PERBANDINGAN PEMIKIRAN IBNU MISKAWAI DAN

MAKALAH
PERBANDINGAN PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH DAN AL-GHAZALI
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas individu
Mata kuliah Sejarah Pemikiran Dan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu
Dr.Muhammad idris tunru S.Ag.MAg
Disusun Oleh
Muhajirun mokodompit
Semester : V/PAI 2
Nim :15.2.3.037

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
1439 H/2017 M

BAB I
PENDAHULUAN
1.


Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk ciptaan yang paling sempurna, dengan kemampuan

berfikirnya berusaha untuk hidup lebih baik dan lebih maju. Ketika manusia
menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka sejak itu timbul gagasan untuk
melakukan pengalihan, pelestarian

dan pengembangan kebudayaan melalui

pendidikan dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi.1
Menurut ajaran islam, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ardli dan
unsur samawi. Unsur ardli adalah jasmania yang meliputi seluruh jasad manusiaa
baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan semuanya terdiri dari zat
materi yang membutuhkan makanan. Sedangkan unsur samawi adalah rohania
yang juga membutuhkan berupa pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan,
rekreaasi, istirahat dan sebagainya.
Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah
usaha untuk menggabungkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat
hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari

masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman
hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang
bertujuan untuk mendewasakan anak.2
Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang
(pendidik)terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal
yang positif. Pendidikan agama islam sebagai upaya pengembangan, mendorong
serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai
yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut berkaitan dengan
potensi akal, perasaan maupun perbuatannya. Oleh sebab itu pendidikan islam
1

M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1999 ) h.01
2
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta :Rineka Cipta 1997) h.136-137

perlu diajarkan kepada peserta didik sejak usia kanak-kanak karena pada masa ini
merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan manusia.3
Pada jaman sekarang ini sangat perlu peserta didik untuk dibentengi dengan
nilai-nilai luhur agama mengapa perlu demikian, karena perkembangan jaman

membuat peserta didik terus hanyut kedalam hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
syariat islam misalnya mabuk-mabukan, berjudi bahkan berzina. Oleh sebab itu
membentengi peserta didik dengan pendidikan terutama pendidikan akhlak itu
sangatlah penting, agar supaya mengarahkan peserta didik kepada pembentukan
insan kamil, yakni khalifah Allah, yaitu manusia sholeh yang dapat menjadi
rahmat bagi semesta alam. Maka dari itu sangatlah perlu disesali bila pendidika
akhlak atau pendidikan islam kurang sekali mendapat perhatian baik dirumah,
disekolah maupun dimasyarakat.4
Banyak ahli (Pendidikan dan Filsafat) yang telah membahas pentingnya
pendidikan agama pada peserta didik. Filosof-filosof tersebut antaralain Ibn
Miskawai dan Al-Ghazali. Mereka filosof muslim yang banyak berbiacara tentang
pendidikan. Sangatlah bijak jika kita mengkaji kembali pemikiran-pemikiran
pendidikan islam kepada peserta didik yang saat ini masih banyak para
guru/pendidik yang tidak mengenal pemikiran mereka berdua tentang pendidikan
akhlak bagi peserta didik.
Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih adalah tokoh moralis. Tetapi antara
keduanya mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Al-Ghazali adalah
seorang sufi yang gemar menuntut ilmu, sedangkan Ibn Miskawaih adalah
seorang filosof yang telah banyak mempelajari filsafat Yunani terutama
Aristoteles dan Plato maka ini menarik untuk diperhatikan adakah perbedaan yang

signifikan antara mereka tentang konsep pendidikan agama islam.5

3

Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (YogYakarta : Pustaka
Pelajar Offset 1998) h.132
4
Nana Sudjana, Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung : Sinar
Baru Algensindo,1991) h.2
5
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsaafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers 2005)
h.31-32

Dari latar belakang masalah diatas penulis merumuskan:
2.

Rumusan Masalah

A. Bagaiman Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibn Miskawaih ?
B. Bagaiman Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ?

