Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015) Chpater III V
BAB III
LARANGAN PEMBAYARAN HONORARIUM KEPADA
PEMBINA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
A.
Kekayaan Yayasan
Yayasan, menurut Undang-Undang Yayasan, memiliki kekayaan tersendiri
yang “dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan”.245 Kekayaan tersebut merupakan kekayaan yang telah
menjadi milik Yayasan sehingga terpisah dari kekayaan pribadi para pendiri dan
organ-organ yayasan. Akibatnya, para pendiri yayasan dan organ-organ yayasan tidak
akan mendapat manfaat apapun dari kekayaan yayasan dan hasil kekayaan dari
kegiatan usaha yayasan.246
Pada saat didirikannya yayasan, yayasan memiliki kekayaan awal yang berasal
dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang.247 Kekayaan
awal ini berasal dari kekayaan para pendiri yang dipisahkan darinya sehingga menjadi
bukan milik para pendiri tersebut lagi, melainkan menjadi milik yayasan. Kekayaan
awal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
245
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 44
247
Pasal 26 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
246
77
Universitas Sumatera Utara
78
Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (untuk
selanjutnya, kedua peraturan ini akan disingkat sebagai Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Yayasan).
Dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, dicantumkan
bahwa kekayaan awal yayasan jika didirikan oleh Warga Negara Indonesia paling
sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan paling sedikit senilai
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) jika didirikan oleh Warga Negara Asing atau
Warga Negara Asing bersama dengan Warga Negara Indonesia.248
Selain kekayaan awal yayasan yang dimiliki yayasan pada saat pendiriannya,
Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Yayasan menentukan bahwa kekayaan yayasan
juga dapat diperoleh dari:249
1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat
Undang-Undang Yayasan tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
sumbangan maupun bantuan yang tidak mengikat. Akan tetapi, dapat
diartikan bahwa sumbangan adalah “pemberian sebagai bantuan”250 kepada
yayasan. Pemberian bantuan ini tidak mengikat dalam arti merupakan suatu
pemberian yang “tidak menimbulkan hak dan/atau kewajiban dalam bentuk
apapun secara langsung maupun tidak langsung, baik bagi pihak penerima
(dalam hal ini, yayasan) maupun bagi pihak pemberi, baik sebelum maupun
248
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan
249
Pasal 26 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
250
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 1550
Universitas Sumatera Utara
79
pada saat dan/atau sesudah pemberian bantuan”.251 Ini sesuai dengan
pernyataan pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat adalah “sumbangan sukarela” sehingga tidak “mengakibatkan
keterikatan yayasan untuk memenuhi komitmen tertentu yang pada
akhirnya akan menghilangkan status yayasan sebagai pranata sosial,
keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat mandiri”.252
Kemudian, pemberi bantuan berupa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat dapat dilihat dari penjelasan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang
Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat adalah “sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan,
baik dari negara, masyarakat, maupun dari pihak lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.253
Jelas terdapat tiga kategori pemberi bantuan menurut Undang-Undang
Yayasan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Negara
Bantuan dari negara disebut juga dengan bantuan pemerintah. Bantuan
yang berasal dari negara atau pemerintah dilakukan sesuai dengan jiwa
251
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 45
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Jawaban Pemerintah
atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Rebuplik Indonesia terhadap
Rancangan Undang-Undang Yayasan” tanggal 12 September 2000, hal. 6
253
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
252
Universitas Sumatera Utara
80
ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:254
1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara
2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan
3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang
Kemudian, negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan dalam
hal-hal tertentu, antara lain jika Yayasan yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:255
1) Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan:
Yayasan
didirikan
oleh
Warga
Negara
Indonesia
“yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.”
2) Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan:
“Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang
menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah.”
254
Penjelasan Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal
34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
255
Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal 20 (1) dan
Pasal 21 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
81
b. Masyarakat
Sumbangan yang berasal dari masyarakat dapat diinterpretasikan
sebagai sumbangan yang berasal dari Warga Negara Indonesia (orang
perorangan) atau lembaga-lembaga yang berkedudukan di Indonesia.
c. Pihak lain
Pihak lain dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sumbangan
yang berasal dari Warga Negara Asing (orang perorangan) ataupun
lembaga-lembaga yang tidak berkedudukan di Indonesia. Biasanya
dikenal dengan sebutan bantuan luar negeri.
2. Wakaf
Wakaf dapat berasal dari orang atau dari badan hukum.256 Jika kekayaan
yayasan berasal dari wakaf, maka berlakulah hukum perwakafan.257 Dalam
hal ini, hukum yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan
Undang-Undang tentang Wakaf tersebut. Pasal 1 angka (1) UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendefinisikan wakaf
sebagai “perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya)258 untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
256
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 26 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
258
Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
257
Universitas Sumatera Utara
82
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah”.
3. Hibah
Sama halnya dengan wakaf, hibah juga dapat berasal dari orang atau dari
badan hukum.259 Pengaturan mengenai hibah diatur dalam KUHPer pada
Buku Ketiga tentang Perikatan pada Bab X tentang Hibah. Pengertian
hibah dapat ditemukan dalam Pasal 1666 paragraf pertama KUHPer yaitu:
“suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu masa hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.”
Kemudian, persyaratan hibah diatur lebih lanjut dalam Pasal 1666 paragraf
kedua KUHPer dan Pasal 1667 paragraf pertama KUHPer yang
menyatakan bahwa pemberi hibah dan penerima hibah hanyalah diantara
“orang-orang yang masih hidup” dan hanya mengenai “benda-benda yang
sudah ada”. Dalam hal penerima hibah adalah yayasan, “orang-orang yang
masih hidup” dapat diinterpretasikan sebagai yayasan yang masih berdiri.
4. Hibah wasiat
Pengaturan mengenai hibah wasiat diatur dalam KUHPer pada Buku
Kedua tentang Kebendaan pada Bab XIII tentang Surat Wasiat. Pasal 957
KUHPer mendefinisikan hibah wasiat sebagai:
“suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang
mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang259
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
83
barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barangbarang yang bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.”
Kemudian, Pasal 958 KUHPer menentukan bahwa pemberian hak kepada
penerima hibah wasiat terjadi “semenjak hari meninggalnya” si pemberi
hibah wasiat, dan hak tersebut menurun kepada ahli waris atau pengganti
penerima haknya.
Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan sebagai penerima
hibah wasiat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris.260
Di Indonesia, terdapat tiga sistem hukum kewarisan, yaitu:261
a. Sistem hukum kewarisan barat berdasarkan KUHPer dalam hal si
pewaris menganut hukum kewarisan barat;
b. Sistem hukum kewarisan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan beberapa
hadis serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam hal pewaris
beragama Islam dan menganut sistem hukum kewarisan Islam;
c. Sistem hukum kewarisan adat berdasarkan hukum adat yang berlaku
bagi masing-masing pewaris yang menganut hukum adat tertentu dan
tidak menggunakan sistem hukum barat dan sistem hukum Islam.
Ketentuan hukum waris tentunya berbeda-beda tergantung pada sistem
hukum kewarisan yang dianut. Dalam hal hibah wasiat yang diterapkan
dalam perolehan kekayaan menurut Undang-Undang Yayasan, sistem
kewarisan yang dianut adalah ketentuan hibah wasiat yang sesuai dengan
hukum waris yang berlaku dan yang digunakan oleh si pewaris atau
pemberi hibah wasiat.262
260
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 50
262
Ibid., hal. 50
261
Universitas Sumatera Utara
84
5. Perolehan lain
Perolehan lain menurut Undang-Undang Yayasan merupakan:263
a. Dividen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dividen adalah “keuntungan
perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham.”264 Ini sesuai
dengan pengertian dividend (dividen) dalam Black’s Law Dictionary,
yaitu “a portion of a company’s earnings or profits distributed pro rata
to its shareholders usually in the form of cash or additional shares.”265
Dari kedua definisi tersebut, jelas bahwa dividen sebagai salah satu
bentuk perolehan yayasan hanya dapat diterima oleh yayasan jika
yayasan adalah salah satu pemegang saham sebuah perusahaan yang
akan membagikan keuntungannya kepada para pemegang saham.
Maka, dividen sebagai salah satu perolehan lain yang dapat diterima
oleh Yayasan memberikan pengertian bahwa Undang-Undang Yayasan
tidak melarang yayasan untuk menginvestasikan kekayaannya pada
perusahaan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan.
Dalam hal ini, yayasan dapat menginvestasikan kekayaannya pada
perusahaan dengan cara ikut serta dalam suatu badan usaha sebagai
pemegang saham perusahaan tersebut agar dapat menerima dividen dari
hasil badan usaha yang bersangkutan. Syarat penyertaan semacam ini
263
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 360
265
Bryan A. Garner, op.cit., hal. 547
264
Universitas Sumatera Utara
85
paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan
yayasan.266
b. Bunga tabungan bank
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari, terdapat dua macam bunga yang
diberikan kepada nasabah bank, yaitu bunga simpanan dan bunga
pinjaman.267 Dari kedua jenis bunga bank tersebut, yang dimaksud
dengan bunga tabungan bank sebagai salah satu perolehan kekayaan
yayasan oleh Undang-Undang Yayasan adalah bunga simpanan yang
memberikan balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di
bank.268 Dalam hal ini, Yayasan adalah nasabah bank yang menyimpan
kekayaannya di bank sehingga mendapatkan balas jasa dari bank.
c. Sewa gedung
Menurut Arie Kusumastuti M. Suhardiadi, Undang-Undang Yayasan
“tidak melarang yayasan yang memiliki gedung untuk menyewakan
gedungnya kepada pihak lain”.269 Ia kemudian juga menjelaskan
mengenai sub sewa (sub lease).270 Menurutnya, “penerimaan atas hasil
sub sewa dapat dipersamakan dengan hasil sewa”.271 Maka,
266
Pasal 7 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hal. 121
268
Ibid.
