasarnya sangat terkait dengan pelbagai
suatu diskursus antarbudaya, pendekatan
faktor internal dan eksternal yang
dan rumpun ilmu merupakan suatu yang
memengaruhi, mulai dari aspek hukum,
diperlukan untuk mengatasi perdebatan
politik, sosial, keagamaan, bahkan budaya.
yang hingga saat ini sangat sulit
Dalam Islam sendiri, hukuman mati
dipertemukan. Lebih lanjut, Mashood
ditegaskan di sejumlah hukuman yang telah
Baderin yang banyak mengembangkan ditetapkan, yaitu qishash dan hudud. 7 pemikiran An-Naim ini mengatakan, bahwa
Kesepakatan yang muncul adalah bahwa
meskipun hukum Islam menerapkan
hukuman-hukuman ini tidak diganti atau
hukuman mati, namun hal itu dilakukan
diubah dengan hukuman lain, sehingga
dengan sangat membatasi dan dengan
secara praktis hukuman tersebut akan
syarat-syarat yang ketat, termasuk pula
berhadap-hadapan dengan hukuman mati.
kemungkinan adanya perubahan hukum
Terdapat alasan kuat dari penetapan ini, di
dalam situasi darurat yang pernah dilakukan
samping terkait dengan hak Allah SWT dan
oleh sejumlah pemimpin Islam pada masa
hak manusia, hukuman tersebut dipandang 11 lalu. sebagai kejahatan paling serius dalam
Islam. 8 Pada dasarnya, Islam memberikan
HAM, 2010), penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, h. 70.
Mati”, dalam Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum,
9 William A. Schabas, “Islam and Death Penalty”,
April 2009, h. 1 – 6.
dalam William and Marry Bill of Rights Journal,
Volume 9, Issue 1, Article 13, h. 223.
“Menolak Hukuman Mati”, Rakyat Merdeka
Online, 10 7 Maret 2015, diakses dari Lihat, Abdullahi Ahmed An-Na‟im, “Problem
http:www.rmol.coread201503071945211Meno
of Universal Cultural Legitimacy for Human Rights”,
lak-Hukuman-Mati-
dalam Abdullah Ahmed An-Na‟im dan Francis M.
Deng, ed., Human Rights in Africa: Cross-Cultural
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-
Perspective, (Washington DC: The Brooking
Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:
Insitution, 1990), h. 331.
Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68
Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak
Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak
Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 72.
Asasi Manusia dan Hukum Islam, (Jakarta: Komnas
Samsudin
Dengan demikian, untuk menjawab
Untuk melihat praktik hukuman mati
permasalahan hukuman mati ini, multi-
merujuk pada
pendekatan pada dasarnya harus dilakukan
perkembangan teori hukum progresif yang
untuk memunculkan suatu kesimpulan yang
dikembangkan oleh sejumlah pakar hukum,
dapat diterapkan secara efektif, progresif,
baik di Indonesia ataupun secara umum
dan
tanpa mengurangi
kepentingan
dalam pemikiran hukum di dunia. Perspektif
masyarakat yang menerima manfaat dari
tersebut akan digunakan untuk melihat
penerapan hukum itu sendiri. Di sisi yang
sejauh mana kemudian hukuman mati
lain, aspek-aspek keagamaan juga menjadi
menjadi relevan dalam penerapan hukum di
penting untuk dilihat secara komprehensif
Indonesia itu sendiri dan seperti apa
untuk kemudian menemukan jawaban-
penyelesaian problematika hukuman mati
jawaban hukum terkait dengan isu-isu
yang selama ini muncul.
kontemporer yang muncul di tengah
Terdapat dua pertimbangan dalam
masyarakat Islam, termasuk di dalamnya
memilih metode pengumpulan data dan
adalah tentang hukuman mati.
informasi,
yakni
hubungan antara
Dalam ragam perbedaan pendapat
pertanyaan penelitian (research questions)
ini, penelitian yang diajukan ini hendak
serta pengumpulan data dan trianggulasi
meneliti lebih jauh bagaimana permasalahan
metode yang berbeda (menggunakan
hukuman mati di Indonesia saat ini dari
sumber-sumber informasi dan metode yang
multi perspektif, yang menjangkar pada
beragam). Dengan
demikian, untuk
memperoleh informasi yang memadai dari
pandangan hukum positif dan hukum Islam
pertanyaan-pertanyan penelitian ini maka
terhadap hukuman mati dalam tinjauan
dimungkinkan mengombinasikan empat
humanisme? Bagaimana praktik hukuman
teknik, yakni: wawancara, dokumentasi,
mati di Indonesia dikaitkan pendekatan
diskusi terfokus, dan studi literatur yang
hukum progresif dalam teori ilmu hukum?
relevan.
Penelitian ini diharapkan dapat mengisi
Pertama,
wawancara mendalam
ruang akademik yang selama ini tidak
(indepth interview). Wawancara dilakukan
dengan informan kunci (key informants).
permasalahan ini secara komprehensif.