C. Apa Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Ibn Miskawaih dan Al-Ghazali
Tentang Pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih, seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama lengkap

Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. lahir di Rayy (Teheran, ibu
kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia
lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Ibnu
Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450
H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi‟ah.6
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai
cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun
agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara
ilmiah.
Dari segi latar belakang pendidikan, tidak dijumpai data sejarah yang rinci.

Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar
Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan
mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih
adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka
dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan
ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn „Adi dan Ibn Sina. Selain itu
Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya
melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H./ 923 M.) selanjutnya juga ia
dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam
berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa
buku dan artikel.7

6
7

h.38

M.M Syarif, Para Filosof Muslim,(Bandung : Mizan 1999) h.84
Nasruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Dizaman Jaya (Jakarta : Mutiara 1976)


Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaanpercoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan
oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak pejabat pemerintah, hal
ini tentu menunjukkan bahwa ibnu maskawaih dikenal keilmuannya oleh
masyarakat luas ketika itu.8
Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsalits ) setelah
al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani) sedangkan yang
dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai
Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam
kitabnya Tahdzib

al-Akhlak

wa

Tathir

al-A‟raq (pendidikan

budi


dan

pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal
dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman
pribadi. Ibnu Maskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia
telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti
bahwa Ibnu Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari
segi pengetahuan semata-mata.9
Pemikiran Ibn Miskawai dalam bidang ahlak termasuk salah satu yang
mendasari

konsepnya

dalam

bidang

pendidikan.

Konsep


akhlak

yang

ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah
The Doktrin Of The Mean atau The Golden ternyata sudah dikenal para filosof
sebelum Ibn Miskawai.10
Ibn Miskawai secara umum memberi pengertian pertengahan jalan (jalan
tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni,utama,mulia,
atau posisi tengah antara dua ekstreem. Akan tetapi ia tampak cenderung
berpendapat bahwa keutamaan ahlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah

8

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1986) h.56
Sudarsono,Etika islam Tentang Kenakalan Remaja (Rineka Citra 1991) h.118
10
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia 2009) h.228


9

antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawai memberi tekanan yang lebih untuk pertama
kali buat pribadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga yaitu
jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah dan al-nathiqah. Menurut Ibn Miskawai,posisi
tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa
dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwaa al-ghadabiyah adalah
as-saja’ah atau perwira yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak

untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari an-nathiqah adalah al-hikmah yaitu
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah
keadilan atau keseimbangan.
Keempat keutamaan akhlah tersebut merupakan pokok atau induk akhlak
yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur,ikhlas,kasih sayang,hemat
dan sebagainya merupakan cabang dari keempat induk akhlak tersebut.11
Analisis Penulis :
Sebagai seorang filosof etika Ibn Miskawai maka konsep akhlak yang ia
tawarkan adalah berdasar pada doktrin jalan tengah atau dikenal dengan Doktrin

Of The Mean. Maksud dari doktrin jalan tengah adalah keseimbangan, moderat,
harmoni,utama dan mulia. Menurutnya jiwa manusia ada tiga yaitu al-bahimiyah
yaitu senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat, selanjutnya alghadabiyah yaitu jiwaa keberanian dan an-nathiqah yaitu kebikjasanaan. Dari
keuatmaan-keutamaan akhlak tersebut maka menurut Ibn miskawaih jiwa
manusiaa akan menciptakan sifat-sifat yang jujur, iklas, kasih sayang, hemat dan
sebagainya. Penulis dapat menyimpulkan bahwa Ibn miskawai merupakan filosof
yang memberikan tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut,Ibn miskawai membangun konsep
pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.Disini terlihat dengan jelas