269
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 53
270
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi menyatakan bahwa sewa gedung yang merupakan sub
sewa adalah “sewa atas gedung yang disewa yayasan dari pihak lain dan kemudian disewakan kembali
kepada pihak lain.” (Ibid.)
271
Ibid., hal. 54
267
Universitas Sumatera Utara
86
berdasarkan pendapat tersebut, sewa gedung sebagai perolehan
kekayaan yayasan dapat diperoleh yayasan dengan dua cara, yaitu:
1) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang
dimiliki oleh yayasan.
2) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang
bukan milik yayasan, melainkan gedung yang yayasan sewa dari
pihak lain.
d. Perolehan dari hasil usaha yayasan
Perolehan kekayaan dari hasil usaha yayasan dapat diperoleh yayasan
dengan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan
maksud dan tujuan yayasan.272 Kegiatan usaha dari badan usaha
tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.273 Kegiatan-kegiatan usaha yang
dimaksud Undang-Undang Yayasan ini memiliki cakupan yang luas,
antara lain mencakup hak asasi manusia, kesenian, olahraga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan
ilmu pengetahuan.274
Seluruh harta kekayaan yayasan, baik yang merupakan kekayaan awal maupun
kekayaan yang diperoleh yayasan melalui sumbangan atau bantuan yang tidak
272
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
274
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
273
Universitas Sumatera Utara
87
mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat dan perolehan lain yang telah dijabarkan diatas,
hanya dapat dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
B.
Peruntukkan dari Penggunaan Kekayaan Yayasan
Penggunaan kekayaan yayasan dibatasi oleh Undang-Undang Yayasan yaitu
“diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.”275 Tujuan-tujuan tersebut menunjukkan bahwa yayasan tidak memiliki
tujuan untuk mencari keuntungan, melainkan tujuan yang sosial.
Sosial artinya “berkenaan dengan masyarakat”.276 Kemudian, sosial juga dapat
berarti “suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan
sebagainya)”.277 Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
yayasan yang memiliki tujuan sosial adalah yayasan yang tujuannya berkenaan
dengan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum. Ini sejalan dengan
pandangan F. Emerson Andrews mengenai yayasan, yaitu “instrument for the
contribution of private wealth to public purpose.”278 Pandangan F.Emerson Andrews
yang menyatakan yayasan sebagai sebuah alat atau cara untuk memberikan kontribusi
dari kekayaan pribadi untuk kepentingan umum279 ini juga sejalan dengan pendapat
Arie Kusumastuti M. Suhardiadi yang menyatakan bahwa “yayasan bukan lapangan
275
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 1496
277
Ibid.
278
F. Emerson Andrews, American Foundation for Social Welfare, dalam Shelby M.
Harrison, op.cit., hal. 107
279
Ibid.
276
Universitas Sumatera Utara
88
untuk berusaha, tetapi lebih merupakan sarana dan wahana untuk melaksanakan
kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”280
Penggunaan kekayaan yayasan untuk tujuan sosial ini jelas ditujukan untuk
kepentingan dan kemanfaatan umum. Sehingga, dapat dihubungkan dengan teori
kemanfaatan (teori utilitarianisme) yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Teori ini
meyakini bahwa “hukum berfungsi untuk memberikan manfaat yang sebesarnya
kepada jumlah orang terbanyak.”281 Maka, kemanfaatan diletakkan sebagai tujuan
utama hukum. Kemanfaatan dari hukum disini, diukur dengan seberapa besar
kebahagiaan yang dapat diberikan hukum kepada manusia atau masyarakat.282
Kemudian, Rudolf von Jhering mengembangkan teori utilitarianisme ini dengan
menjelaskan bahwa “tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan”
yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan, tetapi
kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan “bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan
orang lain”.283
Dalam pandangan Jhering, tujuan hukum untuk memperoleh kebahagiaan atau
kemanfaatan yang sebesar-besarnya, hendaknya dihubungkan dengan kepentingan
sosial. Dalam pandangannya, hukum bertujuan untuk “mengejar kemanfaatan dan
280
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 22
H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), (Bandung: PT
Refika Aditama, 2010), hal. 44
282
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 117
283
Ibid., hal. 122
281
Universitas Sumatera Utara
89
menghindari kerugian, juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu
agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain”.284
Pandangan Rudolf von Jhering dalam teori utilitarianisme bersifat sosial
(social utilitarianism) karena penekanannya pada perlindungan kepentingankepentingan, sehingga kepentingan-kepentingan individu hendaknya dijadikan bagian
dari tujuan sosial dengan cara menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain.285 Pandangan ini dapat diterapkan dalam
pendirian Yayasan. Yayasan merupakan sebuah lembaga yang dapat menyalurkan
tujuan atau keinginan pribadi para pendiri yayasan untuk beramal. Ini sesuai dengan
pendapat seluruh organ yayasan dalam wawancara yang dilakukan bahwa:
pendirian yayasan merupakan perwujudan dari keinginan Pendiri Yayasan
untuk berbuat amal atau sosial.286
Inilah yang seharusnya menjadi motif pendirian yayasan sehingga kekayaan yayasan
pun dapat diperuntukkan hanya untuk tujuan yayasan yang bermotif amal, yaitu
dalam pencapaian maksud dan tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Undang-Undang Yayasan, demi tercapainya maksud dan tujuan yayasan di
bidang sosial, keagamaan dan kemanusian menetapkan berbagai peraturan agar
284
Bernard L. Tanya, et.al., op.cit., hal. 99
W. Friedmann 1, op.cit., hal. 123-124
286
Hasil wawancara dengan Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11
November 2016, Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016, Pengurus Harian
Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016,
Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada
tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina
Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
285
Universitas Sumatera Utara
90
kekayaan yayasan hanya diperuntukkan untuk tujuan-tujuan sosial tersebut. Selain
pengaturan mengenai tujuan yayasan, Undang-Undang Yayasan juga menetapkan
bahwa jika yayasan ingin melakukan kegiatan usaha, yayasan tidak dapat terlibat
langsung sebagai lembaga yang melakukan badan usaha, melainkan harus dengan
cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.287
Berdasarkan ketentuan ini, maka yayasan tidak secara langsung melakukan kegiatan
usaha, tetapi dengan cara mendirikan suatu badan usaha yang kegiatannya sesuai
dengan maksud dan tujuan yayasan.288 Mengenai pendirian badan usaha ini, UndangUndang Yayasan melarang rangkap jabatan para organ yayasan dengan jabatan dalam
badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan.289 Ini untuk memastikan tidak
ada
kepentingan-kepentingan
yayasan
yang
terbentur
dengan
kepentingan-
kepentingan badan usaha.
Larangan rangkap jabatan juga diterapkan dalam yayasan antara organ-organ
yayasan, dimana:
1. Anggota Pembina Yayasan tidak boleh merangkap sebagai anggota
Pengurus dan/atau anggota Pengawas Yayasan;290
2. Pengurus Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau
Pengawas Yayasan;291
287
Pasal 3 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
289
Pasal 7 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
290
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
291
Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
288
Universitas Sumatera Utara
91
3. Pengawas Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau
Pengurus Yayasan;292
Sama halnya dengan alasan dilarangnya perangkapan jabatan organ yayasan pada
jabatan dalam badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan, larangan untuk
merangkap jabatan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih
kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas
yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.293
Kemudian, untuk menjamin penggunaan kekayaan yayasan hanya pada tujuan
dan maksud yayasan, Undang-Undang Yayasan juga melarang pengalihan harta
kekayaan yayasan dalam bentuk apapun kepada para organ yayasan.294 Pelarangan
pengalihan ini juga ditetapkan pada hasil kegiatan usaha yayasan kepada para organ
yayasan.295
C.
Pengaturan
Yayasan
Larangan
Pembayaran
Honorarium
kepada
Pembina
Pembina Yayasan, sebagai bagian dari organ-organ yayasan, dilarang menerima
pengalihan kekayaan yayasan dalam bentuk apapun, termasuk honorarium. Dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, untuk lebih memastikan
dilaksanakannya peraturan ini, ditetapkan sanksi pidana, yang tidak ada dalam
292
Pasal 40 (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Penjelasan Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
294
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
295
Pasal 3 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
293
Universitas Sumatera Utara
92
rancangan awal Undang-Undang Yayasan, bagi pelanggar ketentuan ini.296 Larangan
ini beserta dengan sanksinya secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang
Yayasan, antara lain dalam:
1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Yayasan mengenai larangan pengalihan
atau pembagian kekayaan yayasan
Pasal tersebut menyatakan bahwa “kekayaan yayasan baik berupa uang,
barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan” berdasarkan
Undang-undang Yayasan, “dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun
honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada
Pembina, Pengurus dan Pengawas” Yayasan.297
Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa ketentuan ini
“dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan yayasan, termasuk
hasil kegiatan usaha yayasan, merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya
untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan,
sehingga seseorang yang menjadi anggota pembina, pengurus dan
pengawas yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah
atau honorarium”.298
296
Sanksi pidana ini merupakan usulan dari Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan
Undang-Undang tentang Yayasan: “Rapat Pansus Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001 dan Fraksi PDIP, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan: “Laporan Singkat Rapat Pansus RUU
tentang Yayasan”, tanggal 23 Mei 2001, hal. 3
297
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
298
Penjelasan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
93
Larangan ini adalah agar semua hasil yayasan digunakan demi pencapaian
tujuan yayasan299 sehingga yayasan tidak disalahgunakan untuk melakukan
money
laundering,
mencari
keuntungan,
menghindari
kewajiban
pembayaran pajak, memperkaya diri para organ-organ yayasan dan motifmotif lainnya300 yang di luar dari tujuan didirikannya yayasan.
