Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB IV

BAB IV
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA
Perilaku Masyarakat Nias Terhadap Perempuan

Keluarga Dan Hierarki Kekusaan
Sebelum masuk dalam pembahasan tentang “bagaimana” kedudukan
perempuan dan mengapa perempuan memiliki kedudukan seperti itu, terlbih
dahulu penulis mengajak pembaca memahami “keluarga” sebagai tempat pertama
pembentukan “karakter manusia” dan penerapan konstruksi

sosial terhadap

gender serta hierarki kekuasaan yang terdapat dalam sebuah keluarga.
Pada umumnya keluarga adalah lembaga yang sangat penting dan utama
dalam kehidupan masyarakat dan pribadi. Dikatakan penting dan utama karena
fungsinya sebabagai lembaga reproduksi dan sebagai tempat untuk mendapatkan
perlindungan, kedamaian, kasih sayang, tempat mempersiapkan setiap individu
untuk terjun ke lingkungan masyarakat atau

tempat mendapatkan nilai-nilai


melalui sosialisasi yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung (melalui
keteladanan hidup) dari orang-orang yang lebih tua dalam sebuah keluarga. Selain
itu, keluarga akan melakukan fungsinya mengamati perkembangan emosional
dan karakter anggotanya terutama anak-anak. Tanpa melakukan fungsi-fungsi ini,
maka terjadilah disfungsional sebuah keluarga sebagaimana bahasa fungsional

153

stuktural (Parson, Marton, Cohen dan Ihromi), artinya bahwa timbul
ketidakseimbangan sistem yang bisa berakibat percerian, kekerasan, konflik dan
bahkan akan menghasilkan generasi muda yang berkepribadian buruk.
Bagi masyarakat Nias, keluarga adalah segalanya, keluarga adalah lembaga
pertama dalam utama. Hal ini dibutktikan dengan perjuangan setiap keluarga
besar dalam membentuk sebuah keluarga batih yang baru dengan mengorbankan
materi dalam jumlah yang banyak, pemikiran dan dengan setiap mengikuti
tahapan dan proses ritual pernikahan.
Dalam tradisi yang dikristalkan menjadi adat, setiap pribadi akan melakukan
fungsinya sesuai dengan diferensiasi peran sehingga terjadi suatu keseimbangan
sebagaimana Parson maksudkan dalam teori structural fungsional keluarga.
Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam menjalani fungsi sering terjadi

konflik akibat disfungsional keluarga. Konflik akan selalu berujung pada
kekerasan terhadap yang lemah—kelompok yang lemah adalah anak dan
perempuan sebagaimana tesis teori konflik keluarga. Beberapa faktor terjadinya
suatu konflik dalam sebuah keluarga;
1. Hilangnya suatu solidaritas dalam sebuah keluarga. Artinya adalah motivasi
dan kesiapan setiap anggota keluarga untuk merasa memiliki sebagai anggota
sistem dan saling percaya untuk memenuhi harapan bersama yang melekat
pada keanggotaan dalam peran masing-masing.
2. Hilangnya keteraturan fungsi masing masing-masing-masing anggota
(hilangnya diferensiasi peran) atau pribadi sebagai subsistem dari kelurga
yang menciptakan disfungsional

154

3. Adanya ketidaksiapan dan ketidak mampuan masing-masing anggota
keluarga sebagai subsistem untuk menerima dan memehami setiap perbedaan
4. Faktor pertama sampai ketiga adalah faktor internal (dari dalam diri setiap
orang). Faktor eksternal artinya faktor dari luar berupa tradisi/budaya dan
agama. Setiap pribadi dikondisikan oleh tatanan yang telah diatur dalam
suatu aturan adat dan agama yang mendorong setiap pribadi dalam setiap

keluarga menempatkan orang lain pada posisi kemanusiaan yang lebih
rendah—dalam tataran inilah terjadi diskriminasi, penindasan pribadi-pribadi
yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud tidak
didasari oleh kepemilikan akses terhadap hal-hal yang dianggap bernilai
seperti ekonomi dalam sebuah keluarga sebagaimana anggapan teori konflik
keluarga, tetapi adanya legitimasi

adat dan agama untuk melakukan

diskriminasi dan penindasan sehingga menempatkan orang yang lemah
(objek) menjadi subaltern atau subordinat.
Dalam berbagai teori Feminis, feminis Sosialis dan Marxisme yang
meminjam teori Marx dan Engel, tentang perempuan yang ditindas oleh budaya
patriakhi dan kapitalis maupun teori poskolonial Feminis yang melihat
ketertindasan dunia ketiga dari bebrapa sudut yaitu keterjajahan dari penjajah,
budaya patriakhi, agama dan budaya memahami “kekuasaan” yang digunakan
laki-laki bagi perempuan dan perempuan bagi perempuan sebagai alat untuk
menundukan perempuan yang dianggap sebagai pribadi yang lemah, karena di
satu sisi adanya stereotipe fisik dan karakter perempuan yang lemah, di sisi lain
karena akses terhadap hal-hal yang dinilai berharga.


155

Meminjam konsep kekuasaan Foucalt, kekuasaan suami terhadap istri,
perempuan terhadap perempuan lain adalah sikap tunduk perempuan pada
pengendalian laki-laki sebagai suami dan ketergantungan pada suami sebagai
kepala rumah tangga, atau ibu mertua terhadap menantu—istri tidak bisa
melakukan dan memutuskan karena perempuan hanyalah bȍli gana’a dan atau
ono alawe.

Berkaitan dengan kuasa, ibu mertua atau suami sebagai subjek

diproduksi melalui wacana adat yang disakralkan dalam sebuah fondrakȍ.
Perempuan yang sebenarnya bersama dengan suami menjadi subjek berubah
menjadi objek melalui jalinan kuasa budaya patriakal, karena itu subjek yang adalah
suami dilihat sebagai individu yang superior, sedangkan objek yang adalah istri
sebaliknya berada dalam posisi yang ditaklukkan oleh subjek.
Dalam sebuah keluarga adat terjadi hierarki kekuasan terhadap perempuan.
Pertama, sebagai subjek, suami memiliki kekuasaan dan kendali terhadap objek
(istri). Kedua adalah bagi perempuan muda yang yang baru diperistri, maka

perempuan sebagai objek dikendalikan dan harus hidup ketergantungan terhadap
suami dan mertua (dalam hal ini ibu meretua lebih berperan aktif); ketiga adalah
perempuan sebagai anak, berada dibawah kekuasaan orang tua dalam sebuah
keluarga. Lebih jelas digambarkan dalam bagan di bawah ini;

156

Bagan 1. Suami/laki-laki menjadi pimpinan tertinggi dalam sebuah keluarga

Keluarga berada dalam sebuah lingkaran adat yang

ketat (segala sesuatu harus

berdasarkan adat), dalam konsep keluarga dalam masyarakat Nias, sebuah keluarga yang
disebut fongambatȍ terdiri dari laki-laki dewasa (suami yang kemudian disebut ayah)
dan perempuan (istri yang kemudian disebut ibu) serta anak-anak, baik laki-laki dan
perempuan. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga karena itu dalam hirarkhi
kekuasaan sebagai subjek dan istri sebagai objek. Namun bersama-sama menjadi subjek
bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Kekuasan penuh akan berada ditangan seorang
laki-laki di saat mertua telah meninggal.


