HUKUMAN MATI DI INDONESIA Studi Perbandi (1)

HUKUMAN MATI DI INDONESIA: Studi Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam

Dalam Tinjauan Humanisme

Samsudin

  Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Email: samsudincrbyahoo.co.id

Abstrak

  Perdebatan utama dalam masalah hukuman mati adalah apakah hukuman itu melanggar hak-hak setiap orang dan untuk itu harus dihentikan atau tetap harus diterapkan mengingat besarnya kepentingan masyarakat yang harus dilindungi dari penerapannya tersebut. Tulisan ini menegaskan bahwa pendekatan hukum progresif dapat digunakan untuk menjawab permasalahan hukuman mati di Indonesia yang selama ini banyak dikritik oleh sejumlah pihak, dengan meletakkan kepentingan masyarakat secara luas dalam penerapannya dan serta menghilangkan aspek-aspek diskriminatif yang justru menjadikan hukuman mati justru jauh dari kepentingan publik. Dalam perspektif hukum Islam, penelitian ini menegaskan pentingnya membangun pendekatan humanis terhadap hukuman mati, yang didasarkan pada kepentingan masyarakat secara umum, namun di sisi yang lain tetap mempertimbangkan orisinalitas hukum Islam. Untuk itu, adalah penting untuk menggunakan metode historis dalam hukum Islam dan pendekatan budaya yang tidak hanya memperhatikan justifikasi sosial politik di kalangan umat Islam, namun juga kepentingan metode tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam hukuman mati di Indonesia dewasa ini.

  Kata Kunci: Hukuman mati, hukum Islam, humanisme, Hukum Progresif, hak asasi manusia

Abstract

  The main issue in death penalty is whether the sentence is in violation of the rights of every person and accordingly has to be stopped or must be implemented because of the magnitude of public interests that should be protected from its application. This paper confirms that the approach of progressive law can be used to answer the problems of the death penalty in Indonesia that has been widely criticized by a number of parties, by putting the interests of society at large in its application as well as eliminating aspects of discrimination that actually makes the death penalty far from the public interest. In the perspective of Islamic law, this study confirms the importance of upholding a humanist approach to the death penalty, which is based on the interests of society in general, but remains considering the originality of Islamic law. To that end, it is important to use the historical method in Islamic law and a cultural approach which not only concerned with the socio-political justification in the Muslim community, but also the interests of such methods to be able to answer problems that arise because of the death penalty in Indonesia today.

  Keywords: Death penalty, Islamic law, humanism, Progressive Law, human rights

  Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam

  Vol. 1, No. 2, Desember 2016 E-ISSN: 2502-6593

  Samsudin

  A. Pendahuluan

  begitu merusak bagi generasi bangsa Hukum sejatinya berfungsi untuk 2 Indonesia. Pemerintah Indonesia

  mengatur tata kehidupan di masyarakat dan

  berpandangan bahwa kelaikan hukuman

  mati bandar narkoba ini sesuai dengan

  komunitas yang damai, adil dan beradab.

  dampak negatif yang ditimbulkan dari

  Untuk itu pula dalam setiap hukum

  narkoba

  itu

  sendiri, sebagaimana

  seringkali disertai dengan sanksi, baik

  disampaikan oleh Joko Widodo, bahwa

  secara fisik, sosial, ataupun sanksi-sanksi

  sebanyak 50 orang meninggal di Indonesia

  lain yang dianut oleh sebuah komunitas

  karena narkoba dalam satu hari.

  tertentu. Salah satu sanksi yang saat ini

  Menguatkan apa yang menjadi

  masih menjadi perdebatan adalah hukuman

  perhatian pemerintah ini, lembaga-lembaga

  mati yang sudah dihapuskan di sejumlah

  keagamaanpun mengeluarkan keputusan

  negara, namun juga masih diterapkan di

  atau statemen tentang pentingnya hukuman

  beberapa negara-negara di dunia. 1 Sejauh

  mati tersebut. Majelis Ulama Indonesia,

  ini, Indonesia masih menerapkan hukuman

  misalnya, mengengeluarkan Fatwa Nomor

  mati untuk sejumlah tindak pidana, di

  53 tahun 2014 yang menegaskan bahwa

  antaranya adalah diatur di dalam KUHP,

  halal hukumnya bagi pemerintah untuk

  UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti

  melakukan eksekusi mati bagi bandar

  Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. 3 narkoba.

  Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah

  Di sisi yang lain, kelompok-

  satu isu di Indonesia yang menjadi perhatian

  kelompok hak asasi manusia (HAM)

  banyak pihak, baik di dalam ataupun di luar

  memandang bahwa hukuman mati sudah

  negeri, akhir-akhir ini adalah terkait dengan

  tidak lagi relevan lagi bagi perkembangan

  pelaksanaan hukuman mati. Terutama akhir-

  zaman saat ini dan sudah seharusnya

  akhir ini, belum genap satu tahun,

  dihapuskan dari sistem hukum Indonesia

  Kejaksaan Agung di bawah pemerintahan

  atau untuk sementara waktu dihentikan

  Jokowi telah melakukan eksekusi mati 4 pelaksanaannya. Argumentasi kelompok sebanyak dua kali, dengan jumlah terpidana

  penentang hukuman mati ini dapat

  16 orang. Dua kali eksekusi ini

  disimbulkan kepada beberapa hal, yaitu:

  bahwa hukuman mati merupakan bentuk

  Indonesia, baik di media massa, khalayak

  hukuman yang merendahkan martabat

  ramai, bahkan di dunia akademik. Pro dan

  manusia dan bertentangan dengan HAM,

  kontra menyeruak ke permukaan, sementara

  sehingga ada banyak negara menghapuskan

  di sisi yang lain kepentingan bersama untuk

  hukuman mati dalam sistem peradilan memberantas 5 korupsi juga menjadi pidananya. Beberapa waktu lalu, pada

  perhatian semua pihak yang tidak bisa

  ditoleransi.

  2 “BNN: Hukuman Mati Bandar Narkoba Tak

  Badan Narkotika Nasional (BNN)

  Langgar HAM”, Tempo, Selasa, 23 Desember 2014,

  secara khusus atau Pemerintah Indonesia

  diakses

  dari

  secara umum berkepentingan agar hukuman

  http:metro.tempo.coreadnews20141223064630

  mati tetap dilanjutkan dan menjadi bagian

  484bnn-hukuman-mati-bandar-narkoba-tak-langgar-

  dari sistem hukum di Indonesia karena ham hukuman mati setimpal dengan kejahatan 3 “MUI Dukung Hukuman Mati Bandar

  Narkoba”,

  4 Maret 2015,

  yang dilakukan oleh para bandar narkoba dan mengingat dampak dari narkoba yang http:mui.or.idmuihomepageberitaberita-

  singkatmui-dukung-hukuman-mati-bandar-

  narkoba.html

  1 Lihat lebih lanjut tentang Negara-negara yang

  4 Schabas, William A., The Abolition of the Death

  telah menghapuskan

  hukuman

  mati dalam

  Penalty in International Law. Cambridge: Cambridge

  International Commission on Death Penalty, How

  University Press, 2002

  States Abolish the Death Penalty, (Geneva: ICDP,

  Terkait dengan hal ini, lihat, A. Mukhtie Fadjar, “Mahkamah Konstitusi dan HAM: Masalah Pidana

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

  Maret 2015, sejumlah akademisi dari

  perlindungan kuat terhadap nyawa setiap

  Perguruan Tinggi di Indonesia juga menolak

  orang, namun dalam situasi tertentu, Syariat

  hukuman mati di Jakarta. Para akademisi ini

  Islam memungkinkan membatasi hak

  menolak tegas penerapan hukuman mati di

  tersebut, di antaranya dengan menerapkan

  Indonesia karena tidak berperikemanusiaan

  hukuman mati. Secara praktik, William A.

  dan merupakan hukuman yang kejam.

