IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI BERB

IMPLEMENTANSI PENDIDIKAN KARAKTER DI BERBAGAI
JENJANG PENDIDIKAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Antropologi Pendidikan
Dosen Pengampu: DR. Siti Irene Astuti D.

Disusun Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.

Fitriatik
Erna Fitriana
Muliawan Muhammad K
Rizki Rohana Putri
Itsna Cahya Fajriani

(14803241079)
(14803244002)
(14803244011)

(14803244015)
(14803244016)

PENDIDIKAN AKUNTANSI C 2014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada era sekarang sudah menjadi kebutuhan bagi setiap lapisan
masyarakat. Setiap individu memerlukan pendidikan agar dapat menggali dan
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dalam pelaksanaan
pendidikan diperlukan adanya sarana dan prasarana yang mendukung
pendidikan tersebut. Sarana yang dibutuhkan untuk mendukung berhasilnya

pendidikan adalah lingkungan sekolah yang baik. Keadaan lingkungan sangat
mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu pendidikan. Menurut para ahli,
kondisi lingkungan berpengaruh terhadap pendidikan yang dilakukan oleh
individu.
Sekarang kondisi di dunia pendidikan di Indonesia sedang “menderita
sakit”. Alasan mengapa kondisi Indonesia saat ini dikatakan dalam kondisi
sakit adalah kerena sekarang ini makin banyaknya tindakan-tindakan amoral
yang terjadi di Indonesia. penyakit masyarakat yang kini sedang menjangkit
bangsa kita diantaranya makin banyaknya kasus korupsi, pencurian,
pembegalan, meningkatnya kasus penyalahgunaan narkoba. Dalam lingkungan
pendidikan sendiri masalah yang kini patut menjadi perhatian adalah kekerasan
yang dilakukan di lingkungan sekolah, dan kasus bullying. Masalah ini
merupakan masalah yang serius karena apabila hal ini tidak segera mendapat
perhatian maka akan menimbulkan masalah yang lebih serius lagi yang
berakibat pada generasi selanjutnya.
Setiap masalah yang ada pasti ada solusinya. Demikian halnya dengan
masalah yang sedag ada di dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan karakter
sekarang ini merupakan hal yang sedang gencar-gencarnya menjadi sorotan di
berbagai belahan dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Indonesia kini juga sedang
menggunakan berbagai cara agar pendidikan karakter yang ada di Indonesia

2

dapat terwujud. Agar pendidikan karakter tersebut dapat terwujud maka
diperlukan adanya lingkungan yang tepat. Dari penjelasan di atas, maka penulis
menggagas ide sederhana yang di tuliskan dalam makalah ini, dengan judul
“Implementasi Pendidikan Karakter di Berbagai Jenjang Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah
1. Permasalahan apa saja yang melatarbelakangi pentingnya model sekolah
pendidikan karakter?
2. Apa itu budaya sekolah? Dan bagaimana budaya sekolah pada sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter?
3. Bagaimana implementasi pendidikan karakter di berbagai jenjang
pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi?
4. Hal apa saja yang menghambat implementasi gagasan pendidikan karakter?
5. Bagaimana solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan implementasi
gagasan pendidikan karakter?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui impelementasi pendidikan karakter di berbagai jenjang
pendidikan.
2. Nilai-nilai apa saja yang seharusnya ada di sekolah agar terwujudnya

pendidikan karekter kepada siswanya, sehingga mencegah adanya tindakan
amoral di dunia pendidikan.
3. Mengetahui tentang budaya sekolah pada sekolah yang menerapkan
pendidikan karakter.
D. Manfaat Penulisan
Dari penulisan makalah ini maka diharapkan mendatangkan manfaat
berupa adanya penerapan serta peningkatan pendidikan karakter di sekolahsekolah dengan model sekolah berkarakter ini. Selain itu manfaat yang akan
didapatkan setelah adanya pendidikan karakter yang baik maka akan
mengurangi atau bahkan menghilangkan penyakit masyarat yang kini tengah
menjangkit Indonesia.

3

BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum

kita

membahas


mengenai

permasalahan-permasalahan

pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu
sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal
dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia,
peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan
sebagai berikut:
“Pendidikan

umumnya


berarti

daya

upaya

untuk

memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan
tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar
Dewantara, 1977:14)”.
Negara juga telah mengatur tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam
UUD 1945 (Versi Amandemen) pasal 31 yaitu sebagi berikut :
1. Pasal

31,


ayat

3

menyebutkan,

“Pemerintah

mengusahakan

dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
2. Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Tujuan pendidikan nasional yang ada pada UUD 1945 tersebut memuat

beberapa nilai-nilai karakter yang berlandaskan dengan budaya bangsa, dan nilai –
4

nilai yang sesuai dengan keperibadian bangsa Indonesia. Menurut Kementerian
Pendidikan Nasional (2010: 4) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan
yang mengembangkan dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga
mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilainilai tersebut dalam 17 kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. UU No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem PendidikanNasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsimengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikannasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggung jawab.

5

BAB III
PEMBAHASAN

A. Permasalahan

yang

Melatarbelakangi

Pentingnya

Model

Sekolah

Pendidikan Karakter
Kutipan filsuf yunani “Jika Anda bertanya apa manfaat pendidikan,
maka jawabannya sederhana: pendidikan membuat orang menjadi lebih baik
dan orang baik tentu berperilaku mulia.” (Plato, 428-347 SM), mengembalikan
fungsi pendidikan untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur.
Namun akhir – akhir ini tampak bahwa sekolah banyak diwarnai dengan
tindakan – tindakan yang mencerminkan rusaknya karakter bangsa. Mulai dari
tindakan kecil sampai tindakan yang berakibat fatal yang terjadi di lingkungan