157

Bagan 2. Ibu Mertua berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah
keluarga

Bagan ke dua mau menjelaskan bahwa setelah seorang anak laki-laki
membentuk sebuah keluarga maka laki-laki tersebut keluar dari keluarga batih
ayah dan ibunya, dan membentuk sebuah keluarga batih yang baru, namun
hierarki kekuasaan dalam keluarga baru itu pimpinan teratas bukanlah suami,
tetapi mertua—umumnya ibu mertualah yang memegang kendali dan bersikap
sebagai subjek kekuasaan pertama, kemudian laki-laki atau suami menjadi objek
kekuasaan ibunya dan subjek kekuasaan atas istrinya. Itulah sebabnya sebagian
keluarga baru sering mengalami percekcokan akibat kekuasaan ibu laki-laki.
Jadi dalam sebuah jaringan kekuaasaan dalam sebuah keluarga, perempuan
muda yang baru diperistri akan hidup di bawah kekuasaan ibu mertuanya dan
suami, sehingga mendapatkan banyak tekanan dan selalu dikondisikan pada
oposisi biner di mana perempuan sebagai istri yang belum dewasa mengalami
diskriminasi dan dianggap sebagai pribadi kedua dalam sebuah keluarga. Sebagai


158

istri dan menantu dalam sebuah keluarga harus patuh, kreatif dan rajin, serta
menggantungkan nasib terhadap subjek.

Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga.
Di atas telah dijelaskan bahwa Kedudukan peremupuan adalah kekuasaan
perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial); di dalam atau di
luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan
dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan
anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri.
bersumber dari beberapa bentuk, yakni;

Kekuasaan ini

harta, status sosial dan budaya.

kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu konteks sosio-budaya
dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa berdasarkan jenis kelamin
yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi pendidikan, pengalaman,

ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam masyarakat dalam
kategori perilaku dan segi ideology.
Dari konsep tersebut maka berdasarkan hasil penelitian (Baca Bab 3) maka
perempuan berada dalam dua kedudukan yang saling bertentangan, di satu sisi
perempuan sebagai anak hanyalah sebagai pribadi titipan, dan sebagai istri,
mendapat kedudukan sebagai kuda pekerja yang tidak pernah berhenti bekerja dan
selalu berada pada posisi yang subordinat di sisi lain, perempuan dianggap
sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, karena itu perempuan selalu
diagungkan, dimuliakan dan dilindungi. Kedudukan perempuan tersebut dalam
keluarga, bisa dilihat dalam perilaku masyarakat terhadap perempuan. Berikut
uraian kedudukan perempuan sebagai anak, istri, dan janda.

159

A. Perempuan Sebagai Anak dalam Keluarga

Menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dalam sebuah
masyarakat sangat lebih baik, jika analisanya dilakukan secara menyeluruh.
Artinya bahwa sejarah dari perempuan dalam sebuah keluarga harus dikupas
mulai dari kecil bahkan sejak dari kandungan sampai perempuan tersebut menjadi

janda bahkan setelah meninggal.
Dalam berbagai teori feminis, perilaku dan kedudukan anak dalam keluarga
tidak menjadi perhatian, yang dilakukan hanya menganalisi perlaku keluarga atau
sosial terhadap perempuan secara umum. Namun pada tahap analisa ini, penulis
akan memilah-milah bagaimana kedudukan perempuan dalam keluarga menurut
tahap tahap sejarah yang dijalani oleh perempuan itu sendiri seumur hidupnya.
Sebuah filosophi Nias mengungkapkan bahwa “ndro hȍrȍ gana’a ba ndro
dȍdȍ ndraono” artinya bahwa harta hanya kesenangan mata semata, sementara
anak adalah buah hati yang sangat dirindukan kehadirannya dalam sebuah
keluarga. Kehadiran seorang anak dalam sebah keluarga adalah suatu peristiwa
yang sangat dinanti-nantikan, karena itu, bila seorang anak tidak kunjung
dikaruniai dalam sebuah keluarga, keluarga kecil tersebut akan melakukan
berbagai ritus adat yang melelahkan dan menghabiskan uang. Tetapi buat orang
Nias, uang adalah sesuatu yang bisa dicari, diperjuangkan—materi yang bisa
dicari dengan hasil keringat, tetapi anak adalah pemberian sang Pengada. Karena
itu jika sebuah keluarga belum kunjung mendapat anak, berarti ada sesuatu yang
menjadi penghalang berkat Sang Pengada itu. Untuk itu perlu ada ritus.
Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga sangat mempengaruhi
wibawa atau harga diri sebuah keluarga besar, bila sebuah keluarga kecil sudah


160

terbentuk 3 bulan, namun belum ada tanda-tanda kehamilan bagi seorang istri,
maka hal itu menjadi sebuah gunjingan di masyarakat, bahwa istri si-A mandul,
kemandulan bagi seorang istri adalah sebuah aib karena pertanda bahwa
perempuan tersebut tidaklah sempurna. Tetapi bila seorang anak lahir, maka cinta
dan suasana sebuah keluarga semakin hangat, wibawa dan harga diri sebuah
keluarga di lingkungan sosial semakin meningkat.
Suasana sukacita yang hadir dalam sebuah keluarga sangat berbeda—
tergantug dari jenis kelamin; bila anak yang lahir seorang anak perempuan, maka
keluarga menyebutnya sebagai ana`a jatua (harta bagi keluarga), karena itu dalam
proses pertumbuhanya, anak ini akan dijaga dengan ketat agar tidak ada orang
yang mendatangkan aib dan atau menghilangkan “harta” tersebut.
Bagi masyarakat Nias, memiliki sepuluh anak perempuan dianggap tidak
sempurna bila belum memiliki anak laki-laki walaupun hanya satu orang, karena
itu suami/ayah bisa menikah kembali atau akan mengadopsi anak laki-laki sebagi
pewaris. Logikanya adalah hidup sangat tidak berarti bila memilki harta yang
banyak (anak perempuan identik dengan harta), tetapi tidak memiliki pewaris
dan pelindung (anak laki-laki). Karena itu seorang suami harus menikah kembali
atau setelah Kekristenan menjadi agama suku Nias, maka sebuah keluarga harus

mengadopsi seorang anak laki-laki sebagai pewaris bagi sebuah keluarga.
Bila seorang anak laki-laki terlahir dalam sebuah keluarga, maka
kebahagiaan, sukacita dan harga diri sebuah keluarga, terkhusus bagi seorang
suami dalam lingkungan sosial, karena seorang pewaris telah lahir baginya. Hal
ini disebut dengan fangali mbȍrȍ jisi, fangali mbu’u kawongo.