Informan kunci antara lain: aparat negara yang menerapkan hukuman mati, kelompok-
B. Metode Penelitian
kelompok yang menolak hukuman mati,
Penelitian ini akan menggunakan
serta aktor-aktor lain yang relevan dengan
pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan
penelitian.
ini dengan menimbang empat hal, yaitu:
Kedua, studi dokumentasi. Studi
Pertama, gejala atau fenomena yang diteliti
dokumentasi dimaksudkan guna memotret
lebih merupakan gejala sosial politik yang
dinamika perdebatan hukuman mati, baik di
bersifat dinamis, yakni pemikiran hukum
Indonesia secara khusus ataupun di tingkat
pidana mati di Indonesia. Kedua, materi
internasional. Studi dokumentasi ini juga
dalam penelitian ini adalah menyangkut
akan dilakukan untuk mengumpulkan
suatu dinamika sosial, pemikiran hukum,
informasi terkait dengan teori-teori hukum
hasil-hasil, dan keberlangsungan. Ketiga,
dan hukum Islam berkaitan dengan
merupakan pertimbangan subyektif peneliti,
penerapan hukuman mati.
bahwa permasalahan hukuman mati harus
Ketiga, diskusi kecil terfokus. Cara ini
dilihat secara komprehensif dan seksama
dilakukan sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua)
untuk kemudian dirumuskan pokok-pokok
kali untuk membahas suatu diskursus yang
pikiran yang lebih membangun. Keempat,
bersifat khusus atau spesifik yang
dari pelbagai teori yang digunakan dapat
memerlukan kajian lebih mendalam dan
dinyatakan termasuk dalam gugusan teori
pemecahan.
dalam paradigma pluralis.
Keempat, studi literatur terkait. Langkah ini dilakukan dengan cara
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
mempelajari tulisan-tulisan seputar hukum 12 Betawi) dirumuskan pada tahun 1642. pidana secara umum, sistem pemidanaan,
Dalam catatan Institute for Criminal
hukum Islam dan hukum pidana Islam, serta
Justice System (ICJR) disebutkan bahwa di
materi-materi yang berkaitan dengan hak
masa
penjajahan
kolinial, praktik
asasi manusia, dengan tema pokok tentang
penggunaan hukuman mati sebagai salah
hukuman mati.
satu jenis penghukuman sudah lumrah
digunakan, baik praktik yang diperkenalkan
C. Hasil dan Pembahasan
oleh sejumlah peraturan VOC sendiri
1. Hukuman Mati dalam Sistem
ataupun dalam bentuk plakat yang berlaku
Pemidanaan Indonesia
terbatas di beberapa wilayah saja. 13 Dari
Masuknya Belanda di Indonesia
praktik yang ada tersebut di atas kemudian
menjadi awal modernisasi hukum pidana
VOC memang menjadikan hukum pidana
yang selama ini dijalankan secara adat di
sebagai target perubahan peraturan di
dalam masyarakat Nusantara. Seperti
Indonesia.
diungkap Andi Hamzah (2009), bahwa pemilahan hukum pidana dan perdata
Dari gambaran peraturan yang dibuat
VOC dan Belanda di atas, yang menarik
dikenalkan oleh Belanda pada waktu itu,
untuk diungkap di sini adalah pembuatan
termasuk pula upaya untuk mengkodifikasi
peraturan hukum pidana melalui Wetboek
hukum pidana, membedakannya dengan
van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers)
hukum perdata, dan sekaligus pula
atau disingkat dengan WvSunI pada tahun
membedakan antara hukum acara pidana
1873. Dengan adanya kodifisikasi hukum
dan hukum acara perdata.
pidana di Belanda, kemudian Wetboek van Strafrecht voor Indonesiers (WvSI) ini
Ketika VOC dan dilanjutkan
disesuaikan pada tahun 1915 dan mulai
pemerintah Hindia Belanda berkuasa di
diterapkan pada 1 Januari 1918.
Indonesia, hukum merupakan salah satu
Kenyataannya, dalam hukum pidana yang
aspek yang menjadi perhatian waktu itu, di
diterapkan di Belanda, hukuman mati tidak
antaranya adalah dengan mengubah sistem
lagi dicantumkan dan telah dihapuskan
hukum Indonesia sesuai dengan kepentingan
sebagai bentuk pemidanaan. Sementara di
kolonial. Termasuk dalam hal ini adalah
Hindia Belanda, WvSI masih menganut
sistem hukum pidana di Indonesia yang
pidana mati tersebut dengan alasan sebagai
masih mengandalkan hukum adat. Dicatat
hukum darurat dan penerapannya hanya
oleh Ahmad Bahiej (2005), bahwa dalam
diberlakukan bagi tindak pidana-tindak
upaya untuk memperbesar keuntungannya,
pidana yang dianggap terberat oleh
VOC memaksakan aturan-aturan yang
pemerintah Belanda. 14
dibawa dari Eropa untuk diterapkan bgai
Hingga saat ini, Indonesia masih
orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang
menggunakan hukum pidana warisan
dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
pemerintah Hindia Belanda (Kitab Undang-
plakaat, namun tidak disimpan dalam arsip,
undang Hukum Pidana, KUHP). Sejumlah
sehingga tidak dapat diketahui peraturan
inisiasi untuk merevisi KUHP tersebut
mana yang masih berlaku dan yang sudah
12 Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika
perkembangannya, hal ini mendorong VOC
Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, dalam Sosio-
untuk mengumpulkan kembali peraturan-
Religia, Vol. 4, Agustus 2005, h. 3 – 4.
peraturan tersebut dan kumpulan peraturan-
13 Supriyadi Widodo, dkk., Hukuman Mati
peraturan inilah yang kemudian disebut
dalam R KUHO: Jalan Tengah yang Meragukan,
sebagai Statuten van Batavia (Statuta
(Jakarta: ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2015), h. 5.
14 Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2007, cetak ulang.