pendidikan di berbagai jenjang dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Terjadinya kebobrokan pendidikan ditunjukkan dengan tindakan – tindakan
amoral yang dilakukan baik siswa maupun guru. Karakter guru sangat
berkaitan dengan karakter siswa, apabila karakter guru sudah mulai luntur
maka siswanya pun kemungkinan juga seperti itu. Pada saat proses
pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dan siswa baik secara sadar
maupun tidak siswa akan meniru pola tingkah laku gurunya, guru yang
mengajar dengan kasar, otoriter, tidak bersahabat, tidak adil, berpenampilan
yang kurang etis akan membuat siswa merasa tidak nyaman di kelas, kemudian
malas untuk belajar akhirnya menimbulkan tindakan yang tidak baik misalnya
bolos tidak masuk kelas. Selain guru, kerusakan karakter berasal dari siswa,
siswa yang bandel, tidak suka belajar, tingkah laku manipulatif, imitatif dan
konsumtif serta mudah putus asa memacu untuk melakukan tindakan amoral
mulai dari menyontek saat ujian, berkelahi, tawuran, korban budaya cintacintaan, seks bebas, mengonsumsi narkoba, dan lain sebagainya. Kerusakan
karakter juga terlihat pada seorang mahasiswa yang seharusnya memiliki
karakter heroik dan progresif seperti pada saat era kemerdekaan, produktif dan
kreatif, kritis dan memiliki intelektual namun nyatanya mahasiswa banyak
yang konsumtif, tidak punya nalar berpikir kritis, maunya hanya tunduk patuh,
6


dan kebanyakan pengecut, penakut, dan manipulatif. Pada intinya mahasiswa
telah kehilangan kesadaran yang tercermin dari gaya hidup, watak dan
tindakannya.
Bentuk rusaknya karakter yaitu dengan adanya fenomena-fenomena
saat ini yang pertama adalah banyak terjadi kekerasan di lingkungan sekolah
yang berdampak pada pembentukan karakter. Terdapat beberapa bentuk
kekerasan, meliputi :
1. Kekerasan antara peserta didik, contohnya adalah kasus school bullying
yaitu perilaku agressif yang dilakukan secara berulang – ulang oleh
seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain
yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebu. Perilaku tersebut
terbagi menjadi lima kategori yaitu:
a. Kontak fisik langsung, seperti memukul, menjambak, menendang,
mengunci di dalam ruangan dan lain sebagainya.
b. Kontak verbal langsung, seperti mengancam, mempermalukan,
merendahkan dan mengintimidasi.
c. Perilaku non verbal langsung, seperti melihat dengan sinis,
menjulurkan lidah namun biasanya disertai dengan bullying fisik atau
verbal.
d. Perilaku non verbal tidak langsung, seperti mendiamkan seseorang dan
memanipulasi persahabatan.
e. Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku fisik atau verbal).
2. Kekerasan dalam bentuk perpeloncoan yang biasanya terjadi karena
hubungan senioritas-junioritas contohnya biaasa terjadi pada saat adanya
masa orientasi siswa atau OSPEK, senior yang memperlakukan junior
sewenang – wenang.
3. Kekerasan pendidik terhadap peserta didik
Dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kekerasan fisik dan kekerasan
nonfiisik atau kekerasan psikologis. Kekerasan fisik seperti menjewer,
mencubit, dan memukul yang menimbulkan kemungkinan dua reaksi yaitu
siswa juga melakukan kekerasan atau siswa akan menciutkan nyalinya dan
memiliki rasa ketakutan. kekerasan non fiisik seperti pemberian tugas
berlebihan, memberikan target prestasi terlalu tinggi, dan memaksa siswa
melakukan sesuatu di luar minatnya, tuntutan untuk siswa menguasai
7

semua mata pelajaran dimana hal – hal tersebut membuat jiwa siswa
menjadi tertekan dan hasilnya mereka tidak bisa belajar dengan baik.
Selain itu perilaku yang tidak senonoh yang dilakukan guru kepada
siswanya misal pencabulan.
4. Kekerasan yang bersifat sistemik dan ideologis, sistem pendidikan
kurikulum dan model pembelajaran yang menumpulkan potensi – potensi
siswa.
Mahatma Gandhi mengatakan bahwa akar dari kekerasan adalah kemewahan
tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, ilmu tanpa kepribadian, sains
tanpa humanitas, penyembahan tanpa pengorbanan dan politik tanpa nilai.
Kedua, bentuk lemahnya karakter pelajar dan mahasiswa disebabkan
karena “cinta”. Pelajar tingkat sekolah dasar pun sudah mengenal pacaran.
Padahal pacaran merupakan perusak mental, karakter, dan kecerdasan.
Terbukti dengan perilakunya sehari – hari karena pacaran jadi tidak fokus
dalam belajar, banyak waktu terbuang sia – sia, dan banyak menimbulkan
perbuatan – perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pelajar.
Kerusakan kepribadian seorang mahasiswa juga disebabkan oleh cinta yang
hanya “main-main” melanggar prinsip – prinsip etika dan menunjukkan
dangkalnya pengetahuan serta rusaknya karakter.
Ketiga, adanya persaingan yang tidak sehat antar pelajar, fenomena saat
ini adalah bukan menjadikan sekolah sebagai tempat untuk bekerjasama dalam
mencari ilmu pengetahuan tetapi tempat untuk bersaing dengan siswa lain.
Memang kompetisi dapat digunakan untuk memacu dalam meraih prestasi
namun sebaiknya menggunakan kolaborasi akan lebih baik jika semua pelajar
dapat berprestasi bersama – sama. Lain hal nya apabila menggunakan
kompetisi pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Karena banyak pelajar
yang mengedepankan kompetisi yang tidak sehat kemudian melakukan
berbagai cara untuk mengalahkan teman – temannya yang lain misal
menyontek atau kecurangan – kecurangan lain selama ujian. Hal itu
menunjukkan karakter yang telah pudar dari seorang pelajar, telah melupakan
substansi dari tujuannya mencari ilmu pengetahuan.

8

Diperlukan keoptimisan untuk mengatasi rusaknya karakter siswa di
berbagai

jenjang

sekolah

dengan

model

pendidikan

karakter

yang

diimplementasikan dengan strategi yang baik sehingga segala hambatan dalam
penerapannya dapat diatasi, dan akan terbukti bahwa sekolah ternyata bisa
memperbaiki kerusakan karakter bangsa.
Input Karakter
siswa yang perlu
diperbaiki

Model
sekolah
pendidikan
karakter

Manusia
yang
berkarakter

B. Budaya Sekolah
Masa-masa sekolah adalah sebuah formative years, yakni masa
pembentukan karakter yang sangat menentukan pondasi moral-intelektual
seseorang seumur hidupnya. Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8)
menyatakan bahwa setiap sekolah mempunyai budayanya sendiri, yang
berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang telah
membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya.
Sementara itu, Short dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah
sebagai keyakinan, kebijakan, norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang
dapat dibentuk, diperkuat, dan dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di
sekolah. Dengan demikian, budaya sekolah merupakan konteks di belakang
layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang
telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerjasama di
sekolah. Pada awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya
formal. Namun dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah
akan tertanam melalui jaringan kultural yang informal. Siapapun yang masuk
ke dalam wilayah sekolah, mereka akan dan harus menyesuaikan diri dengan
budaya yang berlaku di dalamnya. Hampir semua sekolah memiliki
serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma, kebiasaan yang
menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan ditransmisikan
melalui berbagai media sehingga timbullah suatu iklim budaya tertentu dalam
lingkungan sekolah.