161

Penulis senang meminjam istilah Mahatma Gandhi, bahwa anak perempuan
semasa kecil sampai remaja, hanyalah sebagai pribadi titipan, atau dalam bahasa
gender dan feminis perempuan termarginalisasi, dan subordinat, artinya bahwa
adanya anggapan, sikap dan tindakan masyarakat dan atau keluarga yang
menempatkan perempuan sebagai pribadi pelengkap atau lebih rendah dari pada
laki-laki. Masyarakat Nias melalui tradisi menempatkan anak perempuan dalam
keluarga sebagai kelas subordinat.
Sebagai pribadi titipan pribadi ini tidak memiliki hak dalam sebuah
keluarga, kecuali hak mendapatkan kebutuhan dasar, namun memiliki segudang
kewajiban. Ada empat alasan hak-hak anak perempuan dalam masyarakat Nias
sangat

di

batasi

sehingga

terkesan

bahwa

perempuan

sebagai

anak

termarginalisasi dalam sebuah keluarga;
1. Karena anak perempuan adalah “harta”, maka ada kekhuatiran bahwa di
luar

rumah ada banyak ancaman bagi harta tersebut, sehingga harta

keluarga ini bisa hilang. Harta ini bisa hilang karena anak perempuan
diculik orang, atau dilecehkan atau diperkosa. Bila hal itu terjadi maka
proses adat pernikahan bagi anak perempuan tidak bisa dilakukan, dan bila
proses adat tidak dilakukan maka “bȍwȍ” untuk seorang perempuan hilang.
Seorang perempuan yang dilecehkan atau diperkosa tidak dianggap sebagai
anak gadis, karena itu keluarga besar akan memaksa pelaku kekerasan
(perkosaan atau pelecehan) untuk memperistri perempuan tersebut tanpa
“bȍwȍ”. yang dibayar hanya denda adat dan sangsi berupa kekerasan fisik.
2. Rentan-nya perempuan dari tindakan kekerasan; seksual, pelecehean,
kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh lingkungan. Hasil penelitian

162

yang pernah dilakukan PKPA menunujukan bahwa perempuan lebih rawan
mengalami berbagai bentuk kekerasan dari orang terdekat atau orang yang
tidak dikenal karena identitasnya sebagai perempuan

yang diidendikan

sebagi pribadi penggoda, lemah, dan tidak berdaya.
3. Seorang anak perempuan tidak didorong untuk sekolah karena perempuan
kelak domisilinya hanya di dapur, sumur dan kasur.
4. Dilihat dari sisi kemampuan intelektual, sebagaimana perempuan India
dalam perjuangan Spivak dalam teori feminis poskolonial, Orang Nias
beranggapan bahwa anak laki-laki di dorong mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya karena laki-laki lebih pintar dari pada perempuan, lebih
bijak dan berani. Namun dari sisi ilmu pengetahuan, anggapan tersebut bisa
dibuktikan salah, karena itu, Heymans mengatakan bahwa “kita tidak
memiliki hak sedikitpun untuk mengfonis bahwa laki-laki lebih pintar dari
perempuan” hal ini dasari dari pengalamanya mengajar bahwa ternyata
perempuan jauh lebih unggul dari pada laki-laki. Ir. Soekarna mengakui hal
ini,

dalam cerita pengalamanya menjadi guru di H.B.S. dan sekolah

mengengah

bahwa perempuan memiliki prestasi yang jauh cemerlang

dibanding dengan laki-laki.

Pengakuan yang sama disampaikan oleh

Freunlich seorang asisten Eisntein

mengaku bahwa pelajar-pelajar

perempuan bisa dipacu untuk memutar otak untuk berpikir dan
menyelesaikan sosal-soal yang sangat sulit1. Bila ada yang mengatakan
bahwa otak laki-laki lebih besar dari otak perempuan, maka ilmu
pengetahuan membuktikan bahwa bahwa otak perempuan lebih besar

1

Ir. Soekarno, Sarinah, 25-27

163

dibanding dengan laki-laki. Setiap perempuan memiliki otak sebesar 23,8
gr per kilogram tubuh manusia, sementara laki-laki hanya memiliki 21,6 gr
perkilogram tubuh manusia, tetapi ketajaman pikiran dan kepandaian tidak
didasari pada besar kecilnya otak2, tetapi lebih pada bawaan intelektual,
pelatihan atau pengasahan ketajaman berpikir.

Pada umunya prestasi

perempuan lebih unggul dari laki-laki karena perempuan lebih telaten dan
serius melakukan apapun di banding dengan laki-laki.
Sebagai pribadi titipan, setelah anak perempuan menginjak umur dewasa
akan dilamar dan dinikahi seorang pemuda, saat itu perempuan akan dipindahkan
dari keluarga “orangtua yang melahirkanya” masuk dalam keluarganya yang
“sebenarnya”.

Di dalam keluarga batihnya nanti perempuan memiliki hak

sebagai solaya ngai mbatȍ. Dalam pemindahan pribadi titipan ke dalam sebuah
keluarga batih, orangtua meminta sebuah pengorbanan materi dari keluarga lakilaki yang melamar—sebagian kaum perempuan yang memiliki kesadaran
separate knower (sebagaimana teori kesadaran epistimologis Belenky) menyebut

bahwa bȍwȍ yang diminta oleh keluarga pengantin perempuan merupakan
transaksional kapitalis—menjual anak perempuan, hal ini sepadan dengan
filosophi anak perempuan sebagai ana`a zatua.
Dalam posisinya sebagai “ana’a zatua”, rupanya tidak hanya terletak pada
“bȍwȍ” yang diterima oleh orang tua saat pernikahan anaknya, tetapi yang
menjadikan perempuan sebagai “ana’a zatua” adalah peranya dalam mendorong
dan menyokong perekonomian keluarga melalui tenaganya. Seorang anak

2

Soekarno, 26-28

164

perempuan tidak didorong untuk sekolah, supaya mengapdikan diri dan tenaganya
untuk membangun perekonomian keluarga.
Kalau Engels menyebut bahwa perempuan-perempuan menjadi kepala
pembantu atau bahkan budak dalam keluarga, namun bila dilihat dalam konteks
Engels bahwa yang dimaksud dengan kepala pembantu atau budak dalam
keluarga adalah para perempuan-perempuan dewasa atau para istri yang memiliki
segudang pekerjaan namun tidak mendapat bayaran. Dalam konteks budaya Nias,
anak perempuan bukanlah kepala pembantu melainkan budak-budak kecil.
Perempuan-perempuan kecil dalam sebuah keluarga yang diwajibkan bekerja di
sawah, mengurus ternak (mengambil makanan babi dan memberi makan babibabi), berkebun. Bersama dengan ibu dan ayahnya bekerja membangun ekonomi
keluarga—bila perekonomian semakin mapan, maka ayahnya akan melakukan
owasa (pesta adat) dan strata sosial keluarga tersebut akan meningkat. Namun di

saat perempuan menikah, orang tua bersama keluarga besar mengambil Bȍwȍ
(mahar) sesuai dengan strata sosial ayahnya; semua harta dan jabatan (strata
sosial) orang tua yang telah dibangun bersama tidak diwariskan kepada anak
perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan akan mendapatkan segalanya
di rumah keluargangya yang “sebenarnya.”

B. Perempuan Sebagai Istri

1. Istri sebagai Pribadi yang kedua dalam Kelurga

Tradisi Nias telah membangun suatu streotipe tentang laki-laki dan
perempuan serta membangun suatu oposisi binner bahwa laki-laki adalah jenis
kelamin yang utama dalam keluarga, sementara perempuan sebagai kelas
subordinat—baik sebagai anak maupun sebagai orang tua dalam sebuah

165

keluarga—hal ini terjadi atas konstruksi sosial melalui tradisi yang telah
ditetapkan melalui fondrakȍ. Baik sebagai anak atau sebagai orang tua, lakilaki adalah pribadi yang diutamakah, sementara perempuan sebagai kelas dua
atau pelengkap hidup laki-laki—namanya pelengkap bisa ada bisa tidak dalam
kehidupan keluarga.