Samsudin
selalu kandas dalam perseteruan politik dan 16 mendapatkan balasan yang setimpal pula. ragam kendala yang dihadapi, bahkan sejak
Teori kedua ini lebih menekankan
tahun 1981 ketika dimunculkan draft RUU
pada pemberian dasar dari pemidanaan pada
KUHP pertama kalinya oleh dua tim, yaitu
pertahanan tata tertib masyarakat. Merujuk
Tim Pengkajian dan Tim Perancangan
pada teori ini, tujuan dari pemidanaan pada
(Kasim, 2005). Di samping itu, terdapat pula
dasarnya bukanlah sebagai balas dendam,
aturan-aturan lain yang dibuat dalam
namun yang lebih utama adalah untuk
undang-undang (UU) khusus yang masih
menghindarkan (prevensi) dilakukannya
menerapkan hukuman mati, seperti halnya
suatu pelanggaran hukum. Teori ini juga
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang
Terorisme, UU Nakotika, UU Perlindungan
dilihat dari karakter sifatnya, yaitu prevensi
Anak dan UU HAM. 17 umum dan prevensi khusus.
Penerapan hukuman mati tersebut
Teori ketiga, pemidanaan gabungan
nampaknya memang tidak dapat dipisahkan
yang mendasarkan gagasan bahwa pidana
dari tujuan pemidanaan yang masih dianut
hendaknya
didasarkan atas tujuan
oleh Indonesia, yang bila dikerangkakan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban
mewujud pada tiga teori utama, yaitu: teori
masyarakat, yang diterapkan secara
absolusi atau pembalasan, teori relatif dan
kombinasi dengan menitikberatkan pada
teori gabungan. Di sisi yang lain, hingga
salah satu unsurnya tanpa menghilangkan
saat ini dan sejak belum selesainya
unsur yang lain maupun pada semua unsur
pembaruan hukum pidana di Indonesia,
yang ada. Seperti namanya, teori ini
belum ada rumusan tentang tujuan
merupakan penggabungan dari teori absolut
pemidanaan dalam hukum positif Indonesia.
(pembalasan) dan teori relatif (pencegahan),
Hal ini menyebabkan banyak sekali
sehingga
tujuan
pemidanaan yang
rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana
dimunculkan merupakan campuran atau
yang tidak konsisten dan tumpang tindih
gabungan dari kedua teori pemidanaan yang
(Abidin, 2005) dan merujuk pada KUHP
telah ada. Selain ditujukan untuk membalas
yang masih diterapkan memang tidak
apa yang telah dilakukan oleh pelaku
ditemukan tujuan pemidanaan yang dianut
kejahatan, teori gabungan juga menekankan oleh Indonesia. 15 aspek pemidanaan pada upaya preventif
tidak munculnya kejahatan-kejahatan baru
di masyarakat. 18
kejahatan memuat unsur-unsur yang
Dalam hal ini, ketiga hal di atas
menuntut pidana dan yang membenarkan
merupakan suatu hal yang sangat
menentukan dalam sistem pidana. Menurut
pembalasan ini pada kemudian dibedakan
Andi Hamzah (1986), 3 teori pemidanaan
lagi pada dua corak, yaitu atas corak
tersebut terkandung di dalam hukum pidana
subjektif yang pembalasannya ditujukan
Indonesia. 19 Ketiga teori ini bahkan telah
pada kesalahan pembuat karena tercela dan
ada sejak lama dan terus berkembang
kedua corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan. 16 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan
Dengan kata lain, setiap orang yang
Tindakan dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam,
melakukan 2005), h. 4 perbuatan pidana, harus
17 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam,
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan
Eva Achjani Zulfa, “Menakar Kembali
Pemidanaan Indonesia, h. 12.
Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran
Paradigma Pemidanaan di Indonesia”, dalam Lex 19 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan
Jurnalica, Vol. 2, April 2007, h. 95
Pemidanaan Indonesia, h. 12.
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
mengikuti perkembangan sistem pidana
setiap suku menyetujui agar hukuman yang
Indonesia, dan dapat dikatakan bahwa
diberikan adalah pembalasan terhadap apa
ketiga teori ini adalah hal yang fundamental
yang telah dilakukan. Di sisi yang lain,
dalam sistem pidana Indonesia. Ketiga
hukuman-hukuman ini pada dasarnya
menentukan bagaimana sebuah hukuman
merupakan hukuman yang sebelumnya telah
ditetapkan dan tujuan pemidaan seperti apa
diterapkan di masa sebelum kedatangan
yang kemudian dikehendaki oleh suatu
Islam, bahkan ditegaskan di dalam agama
negara, dengan mempertimbangkan aspek-
Samawi, seperti Yahudi dan Nashrani
aspek 21 yang mengitarinya. Sayangnya, (Sabiq, 1983). hingga saat ini, Indonesia belum
Menurut Abdul Qadir Audah, Syariat
menerjemahkan tujuan pemidanaan yang
Islam menetapkan hukuman bagi pelaku
secara komprehensif dapat diterima oleh
kejahatan bertujuan untuk mencegah agar
semua orang dan menjadi acuan dalam
manusia tidak mendekati perbuatan tersebut,
pembuatan peraturan perundang-undangan.
baik dengan melakukan perbuatan yang
Akibatnya, tumpang tindih aturan dan
dilarang ataupun meninggalkan perbuatan
ketidakjelasan arah kebijakan politik hukum
yang diperintahkan. Islam memandang
pidana juga mempersulit pembangunan
bahwa tidak cukup manusia dibebani
hukum yang lebih adil dan efektif.