9

Menurut Nusyam (2011), setidaknya ada tiga budaya yang perlu
dikembangkan di sekolah, yaitu budaya akademik, budaya nasional serta
lokal, dan budaya demokratis. Ketiga kultur ini harus menjadi prioritas yang
melekat dalam lingkungan sekolah.
1. Budaya Akademik
Kultur akademik memiliki ciri pada setiap tindakan, keputusan,
kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik yang kuat. Artinya
merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang teruji. Dengan
demikian, kepala sekolah, guru, dan siswa selalu berpegang pada pijakan
teoritik dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kesehariannya.
Kultur akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan
dalam bersikap, serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
2. Budaya Nasional dan Lokal
Budaya nasional tercermin pada pengembangan sekolah yang
memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya bangsa yang
positif dalam kerangka pembangunan manusia seutuhnya. Sekolah akan
menjadi banteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan
budaya

asing

individualisme,

yang
dan

tidak

relevan

materialisme.

seperti
Di

sisi

budaya
lain

hedonisme,

sekolah

terus

mengembangkan seni tradisi yang berakar pada budaya lokal yang dikreasi
untuk dikemas secara modern dengan tetap mempertahankan keasliannya.
3. Budaya Demokratis
Kultur demokratis menampilkan corak berkehidupan yang
mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun kemajuan.
Kultur ini jauh dari pola tindakan diskriminatif dan otoririanisme serta
sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah selalu
bertindak objektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Menurut Lickona, terdapat enam elemen budaya sekolah yang
baik, yaitu sebagai berikut.
1.
2.
3.

Pimpinan sekolah memilik kepemimpinan moral dan akademik.
Disiplin ditegakkan di sekolah secara menyeluruh.
Warga sekolah memiliki rasa persaudaraan.

10

4.

Organisasi

siswa

menerapkan

kepemimpinan

demokratis

dan

menumbuhkan rasa bertanggung jawab bagi para siswa untuk
5.

menjadikan sekolah mereka menjadi sekolah yang terbaik.
Hubungan semua warga sekolah bersifat saling menghargai, adil, dan

6.

bergotong royong.
Sekolah meningkatkan

perhatian

terhadap

moralitas

dengan

menggunakan waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah
moral.
C. Implementasi Pendidikan Karakter di Berbagai Jenjang Pendidikan
1. Implementasi Pendidikan Karakter di TK (PAUD)
Pada beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa terdapa hubungan
erat antara keberhasilan akademik serta perilaku pro-sosial anak, sehingga
diperlukan suasana lembaga PAUD yang menyenangkan dan kondusif agar
proses pembelajaran berlangsung efektif. Begitu pula pemelajaran di
Taman Kanak-kanak (TK). Pendidikan kanak-kanak (TK) merupakan
salah

satu

bentuk

PAUD

yang

memiliki

peran

penting

untuk

mengembangkan keperibadian anak serta mempersiapakan peserta didik
memasuki jenjang selanjutnya. Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak
usia dini, lembaga ini menyediakan program pendidikan dini sekurangkurangnya 4 tahun sampai memasuki jenjang pendidikan dasar. Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat 14 menyatakan: “Pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia
enam tahun yang dilakukan melalui pembinaan rangsangan pendidikan
untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
Hasil studi yang dilakukan Lawrence J. Schweinhart (1994)
menunjukkan bahwa pengalaman anak-anak di masa TK dapat
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak selanjutnya.
Oleh karena itu US Department of Health and Services (2001) telah
membuat sebuah pernyataan bahwa “kematangan sosial emosi anak usia
dini adalah penentu keberhasilan anak di sekolah lanjutannya”, dan juga

11

memberikan rekomendasi tentang kompetensi yang harus dicapai oleh
anak-anak usia TK yang mencakup: percaya diri (confidence), rasa ingin
tahu (curiosity), motivasi, kemampuan kontrol diri (self-control),
kemampuan

bekerja

sama

(cooperation,)mudah

sesamanya,

mampu

berkonsentrasi,

rasa

bergaul

empati,

dengan

kemampuan

berkomunikasi.
2.

Implementasi Pendidikan Karakter di SD (Sekolah Dasar)
Proses belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru
mengenai karakteristik siswa dan proses pembelajarannya, khususnya di
SD. Dalam psikologi perkembangan, usia peserta didik di SD berada
dalam periode late childhood (akhir masa kanak-kanak). Mereka kira-kira
berada dalam rentang usia antara enam/tujuh tahun sampai sekitar tiga
belas tahun. Periode ini ditandai dengan kondisi yang sangat memengaruhi
penyesuaian pribadi dan sosial anak.
Pada saat anak masuk ke kelas satu, terjadi perubahan besar dalam
kehidupan anak. Mereka dihadapkan pada suasana lingkungan baru yang
menuntut mereka dapat menyesuaikan diri. Masuk ke kelas satu inilah
merupakan peristiwa penting dalam kehidupan anak sehingga dapat
mengakibatkan perubahan sikap, nilai, dan perilaku. Hal yang sama juga
terjadi pada setahun atau dua tahun terakhir pada masa kanak-kanak (late
childhood). Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang menonjol, yang
dapat mengakibatkan perubahan sikap, nilai, dan perilaku. Disebabkan
menjelang berakhirnya periode ini, anak mempersiapkan diri secara fisik
dan psikologis untuk memasuki masa remaja. Pada masa-masa akhir
kanak-kanak lah seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong
sehingga akan berkembang secara optimal.
Jika perkembangan masa kanak-kanak akhir dengan rentang usia
6-13 tahun tersebut dilakukan dengan baik, maka akan menghasilkan
keterampilan social-help skills dan play skills. Social-help skills berguna
untuk membantu orang lain di rumah, di sekolah, dan di tempat bermain,
seperti membersihkan halaman dan merapikan meja kursi. Keterampilan
12