Kedudukan perempuan sebagai subordinat dalam

keluarga dalam berbagai bentuk

sebagaimana tradisi memposisikan

perempuan Nias pada kedudukan tersebut;

* Perempuan Dalam Pertemuan Penentuan Adat.

Dalam Nias tradisional, fondrakȍ atau famatȍ Harimao tempat pertama
sekali posisi perempuan dalam keluarga,

lingkungan sosial, ditentukan.

Spivak mengkritik keterlibatan Inggris sebagai Negara Kolonial yang
membuat undang-undang pelarangan praktek sati di India tanpa melibatkan
perempuan pribumi, sehingga melahirkan sati-sati yang baru dan lebih
menyiksa perempuan India.

Karena itu menurut Spivak, dalam proses

konstruksi atau bahkan rekonstruuksi sebuah kebenaran harus melibatkan
perempuan untuk menentukan nasibnya.
Hal yang sama terjadi di Nias, dalam merancang dan memutuskan
aturan adat adalah laki-laki. Para laki-laki terlibat aktif merencanakan dan
memutuskan segala peraturan demi terciptanya keteraturan dalam sebuah
proses Fondrakȍ atau famatȍ harimao tanpa melibatkan perempuan. Segala
hasil Fondrakȍ tidak boleh dilanggar. Dalam proses ini perempuan dianggap
subordinat—pelengkap laki-laki di rumah, perempuan tidak diijinkan

166

bersama suaminya dalam sebuah pertemuan adat terlebih pada sebuah
“sidang” fondrakȍ.

* Perempuan dalam Penerimaan Lamaran

Proses pembentukan keluarga di dahului dengan pelamaran, ironisnya
keluarga yang akan dibentuk dan dijalani oleh sepasang laki-laki dan
perempuan dikendalikan dan dirancang oleh para orang tua. Perempuan yang
dilamar tidak berhak menerima atau menolak sebuah lamaran dari sebuah
keluarga, bahkan setelah lamaran diterima, seorang perempuan dilarang untuk
membangun komunikasi dengan calon suaminya—hal itu dianggap tabu.
Tradisi menggariskan bahwa perempuan sebagai pribadi yang harus
menurut, orang tua lebih mengetahui yang terbaik bagi anaknya, walaupun
kemudian hari, yang menjalani keluarga baru tersebut adalah anak
perempuan. Anak perempuan dilarang membantah, sehingga pada umumnya
perempuan yang akan menikah depresi, jarang makan dan di hari
pernikahanya yang seharusnya adalah hari kebahagiaan menjadi hari yang
terkutuk bagi perempuan—tidak sedikit pengantin perempuan di hari
pernikahannya jatuh pingsan dan di saat pengantin perempuan diangkat
disebuah kursi kebesaran dimana dia dianggap sebagai ratu menangis
histeris—adanya ketakutan untuk menuju sebuah keluarga baru, keluarga
besar yang belum diketahui karakternya, laki-laki asing yang akan satu
tempat tidur denganya.

167

* Perempuan Dalam Penentuan Bȍwȍ
Dalam penentuan besar kecilnya bȍwȍ sebuah pernikahan ditentukan
keluarga besar yang disebut iwa atau talifusȍ, bersama ayah dan kepala adat.
Besar kecil suatu bȍwȍ pernikahan sangat dipengaruhi oleh strata sosial
kepala keluarga (ayah) sebagaimana telah ditentukan dalam fondrakȍ. Dalam
penentuan besaran bȍwȍ ini,

perempuan sebagai ibu atau sebagai calon

pengantin tidak dilibatkan.
Seorang ibu tidak memiliki hak untuk bernegosiasi dengan bȍwȍ
anaknya karena mungkin adanya sebuah belas kasihan, atau sebagai calon
pengantin tidak berhak mengetahui atau bernegosiasi (supaya bisa dikurangi)
besaran bȍwȍ yang diminta oleh ayahnya karena hal itu dianggap tabu dalam
tradisi Nias.
* Peranan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga

Perempuan baik sebagai istri atau janda atau anak dalam keluarga
dianggap sebagai pribadi pelengkap laki-laki. Sebagai istri harus menghargai,
mendengar, melakukan segala bentuk keputusan suami—tanpa suatu
bantahan. Sebagai janda, perempuan dilarang mengambil keputusan dalam
sebuah pertemuan keluarga besar dengan alasan;
1. Tebai tobali saita jimbi jigelo (rahang babi betina tidak bisa menjadi
gantungan barang), artinya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dan
pengambil keputusan, karena perempuan dalam pengambilan keputusan
tidak didasari pada logika dan pertimbangan yang matang, melainkan
selalu di dasari pada emosional

168

2. Ira alawe ha ni’ȍli tȍla hȍgȍ (perempuan hanyalah pribali yang dibeli),
artinya bahwa seorang perempuan dalam sebuah keluarga dianggap
memiliki nilai yang sama dengan harta—saat pernikahan bȍwȍ dianggap
sebagai transaksi ekonomi untuk membayar harga perempuan, sehingga
setelah menikah, perempuan menjadi milik pribadi suami sebagaimana
bahasa Engel. Sebagai milik pribadi, pribadi ini hanyalah benda karena itu
tidak berhak membuat sebuah keputusan.
Perempuan yang telah menikah (berstatus istri dan ibu) masih tetap
berstatus sebagai anak di rumah ayah kandungnya dan saudari dari saudarasaudaranya.

Statusnya sebagai anak di sebuat sebagai ono alawe.

Kedudukan ono alawe di rumah ayahnya tidak lebih dari seorang tamu bila
berkunjung, namun bila ada acara yang diadakan keluarga besar ayahnya
yang disebut sitenga bȍ`ȍ dan uwu, maka ono alawe diwajibkan mendukung
dari segi dana berupa bȍwȍ, dan dukungan tenaga, karena perempuan
hanyalah pekerja. Di sisi lain Ono alawe (perempuan beserta suaminya) tidak
memiliki hak bersuara dalam setiap pertemuan keluarga, karena dia hanyalah
perempuan (ono alawe)—domisili ono alawe hanyalah di dapur, bukan
diruang para lelaki. Domisili kekuasaan ono alawe adalah di keluarga besar
suaminya, di mana di sana tidak berstatus sebagai ono alawe, tetapi sebagai
pemilik dan penguasa dalam sebuah keluarganya.
Sebagai ono alawe tidak pernah diperhitungkan dalam sebuah garis
keturunan, melainkan sebagai pribadi yang menyatu dengan garis keturunan
suaminya, bukan garis keturunan ayah kandungnya, karena itu, bila seorang

