Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB II

BAB II
GENDER DALAM KELUARGA;
KERANGKA TEORITIS

Kedudukan Perempuan; Sebuah Konsep Awal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan

diterjemahkan sebagai

tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga) 1.
Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan
dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol
atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat
yang diberikan kepada perempuan.2
Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday

mengusulkan agar

konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati
di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa
dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan

seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang
perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi
dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga.

1

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, balai Pustaka: 2008), 1330
John Lahade, Perempuan, Kuda dan Tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga
dimasyarakat Wewena, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 50
2

15

Selain Sanday, Stoler juga mengajukan konsep yang mirip dengan Sanday,
dengan menggunakan istilah “otonomi perempuan” untuk menggunakan kuasa
ekonomi atas dirinya sendiri dibandingkan laki-laki serta kuasa sosial—kekuasaan
perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial), di dalam atau di
luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan
dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan
anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri.

bersumber dari beberapa bentuk, yakni;

Kekuasaan ini

harta, status sosial.

Rogers

mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu
konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa
berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku
dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideology, artinya kedudukan
perempuan tidak ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh
faktor-faktor yang ada di luar dirinya (budaya).3
Teori Keluarga4 dari berbagai Pendekatan
1. Konsep Keluarga

3


Lahade, 51-53
Pada umumnya keluraga dan rumah tangga dipahami dan diartikan sebagai sebuah lembaga
atau institusi yang sama (bila merujuk pada bentuk keluarga inti atau nuclear family) namun
sebagian para ahli membedakan arti keduanya, keluarga berasaskan kekerabatan yang dikaitkan
dengan keturunan (umunya dipahami sebagai ikatan darah), dan berhubungan dengan symbol,
nilai dan makna, sementara rumah tangga berasaskan kedekatan geografis dan didefenisikan
sebagai satuan tempat tinggal yang berorientasi pada tugas dan dihubungkan dengan fungsional
ekonomi (produksi, konumsi, dan distribusi) dan unit domestik atau unit produksi biologi dan
sosial. Bdk. John Lahade, Perempuan kuda dan tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga
dimasyarakat wewewa, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 47-49; dan Eko A. Meinarno,
“Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A. Meinarno, Keluarga Indonesia:
Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada: 2010), 4. Dalam penelitian ini
istilah tersebut digabung dalam sebuah konsep keluarga yang diterjemahkan dalam sebuah
fungsional keluarga. Karena itu istilah yang sering digunakan dan dibahas adalah istilah keluarga.
4

16

Setiap manusia terlahir dari sebuah keluarga, karena itu setiap orang tidak
akan kesulitan memahami arti keluarga walaupun dalam bentuk konsep

sederhana.

Secara umum manusia memahami bahwa keluarga adalah

sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah yang terdiri dari
laki-laki dewasa yang disebut ayah dan perempuan dewasa yang disebut
ibu dan memilki sebuah komitmen untuk hidup bersama, serta memiliki
anggota keluarga yakni anak. Konsep tersebut sangatlah sederhana dan
sarat dengan perdebatan sehingga para ahli memikirkan berbagai macam
konsep sesuai dengan pendekatan yang dilakukan.
Dalam perkembangan pengetahuan sekarang ini, keluarga bisa
diartikan sebagai nuclear5 (inti), atau institusi terkecil6 dari suatu
kelompok sosial atau masyarakat yang di dalamnya terjadi banyak hal
misalnya; hubungan antara individu, hubungan otoritas, pola pengasuhan,
pembentukan karakter, sosialisasi nilai-nilai dll. Untuk memahami konsep
keluarga dengan spesifik, dan lengkap, maka para ilmuan terutama yang
kajianya sosiologi keluarga, mulai memahami keluarga sebagai objek
dengan pendekatan dan kerangka teoritis tertentu, misalnya; pendekatan
antropologis,


pendekatan

Fungsional

structural,

interaksionis,

perkembangan, sosio psikologis,

konflik

sosial,

ekonomis7. Dalam

penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan antropologis,
fungsional strukturan dan konflik.

5


Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius:2001),7
Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A.
Meinarno, Keluarga Indonesia: Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada:
2010), 3
7
T.O. Ihromi, Bunga rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta, yayasan Obor:1999), 268-269
6

17

2. Teori Keluarga; Pendekatan Antropologis
Murdock sebagai seorang antropolog mengartikan keluarga sebagai;
“Social group characterized bay common residence, economic
cooperation, and reproduction. I includes adults of both sexes, at
least of whom maintain a socially approved sexual relationship, and
one or mor children, own or adopted, of the sexually cohabiting
adults.”8
Dari pandangan tersebut, Murdock menjelaskan bahwa keluarga
merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa yang

memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta
menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak
kandung atau adopsi—selanjutnya Wilk dan Netting melengkapi konsep
ini dengan menambahkan kalimat “keluarga yang tinggal satu atap”9.
Defenisi

lain diungkapkan oleh Gilgun (1992) Charton (2006)

mengungkapkan bahwa keluarga merupakan sekelompok orang yang
tinggal dalam satu rumah yang memiliki kedekatan fisik dan emosional
yang konsisten dan erat dan mengahasilkan satu atau lebih individu baru
dari generasi ke generasi. Konsep yang lebih luas diungkapkan oleh Bailon
dan Maglay mendefenisikan keluarga sebagai gabungan dari dua atau
lebih individu karena adanya hubungan darah, pernikahan dan adopsi
dalam satu rumah tangga dan membangun sebuah interaksi dan memiliki
peran masing-masing sesuai tradisi

sosial dimana mereka hidup.10

Mattessih dan Hill mendefenisikan keluarga sebagai lembaga sosial


Di kutip oleh Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam, Karlinawati Silalahi (Ed.)
Keluarga Indonesia, 3
9
Meinarno, 3
10
Martono, Sosiologi perubahan Sosial; Perspektif klasik, modern, postmodern, dan
poskolonial, (Jakarta, PT. raja Grafindo Persada:2014),235-236
8