  Schabas menegaskan dalam penelitiannya,

  Hukuman mati dinilai telah melanggar

  walaupun hukum Islam menganut hukuman

  standar HAM yang berlaku secara

  mati sebagai hukuman, namun negara-

  internasional karena hak hidup adalah hak

  negara Islam sendiri tidak mengaitkan yang paling penting. 6 antara hukuman tersebut dengan hukum

  Dilihat dari perdebatan yang muncul 9 Islam itu sendiri. di lapangan dan sejumlah studi yang telah

  Menanggapi pergulatan hak asasi

  dilakukan, terutama di beberapa negara

  manusia di satu sisi dan kepentingan

  yang menerapkan hukuman mati, nampak

  masyarakat dengan segala macam konteks

  sangat terlihat bahwa hukuman mati

  lokalnya, Abdullah Ahmed An-Naim

  menyinggung tentang legitimasi kultural

  sederhana. Lebih dari itu, ia sangat pelik

  (cultural legitimacy) dalam penerapan HAM

  dalam perdebatan antara kepentingan

  yang harus diselesaikan melalui dialog dan

  nasional dan kepentingan kemanusiaan. Ada

  berupaya kuat membangun argumentasi

  untuk menafsirkan kembali komponen-

  dikemukakan, namun kecenderungan negara 10 komponen norma yang diperselisihkan. untuk menerapkan hukuman mati pada

  Untuk itu pula, ia menegaskan, membangun

  dasarnya sangat terkait dengan pelbagai

  suatu diskursus antarbudaya, pendekatan

  faktor internal dan eksternal yang

  dan rumpun ilmu merupakan suatu yang

  memengaruhi, mulai dari aspek hukum,

  diperlukan untuk mengatasi perdebatan

  politik, sosial, keagamaan, bahkan budaya.

  yang hingga saat ini sangat sulit

  Dalam Islam sendiri, hukuman mati

  dipertemukan. Lebih lanjut, Mashood

  ditegaskan di sejumlah hukuman yang telah

  Baderin yang banyak mengembangkan ditetapkan, yaitu qishash dan hudud. 7 pemikiran An-Naim ini mengatakan, bahwa

  Kesepakatan yang muncul adalah bahwa

  meskipun hukum Islam menerapkan

  hukuman-hukuman ini tidak diganti atau

  hukuman mati, namun hal itu dilakukan

  diubah dengan hukuman lain, sehingga

  dengan sangat membatasi dan dengan

  secara praktis hukuman tersebut akan

  syarat-syarat yang ketat, termasuk pula

  berhadap-hadapan dengan hukuman mati.

  kemungkinan adanya perubahan hukum

  Terdapat alasan kuat dari penetapan ini, di

  dalam situasi darurat yang pernah dilakukan

  samping terkait dengan hak Allah SWT dan

  oleh sejumlah pemimpin Islam pada masa

  hak manusia, hukuman tersebut dipandang 11 lalu. sebagai kejahatan paling serius dalam

  Islam. 8 Pada dasarnya, Islam memberikan

  HAM, 2010), penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, h. 70.

  Mati”, dalam Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum,

  9 William A. Schabas, “Islam and Death Penalty”,

  April 2009, h. 1 – 6.

  dalam William and Marry Bill of Rights Journal,

  Volume 9, Issue 1, Article 13, h. 223.

  “Menolak Hukuman Mati”, Rakyat Merdeka

  Online, 10 7 Maret 2015, diakses dari Lihat, Abdullahi Ahmed An-Na‟im, “Problem

  http:www.rmol.coread201503071945211Meno

  of Universal Cultural Legitimacy for Human Rights”,

  lak-Hukuman-Mati-

  dalam Abdullah Ahmed An-Na‟im dan Francis M.

  Deng, ed., Human Rights in Africa: Cross-Cultural

  Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-

  Perspective, (Washington DC: The Brooking

  Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:

  Insitution, 1990), h. 331.

  Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68

  Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak

  Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak

  Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 72.

  Asasi Manusia dan Hukum Islam, (Jakarta: Komnas

  Samsudin

  Dengan demikian, untuk menjawab

  Untuk melihat praktik hukuman mati

  permasalahan hukuman mati ini, multi-

  merujuk pada

  pendekatan pada dasarnya harus dilakukan

  perkembangan teori hukum progresif yang

  untuk memunculkan suatu kesimpulan yang

  dikembangkan oleh sejumlah pakar hukum,

  dapat diterapkan secara efektif, progresif,

  baik di Indonesia ataupun secara umum

  dan

  tanpa mengurangi

  kepentingan

  dalam pemikiran hukum di dunia. Perspektif

  masyarakat yang menerima manfaat dari

  tersebut akan digunakan untuk melihat

  penerapan hukum itu sendiri. Di sisi yang

  sejauh mana kemudian hukuman mati

  lain, aspek-aspek keagamaan juga menjadi

  menjadi relevan dalam penerapan hukum di

  penting untuk dilihat secara komprehensif

  Indonesia itu sendiri dan seperti apa

  untuk kemudian menemukan jawaban-

  penyelesaian problematika hukuman mati

  jawaban hukum terkait dengan isu-isu

  yang selama ini muncul.

  kontemporer yang muncul di tengah

  Terdapat dua pertimbangan dalam

  masyarakat Islam, termasuk di dalamnya

  memilih metode pengumpulan data dan

  adalah tentang hukuman mati.

  informasi,

  yakni

  hubungan antara

  Dalam ragam perbedaan pendapat

  pertanyaan penelitian (research questions)

  ini, penelitian yang diajukan ini hendak

  serta pengumpulan data dan trianggulasi

  meneliti lebih jauh bagaimana permasalahan

  metode yang berbeda (menggunakan

  hukuman mati di Indonesia saat ini dari

  sumber-sumber informasi dan metode yang

  multi perspektif, yang menjangkar pada

  beragam). Dengan

  demikian, untuk

  memperoleh informasi yang memadai dari

  pandangan hukum positif dan hukum Islam

  pertanyaan-pertanyan penelitian ini maka

  terhadap hukuman mati dalam tinjauan

  dimungkinkan mengombinasikan empat

  humanisme? Bagaimana praktik hukuman

  teknik, yakni: wawancara, dokumentasi,

  mati di Indonesia dikaitkan pendekatan

  diskusi terfokus, dan studi literatur yang

  hukum progresif dalam teori ilmu hukum?

  relevan.