Terdapat beberapa bentuk pengalihan yang ditentukan dalam UndangUndang Yayasan, yaitu:301
a. Gaji
Gaji adalah “upah kerja yang dibayar di waktu yang tetap, balas jasa
yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu
tertentu.”302
b. Upah
Upah adalah “uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa
atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk
mengerjakan sesuatu, hasil sebagai akibat dari suatu perbuatan.”303
299
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
300
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
301
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
302
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 432
303
Ibid., hal. 1787
Universitas Sumatera Utara
94
c. Honorarium
Honorarium adalah “upah sebagai imbalan jasa, upah di luar gaji.”304
d. Bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang
Undang-Undang Yayasan tidak memberikan penjelasan mengenai
bentuk lain (selain gaji, upah dan honorarium) yang dapat dinilai
dengan uang. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa bentuk lain ini
terkait dengan kekayaan yang merupakan milik yayasan baik dalam
bentuk benda bergerak seperti mobil maupun tidak bergerak seperti
tanah atau bangunan (yang dapat dinilai dengan uang) yang kemudian
beralih kepemilikannya kepada para organ yayasan.
Tidak adanya penjelasan yang jelas mengenai bentuk lain ini
memberikan keleluasaan untuk meninterpretasikan bentuk-bentuk
seperti apa saja yang termasuk dalam bentuk pengalihan kekayaan
yayasan.
Sebagai contoh, salah seorang responden menyatakan bahwa ia
menyewakan tanah miliknya kepada yayasan sehingga ia menerima
uang sewa tanah dari yayasan.305
Uang sewa tanah tersebut tentunya termasuk bentuk lain yang dapat
dinilai dengan uang. Akan tetapi, dalam hal ini, jelas ada perjanjian
antara responden tersebut dengan yayasan. Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Yayasan menyatakan bahwa yayasan “dilarang mengadakan
304
305
Ibid., hal. 555
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
Universitas Sumatera Utara
95
perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, Pembina,
Pengurus dan/atau Pengawas yayasan, atau seseorang yang bekerja
pada yayasan”.306 Pengecualian terhadap larangan ini hanya berlaku
jika “perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan
tujuan yayasan.”307 Responden ini adalah seorang Pembina Yayasan
sehingga ia termasuk orang yang dilarang mengadakan perjanjian
dengan yayasan. Akan tetapi, tanah yang responden ini sewakan
kepada yayasan digunakan yayasan untuk kegiatan usaha yayasan
dalam rangka mencapai tujuan sosial yayasan untuk mencerdaskan
bangsa. Sehingga, perlanggaran terhadap Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Yayasan tidak terjadi karena perjanjian yang dilakukan
responden termasuk dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 38
ayat (2) Undang-Undang Yayasan.
2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Yayasan mengenai pengecualian terhadap
larangan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan
Undang-Undang Yayasan menetapkan pengecualian pada larangan
pengalihan kekayaan yayasan yang diatur pada Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Yayasan terhadap Pengurus Yayasan.
306
Pasal 38 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
307
Pasal 38 (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
96
Pengecualian ini dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan dengan
ketentuan bahwa Pengurus Yayasan:308
a. bukan Pendiri Yayasan dan tidak ada hubungan keluarga karena
perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara
horizontal maupun vertikal dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas
Yayasan; dan
b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh (fulltime) sesuai dengan hari dan jam kerja yayasan, bukan bekerja paruh
waktu (part-time).
Maka, Pembina Yayasan tidak termasuk dalam pengecualian ini. Seorang
Pembina Yayasan mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai tujuan
yayasan sehingga menurut Henni Wijayanti,
pembina suatu yayasan seharusnya tidak mengharapkan bagian dari
kekayaan yayasan atas kontribusi yang ia berikan.309
Kemudian menurut Henry P. Panggabean,
pemberian suatu bentuk penghargaan atau dalam bentuk apapun yang
dapat dinilai dengan uang atas kontribusi yang diberikan Pembina
Yayasan merupakan suatu kejahatan yayasan.310
308
Pasal 5 (2) jo. Penjelasan Pasal 5 (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
309
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
310
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
Universitas Sumatera Utara
97
3. Pasal 70 Undang-Undang Yayasan mengenai sanksi pidana pelanggaran
ketentuan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan
Terhadap organ-organ yayasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 UndangUndang Yayasan mengenai pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan,
terdapat dua ketentuan pidana yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Yayasan, yaitu:311
a. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
b. pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau
kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Pengaturan-pengaturan tersebut berlaku terhadap organ-organ yayasan.
Pembina adalah salah satu organ dalam yayasan. Maka, pengaturan-pengaturan yang
melarang pembagian dan pengalihan harta kekayaan yayasan tersebut juga berlaku
pada Pembina Yayasan. Dari seluruh responden organ yayasan yang diwawancara,
terdapat empat responden yang mengaku tidak mengetahui adanya pengaturan
larangan ini.312 Menariknya, justru responden-responden ini tidak keberatan atas
adanya pengaturan larangan ini beserta dengan dua responden lainnya karena:
1. Kontribusi Pembina Yayasan sangat terbatas dan hanya berkala;313
2. Yayasan memiliki tujuan sosial, bukan tujuan komersil sehingga segalanya
disumbangkan secara tulus;314
311
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus
Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November
2016 dan Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23 November 2016
313
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016
314
Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016,
Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23
November 2016 dan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
312
Universitas Sumatera Utara
98
3. Larangan ini akan lebih mendukung ketulusan jiwa karena tidak ada yang
mengharapkan imbalan.315
Sedangkan dua responden lainnya menyatakan keberatannya karena
Pembina Yayasan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya yang sangat
membantu yayasan, sehingga seharusnya diberikan penghargaan yang layak.316
Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal pemberian penghargaan pada
Pembina Yayasan, seluruh responden setuju bahwa larangan ini tidak menghambat
perkembangan yayasan karena:
1. Berkembang tidaknya yayasan bergantung pada Pengurus Yayasan karena
para penguruslah yang melakukan kepengurusan yayasan;317
2. Yayasan didirikan dengan rela sehingga dari awal tidak mengharapkan
imbalan dari pendirian yayasan tersebut.318
Kesetujuan seluruh responden atas tidak terhambatnya kegiatan yayasan
dengan adanya pengaturan ini bukan bearti seluruh responden mematuhi peraturan
ini. Salah seorang responden mengakui bahwa
yayasannya memberikan penghargaan dalam bentuk uang transportasi yang
diberikan kepada pembina-pembina dalam yayasannya meskipun ia mengetahui
adanya larangan ini.319
315
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016 dan
Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016
317
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Ketua
Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21
November 2016
318
Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016,
Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23
November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina Yayasan H pada
tanggal 2 Desember 2016
319
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
316
Universitas Sumatera Utara
99
Pemberian ini hanya diberikan pada “saat Pembina Yayasan datang dalam rapat”
organ-organ
yayasan
untuk
membahas
kepentingan-kepentingan
yayasan.320
Terhadap larangan ini, responden menyatakan bahwa
ia “sangat keberatan karena Pembina Yayasan dalam yayasan kami tidak hanya
sekedar simbolis saja, tetapi benar-benar memberikan kontribusinya” untuk
kepentingan-kepentingan yayasan dalam rapat yayasan berupa “pemikiranpemikiran yang sangat membantu yayasan”.321
Undang-Undang Yayasan memang mewajibkan yayasan untuk “membayar
segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka
menjalankan tugas yayasan”.322 Meskipun demikian, tidak adanya pengaturan jelas
mengenai
cara
perhitungan
pembayaran
ini
menyebabkan
yayasan
dapat
menggunakannya sebagai salah satu cara untuk mengalihkan kekayaan yayasan
kepada organ yayasan. Ini jelas terlihat dari salah seorang responden yang mengaku
yayasannya memberikan suatu bentuk penghargaan dalam bentuk uang transportasi
kepada pembina-pembina yayasan yang hadir dalam rapat.323
Mengenai pemberian penghargaan dalam bentuk apapun yang dapat dinilai
dengan uang, kedua ahli hukum yang diwawancara sependapat bahwa apapun alasan
dan bentuknya, pemberian penghargaan seperti ini tidak dapat disetujui. Henry P.
Panggabean berpendapat bahwa
320
Ibid.
Ibid.
322
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
323
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
321
Universitas Sumatera Utara
100
“pemberian penghargaan atas kontribusi bagi pembina adalah tergolong
kejahatan yayasan sehingga tidak layak bagi seorang pembina untuk mendapat
honorarium.”324
Kemudian, Henni Wijayanti menyatakan bahwa
kekayaan yayasan seharusnya digunakan “untuk kepentingan yayasan
sepenuhnya dan tidak untuk diberikan kepada pembina yang merupakan
pendiri atau orang yang mempunyai dedikasi untuk melakukan kegiatan
sosial.”325
Ini karena dari semula, Pembina Yayasan “memahami bahwa keputusannya
mendirikan yayasan atau menjadi pembina suatu yayasan adalah tidak
mengharapkan keuntungan atau bagian dari kekayaan yayasan.”326
Sedangkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, perlu
diketahui bahwa bahkan sebelum adanya Rancangan Undang-Undang mengenai
Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001, salah satu fraksi
Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Fraksi Reformasi, telah mengusulkan hasil usaha
bagi pengurus Yayasan.327 Usulan ini kemudian ditarik kembali oleh Fraksi
Reformasi karena perumusan mengenai larangan pengalihan kekayaan dalam
Rancangan Undang-Undang Yayasan telah sesuai dengan jiwa yayasan yang “tidak
boleh sama sekali mengambil keuntungan” bagi organ-organnya.328
324
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
325
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
326
Ibid.