18

terkecil dari sebuah kelompok sosial yang

ada hubungan dengan

kekerabatan, tempat tinggal dan memiliki ikatan emosional yang dekat
serta adanya sikap saling ketergantungan, pemeliharaan hubungan,
kemampuan beradaptasi dengan perubahan dan mempertahankan identitas
dan kinerja tugas-tugas keluarga11

Beberapa catatan berkaitan dengan konsep di atas, mengingat
situasi hidup masyarakat diperkotaan yang cenderung untuk berpindahpindah (mendekatkan diri ditempat kerja) serta gaya hidup yang
kensomerisme sehingga orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan
(baik laki-laki maupun perempuan, maka sudah lumrah bila sepasang
suami istri atau seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengikat janji
setia dalam sebuah janji pernikahan tidak akan hidup bersama dalam satu
rumah disaat-saat hari kerja, dan atau orang tua yang sibuk bekerja tidak
akan hidup seatap dengan anak-anak beberapa saat karena pekerjaan di
luar daerah, atau anak-anak yang sekolah/kuliah diluar daerah tidak bisa
hidup bersama dengan orang tuanya selama beberapa saat. Karena itu
penekanan Wilk dan Netting tentang keluarga yang hidup satu atap untuk
wilyah perkotaan perlu

dirumuskan kembali. Bagian kedua adalah di

beberapa Negara sekarang ini telah mengakui pernikahan antara satu jenis
kelamin (laki-laki dengan laki-laki yang disebut Gay dan perempuan
dengan perempuan yang disebut lesby), secara konstitusi Negara dan
bahkan sebagian agama mengakui hubungan ini sebagai hubungan yang
sah dan dianggap sebagai sebuah keluarga.


11

Martono

19

a. Bentuk-bentuk Keluarga
Frederic Le Play dalam bukunya L’organization De La Famillie
yang kemudian di kutip oleh Peter Burke membedakan tiga bentuk
keluarga, pertama, tipe patriakal yang juga sering disebut sebagai keluarga
patungan yaitu laki-laki yang telah menikah tetap tinggal serumah dengan
orang tua; kedua, bentuk tidak stabil yang sering disebut keluarga inti atau
konjugal, yaitu semua anak yang telah menikah pindah dari rumah; ketiga,
keluarga akar (Famille Sonche) yaitu hanya satu anak-laki-laki yang
menikah saja yang masih tinggal bersama orang tua.12 Bentuk keluarga ini
sangatlah dipahami, namun menurut Burke bahwa bentuk Le Play bisa
dipahami dalam urutan kronologis perubahan sosial dan menampilkan
sejarah keluarga besar Eropa yang semakin lama semakin mengecil, mulai
dari “klan” (dalam arti kelompok keluarga besar) pada abad pertengahan,

lalu menjadi keluarga akar pada permulaan zaman modern, dan akhirnya
menuju pada keluarga inti dimana hal ini merupakan karakteristik
masyarakat industri.13
Pandangan umum yang berkembang di sebagian besar masyarakat
modern,

setidaknya ada dua bentuk keluarga yakni; keluarga inti atau

batih (nuclear family) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Bentuk
kelurga seperti ini biasanya mandiri dan mampu mengurus diri sendiri;
keluarga besar (extended family) yang terdiri dari suami, istri, anak-anak,
paman bibi serta kakek nenek14. Memahami berbagai pola dan latar

12

Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta, Yayasan Obor:2015), 77-78
Peter Burke, 78
14
Meinarno, 4-5
13

20

belakang budaya di berbagai belahan dunia, Goldenberg dan Goldenberg
merumuskan sembilan bentuk-betuk keluarga yakni;
“ keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri atas suamu, istri serta anakanak kandung; keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang
disamping terdiri atas suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak
saudara lainya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar),
yang berasal dari pihak suami atau piha istri; keluarga campuran (blended
family), yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, istri, anak-anak
kandung, serta anak-anak tiri; keluarga menurut hukum umum (common
low family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita ang tidak
terikat dalam pernikahan yang sah serta anaka-anak mereka yang tinggal
bersama; keluarga orang tua tunggal (single parent family), yaitu
keluarga yang terdri atas pria dan wanita, mungkin kaena bercerai,
berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak perah menikah, serta anakanak mereka tinggal bersama; keluarga hidup bersama (Comune family),
yatu keluarga yang terdiri atas pria, wanita dan anak-anak yang tingga
bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan
bersama; keluarga serial (serial family), yaitu keluarga yang terdiri atas
pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah mempunyai anak,
namun kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiiki
anak-anak dengan pasangan masing-masing
tetapi semuanya
menganggap sebagai satu keluarga; keluarga gabungan atau komposit
(composite family) yaitu keluarga yang terdiri atas suami dengan
beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa
suami suami dengan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama-sama;
keluarga tinggal bersama (cohabitation family), yaitu keluarga yang
terdiri atas pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan
yang sah”15.

Dari bentuk-bentuk keluarga di atas secara langsung membantu
setiap pembaca memahami konsep keluarga sesuai dengan pola, konteks
budaya dimasing-masing komunitas sosial, walaupun tidak semuanya
mewakili contoh dalam masyakat Nias, salah satu bentuk keluarga adalah,
seorang istri atau suami yang telah menjanda atau menduda dan tidak
memilik seorang anak kandung atau anak angkat/adopsi, sementara dia
hidup sendiri atau menumpang di rumah orang lain.

15

Martono, 239

21

b. Fungsi keluarga

Sebuah ungkapan yang sangat menarik berkaitan dengan fungsi keluarga
“Keluarga adalah sel vital yang paling kecil dari masyarakat tempat citacita, toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang
mempunyai pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan
model-model (contoh) yang paling baik”.16 Ungkapan ini mengungkapkan
tentang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan karakter setiap
pribadi. Bekaitan dengan itu, maka Martono menjelaskan tentang fungsi
keluarga, yakni; 17

1. Fungsi reproduksi dan pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) yang

diatur dalam nilai-nilai sosial (budaya) di mana mereka hidup)—guna
kelangsungan generasi setiap masyarakat artinya melalui keluarga
terlahir generasi generasi baru sebagai pewaris dan penerus
“ekonomi,” budaya, nilai dan status sosial dari sebuah keluarga.
2.

