Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB V

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Untuk menyimpulkan tulisan ini, penulis menguraikanya dalam beberapa bentuk
catatan refleksi;
1. Keluarga
Seiring dengan perubahan zaman, pendidikan semakin merata, maka para
orang tua mulai menyadari akan kesamaan hak bagi anak-anak, perempuan dan
laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Anak perempuan tidak lagi
diperlakukan sebagi pribadi titipan, tetapi sebagai anak yang memiliki hak yang
sama dengan saudaranya laki-laki dalam mengenyam pendidikan, sehingga
perempuan juga berhak bermimpi dan meraih mimpinya tersebut. dengan
pendidikan perempuan bisa menjadi pemimpin di luar rumah, tetapi dirumah
sendiri tidak bisa.

Posisinya tetap sebagai ono alawe.

Dalam banyak hal

kedudukan perempuan tidak mengalami pergeseran
Beriringan dengan perkembangan zaman (era globalisasi) keutuhan

keluarga semakin terancam; perceraian, orang tua tunggal, percekcokan, anakanak yang terlibat kekerasan dan narkoba, anak putus sekolah bahkan bunuh diri
sering terjadi, hal ini disebabkan terjadinya disfungsional dan konflik keluarga.

196

Dinamika keluarga seperti ini menuntut peran aktif gereja untuk merancangbangun model pelayanan keluarga yang lebih kreatif— sudah saatnya gereja
menjadikan keluarga focus utama, saat keluarga kokoh dan kuat maka gerejapun
akan kuat. kokohnya keluarga tidak berarti bahwa keluarga terhindar dari konflik.
Spray menjelaskan bahwa keluarga yang kokoh bukanlah keluarga tanpa konflik,
tetapi keluarga yang mampu menerima perbedaan-perbedaan walaupun dalam
berbagai gesekan-gesekan, tetapi gesekan tersebut membawa harmony dan
kekokohan sebuah keluarga, bagaimana membuat gesekan tersebut menjadi suatu
harmoni yang indah yang membawa perkembangan dan kekokohan? Di titik
inilah peran gereja menjadikan setiap inividu menjadi pribadi mampu menerima
perbedaan, mampu bekerja sama dalam keluarga melalui program-program.
Kesan yang terjadi selama ini adalah adanya pembiaran yang dilakukan
oleh gereja untuk perkembangan (secara holistic) sebuah keluarga, karena itu bisa
dikatakan bahwa gereja “absen” dalam pelayanan pembinaan keluarga. Karena itu
untuk membangun jemaat yang kuat, maka gereja harus membangun keluarga
menjadi keluarga yang kuat. Berbagai bentuk pelayanan kategorial dilakukan

dengan kreatif dan efisien, selain itu, perlu membangun konseling keluarga yang
baik; konseling pra-nikah—selama ini yang dikonseling hanya calon pengantin,
karena itu perlu pengembangan yakni orang tua calon pengantin juga perlu
dikonseling dengan tujuan mempersiapkan mereka menerima menantu seperti
anak sendiri, mendukung keluarga baru menjadi keluarga yang harmonis (hasil
penelitian menunjukan bahwa sebagian konflik keluarga terjadi karena ketidak
siapan mertua menerima menantu); konseling pasca pernikahan yang membantu
keluarga menghadapi kerikil-kerikil tajam dalam kehidupan berkeluarga. Melalui

197

teori sosiologi keuarga, gereja terbantu membangun program pelayanan dalam
penguatan keluarga. Misalnya teori perkembangan Keluarga yang dikembangkan
oleh Duvall—mengaanalisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh sebuah
keluarga pada tahap-tahap tertentu.
b. Pendidikan dan subordinasi terhadap perempuan
Sebelum

pendidikan


diperkenalkan

dimasyarakat

Nias,

keluarga

merupakan basis pendidikan. Prose pendidika secara umum telah dimulai saat
anak telah famoto (laki-laki) dan famofo ifȍ (bagi anak perempuan sampai saat
famamaha wamasa Nias gari (laki-laki) dan fanari, folohe balatu (bagi anak
perempuan). Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga memiliki pola yang
berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Namun setelah pendidikan
“formal” diperkenalkan dan dianggap sebagai kebutuhan manusia, maka fungsi
keluarga dalam hal pembinaan mulai mengalami pergeseran.
Saat pendidikan formal mulai dikenal oleh masyarakat Nias, subordinasi
terhadap perempuan semakin terasa, laki-laki dianggap lebih layak untuk
mengenyam pendidikan formal, sementara perempuan tidak didorong untuk
bersekolah karena adannya kekuatiran akan hilangnya harato zatua, rentanya
perempuan terhadap kekerasan dan adanya anggapan umum bahwa setinggitingginya pendidikan perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur dan