327
Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Laporan Singkat
Rapat Pansus RUU tentang Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001
328
Fraksi Reformasi (Askin), Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Rapat
Pansus Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001
Universitas Sumatera Utara
101
Akan tetapi, untuk mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum dalam
masyarakat, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, diatur
pengecualian atas Pengurus Yayasan agar pengurus “dapat diberikan gaji, upah atau
honorarium, dengan persyaratan pengurus bukan pendiri, pembina dan pengawas, dan
melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.”329 Pengecualian
ini dijelaskan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR RI tertanggal 7 September
2004 adalah dikarenakan “Pengurus Yayasan adalah Organ Yayasan yang
melaksanakan kepengurusan (operasional) Yayasan dan bertanggung jawab penuh
atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak
mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”330
Pengecualian ini juga dikatakan sudah tepat menurut seluruh responden organorgan yayasan karena:
1. Pengurus Yayasan berperan aktif dalam kesehariannya melaksanakan
kepengurusan yayasan;331
2. Pengurus Yayasan memiliki tanggung jawab yang besar, bahkan hingga ke
harta pribadinya dalam hal kepailitan;332
329
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4
330
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4
331
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus
Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November
2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F
pada tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina
Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
332
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
Universitas Sumatera Utara
102
Para ahli hukum yang diwawancara juga sependapat bahwa pengecualian ini
perlu diatur “untuk mendukung pengurus harian dalam menjalankan tugas fulltimer”333 dan “sebagai stimulus dan penghargaan atas kinerja” Pengurus Yayasan
yang “mengelola dan memajukan yayasan”.334
D.
Keterkaitan Eksistensi Yayasan dengan
Honorarium kepada Pembina Yayasan
Pelarangan
Pembayaran
Menurut Anwar Boharima, pendirian yayasan dilakukan oleh “seseorang atau
beberapa orang dengan memisahkan suatu harta dari seseorang atau beberapa orang
pendirinya, dengan tujuan idiil atau sosial yang tidak mencari keuntungan”.335 Tujuan
idiil atau tujuan sosial ini oleh para pakar umumnya diartikan sebagai tujuan amal.336
Arie Kusumastuti M. Suhardiadi berpendapat bahwa “keberadaan yayasan merupakan
suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga
yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”337 Maka jelas
bahwa yayasan didirikan dengan memisahkan kekayaan para pendirinya untuk
kemudian digunakan dalam tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
333
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
334
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
335
Anwar Borahima, op.cit., hal. 19
336
Ibid., hal. 121
337
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Abadi, 2003),
hal. 1
Universitas Sumatera Utara
103
Yayasan memerlukan alat perlengkapan yang dapat melakukan perbuatan
hukum untuk dan atas nama yayasan mencapai tujuan dan maksud yayasan. Alat
perlengkapan ini disebut sebagai organ yayasan yang terdiri atas Pembina, Pengurus
dan Pengawas Yayasan.338 Maka, terkait dengan tujuan dan maksud yayasan yang
diwakili oleh para organ yayasan, apapun yang dilakukan oleh organ-organ yayasan
dapat dilihat sebagai perbuatan amal.339
Berikut ini adalah kriteria-kriteria yayasan yang bertujuan sosial menurut F.
Emerson Andrews:340
1.
2.
3.
4.
5.
Non-governmental
Non-profit
Possessing a principal fund of its own
Managed by its own trustees and directors
Promotes social, educational, charitable, religious or other activities
serving the common welfare
Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan pada yayasan di Indonesia yang
unsur-unsurnya tercantum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan yang
menyatakan bahwa “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”341 Sehingga dapat
disimpulkan tiga unsur-unsur yayasan sebagai berikut:
338
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Henry P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset
Keagamaan) dan Upaya Penanganan Sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:
Permata Aksara, 2012), hal. 40
340
F. Emerson Andrews, op.cit., hal. 11
341
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
339
Universitas Sumatera Utara
104
1. Badan hukum yang memiliki kekayaannya sendiri;
2. Tidak memiliki anggota, melainkan diurus dan diwakili oleh organ-organ
yayasan;
3. Memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga
merupakan lembaga yang nirlaba karena ia social oriented, bukan profit
oriented.
Kriteria dan unsur yayasan yang bertujuan sosial ini sesuai dengan prinsipprinsip yayasan yang diungkapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara
lain:342
1.
2.
3.
4.
yayasan adalah badan hukum;
yayasan adalah lembaga yang tujuannya amal (charity);
yayasan adalah lembaga dengan tujuan nirlaba (non profit);
yayasan adalah lembaga yang tujuannya sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Tentunya terdapat alasan-alasan yang mendasari seseorang atau beberapa
orang mendirikan yayasan yang memiliki tujuan sosial. Menurut Robert Clifton
Weaver, terdapat empat alasan dilakukannya kegiatan yang bertujuan sosial, antara
lain:343
1. Tindakan yang Altruistis (altruistic behaviour)
Tindakan
yang
altruistis
adalah
tindakan-tindakan
yang
bersifat
mendahulukan kepentingan orang lain.344 Tindakan atau kelakuan yang
342
Suherman Toha, et.al., op.cit., hal. 132
Development Assistance Committee, op.cit., hal. 12-14
344
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 44
343
Universitas Sumatera Utara
105
altruistis merupakan perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia untuk
melindungi sesamanya.345
2. Kebanggaan (pride)
Seorang yang memiliki kekayaan berlebih dapat mendirikan sebuah
lembaga yang dapat diingat sebagai kedermawanannya, serta perhatiannya
pada kesejahteraan umum.346 Yayasan dapat menjadi salah satu pilihan
lembaga yang didirikan.
3. Kewajiban dari Kepercayaan atau Agama yang Dianut (religion duty)
Agama atau kepercayaan merupakan dorongan yang paling nyata dalam
melakukan
kegiatan
sosial.
kepercayaan-kepercayaan
di
Sebagian
dunia
besar
agama-agama
memerintahkan
umatnya
atau
untuk
melakukan kegiatan amal, membebaskan kemiskinan dan penderitaan, serta
menyambut orang yang baru dikenal.347 Sebagai contoh adalah agama
Islam yang penganutnya paling banyak di Indonesia memiliki kewajiban
zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau
badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai
dengan syariat Islam.348 Tata cara perhitungan zakat ini bahkan telah diatur
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan
345
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 12
Ibid., hal. 13
347
Ibid.
348
Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
346
Universitas Sumatera Utara
106
Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan
Zakat untuk Usaha Produktif.
4. Kepentingan Pribadi (self interest)
Terdapat beragam kepentingan pribadi sebagai alasan dari dilakukannya
kegiatan sosial. Salah satu kepentingan pribadi yang paling mencolok
adalah dalam hal pajak.349
Dari keempat alasan yang dikemukakan oleh Robert Clifton Waver,
kepentingan pribadi sebagai alasan dilakukannya kegiatan sosial merupakan yang
ingin dihindari oleh Undang-Undang Yayasan. Yayasan, oleh karena didirikan
dengan alasan kepentingan pribadi telah menyimpang dari tujuan semula penciptaan
badan hukum yayasan, seperti penggunaannya untuk memperkaya diri sendiri atau
organ-organ yayasan, menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai suatu
lembaga pendidikan untuk selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh
berbagai fasilitas dari negara dan penguasa, serta berbagai tujuan lainnya.350 Menurut
Henni Wijayanti,
adanya pelarangan pembagian atau pengalihan harta kekayaan yayasan kepada
para organ yayasan, termasuk Pembina Yayasan, adalah “untuk menghindari
motif-motif lain selain motif sosial (charity)”.351
349
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 14
Chatamarrasjid Ais 2, op.cit., hal. 2
351
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
350
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 5/PUU-XIII/2015
A.
Kronologi Kasus
Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie berdasarkan Akta
Yayasan Nomor 1 tertanggal 13 Juni 2014, mengajukan permohonan untuk menguji
dua pasal mengenai penerimaan honorarium dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan pada tanggal 24 November 2014 yang diterima oleh Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2014 berdasarkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Nomor 320.5/PAN.MK/2015 dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2015 dengan Nomor 5/PUUXIII/2015, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 27 Januari 2015 setelah sebelumnya diadakan Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan pada tanggal 22 Januari 2015. Kemudian, Sidang Perbaikan
Permohonan dilangsungkan pada tanggal 5 Februari 2015.
1.
Keterangan Pemohon Dahlan Pido
Adapun pasal-pasal yang dimohon pengujiannya oleh Dahlan Pido adalah:352
352
Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Perbaikan Permohonan (II)”,
tanggal 5 Februari 2015 dan Salinan Putusan Nomor 5/PUU-XIII/2015
107
Universitas Sumatera Utara
108
a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:
(1) Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain
yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang
dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik
dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.
(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa pengurus menerima
gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a. bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina,
dan pengawas; dan
b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.
b. Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:
(1) Setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban
mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan
atau dibagikan.
Dahlan Pido, sebagai pemohon, merasa bahwa adanya pasal-pasal dalam
Undang-Undang Yayasan yang melarang penerimaan honorarium oleh Pembina dan
Pengawas Yayasan, serta
LARANGAN PEMBAYARAN HONORARIUM KEPADA
PEMBINA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
A.