169

perempuan tidak pernah berkeluarga, maka lambat laun namanya akan hilang
dalam sejarah keluarga.
Walaupun dalam bahasa adat bahwa seorang perempuan tidak memiliki
hak dalam rumah orang tuanya, karena segala sesuatunya di dapatkan di rumah
suaminya, dimana perempuan tersebut menjadi solaya ngai mbatȍ, termasuk
kekuasaan dalam keluarga, tetapi kenyataannya bahwa tidaklah demikian. Adat
masyarakat Nias telah menentukan bahwa seorang perempuan yang menjadi istri
harus patuh, terhadap kepala keluarga yakni suaminya, dan kepada mertuanya.
Beberapa nama perempuan yang menunjukan perempuan sebagai pribadi
subordinat dalam keluarga setelah menjadi istri dan atau sesampainya dirumah
suaminya;
2. Istri sebagai pribadi subordinat pada namanya sebagai bȍli gana’a
Setelah pernikahan dan sesampainya dirumah suami, maka mertua
menyebut perempuan yang telah menjadi istri anaknya adalah bȍli gana`a (pribadi
belian) karena keluarga besar suami telah memberi bȍwȍ (mahar), selanjutnya
tubuh istri menjadi milik pribadi suami, tetapi tenaganya (pekerjaanya) milik
keluarga (mertua dan ipar) dan suami.
Sebagai bȍli gana’a , istri dianggap sebagai pribadi kedua—pelengkap
suami, menjadi pembantu bahkan budak dalam keluarga suaminya. Seorang istri
akan dipaksa untuk bekerja keras untuk membayar utang yang telah dipinjam
untuk membayar bȍwȍ, selanjutnya kalau utang telah lunas maka yang dipikirkan
adalah peningkatan strata sosial sebuah keluarga melalui owasa (pesta adat).
Kalau Feminis sosiali dan Marxis menggunakan teori Marx dan Engel yang
melihat bahwa kepemilikan materi berpengaruh besar dalam perolehan kekuasaan

170

seseorang atas orang lain (terutama suami terhadap perempuan istri), laki-laki
atau suami melakukan pekerjaan di luar rumah di luar rumah untuk mencari
nafkah berupa materi, sementara perempuan sebagai istri melakukan pekerjaan
domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan uang (materi), karena itu
istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Namun konteks dan budaya Nias
laki-laki memiliki kekuasaan terhadap istri bukan karena laki-laki bekerja diluar
rumah untuk mencari nafkah dan menghasilkan materi. Istri bersama dengan
suami bekerja bersama di luar rumah, beternak untuk mendapatkan materi (uang)
dan istri justru memiliki kekuasaan mengelola keuangan keluarga, karena
posisinya sebagai solaya ngai mbatȍ (bendahara keluarga), tetapi segala sesuatu
materi yang diperoleh, selain untuk kebutuhan setiap hari, tetapi juga untuk tujuan
peningkatan strata sosial melalui upacara adat—bila strata sosial dilakukan maka
“nama” seorang suami akan tersiar diberbagai belahan desa, dan akan selalu
dihargai. Bagi masyarakat Nias, nama, integritas, wibawa, kemuliaan adalah hal
yang utama, karena itu, hal inilah yang menjadi tujuan hidup.
Bentuk pengeluaran lain dari keluarga adalah pembayaran bȍwȍ dolo-tolo
(dukungan secara bȍwȍ baik kepada keluarga istri atau keluarga suami), yang
semuanya itu adalah demi kemuliaan dan kebanggaan suami/laki-laki sekaligus
membangun integritas dalam keluarga mertua. Artinya bahwa kekuasaan dalam
keluarga bukan siapa yang mengasilkan banyak, atau siapa yang memiliki akses
ekonomi sebagaimana teori Marx dan Engels, tetapi siapa yang mengeluarkan
atau memanfaatkan materi itulah yang berkuasa.

Perempuan hanya sebagai

pekerja bukan pengguna materi dalam kelurga.

171

Sebagai pribadi kedua dalam sebuah keluarga, istri dianggap sebagai harta
milik pribadi suami. Sebagai harta milik yang memiliki hak khusus sebagai
solaya ngai mbatȍ memiliki kelelaluasaan mengelola ekonomi keluarga dengn
baik; sebagai pegelola, perempuan tidak hanya duduk diam di rumah, menunggu
apa yang di hasilkan oleh suami, tetapi bersama dengan suami bekerja keras
meningkatkan perekonomian keluarga atau jumlah harta keluarga yang semuanya
itu digunakan selain untuk kebutuhan setiap hari tetapi juga untuk menaikan strata
suami dalam adat.
Jadi apa yang menjadi tesis feminisme sosialis dan Marxis bahwa
perempuan dalam keluarga terekploitasi karena budaya patriakhi dan kapitalis,
tidak seutuhnya cocok untuk perempuan Nias.

Kalau perempuan Nias

tereksploitasi karena budaya patraikhi, ada benarnya, tetapi bukan karena budaya
kapitalis (yang memiliki akses ekonomi itulah yang berkuasa), melainkan siapa
yang mengeluarkan uang lebih untuk “nama dan wibawa” keluarga itulah yang
berkuasa. Di sinilah letaknya perempuan sebagai pribadi yang disubordinat.

3. Istri sebagai pr ibadi subordinat pada namanya sebagai bene`ȍ

Selain sebagai bȍli gana’a ȍ, sesampainya pengantin perempuan di rumah
suaminya, maka keluarga besar dan masyarakat menyebutnya sebagai bene’ȍ.
Bene`ȍ berasal dari kata bene artinya bunga, bila ditambahkan kata kerja mobene (berbunga). Jadi kata bene’ȍ bisa diartikan dengan berbunga. Kata bene’ȍ

biasanya disandangkan atau digunakan pada kontek tumbuhan yang berbunga
atau berbuah. Perempuan sebagai istri diberi nama sebagai bene’ȍ, karena dalam
sebuah keluarga perempuan diidentikan sebagai tumbuhan yang menghasilkan

172

bunga atau buah dan daun sebagai penyejuk dan membawa rasa aman bagi
angoota keluarga (pada tahap inilah perempuan melakukan peran ekspresif
sebagaimana teori fungsional structural)
Bagi masyarakat Nias, daun yang rimbun tidak bermafaat bila sebatang
pohon tidak menghasilkan buah. Buah dari seorang perepuan adalah anak-anak
laki-laki yang dilahirkan sebagai pewaris bagi suami yang disebut sebagai
fangali mbȍrȍ jisi ba fangali mbu’u kawongo dan anak-anak perempuan sebagai
ana’a zatua dan famakhai jitenga bȍ’ȍ. Perempuan dianggap sebagai pribadi
yang sempurna bila melahirkan anak laki-laki dan perempuan. Namun bila
hanya melahirkan anak perempuan atau tidak memiliki anak sama sekali, maka
hal itu dianggap sebagai aib dalam sebuah keluarga tersebut, karena itu keluarga
harus mencari solusi, suami menikah kembali dan atau mengadopsi anak sebagai
pewaris.
Istri sebagai bene`ȍ dianggap hanya sebagai “ mesin pencetak anak”,
seakan-akan perempuanlah yang mengatur jenis kelamin anaknya yang akan
lahir, atau seakan-akan hormone seorang perempuan yang bermasalah.
Masyarakat Nias dengan budaya patriakhinya tidak pernah mengenal kesalahan
berada pada pihak laki-laki.