ini akan menambah perasaan harga diri dan menjadikannya sebagai anak
yang berguna sehingga anak menjadi suka bekerja sama, dapat
menunjukkan keakuaannya tentang jenis kelamin, mulai berkompetisi
dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, mampu berbagi, dan mandiri.
Sementara itu, play skills terkait dengan kemampuan motorik, seperti
melempar, menangkap, berlari, dan keseimbangan. Anak yang terampil
dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang lebih baik di sekolah dan
masyarakat.
Pendidikan di SD dilaksanakan berdasarkan rencana pembelajaran
yang telah dikembangkan oleh guru. Proses pembelajaran harus dirancang
guru sehingga kemampuan siswa, bahan ajar, proses belajar, dan sistem
penilaian sesuai dengan tahapan perkembangan siswa. Kecenderungan
belajar anak usia SD memiliki tiga ciri-ciri.
a. Konkret
Konkret mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang
konkret, yaitu yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotakatik. Proses belajar dilakukan dengan dihadapkan pada peristiwa dan
keadaan yang sebenarnya, sehingga lebih nyata, faktual, bermakna, dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
b. Integratif
Pada tahap usia SD, anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai
suatu keutuhan. Mereka belum mampu memilah-milah konsep dari
berbagai disiplin ilmu. Hal ini melukiskan cara berpikir anak yang
deduktif, yaitu dari hal umum ke bagian demi bagian.
c. Hierarkis
Pada tahap usia SD, cara anak belajar berkembang secara bertahap
mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks.
Berikut terdapat nilai-nilai berbasis pendidikan karakter yang dapat
diterapkan di SD.
1. Keteladanan
Keteladanan merupakan perilaku dan sikap guru, tenaga kependidikan,
serta peseta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan
yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain.
13

Misalnya, nilai disiplin, kebersihan dan kerapian, kasih sayang,
kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras. Kegiatan ini meliputi
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan
dan keberhasilan orang lain, dan datang tepat waktu.
2. Pembiasaan Spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada
saat itu juga. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta
didik yang tidak baik akan dikoreksi dan yang baik akan dipuji.
Kegiatan

ini

pembentukan

tidak

terjadwal

perilaku

memberi

dalam

kejadian

khusus, seperti

senyum-sapa-salam,

membuang

sampah pada tempatnya, budaya antre, mengatasi perkelahian, saling
mengingatkan ketika melihat pelanggaran tata tertib sekolah, dan lain
sebagainya.
3. Pembiasaan Rutin
Pembiasaan rutin merupakan salah satu kegiatan pendidikan karakter
yang terintegrasi dengan kegiatan sehari-hari di sekolah. Kegiatan ini
dilakukan peserta didik secara terus-menerus dan konsisten setiap saat.
Contohnya, upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan
kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dll) setiap hari Senin,
beribadah bersama atau shalat bersama setiap Zuhur (bagi yang
beragama Islam), berdoa sewaktu mulai dan selesai pelajaran,
mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.
4. Pengkondisian
Pengkondisian dilakukan dengan menciptakan kondisi yang
mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet
yang bersih, adanya tempat sampah yang strategis, halaman yang hijau
dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong
sekolah dan di dalam kelas, dan kesehatan diri.
2. Implementasi Pendidikan Karakter di SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Remaja adalah masa anak mencari jati dirinya, siklus perubahan
yang di alami setelah melewati masa anak-anak. Waktu dimana anak
mengenali kehidupan dan lingkungan barunya. Anak harus lebih di didik
karena bila tidak hal-hal negatif akan masuk ke dalam kehidupannya.
Pendidikan karakter disini sangat dibutuhkan guna menunjang moral anak
14

ke arah yang benar. Pendidikan karakter bisa diajarkan melalui apa saja
dan dimana saja, contoh yang formal yaitu sekolah. Di sekolah tentunya
telah diajarkan nilai-nilai yang berkaitan pendidikan berkarakter yang di
dalamnya berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial,
peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM. Hal itu
terangkum dalam butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai
utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta
kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud dan
diskripsi ringkasnya :
a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
Nilai religious maksudnya pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang
yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan
dan/atau ajaran agamanya sebagai contoh tiap pagi sebelum memulai
pelajaran diadakan ngaji bersama atau sholat berjamaah di waktu
Dhuhur.
b. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a) Jujur
b) Bertanggung jawab
c) Bergaya hidup sehat
d) Disiplin
e) Kerja keras
f) Percaya diri
g) Berjiwa wirausaha
h) Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i) Mandiri
c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b) Patuh pada aturan-aturan social
c) Menghargai karya dan prestasi orang lain
d) Santun
15

d. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan dan kebangsaan
a) Peduli sosial dan lingkungan
b) Nilai kebangsaan
c) Nasionalis
d) Menghargai keberagaman
3. Implementasi Pendidikan Karakter di SMA (Sekolah Menengah Atas)
Usia-usia semasa SMA berada pada tingkatan remaja yang menuju
pada kedewasaan. Mereka sudah dapat menempatkan dirinya sebagai
bagian dari anggota masyarakat dan siap terjun ke masyarakat luas.
Sebenarnya, pembentukan pendidikan karakter di jenjang SMA ini sama
halnya dengan jenjang sebelumnya. Namun, masih terdapat perbedaan
pada sikap dan perlakuan guru. Di SMA, guru tidak lagi menuntun penuh
para peserta didiknya karena usia 16-18 tahun dianggap sudah mandiri dan
mampu berpikir logis. Tetapi, bukan berarti peran guru itu hilang. Peran
guru di SMA tetap ada yakni sebagai pendidik, pengajar, pembina,
pendamping, dan lain sebagainya.
Lickona (1991:346) menyebutkan adanya 6 unsur moral positif
yang hendaknya ditanamkan di lingkungan sekolah, khususnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/Sederajat).
1. Kepala sekolah hendaknya memperlihatkan kepemimpinan moral
akademik dengan cara:
a. Mengartikulasikan visi dan misi sekolah secara jelas.
b. Memperkenalkan semua warga sekolah dengan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai dan strategi pencapaiannya serta penilaian terhadap
tujuan-tujuan tersebut.
c. Meminta dukungan dan partisipasi para orang tua/wali siswa.
d. Memodelkan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan
sekolah melalui interaksi dengan para guru, karyawan, siswa, dan
orang tua/wali siswa.
2. Pihak sekolah membuat aturan-aturan atau disiplin sekolah (nilai,
norma, dan kebiasaan-kebiasaan) yang efektif dengan cara:
a. Mendefinisikan semua nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan
secara jelas dan memperkuatnya.