Kekayaan Yayasan
Yayasan, menurut Undang-Undang Yayasan, memiliki kekayaan tersendiri
yang “dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan”.245 Kekayaan tersebut merupakan kekayaan yang telah
menjadi milik Yayasan sehingga terpisah dari kekayaan pribadi para pendiri dan
organ-organ yayasan. Akibatnya, para pendiri yayasan dan organ-organ yayasan tidak
akan mendapat manfaat apapun dari kekayaan yayasan dan hasil kekayaan dari
kegiatan usaha yayasan.246
Pada saat didirikannya yayasan, yayasan memiliki kekayaan awal yang berasal
dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang.247 Kekayaan
awal ini berasal dari kekayaan para pendiri yang dipisahkan darinya sehingga menjadi
bukan milik para pendiri tersebut lagi, melainkan menjadi milik yayasan. Kekayaan
awal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
245
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 44
247
Pasal 26 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
246
77
Universitas Sumatera Utara
78
Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (untuk
selanjutnya, kedua peraturan ini akan disingkat sebagai Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Yayasan).
Dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, dicantumkan
bahwa kekayaan awal yayasan jika didirikan oleh Warga Negara Indonesia paling
sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan paling sedikit senilai
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) jika didirikan oleh Warga Negara Asing atau
Warga Negara Asing bersama dengan Warga Negara Indonesia.248
Selain kekayaan awal yayasan yang dimiliki yayasan pada saat pendiriannya,
Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Yayasan menentukan bahwa kekayaan yayasan
juga dapat diperoleh dari:249
1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat
Undang-Undang Yayasan tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
sumbangan maupun bantuan yang tidak mengikat. Akan tetapi, dapat
diartikan bahwa sumbangan adalah “pemberian sebagai bantuan”250 kepada
yayasan. Pemberian bantuan ini tidak mengikat dalam arti merupakan suatu
pemberian yang “tidak menimbulkan hak dan/atau kewajiban dalam bentuk
apapun secara langsung maupun tidak langsung, baik bagi pihak penerima
(dalam hal ini, yayasan) maupun bagi pihak pemberi, baik sebelum maupun
248
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan
249
Pasal 26 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
250
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 1550
Universitas Sumatera Utara
79
pada saat dan/atau sesudah pemberian bantuan”.251 Ini sesuai dengan
pernyataan pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat adalah “sumbangan sukarela” sehingga tidak “mengakibatkan
keterikatan yayasan untuk memenuhi komitmen tertentu yang pada
akhirnya akan menghilangkan status yayasan sebagai pranata sosial,
keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat mandiri”.252
Kemudian, pemberi bantuan berupa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat dapat dilihat dari penjelasan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang
Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat adalah “sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan,
baik dari negara, masyarakat, maupun dari pihak lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.253
Jelas terdapat tiga kategori pemberi bantuan menurut Undang-Undang
Yayasan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Negara
Bantuan dari negara disebut juga dengan bantuan pemerintah. Bantuan
yang berasal dari negara atau pemerintah dilakukan sesuai dengan jiwa
251
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 45
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Jawaban Pemerintah
atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Rebuplik Indonesia terhadap
Rancangan Undang-Undang Yayasan” tanggal 12 September 2000, hal. 6
253
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
252
Universitas Sumatera Utara
80
ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:254
1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara
2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan
3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang
Kemudian, negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan dalam
hal-hal tertentu, antara lain jika Yayasan yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:255
1) Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan:
Yayasan
didirikan
oleh
Warga
Negara
Indonesia
“yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.”
2) Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan:
“Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang
menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah.”
254
Penjelasan Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal
34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
255
Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal 20 (1) dan
Pasal 21 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
81
b. Masyarakat
Sumbangan yang berasal dari masyarakat dapat diinterpretasikan
sebagai sumbangan yang berasal dari Warga Negara Indonesia (orang
perorangan) atau lembaga-lembaga yang berkedudukan di Indonesia.
c. Pihak lain
Pihak lain dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sumbangan
yang berasal dari Warga Negara Asing (orang perorangan) ataupun
lembaga-lembaga yang tidak berkedudukan di Indonesia. Biasanya
dikenal dengan sebutan bantuan luar negeri.
2. Wakaf
Wakaf dapat berasal dari orang atau dari badan hukum.256 Jika kekayaan
yayasan berasal dari wakaf, maka berlakulah hukum perwakafan.257 Dalam
hal ini, hukum yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan
Undang-Undang tentang Wakaf tersebut. Pasal 1 angka (1) UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendefinisikan wakaf
sebagai “perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya)258 untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
256
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 26 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
258
Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
257
Universitas Sumatera Utara
82
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah”.
3. Hibah
Sama halnya dengan wakaf, hibah juga dapat berasal dari orang atau dari
badan hukum.259 Pengaturan mengenai hibah diatur dalam KUHPer pada
Buku Ketiga tentang Perikatan pada Bab X tentang Hibah. Pengertian
hibah dapat ditemukan dalam Pasal 1666 paragraf pertama KUHPer yaitu:
“suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu masa hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.”
Kemudian, persyaratan hibah diatur lebih lanjut dalam Pasal 1666 paragraf
kedua KUHPer dan Pasal 1667 paragraf pertama KUHPer yang
menyatakan bahwa pemberi hibah dan penerima hibah hanyalah diantara
“orang-orang yang masih hidup” dan hanya mengenai “benda-benda yang
sudah ada”. Dalam hal penerima hibah adalah yayasan, “orang-orang yang
masih hidup” dapat diinterpretasikan sebagai yayasan yang masih berdiri.
4. Hibah wasiat
Pengaturan mengenai hibah wasiat diatur dalam KUHPer pada Buku
Kedua tentang Kebendaan pada Bab XIII tentang Surat Wasiat. Pasal 957
KUHPer mendefinisikan hibah wasiat sebagai:
“suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang
mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang259
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
83
barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barangbarang yang bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.”
Kemudian, Pasal 958 KUHPer menentukan bahwa pemberian hak kepada
penerima hibah wasiat terjadi “semenjak hari meninggalnya” si pemberi
hibah wasiat, dan hak tersebut menurun kepada ahli waris atau pengganti
penerima haknya.
Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan sebagai penerima
hibah wasiat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris.260
Di Indonesia, terdapat tiga sistem hukum kewarisan, yaitu:261
a. Sistem hukum kewarisan barat berdasarkan KUHPer dalam hal si
pewaris menganut hukum kewarisan barat;
b. Sistem hukum kewarisan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan beberapa
hadis serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam hal pewaris
beragama Islam dan menganut sistem hukum kewarisan Islam;
c. Sistem hukum kewarisan adat berdasarkan hukum adat yang berlaku
bagi masing-masing pewaris yang menganut hukum adat tertentu dan
tidak menggunakan sistem hukum barat dan sistem hukum Islam.
Ketentuan hukum waris tentunya berbeda-beda tergantung pada sistem
hukum kewarisan yang dianut. Dalam hal hibah wasiat yang diterapkan
dalam perolehan kekayaan menurut Undang-Undang Yayasan, sistem
kewarisan yang dianut adalah ketentuan hibah wasiat yang sesuai dengan
hukum waris yang berlaku dan yang digunakan oleh si pewaris atau
pemberi hibah wasiat.262
260
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 50
262
Ibid., hal. 50
261
Universitas Sumatera Utara
84
5. Perolehan lain
Perolehan lain menurut Undang-Undang Yayasan merupakan:263
a. Dividen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dividen adalah “keuntungan
perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham.”264 Ini sesuai
dengan pengertian dividend (dividen) dalam Black’s Law Dictionary,
yaitu “a portion of a company’s earnings or profits distributed pro rata
to its shareholders usually in the form of cash or additional shares.”265
Dari kedua definisi tersebut, jelas bahwa dividen sebagai salah satu
bentuk perolehan yayasan hanya dapat diterima oleh yayasan jika
yayasan adalah salah satu pemegang saham sebuah perusahaan yang
akan membagikan keuntungannya kepada para pemegang saham.
Maka, dividen sebagai salah satu perolehan lain yang dapat diterima
oleh Yayasan memberikan pengertian bahwa Undang-Undang Yayasan
tidak melarang yayasan untuk menginvestasikan kekayaannya pada
perusahaan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan.
Dalam hal ini, yayasan dapat menginvestasikan kekayaannya pada
perusahaan dengan cara ikut serta dalam suatu badan usaha sebagai
pemegang saham perusahaan tersebut agar dapat menerima dividen dari
hasil badan usaha yang bersangkutan. Syarat penyertaan semacam ini
263
Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 360
265
Bryan A. Garner, op.cit., hal. 547
264
Universitas Sumatera Utara
85
paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan
yayasan.266
b. Bunga tabungan bank
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari, terdapat dua macam bunga yang
diberikan kepada nasabah bank, yaitu bunga simpanan dan bunga
pinjaman.267 Dari kedua jenis bunga bank tersebut, yang dimaksud
dengan bunga tabungan bank sebagai salah satu perolehan kekayaan
yayasan oleh Undang-Undang Yayasan adalah bunga simpanan yang
memberikan balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di
bank.268 Dalam hal ini, Yayasan adalah nasabah bank yang menyimpan
kekayaannya di bank sehingga mendapatkan balas jasa dari bank.
c. Sewa gedung
Menurut Arie Kusumastuti M. Suhardiadi, Undang-Undang Yayasan
“tidak melarang yayasan yang memiliki gedung untuk menyewakan
gedungnya kepada pihak lain”.269 Ia kemudian juga menjelaskan
mengenai sub sewa (sub lease).270 Menurutnya, “penerimaan atas hasil
sub sewa dapat dipersamakan dengan hasil sewa”.271 Maka,
266
Pasal 7 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hal. 121
268
Ibid.