Fungsi psikologi. Keluarga sebagai wadaha untuk memperoleh dan
mengapresiasikan kasih sayang, menyalurkan perhatian—sejak lahir
manusia membutuhkan kasih sayang dari orang tua dan anggota
keluarga yang lain. Melalui keluarga, setiap manusia keluarga menjadi
sebuah wadah untuk menuangkan setiap perasan yang sedang dialami;
suka-duka, masalah, bahkan cita-cita—melalui keluarga manusia
merasa aman dan nyaman.

Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :
2001), 12
17
Martono, 243-240
16

22

3. Fungsi sosial; melalui keluarga, orang-orang dewasa mensosialisasikan

dan meneruskan nilai-nilai, tadisi-tradisi dan budaya terhadap generasi
muda,

selanjutnya

generasi-generasi

muda

akan

mengamati,

mempelajari dan menerima peran-peran sosial sebagaimana tertuang
dalam sebuah tradisi dalam sebuah masyarakat. Masih dalam fungsi
sosial, keluarga juga berungsi memobilitas sosial antar generasi
4. Fungsi ekonomi; pada masyarakat tradisional atau pertanian keluarga

menjaadi unit produksi, karena itu setiap anggota keluarga dilibatkan
sebagai alat untuk memenuhi atau mencari kebutuhan, misalnya dalam
sebuah keluarga petani karet--setiap orang dalam sebuah keluarga
diwajibkan untuk menyadap karet. Karena itu filosofi “banyak anak
banyak rezeki dalam sebuah masyarakat sangat pegang erat atau
diyakini.

Mereka yakin bahwa dengan jumlah anak yang banyak,

maka kekayaan akan melimpah (karena semakin banyaknya unit alat
(pribadi) yang bekerja)
5. Fungsi

pendidikan;

keluarga

sebagai

lembaga

pertama

dan

membutuhkan waktu yang lama untuk melatih, menyalurkan
pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan oleh anak disaat dia
sudah mulai bisa bekerja.
Lebih lengkap lagi, fungsi keluarga dijelaskan dalam peraturan Pemerintah No 87
Tahun 2014 pasal 7 ayat 2 huruf a- h. tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga, Keluarga berencana, dan sistem informasi keluarga.18

18

www.djpp.kemenkumham.go.id;
http://www.peraturan.go.id/pp/nomor-87-tahun-201411e4a13b37968d1e9ba3313430303433.html

23

1. Fungsi keagamaan, artinya mengembangkan kehidupan keluarga yang
menghayati, memahami serta melaksanakan nilai-nilai agama dengan
penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi sosial budaya, artinya memberikan kesempatan kepada keluarga
dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan dan menanamkan nilainilai luhur budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.
3. Fungsi cinta kasih adalah memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, masyarakat serta
hubungan kekerabatan antar generasi sehingga tercipta kehidupan yang
penuh cinta kasih lahir dan batin.
4. Fungsi perlindungan artinya menumbuhkan rasa aman baik secara fisik,
ekonomi, dan psikososial, serta kehangatan dalam kehidupan keluarga.
5. Fungsi

reproduksi,

artinya

melanjutkan/meneruskan

(menjaga

kelangsungan garis keturunan) keturunan yang sehat, direncanakan,
pengasuhan yang baik, serta memelihara dan merawat keluarga sehingga
dapat mewujudkan kesejahteraan manusia lahir dan batin.
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, artinya memberikan peran kepada
keluarga untuk mengasuh, merawat, dan mendidik keturunan sesuai
dengan tahapan perkembangannya agar menjadi generasi yang berkualitas
dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan kehidupan.
7. Fungsi ekonomi, artinya unsur pendukung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dalam mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

24

8. Fungsi pembinaan lingkungan artinya menanamkan pada setiap keluarga

agar mampu menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis
Sementara
menegaskan

resolusi

majelis

umum

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

(PBB)

fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik,

mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
menciptakan kepuasan dan lingkungan yang sehat untuk tercapainya keluarga
sejahtera.19
3. Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/system20

Teori strukstural fungsional sangat dipengaruhi beberapa pemikiran yakni
Aguste Comte yang mempunyai perhatian penuh pada keterlibatan dan
keharmonisan sosial dalam masyarakat yang berantakan setelah revolusi Perancis.
Comte sangat menginginkan suatu consensus sosial dalam suatu masyarakat dan
menolak paham utilitarianism dan individualism yang berkembang dimasyarakat.
Menurut Comte, masyarakat bagaikan tubuh organik. Tubuh organik sosial
masyarakat tidak berdiri sendiri tetapi adanya keterkaitan dengan unit-unit yang
lain.

Kemudian pemikiran Comte dikembangkan oleh Spancer21

dengan

Maryam, S, “Peer Group dan Aktivitas Harian (Belajar) Pengaruhnya Terhadap Prestasi
Belajar Remaja ”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 192, Vol. 058; 2006, 72
20
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori StrukturalFungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set
dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada
mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori
tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis
kehidupan keluarga (Harien Parwati Gender dan Keuarga, (Bogor, IPB Press:2011),
21
George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir
Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka
Pelajar,2012), 58-61
19

25

mengemukaan dua analogi tubuh organik yakni proses evolusi dari bentuk
sederhana ke bentuk kompleks; kedua adalah membandingkan antara organisme
masyarakat dan organisme individu. Emile Durkheim22

memilki pandangan

tentang masyarakat bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat
individu tersebut berada. Struktur dari masyarakat akan memberi tanggungjawab
kepada setiap individu karena itu setiap individu berbeda dan memiliki fungsi
yang berbeda (pada tahap ini lahirlah pembagian kerja).
Strutural fungsional memandang masyarakat sebagai suatu sistim yang
dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian sub system yang saling berhubungan.
System pada pendekatan ini berada pada lapisan individual (berhunbungan dengan
perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan
masyarakat. Kajian fungsional terhadapa keluarga menekankan pada relasi antara
keluarga dengan masyarakar sekitarnya, relasi-relasi internal di antara subsistemsubsistem yang terdapat dalam keluarga dan atau relasi di antara keluarga serta
karakteristik dari setiap anggota keluarga sebagai pribadi23.
Teori ini memandang keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat
yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan kehidupan sosial masyarakat,
serta adanya pengakuan bahwa kehidupan sosial memiliki keanekaragaman yang
kemudian melahirkan sebuah struktur dalam masyarakat—struktur tersebut
melahirkan peran yang beragam dalam sebuah system24. Karena itu sistem sosial
sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan berkelanjutan.