  Penelitian ini diharapkan dapat mengisi

  Pertama,

  wawancara mendalam

  ruang akademik yang selama ini tidak

  (indepth interview). Wawancara dilakukan

  dengan informan kunci (key informants).

  permasalahan ini secara komprehensif.

  Informan kunci antara lain: aparat negara yang menerapkan hukuman mati, kelompok-

  B. Metode Penelitian

  kelompok yang menolak hukuman mati,

  Penelitian ini akan menggunakan

  serta aktor-aktor lain yang relevan dengan

  pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan

  penelitian.

  ini dengan menimbang empat hal, yaitu:

  Kedua, studi dokumentasi. Studi

  Pertama, gejala atau fenomena yang diteliti

  dokumentasi dimaksudkan guna memotret

  lebih merupakan gejala sosial politik yang

  dinamika perdebatan hukuman mati, baik di

  bersifat dinamis, yakni pemikiran hukum

  Indonesia secara khusus ataupun di tingkat

  pidana mati di Indonesia. Kedua, materi

  internasional. Studi dokumentasi ini juga

  dalam penelitian ini adalah menyangkut

  akan dilakukan untuk mengumpulkan

  suatu dinamika sosial, pemikiran hukum,

  informasi terkait dengan teori-teori hukum

  hasil-hasil, dan keberlangsungan. Ketiga,

  dan hukum Islam berkaitan dengan

  merupakan pertimbangan subyektif peneliti,

  penerapan hukuman mati.

  bahwa permasalahan hukuman mati harus

  Ketiga, diskusi kecil terfokus. Cara ini

  dilihat secara komprehensif dan seksama

  dilakukan sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua)

  untuk kemudian dirumuskan pokok-pokok

  kali untuk membahas suatu diskursus yang

  pikiran yang lebih membangun. Keempat,

  bersifat khusus atau spesifik yang

  dari pelbagai teori yang digunakan dapat

  memerlukan kajian lebih mendalam dan

  dinyatakan termasuk dalam gugusan teori

  pemecahan.

  dalam paradigma pluralis.

  Keempat, studi literatur terkait. Langkah ini dilakukan dengan cara

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

  mempelajari tulisan-tulisan seputar hukum 12 Betawi) dirumuskan pada tahun 1642. pidana secara umum, sistem pemidanaan,

  Dalam catatan Institute for Criminal

  hukum Islam dan hukum pidana Islam, serta

  Justice System (ICJR) disebutkan bahwa di

  materi-materi yang berkaitan dengan hak

  masa

  penjajahan

  kolinial, praktik

  asasi manusia, dengan tema pokok tentang

  penggunaan hukuman mati sebagai salah

  hukuman mati.

  satu jenis penghukuman sudah lumrah

  digunakan, baik praktik yang diperkenalkan

C. Hasil dan Pembahasan

  oleh sejumlah peraturan VOC sendiri

1. Hukuman Mati dalam Sistem

  ataupun dalam bentuk plakat yang berlaku

  Pemidanaan Indonesia

  terbatas di beberapa wilayah saja. 13 Dari

  Masuknya Belanda di Indonesia

  praktik yang ada tersebut di atas kemudian

  menjadi awal modernisasi hukum pidana

  VOC memang menjadikan hukum pidana

  yang selama ini dijalankan secara adat di

  sebagai target perubahan peraturan di

  dalam masyarakat Nusantara. Seperti

  Indonesia.

  diungkap Andi Hamzah (2009), bahwa pemilahan hukum pidana dan perdata

  Dari gambaran peraturan yang dibuat

  VOC dan Belanda di atas, yang menarik

  dikenalkan oleh Belanda pada waktu itu,

  untuk diungkap di sini adalah pembuatan

  termasuk pula upaya untuk mengkodifikasi

  peraturan hukum pidana melalui Wetboek

  hukum pidana, membedakannya dengan

  van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiers)

  hukum perdata, dan sekaligus pula

  atau disingkat dengan WvSunI pada tahun

  membedakan antara hukum acara pidana

  1873. Dengan adanya kodifisikasi hukum

  dan hukum acara perdata.

  pidana di Belanda, kemudian Wetboek van Strafrecht voor Indonesiers (WvSI) ini

  Ketika VOC dan dilanjutkan

  disesuaikan pada tahun 1915 dan mulai

  pemerintah Hindia Belanda berkuasa di

  diterapkan pada 1 Januari 1918.

  Indonesia, hukum merupakan salah satu

  Kenyataannya, dalam hukum pidana yang

  aspek yang menjadi perhatian waktu itu, di

  diterapkan di Belanda, hukuman mati tidak

  antaranya adalah dengan mengubah sistem

  lagi dicantumkan dan telah dihapuskan

  hukum Indonesia sesuai dengan kepentingan

  sebagai bentuk pemidanaan. Sementara di

  kolonial. Termasuk dalam hal ini adalah

  Hindia Belanda, WvSI masih menganut

  sistem hukum pidana di Indonesia yang

  pidana mati tersebut dengan alasan sebagai

  masih mengandalkan hukum adat. Dicatat

  hukum darurat dan penerapannya hanya

  oleh Ahmad Bahiej (2005), bahwa dalam

  diberlakukan bagi tindak pidana-tindak

  upaya untuk memperbesar keuntungannya,

  pidana yang dianggap terberat oleh

  VOC memaksakan aturan-aturan yang

  pemerintah Belanda. 14

  dibawa dari Eropa untuk diterapkan bgai

  Hingga saat ini, Indonesia masih

  orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang

  menggunakan hukum pidana warisan

  dibuat VOC diumumkan dalam bentuk

  pemerintah Hindia Belanda (Kitab Undang-

  plakaat, namun tidak disimpan dalam arsip,

  undang Hukum Pidana, KUHP). Sejumlah

  sehingga tidak dapat diketahui peraturan

  inisiasi untuk merevisi KUHP tersebut

  mana yang masih berlaku dan yang sudah

  12 Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika

  perkembangannya, hal ini mendorong VOC

  Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, dalam Sosio-

  untuk mengumpulkan kembali peraturan-

  Religia, Vol. 4, Agustus 2005, h. 3 – 4.

  peraturan tersebut dan kumpulan peraturan-

  13 Supriyadi Widodo, dkk., Hukuman Mati

  peraturan inilah yang kemudian disebut

  dalam R KUHO: Jalan Tengah yang Meragukan,

  sebagai Statuten van Batavia (Statuta

  (Jakarta: ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2015), h. 5.

  14 Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti,

  2007, cetak ulang.

