Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Yayasan, yang dikenal juga sebagai stichting pada zaman Belanda, adalah

bentuk badan hukum yang telah lama ada di Indonesia. Sementara peraturan yang
mengatur mengenai badan hukum tersebut, masih tergolong baru. Peraturan mengenai
yayasan pertama kali berlaku di Indonesia pada tanggal 6 Agustus 2001, yaitu dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4132). Seiring dengan perkembangan kebutuhan dan hukum dalam
masyarakat, serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum,1 beberapa pasal
dalam Undang-Undang ini kemudian diubah dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430).
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
hanya beberapa pasal dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku menyebutkan

adanya yayasan seperti Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680 dan Pasal 365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), serta Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv.
1

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

1
Universitas Sumatera Utara

2

(Reglement of de Rechtsvordering).2 Akan tetapi, baik perumusan yayasan maupun
pendirian yayasan tidak diatur dalam peraturan-peraturan tersebut. Maka dari itu,
pendirian yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,
doktrin, dan yurisprudensi.3 Tidak adanya kepastian hukum inilah yang menyebabkan
lembaga yayasan yang awalnya diperuntukkan hanya untuk kegiatan sosial
berkembang untuk berbagai tujuan, bahkan menimbulkan penyalahgunaan yayasan
itu sendiri karena mudahnya mendirikan badan hukum yayasan.4
Masyarakat cenderung mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung
dibalik status badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah

mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, tetapi juga digunakan
untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas.5 Hal ini bertentangan
dengan maksud dan tujuan didirikannya yayasan. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diikuti dengan perubahannya,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan. Undang-Undang tersebut juga
diharapkan dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam pendirian yayasan, serta
menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi yayasan

2

R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111
3
Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai
suatu Badan Hukum Sosial), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1 (selanjutnya disebut
Chatamarrasjid Ais 1)
4
Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 5
5

Ibid., hal. 6

Universitas Sumatera Utara

3

sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuannya di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan.
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang
bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil.6 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, mendefinisikan yayasan sebagai “badan
hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota”. Terlihat jelas dalam perumusan definisi yayasan tersebut
bahwa yayasan lebih tampak sebagai lembaga sosial yang didirikan bukan untuk
tujuan komersial atau mencari keuntungan, melainkan untuk membantu atau
meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain.7
Pengertian yayasan tersebut menyatakan bahwa yayasan merupakan suatu
badan hukum. Badan hukum (rechtspersoon) yang dimaksud adalah subjek hukum
bukan manusia (bukan natuurlijk persoon) yang dapat mempunyai hak-hak dan

kewajiban-kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum.8 Status badan hukum
tersebut diperoleh yayasan setelah akta pendirian yayasan yang dibuat oleh notaris
memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.9

6

I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2002), hal. 60
Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 1
8
Ibid., hal. 17
9
Pasal 11 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
7

Universitas Sumatera Utara

4

Sekalipun bukan merupakan manusia alamiah, badan hukum dianggap
mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari manusia perorangannya.10 Ini

sesuai dengan pengertian yayasan yang dikemukakan pada Pasal 1 angka (1) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yayasan
adalah “badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan…” Kekayaan yang
dipisahkan tersebut beralih kepemilikannya kepada yayasan. Maka, yayasan sebagai
badan hukum dapat melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang
berhubungan dengan kekayaannya tersebut.11
Tentunya pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas kekayaan
terpisah yang telah menjadi milik yayasan tersebut harus sesuai dengan maksud dan
tujuan didirikannya yayasan yang tertuang dalam Anggaran Dasar Yayasan terkait.
Mengenai maksud dan tujuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar Yayasan, Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menentukan
bahwa yayasan hanya dapat didirikan dengan “tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan”. Diundangkannya tujuan pendirian yayasan secara
tegas dan jelas ini agar pendirian yayasan tidak disalahgunakan untuk mencapai
tujuan komersial atau mencari keuntungan.12
Kemudian, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan dengan tegas menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang “tidak
mempunyai anggota”. Maksud dari tidak mempunyai anggota disini adalah tidak
10

Rudhi Prasetya, op.cit., hal. 8

Gatot Supramono, op.cit., hal. 17
12
Rudhi Prasetya, op.cit., hal. 10

11

Universitas Sumatera Utara

5

adanya pemegang saham seperti dalam Perseroan Terbatas atau sekutu-sekutu seperti
dalam Perseroan Komanditer atau anggota-anggota dalam badan usaha lainnya.
Namun demikian, yayasan sebagai badan hukum memerlukan alat perlengkapan yang
berwujud manusia alamiah untuk mengurus dan bertindak mewakilinya. Alat
perlengkapan ini dikenal sebagai organ-organ yayasan yang terdiri atas pengurus,
pengawas, dan pembina.13 Organ-organ tersebut tidak boleh saling merangkap.14
Larangan rangkap jabatan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan
tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus,
dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.15
Ketiga organ tersebut memiliki fungsi, tugas dan kewenangannya masingmasing yang diatur dalam undang-undang. Pengaturan yang tegas mengenai fungsi,

tugas

dan

kewenangan

organ-organ

yayasan

tersebut

dimaksudkan

untuk

menghindari adanya konflik intern yayasan yang dapat merugikan kepentingan
yayasan atau pihak lain.
Penelitian ini akan lebih fokus pada salah satu organ yayasan, yaitu Pembina
Yayasan. Pembina Yayasan adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan

yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas Yayasan yang meliputi antara
lain:16