Keluarga

22

George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir
Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka
Pelajar,2012), 31
23
Ihromi, 269-270
24
Herien Puspitawati, Gender dan Keuarga; Konsep dan relita di Indonesia, (Bogor, IPB
Press:2017), 92

26

dilihat sebagai sebuah subsistem yang tidak terlepas dari interaksinya dengan
subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam interaksi
tersebut, keluarga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan sosial masyarakat
(equilibrium state). Karena itu, menurut Klein & White sebagai asumsi dasar
dalam teori struktural fungsional masyarakat selalu mencari titik keseimbangan;
Masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi;
untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan, dan
untuk memenuhi semua ini, maka harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya
suatu keseimbangan atau homeostatik25.
Agar keseimbangan bisa tercapai baik ditingkat masyarakat maupun
tingkat keluarga, maka kata “prasyarat” dalam struktural-fungsional menjadi suatu
keharusan. menurut Levy prasyarat structural tersebut meliputi: diferensiasi peran
yaitu tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga; tugas solidaritas
yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga; tugas ekonomi yang
menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai
tujuan keluarga; tugas politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam
keluarga, dan tugas integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi
internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota
keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku26.
Berkaitan dengan prasyarat tersebut, menurut Ihromi, ada empat konsep
yang digunakan dalam pendekatan struktural fungsional, yaitu, Struktur, fungsi,
status, dan peranan27. Struktur dianalogikan dengan tubuh biologis yang tidak
mengacu pada organisme atau satuan yang memiliki wujud sebagai tubuh yang
25

Puspitawati, 93
Puspitawati
27
Ihromi, 273-274
26

27

hidup, melainkan sebagai sebuah perangkat dari hubungan-hubungan, di antara
unit-unit yang menjadi bagian dari tubuh dari suatu sistem; organisme adalah
sekumpulan satuan-satuan yang terjalin dalam sebuah struktur. Selama
organismenya tetap hidup, maka strukturturnya akan berkelanjutan, kehidupan
suatu organisme dikonsepsikan sebagai berfungsinya stuktur. Bila dihubungkan
dengan dengan bagian-bagian yang terulang-ulang, proses kehidupan, seperti
pernapasan, pencernaan, maka fungsinya adalah peranan yang dimainkanya dalam
sumbanganya terhadap pemeliharaan, pelestarian terhadap kehidupan28.
Struktural fungsional lebih banyak menaruh perhatian pada fungsi—fungsi
sistem-sistem yang terkadang tidak hanya melihat pada fungsi sistem yang
berkontribusi positif (fungsi-fungsi yang diharapkan) namun ada juga fungsifungsi yang negative (tidak diharapkan) sehingga terjadi suatu disfungsi bagi
sistem (keluarga). Durkheim menerapkan istilah fungsi untuk pranata sosial
sebagai kesesuaiannya dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat29.
Ada 3 bidang fungsi keluarga yang menjadi sorotan dalam pendekatan
fungsiaonal sruktural; 30
1. Fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat (hubungan antara keluarga dan
unit-unit sosial yang lebih luas) artinya, peranan keluarga dalam proses
sosialisasi yang dialami oleh anggota masyarakat; berkaitan dengan ini,
Parson dan Bales mengemukakan bahwa hanya keluarga inti (nuclear
family) yang berkonpeten mengasuh anak-anak kecil sehingga dapat
menjadi anggota keluarga yang serasi untuk masyarakat luar. Dikatakan
28

Ihromi
Ihromi
30
Megawangi, 63-64; bdk Ihromi, 270-273; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of
Family Theories and Methods A Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business
Media:2004)
29

28

keluarga inti karena penyampaian atau transmisi dari nilai-nilai yang ada
dalam suatu kebudayaan kepada anggota-anggota baru dalam sebuah
masyarakat; yang memiliki peranan penting bahkan utama dalam proses
sosialisasi tersebut adalah ibu (perempuan),31 karena ibu memiliki waktu
yang lebih lama bersama dengan anak-anaknya di rumah, sementara suami
atau laki-laki jarang bertemu dengan anak-anaknya—bertemu

dengan

anak-anaknya di sore sampai pagi hari. Kaitan dengan fungsi keluarga
inti, menurut Ihromi32, dua fungsi utama keluarga untuk masyarakat yaitu,
transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan stabilisasi atau
mempersiapkan dan memantapkan dari kepribadian individu yang lebih
dewasa untuk terjun dan berkontribusi dalam masyarakat.
2. Fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan untuk
subsistem-subsitem itu sendiri (hubungan di antara keluarga dengan
berbagai subsistem). Dalam hal ini ada pengkajian fungsi setiap individu
dan kaitanya dengan pembagian pekerjaan di antara anggota keluarga demi
eksistensi dan kelestarian keluarga. Dalam hal ini, Parson, Bales, Slater,
Zeldith berpendapat bahwa untuk menciptakan suatu keseimbangan perlu
pembagian peran yang disebut differensasi peran sesuai gender (jenis
kelamin); peran instrumental disaat adanya perubahan sosial (peran yang
terutama ditujukan kepada pihak luar misalnya suami sebagai pencari
nafkah yang kemudian fungsi pencari nafkah tidak hanya tertuju pada ayah
atau laki-laki tetapi juga kepada ibu atau perempuan di saat terjadi desakan

31

Monique Susman, (penyunting), Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor dan
KITL: 2007), 61-63; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and Methods A
Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business Media:2004)
32
Ihromi, 271