  Samsudin

  selalu kandas dalam perseteruan politik dan 16 mendapatkan balasan yang setimpal pula. ragam kendala yang dihadapi, bahkan sejak

  Teori kedua ini lebih menekankan

  tahun 1981 ketika dimunculkan draft RUU

  pada pemberian dasar dari pemidanaan pada

  KUHP pertama kalinya oleh dua tim, yaitu

  pertahanan tata tertib masyarakat. Merujuk

  Tim Pengkajian dan Tim Perancangan

  pada teori ini, tujuan dari pemidanaan pada

  (Kasim, 2005). Di samping itu, terdapat pula

  dasarnya bukanlah sebagai balas dendam,

  aturan-aturan lain yang dibuat dalam

  namun yang lebih utama adalah untuk

  undang-undang (UU) khusus yang masih

  menghindarkan (prevensi) dilakukannya

  menerapkan hukuman mati, seperti halnya

  suatu pelanggaran hukum. Teori ini juga

  dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang

  Terorisme, UU Nakotika, UU Perlindungan

  dilihat dari karakter sifatnya, yaitu prevensi

  Anak dan UU HAM. 17 umum dan prevensi khusus.

  Penerapan hukuman mati tersebut

  Teori ketiga, pemidanaan gabungan

  nampaknya memang tidak dapat dipisahkan

  yang mendasarkan gagasan bahwa pidana

  dari tujuan pemidanaan yang masih dianut

  hendaknya

  didasarkan atas tujuan

  oleh Indonesia, yang bila dikerangkakan

  pembalasan dan mempertahankan ketertiban

  mewujud pada tiga teori utama, yaitu: teori

  masyarakat, yang diterapkan secara

  absolusi atau pembalasan, teori relatif dan

  kombinasi dengan menitikberatkan pada

  teori gabungan. Di sisi yang lain, hingga

  salah satu unsurnya tanpa menghilangkan

  saat ini dan sejak belum selesainya

  unsur yang lain maupun pada semua unsur

  pembaruan hukum pidana di Indonesia,

  yang ada. 
Seperti namanya, teori ini

  belum ada rumusan tentang tujuan

  merupakan penggabungan dari teori absolut

  pemidanaan dalam hukum positif Indonesia.

  (pembalasan) dan teori relatif (pencegahan),

  Hal ini menyebabkan banyak sekali

  sehingga

  tujuan

  pemidanaan yang

  rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana

  dimunculkan merupakan campuran atau

  yang tidak konsisten dan tumpang tindih

  gabungan dari kedua teori pemidanaan yang

  (Abidin, 2005) dan merujuk pada KUHP

  telah ada. Selain ditujukan untuk membalas

  yang masih diterapkan memang tidak

  apa yang telah dilakukan oleh pelaku

  ditemukan tujuan pemidanaan yang dianut

  kejahatan, teori gabungan juga menekankan oleh Indonesia. 15 aspek pemidanaan pada upaya preventif

  tidak munculnya kejahatan-kejahatan baru

  di masyarakat. 18

  kejahatan memuat unsur-unsur yang

  Dalam hal ini, ketiga hal di atas

  menuntut pidana dan yang membenarkan

  merupakan suatu hal yang sangat

  menentukan dalam sistem pidana. Menurut

  pembalasan ini pada kemudian dibedakan

  Andi Hamzah (1986), 3 teori pemidanaan

  lagi pada dua corak, yaitu atas corak

  tersebut terkandung di dalam hukum pidana

  subjektif yang pembalasannya ditujukan

  Indonesia. 19 Ketiga teori ini bahkan telah

  pada kesalahan pembuat karena tercela dan

  ada sejak lama dan terus berkembang

  kedua corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan. 16 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan

  Dengan kata lain, setiap orang yang

  Tindakan dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam,

  melakukan 2005), h. 4 perbuatan pidana, harus

  17 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam,

  Andi Hamzah, Sistem Pidana dan

  Eva Achjani Zulfa, “Menakar Kembali

  Pemidanaan Indonesia, h. 12.

  Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran

  Paradigma Pemidanaan di Indonesia”, dalam Lex 19 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan

  Jurnalica, Vol. 2, April 2007, h. 95

  Pemidanaan Indonesia, h. 12.

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

  mengikuti perkembangan sistem pidana

  setiap suku menyetujui agar hukuman yang

  Indonesia, dan dapat dikatakan bahwa

  diberikan adalah pembalasan terhadap apa

  ketiga teori ini adalah hal yang fundamental

  yang telah dilakukan. Di sisi yang lain,

  dalam 
sistem pidana Indonesia. Ketiga

  hukuman-hukuman ini pada dasarnya

  menentukan bagaimana sebuah hukuman

  merupakan hukuman yang sebelumnya telah

  ditetapkan dan tujuan pemidaan seperti apa

  diterapkan di masa sebelum kedatangan

  yang kemudian dikehendaki oleh suatu

  Islam, bahkan ditegaskan di dalam agama

  negara, dengan mempertimbangkan aspek-

  Samawi, seperti Yahudi dan Nashrani

  aspek 21 yang mengitarinya. Sayangnya, (Sabiq, 1983). hingga saat ini, Indonesia belum

  Menurut Abdul Qadir Audah, Syariat

  menerjemahkan tujuan pemidanaan yang

  Islam menetapkan hukuman bagi pelaku

  secara komprehensif dapat diterima oleh

  kejahatan bertujuan untuk mencegah agar

  semua orang dan menjadi acuan dalam

  manusia tidak mendekati perbuatan tersebut,

  pembuatan peraturan perundang-undangan.

  baik dengan melakukan perbuatan yang

  Akibatnya, tumpang tindih aturan dan

  dilarang ataupun meninggalkan perbuatan

  ketidakjelasan arah kebijakan politik hukum

  yang diperintahkan. Islam memandang

  pidana juga mempersulit pembangunan

  bahwa tidak cukup manusia dibebani

  hukum yang lebih adil dan efektif.

  dengan perintah dan larangan saja, tanpa diberikan sanksi atasnya, sehingga sanksi

  2. Hukum Islam dan Hukuman Mati

  tersebut

  merupakan

  sarana untuk

  Merujuk pada bentuk pemidanaan

  memastikan perintah dan larangan itu

  dalam Islam, sejarah Arab pra-Islam tidak

  dilaksanakan oleh manusia. Dengan

  dapat dipisahkan dari perumusan hukum

  demikian, sanksi pidana yang ditetapkan

  Islam di masa Nabi Muhammad SAW.

  berupaya untuk mencegah terjadinya

  Sistem pemidanaan yang berlangsung saat

  kejahatan-kejahatan, kerusakan di bumi,

  itu masih berbentuk pidana “darah dibalas

  menjauhkan manusia dari apa yang

  darah” atau dikenal dengan talionis lex

  mencelakakannya,

  ataupun mendesak

  terhadap suku yang melakukan kejahatan.