269
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 53
270
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi menyatakan bahwa sewa gedung yang merupakan sub
sewa adalah “sewa atas gedung yang disewa yayasan dari pihak lain dan kemudian disewakan kembali
kepada pihak lain.” (Ibid.)
271
Ibid., hal. 54
267
Universitas Sumatera Utara
86
berdasarkan pendapat tersebut, sewa gedung sebagai perolehan
kekayaan yayasan dapat diperoleh yayasan dengan dua cara, yaitu:
1) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang
dimiliki oleh yayasan.
2) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang
bukan milik yayasan, melainkan gedung yang yayasan sewa dari
pihak lain.
d. Perolehan dari hasil usaha yayasan
Perolehan kekayaan dari hasil usaha yayasan dapat diperoleh yayasan
dengan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan
maksud dan tujuan yayasan.272 Kegiatan usaha dari badan usaha
tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.273 Kegiatan-kegiatan usaha yang
dimaksud Undang-Undang Yayasan ini memiliki cakupan yang luas,
antara lain mencakup hak asasi manusia, kesenian, olahraga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan
ilmu pengetahuan.274
Seluruh harta kekayaan yayasan, baik yang merupakan kekayaan awal maupun
kekayaan yang diperoleh yayasan melalui sumbangan atau bantuan yang tidak
272
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
274
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
273
Universitas Sumatera Utara
87
mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat dan perolehan lain yang telah dijabarkan diatas,
hanya dapat dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
B.
Peruntukkan dari Penggunaan Kekayaan Yayasan
Penggunaan kekayaan yayasan dibatasi oleh Undang-Undang Yayasan yaitu
“diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.”275 Tujuan-tujuan tersebut menunjukkan bahwa yayasan tidak memiliki
tujuan untuk mencari keuntungan, melainkan tujuan yang sosial.
Sosial artinya “berkenaan dengan masyarakat”.276 Kemudian, sosial juga dapat
berarti “suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan
sebagainya)”.277 Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
yayasan yang memiliki tujuan sosial adalah yayasan yang tujuannya berkenaan
dengan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum. Ini sejalan dengan
pandangan F. Emerson Andrews mengenai yayasan, yaitu “instrument for the
contribution of private wealth to public purpose.”278 Pandangan F.Emerson Andrews
yang menyatakan yayasan sebagai sebuah alat atau cara untuk memberikan kontribusi
dari kekayaan pribadi untuk kepentingan umum279 ini juga sejalan dengan pendapat
Arie Kusumastuti M. Suhardiadi yang menyatakan bahwa “yayasan bukan lapangan
275
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 1496
277
Ibid.
278
F. Emerson Andrews, American Foundation for Social Welfare, dalam Shelby M.
Harrison, op.cit., hal. 107
279
Ibid.
276
Universitas Sumatera Utara
88
untuk berusaha, tetapi lebih merupakan sarana dan wahana untuk melaksanakan
kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”280
Penggunaan kekayaan yayasan untuk tujuan sosial ini jelas ditujukan untuk
kepentingan dan kemanfaatan umum. Sehingga, dapat dihubungkan dengan teori
kemanfaatan (teori utilitarianisme) yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Teori ini
meyakini bahwa “hukum berfungsi untuk memberikan manfaat yang sebesarnya
kepada jumlah orang terbanyak.”281 Maka, kemanfaatan diletakkan sebagai tujuan
utama hukum. Kemanfaatan dari hukum disini, diukur dengan seberapa besar
kebahagiaan yang dapat diberikan hukum kepada manusia atau masyarakat.282
Kemudian, Rudolf von Jhering mengembangkan teori utilitarianisme ini dengan
menjelaskan bahwa “tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan”
yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan, tetapi
kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan “bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan
orang lain”.283
Dalam pandangan Jhering, tujuan hukum untuk memperoleh kebahagiaan atau
kemanfaatan yang sebesar-besarnya, hendaknya dihubungkan dengan kepentingan
sosial. Dalam pandangannya, hukum bertujuan untuk “mengejar kemanfaatan dan
280
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 22
H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), (Bandung: PT
Refika Aditama, 2010), hal. 44
282
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 117
283
Ibid., hal. 122
281
Universitas Sumatera Utara
89
menghindari kerugian, juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu
agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain”.284
Pandangan Rudolf von Jhering dalam teori utilitarianisme bersifat sosial
(social utilitarianism) karena penekanannya pada perlindungan kepentingankepentingan, sehingga kepentingan-kepentingan individu hendaknya dijadikan bagian
dari tujuan sosial dengan cara menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain.285 Pandangan ini dapat diterapkan dalam
pendirian Yayasan. Yayasan merupakan sebuah lembaga yang dapat menyalurkan
tujuan atau keinginan pribadi para pendiri yayasan untuk beramal. Ini sesuai dengan
pendapat seluruh organ yayasan dalam wawancara yang dilakukan bahwa:
pendirian yayasan merupakan perwujudan dari keinginan Pendiri Yayasan
untuk berbuat amal atau sosial.286
Inilah yang seharusnya menjadi motif pendirian yayasan sehingga kekayaan yayasan
pun dapat diperuntukkan hanya untuk tujuan yayasan yang bermotif amal, yaitu
dalam pencapaian maksud dan tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Undang-Undang Yayasan, demi tercapainya maksud dan tujuan yayasan di
bidang sosial, keagamaan dan kemanusian menetapkan berbagai peraturan agar
284
Bernard L. Tanya, et.al., op.cit., hal. 99
W. Friedmann 1, op.cit., hal. 123-124
286
Hasil wawancara dengan Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11
November 2016, Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016, Pengurus Harian
Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016,
Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada
tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina
Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
285
Universitas Sumatera Utara
90
kekayaan yayasan hanya diperuntukkan untuk tujuan-tujuan sosial tersebut. Selain
pengaturan mengenai tujuan yayasan, Undang-Undang Yayasan juga menetapkan
bahwa jika yayasan ingin melakukan kegiatan usaha, yayasan tidak dapat terlibat
langsung sebagai lembaga yang melakukan badan usaha, melainkan harus dengan
cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.287
Berdasarkan ketentuan ini, maka yayasan tidak secara langsung melakukan kegiatan
usaha, tetapi dengan cara mendirikan suatu badan usaha yang kegiatannya sesuai
dengan maksud dan tujuan yayasan.288 Mengenai pendirian badan usaha ini, UndangUndang Yayasan melarang rangkap jabatan para organ yayasan dengan jabatan dalam
badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan.289 Ini untuk memastikan tidak
ada
kepentingan-kepentingan
yayasan
yang
terbentur
dengan
kepentingan-
kepentingan badan usaha.
Larangan rangkap jabatan juga diterapkan dalam yayasan antara organ-organ
yayasan, dimana:
1. Anggota Pembina Yayasan tidak boleh merangkap sebagai anggota
Pengurus dan/atau anggota Pengawas Yayasan;290
2. Pengurus Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau
Pengawas Yayasan;291
287
Pasal 3 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
289
Pasal 7 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
290
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
291
Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
288
Universitas Sumatera Utara
91
3. Pengawas Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau
Pengurus Yayasan;292
Sama halnya dengan alasan dilarangnya perangkapan jabatan organ yayasan pada
jabatan dalam badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan, larangan untuk
merangkap jabatan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih
kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas
yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.293
Kemudian, untuk menjamin penggunaan kekayaan yayasan hanya pada tujuan
dan maksud yayasan, Undang-Undang Yayasan juga melarang pengalihan harta
kekayaan yayasan dalam bentuk apapun kepada para organ yayasan.294 Pelarangan
pengalihan ini juga ditetapkan pada hasil kegiatan usaha yayasan kepada para organ
yayasan.295
C.
Pengaturan
Yayasan
Larangan
Pembayaran
Honorarium
kepada
Pembina
Pembina Yayasan, sebagai bagian dari organ-organ yayasan, dilarang menerima
pengalihan kekayaan yayasan dalam bentuk apapun, termasuk honorarium. Dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, untuk lebih memastikan
dilaksanakannya peraturan ini, ditetapkan sanksi pidana, yang tidak ada dalam
292
Pasal 40 (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Penjelasan Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
294
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
295
Pasal 3 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
293
Universitas Sumatera Utara
92
rancangan awal Undang-Undang Yayasan, bagi pelanggar ketentuan ini.296 Larangan
ini beserta dengan sanksinya secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang
Yayasan, antara lain dalam:
1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Yayasan mengenai larangan pengalihan
atau pembagian kekayaan yayasan
Pasal tersebut menyatakan bahwa “kekayaan yayasan baik berupa uang,
barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan” berdasarkan
Undang-undang Yayasan, “dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun
honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada
Pembina, Pengurus dan Pengawas” Yayasan.297
Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa ketentuan ini
“dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan yayasan, termasuk
hasil kegiatan usaha yayasan, merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya
untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan,
sehingga seseorang yang menjadi anggota pembina, pengurus dan
pengawas yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah
atau honorarium”.298
296
Sanksi pidana ini merupakan usulan dari Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan
Undang-Undang tentang Yayasan: “Rapat Pansus Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001 dan Fraksi PDIP, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan: “Laporan Singkat Rapat Pansus RUU
tentang Yayasan”, tanggal 23 Mei 2001, hal. 3
297
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
298
Penjelasan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
93
Larangan ini adalah agar semua hasil yayasan digunakan demi pencapaian
tujuan yayasan299 sehingga yayasan tidak disalahgunakan untuk melakukan
money
laundering,
mencari
keuntungan,
menghindari
kewajiban
pembayaran pajak, memperkaya diri para organ-organ yayasan dan motifmotif lainnya300 yang di luar dari tujuan didirikannya yayasan.