Laki-laki selalu sempurna. Tanpa melahirkan,

perempuan bukanlah sebagai “manusia” sempuarna, karena itu tidak disebut
sebagai seorang ibu, dan kurang layak dihargai sebagai seorang istri.
Dalam hal ini kedudukan perempuan sebagai istri terancam dalam
kekuasaan suami yang digariskan dalam sebuah tradisi yang berbudaya
patriakhi. Bila keluarga memiliki ekonomi yang cukup mapan (harta yang
dimiliki oleh sebuah keluarga adalah hasil kerja suami bersama dengan istri dan

173

warisan) maka ancamanya adalah suami akan menikah kembali; istri akan
dimadu atau diceraikan dengan menggunakan harta yang mereka kumpulkan.
Dalam posisi ini perempuan sebagai istri tidak hanya berada pada posisi yang
disubordinat, tetapi juga dimarjinalkan, bahkan menurut bahasa pokolonial
Feminis, perempuan sebagai istri ditindas atau dijajah bukan oleh Negara, tetapi
oleh budaya yang memberi keleluasaan bagi suami dalam keluarga untuk
melakukan penjajahan kepada istrinya.

C. Istri Sebagai Kuda Beban Yang Tidak Berhenti Bekerja

Van Kol seorang pemimpin belanda yang sngat senang dengan budaya
jepang menyebut perempuan Jepang sebagai satu “Werkdier” artinya satu kuda
beban yang tidak bisa berhenti bekerja”.

Werkdier disandangkan bagi

perempuan jepang mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang sangat besar
dalam sebuah keuarga, sementara hak-haknya tidak sama dengan lakilaki/suaminya3.
Istilah yang sama “Kuda Beban yang tidak berhenti bekerja” atau dalam
bahasa Feminis “beban ganda” bisa disandangkan kepada perempuan sebagai
istri di masyarakat Nias. Perempuan sebagai istri memiliki kedudukan penting
dalam sebuah keluarga yaitu sebagai solaya ngai mbatȍ. Namun kedudukanya
sebagai solaya ngai mbatȍ secara penuh akan dilakukan saat pisah rumah
dengan rumah induk (rumah orangtua suami) atau saat orang tua melakukan
fa`asambua terhadap anaknya yang telah berkeluarga. Fa`asambua ini artinya

pemisahan semua; pemisahan pendapatan, dapur (semua biaya hidup) sebuah

3

Soekarno, 132

174

keluarga batih terhadap keluarga batih orang tuanya—menjadi keluarga batih
yang mandiri.
Jika masih bergabung dalam keluarga batih orang tua, maka yang menjadi
solaya ngai mbatȍ adalah perempuan sebagai ibu mertua (ibu dari suami). Selain
sebagai solaya ngai mbatȍ, ibu juga sebagai subjek kekuasaan dalam keluarga
batih anaknya, sementara istri (menantu) sebagai objek dan sebagai pekerja yang
hanya memiliki hak untuk makan, tetapi memiliki sebagai segudang pekerjaan.
Untuk memahami dengan sederhana, penulis akan menguraikan pekerjaan ganda
yang dilakukan oleh perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ kemudian
perempuan sebagai istri yang belum berkedudukan sebagai solaya ngai mbatȍ

1. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Solaya Ngai Mbatȍ

Sebagai solaya ngai mbatȍ, perempuan dalam sebuah rumah tangga
bertugas sebagai kepala pembantu. Bersama dengan suami dan anak-anaknya
mengerjakan pekerjaan di luar rumah seperti berladang, bersawah, walaupun
sesampainya di ladang atau di sawah lelaki/suami hanya mengerjakan
pekerjaan yang dianggap tidak bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya
memanjat, menebang pohon. Jika pekerjaan yang dianggap berat selesai
dikerjakan, selanjutnya laki-laki akan istrahat disebuah pondok yang telah
dibangun diladang/di sawah atau pergi berburu.

Sesampainya di rumah

bersama dengan anak-anak perempuan, solaya ngai mbatȍ mengurus ternak
dan memasak. Selesai makan malam, solaya ngai mbatȍ tidak langsung tidur,
tetapi bekerja lagi menganyam tikar, bola nafo, karung dll. Subuhnya bangun

175

bersama dengan anak-anak mengurus ternak, memasak dan mempersiapkan
bekal di ladang atau di sawah.
Sebagai ibu, perempuan bertanggung jawab untuk melatih anak-anaknya
bekerja serta mensosialisasikn nilai-nilai (karakter) yang harus dimiliki oleh
seorang perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ yang baik, perempuan sebagai
agen perdamaian, dan ibu yang memiliki nama Barasi dalam keluarga dan
dalam lingkungan sosial bagi anak-anak perempuanya. Jika seorang solaya
ngai mbatȍ gagal mensosialisasikan nilai-nilai tersebut terhadap anak
perempuanya, maka kelak di saat anak gadisnya diperistri orang dan ternyata
tidak mampu menjadi Barasi, agen perdamaian, dan solaya ngai mbatȍ maka
anaknya akan menjadi objek kekerasan dan namanya selalu dibawa-bawa
dengan ungkapan “lȍ nifotu ninau ndraugȍ mege (ibumu tidak pernah
mengajari kamu dulu semasa gadis), ungkapan ini memiliki makna bahwa jika
seorang perempuan memiliki karakter yang baik, terampil, kreatif, maka sudah
pasti anaknya akan mengikuti jejak ibunya. Karena dari ibulah pendidikan
seumur hidup dijalani oleh seorang anak.
Sebagai perempuan (solaya ngai mbatȍ) memiliki segudang tanggung
jawab, tanggung jawab moral dalam mensosialisasikan kepribadian seorang
perempuan Barasi, tanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, dan
tanggung jawab pengembangan perekonomian keluarga—perekonomian
keluarga semakin mapan maka strata sosial suami akan semakin naik, nama
suami semakin dikenal dan dihargai. Istri tidak bekerja untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk menjaga atau menaikan martabat, nama suami.

176

Perempuan Nias menjadikan keluarga, suami sebagai prioritas hidup,
kesetiaan adalah nomor satu. Hal inilah yang menjadi khas perempuan dunia
ketiga dan menjadi bagian perjuangan femisnis poskolonial, namun selalu
ditolak oleh kaum feminis liberal dan atau kaum feminis sosialis dan marxisme
karena menurut mereka, perempuan di dalam keluarga mengalami penjajahan,
menjadi kepala pembantu rumah tangga.

2. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Menantu

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa seorang perempuan yang nikah
akan disebut sebagai bȍli gana`a dalam keluarga suaminya.

Sebagai

beligana’a perempuan layaknya disebut sebagai pekerja atau bahkna budak
sebagaimana dalam bahasa Zeretsky yang mengatakan bahwa perempuan
hanyalah sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam
institusi keluarga, karena kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai
kepala keluarga.
Sebagai bȍli gana’a perempuan di tuntut untuk bekerja keras melebihi
perempuan solaya ngai mbatȍ untuk membayar berbagai utang dari bȍwȍ
pernikahanya. Dari pagi sampai sore bekerja bersama solaya ngai mbatȍ di
ladang dan di sawah, sesampai di rumah memasak dan mengurus ternak yang
banyak,

malamnya bekerja menumbuk padi untuk kebutuhan setiap hari.

Biasanya di saat seorang solaya ngai mbatȍ telah memiliki menantu, maka
segala urusan dapur (memasak) dan urusan ternak menjadi tanggung jawab
menantu besarta para perempuan yang belum menikah (saudari suaminya).