11

Abdullah Nashi Ulwan,Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung : Remaja
Rosdakarya,1996) h.148

bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawai dalam bidang ahlak maka konsep
pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan ahlak.12
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawai adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan
dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.13
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan,Ibn Miskawaih menyebutkan
beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekan. Sesuai dengan
konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar
semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi
tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih
diabadikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada ALLAH SWT. 14
Sejalan dengan uraian tersebuat di atas, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga
hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal
pokok tersebut adalah (1)hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia,
(2)hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan(3)hal-hal yang wajib bagi hubungannya
dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih
dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompkan
menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang
selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat.15
Berbeda dengan Al-ghazali,Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara
materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi yang terdapat dalam ilmu nonagama serta hukum mempelajarinya.
Ibn Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi
kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan
12

Fathiya hasan Sulaiman,Aliran-Aliran Dalam Pendidikan,(Semarang : 1993) h.65
Ibn Miskawaih, Tahzibul Akhlak, (Terj,Helmi Hidayat), Mizan, (Bandung : 1998) h.77
14
Hasymsyah Nasution,Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999) h.61
15
Ahmad Syar‟i,Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus,2005) h.92

13

akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara
lain shalat,puasa, dan sa‟i.Ibn Miskawai tidak memberi penjelasaan lebih lanjut
terhadap

contoh

yangdiajukan

ini.Hal

ini

barangkali

didasarkan

pada

perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperincipun orang sudah menangkap
maksudnya.16
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan
jiwa,dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang akidah yang
benar,mengesahkan Allah dengan segala kebesaran-Nya,serta motivasi untuk
senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia
terhadap manusia lain,di contohkan dengan materi dalam ilmu muamalat,
pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.17
Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan
pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu
yang ada, asal semuanya tidak terlepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan. Ibn
Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebut misalnya ilmu nahwu (tata
bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibn Miskawaih sangat mementingkan
materi yang ada dalam ilmu ini,karena materi yang ada dalam ilmu ini akan
membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Demikian pula ilmu yang ada
dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir.
Adapun materi yang terdapat pada ilmu hitung (al-hisab),dan geometri (albandasat) akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam
syariat sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya,dengan mendalami
syariat, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan
jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kebahagiaan.18
Analisis penulis :

16

Azyumardi Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru,(Jakarta: Logo Wacana Ilmu 2002) h.34
17
H.m. Suyudi,Pendidikan Dalam Perspektif Al-qur’an,(Yogyakarta: Mikraj 2005) h.45
18
Thawil akhyar Dasoeki,Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,(Temanggung: Dimas 1993)
h.47

Dari uraian tersebut diatas terkesan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya
manusia agar menjadi filosof. Karena itu ia memberi jalan agar seseorang
memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu seperti ilmu
matematika, logika, ilmu kealaman tidak hanya ilmu agama saja karena bagi Ibn
Miskawaih semua sisi kemanusiaan harus mendapatkan materi didikan yang
memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Selain materi yang terdapat
dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibn Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar
mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak agar dengan itu
manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab.
Ditinjau dari segi pendidik bagi Ibn Miskawaih orang tua merupakan
pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama
materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam
kegitan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua
dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang
terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap
orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya
dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan
terhadap Tuhan jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibn Miskawaih
mendudukan cinta murid terhadap guru berada diantara kecintaan terhadap orang
tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang
guru lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai
kebahagian sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang
yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi. Selain itu
karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak
didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka
kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula.
Namun demikian, Ibn Miskawaih tampaknya tidak menempatkan guru
secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut diatas. Guru yang menempati

posisi demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat mu’alim al-misal
(misalnya),al-hakim, atau al-mu’allim al-hikmat.

Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal
yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat
jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama
dalam hal cinta kasih.19
Analisis Penulis :
Dari pandangan diatas terlihat bahwa Ibn Miskawai mensejajarkan pendidik
sama dengan posisi para Nabi. Maka dari itu seorang pendidik harus mencapai
derajat mu‟alim, al-hakim atau al-mu‟allim al-hikmat. Pendidik yang tidak
mencapai derajat seperti yang dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih dinilainya sama
dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh
ilmu dan adab. Selain itu bagi Ibn Miskawaih juga menerangkan bahwa antara
orang tua dan anak harus tercipta hubungan yang harmonis karena dalam hal ini
orang tua merupakan pendidik mula-mula yang menanamkan acuan syariat
kepada anak.
Seperti pernah dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat
bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-saa’dat) tidak dapat dilakukan sendiri,
tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi
demikian akan tercipta apabila sesama manusia saaling mencintai. Setiap pribadi
merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang
lainnya.20
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa dalam lingkungan
pendidikan sebagai mahluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari
luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah
orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada ikatan
19

Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada
2003) h.28-30
20
Mahmud,Pemikiran Pendidikan Islam,(Bandung: Pustaka Setia 2011) h.277

dengannya mulai dari saudara, anak, atau, orang yang masih ada hubungannya
dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, kawan, atau kasih.21
Ia berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri.
Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan
mahluk sejenisnya. Diantara cara mencapainya adalah dengan cara sering
bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat
akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn
Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala negara mempunyai
kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Cinta kasih kepala
negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisaal cinta kasih orang tua terhadap
anak-anaknya.22
Analisis Penulis :
Dari uraian diatas terlihat bahwa Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak
membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibn Miskawaih membicarakan
lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan
membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan
sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan
yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinya, sampai lingkungan
rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota
lingkungan lainnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan maka diperlukan adanya metode, atau
dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunkan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang
lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan
21
22

Zar Sirajuddin,Filsaafat Islam,(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada 2010) h.128
Azhar Basyir,Refleksi Atas Persoalan Keislaman,(Bandung: Mizan 1993) h.92

perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode
pendidikan disini berkaitan dengan pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibn
Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan
bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya
pendidikan. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan.23
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai
akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk
berlatih terus menerus dan

menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk

memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan
keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar

manusia tidak

merperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena kedua
jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri
dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa
kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul,
maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang didalamnya
mengandung unsur yang berat seperti mengerjakan sholat lima waktu atau
melakukan pekerjaan baik yang didalamnya mengandung unsur yang melelahkan.
Latihan yang sunguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibn Miskawaih
seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud
mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak
menunggu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para
filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Al-Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn
Sina.24
Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain
sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang
dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetauan dan pengalaman berkenaan

23

Abdul Kholiq,dkk,Pemikiran Pendidikan Islam,Kajian Tokoh Klasik
Kontemporer (Semarang: Pustaka Pelajar Offset,1999) h.16
24
Suwito,Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta 2004) h.35

Dan

dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam
perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan
akibatnya yang dialami orang lain.25
Analisis Penulis :
Terkait dengan metode atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang dalam hal ini adalah pendidikan akhlak maka Ibn Miskawaih
menerapkan metode yang pertama yaitu kemauan sungguh-sungguh untuk ingin
berlatih terus-menerus untuk memperoleh keutamaan jiwa dan yang kedua adalah
menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cerminan. Pendapat
ini didasarkan pada pendirian Ibn Miskawaih yang mengatakan bahwa masalah
perbaikan akhlak bukan merupakan warisan atau pembawaan jadi akhlak
seseorang dapat diperbaiki melalui usaha-usaha.

B.

Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi

Al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M, di sebuah desa kecil bernama
Ghazalah Thabaran, bagian dari kota Tus (sekarang dekat Meshed) wilayah
khurasan(Iran).26
Nama Al-Ghazali kadang-kadang diucapkan Al-Ghazali, kata ini berasal
dari Ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya Al-Ghazali
adalah memintal benang wol. Sedangkan kata Al-Ghazali diambil dari kata
ghazalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Ayah Al-Ghazali adalah seorang
tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya
masih kecil. Al-Ghazali pertama belajar ilmu agama di kota Thus. Kemudian
meneruskan di Jurjan dan akhirnya di naisabut dan belajar pada Imam AlJuwaini, karena kecerdasan dan kemaunya, kemudian Al- Juwaini memberi gelar
25
26

h.60

Maftuhin,Filsafat Islam,(Yogyakarta: Teras 2012) h.15
Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1984)