16

b. Mengatasi masalah-masalah perilaku siswa sekolah (nilai, norma,
dan kebiasaan-kebiasaan) dengan cara yang dapat membantu
perkembangan moral mereka.
c. Memberikan jaminan bahwa nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan
yang ditetapkan pihak sekolah akan ditegaskan sepenuhnya di
lingkungan sekolah dan dengan segera akan menghentikan semua
perilaku yang menyimpang.
3. Pihak sekolah menciptakan suasana sekolah yang nyaman dengan cara:
a. Mendorong semua warga sekolah untuk memberikan perhatian
dan kepeduliannya antara satu dengan yang lain.
b. Memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk saling
mengenal satu dengan lainnya, demikian juga dengan kepala
sekolah, guru, karyawan.
c. Menjadikan sebagian besar siswa agar tertarik untuk mengikuti
berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
d. Memperkuat kegiatan keolahragaan.
e. Memasang berbagai visualisasi atau famlet yang akan membantu
perkembangan nilai, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang positif.
f. Menekankan setiap kelas untuk memberikan sumbangannya yang
positif dan bermanfaat bagi sekolah.
4. Pihak sekolah dapat menggunakan organisasi siswa (OSIS) untuk
mempromosikan terbinanya warga sekolah yang memiliki tanggung
jawab bersama terhadap sekolah yaitu dengan cara:
a. Menjadikan OSIS berperan memaksimalkan partisipasi mereka
dan menguatkan interaksi diantara kelas-kelas yang ada dengan
lembaga kesiswaan
b. Memberikan tanggung jawab kepada lembaga kesiswaan untuk
dapat mengatasi persoalan-persoalan dan isu-isu yang memberikan
akibat terhadap kualitas kehidupan sekolah.
5. Pihak sekolah dapat menciptakan komunitas moral dengan cara:
a. Menyediakan waktu dan dukungan kepada para guru untuk bekerja
bersama-sama dalam menyusun pembelajaran yang bermuatan
karakter.
b. Melibatkan para karyawan dalam pengambilan keputusan.
6. Pihak sekolah menekankan pentingnya nilai-nilai moral dengan cara:

17

a. Melunakkan tekanan-tekanan akademik sehingga para guru tidak
mengabaikan perkembangan sosial dan moral para siswa.
b. Mendorong para guru untuk senantiasa bekerja atas dasar nilai,
norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang positif.
Nilai karakter diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran
terwujud dalam interaksi siswa dengan guru, interaksi siswa dengan
siswa, serta penugasan dan manajemen kelas. Interaksi siswa dengan guru
pada kegiatan awal menerapkan nilai karakter religius pada kegiatan guru
mengucapkan salam dan membiasakan siswa berdoa bersama. Pada
kegiatan inti, ditemukan karakter disiplin, mandiri, kerjasama, tanggung
jawab, dan komunikatif ketika guru memberikan materi pembelajaran lalu
memberikan tugas beserta prosedur penugasan pada siswa baik secara
individu maupun kelompok. Pada kegiatan penutup, ditemukan karakter
religius ketika guru memberikan salam dan membiasakan siswa berdoa
bersama ketika akhir pembelajaran.
Nilai karakter diimplementasikan dalam evaluasi pembelajaran
terwujud dalam penilaian proses melalui kegiatan mengerjakan tugas dan
dapat melalui pengamatan siswa di dalam kelas. Penilaian hasil didapatkan
dari tugas yang telah dikerjakan siswa. Guru menunjukkan kekurangan dan
memberikan bimbingan pada siswa yang belum dapat mencapai
kompetensi dengan baik. Kegiatan tersebut merupakan usaha guru untuk
menerapkan karakter percaya diri dan semangat pada siswa.
4. Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Dalam kehidupan kampus, institusi akademik, dan warga kampus
pasti sangat mendambakan munculnya kultur perguruan tinggi yang sehat
dan kondusif, sehingga dapat men-encourage semua sivitas, terutama
dosen dan mahasiswa untuk berlomba-lomba meraih prestasi yang unggul.
Prestasi yang unggul dalam konteks ini tidak hanya dibatasi prestasi
akademik saja, melainkan juga keluhuran akhlaq. Ada dua faktor penting
yang dapat berkontribusi bagi keberhasilan pembentukan karakter
individu, pertama adalah peran utama keluarga dan kedua adalah peran
media massa. Menurut Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Rochmat

18

Wahab, dalam konteks pembentukan karakter mahasiswa lebih banyak
ditentukan oleh media massa.
Implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu
dirancang secara komprehensif dengan mencakup penyiptaan budaya dan
lingkungan kerja. Dalam hal ini diperlukan peran serta aktif dari seluruh
pemangku kepentingan internal – dosen, mahasiswa, karyawan, pimpinan,
dan pemangku kepentingan eksternal, khususnya pengguna lulusan dan
alumni. Kesempatan berperan aktif ini diharapkan akan menumbuhkan
rasa ikut memiliki, yang pada gilirannya akan menjadi pendorong kuat
untuk mendukung implementasinya. Dalam pengembangan pendidikan
karakter di perguruan tinggi perlu dibangun budaya dan lingkungan kerja.
Karena pengembangan karakter yang diinginkan memerlukan dukungan
budaya dan lingkungan kerja yang tepat, yang dapat diciptakan
berdasarkan nilai-nilai yang diinginkan. Terkait dengan hal ini, perlu juga
dianalisis jenis lingkungan fisik yang diperlukan untuk mendukung
penanaman nilai-nilai karakter yang diinginkan. Penciptaan budaya kerja
dan penataan lingkungan ini hendaknya diwarnai nilai keragaman budaya
yang ada di Indonesia untuk membuat para mahasiswa menghayati hakikat
keragaman dalam kehidupan berbangsa Indonesia, yang antara lain
tercermin dalam keragaman jenis musik, mode pakaian, rancangan
ornamen, dan jenis makanan.
Sementara itu, perangkat aturan juga perlu disusun dengan sanksi
yang