177

Bila solawa ngai mbatȍ berhalangan, maka bȍli gana`a bersama dengan
suaminya bekerja dengan mandiri.
Setelah memiliki anak, maka tanggung jawab semakin bertambah, harus
mampu menyisihkan waktu mengurus

anak (menyusui, memberi makan,

memandikan dan mengkloning untuk tidur), hal ini dilakukan siang dan malam,
saat sehat atau tidak sehat, ditambah lagi pelayanan terhadap suami. Pada tahap
ini posisi perempuan sebagai subaltern sebagaimana bahasa Spivak.
Perempuan Nias tidak bisa melepaskan diri dari situasi ini karena menurut
tradisi bahwa memang seperti inilah kodratnya perempuan.

3. Pekerjaan Ganda Perempuan Pada Namanya Sebagai Ni’owalu

Salah satu panggilan bagi perempuan dalam sbuah keluarga adalah
ni’owalu, dari kata ni’ofalu, dari kata dasar falu, artinya carmin, gambaran.
Perempuan sebagai seorang istri harus cermin bagi suami dalam hal
perencanaan masa depan keluarga dan pengambilan keputusan dalam
masyarakat dan keluarga. Sebagai seorang suami tidak akan pernah
memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepada istrinya yang
adalah cermin bagi dirinya. Hal inilah yang menjadi filosophi kedudukan
perempuan sebagai Barasi dalam sebuah keluarga.
Filosophi
berkeluarga.

ini

mengalami

pergeseran

makna

dalam

kehidupan

Bagi masyarakat Nias, perempuan sebagai ni’owalu adalah

pribadi yang telah diperistri dan menjadi milik pribadi laki-laki yang memiliki
tugas memenuhi kebutuhan suami dalam berbagai bidang, terutama kebutuhan
seksual. Kepuasan dan kebahagiaan suami adalah prioritas utama, karena itu,

178

walaupun istri sakit, sibuk mengurus anak, pekerjaan di dalam dan di luar
rumah menumpuk, tetapi tugas utama yakni tempat tidur harus diprioritaskan,
karena perempuan adalah ni’owalu.

Kekerasan Terhadap Perempuan
1. Kekerasan Terhadap Beligana’a Atau Ni’owalu

Menurut Spivak, perempuan India adalah sebagai subaltern, karena
pengalaman hidupnya yang tertindas, yang dimarginalkan, mengalami
beban ganda serta adanya tuntutan sati. Pengalaman perempuan Nias
sebagai dunia ketiga mengalami pengalaman yang sama—sebagai subaltern
walaupun belum sampai praktek sati—Nias tidak melakukan budaya yang
demikian.
Beligana`a atau ni’owalu sebagai subaltern mengalami pengalaman

berbagai bentuk kekerasan dala keluarga; kekerasan seksual, kekerasan
psikis, kekerasan fisik. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga sangat
memiliki hubungan erat dengan hierarki kekuasaan dalam keluarga—pelaku
kekerasan adalah subjek dan yang menjadi korban kekerasan adalah objek.
Beligana`a atau ni’owalu mengalami kekerasan dari dua arah (dari

ibu mertua/solaya ngai mbatȍ dan suami). Kekerasan yang dilakukan oleh
solaya ngai mbatȍ pada umumnya hanya dalam bentuk psikis, walaupun
sebagian kecil melakukan kekerasan fisik, namun bila solaya ngai mbatȍ
tidak mampu menahan diri, maka amarahnya akan diarahkan kepada
anaknya (suami dari perempuan), atau mengadukan bahkan mempropaganda
perilaku beligana`a terhadap anaknya dan kemudian anaknya akan

179

menindaklanjuti amarah atau propaganda tersebut dengan kekerasan fisik
terhadap istrinya.
Seorang anak lebih patuh dan percaya kepada ibunya daripada
istrinya, hal ini di dasari pada sebuah ungkapan “tola musȍndra ma mu’alui
ndronga, hiza na talifusȍ ba satua tebai mu’alui” (istri bisa didapat, tetapi
saudara dan orang tua tidak) artinya seorang suami/anak harus mematuhi
dan percaya dan patuh terhadap perintah ibunya, karena seorang ibu tidak
akan bisa digantikan, sementara seorang istri yang adalah beligana’a dan
ni’owalu menjadi milik suami bisa diganti dengan perempuan yang lain.
Suami/anak bisa dinikahkan kembali dengan perempuan lain asalkan ada
uang.
Bila dipahami secara psikologis, beberapa alasan yang perlu di dalami
berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan solaya ngai mbatȍ terhadap
beligana`a atau ni’owalu;
a. Ada sebuah kecemburuan solaya ngai mbatȍ

terhadap ni’owalu.

Kecemburuan yang dimaksud tidak terarah pada sesksual, melainkan
pada “cinta”. Sejak kecil, sampai sebelum menikah curahan kasih
seorang anak laki-laki adalah kepada ibunya, terkadang berbagi dengan
ibunya; menikmati masakan ibunya; bila pergi kemana-mana, pakaian
anak laki-laki selalu dikontrol (yang kotor ditempatkan di tempat kain
kotor untuk dicuci oleh anak-anak perempuan, yang bersih dilipat);
anak laki-laki yang mengantar

atau menemani ibunya kekebun,

belanja, bergereja bila ayahnya berhalangan. Ikatan batin anak dengan
ibu sangat kuat. Namun setelah anak laki-laki menikah, hubungan

180

tersebut murai berkurang, tempat bercerita bercerita anak beralih dari
ibu ke ni’owalu, yang mengontrol segala kebutuhan anak; pakaian,
makanan adalah ni’owalu, yang ditemani kemana-mana adalah
niowalu
b. Sebelum menikah, segala pendapatan dan keuangan anak laki-laki

dikelola oleh ibu (solaya ngai mbatȍ), tetapi setelah menikah fungsi
ibu diambil alih oleh ni’owalu sebagai istri dari anak laki-laki.
Rasa kecemburuan ini muncul dari ketidaksiapan seorang ibu
melepaskan perhatian dan cinta kasih anaknya serta fungsinya untuk
mengelola keuangan dan pendapatan anaknya. Ketidaksiapan ini
melahirkan sebuah konflik yang berujung pada kekerasan terhadap
ni’owalu.

2.

Kekerasan Terhadap Solaya ngai Mbatȍ
Baik sebagai ni’owalu atau solaya ngai mbatȍ, perempuan Nias tidak

bisa menghindar dari kekerasasan suami sebagai subjek kekuasaan.
Walaupun memiliki kedudukan strategis dalam sebuah keluarga yakni sebagai
solaya ngai mbatȍ, tetapi sebagai milik pribadi suami, istri pada suatu watku
bisa diperlakukan tidak manusiawi oleh suaminya karena ketidak dewasaan
berpikir sehingga mempengaruhi komunikasi dalam sebuah keluarga yang
kurang harmonis (Baca: kekerasan dalam keluarga).
Laki-laki adalah tuhan dalam keluarga—sebagai tuhan tidak pernah
salah, karena itu setiap kasalahan selalu diarahkan kepada istri sebagai miliki
pribadi suami. Karena itu, setiap kesalahan selalu mendapat ganjaran—yang

181

mendapat hukuman adalah perempuan, karena perempuan adalah istri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam keluarga;
1. Pernikahan dini. Dua tahun setelah seorang anak laki-laki di boto (sunat)
akan dinikahkan. Seorang anak laki-laki disunat pada umur empat belas
atau lima belas tahun. Jika anak tidak dinikahkan pada umur 17 tahun,
maka hal itu dianggap sebagai aib.