  manusia untuk melakukan apa yang

  Pembalasan ini diberlakukan untuk tindak

  dipandang baik baginya. Dengan demikian,

  pidana yang dianggap berat, seperti

  lanjut Audah, bahwa pada dasarnya

  pembalasan atas pembunuhan adalah

  penetapan larangan dan sanksi tersebut tidak

  kematian, pembalasan untuk pencurian

  dalam pandangan Syariat saja, namun

  adalah amputasi (tangan); perzinaan adalah

  sebaliknya, demi kelangsungan kehidupan

  rajam sampai mati atau cambuk, dengan

  masyarakat dan menjaga kemaslahatan tetap

  menghitamkan wajah perempuan penzina, 22 ada di kehidupan tersebut. dan sebagainya. Ini adalah bentuk

  Dari sini, hukuman yang ditetapkan

  pemidanaan yang ada saat itu sebelum Islam

  dalam Islam pada dasarnya serupa dengan

  hadir dan sangat kental dalam masyarakat

  hukum pidana secara umum – setidaknya

  yang hidup di masing-masing klan atau

  yang berlaku pada masa sekarang – yaitu suku. 20 menjadi sarana pencegahan, retribusi atau

  Salah satu sebab dari sistem

  pembalasan, rehabilitasi atau perbaikan, dan

  pemidanaan demikian adalah karena masih

  pada akhirnya untuk melindungi masyarakat

  kuatnya perasaan dendam antar suku bila

  dengan

  cara

  melumpuhkan pelaku

  terjadi suatu kejahatan terhadap suku-suku

  kejahatan. Selain itu, aturan tentang

  yang lain. Untuk mencegah hal tersebut,

  hukuman ini berkaitan erat dengan ganti rugi dari kerusakan yang dihasilkan dari

  Matthew Lippman, “Islamic Criminal Law and

  21 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, h. 302

  Procedure: Religious Fundamentalism vs. Modern Law”, dalam Boston College International and

  22 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-

  Comparative Law, Volume 12, Issue I, Article 3, h.

  Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:

  Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68 Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68

  berkaitan dengan

  pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan hal-

  pembalasan (retaliation) atau

  hal lain yang termasuk dalam tindak pidana.

  qishash.

  Hal ini pula yang dalam batas tertentu

  b. yang berkaitan dengan ganti rugi

  membedakan hukum pidana Islam dengan

  harta benda atau uang (diyat).

  hukum pidana umum, karena hukum Islam

  2. Hukuman-hukuman yang ditetapkan

  merupakan hukum agama dan berasal dari

  di dalam Alquran dan melanggar

  Allah Swt, maka ia juga memiliki sifat

  hak-hak Allah (huquuq Allah),

  “vertikal” antara manusia dan Tuhannya,

  dengan perintah yang tegas dan

  tetap, yaitu hadd atau huduud.

  penghargaan dan hukuman di akhirat. Hal

  Bentuk hukuman ini diterapkan

  inilah yang menghubungkan antara tindak

  untuk tindak pidana:

  pidana dan hudud atau kafarat yang

  a. pencurian; ditetapkan di dalam hukum pidana Islam. 23 b. perampokan;

  Dilihat dari sisi sumber teks

  c. perzinaan;

  keberadaannya, hukum pidana Islam

  d. tuduhan (fitnah) perzinaan;

  diklasifikasikan menjadi dua bagian besar,

  e. meminum minuman keras;

  yaitu: hukum yang da nas atau teksnya dan

  f. murtad,

  untuk beberapa

  hukum yang tidak diatur secara eksplisit di

  pendapat fikih.

  dalam nas-nas keagamaan, baik Alquran

  Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim

  atau hadis. Hukuman yang terkategori

  berdasarkan kewenangan khusus (diskresi)

  sebagai hukuman yang ada nasnya adalah

  terhadap suatu kejahatan atau pelanggaran –

  hudud, qisas, diyat, dan kafarah. Hal ini

  sesuatu yang dianggap secara tingkah laku

  diberlakukan untuk tindak pidana-tindak

  dilarang dan mengancam keamanan atau

  pidana tertentu, seperti hukuman bagi

  kenyamanan publik – yang hukumannya

  pezina, pencuri, perampok, pemberontak, 26 tidak diatur di dalam Alquran atau hadis. dan pembunuh. Sementara untuk tindak

  Dari hukuman-hukuman ini, dapat

  pidana yang kedua, yaitu yang tidak ada

  diidentifikasi hukuman-hukuman yang

  nasnya, disebut dengan hukuman ta’zir,

  menganut hukuman mati dalam Islam

  yang pelaksanaannya diserahkan kepada

  adalah pembunuhan, perzinaan bagi yang

  hakim untuk menentukan bagaimana

  telah menikah (muhshan), perampokan

  hukuman yang laik bagi seorang pelaku

  (hirabah), pemberontakan dan murtad. kejahatan. 24 Sebagaimana di atas, hukuman-hukuman

  Para ahli hukum Islam (fuqaha‟) lebih

  tersebut pada dasarnya ditujukan untuk

  sering membagi sistem pemidanaan dalam

  melindungi kepentingan masyarakat, yang

  Islam ke dalam tiga aspek. 25 Hal ini

  di dalamnya mengandung hak-hak Allah

  tergambar dari kitab-kitab fikih klasik, yang

  dan hak manusia, sehingga penerapan

  sekaligus pula menjadi corak umum

  hukuman mati ini dimungkinkan dalam

  pembahasan fikih jinayah di dalam kitab

  kerangka Syariat

  untuk melindungi

  tersebut, yaitu:

  kepentingan yang lebih besar. Hal ini

  1. Hukuman untuk kejahatan terhadap

  tergambar dari alasan mengapa hukuman

  individu, misalnya pembunuhan

  mati penting untuk delik pembunuhan,

  atau penganiayaan, yang terdiri atas:

  misalnya, menurut para ahli fikih, bahwa hukuman mati itu – yang noba bene

  23 Rudolph Peters, Crime and Punishment in

  menghilangkan nyawa pelaku kejahatan –

  Islamic Law, h. 30.

  berguna untuk menangkal kejahatan

  24 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al- Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, (Beirut:

  Dar al-Katib al-„Azali, tth), juz I, h. 68

  Rudolph Peters, Crime and Punishment in 26 Rudolph Peters, Crime and Punishment in Islamic Law, h. 30.

  Islamic Law, h. 31.