edukatif

(mendukung

penanaman/penguatan

nilai-nilai

yang

diinginkan), yang ditegakkan secara adil (berlaku untuk siapapun), dan
tetap menekankan aspek pembinaan. Dalam hal ini, harus dipilih orang
yang tepat untuk menyampaikan sanksi terkait. Dengan demikian, sanksi
apapun akan dirasakan ada hikmahnya oleh yang bersangkutan. Dengan
proses seperti ini, diharapkan warga kampus benar-benar belajar
mengubah diri dengan kesadaran tinggi dan keikhlasan mendalam.
Implementasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi
1. Dalam Program Pendidikan dan Pengajaran
a. Perencanaan
19

Perencanaan program pendidikan dan pengajaran jangka menengah
dimulai dengan penyusunan kurikulum, yang diikuti dengan
penyusunan silabus. Untuk menjamin agar pengembangan karakter
memperoleh perhatian semestinya, dalam kurikulum masing-masing
perguruan tinggi harus ada rumusan tujuan yang menyiratkan nilainilai karakter yang mesti melekat pada lulusan secara umum, sesuai
dengan kelompok mahasiswa seperti mahasiswa calon tenaga
vokasional (MCTV), mahasiswa calon tenaga profesional (MCTP),
mahasiswa calon tenaga rekayasa (MCTR), maupun mahasiswa
calon ilmuwan (MCI).
b. Pelaksanaan
Rencana dalam bentuk kurikulum hendaknya dijabarkan menjadi
silabus untuk masing-masing mata kuliah sesuai dengan prinsipprinsip

yang

dirumuskan

dalam

kurikulum

dan

tuntutan

perkembangan bidang studi terkait. Mahasiswa mesti diberi
informasi tentang cakupan aspek pembelajaran dan penilaian dengan
pembobotannya,

dengan

penekanan

pada

penyadaran

akan

pentingnya aspek nilai-nilai karakter dalam setiap mata kuliah.
Untuk itu, mahasiswa dilibatkan untuk menghayati keterkaitan nilainilai dalam setiap mata kuliah dengan kecerdasan kehidupan bangsa
c.

yang menjadi salah satu cita-cita kemerdekaan.
Penilaian
Program penilaian juga perlu direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai
dengan prosedur yang baku. Perencanaan penilaian harus menjamin
bahwa, seperti halnya pembelajaran, penilaian hendaknya menjamin
bahwa semua aspek diperhitungkan dengan pembobotan yang

profesional.
2. Dalam Program Penelitian dan Pengembangan
Program penelitian dan pengembangan hendaknya mencakup ranah
penanaman nilai-nilai karakter. Penelitian dalam pendidikan karakter
merentang dalam penelitian kuantitatif pada salah satu ujung dan
penelitian kualitatif pada ujung lainnya. Di dalamnya termasuk
penelitian tindakan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas proses
20

pembelajaran menuju hasil yang diinginkan, yang sangat cocok untuk
pendidikan karakter karena mencakup kegiatan refleksi, yang
melibatkan semua pihak dalam kesejajaran. Kemudian perlu juga
dilakukan penelitian pengembangan media pembelajaran karakter,
mulai dari nilai-nilai karakter umum, nilai-nilai karakter khas bidang
keilmuan, dan nilai-nilai khas bidang studi.
3. Dalam Program Pengabdian pada Masyarakat
Pengabdian pada masyarakat dilakukan dengan menfokuskan pada
penularan praktik pendidikan karakter. Hasil penelitian pendidikan
karakter hendaknya dibukukan dalam bahasa yang populer dan
disebarkan ke semua pemangku kepentingan yang berada di
masyarakat luas. Mengingat tingkat kemajuan masyarakat berbeda,
cara penyebaran juga perlu disesuaikan, mulai dari yang tercanggih
sampai ke lembaran-lembaran cetakan.
D. Hambatan Implementasi Model Pendidikan Karakter
Dalam penerapan model pendidikan karakter tidak dapat sepenuhnya berjalan
dengan baik, terdapat berbagai hambatan seperti faktor pribadi siswa, budaya
yang telah mengakar, permasalahan dalam internalisasi nilai-nilai melalui
berbagai mata pelajaran, permasalahan kurang optimalnya praktik pendidikan dan
pembelajaran untuk pengembangan kepribadian, tuntutan untuk mengikuti
kurikulum, dan ketidakseimbangan implementasi programmed curriculum dengan
hidden curriculum.
1. Faktor Pribadi Siswa
Sifat masing – masing individu berbeda – beda karena berasal latar
belakang yang berbeda. Terdapat siswa yang telah memiliki karakter namun
juga terdapat siswa yang belum memiliki karakter. Untuk mengubah sifat
siswa yang belum memiliki karakter tidak mudah namun bisa dilakukan, baik
dalam hal mengubah sudut pandang maupun pengajaran perilaku yang baik.
Jika menggunakan peraturan yang agak ketat mereka tidak mempedulikan,
jika menggunakan peraturan yang ketat mereka akan brutal apalagi tidak
adanya peraturan. Untuk itu perlu adanya pemberian contoh dan pembiasaan
– pembiasaan yang baik untuk menyadarkan mereka karena hanya kesadaran
21