Seorang anak perempuan bisa

dinikahkan setelah mendapat menstruasi pertama.

Seorang anak

perempuan anak perempuan yang belum nikah pada umur 18 tahun
dianggap sudah tua, dan kemungkinan tidak ada orang yang akan
melamarnya lagi. Umur pernikahan normal Nias masa dulu, laki-laki 1518 tahun, sedangkan perempuan berumur 13-16 tahun. Hal ini mash
terjadi di desa-desa dan daerah terpencil.
Anak-anak yang masih remaja (berumur 15-18 tahun untuk lakilaki dan 13-16 tahun untuk perempuan) sebenarnya masih tahap
perkembangan dan penyesuaian diri untuk memasuki masa pemuda
dewasa. Umur ini masih tahap transisi dan mencari jati diri, sehingga di
saat dipaksa untuk menikah, mereka belum memahami bagaimana
mengespresikan cinta terhadap pasanganya, belum mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru, dan belum mampu membangun komunikasi
dengan baik dengan orang lain, singkatnya umur remaja belum memasuki
kemapaman berpikir dalam berumah tangga, akibatnya ungkapan bentuk
cinta lebih didominasi oleh perasaan dan emosional. Saat perasaan dan
emosional mengendalikan tindakan seseorang maka konflikpun tidak bisa
dihindari, dan yang menjadi korban konflik adalah perempuan.

182

2. Bȍwȍ yang tinggi. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
dalam pembentukan sebuah keluarga baru membutuhkan pengorbanan
yang sangat besar.

Hal ini sesuatu yang lumrah dalam budaya Nias.

Karena itu, bila anak laki-laki akan dinikahkan, maka walaupun
orangtuanya tidak memiliki harta, pernikahan tetap akan terjadi, karena
keluarga tersebut akan meminjam uang dan atau babi dari kerabat dengan
model berbunga dan atau tanpa berbunga
Setelah pernikahan seorang perempuan akan disebut beligana’a.
sebagai beli ganaa’a harus bekerja keras untuk membayar utang-utang
dari bȍwȍ yang dibayarkan kepada orang tua perempuan. Sulitnya
perekonomian membuat utang tidak kunjung terbayar selama bertahuntahun, bahkan di atas sepuluh tahun, akibatnya bila perjanjian peminjaman
dengan menggunakan bunga, maka utang akan semakin bertambah
banyak. Seseorang yang teleh membentuk keluarga lebih lima tahun,
namun masih terlilit utang pernikahan tidak akan mendapat strata sosial
yang lebih tinggi serta selalu mendapat penghinaan dari lingkungan
sekitar, terlebih dari kerabat yang memiliki piutang. Untuk itu ada suatu
tekanan berat dari keluarga agar keluarga batih yang baru tersebut bekerja
keras, dengan sebuah motto “la`a jitebai I’a asu, laduhȍ hȍrȍra wangi’ila
sisȍkhi” artinya

bekerja keras, makan apa adanya dan selalu

mengendalikan diri untuk hal-hal yang tidak penting demi pembayaran
utang.
Sebagaimana dibahas diatas bahwa hal utama dalam kehidupan
masyarakat Nias adalah “nama, wibawa”. Hal ini akan terinjak-injak disaat

183

masih berlarut dalam lilitan utang. Ketidakmampuan seorang suami dan
ibu mertua dalam mengelola sebuah masalah—tekanan utang akan
dilampiaskan menjadi bentuk kekerasan psikis dan fisik terhadap istri/bȍli
gana’a.
3. Pendidikan. Faktor yang sangat utama terjadinya kekerasan dalam
keluarga adalah pendidikan yang rendah atau tidak berpendidikan sama
sekali. Pada umumnya semakin rendahnya pendidikan sesorang, semakin
rendah juga kemampuan untuk memilah-milah, mengelolah sebuah
persoalan (dalam sebuah keluarga). Rendahnya kemampuan mengelolah
sebuah masalah dalam keluarga akan mendorong tingkat kekerasan
semakin tinggi.
Dengan tidak bersekolah tentu mengkondisikan anaknya untuk
dinikahkan pada usia yang dini. Sehingga orientasi dalam pembentukan
sebuah keluarga baru bukan kebahagiaan yang didasari oleh cinta yang
dibangun atas kesadaran diri, tetapi kebahagiaan yang didasari oleh
perasaan dan emosional.
Yang menjadi inti dari beberapa faktor pemicu kekerasan tersebut adalah
ketidaksiapan ketidak mampuan individu menerima setiap perbedaan “karakter”
dari masing-masing pasangan, yang dilatarbelakangi oleh kemampuan memahami
dan memilah-milah masalah. Serta adanya pergeseran makna bȍwȍ dan nama
perempuan sebagai bȍli gana’a, ni’owalu. Disinilah peran pendidikan dan
kedewasaan berpikir hadir.

184

Janda Sebagai Yang Kedua Tanpa Yang Pertama
Perempuan sebagai janda memilki fungsi ganda dalam sebuah keluarga
yakni fungsi ayah bagi anak-anak; sebagai kepala keluarga dan fungsi ibu
sebagai solaya ngai mbatȍ.

Sebagai janda tidak akan pernah mengalami

berbagai bentuk kekerasan—terlebih jika ibu mertua telah meninggal, selain itu
janda akan leluasa mengelolah, menggunakan, perekonomian keluarga tanpa
kendali suami. Itulah sebabnya sebagian besar janda tidak pernah mau menikah
lagi sepeninggal suaminya.

Namun perempuan sebagai janda akan akan

kehilangan hak mengelola warisan mendiang suaminya jika tidak memilki anak
laki-laki atau tidak memiliki anak sama sekali. Bagi yang memiliki anak lakilaki, maka seorang janda memiliki hak sebagai pengelola warisan demi anakanaknya sampai akhir hayatnya.
Sebagai seorang janda tidak terlepas dari identitasnya sebagai bȍli gana’a
dan ono alawe di keluarganya. Artinya bahwa sebagaia sorang beligana’a,
janda adalah seorang belian dan harta milik mendiang suaminya. Sebagai “hak
milik” kedudukanya tidak lebih dari “harta”, di mana sebagai harta tidak
memilki hak untuk berbicara dan mengambil keputusan dalam sebuah petemuan
keluarga besar.

Sebagai ono alawe, janda hanyalah seorang tamu bila

berkunjung ke rumah ayahnya dan sebagai pekerja yang ditntut kecekatanya.

Perempuan Sebagai Manifestasi Dewi Yang Selalu Dimuliakan
Beberapa bahkan hampir semua teori feminis melihat posisi perempuan
sebagai kepala pembantu bahkan budak (feminis Sosialis dan Marxisme)—hal ini
merupakan kesadaran diri para laki-laki dan perempuan dibeberapa negara yang

185

ingin membebaskan perempuan dari kondisi seperti itu—penindasan terjadi
karena dikondisikan oleh sebuah budaya atau tradisi. Spivak dalam teori feminis
poskolonial melihat perempuan India sebagai subaltern. Hal ini terjad