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 pembunuhan yang lebih besar lagi. 27 Jenis hukuman lain yang terkait

  Hudud secara Syar‟i berarti hukuman-

  dengan hukuman mati adalah qishash untuk

  delik pembunuhan yang disengaja. Secara

  keberadaannya karena hak-hak Allah SWT.

  bahasa, qishash memiliki arti “mengikuti

  Jumhur Ulama memiliki definisi yang sama

  jejak”, dan karenanya ia bermakna sebagai

  dengan Sayyid Sabiq, namun menurut

  hukum balas atau pembalasan yang sama

  Jumhur, baik kejahatan dan hukuman yang

  atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang

  berhubungan dengan hak-hak Allah ataupun 31 atau lebih. Keberadaan hukuman qishash hak manusia. 28 Hukuman ini disebut

  ini tidak luput dari larangan Islam terhadap

  dengan huduud karena secara bahasa hadd

  pembunuhan, yang bila dilakukan secara

  berarti batasan, sehingga seseorang dilarang

  sengaja dikategorikan sebagai dosa besar,

  untuk melakukan sebab-sebab munculnya

  bahkan termasuk dalam salah satu dari 7

  hukuman yang pasti tersebut, karena ia

  dosa besar yang ditetapkan Allah SWT yang

  terlarang. 29 Untuk itu pula, dalam

  harus mendapatkan sanksi di dunia ataupun

  penjelasan Wahbah Zuhaili, setidaknya ada

  di akhirat. Hukuman di dunia dilaksanakan

  dua pendapat tentang huduud ini, yaitu:

  melalui qishash dan di akhirat diganjar

  pertama, pandangan Hanafiyah yang cukup

  dengan kekekalan di api neraka oleh Allah

  dikenal, dengan mengkhususkan huduud

  SWT, sebagaimana ditegaskan di dalam

  pada hukuman yang telah ditetapkan oleh 32 Alquran surat Al-Baqarah2 ayat 178. Allah SWT atau yang mengandung

  Ayat di atas memberikan keterangan,

  kemaslahatan publik.

  bahwa selain qishash merupakan keharusan

  Hukuman hadd ini memiliki dua ciri

  yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam

  khas yang tidak dipunyai oleh hukuman

  dalam menegakkan hukum, namun juga

  yang lain, yaitu: 1) hukuman hadd tidak

  membuka peluang adanya pemaafan. Perlu

  mempunyai batas terendah atau batas

  untuk dinyatakan di sini, bahwa hukuman

  tertinggi, karena hukumannya yang sudah

  qishash pada dasarnya berasal dari tradisi

  ditetapkan; 2) hukuman hadd ini tidak dapat

  umat Jahiliyah sebelum datangnya Islam,

  dihapuskan oleh perorangan (korban atau

  yang dalam banyak kasus pembunuhan

  dibalas secara serampangan dengan

  mewakilinya, karena hukuman tersebut

  membunuh seseorang. Untuk itu, ayat di

  sepenuhnya menjadi hak Allah SWT,

  atas pada dasarnya menegaskan hukuman

  walaupun di lain pihak juga terdapat hak

  pembalasan sesuai dengan apa yang

  manusia. 30 Dari sini, nampak jelas bahwa

  dilakukan pelaku dan pelaku menerima

  menurut para Ulama, hudud merupakan

  ganjaran sesuai dengan apa yang ia

  hukum baku yang tidak dapat diganti 33 lakukan. dengan hukuman-hukuman lain, karena

  Tidak mutlaknya hukuman qishash

  keberadaannya yang telah pasti dinyatakan

  ini terletak pada adanya hukuman alternatif

  di dalam Alquran atau Sunnah. Walaupun,

  yang dapat dipilih oleh keluarga atau ahli

  praktik dalam tradisi sejarah Islam, terdapat

  waris korban. Dalam kondisi demikian,

  salah satu Khalifah, yaitu Umar bin Khattab,

  pembunuh diharuskan untuk membayar

  yang mengganti hukuman hudud pencurian

  ganti rugi kepada ahli waris korban yang

  dengan penjara karena situasi keterdesakan.

  disebut diyat 100 (seratus) ekor unta betina, dengan perincian: 30 ekor unta berumum

  27 Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak

  tiga tahun (hiqqah); 30 ekor unta yang

  Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 72.

  berumur empat tahun (jadza’an); 40 ekor

  28 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II.

  29 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa

  31 Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam

  Adillatuhu, juz 6, h. 23.

  Syari’at Islam

  Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa

  Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum

  Adillatuhu, juz 6, h. 23.

  Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004.

  33 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, h. 436

  Samsudin

  unta yang sedang bunting (khalifah).

  cukup kuat kepada pemerintah Indonesia

  Perincian ini didasarkan pada suatu hadis

  dalam hukuman mati ini. Hal ini ditengarai

  Rasulullah yang menyatakan: “Barang

  oleh sebuah Resolusi Majelis Umum PBB

  siapa membunuh orang dengan sengaja, ia

  tahun 1994 yang mempertimbangkan

  diserahkan kepada keluarga yang terbunuh,

  perlunya membatasi praktik hukuman mati

  mereka boleh membunuhnya atau menarik

  dan mendorong moratorium untuk eksekusi-

  denda, yaitu: 30 unta betina berumur tiga 34 eksekusi mati. Walaupun, tidak semua tahun masuk empat tahun, 30 unta betina

  negara PBB menyetujui hal tersebut,

  berumur empat tahun masuk lima tahun,

  termasuk Amerika Serika sebagai negara

  dan 40 ekor unta betina yang sedang

  super power, namun desakan ini dirasa

  bunting.” (HR. Al-Turmidzi)

  cukup memberikan dampak kepada negara- negara yang masih menerapkan hukuman

  3. Pendekatan Hukum Progresif dan

  mati. Tahun 1995 merupakan titik awal

  Humanisme dalam Hukuman

  bagaimana hukuman mati mendapatkan

  Mati di Indonesia

  momentumnya, ketika mayoritas negara telah menghapuskan hukuman tersebut. Hal

  ini ditandai sebagai sejarah pertama di

  dimunculkan oleh penentang hukuman mati

  dunia. Sejak saat itu dan hingga tahun 2013,

  adalah bahwa hukuman mati tersebut tidak

  setidaknya telah 150 Negara-negara di dunia

  menghormati hak mendasar seseorang, yaitu

  yang telah menghapuskan hukuman mati,

  hak atas kehidupan yang dijamin oleh

  baik secara permanen ataupun de facto tidak

  hukum internasional dan Konstitusi.

  menerapkan hukuman mati dalam jangka

  Wacana tentang penghapusan hukuman mati

  waktu yang lama. Kecenderungan ini

  memang telah menjadi salah satu isu

  bahkan dilihat sebagai suatu kemajuan yang

  penting di tingkat internasional, yang

  terus berlanjut hingga akhirnya semua

  mendasarkan pada insturmen hak asasi

  negara diminta untuk menghapuskan

  manusia (HAM) ataupun perdebatan politik 35 hukuman mati dari sistem pidana mereka. di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

  Di samping argumentasi hak asasi

  Di dalam Deklarasi Universal Hak

  manusia, para penentang hukuman mati juga

  Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, hak

  mengemukakan bahwa hukuman mati

  atas hidup ditetapkan sebagai hak yang

  sendiri bertentangan dengan Konstitusi

  mendasar dan harus dilindungi oleh Negara.

  Indonesia yang menjamin hak atas hidup.