“Bahrun Mughriq” yaitu laut yang menenggelamkan. Kemudian ia berkunjung
kepada Nidzam Al-Mulk di kota Mu‟asar dan ia mendapat kehormatan dan
penghargaan yang besar (professor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada
dikota Baghdad. 27
Pada tahun 488 H, Al-Ghazali pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji dan melanjutkan perjalanan ke Damaskus untuk menetap beberapa lama dan
beribadah di Masjid al-Umawi. Pada saat itulah ia sempat mengarang kitab Ihya
Ulumuddin. Beliau wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/18
Desember 1111 M dalam usia ∙± 55 tahun, di desa Tabaran dekat Tus.28
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat
atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat
merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang
mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari
hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama ,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia
dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai
pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu.
Tujuan ini bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.29
Analisis Penulis :
Pada hakikatnya rumusan tujuan pendidikan merupakan rumusan dari
filsafat atau pemikiran yang mendasarinya, seseorang baru dapat merumuskan
tujuan pendidikan jika sudah memahami dengan benar filsafat yang mendasarinya
karena dari rumusan ini yang selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum,
27

Ahmad Hanafi,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1990) h.65
Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta: Universitas Indonesia
1998) h.52
29
Fathiya Hasan Sulaiman, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta;Bumi Aksara,1991) h.18
28

metode, dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagai seorang sufi
maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Al-Ghazali adalah bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan ini lebih kepada tujuan
pendidikan yang bernuansa religius dan moral tanpa mengabaikan aspek
keduniaan.
Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu
adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran
dan

saranya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan

pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trendtrend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah
duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan
duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalahmasalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di
alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk
kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui
Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal
sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat selamanya.30
Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, disamping bercotak agamis yang
merupakan ciri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung kepada sisi
keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya,
sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasauf. Maka sasaran
pendidikan, menurt Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani didunia dan
akhirat.31
Analisis Penulis :

30

M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1999 ) h.56
31
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (YogYakarta : Pustaka
Pelajar Offset 1998) h.146

Secara umum pendidikan islam itu bercorak spesifik yakni adanya cap
(stempel) agama dan etika. Akan tetapi pendapat Al-Ghazali juga sejalan dengan
keduanya (agama dan etika). Rumusan pendidikan Al-Ghazali juga tidak
melupakan masalah keduniawian akan tetapi baginya mempersiapkan diri untuk
masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan
hidup di akhirat. Pendapat dari Al-Ghazali ini memang terlihat sangat agamis
karena memang ciri dari pendidikan islam adalah cenderung kepada keruhanian.
Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa
agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangan tentang
hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan kedua-duanya telah
membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari
kebahagiaan di akhirat namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu
dituntut,mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa
ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu,
menguasai ilmu bagi dia,termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang
dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.32
Ia mengemukakan, apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh
anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu
sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang
mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negri akhirat; sebagai medium untuk
taqqarub kepada Allah, dimana tak satupun bisa sampai keapadanya tanpa ilmu
tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan abadi diantara wujud
yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan tetapi
kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak
mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.33

32
33

Ramayulis,Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia 2009) h.71
Muhammad Razi,50 Ilmuan Muslim Populer (Jakarta: Qultum Media 2005) h.15

Analisis Penulis :
Pada uraian diatas terlihat bahwa sekalipun seorang Al-Ghazali adalah
orang agamis dan sufi akan tetapi ia tetap menekankan akan perlunya kita untuk
menuntut ilmu sebanyak-banyaknya karena ilmu merupakan media seseorang
untuk dapat mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat.
Dalam pandangannya Al-Ghazali membagi ilmu kedalam tiga bagian yaitu :
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-

ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik didunia maupun di akhirat, seperti ilmu
sihir,, ilmu nujum, dan ilmu ramalan. Al-ghazali menilai ilmu tersebut tercela
karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan)
baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu gunaguna dapat mencelakakn orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia
yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan,
menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tegolong
ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum
yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlali,
yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu
nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara; sebab dengan
ilmu itu dapat menyebabkan manusia dapat menjadi ragu kepada Allah, lalu
menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal
terjadi sesuatu dilangit dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau
berdasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya
peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat waktu yang
ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan
tukang nujum dan seterusnya orang-orang tersebut akan percaya pada ramalan
tukang nujum itu.
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertam diatas, Al-Ghazali
mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena
menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan

baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil
yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia memakan daging
burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut
besarnya.34
Analisis Penulis :
Pada ilmu jenis pertama ini penulis melihat bahwa Al-Ghazali begitu
menekankan kepada kita untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu yang tidak membawa
manfaat bagi kita, atau dengan kata lain dapat memberikan mudharat baik bagi
pemilik ilmu tersebut atau terhadap orang lain misalnya ilmu sihir dan ilmu
nujum.Al-Ghazali membolekan mempelajari ilmu nujum asalkan

ilmu itu

berdasarkan pada perhitungan (hisab). Namun disisi lain penulis tidak sepenuhnya
sependapat dengan Al-Ghazali yang dimana dikatakan bahwa mempelajari filsafat
itu tidaklah wajib karena orang tidak sepenuhnya dapat mempelajari ilmu itu
dengan baik. Penulis berpendapat bahwa mempelajari ilmu filsafat itu sangatlah
wajib terutama bagi kalangan mahasiswa karena ilmu ini banyak memberikan
manfaat terutama dalam membuka nalar berfikir kritis.
Kedua , ilmu-ilmu yang terpujibaik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang

erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang
berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat
menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya,
ilmu-ilmu yang mengajarkan tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah
dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya serta dapat membekalinya hidup di
akhirat.
Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian.
Pertama wajib „aini dan wajib kifayah. Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan
bahwa diantara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu
yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang wajib
34

Sirajudin,Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada
2004) h.45-46

dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan
bahwa ilmu yang wajib itu adalah fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan
mengetahui masalah ibadah,mengenal yang halal dan haram, baik yang
menyangkut tingkah laku secara umum, maupun yang menyangkut bidang
mu‟amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu
adalah ilmu Al-qur‟an dan As-Sunnah, karena dengan mengetahuinya seseorang
dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.35
Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwaa ilmu-ilmu yang wajib
„aini bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya mulai
dari kitab Allah, ibadat, yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya.
Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib „aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan
amalan yang wajib.
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu
yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran
yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan
dalam hubugan mu‟amalah pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya.
Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya,
maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang
menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan
tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib
kifayah ini adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam

kehiduan

masyarakat, karena apabila sebagian anggota masyarakat telah menguasainya,
maka masyarakat lainnya terlepas dari tuntutan kewajiban, sebab keperluan
masyarakat telah terpenuhi oleh sebagian anggotanya. 36

35

Bukhari Umar,Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Amzah 2010) h.61
Margareth smith,Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali,(Jakarta: Riora cipta
2000) h.13
36

Analisis Penulis :
Pada jenis ilmu yang kedua ini terlihat bahwa Al-Ghazali lebih merangkul
semua jenis ilmu yang wajib ain, yaitu ilmu

agama dan segala cabangnya

sedangkan ilmu yang wajib kifayah bagi Al-Ghazali yaitu seperti ilmu
kedokteran, perhitungan yang berguna untuk ilmu muamalah. Akan tetapi bagi
penulis antara ilmu yang wajib ain dan ilmu wajib kifayah itu kedudukannya sama
saja, penulis tidak memandang ilmu tersebut kedalam golongan wajib ain maupun
kifayah.
Ketiga , ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela

jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara
mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan kesemrautan antara
keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti
ilmu filsafat.37
Pada akhirnya Al-Ghazali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama
adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai
melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat
manusia yang termulia, karena dengan akal itulah amanah Allah diterima manusia
,dan dengan akal juga orang dapat berada disisi Allah Swt,mengenai kekuasaan
jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Dilihat pula tempatnya
yang sudah jelas, seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa
manusia. Diketahui bahwa wujud yang termulia diatas bumi adalah manusia.38
Analisis Penulis :
Pada ilmu jenis ilmu ketiga yang digolongkan Al-Ghazali ini penulis
melihat bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dan segala cabang.
Namun bagi penulis jika kita melihat pada perkembangan jaman sekarang ini
belajar ilmu agama saja tidaklah cukup serta tidaklah bisa dikatakan bahwa ilmu
37

Suwito dan Fauzan,Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: angkasa 2003)

38

Toto suharto,Filsafat Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2013) h.240

h.56

agama adalah yang paling utama. Karena penulis berpendapat jika kita hanya
terus belajar ilmu agama maka kita senantiasa tidak akan dapat mengikuti
perkembangan jaman. Lihat saja hari ini mahasiswa masih sibuk beradu argumen
tentang kunut atau masalah Bid‟ah sedangkan orang diluar sana sudah sibuk untuk
memikirkan tentang teknologi maupun bidang kedokteran.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian
khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap
ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain,
ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat
tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya.
Menurutnya Ilmu wajib dituntut bukan karena keuntugan diluar hakikatnya, tetapi
karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu
yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai
yaitu tasauf dan zuhud. Disisi Lain, sekalipunn Al-Ghazali menekankan
pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan dan
masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.39
Analisis Penulis :
Dari segi kurilum Al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib dituntut
adalah ilmu yang dilihat dari manfaat hakikatnya itu sendiri, juga ia tidak
mementingkan keterampilan. Bagi penulis hal ini perlu kita kritisi karena
pendidikan

masa

sekarang

cakupan

penilaiannya

itu

mencakup

aspek

pengetahuan,skill, dam keterampilan.
Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan
jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk kedalam
kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan

pada dua kecenderungan sebagai

berikut.

39

C.A.qadir,Filsaafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam(Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 1991) h.103

Kecenderungan agama dan tasauf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama diatas segalanya, dan memandang sebagai alat
untu mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh dan kehidupan dunia.
Dengan kecenderungan ini maka Al-Ghazali sangat mementingakan pendidikan
etika, karena menurutnya ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kecenderungan Pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya
tulisannya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilainnya terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan didunia maupun
kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan
pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak
bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan
kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai dengan
ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.40

Analisis penulis :
Penulis melihat bahwa kecenderungan atau pengaruh tasauf yang ada pada
Al-Ghazali begitu kuat sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap
kurikulum yang digagas oleh Al-Ghazali, maka dari itu ia menempatkan ilmu
agamalah diatas segalanya dilihat dari manfaatnya didunia dan akhirat.
Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode
khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk itu ia telah mencontohkan
sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan
penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan
pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya
yang secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan
sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal
ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena bedasar pada
prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang
memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid.
40

Al-Ghazali,ihya ‘ulum ad-Din hlm.18-19

Dengan demikan faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode
pengajaran yang amat penting.41
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut diatas,
juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya
mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus tugas yang paling
agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadish
Rasullulah Saw, serta pengulangan berkali-kali tentang pentingnya status guru
yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa
wujud yang termulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia
yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas meyempurnakan, menghias, dan
menggiringnya mendekati Allah Swt. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk
lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tiggi perintah-Nya.42
Analisis Penulis :
Bagi Al-Ghazali cara atau metode untuk pembelajaran adalah dengan
keteladanan dari seorang guru. Pendapat ini sejalan dengan pendapatnya Ki Hajar
Dewantoro yakni Ingarso Sung Tulodo atau didepan memberikan teladan. Karena
mengajar merupak suatu tugas yang mulia, maka dari itu guru harus mampu
menyempurnakan, menghias dan menggiring peserta didik kearah yang lebih baik.
Menurut Al-Ghazali bahwa guru yang dapat diserahi tugas adalah guru
yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat
fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu
pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi
contoh dan teladan bagi para muridnya, dan

dengan kuat fisiknya ia dapat

melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.