dengan perintah dan larangan saja, tanpa diberikan sanksi atasnya, sehingga sanksi
2. Hukum Islam dan Hukuman Mati
tersebut
merupakan
sarana untuk
Merujuk pada bentuk pemidanaan
memastikan perintah dan larangan itu
dalam Islam, sejarah Arab pra-Islam tidak
dilaksanakan oleh manusia. Dengan
dapat dipisahkan dari perumusan hukum
demikian, sanksi pidana yang ditetapkan
Islam di masa Nabi Muhammad SAW.
berupaya untuk mencegah terjadinya
Sistem pemidanaan yang berlangsung saat
kejahatan-kejahatan, kerusakan di bumi,
itu masih berbentuk pidana “darah dibalas
menjauhkan manusia dari apa yang
darah” atau dikenal dengan talionis lex
mencelakakannya,
ataupun mendesak
terhadap suku yang melakukan kejahatan.
manusia untuk melakukan apa yang
Pembalasan ini diberlakukan untuk tindak
dipandang baik baginya. Dengan demikian,
pidana yang dianggap berat, seperti
lanjut Audah, bahwa pada dasarnya
pembalasan atas pembunuhan adalah
penetapan larangan dan sanksi tersebut tidak
kematian, pembalasan untuk pencurian
dalam pandangan Syariat saja, namun
adalah amputasi (tangan); perzinaan adalah
sebaliknya, demi kelangsungan kehidupan
rajam sampai mati atau cambuk, dengan
masyarakat dan menjaga kemaslahatan tetap
menghitamkan wajah perempuan penzina, 22 ada di kehidupan tersebut. dan sebagainya. Ini adalah bentuk
Dari sini, hukuman yang ditetapkan
pemidanaan yang ada saat itu sebelum Islam
dalam Islam pada dasarnya serupa dengan
hadir dan sangat kental dalam masyarakat
hukum pidana secara umum – setidaknya
yang hidup di masing-masing klan atau
yang berlaku pada masa sekarang – yaitu suku. 20 menjadi sarana pencegahan, retribusi atau
Salah satu sebab dari sistem
pembalasan, rehabilitasi atau perbaikan, dan
pemidanaan demikian adalah karena masih
pada akhirnya untuk melindungi masyarakat
kuatnya perasaan dendam antar suku bila
dengan
cara
melumpuhkan pelaku
terjadi suatu kejahatan terhadap suku-suku
kejahatan. Selain itu, aturan tentang
yang lain. Untuk mencegah hal tersebut,
hukuman ini berkaitan erat dengan ganti rugi dari kerusakan yang dihasilkan dari
Matthew Lippman, “Islamic Criminal Law and
21 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, h. 302
Procedure: Religious Fundamentalism vs. Modern Law”, dalam Boston College International and
22 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-
Comparative Law, Volume 12, Issue I, Article 3, h.
Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:
Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68 Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68
berkaitan dengan
pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan hal-
pembalasan (retaliation) atau
hal lain yang termasuk dalam tindak pidana.
qishash.
Hal ini pula yang dalam batas tertentu
b. yang berkaitan dengan ganti rugi
membedakan hukum pidana Islam dengan
harta benda atau uang (diyat).
hukum pidana umum, karena hukum Islam
2. Hukuman-hukuman yang ditetapkan
merupakan hukum agama dan berasal dari
di dalam Alquran dan melanggar
Allah Swt, maka ia juga memiliki sifat
hak-hak Allah (huquuq Allah),
“vertikal” antara manusia dan Tuhannya,
dengan perintah yang tegas dan
tetap, yaitu hadd atau huduud.
penghargaan dan hukuman di akhirat. Hal
Bentuk hukuman ini diterapkan
inilah yang menghubungkan antara tindak
untuk tindak pidana:
pidana dan hudud atau kafarat yang
a. pencurian; ditetapkan di dalam hukum pidana Islam. 23 b. perampokan;
Dilihat dari sisi sumber teks
c. perzinaan;
keberadaannya, hukum pidana Islam
d. tuduhan (fitnah) perzinaan;
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar,
e. meminum minuman keras;
yaitu: hukum yang da nas atau teksnya dan
f. murtad,
untuk beberapa
hukum yang tidak diatur secara eksplisit di
pendapat fikih.
dalam nas-nas keagamaan, baik Alquran
Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim
atau hadis. Hukuman yang terkategori
berdasarkan kewenangan khusus (diskresi)
sebagai hukuman yang ada nasnya adalah
terhadap suatu kejahatan atau pelanggaran –
hudud, qisas, diyat, dan kafarah. Hal ini
sesuatu yang dianggap secara tingkah laku
diberlakukan untuk tindak pidana-tindak
dilarang dan mengancam keamanan atau
pidana tertentu, seperti hukuman bagi
kenyamanan publik – yang hukumannya
pezina, pencuri, perampok, pemberontak, 26 tidak diatur di dalam Alquran atau hadis. dan pembunuh. Sementara untuk tindak
Dari hukuman-hukuman ini, dapat
pidana yang kedua, yaitu yang tidak ada
diidentifikasi hukuman-hukuman yang
nasnya, disebut dengan hukuman ta’zir,
menganut hukuman mati dalam Islam
yang pelaksanaannya diserahkan kepada
adalah pembunuhan, perzinaan bagi yang
hakim untuk menentukan bagaimana
telah menikah (muhshan), perampokan
hukuman yang laik bagi seorang pelaku
(hirabah), pemberontakan dan murtad. kejahatan. 24 Sebagaimana di atas, hukuman-hukuman
Para ahli hukum Islam (fuqaha‟) lebih
tersebut pada dasarnya ditujukan untuk
sering membagi sistem pemidanaan dalam
melindungi kepentingan masyarakat, yang
Islam ke dalam tiga aspek. 25 Hal ini
di dalamnya mengandung hak-hak Allah
tergambar dari kitab-kitab fikih klasik, yang
dan hak manusia, sehingga penerapan
sekaligus pula menjadi corak umum
hukuman mati ini dimungkinkan dalam
pembahasan fikih jinayah di dalam kitab
kerangka Syariat
untuk melindungi
tersebut, yaitu:
kepentingan yang lebih besar. Hal ini
1. Hukuman untuk kejahatan terhadap
tergambar dari alasan mengapa hukuman
individu, misalnya pembunuhan
mati penting untuk delik pembunuhan,
atau penganiayaan, yang terdiri atas:
misalnya, menurut para ahli fikih, bahwa hukuman mati itu – yang noba bene
23 Rudolph Peters, Crime and Punishment in
menghilangkan nyawa pelaku kejahatan –
Islamic Law, h. 30.