dari diri mereka sendiri untuk perbaikan karakter. Sayangnya tidak semua
pelajar peka terhadap keteladanan dari seorang guru, mereka kurang
menperhatikan perilaku guru yang baik, justru kebanyakan pelajar yang
diingat adalah hal – hal buruk yang dilakukan guru secara tidak sengaja,
misalnya guru yang sering mengucapkan kata berulang kali dan itu menjadi
hafalan bagi siswa. Itu menunjukkan kurangnya rasa hormat siswa terhadap
gurunya. Oleh karena itu pengubahan kepribadian siswa perlu dilakukan
dengan cara guru harus bisa memahami siswa yang belum memiliki karakter
dengan cara yang berbeda, harus bisa menjadi sahabat mereka bukan musuh
mereka.
Siswa yang dididik dengan latar belakang keluarga yang harmonis dan
berada pada lingkungan yang baik akan cenderung memiliki karakter,
sedangkan siswa yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis dan
lingkungan yang kurang baik akan cenderung belum memiliki karakter. Sifat,
perilaku, kebiasaan buruk yang telah mengakar sulit untuk dicabut. Hambatan
penerapan model pendidikan karakter ini sebenarnya bisa dilakukan siswa
yaitu dengan saling memberi contoh dari yang baik untuk perbaikan yang
buruk.
2. Budaya yang Telah Mengakar
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sesuatu yang telah
mengakar pada siswa sulit untuk diubah. Dalam hal ini adalah kebiasaan,
contohnya siswa yang telah terbiasa untuk menyontek seperti tidak ada rasa
takut untuk melakukannya, dilakukan pengawasan yang ketat pun mereka
akan melakukan berbagai cara untuk melakukannya. Ditegur tidak bereaksi,
diberi hukuman akan memberikan reaksi yang negatif. Contoh lain adalah
budaya terlambat, sudah diberi peraturan untuk tidak terlambat atau diberi
keringanan waktu keterlambatan namun mereka tetap saja terlambat. Budaya
untuk tidak memperhatikan guru saat diberi penjelasan, berbicara dengan
teman sendiri saat guru menerangkan. Kebiasaan tersebut ada karena sering
dilakukan, saat guru menyadari akan hal itu diberi nasihat mereka hanya
terdiam kemudian mereka akan mengulanginya lagi kecuali terdapat hal yang
membuat mereka sadar bahwa harus memperhatikan guru saat dijelaskan
22

misalnya ketika mengerjakan ujian kesulitan karena tidak memperhatikan
guru.
3. Permasalahan dalam internalisasi nilai-nilai melalui berbagai mata pelajaran
Sa’dun Akbar dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa disajikan
berbagai mata pelajaran dalam praktik pendidikan tidak lain adalah dalam
rangka kerangka untuk menghadirkan dan internalisasi nilai – nilai dari
berbagai dunia nilai, yaitu simbolik, empirik, estetik, etik, sinnoetik, dan
sinoptik

yang

diwujudkan

dalam

berbagai

mata

pelajaran

untuk

mengembangkan perilaku (membangun karakter) peserta didik. Namun pada
praktiknya, banyak pengembang dan praktisi pendidikan kurang menyadari
persoalan ini sehingga praktik pendidikan dan pembelajaran cenderung
kurang berbasis pada nilai moral yang terkandung pada berbagai mata
pelajaran yag disajikan. Dalam model sekolah dengan pendidikan karakter
rentan terhadap hambatan ini Akhirnya pendidikan tetap saja hanya mampu
melahirkan manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi lemah akan moral.
4. Permasalahan Kurang Optimalnya Praktik Pendidikan dan Pembelajaran
untuk Pengembangan Kepribadian
Di berbagai sekolah telah disajikan mata pelajaran pengembangan
kepribadian seperti Pendidikan Agama baik Islam, Katolik, Kristen, dan
agama lainya. Serta pendidikan kewarganegaraan namun pada praktiknya
cenderung terpeleset dengan mementingkan aspek kognisi yang terlalu berat
mempertajam daya pikir dari pada mempertajam mata hati dan agaka
mengabaikan afekllsi dan konasi. Padahal aspek kognisi pada mata pelajaran
tersebut tidak terlalu berpengaruh pada akhlak atau sikap siswa. Hal itu
ditunjukkan di sekolah – sekolah penilaian diambil dari nilai ujian untuk
mengetahui seberapa tingkat pemahaman siswa dimana belum tentu
mencerminkan kesadaran untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari –
hari karena memang yang bisa diukur secara pasti adalah penilaian yang
seperti itu yaitu nilai kognisi.
5. Ketidakseimbangan Implementasi Programmed Curriculum Dengan Hidden
Curriculum.
Kurikulum merupakan plan of learning, program belajar bagi siswa
sekaligus intended learning aoutcomes, hasil belajar yang diniati. Guru harus
23

senantiasa mengikuti perkembangan dan pembaharuan kurikulum artinya
guru harus selalu belajar. Sementara pembelajaran sebagai elemen dasar
dalam pendidikan pada hakikatnya adalah the guidence of learning activities
yaitu membimbing kegiatan siswa belajar yang nantinya dalam diri siswa
terjadi perubahan tingkah laku yang teraktualisasi dalam ranah kognitif,
psikomotorik dan afektif. Seharusnya fokus tidak hanya programmed
curriculum namun juga pada hidden curriculum yaitu nilai – nilai karakter.
Meskipun banyak hambatan dalam implementasi model pendidikan
karakter namun hal itu dapat diatasi dengan pengubahan sudut pandang
pembelajaran di sekolah – sekolah.
E. Solusi Untuk Mengatasi Hambatan – Hambatan Penerapan Model
Pendidikan Karakter
1. Guru lebih berkualitas dalam arti cerdas intelektual dan emosional. Dalam
proses pembelajaran interaksi antara guru dan siswa dapat berlangsung
dengan baik apabila terdapat kecocokan antara guru dan siswa. Dengan guru
yang cerdas intelektual maka tidak akan mengalami kesulitan dalam
membimbing siswa dan dapat mengatasi kesulitan – kesulitan yang dialami
siswa. Dan cerdas secara emosional guru dapat memahami karakter siswa
dengan baik dan dapat membimbing mereka untuk menjadi pribadi yang
baik. Dengan menggunakan strategi – strateginya yang jitu untuk
membangun karakter siswa.
2. Menyeimbangkan implementasi programmed curriculum dan hidden
curriculum.
Kefokusan pembelajaran selain pada programmed curiculum tetapi juga
hidden curiculum yaitu dengan memperhatikan ruang kelas yang informal,
berubah, dan dinamis yang mempengaruhi apa yang dipelajari bersama –
sama dengan faktor yang lain (seperti kelas, sosial, keluarga, kecerdasan dan
kepribadian), prestasi siswa, tingkah laku siswa, dan kegiatan – kegiatan
siswa dalam proses pembelajaran baik intra maupun ekstrakurikuler. Dalam
penelitian oleh Soebijantoro mengungkapkan dalam proses pembelajaran
selain menekankan pada kurikulum yang terprogram guru juga hendaknya
memperhatikan iklim pendidikan yang dimulai dari suasana sekolah, kelas,
24