29

ekonomi serta perubahan sosial dari keluarga sebagai unit produksi ke unit
konsumtif).33 Peran instrumental peran ekspresif (peranan yang utama
berhubungan dengan pengembangan solidaritas di dalam kelompok)
ditujukan bagi seorang perempuan (ibu).
3. Fungsi-fungsi keluarga untuk anggota keluarga temasuk perkembangan
kepribadian (hubungan di antara keluarga dengan kepribadian), misalnya
fungsi

dari

gangguan

konsekuensinya

terhadap

emosional

anak

perkembangan

terhadap

keluarga

anak—sebagian

dan

peneliti

menyoroti perkembangan anak pada keluarga tertentu, hubungan ibu dan
anak, sebagian lainya menyoroti keluarga sebagai suatu keseluruhan dan
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian yang berkembang—
karena itu untuk memastikan bahwa perkembangan kepribadian menuju
hal yang baik, maka setiap keluarga harus memiliki aturan—tanpa aturan,
hidup keluarga tidak akan memiliki makna (meaning) dan keluarga akan
memproduksi generasi-generasi yang tidak memiliki arah hidup. Selain
itu, Ackherman mengemukakan bahwa dalam memahami perkembangan
kepribadian, penting mempelajari hubungan antara masyarakat umum,
keluarga dan individu. Walaupun sebenarnya bentuk keluraga sangat
menentukan gambaran bentuk-bentuk tingkah laku dalam pelaksanaan
peranan tertentu, seperti peran sebagai suami, ayah, ibu, istri, atau anak—
menjadi suami, ayah, istri, ibu, anak baru memperoleh makna bila
dihubungkan dengan struktur keluarga tertentu.

Jadi keluarga telah

33

Bdk. Martono, 243-245; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and
Methods: A Contextual Approach, e-book, (Springer Science, Business Media:2004)

30

membentuk untuk “menjadi” pribadi-pribadi yang diharapkan mampu
melakukan peranan dan fungsinya.
Bila ketiga fungsi berjalan dengan baik, maka keseimbangan dinamis
(dynamic equalibirium) akan tercipta,

karena itu bisa disimpulkan bahwa

keluarga sebagai sistem yang terdiri dari subsistem masyarakat tempat cita-cita,
toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang mempunyai
pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (role
model) yang paling baik”.34
Dalam fungsional strukturan, penekanan akan pentingnya diferensiasi
peran dalam kesatuan instrumental ekspresif, adanya alokasi kewajiban tugas
yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem tetap ada. Tanpa pembagian
tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mmpegaruhi sistem yang lebih
besar lagi. Hal itu melahirkan ketidak seimbangan dan disfungsi keluarga—hal
ini bisa berakibat perceraian.

Menurut Lavi, ada beberapa hal yang harus

dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem tetap berfungsi yaitu, diferensiasi
peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, alokasi integrasi dan
ekspresi35.
Berkaitan dengan hal tersebut, Talcott Parsons sebagai seorang analis
fungsional telah menjelaskan bagaimana hubungan antara peran dan fungsi
keluarga di dalam masyarakat. Peran menunjuk pada bagaimana anggota keluarga
saling berhubungan satu dengan yang lain, karena itu sebagai sebuah system

Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :
2001), 12
35
Megawangi, 65-66
34

31

sosial, keluarga tidak luput dari perhatian analisis fungsional, di mana skema
AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration; and Latency), Parson dapat
digunakan untuk mengaanalisa peran dan fungsi keluarga dalam mengahadapi
sebuah perubahan sosial.
Dalam menghadapi perubahan dilingkungan sekitar, keluarga harus memiliki
mekanisme dalam melakukan sebuah adaptasi terhadap perubahan tersebut, jika
tidak maka keluarga tersebut akan hancur tergilas perubahan. Kedua adalah
keluarga (nuclear family, secara khusus suami istri) harus memiliki tujuan yang
harus dicapai. Ketiga adalah, fungsi integritas dalam keluarga sehingga tercipta
ikatan batin dan solidaritas

terhada setiap anggota klurga; keempat, fungsi

pemeliharaan pola dalam hal ini, peran keluarga dalam mensosialisasikan nilainilai36.
Menanggapi berbagi kritikan yang menilai bahwa fungsional stuktural hanya
mengharapkan sebuah harmoni dan keseimbangan tanpa melihat dinamikan
keluarga yakni konflik dalam keluarga karena adanya perbedaan-perbedaan, maka
Parson berpandangan bahwa adanya suatu konflik karena adanya kesenjangan
peran, karena itu perlu adanya control sosial, serta perlu adanya penerapan
penghargaan dan sanksi. Berbeda dengan Parson, marton mengajukan teori
tipologi penyimpangan perilaku yakni; Non-deviance (actor menerima dan
melakukan dengan baik nilai dan norma yang berlaku); Inovasi (selalu berpegang
pada “hasil dari kesepakatan”, namun tanpa terikat pada prosedur yang harus
dilalui untuk meraih tujuan/hasil); ritualisme (kebalikan dari inovasi yakni tanpa
harus mencapai tujuan, tetapi melakukan proses dulu); retretisme (pasrah—tidak
36

Bdk. Jonathan H. Turner, The structure of Sociologycal Theory, (USA, Wadsworth
Publishing Company; 1998), 34-36, dan Martono, 244

32

berbuat apa-apa). Berkaitan dengan fungsi sosialisasi keluarga, maka perlu adanya
sosialisasi yag fariatif terhadap anak37.
Berangkat

dari

teori

Parson,

Cohen

menolak

gagasan

bahwa

penyimpangan tentu saja menyebabkan disorganisasi. menurut Cohen, bahwa
sistem berada dalam disorganisasi hanya bagi orang-orang yang mengharapkan
keseimbangan sesuai dengan konstitusi sendiri. Penyimpangan dari peran akan
selalu ada dalam sebuah keluarga, namun tidak selamanya menyebabkan
disorganisasi, melainkan hanya meremehkan system nilai. Walaupun sebuah
penyimpangan terjadi, namun masih berfungsi, maka system masih terorganisir,
tidak merusak stabilitas dan keseimbangan, jurstru akan mendorong terciptnya
sebuah norma yang baru38.