13
14

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 29, Pasal 31 (3), Pasal 40 (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang

Yayasan
15
16

Penjelasan Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pasal 28 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Universitas Sumatera Utara

6


1. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
2. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan Pengawas
Yayasan;
3. penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
4. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan; dan
5. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Besarnya kewenangan yang diberikan kepada Pembina Yayasan dikarenakan
Pembina Yayasan adalah orang yang meletakkan maksud dan tujuan (visi dan misi)
tertentu dari yayasan yang didirikan.17 Terlihat dari salah satu syarat pengangkatan
anggota pembina yayasan dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yang dapat menjadi anggota pembina
yayasan adalah “orang perseorangan sebagai Pendiri Yayasan dan/atau mereka yang
berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai mempunyai dedikasi yang
tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan”.
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini terkait dengan pembayaran
honorarium kepada Pembina Yayasan. Pembayaran honorarium ini dapat dilihat
sebagai salah satu bentuk pembagian kekayaan yayasan kepada Pembina Yayasan.
Undang-Undang Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004) secara tegas dan jelas melarang adanya pembagian
kekayaan yayasan kepada organ-organ yayasan, termasuk diantaranya Pembina
Yayasan.

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
menyatakan bahwa jika yayasan melakukan kegiatan usaha, “yayasan tidak boleh
17

Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia (Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung
Jawab Yayasan), (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 221

Universitas Sumatera Utara

7

membagikan hasil kegiatan usaha yang dilakukannya kepada Pembina, Pengurus, dan
Pengawas Yayasan”. Ini ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan yang menyatakan bahwa:
(1) Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang
diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau
dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji,
upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang
kepada pembina, pengurus dan pengawas.

(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa pengurus menerima
gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a. bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina,
dan pengawas; dan
b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.
(3) Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditetapkan oleh pembina sesuai dengan kemampuan
kekayaan yayasan.
Tercermin dalam kedua pasal tersebut bahwa terdapat larangan terhadap
pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan dalam bentuk apapun kepada organorgan yayasan, termasuk Pembina Yayasan. Adanya pengecualian yang dimaksud
pada Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Yayasan tersebut hanya berlaku bagi Pengurus
Yayasan apabila Pengurus Yayasan bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi
dengan Pendiri, Pembina, dan/atau Pengawas Yayasan, serta melaksanakan
kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh, maka pengecualian tersebut jelas
tidak berlaku pada Pembina Yayasan.
Ketentuan yang melarang pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan yayasan, termasuk hasil kegiatan

Universitas Sumatera Utara

8

usaha yayasan merupakan kekayaan yayasan yang digunakan hanya untuk mencapai
maksud dan tujuan yayasan.18 Maksud dan tujuan yayasan yang dimaksud tentunya
yang telah diatur dalam Undang-Undang Yayasan yaitu maksud dan tujuan yang
bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga anggota pembina yayasan
harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap.19
Kemudian, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
menentukan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Yayasan tersebut
dapat dipidana dengan:
1.

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; dan

2.

pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau
kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan dalam bentuk apapun
yang juga disertai dengan sanksi pidana ini, menimbulkan protes dari Dahlan Pido,
Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie, yang mengajukan permohonan untuk
menguji dua pasal mengenai penerimaan honorarium dari Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 November 2014. Permohonan ini
berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015 yang
diputuskan pada tanggal 15 April 2015 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 26 Agustus 2015.
18

Penjelasan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
19
Penjelasan Pasal 3 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Universitas Sumatera Utara

9

Dalam perkara yang berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
5/PUU-XIII/2015 tersebut, Dahlan Pido, sebagai pemohon, merasa bahwa adanya
pasal-pasal dalam Undang-Undang Yayasan yang melarang penerimaan honorarium
oleh Pembina dan Pengawas Yayasan, serta memberikan sanksi pidana bagi yang
melanggarnya, merugikan hak-hak konstitusionalnya. Ia merasa adanya perlakukan
diskriminatif terhadap Pembina dan Pengawas Yayasan dalam penerimaan
honorarium karena Pengurus Yayasan tidak dilarang untuk menerima honorarium
dari kekayaan yayasan.
Mahkamah, di lain pihak, berpendapat berbeda. Menurut pandangan
Mahkamah, pasal-pasal yang melarang penerimaan honorarium tersebut sudah tepat
karena ketentuan tersebut diatur untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan
kekayaan para organ yayasan sehingga para organ yayasan betul-betul bertanggung
jawab atas kelangsungan yayasan untuk kegiatan beramal. Hakim Konstitusi
Suhartoyo berpendapat bahwa peraturan ini adalah “untuk menjamin agar yayasan
tidak disalahgunakan, sehingga seseorang Pembina, Pengurus, dan Pengawas
Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor
tetap.”20
Meskipun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Dahlan Pido untuk
seluruhnya, putusan ini patut dianalisis untuk mengetahui pokok pemikiran perancang
Undang-Undang Yayasan yang melarang pengalihan kekayaan yayasan kepada
20