menjadi solaya ngai mbatȍ, bukan untuk memimpin

c. Gender

198

Berbicara mengenai gender

berarti juga berbicara mengenai keluarga dan

lingkungan sosial. Identitas setiap pribadi (laki-laki dan perempuan) dibentuk oleh
dua bahkan tiga lembaga yakni keluarga dan lingkungan sosial atau bahkan
agama. Beberapa pembahasan berkaitan dengan gender;
a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan tafsiran
terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat,

atau bahkan

asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada penyisihan
atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang mengakibatkan

kemiskinan secara ekonomi
b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting) dan
sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki sebagai
pribadi yang diutamakan.
c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan sikap
atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga atau
kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang dilabelkan
pada jenis kelamin.
d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak
bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah
pengabdian dan pengorbanan yang mulia.
e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan istilah
gender-related violence. Korban kekerasan bukan hanya perempuan tetapi bisa
juga laki-laki yang dilakukan secara verbal (antaranya, pemerkosaan,

199

penyerangan seksual, pemukulan, pelecehan seksual) atau nonverbal di tempat

terbuka atau di ruangan tertutup atau privat.
Masyarakat Indonesia yang kental dengan adat masih kental dengan lima isu
gender tersebut, dan mayoritas korban ketidak adilan gender adalah perempuan
(baik sebagai anak maupun sebagi istri dan ibu). Para perempuan umumnya tidak
mempermasalahkan kondisi ketidak adilan tersebut. perilaku penerimaan ini bisa
dianalisa melalui teori kesadaran diri dari Belengky dkk, yakni silence atau blind
obedience, received knowledge, subjective knowledge, procedural knowledge,
constructed knowledge dalam bahasa sederhana adalah, keterbatasan pengetahuan
karena latarbelakang pendidikan, kedua adanya pilihan hidup artinya bahwa
adanya penerimaan karena kesadaran bahwa memang bengitu adanya atau
kecenderungan untuk menjaga martabat dan identitas keluarga.
Masyarakat masyarakat menempatkan perempuan pada kedudukan yang ganda
(saling bertentangan), dan hal ini adalah sebuah keunikan budaya Nias, yang
belum tersentuh oleh teori dan penelitian feminis. Sebagai manifestasi Inada
Silewe Hai Nazarata, perempuan memiliki kepribadian yang mulia; memancarkan
cinta tanpa syarat dan tanpa berpihak, melalui tutur kata, perilakunya dan afo
perempuan selalu menciptakan perdamaian, dan memiliki kemampuan mengelola
perekonomian keluarga dengan baik sehingga menciptakan sebuah keluarga yang
sejahtera.
Sebagai manifestasi inada Silewe hai Nazarata, Perempuan di muliakan karena

perilakunya sebagai ibu dengan sebutan barasi, sekalipun tidak berasal dari
keluarga yang berstrata sosial yang tinggi, namun bila berperilaku layaknya
Barasi, maka suami dan anak-anak, keluarga menyebutnya sebagai perempuan

200

barasi, namun walaupun seorang perempuan berasal dari strata sosial tinggi,
namun berperilaku layaknya Ria, maka perempuan terssebut tidak akan mendapat
pemuliaan dari berbagai pihak.
Walaupun secara filosophi ada beberapa nama perempuan yang mulia
namun mengalami pergeseran makna yang mendorong sebuah perilaku yang
merendahkan kedudukan perempuan tersebut dalam keluarga. pergeseran makna
dari kedudukan perempuan dalam keluarga seperti makna ni’owalu, beligana’a.
Akibatnya perempuan menjadi kelas subordinat dirumahnya sendiri dan menjadi
kuda beban yang tidak berhenti bekerja yang kepadanya sering menjadi objek
kekerasan dari pemilik kekuasaan dalam keluarga (ibu mertua dan suami
sebagaimana teori feminis sossialis

dan Marxis serta Feminis Poskolonial).


Selain karena pergeseran makna, kedudukan perempuan sebagai anak dalam
keluarga diperlakukan sebagi pribadi titipan, dan setelah menikah dianggap
sebagai mesin pencetak anak.

hal ini terjadi akibat keterbatasan ekonomi

sehingga sebagian besar terlilit utang, pernikahan dini, pendidikan yang rendah
atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali, sehingga mempengaruhi
kemampuan setiap pribadi dalam memilah dan mengelola setiap permasalahan
bahkan pergumulan keluarga.
Kedudukan yang ganda (bertentangan) tidak membuat perempuan “merasa”
menderita, kehidupan berkeluarga mengalir bagaikan air, sikap silent knower
(kepatuhan buta) received knowledge (mengetahui sesuatu tetapi karena
keterbatasan pengetahuan untuk menyampaikan dan mengubahnya maka
perempun lebih memilih untuk berdiam diri) dan atau constructed knowledge
(kesadaran akan pengetahuan yang dikonstruksi) (baca: R.A. Kartini dan

201

kesadaran diri akan kesetaraan).