berguna untuk menangkal kejahatan
24 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al- Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:
Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68
Rudolph Peters, Crime and Punishment in 26 Rudolph Peters, Crime and Punishment in Islamic Law, h. 30.
Islamic Law, h. 31.
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 pembunuhan yang lebih besar lagi. 27 Jenis hukuman lain yang terkait
Hudud secara Syar‟i berarti hukuman-
dengan hukuman mati adalah qishash untuk
delik pembunuhan yang disengaja. Secara
keberadaannya karena hak-hak Allah SWT.
bahasa, qishash memiliki arti “mengikuti
Jumhur Ulama memiliki definisi yang sama
jejak”, dan karenanya ia bermakna sebagai
dengan Sayyid Sabiq, namun menurut
hukum balas atau pembalasan yang sama
Jumhur, baik kejahatan dan hukuman yang
atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang
berhubungan dengan hak-hak Allah ataupun 31 atau lebih. Keberadaan hukuman qishash hak manusia. 28 Hukuman ini disebut
ini tidak luput dari larangan Islam terhadap
dengan huduud karena secara bahasa hadd
pembunuhan, yang bila dilakukan secara
berarti batasan, sehingga seseorang dilarang
sengaja dikategorikan sebagai dosa besar,
untuk melakukan sebab-sebab munculnya
bahkan termasuk dalam salah satu dari 7
hukuman yang pasti tersebut, karena ia
dosa besar yang ditetapkan Allah SWT yang
terlarang. 29 Untuk itu pula, dalam
harus mendapatkan sanksi di dunia ataupun
penjelasan Wahbah Zuhaili, setidaknya ada
di akhirat. Hukuman di dunia dilaksanakan
dua pendapat tentang huduud ini, yaitu:
melalui qishash dan di akhirat diganjar
pertama, pandangan Hanafiyah yang cukup
dengan kekekalan di api neraka oleh Allah
dikenal, dengan mengkhususkan huduud
SWT, sebagaimana ditegaskan di dalam
pada hukuman yang telah ditetapkan oleh 32 Alquran surat Al-Baqarah2 ayat 178. Allah SWT atau yang mengandung
Ayat di atas memberikan keterangan,
kemaslahatan publik.
bahwa selain qishash merupakan keharusan
Hukuman hadd ini memiliki dua ciri
yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam
khas yang tidak dipunyai oleh hukuman
dalam menegakkan hukum, namun juga
yang lain, yaitu: 1) hukuman hadd tidak
membuka peluang adanya pemaafan. Perlu
mempunyai batas terendah atau batas
untuk dinyatakan di sini, bahwa hukuman
tertinggi, karena hukumannya yang sudah
qishash pada dasarnya berasal dari tradisi
ditetapkan; 2) hukuman hadd ini tidak dapat
umat Jahiliyah sebelum datangnya Islam,
dihapuskan oleh perorangan (korban atau
yang dalam banyak kasus pembunuhan
dibalas secara serampangan dengan
mewakilinya, karena hukuman tersebut
membunuh seseorang. Untuk itu, ayat di
sepenuhnya menjadi hak Allah SWT,
atas pada dasarnya menegaskan hukuman
walaupun di lain pihak juga terdapat hak
pembalasan sesuai dengan apa yang
manusia. 30 Dari sini, nampak jelas bahwa
dilakukan pelaku dan pelaku menerima
menurut para Ulama, hudud merupakan
ganjaran sesuai dengan apa yang ia
hukum baku yang tidak dapat diganti 33 lakukan. dengan hukuman-hukuman lain, karena
Tidak mutlaknya hukuman qishash
keberadaannya yang telah pasti dinyatakan
ini terletak pada adanya hukuman alternatif
di dalam Alquran atau Sunnah. Walaupun,
yang dapat dipilih oleh keluarga atau ahli
praktik dalam tradisi sejarah Islam, terdapat
waris korban. Dalam kondisi demikian,
salah satu Khalifah, yaitu Umar bin Khattab,
pembunuh diharuskan untuk membayar
yang mengganti hukuman hudud pencurian
ganti rugi kepada ahli waris korban yang
dengan penjara karena situasi keterdesakan.
disebut diyat 100 (seratus) ekor unta betina, dengan perincian: 30 ekor unta berumum
27 Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak
tiga tahun (hiqqah); 30 ekor unta yang
Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 72.
berumur empat tahun (jadza’an); 40 ekor
28 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II.