Terdapat beberapa bentuk pengalihan yang ditentukan dalam UndangUndang Yayasan, yaitu:301
a. Gaji
Gaji adalah “upah kerja yang dibayar di waktu yang tetap, balas jasa
yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu
tertentu.”302
b. Upah
Upah adalah “uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa
atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk
mengerjakan sesuatu, hasil sebagai akibat dari suatu perbuatan.”303
299
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
300
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
301
Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
302
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 432
303
Ibid., hal. 1787
Universitas Sumatera Utara
94
c. Honorarium
Honorarium adalah “upah sebagai imbalan jasa, upah di luar gaji.”304
d. Bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang
Undang-Undang Yayasan tidak memberikan penjelasan mengenai
bentuk lain (selain gaji, upah dan honorarium) yang dapat dinilai
dengan uang. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa bentuk lain ini
terkait dengan kekayaan yang merupakan milik yayasan baik dalam
bentuk benda bergerak seperti mobil maupun tidak bergerak seperti
tanah atau bangunan (yang dapat dinilai dengan uang) yang kemudian
beralih kepemilikannya kepada para organ yayasan.
Tidak adanya penjelasan yang jelas mengenai bentuk lain ini
memberikan keleluasaan untuk meninterpretasikan bentuk-bentuk
seperti apa saja yang termasuk dalam bentuk pengalihan kekayaan
yayasan.
Sebagai contoh, salah seorang responden menyatakan bahwa ia
menyewakan tanah miliknya kepada yayasan sehingga ia menerima
uang sewa tanah dari yayasan.305
Uang sewa tanah tersebut tentunya termasuk bentuk lain yang dapat
dinilai dengan uang. Akan tetapi, dalam hal ini, jelas ada perjanjian
antara responden tersebut dengan yayasan. Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Yayasan menyatakan bahwa yayasan “dilarang mengadakan
304
305
Ibid., hal. 555
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
Universitas Sumatera Utara
95
perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, Pembina,
Pengurus dan/atau Pengawas yayasan, atau seseorang yang bekerja
pada yayasan”.306 Pengecualian terhadap larangan ini hanya berlaku
jika “perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan
tujuan yayasan.”307 Responden ini adalah seorang Pembina Yayasan
sehingga ia termasuk orang yang dilarang mengadakan perjanjian
dengan yayasan. Akan tetapi, tanah yang responden ini sewakan
kepada yayasan digunakan yayasan untuk kegiatan usaha yayasan
dalam rangka mencapai tujuan sosial yayasan untuk mencerdaskan
bangsa. Sehingga, perlanggaran terhadap Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Yayasan tidak terjadi karena perjanjian yang dilakukan
responden termasuk dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 38
ayat (2) Undang-Undang Yayasan.
2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Yayasan mengenai pengecualian terhadap
larangan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan
Undang-Undang Yayasan menetapkan pengecualian pada larangan
pengalihan kekayaan yayasan yang diatur pada Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Yayasan terhadap Pengurus Yayasan.
306
Pasal 38 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
307
Pasal 38 (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Universitas Sumatera Utara
96
Pengecualian ini dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan dengan
ketentuan bahwa Pengurus Yayasan:308
a. bukan Pendiri Yayasan dan tidak ada hubungan keluarga karena
perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara
horizontal maupun vertikal dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas
Yayasan; dan
b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh (fulltime) sesuai dengan hari dan jam kerja yayasan, bukan bekerja paruh
waktu (part-time).
Maka, Pembina Yayasan tidak termasuk dalam pengecualian ini. Seorang
Pembina Yayasan mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai tujuan
yayasan sehingga menurut Henni Wijayanti,
pembina suatu yayasan seharusnya tidak mengharapkan bagian dari
kekayaan yayasan atas kontribusi yang ia berikan.309
Kemudian menurut Henry P. Panggabean,
pemberian suatu bentuk penghargaan atau dalam bentuk apapun yang
dapat dinilai dengan uang atas kontribusi yang diberikan Pembina
Yayasan merupakan suatu kejahatan yayasan.310
308
Pasal 5 (2) jo. Penjelasan Pasal 5 (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
309
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
310
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
Universitas Sumatera Utara
97
3. Pasal 70 Undang-Undang Yayasan mengenai sanksi pidana pelanggaran
ketentuan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan
Terhadap organ-organ yayasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 UndangUndang Yayasan mengenai pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan,
terdapat dua ketentuan pidana yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Yayasan, yaitu:311
a. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
b. pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau
kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Pengaturan-pengaturan tersebut berlaku terhadap organ-organ yayasan.
Pembina adalah salah satu organ dalam yayasan. Maka, pengaturan-pengaturan yang
melarang pembagian dan pengalihan harta kekayaan yayasan tersebut juga berlaku
pada Pembina Yayasan. Dari seluruh responden organ yayasan yang diwawancara,
terdapat empat responden yang mengaku tidak mengetahui adanya pengaturan
larangan ini.312 Menariknya, justru responden-responden ini tidak keberatan atas
adanya pengaturan larangan ini beserta dengan dua responden lainnya karena:
1. Kontribusi Pembina Yayasan sangat terbatas dan hanya berkala;313
2. Yayasan memiliki tujuan sosial, bukan tujuan komersil sehingga segalanya
disumbangkan secara tulus;314
311
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus
Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November
2016 dan Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23 November 2016
313
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016
314
Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016,
Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23
November 2016 dan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
312
Universitas Sumatera Utara
98
3. Larangan ini akan lebih mendukung ketulusan jiwa karena tidak ada yang
mengharapkan imbalan.315
Sedangkan dua responden lainnya menyatakan keberatannya karena
Pembina Yayasan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya yang sangat
membantu yayasan, sehingga seharusnya diberikan penghargaan yang layak.316
Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal pemberian penghargaan pada
Pembina Yayasan, seluruh responden setuju bahwa larangan ini tidak menghambat
perkembangan yayasan karena:
1. Berkembang tidaknya yayasan bergantung pada Pengurus Yayasan karena
para penguruslah yang melakukan kepengurusan yayasan;317
2. Yayasan didirikan dengan rela sehingga dari awal tidak mengharapkan
imbalan dari pendirian yayasan tersebut.318
Kesetujuan seluruh responden atas tidak terhambatnya kegiatan yayasan
dengan adanya pengaturan ini bukan bearti seluruh responden mematuhi peraturan
ini. Salah seorang responden mengakui bahwa
yayasannya memberikan penghargaan dalam bentuk uang transportasi yang
diberikan kepada pembina-pembina dalam yayasannya meskipun ia mengetahui
adanya larangan ini.319
315
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016 dan
Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016
317
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Ketua
Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21
November 2016
318
Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016,
Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23
November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina Yayasan H pada
tanggal 2 Desember 2016
319
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
316
Universitas Sumatera Utara
99
Pemberian ini hanya diberikan pada “saat Pembina Yayasan datang dalam rapat”
organ-organ
yayasan
untuk
membahas
kepentingan-kepentingan
yayasan.320
Terhadap larangan ini, responden menyatakan bahwa
ia “sangat keberatan karena Pembina Yayasan dalam yayasan kami tidak hanya
sekedar simbolis saja, tetapi benar-benar memberikan kontribusinya” untuk
kepentingan-kepentingan yayasan dalam rapat yayasan berupa “pemikiranpemikiran yang sangat membantu yayasan”.321
Undang-Undang Yayasan memang mewajibkan yayasan untuk “membayar
segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka
menjalankan tugas yayasan”.322 Meskipun demikian, tidak adanya pengaturan jelas
mengenai
cara
perhitungan
pembayaran
ini
menyebabkan
yayasan
dapat
menggunakannya sebagai salah satu cara untuk mengalihkan kekayaan yayasan
kepada organ yayasan. Ini jelas terlihat dari salah seorang responden yang mengaku
yayasannya memberikan suatu bentuk penghargaan dalam bentuk uang transportasi
kepada pembina-pembina yayasan yang hadir dalam rapat.323
Mengenai pemberian penghargaan dalam bentuk apapun yang dapat dinilai
dengan uang, kedua ahli hukum yang diwawancara sependapat bahwa apapun alasan
dan bentuknya, pemberian penghargaan seperti ini tidak dapat disetujui. Henry P.
Panggabean berpendapat bahwa
320
Ibid.
Ibid.
322
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
323
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
321
Universitas Sumatera Utara
100
“pemberian penghargaan atas kontribusi bagi pembina adalah tergolong
kejahatan yayasan sehingga tidak layak bagi seorang pembina untuk mendapat
honorarium.”324
Kemudian, Henni Wijayanti menyatakan bahwa
kekayaan yayasan seharusnya digunakan “untuk kepentingan yayasan
sepenuhnya dan tidak untuk diberikan kepada pembina yang merupakan
pendiri atau orang yang mempunyai dedikasi untuk melakukan kegiatan
sosial.”325
Ini karena dari semula, Pembina Yayasan “memahami bahwa keputusannya
mendirikan yayasan atau menjadi pembina suatu yayasan adalah tidak
mengharapkan keuntungan atau bagian dari kekayaan yayasan.”326
Sedangkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, perlu
diketahui bahwa bahkan sebelum adanya Rancangan Undang-Undang mengenai
Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001, salah satu fraksi
Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Fraksi Reformasi, telah mengusulkan hasil usaha
bagi pengurus Yayasan.327 Usulan ini kemudian ditarik kembali oleh Fraksi
Reformasi karena perumusan mengenai larangan pengalihan kekayaan dalam
Rancangan Undang-Undang Yayasan telah sesuai dengan jiwa yayasan yang “tidak
boleh sama sekali mengambil keuntungan” bagi organ-organnya.328
324
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
325
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
326
Ibid.