41
42

Ngainum naim,Rekonstruksi Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Teras,2009) h.34
Fatah Syukur,Sejarah Peradaban Islam,(Semarang: Pt Pustaka Rizki Putra 2010) h.3

Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaiman disebutkan di
atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu
sebagai berikut :43
Kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari
seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah kasih sayang.
Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa
tentram pada diri murid terhadap gurunya.
Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang
yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih
payahnya mengajar itu. Seorang guru harus meniru Rasullulah Saw yang
mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru
dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu
yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya.
Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana
yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar, serta faktorfaktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit
dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan
kesejahteraan yang memadai.
Seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan
penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh
membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia
menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu
berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah
mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mengejar pangkat, status
dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam
dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang
simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan
43

Ali Isa Othman,Manusia Menurut Al-Ghazali(Bandung: Pustaka 1987) h.154

sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru jangan mengekspose atau
menyebarluaskan kesalahan muridnya didepan umum, karena cara itu dapat
menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang
dan memusuhi gurunya.
Seorang guru yang baik harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik
dihadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap
toleran atau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak
mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannya atau spesifikasinya.
Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya
perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya
sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu.
Seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang disamping
memahami perbedaan tingkat kemampuan dan

kecerdasan muridnya, juga

memahami bakat, tabiat, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan
usianya.
Seorang guru yang baik adalah gru yang berpegang teguh kepada prinsip yang
diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam
hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar jangan sekali-kali melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya.44
Analisis Penulis :
Seorang pendidik itu selain cerdas dan sempurna akalnya juga harus baik
akhlaknya supaya ia dapat menjadi contoh atau teladan bagi peserta didiknya dan
juga kuat fisiknya agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu AlGhazali juga menenkankan sifat-sifat yang penting harus dimiliki seorang guru
antaralain kasih sayang, simpatik, tidak mengumbar kesalahan dari peserta didik,
tidak mencaci maki, memahami perbedaan potensi yang ada pada peserta
didiknya, berpegan teguh pada prinsip yang dipegangnya serta mampu untuk
merealisasikannya. Namun sayangnya di jaman sekarang sifat-sifat yang seperti
ini sebagian tidak dimiliki oleh seorang guru dalam mengajar.
44

Nizar Samsul Haji,Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,Teoritis dan
Praktis,(Jakarta: Ciputat Perss 2002) h.88

Selain Sifat Guru Yang baik Al-Ghazali Juga menjaelaskan tentang
bagaiman sifat peserta didik yang baik yakni :
Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina
dina dan sifat-sifat tercela lainnya.
Seorang murid yang baik,juga harus menjauhkan diri dari persoalanpersoalan duniawi, mengurangi keterkaitan dengan dunia, karena keterkaitan
kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan
ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapan Al-Ghazali yang mengatakan : bahwa ilmu itu
tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan
seluruh dirimu kepadanya, dan jika engkau memberikan seluruh dirimu
kepadanya, maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagian dirinya kepadamu.
Seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadhu.
Sifat ini amat ditekankan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali menganjurkan agar jangan
ada murid yang lebih merasa besar dari pada gurunya.
Khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang
saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Hal
ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai
pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga tidak terjadi kekacauan.
Seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang
wajib. Pengetauan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik dari pada
pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur‟an
misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-qur‟an dapat
mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran agama islam secara
keseluruhan, mengingat Al-Qur‟an adalah sumber utama ajaran agama islam.
Seorang nurid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap.
Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi
memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya secara sempurna.
Seorang murid hendaknya tidak mempelajari disiplin imu sebelum
menguasai ilmu sebelumnya.

Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang
dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta ha