29 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa
31 Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam
Adillatuhu, juz 6, h. 23.
Syari’at Islam
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum
Adillatuhu, juz 6, h. 23.
Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004.
33 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, h. 436
Samsudin
unta yang sedang bunting (khalifah).
cukup kuat kepada pemerintah Indonesia
Perincian ini didasarkan pada suatu hadis
dalam hukuman mati ini. Hal ini ditengarai
Rasulullah yang menyatakan: “Barang
oleh sebuah Resolusi Majelis Umum PBB
siapa membunuh orang dengan sengaja, ia
tahun 1994 yang mempertimbangkan
diserahkan kepada keluarga yang terbunuh,
perlunya membatasi praktik hukuman mati
mereka boleh membunuhnya atau menarik
dan mendorong moratorium untuk eksekusi-
denda, yaitu: 30 unta betina berumur tiga 34 eksekusi mati. Walaupun, tidak semua tahun masuk empat tahun, 30 unta betina
negara PBB menyetujui hal tersebut,
berumur empat tahun masuk lima tahun,
termasuk Amerika Serika sebagai negara
dan 40 ekor unta betina yang sedang
super power, namun desakan ini dirasa
bunting.” (HR. Al-Turmidzi)
cukup memberikan dampak kepada negara- negara yang masih menerapkan hukuman
3. Pendekatan Hukum Progresif dan
mati. Tahun 1995 merupakan titik awal
Humanisme dalam Hukuman
bagaimana hukuman mati mendapatkan
Mati di Indonesia
momentumnya, ketika mayoritas negara telah menghapuskan hukuman tersebut. Hal
ini ditandai sebagai sejarah pertama di
dimunculkan oleh penentang hukuman mati
dunia. Sejak saat itu dan hingga tahun 2013,
adalah bahwa hukuman mati tersebut tidak
setidaknya telah 150 Negara-negara di dunia
menghormati hak mendasar seseorang, yaitu
yang telah menghapuskan hukuman mati,
hak atas kehidupan yang dijamin oleh
baik secara permanen ataupun de facto tidak
hukum internasional dan Konstitusi.
menerapkan hukuman mati dalam jangka
Wacana tentang penghapusan hukuman mati
waktu yang lama. Kecenderungan ini
memang telah menjadi salah satu isu
bahkan dilihat sebagai suatu kemajuan yang
penting di tingkat internasional, yang
terus berlanjut hingga akhirnya semua
mendasarkan pada insturmen hak asasi
negara diminta untuk menghapuskan
manusia (HAM) ataupun perdebatan politik 35 hukuman mati dari sistem pidana mereka. di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Di samping argumentasi hak asasi
Di dalam Deklarasi Universal Hak
manusia, para penentang hukuman mati juga
Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, hak
mengemukakan bahwa hukuman mati
atas hidup ditetapkan sebagai hak yang
sendiri bertentangan dengan Konstitusi
mendasar dan harus dilindungi oleh Negara.
Indonesia yang menjamin hak atas hidup.
Pasal 3 DUHAM menyatakan, bahwa
Pasal 28A UUD 1945 menegaskan, bahwa
“Setiap orang berhak atas kehidupan,
“Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan
individu” dan ditegaskan kembali di dalam
kehidupannya”. Menurut Poengky Indarti,
Pasal 6 ayat (1) Kovean Internasional Hak
salah seorang aktifis HAM yang mendesak
Sipil dan Politik (SIPOL), bahwa “Setiap
pemerintah agar menghapuskan hukuman
manusia memiliki hak atas hidup. Hak ini
mati, sebagaimana diungkap di dalam
harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang
Buletin Asasi, bahwa secara hukum
dapat diambil hak hidupnya secara
hukuman mati ini bertentangan dengan
sewenang-wenang” (UU No. 122005). 36 Pasal 28A UUD. Berlandasarkan pada alasan tersebut, apalagi
Kovenan SIPOL ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, banyak kelompok 34 ICJR, Hukuman Mati di dalam R KUHP, h. 14.
35 Lihat perkembangan hukuman mati di sejumlah
negara dalam ICDP, Review 2013, (Geneva, Swiss:
setidaknya memenghentikan (moratorium)
ICDP, 2014).
terlebih dahulu pelaksanaan pidana mati.
36 “Mengapa Hukuman Mati Tak Relevan Lagi?:
Di samping itu, di tingkat
Laporan Utama”, dalam Buletin Asasi, edisi
internasional juga muncul desakan yang
November – Desember 2014, h. 11.
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Di sisi yang lain, permasalahan
Khusus dalam kasus-kasus crime against
hukuman mati sendiri telah dibawa oleh
humanity atau kejahatan yang kejam seperti
salah seorang pengacara terpidana mati ke
narkoba, memang ada pengecualian.
masyarakat juga
kemudian menegaskan bahwa hukuman
menghendaki atau menuntut adanya suatu
mati tidak bertentangan dengan Konstitusi
hukuman yang setimpal yang bisa bikin jera
Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam 38 orang-orang ini”. Pasal 28J UUD yang memungkinkan adanya
Namun demikian, dukungannya
pembatasan terhadap hak itu sendiri. Dalam
terhadap hukuman mati untuk kasus narkoba
tafsir sistematis MK, pembatasan HAM
ini tidak serta merta dilihat secara mandiri,
sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal
akan tetapi harus mempertimbangan
28J ayat (1) UUD mencakup seluruh
penerapan hukum secara konsisten dan tidak
ketentuan Konstitusi yang diatur dalam
diskriminatif. Di sisi yang lain, Pemerintah
Pasal 28, mulai dari 28A hingga 28J.