  Pasal 3 DUHAM menyatakan, bahwa

  Pasal 28A UUD 1945 menegaskan, bahwa

  “Setiap orang berhak atas kehidupan,

  “Setiap orang berhak untuk hidup serta

  berhak mempertahankan hidup dan

  individu” dan ditegaskan kembali di dalam

  kehidupannya”. Menurut Poengky Indarti,

  Pasal 6 ayat (1) Kovean Internasional Hak

  salah seorang aktifis HAM yang mendesak

  Sipil dan Politik (SIPOL), bahwa “Setiap

  pemerintah agar menghapuskan hukuman

  manusia memiliki hak atas hidup. Hak ini

  mati, sebagaimana diungkap di dalam

  harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang

  Buletin Asasi, bahwa secara hukum

  dapat diambil hak hidupnya secara

  hukuman mati ini bertentangan dengan

  sewenang-wenang” (UU No. 122005). 36 Pasal 28A UUD. Berlandasarkan pada alasan tersebut, apalagi

  Kovenan SIPOL ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, banyak kelompok 34 ICJR, Hukuman Mati di dalam R KUHP, h. 14.

  35 Lihat perkembangan hukuman mati di sejumlah

  negara dalam ICDP, Review 2013, (Geneva, Swiss:

  setidaknya memenghentikan (moratorium)

  ICDP, 2014).

  terlebih dahulu pelaksanaan pidana mati.

  36 “Mengapa Hukuman Mati Tak Relevan Lagi?:

  Di samping itu, di tingkat

  Laporan Utama”, dalam Buletin Asasi, edisi

  internasional juga muncul desakan yang

  November – Desember 2014, h. 11.

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

  Di sisi yang lain, permasalahan

  Khusus dalam kasus-kasus crime against

  hukuman mati sendiri telah dibawa oleh

  humanity atau kejahatan yang kejam seperti

  salah seorang pengacara terpidana mati ke

  narkoba, memang ada pengecualian.

  masyarakat juga

  kemudian menegaskan bahwa hukuman

  menghendaki atau menuntut adanya suatu

  mati tidak bertentangan dengan Konstitusi

  hukuman yang setimpal yang bisa bikin jera

  Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam 38 orang-orang ini”. Pasal 28J UUD yang memungkinkan adanya

  Namun demikian, dukungannya

  pembatasan terhadap hak itu sendiri. Dalam

  terhadap hukuman mati untuk kasus narkoba

  tafsir sistematis MK, pembatasan HAM

  ini tidak serta merta dilihat secara mandiri,

  sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal

  akan tetapi harus mempertimbangan

  28J ayat (1) UUD mencakup seluruh

  penerapan hukum secara konsisten dan tidak

  ketentuan Konstitusi yang diatur dalam

  diskriminatif. Di sisi yang lain, Pemerintah

  Pasal 28, mulai dari 28A hingga 28J.

  harus mencermati betul apakah hukuman

  Dengan kata lain, MK berpandangan bahwa

  mati benar-benar akan membawa efek jera

  pengaturan hak yang ada di dalam

  bagi para pelaku kejahatan narkoba atau

  Konstitusi, termasuk hak atas hidup,

  sebaliknya justru sama sekali tidak memiliki

  tidaklah bersifat mutlak, namun dapat

  dampak baik pada pemberantasan narkoba dibatasi. 37 di Indonesia. Untuk itu, menurutnya,

  Namun demikian, para hakim

  hukuman mati bukan satu-satunya cara

  Konstitusi tidak memiliki pandangan yang

  untuk menyelesaikan kejahatan narkoba,

  sama, di mana terdapat sejumlah hakim

  karena

  tanpa

  dibarengi dengan

  yang berbeda pandangan dan berpendapat

  pemberantasan yang tegas dan menyeluruh,

  bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan

  pemberantasan narkoba tidak akan efektif.

  Konstitusi. Salah satu hakim Konstitusi

  Dalam ujarannya, “Percuma hukuman mati,

  yang berbeda tersebut adalah Hakim

  dikorbankan nyawa manusia kalau tujuan

  Konstitusi A. Achmad Roestandi, yang

  yang lebih jauh, yaitu berkurangnya

  menyatakan bahwa perdebatan hukuman

  penjualan narkoba, tidak tercapai karena

  mati pada dasarnya telah ada sejak berabad- pemberantasan ke arah sana tidak efektif”. abad yang lalu. 39

  Dari dua kecenderungan ini,

  Dari sekelumit diskusi di atas, pada

  memang terdapat pendapat yang mencoba

  dasarnya

  dapat

  dilihat bagaimana

  untuk menengahi kekisruhan yang ada.

  seharusnya Negara memosisikan diri

  Adalah advokat senior yang baru saja wafat,

  menyikapi hukuman mati dalam sistem

  Adnan Buyung Nasution, berargumen

  hukum

  di

  Indonesia. Dengan

  bahwa pengedar narkoba sudah sepantasnya

  mempertimbangkan aspek perlindungan hak

  diganjar dengan hukuman mati, walaupun

  hidup setiap orang di satu sisi, namun di sisi

  secara prinsip ia sendiri menolak hukuman

  yang lain juga ada kemaslahatan publik

  mati sebagai suatu bentuk pemidanaan.

  yang harus dijaga, yaitu mencegah

  Hanya saja, ia memandang bahwa kejahatan

  pengedaran narkoba secara massif yang

  narkoba telah dapat dikategorikan sebagai

  merusak generasi bangsa. Dalam pada itu,

  crime against humanity atau sebagai

  kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia 38 “Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar

  menyatakan kepada media, “Pada dasarnya

  HAM”, dalam Detik.com, Senin, 17 Februari 2003,

  kita menolak hukuman mati, tapi sekarang

  diakses

  dari

  perkembangan dunia juga harus kita ikuti.

  http:www.hukumonline.comberitabacahol7460ek

  sekusi-pidana-mati-tidak-melanggar-konstitusi

  37 Tentang Dissenting Opinion para Hakim MK

  39 “Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar

  dalam Putusan PUUV2007 ini sempat pula ditulis

  HAM”, dalam Detik.com, Senin, 17 Februari 2003,

  oleh Colman Lynch dalam artikelnya “Indonesia‟s

  diakses

  dari

  Use of Capital Punishment for Drugs-Trafficking

  http:www.hukumonline.comberitabacahol7460ek

  Crime”, h. 586.

  sekusi-pidana-mati-tidak-melanggar-konstitusi

  Samsudin

  pemberantasan narkoba sendiri tidak serta

  Menurutnya, pada masa yang akan datang

  merta dapat terhenti dengan hanya

  seharusnya pidana mati tidak lagi diterapkan

  mengandalkan hukuman mati sebagai

  di dalam sistem hukum Indonesia, karena

  hukuman, karena di lain pihak, ada banyak

  pidana atau hukuman mati ini merupakan

  pekerjaan rumah yang harus diselesaikan

  hukuman yang tidak dapat dipulihkan ketiak

  oleh aparat penegak hukum agar penegakan

  terjadi kesalahan. Hal ini berbeda dengan

  hukum itu dapat berjalan dengan baik.

  hukuman lain yang bila terjadi kesalahan,

  Dengan kata lain, mereka yang berseteru

  maka

  peninjauan kembali terhadap

  dengan hukuman mati pada dasarnya

  hukuman dapat dilakukan dan hak-hak

  sepakat dengan pemberantasan narkoba 40 korban salah orang ini dapat dipulihkan. sampai ke akar-akarnya, namun di sisi yang