4.

Teori Keluarga: Konflik Sosial

Secara umum, lahirnya teori konflik adalah terjadinya revolusi politik dan revolusi
industri (dengan system ekonomi kapitalis)

yang melanda masyarakat Eropa

terutama di abad 19 dan awal abad 20. Pada tahun 1930-an teori konflik
berkembang di Amerika sebagai respon kebangkitan dari keterpurukan
(perekonomian, teknologi dan militer) Negara tersebut, sehingga Negara Amerika
menjadi sebuah simbol modernitas. Teori konflik mulai berkembang pada tahun
1960-an dan sering digunakan dalam kajian perempuan persepektif feminism39.
Selain hal tersebut di atas, teori konflik juga merupakan respon
ketidakpuasan terhadap teori fungsionalisme stuktural Talcot Parson dan Robert
K. Marton yang menilai masyarakat dengan paham dan konsensus dan
37

Pauline G., dkk, 199-201
Pauline
39
Bdk. Ihromi, 278
38

33

integralistiknya, sistem sosial yang berstruktur dan adanya perbedaaan fungsi dan
diferensiasi peran. Strukturalis fungsionali menganggap bahwa keluarga
melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal lahirnya ketidak
adilan dalam masyarakat. David Lockwood mengkritik Parson yang terlalu
menekankan keseimbangan dan ketertiban.

Hal ini dianggap sebagai suatu

pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan dan
kebutuhan kelompok terpenuhi.

Menurut Lockwood, konflik akan selalu

mewarnai kehidupan masyarakat terutama dalam hal distribusi sumber daya yang
terbatas, karena pada dasarnya setiap individu lebih mementingkan diri sendiri
dari pada kepentingan kelompok, masing-masing kelompok atau individu
memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan bertentangan sehingga dengan
demikian akan timbul diferensiasi kekuasaan akibatnya sekelompok orang akan
menindas yang lain.40
Engels pernah mengungkapkan bahwa pada zaman masyarakan berpola
hidup berpindah-pindah atau bahkan pola hidup pertanian; kehidupan mereka
masih miskin (menurut kriteria taraf hidup jaman sekarang), perempuan di
keluarga dalam sebuah masyarakat dihargai atau tidak ditindas, namun setelah
manusia masuk dalam revolusi politik dan ekonomi yang kapitalis, perempuan
dalam sebuah keluarga diposisikan pada kelas subordinat (secand class).41 Pada
tahun 1960-an dalam analisis keluarga

40

konflik itu digunakan, terutama oleh

Bdk. Herien, 98

Bdk, WWW. Google, Fathimah Fildzah Izzati, “Women‟s Question dalam Perjuangan
Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki” risensi buku, Maria Mies, Patriarchy & Accumulation on a
World Scale :Women in the Internasional Division of Labour (New Edition), Zed Book Ltd, 1998.
https://indoprogress.com/2013/01/womens-question-dalam-perjuangan-mengakhiri-kapitalismedan-patriarki/, dimuat 15 Januari 2013, di akses tanggal 3 Juni 2017, bdk, Ihromi , 278
41

34

pemimpin-pemimpin

berkulit

hitam

dan

para

aktifis

perempuan

yang

memperjuangkan agar terjadi suatu perubahan dalam struktur keluarga dan
masyarakat.
Dalam kajian teori ini, ada anggapan bahwa konflik dalam sebuah
keluarga dianggap sebagai ancaman bagi keharmonisan keluarga, namun beberapa
pakar konflik beranggapan konflik dipandang sebagai sebuah proses sosial,
sehingga terjadi suatu perubahan dari tatanan yang lama menuju suatu pembaruan
yang disesuwaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, karena itu konflik
dipandang sebagai fenomena sosial yang biasa dan wajar dalam setiap interaksi
manusia terutama dalam keluarga—agar konflik tersebut tidak menuju pada
keretakan atau kehancuran kohesi sosial, keutuhan keluarga, maka diperlukan
manajemen konflik, alokasi kekuasaan, dan sumber daya dalam keluarga. Pada
umumnya peneliti yang mengkaji tentang kekerasan dalam keluarga serta
penangananya lebih cenderung menggunakan teori konflik.42 Klein dan White
menguraikan asumsi dasar dari teori konflik adalah,
“ (1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) manusia adalah individu
otonom yang memiliki kamauan sendiri tanpa harus tunduk pada norma dan
nilai; manusia secara garis besar dimotifasi oleh keinginan sendiri, (3 konflik
adalah endemik sosial; (4) tingkatan masyarakat yang normal lebih
cenderung mempunyai konflik daripada harmoni, dan (5) konflik merupakan
suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumber daya yang langka,
konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.”43

Hal mirip diungkapkan oleh Ihromi tentang asumsi dasar dari teori konflik
yakni,

pertama, Setiap anggota keluarga memiliki kedudukan yang berbeda

sebagai konsekuensi dari jenis kelamin/gender atau umur. Lahirnya konflik dalam
sebuah
42
43

keluarga

(yang

diekspresikan

secara

verbal

dan

non

verbal)

Bdk. Ihromi, 279
Puspitawati, 98

35

dilatarbelakangi adanya tawar-menawar dan persaingan untuk memperoleh
kedudukan dan hal-hal yang dianggap bernilai tinggi, seperti uang, perhatian,
kekuasaan, dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Namun walaupun
ketegangan atau konflik sering terjadi, tujuan dan cinta yang timbul antara
anggota keluraga menyebabkan satu sama lain saling terikat; kedua, konflik dalam
keluarga dapat membawa akibat positif atau negatif, bila hal konflik ditekan maka
berakibat buruk pada anggota keluarga, hal itu bagaikan api dalam sekam, dimana
bibit atau pemicu konflik telah membara, tetapi anggota keluarga berusaha untuk
menyembunyikannya, namun perlu dicatat bahwa keluarga yang tidak mengalami
konflik tidak menajamin kebahagiaan sebuah keluarga,44 karena itu Sprey
mengemukakan bahwa masalah-masalah yang ada dalam keluarga bukan karena
adanya perbedaan antara anggota keluarga (terutama antara suami istri), karena
perbedaan itu selalu dan pasti ada.