harus mencermati betul apakah hukuman
Dengan kata lain, MK berpandangan bahwa
mati benar-benar akan membawa efek jera
pengaturan hak yang ada di dalam
bagi para pelaku kejahatan narkoba atau
Konstitusi, termasuk hak atas hidup,
sebaliknya justru sama sekali tidak memiliki
tidaklah bersifat mutlak, namun dapat
dampak baik pada pemberantasan narkoba dibatasi. 37 di Indonesia. Untuk itu, menurutnya,
Namun demikian, para hakim
hukuman mati bukan satu-satunya cara
Konstitusi tidak memiliki pandangan yang
untuk menyelesaikan kejahatan narkoba,
sama, di mana terdapat sejumlah hakim
karena
tanpa
dibarengi dengan
yang berbeda pandangan dan berpendapat
pemberantasan yang tegas dan menyeluruh,
bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan
pemberantasan narkoba tidak akan efektif.
Konstitusi. Salah satu hakim Konstitusi
Dalam ujarannya, “Percuma hukuman mati,
yang berbeda tersebut adalah Hakim
dikorbankan nyawa manusia kalau tujuan
Konstitusi A. Achmad Roestandi, yang
yang lebih jauh, yaitu berkurangnya
menyatakan bahwa perdebatan hukuman
penjualan narkoba, tidak tercapai karena
mati pada dasarnya telah ada sejak berabad- pemberantasan ke arah sana tidak efektif”. abad yang lalu. 39
Dari dua kecenderungan ini,
Dari sekelumit diskusi di atas, pada
memang terdapat pendapat yang mencoba
dasarnya
dapat
dilihat bagaimana
untuk menengahi kekisruhan yang ada.
seharusnya Negara memosisikan diri
Adalah advokat senior yang baru saja wafat,
menyikapi hukuman mati dalam sistem
Adnan Buyung Nasution, berargumen
hukum
di
Indonesia. Dengan
bahwa pengedar narkoba sudah sepantasnya
mempertimbangkan aspek perlindungan hak
diganjar dengan hukuman mati, walaupun
hidup setiap orang di satu sisi, namun di sisi
secara prinsip ia sendiri menolak hukuman
yang lain juga ada kemaslahatan publik
mati sebagai suatu bentuk pemidanaan.
yang harus dijaga, yaitu mencegah
Hanya saja, ia memandang bahwa kejahatan
pengedaran narkoba secara massif yang
narkoba telah dapat dikategorikan sebagai
merusak generasi bangsa. Dalam pada itu,
crime against humanity atau sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia 38 “Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar
menyatakan kepada media, “Pada dasarnya
HAM”, dalam Detik.com, Senin, 17 Februari 2003,
kita menolak hukuman mati, tapi sekarang
diakses
dari
perkembangan dunia juga harus kita ikuti.
http:www.hukumonline.comberitabacahol7460ek
sekusi-pidana-mati-tidak-melanggar-konstitusi
37 Tentang Dissenting Opinion para Hakim MK
39 “Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar
dalam Putusan PUUV2007 ini sempat pula ditulis
HAM”, dalam Detik.com, Senin, 17 Februari 2003,
oleh Colman Lynch dalam artikelnya “Indonesia‟s
diakses
dari
Use of Capital Punishment for Drugs-Trafficking
http:www.hukumonline.comberitabacahol7460ek
Crime”, h. 586.
sekusi-pidana-mati-tidak-melanggar-konstitusi
Samsudin
pemberantasan narkoba sendiri tidak serta
Menurutnya, pada masa yang akan datang
merta dapat terhenti dengan hanya
seharusnya pidana mati tidak lagi diterapkan
mengandalkan hukuman mati sebagai
di dalam sistem hukum Indonesia, karena
hukuman, karena di lain pihak, ada banyak
pidana atau hukuman mati ini merupakan
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
hukuman yang tidak dapat dipulihkan ketiak
oleh aparat penegak hukum agar penegakan
terjadi kesalahan. Hal ini berbeda dengan
hukum itu dapat berjalan dengan baik.
hukuman lain yang bila terjadi kesalahan,
Dengan kata lain, mereka yang berseteru
maka
peninjauan kembali terhadap
dengan hukuman mati pada dasarnya
hukuman dapat dilakukan dan hak-hak
sepakat dengan pemberantasan narkoba 40 korban salah orang ini dapat dipulihkan. sampai ke akar-akarnya, namun di sisi yang
Dalam kasus yang lain, ketika isu
lain, penerapan hukuman mati sebagai satu-
hukuman mati di Indonesia tengah
satunya solusi harus pula dibarengi dengan
mengalami eskalasinya, masyarakat dunia
kebijakan dan kerangka aksi lain yang lebih
dihadapkan pada fakta yang sangat
konkret dan komprehensif. Demikian halnya
memperihatinkan ketika seorang terpidana
dengan kejahatan-kejahatan lain yang
mati di Tingkok (China) yang telah
diancam dengan hukuman mati, seperti
menjalani hukuman hampir 20 tahun dengan
pembunuhan, terorisme dan korupsi.
tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan, dan
Di luar perdebatan dan titik
telah dieksekusi, ternyata korban salah
negosiasi yang kemudian dicoba untuk 41 tangkap oleh aparat penegak hukum. Hal dibuat, ada permasalahan-permasalahan
ini sontak membuat dunia semakin prihatin
yang selama ini muncul dalam pelaksanaan
dengan praktik hukuman mati, terutama di
hukuman mati yang menjadi perhatian
sejumlah Negara yang tidak begitu
demokratis dan kerapkali hukum dijadikan
permasalahan 42 ini seringkali bahkan alat kekuasaan dan represif . Proses membuat pelaksanaan hukuman mati sendiri
peradilan yang tidak fair, parsial dan tidak
tidak sesuai dengan tujuan utama
independen ini menjadi titik kritik yang
penerapannya, bahkan mengarah pada
disampaikan oleh sejumlah kalangan yang
pelanggaran dan penyelewenangan hukum.
menolak
hukuman
mati, sehingga
Untuk itu, penting untuk mengulas secara
permasalahan yang harus diselesaikan
sekilas permasalahan yang dimaksud dalam
bukannya
menyegerakan atau
penelitian ini, yang dapat dijadikan rujukan
memaksimalkan hukuman mati, namun
dalam merumuskan pendekatan hukum progresif dan humanisme hukum.
Salah satu perdebatan penting yang muncul dalam pro-kontra hukuman mati adalah tentang proses penegakan hukum di
Indonesia yang dinilai tidak cukup baik
40 Dissenting opinion Hakim Laica Marzuki
untuk menerapkan hukuman mati yang
dalam Putusan MK No. PUUV2007 tentang Pidana
notabene tidak dapat ditinjau kembali
Mati, h. 444.
setelah eksekusi dilakukan. Kekhawatiran
41 “ China court gives out new death penalty years
ini nampak saja benar, karena kesalahan
after executing wrong man for rape-murder”, The
dalam memutus perkara dan mengeksekusi
Strairs Time, 9 Februari 2015, diakses dari
seseorang, dapat dipastikan, tidak akan http:www.straitstimes.comasiaeast-asiachina- dapat court-gives-out-new-death-penalty-years-after- dipulihkan kembali atau
executing-wrong-man-for-rape ;
mengembalikan hak-hak yang telah
42 Lihat beberapa kasus lain yang terjadi di
direnggut darinya. Hal ini yang setidaknya
Tiongkok dalam Lin Yunshi, “Closer Look: Putting
dikhawatirkan oleh salah seorang Hakim
China on the Path to Ending Capital Punishment”,
Konstitusi, Laica Marzuki, ketika berbeda
Caixin Online, 4 Maret 2013, diakses dari
pendapat dengan para hakim yang lain
http:english.caixin.com2013-04-
dalam Putusan MK tentang Pidana Mati.
03100509655.html
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
memperbaiki penegakan hukum dan
menyatakan apakah hukuman mati memiliki akuntabilitas sistem peradilan. 43 relasi atau dapat mencegah terjadinya suatu
Hal lain yang juga menjadi pokok
kejahatan. Bahkan, mereka yang bekerja
perdebatan adalah tentang efek jera dari
dalam
sistem
peradilan seringkali
hukuman mati, yang menjadi alasan hampir
mengungkap fakta efek jera dalam hukuman
semua praktisi dan negara yang masih
mati tanpa didasarkan pada bukti yang kuat.
mempertahankan hukuman mati sebagai
Sebuah survey yang dilakukan di seluruh sistem pemidanaan pokok. 44 dunia pada tahun 2009 yang dilakukan oleh
Di tingkat global, alasan bahwa
Death
Penalty
Information Centre
hukuman mati menimbulkan efek jera
menunjukkan bahwa kurang dari 1 persen
memang menjadi alasan paling banyak dan
responden menganggap bahwa hukuman
kuat yang digunakan oleh para ahli hukum
mati merupakan cara terbaik untuk
yang membela hukuman mati. Di wilayah
mengurangi kejahatan. Ketika ditanya
akademik, penelitian yang muncul tentang
apakah hukuman mati merupakan alat
relasi antara hukuman mati dan efek jera ini
penegakan hukum yang paling penting, 66
berbeda-beda. Di Amerika Serikat, sejumlah
persen justru menjawab tidak. Setidaknya,
penelitian empirik dilakukan, bahwa
mereka beranggapan, bahwa ancaman atau
hukuman mati ternyata tidak memberikan
resiko pidana mati tidak cukup kuat untuk
efek jera, sebagaimana yang telah dilakukan
menangkal niat seorang penjahat untuk
oleh Thorsten Sellin (1956, 1967), Bohm 46 membunuh. (1997), dan yang dikuatkan pula oleh
Hukuman mati di Indonesia tidak
Peterson dan Bailey (1998). Namun
hanya terkait dengan penegakan hukum,
demikian, penelitian empirik lain yang tak
namun juga berhubungan dengan aspek-
kalah terkenalnya dilakukan oleh Isaac
aspek lain yang di luarnya, seperti agama,
Erlich (1975) ternyata menunjukkan relasi
politik dan sosiologis. Dari sisi politik,
positif antara resiko eksekusi (mati) dan
praktik hukuman mati seringkali dilakukan
pembunuhan yang terjadi. Studi Isaac
ketika peristiwa politik berlangsung, seperti
mengungkap, bahwa satu orang terpidana
pemilihan umum, untuk mendapatkan
yang dihukum mati, maka setidaknya 6
dukungan publik. Eksekusi pidana mati
sampai 7 orang yang berpaling untuk
bukan menjadi upaya penegakan hukum
membunuh. 45 Sementara studi yang lain,
secara serius dan menyeluruh, namun
yaitu oleh
Phillips dan
Hansley,
sebaliknya justru menjadi alat politik
menunjukkan bahwa hukuman mati