  Dalam kasus yang lain, ketika isu

  lain, penerapan hukuman mati sebagai satu-

  hukuman mati di Indonesia tengah

  satunya solusi harus pula dibarengi dengan

  mengalami eskalasinya, masyarakat dunia

  kebijakan dan kerangka aksi lain yang lebih

  dihadapkan pada fakta yang sangat

  konkret dan komprehensif. Demikian halnya

  memperihatinkan ketika seorang terpidana

  dengan kejahatan-kejahatan lain yang

  mati di Tingkok (China) yang telah

  diancam dengan hukuman mati, seperti

  menjalani hukuman hampir 20 tahun dengan

  pembunuhan, terorisme dan korupsi.

  tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan, dan

  Di luar perdebatan dan titik

  telah dieksekusi, ternyata korban salah

  negosiasi yang kemudian dicoba untuk 41 tangkap oleh aparat penegak hukum. Hal dibuat, ada permasalahan-permasalahan

  ini sontak membuat dunia semakin prihatin

  yang selama ini muncul dalam pelaksanaan

  dengan praktik hukuman mati, terutama di

  hukuman mati yang menjadi perhatian

  sejumlah Negara yang tidak begitu

  demokratis dan kerapkali hukum dijadikan

  permasalahan 42 ini seringkali bahkan alat kekuasaan dan represif . Proses membuat pelaksanaan hukuman mati sendiri

  peradilan yang tidak fair, parsial dan tidak

  tidak sesuai dengan tujuan utama

  independen ini menjadi titik kritik yang

  penerapannya, bahkan mengarah pada

  disampaikan oleh sejumlah kalangan yang

  pelanggaran dan penyelewenangan hukum.

  menolak

  hukuman

  mati, sehingga

  Untuk itu, penting untuk mengulas secara

  permasalahan yang harus diselesaikan

  sekilas permasalahan yang dimaksud dalam

  bukannya

  menyegerakan atau

  penelitian ini, yang dapat dijadikan rujukan

  memaksimalkan hukuman mati, namun

  dalam merumuskan pendekatan hukum progresif dan humanisme hukum.

  Salah satu perdebatan penting yang muncul dalam pro-kontra hukuman mati adalah tentang proses penegakan hukum di

  Indonesia yang dinilai tidak cukup baik

  40 Dissenting opinion Hakim Laica Marzuki

  untuk menerapkan hukuman mati yang

  dalam Putusan MK No. PUUV2007 tentang Pidana

  notabene tidak dapat ditinjau kembali

  Mati, h. 444.

  setelah eksekusi dilakukan. Kekhawatiran

  41 “ China court gives out new death penalty years

  ini nampak saja benar, karena kesalahan

  after executing wrong man for rape-murder”, The

  dalam memutus perkara dan mengeksekusi

  Strairs Time, 9 Februari 2015, diakses dari

  seseorang, dapat dipastikan, tidak akan http:www.straitstimes.comasiaeast-asiachina- dapat court-gives-out-new-death-penalty-years-after- dipulihkan kembali atau

  executing-wrong-man-for-rape ;

  mengembalikan hak-hak yang telah

  42 Lihat beberapa kasus lain yang terjadi di

  direnggut darinya. Hal ini yang setidaknya

  Tiongkok dalam Lin Yunshi, “Closer Look: Putting

  dikhawatirkan oleh salah seorang Hakim

  China on the Path to Ending Capital Punishment”,

  Konstitusi, Laica Marzuki, ketika berbeda

  Caixin Online, 4 Maret 2013, diakses dari

  pendapat dengan para hakim yang lain

  http:english.caixin.com2013-04-

  dalam Putusan MK tentang Pidana Mati.

  03100509655.html

  Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

  memperbaiki penegakan hukum dan

  menyatakan apakah hukuman mati memiliki akuntabilitas sistem peradilan. 43 relasi atau dapat mencegah terjadinya suatu

  Hal lain yang juga menjadi pokok

  kejahatan. Bahkan, mereka yang bekerja

  perdebatan adalah tentang efek jera dari

  dalam

  sistem

  peradilan seringkali

  hukuman mati, yang menjadi alasan hampir

  mengungkap fakta efek jera dalam hukuman

  semua praktisi dan negara yang masih

  mati tanpa didasarkan pada bukti yang kuat.

  mempertahankan hukuman mati sebagai

  Sebuah survey yang dilakukan di seluruh sistem pemidanaan pokok. 44 dunia pada tahun 2009 yang dilakukan oleh

  Di tingkat global, alasan bahwa

  Death

  Penalty

  Information Centre

  hukuman mati menimbulkan efek jera

  menunjukkan bahwa kurang dari 1 persen

  memang menjadi alasan paling banyak dan

  responden menganggap bahwa hukuman

  kuat yang digunakan oleh para ahli hukum

  mati merupakan cara terbaik untuk

  yang membela hukuman mati. Di wilayah

  mengurangi kejahatan. Ketika ditanya

  akademik, penelitian yang muncul tentang

  apakah hukuman mati merupakan alat

  relasi antara hukuman mati dan efek jera ini

  penegakan hukum yang paling penting, 66

  berbeda-beda. Di Amerika Serikat, sejumlah

  persen justru menjawab tidak. Setidaknya,

  penelitian empirik dilakukan, bahwa

  mereka beranggapan, bahwa ancaman atau

  hukuman mati ternyata tidak memberikan

  resiko pidana mati tidak cukup kuat untuk

  efek jera, sebagaimana yang telah dilakukan

  menangkal niat seorang penjahat untuk

  oleh Thorsten Sellin (1956, 1967), Bohm 46 membunuh. (1997), dan yang dikuatkan pula oleh

  Hukuman mati di Indonesia tidak

  Peterson dan Bailey (1998). Namun

  hanya terkait dengan penegakan hukum,

  demikian, penelitian empirik lain yang tak

  namun juga berhubungan dengan aspek-

  kalah terkenalnya dilakukan oleh Isaac

  aspek lain yang di luarnya, seperti agama,

  Erlich (1975) ternyata menunjukkan relasi

  politik dan sosiologis. Dari sisi politik,

  positif antara resiko eksekusi (mati) dan

  praktik hukuman mati seringkali dilakukan

  pembunuhan yang terjadi. Studi Isaac

  ketika peristiwa politik berlangsung, seperti

  mengungkap, bahwa satu orang terpidana

  pemilihan umum, untuk mendapatkan

  yang dihukum mati, maka setidaknya 6

  dukungan publik. Eksekusi pidana mati

  sampai 7 orang yang berpaling untuk

  bukan menjadi upaya penegakan hukum

  membunuh. 45 Sementara studi yang lain,

  secara serius dan menyeluruh, namun

  yaitu oleh

  Phillips dan

  Hansley,

  sebaliknya justru menjadi alat politik

  menunjukkan bahwa hukuman mati