327
Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Laporan Singkat
Rapat Pansus RUU tentang Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001
328
Fraksi Reformasi (Askin), Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Rapat
Pansus Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001
Universitas Sumatera Utara
101
Akan tetapi, untuk mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum dalam
masyarakat, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, diatur
pengecualian atas Pengurus Yayasan agar pengurus “dapat diberikan gaji, upah atau
honorarium, dengan persyaratan pengurus bukan pendiri, pembina dan pengawas, dan
melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.”329 Pengecualian
ini dijelaskan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR RI tertanggal 7 September
2004 adalah dikarenakan “Pengurus Yayasan adalah Organ Yayasan yang
melaksanakan kepengurusan (operasional) Yayasan dan bertanggung jawab penuh
atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak
mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”330
Pengecualian ini juga dikatakan sudah tepat menurut seluruh responden organorgan yayasan karena:
1. Pengurus Yayasan berperan aktif dalam kesehariannya melaksanakan
kepengurusan yayasan;331
2. Pengurus Yayasan memiliki tanggung jawab yang besar, bahkan hingga ke
harta pribadinya dalam hal kepailitan;332
329
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4
330
Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4
331
Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus
Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November
2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F
pada tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina
Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016
332
Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016
Universitas Sumatera Utara
102
Para ahli hukum yang diwawancara juga sependapat bahwa pengecualian ini
perlu diatur “untuk mendukung pengurus harian dalam menjalankan tugas fulltimer”333 dan “sebagai stimulus dan penghargaan atas kinerja” Pengurus Yayasan
yang “mengelola dan memajukan yayasan”.334
D.
Keterkaitan Eksistensi Yayasan dengan
Honorarium kepada Pembina Yayasan
Pelarangan
Pembayaran
Menurut Anwar Boharima, pendirian yayasan dilakukan oleh “seseorang atau
beberapa orang dengan memisahkan suatu harta dari seseorang atau beberapa orang
pendirinya, dengan tujuan idiil atau sosial yang tidak mencari keuntungan”.335 Tujuan
idiil atau tujuan sosial ini oleh para pakar umumnya diartikan sebagai tujuan amal.336
Arie Kusumastuti M. Suhardiadi berpendapat bahwa “keberadaan yayasan merupakan
suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga
yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”337 Maka jelas
bahwa yayasan didirikan dengan memisahkan kekayaan para pendirinya untuk
kemudian digunakan dalam tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
333
Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim
Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan
(H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases
Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016
334
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
335
Anwar Borahima, op.cit., hal. 19
336
Ibid., hal. 121
337
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Abadi, 2003),
hal. 1
Universitas Sumatera Utara
103
Yayasan memerlukan alat perlengkapan yang dapat melakukan perbuatan
hukum untuk dan atas nama yayasan mencapai tujuan dan maksud yayasan. Alat
perlengkapan ini disebut sebagai organ yayasan yang terdiri atas Pembina, Pengurus
dan Pengawas Yayasan.338 Maka, terkait dengan tujuan dan maksud yayasan yang
diwakili oleh para organ yayasan, apapun yang dilakukan oleh organ-organ yayasan
dapat dilihat sebagai perbuatan amal.339
Berikut ini adalah kriteria-kriteria yayasan yang bertujuan sosial menurut F.
Emerson Andrews:340
1.
2.
3.
4.
5.
Non-governmental
Non-profit
Possessing a principal fund of its own
Managed by its own trustees and directors
Promotes social, educational, charitable, religious or other activities
serving the common welfare
Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan pada yayasan di Indonesia yang
unsur-unsurnya tercantum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan yang
menyatakan bahwa “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”341 Sehingga dapat
disimpulkan tiga unsur-unsur yayasan sebagai berikut:
338
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Henry P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset
Keagamaan) dan Upaya Penanganan Sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:
Permata Aksara, 2012), hal. 40
340
F. Emerson Andrews, op.cit., hal. 11
341
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
339
Universitas Sumatera Utara
104
1. Badan hukum yang memiliki kekayaannya sendiri;
2. Tidak memiliki anggota, melainkan diurus dan diwakili oleh organ-organ
yayasan;
3. Memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga
merupakan lembaga yang nirlaba karena ia social oriented, bukan profit
oriented.
Kriteria dan unsur yayasan yang bertujuan sosial ini sesuai dengan prinsipprinsip yayasan yang diungkapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara
lain:342
1.
2.
3.
4.
yayasan adalah badan hukum;
yayasan adalah lembaga yang tujuannya amal (charity);
yayasan adalah lembaga dengan tujuan nirlaba (non profit);
yayasan adalah lembaga yang tujuannya sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Tentunya terdapat alasan-alasan yang mendasari seseorang atau beberapa
orang mendirikan yayasan yang memiliki tujuan sosial. Menurut Robert Clifton
Weaver, terdapat empat alasan dilakukannya kegiatan yang bertujuan sosial, antara
lain:343
1. Tindakan yang Altruistis (altruistic behaviour)
Tindakan
yang
altruistis
adalah
tindakan-tindakan
yang
bersifat
mendahulukan kepentingan orang lain.344 Tindakan atau kelakuan yang
342
Suherman Toha, et.al., op.cit., hal. 132
Development Assistance Committee, op.cit., hal. 12-14
344
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 44
343
Universitas Sumatera Utara
105
altruistis merupakan perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia untuk
melindungi sesamanya.345
2. Kebanggaan (pride)
Seorang yang memiliki kekayaan berlebih dapat mendirikan sebuah
lembaga yang dapat diingat sebagai kedermawanannya, serta perhatiannya
pada kesejahteraan umum.346 Yayasan dapat menjadi salah satu pilihan
lembaga yang didirikan.
3. Kewajiban dari Kepercayaan atau Agama yang Dianut (religion duty)
Agama atau kepercayaan merupakan dorongan yang paling nyata dalam
melakukan
kegiatan
sosial.
kepercayaan-kepercayaan
di
Sebagian
dunia
besar
agama-agama
memerintahkan
umatnya
atau
untuk
melakukan kegiatan amal, membebaskan kemiskinan dan penderitaan, serta
menyambut orang yang baru dikenal.347 Sebagai contoh adalah agama
Islam yang penganutnya paling banyak di Indonesia memiliki kewajiban
zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau
badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai
dengan syariat Islam.348 Tata cara perhitungan zakat ini bahkan telah diatur
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan
345
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 12
Ibid., hal. 13
347
Ibid.
348
Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
346
Universitas Sumatera Utara
106
Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan
Zakat untuk Usaha Produktif.
4. Kepentingan Pribadi (self interest)
Terdapat beragam kepentingan pribadi sebagai alasan dari dilakukannya
kegiatan sosial. Salah satu kepentingan pribadi yang paling mencolok
adalah dalam hal pajak.349
Dari keempat alasan yang dikemukakan oleh Robert Clifton Waver,
kepentingan pribadi sebagai alasan dilakukannya kegiatan sosial merupakan yang
ingin dihindari oleh Undang-Undang Yayasan. Yayasan, oleh karena didirikan
dengan alasan kepentingan pribadi telah menyimpang dari tujuan semula penciptaan
badan hukum yayasan, seperti penggunaannya untuk memperkaya diri sendiri atau
organ-organ yayasan, menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai suatu
lembaga pendidikan untuk selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh
berbagai fasilitas dari negara dan penguasa, serta berbagai tujuan lainnya.350 Menurut
Henni Wijayanti,
adanya pelarangan pembagian atau pengalihan harta kekayaan yayasan kepada
para organ yayasan, termasuk Pembina Yayasan, adalah “untuk menghindari
motif-motif lain selain motif sosial (charity)”.351
349
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 14
Chatamarrasjid Ais 2, op.cit., hal. 2
351
Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November
2016
350
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 5/PUU-XIII/2015
A.
Kronologi Kasus
Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie berdasarkan Akta
Yayasan Nomor 1 tertanggal 13 Juni 2014, mengajukan permohonan untuk menguji
dua pasal mengenai penerimaan honorarium dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan pada tanggal 24 November 2014 yang diterima oleh Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2014 berdasarkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Nomor 320.5/PAN.MK/2015 dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2015 dengan Nomor 5/PUUXIII/2015, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 27 Januari 2015 setelah sebelumnya diadakan Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan pada tanggal 22 Januari 2015. Kemudian, Sidang Perbaikan
Permohonan dilangsungkan pada tanggal 5 Februari 2015.
1.
Keterangan Pemohon Dahlan Pido
Adapun pasal-pasal yang dimohon pengujiannya oleh Dahlan Pido adalah:352
352
Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Perbaikan Permohonan (II)”,
tanggal 5 Februari 2015 dan Salinan Putusan Nomor 5/PUU-XIII/2015
107
Universitas Sumatera Utara
108
a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:
(1) Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain
yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang
dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik
dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.
(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa pengurus menerima
gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a. bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina,
dan pengawas; dan
b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.
b. Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:
(1) Setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban
mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan
atau dibagikan.
Dahlan Pido, sebagai pemohon, merasa bahwa adanya pasal-pasal dalam
Undang-Undang Yayasan yang melarang penerimaan honorarium oleh Pembina dan
Pengawas Yayasan, serta