Namun konflik itu ada karena

ketidakmampuan para anggota keluarga untuk hidup dengan perbedaan-perbedaan
yang ada di antara mereka. Perbedaan yang terus menerus ada dalam keluarga
harus mampu dikendalikan (dengan manajemen konflik keluarga), karena itu
keluarga yang berhasil dalam keluarga bukanlah keluarga yang berhasil menekan
sebuah konflik, tetapi yang berhasil memuaskan semua anggota keluarga dengan
mengadakan negosiasi mengenai perbedaan dan gesekan/konflik yang timbul
dengan tingkat kesadaran yang sangat baik dalam membangun negosiasi 45 (hal ini
tidak dilakukan atas pengaruh emosional, melainkan sebuah kesadaran untuk
mengalah untuk menang).

44
45

Puspitawati
Ihromi, 281-282

36

Gender dan Feminisme.
Suatu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa bila berbicara tentang keluarga, berarti
juga berbicara tentang gender. Karena konsep dan ruang lingkup gender
merupakan bagian dari proses pengelolaan sumber daya dalam keluarga yang di
dalamnya ada peran-peran yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga.
Istilah gender sebenarnya diperkerkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk
menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan (seks
atau biologis) yang sifatnya kodrat—tidak bisa ditukar dan hal-hal yang bisa
dinegosiasikan, terjadi dan berkembang atas konstruksi sosial yang berjalan dalam
suatu proses sosialisasi.
Hampir bisa dipastikan bahwa selama ini ada kesalah pahaman dalam
memahami konsep gender. Gender dipahami sebagai perbedaan antara laki-laki
dan perempuan yang bersifat bawaan (kodrat) dan yang hal-hal yang sifatnya
konstruksi sosial yang berjalan dalam suatu proses sosialisasi. Dalam budaya
patriakhi, perbedaan antara yang kodrat dan konstruksi hampir tidak bisa
dipilah—adanya anggapan bahwa hasil konstruksi sosial terhadap perbedaan
fungsi, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah
merupakan hal yang kondrat karena itu tidak bisa dilakukan sebuah perubahan,
akibatnya berdampak pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dari berbagai sumber daya.

Dari dampak tersebut lahirlah berbagai

istilah atas perilaku yang sering terjadi dalam keluarga dan lingkungan
masyarakat, diantaranya46;

Bdk. Anita Rahmawaty, “Harmoni dalam Keluarga Perempuan Karir: Upaya Mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga”, dalam Paletren, Vol. 8, No. 1, (Juni 2015), 911
46

37

a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan
tafsiran terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat, atau
bahkan asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada
penyisihan atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi.47 Contoh; perilaku dalam
memprioritas pendidikan tinggi bagi anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan,

karena

anggapan

bahwa

anak

laki-laki

sebagai

penanggungjawab, pewaris dan penerus tradisi keluarga, sementara
perempuan akan menikah dan pindah ke rumah suaminya sebagai ibu
rumah tangga yang urusannya hanya sebatas kasur, sumur, dan dapur.
b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting)
dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki
sebagai pribadi yang diutamakan.

Contoh; beberapa pekerjaan dalam

keluarga yang tidak “menghasilkan uang” dikerjakan oleh ibu atau bapak
rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai sebuah karier atau pekerjaan
karena tidak menghasilakn uang, sehingga bila ada pertanyaan tertuju
kepada seorang ibu atau bapak yang tidak bekerja sebagai PNS atau
pegawai perusahaan atau pekerjaan yang tidak mengasilkan uang, “ibu
atau bapak pekerjaanya apa” selalu dijawab tidak bekerja, hanya sebagai
ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga bagi bapak.
c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan
sikap atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga
47

M. Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999),

14

38

atau kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang
dilabelkan pada jenis kelamin, contoh,

bersolek dilabelkan kepada

perempuan yang suka tampil cantik untuk menarik perhatian orang lain,
macho dilabelkan kepada laki-laki yang kekar, kuat, dll48.
d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak
bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah
pengabdian dan pengorbanan yang mulia.
e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan
istilah

gender-related violence.

Korban kekerasan bukan hanya

perempuan tetapi bisa juga laki-laki yang dilakukan secara verbal yang
terjadi di tempat terbuka atau di ruangan tertutup atau privat dan kekerasan
nonverbal (antaranya, pemerkosaan, penyerangan seksual, pemukulan,
pelecehan seksual)49.
f. Relasi Gender50; hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan
dengan pembagian peran yang dilakukan oleh setiap orang pada berbagai
bentuk struktur keluarga (keluarga miskin atau kaya, keluarga desa atau
kota, keluarga lengkap atau tunggal, keluarga yang memiliki anak atau
tidak).
Berhubungan dengan beberapa hal tersebut (konstruksi sosial yang dijadikan
kodrat), maka beberapa ilmuan sosial mencoba menguraikan konsep gender dan
48

Bdk. Fakih. 16-17
Bdk. Silvia Walby,193-202; bdk, Retnowati, “Critizing the Silence the Religions In
Andressing Violence To Ward Women” Academic Research International Journal, Vol.4 No.3
(May 2013), 319-320; Komnas Perempuan, Peta Kekerasan; pengalaman Perempuan Indonesia,
(Jakarta, Ameepro: 2002) 37-105; Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, (Yokyakarta, Jalasutra:
2010), 47-60
50
Puspitawati, 70
49