Seseorang yang memiliki

constructed

knowledge disebabkan karena pengaruh pendidikan dan latarbelakang keluarga.
Sehingga walaupun diperlakukan “bȍligana’a atau bene’ȍ atau kuda kerja yang
tidak berhenti bekerja, perempuan akan melakukan semampunya. Permasalahanya
adalah setelah para istri menjadi solaya ngai mbatȍ, dan memiliki menantu
(menjadi subjek kekuasaan), sebagian besar perempuan “balas dendam”.

D. Kesetaraan yang Memerdekakan
Dalam sejarah perjuangan “keadilan gender” selalu bertujuan untuk
memperoleh kesetaraan, namun makna kesetaraan yang diperjuangkan masih
dalam tahap abu-abu. Memahami teori epistimologi kesadaran diri dari Belengky
dkk., ada banyak pejuang gender yang telah mencapai pada tingkat subjective
knowledge, procedural knowledge

yang pada titik-titik tertentu justru


meninggalkan atau bahkan menanggalkan kodratnya sebagai perempuan dan
“berperilaku” seperti laki-laki, atau munkin sebaliknya melakukan ketidak adilan
gender terhadap laki-laki.
Perjuangan kesetaraan gender lebih pada pemerdekaan baik laki-laki
maupun perempuan sehingga masing-masing memperoleh haknya sebagai
manusia yakni; hak untuk hidup (life), kebebasan untuk berekspresi (liberty) dan
hak untuk berbahagia (happynes).
Satu hal yang menjadi perhatian penting—hal ini kadang terlupakan dalam
spiritualitas Kristen adalah equality, hak untuk hidup (life), kebebasan (liberty)
dan memperoleh/mengekspresikan kebahagiaan (happyness) sama antara laki-laki
dan perempuan.

Spiritulitas kekristenan berkembang dalam budaya patrikhat

sehingga perempuan ditempatkana pada posisi subordinat, dalam keseharian
perempuan diperlakukan bagaikan kuda beban yang tidak pernah berhenti bekerja,
atau sebagai subaltern dalam bahasa Gayatri Spifak. Hal ini lahir dari kesalah
pahaman terhadap ungkapan Paulus dalam Ef. 5:21 “hai Istri-istri, tunduklah
terhadap suamimu”, 1 Petr.3:1,5;
perempuan untuk memimpin


Kol.3:18, serta ketidak layakan seorang

(1Kor.2-16).

Perilaku merendakan perempuan

202

dilakukan atas legitimasi ayat-ayat tersebut diatas. “Merendahkan perempuan
bagian dari iman”
Namun bila memahami dengan benar apa yang menjadi dasar pemkiran
Paulus menulis teks tersebut, kemungkinan maknanya akan berbeda, apalagi jika
setiap perilaku “kesetaraan ini” berpedoman pada perilaku Kristus yang selalu
memperlakukan manusia sama, hal ini bisa dilihat pada tindakan Yesus yang
membela seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yoh.8:3-11),
bagaimana Yesus memperlakuan orang-orang terpinggirkan.

B. Saran
1. Pemerintah dan gereja perlu bekerja sama menggali dan mensosialisasikan
filosophi dari setiap istilah adat yang telah mengalami pergeseran makna yang
menjurus pada pergeseran perilaku dari masyarakat Nias. Contoh; makna
bȍwȍ, ni’owalu, bȍligana’a, dll.
2. Penggembalaan pra nikah yang dilakukan selama ini oleh gereja terkesan
“hanya” sebagai formalitas atau seremonial belaka (dikatakan seremonial
karena penggembalaan yang dilakukan hanya satu kali). Menurut penulis,
menciptakan keluarga yang harmonis perlu dilakukan penggembalaan pra
Nikah selama beberapa kali pertemuan dan pasca Nikah—membantu keluarga
baru menghadapi berbagai kerikil tajam dalam keluarga, dengan materi
kehidupan keluarga menurut Kekristenan yang dipadu dengan berbagai teori
sosiologi keluarga dan budaya Nias.
3. Fenomena keluarga bahwa pelaku kekerasan psikis dan bahkan fisik dalam
keluarga adalah ibu mertua dan suami. Karena itu dalam proses konseling
pernikahan

gereja

menyiapkan

materi

khusus

bagi

mertua

untuk

203

mempersiapkan mereka menjalani hidup bersama dengan menantu dan atau
keluarga yang baru.
4. Perlu adanya reformasi liturgy pernikahan, selama ini dalam liturgy yang
berjanji adalah hanya pasangan suami istri. Perubahan yang diharapkan adalah
orangtua dari kedua belah pihak juga harus berjanji “bukan sehidup semati”
tetapi menerima menantu dan memperlakukan mereka

seperti anak-anak

mereka sendiri.

204