jenjang pendidikan, bahkan sampai pada tingkat ekonomi masyarakat,
kemampuan yang dihasilkan dari hidden curiculum adalah pengembangan
empati, berpikir realistis, optimis, ketekunan, etos kerja, mempunyai
semangat hidup, keterampilan kerja, kerendahan hati, dan sopan santun.
Oleh karena itu sangat dibutuhkan inovasi dan kreativitas guru untuk
memformulasikan pendidikan karakter secara seimbang yang disesuaikan
kondisi sekolah dan kemampuan siswa.
3. Pembiasaan – pembiasan yang baik pada siswa.
Untuk mengubah budaya siswa yang buruk perlu upaya sedikit demi sedikit
untuk memperbaikinya misal dengan pemberian contoh untuk tidak
terlambat, membiasakan siswa untuk berani mengemukakan pendapat di
kelas, dan membuat siswa selalu memperhatikan guru saat menerangkan
pelajaran dengan guru berusaha mencari perhatian atau menggunakan cara
mengjar yang lebih menarik dan sesuai dengan apa yang diinginkan siswa
tetapi masih bisa diperoleh ilmunya.
4. Memberikan aturan yang menuntut kesadaran bukan karena hukuman tetapi
orientasi pada imbalan.
Siswa menaati peraturan karena akan ada hal yang dapat diperoleh misalnya
mendapatkan hadiah, mendapatkan apresiasi yang baik dari guru bukan
karena adanya unsur keterpaksaan karena takut menerima hukuman, dan
selalu siswa selalu diberi nasihat untuk menaati peraturan untuk
meningkatkan kesadarannya.
5. Mengoptimalkan praktik pendidikan untuk pengembangan kepribadian.
Dalam pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan siswa
lebih ditekankan pada praktiknya langsung dari pada materinya. Jadi tipe
pembelajarannya siswa belajar materi, memahami lalu mempraktikkan.
Penilaian tidak hanya dari segi kognitif tetapi juga afektif.
6. Internalisasi nilai pada berbagai mata pelajaran dioptimalkan dengan cara
selama proses pembelajaran selalu dapat diambil nilai yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari – hari. misalnya belajar ilmu ekonomi dapat
menjadi ekonom yang jujur dan dapat bertanggung jawab, dan selalu
25

memperhatikan nilai – nilai karakter yang baik yaitu mengubah sudut
pandang siswa belajar mengenai tujuan belajar sehingga prosesnya akan
baik misalnya saat ujian berlangsung tanpa ada yang menyontek.
Dengan cara – cara tersebut di atas, penerapan model pendidikan
karakter dapat mencapai hasil dengan baik dengan output berupa manusia yang
cerdas dan berbudi pekerti luhur. Tidak ada lagi permasalahan dalam
pendidikan mengenai rusaknya karakter, karena sekolah dapat menjalankan
fungsinya dengan baik.

26

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Model pendidikan karakter perlu diimplementasikan di berbagai jenjang
pendidikan untuk mengatasi berbagai permasalahan lunturnya karakter pada
siswa maupun guru. Fenomena – fenomena yang terjadi saat ini bisa diatasi
dengan adanya model pendidikan karakter meskipun terdapat berbagai
penghambat dalam penerapannya namun selalu ada solusi dari adanya
penghambat tersebut. implementasi pendidikan karakter dapat terlaksana
dengan baik berawal dari guru yang cerdas secara intelektual maupun
emosional sehingga dapat memberikan contoh kepada siswanya kemudian
siswa akan memiliki kesadaran untuk memiliki pribadi yang berkarakter.
Meskipun dari latar belakang yang berbeda – beda dan memiliki sifat yang
berbeda siswa sebagai input adanya pendidikan akan melalui proses yang
terjadi pada model pendidikan karakter akan menghasilkan output manusia
yang berkarakter. Proses tersebut memang tidak mudah namun harus optimis
bahwa bisa dilakukan.
B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Untuk Guru
Menciptakan suasana kelas yang nyaman dan kondusif marupakan salah
satu keharusan. Karena dengan kelas yang nyaman dan kondusif maka akan
memudahkan siswa dapat menerima pelajaran dengan baik. Guru juga
sebaiknya memperhatikan dan lebih peka terhadap fenoma-fenoma yang
ada di lingkungan pendidikan. Dengan memperhatikan hal tersebut maka
guru akan lebih mudah menganalisis dan mencari solusi dari masalah yang
ada. Sikap dan perilaku guru juga hendaknya mencerminkan sebagai
pendidik dan tidak melakukan tindakan-tindakan amoral.

27

2. Perancang kurikulum
Untuk mendukung kesuksesan pembelajaran yang berkarakter maka perlu
adanya kurikulum yang mendukung. Oleh karena itu pembuat kurikulum
seharusnya membuat kurikulum yang sesuai dan mendukung terwujudnya
pendidikan berbasis character building.
3. Wali siswa
Pihak yang mendukung keberhasilan pendidikan karakter selain pihak
instansi atua sekolah, juga wali siswa. Wali siswa hendaknya memberiri
dukungan

dengan

cara

memberikan

fasilitas

siswa

untuk

dapat

berkembang.
4. Pihak sekolah selain pendidik
Pihak sekolah selain pendidik memiliki peranan bagi keberhasilan
pendidikan berbasis karakter. Keamanan sekolah dankekondusifan sekolah
merupakan salah satuhal yang perlu dijaga.

28

DAFTAR PUSTAKA
Editor Prof. Darmiyati Zuchdi, E. D. (2011). Pendidikan Karakter Dalam
Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Fatchul Mu’in (2011). Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan
Praktik.Yogyakarta: am Ar-Ruzz Media
Prof. Dr.H.E. Mulyasa,M.Pd. (2011). Manajemen Pendidikan Karekter.
Jakarta: Bumi Aksara
Novan Ardy Wiyani, M. (2013). Konsep, Praktik, & Strategi Membumikan
Pendidikan Karakter di SD. Yogyakarta: am Ar-Ruzz Media.
http://eprints.uny.ac.id/8026/3/bab%202%20-%2007404244050.pdf diakses pada
01 April 2015.
UUD 1945 (Versi Amandemen) pasal 31 pasal 1 dan 2.

29