39

jenis kelamin (seks); Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris merupakan orang yang
pertama kali mengusung konsep gender dan memberikan pembedaan antara istilah
gender dan jenis kelamin, gender dipahami sebagai identitas laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi dalam sebuah masyarakat, sementara hal-hal yang
kondrati lebih tertuju pada jenis kelamin (seks atau biologis) yang berkonsekuensi
pada perbedaan peran reproduksi; laki-laki memiliki penis, testis, membuahi
spermatozoa, hormone testoteron, kelenjar prostate, sementara perempuan
memiliki vagina dan kandungan karena itu perempuan melahirkan, memiliki
kelenjar susu—menyusui, haid, memiliki hormone esterogen dan progesteron 51.
Herien Puspitawati

mengartikan Gender sebagai perbedaan peran,

fungsi, hak, status, tanggung jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya

sebagai hasil kesepakatan atau hasil

bentukan dari masyarakat melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Hal
ini bukan kodrat karena itu dapat diubah, dapat dipertukarkan bergantung pada
waktu dan keadaan serta budaya masing-masing.52 Dari konsep tersebut bisa
dikatakan bahwa ruang lingkup dan konsep gender menyangkut peran, fungsi,
status, tanggungjawab, kebutuhan umum dan kebutuhan khusus, permasalahan
umum dan khusus laki-laki dan perempuan. Gender adalah hasil kesepakatan
antara manusia dalam kurun waktu dan budaya tertentu sehingga bisa berubah
bahkan dipertukarkan—tergantung budaya dan waktu.
Dari konsep dan beberapa istilah “kesenjangan perilaku” gender di atas,
maka timbulah suatu kesadaran atas kesamaan atau kesetaraan (equality) laki-laki
dan perempuan baik dalam keluarga maupun ditingkat masyarakat, dengan
51

Rio Girsang, Nias Dalam Perspektif Gender, (Sibolga, Caritas keuskupan Sibolga: 2014), 4-

52

Puspitawati, 84 dan 64

6

40

munculnya beberapa istilah yakni, kesetaraan gender dan keadilan gender53,
emansipasi wanita,54 yang kemudian melahirkan pergerakan yang disebut gerakan
feminisme dengan berbagai aliran pemikiran.
Henrietta L. Moore adalah seorang yang menelaah hakikat dan makna
kritik feminisme dalam antropologi. Menurut Moore, feminisme sebagai sebuah
kesadaran perempuan akan penindasan dan pemerasan dalam kerja, di rumah dan
di masyarakat. Feminisme juga bisa dipahami sebagai kesadaran tindakan politik
yang dilakukan oleh perempuan untuk mengubah situasi yang telah dan sedang
dialami. Konsekuensi dari konsep tersebut pertama, defenisi tersebut menunjukan
bahwa pada tahapan yang mendasar terdapat kebutuhan dan kepentingan bersama
perempuan yang harus dan layak untuk diperjuangkan; kedua, walaupun adanya
berbagai aliran dalam perjuangan (Feminis liberal, radikal marxis, sosialis, eko
feminis, feminis poskolonial), namun premis yang mendasari perjuangannya
adalah adanya identitas nyata dan aktual

karena merupakan landasan kesatuan

kepentingan perempuan; ketiga adalah perjuangan feminis, lebih jauh lagi,
tergantung pada kohesinya—baik yang potensial maupun aktual dalam
53

Puspitawati mengutip USAID yang mendefenisinakn kesetaraan gender sebagai gender
equality yang diartikan permits women and men equal enjoyment of human right, socially valued
goods, opportunities, resources and the benefit from development result (kesetaraan gender
memberi kesempatan baik kepada perempuan atau laki-laki secara seimbang dalam menikmati
hak-haknya sebagai manusia, secara sosial memiliki benda-benda, kesempatan, sumber daya, dan
menikmati hasil pembangunan. Kadilan gender diartikan sebegai gender equity yang dijabarkan is
the process of being fair to women and men. To ensure fairness, measures must be available to
compensate for historical and social disadvantages that prevent moment and men from operating
on a level playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender equality.
Equity is the means; equality is the result (keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi
adil baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Untuk memastikan adanya suatu keadilan,
maka dibuat suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara historis maupun sosial yang
mencegah perempuan atau laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Stretegi keadilan
gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan
suatu cara, kesetaraan adalah hasilnya Puspitawati, 70)..
54
KBBI mengartikan emansipasi wanita sebagai proses pelepasan diri para wanita dari
kedudukan sosial ekonomi yg rendah atau dari pengekangan hukum yg membatasi kemungkinan
untuk berkembang dan untuk maju. Tokoh utama dalam pejuang emansipasi wanita di Indonesia
adalah R.A. Kartini.

41

penindasan yang dialami oleh sesama perempuan. Pengakuan atas pengalaman
(yang telah bahkan sedang dialami) oleh sesama perempuan merupakan dasar
“pejuangan seks” yang dipremiskan pada pendapat bahwa perempuan adalah
kelompok sosial yang didominasi oleh laki-laki sebagai kelompok sosial lain.55

Kesadaran Kesetaraan; sebuah Sejarah Singkat.
Bila membaca sejarah, perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
sudah berlangsung sejak abad 17 yang dipelopori oleh Lady Marry Wortley
Montagu dan Marquis De Condorcet yang dimulai di Belanda (Middelburg),
kemudian pergerekan itu disebut oleh Charles Fourier pada tahun 1837 dengan
istilah Feminis56.
Amerika

dengan

Gerakan feminis terus berkembang di benua Eropa dan
berbagai

aliran

(Feminisme

eksistensialis,

Liberal,

Sosialis/Marxist, Feminisme Radikal, Ekofeminisme dan feminism Poskolonial,
dll.
Secara legislasi di tingkat global, tahun 1948 dalam sebuah deklarasi Hak
Azasi Manusia PBB, menyatakan kesamaan Hak dasar setiap manusia (lki-laki
maupun perempuan); hak untuk hidup (life), kebutuhan untuk bebas (Liberty), dan
mencari kebahagiaan dalam kehidupan (happiness). Tahun 1957 diadakan sidang
umum PBB pertama dengan melahirkan sebuah keputusan tentang partisipasi
perempuan dalam pembangunan yang disusul dengan keputusan pada tahun 1963
yang secara khusus mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial,
ekonomi dan nasional. Selanjutnya lahirlah konsep emansipasi antara perempuan
dan laki-laki yang disertai dengan gerakan global yang dipelopori oleh
perempuan, kemudian berhasil mendeklarasikan badan ekonomi social PBB
55

. Henriette L. Moore, Feminisme dan Antropolog