Agus Sahbani, “Pembina Yayasan Tetap Dilarang Terima Gaji”, (27 Agustus 2015),
, terakhir diakses pada tanggal 10 Oktober 2016

Universitas Sumatera Utara

10

organ-organ yayasan dengan mengecualikan Pengurus Yayasan. Dengan demikian,
penting dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Larangan Pembayaran
Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015)”.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan

pokok yang akan diteliti dan dianalisis serta dibahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Bagaimana tugas dan fungsi Pembina Yayasan dalam suatu yayasan
menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?

2.

Mengapa yayasan dilarang membayar honorarium kepada Pembina
Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?

3.

Bagaimana analisis hukum terhadap pertimbangan hukum dari Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap pembayaran honorarium kepada
Pembina Yayasan dalam Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015?

Universitas Sumatera Utara

11

C.

Tujuan Penelitian
Dengan adanya perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan

penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:
1.

Untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan tugas
dan fungsi Pembina Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

2.

Untuk mengetahui alasan pelarangan pembayaran honorarium kepada
Pembina Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

3.

Untuk menganalisis pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi terhadap pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan
dalam Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat baik secara

teoretis maupun praktis, yakni sebagai berikut:
1.

Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiranpemikiran,

wawasan,

pengetahuan,

ide-ide,

serta

sumber

informasi

bagi

perkembangan ilmu khususnya dalam bidang yayasan terutama mengenai
pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan.

Universitas Sumatera Utara

12

2.

Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan serta
memberikan pengertian lebih mendalam kepada organ-organ yayasan dan pihakpihak yang terlibat dengan yayasan mengenai pokok pemikiran perancang undangundang serta alasan dibalik pelarangan pemberian honorarium bagi Pembina
Yayasan.
Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan, serta menambah
pengetahuan masyarakat pada umumnya dan dunia perguruan tinggi dalam bidang
yang berkaitan dengan yayasan. Selain itu, diharapkan agar karya tulis ini dapat
digunakan sebagai bahan referensi bagi perpustakan Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi para pembuat kebijakan tentang atau yang bersangkutan dengan yayasan
terutama mengenai pengaturan pemberian honorarium kepada Pembina Yayasan.

E.

Keaslian Penulisan
Dalam penelusuran tentang informasi penelitian yang berkaitan dengan

penelitian ini ditelusuri di kepustakaan yang ada di lingkungan Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ada yang melakukan penelitian dengan
judul penelitian yang ditulis, yaitu “Analisis Yuridis Pembayaran Honorarium
Pembina Yayasan Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

Universitas Sumatera Utara

13

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015)”. Akan tetapi,
terdapat beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan Yayasan, yaitu sebagai
berikut:
1.

Gostan Adri Harahap, Nomor Induk Mahasiswa 037005015 dengan judul
penelitian “Tanggung Jawab Pengurus terhadap Usaha yang Dikelola
Yayasan”.
Permasalahan:
a.

Bagaimana pertanggungjawaban Pengurus Yayasan terhadap pengelolaan
harta yayasan?

b.

Bagaimana hubungan kerja antara Pengurus Yayasan dengan pengurus
badan usaha yang didirikan yayasan?

c.

Bagaimana tanggung jawab pengurus terhadap kerugian pada usaha yang
didirikan yayasan?

2.

Saadah, Nomor Induk Mahasiswa 067005023 dengan judul penelitian
“Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004”.
Permasalahan:
a.

Bagaimana tugas dan wewenang Pengurus Yayasan menurut UndangUndang Yayasan?

b.

Bagaimana

prinsip

pertanggungjawaban

Pengurus

Yayasan

atas

pelanggaran prinsip Fiduciary Duty?

Universitas Sumatera Utara

14

c.

Bagaimana kedudukan dan tanggung jawab Pengurus Yayasan dalam
bidang pendidikan?

Berdasarkan pemeriksaan dari penelitian-penelitian terdahulu dalam arsip
kepustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, belum pernah dilakukan penelitian
dengan judul maupun permasalahan yang sama. Dengan demikian, penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebab bukan merupakan duplikasi atau
plagiarisme dari penelitian yang telah ada sebelumnya.

F.

Kerangka Teoretis dan Konsepsi

1.

Kerangka Teoretis
Penelitian memerlukan sebuah landasan atau pedoman dasar untuk menjalankan

analisis penelitian. Landasan atau pedoman dasar tersebutlah yang akan diuraikan
pada bagian ini sebagai kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian tesis
ini. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoretis.21 Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.22

21
22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6

Universitas Sumatera Utara

15

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan menjelaskan gejala yang diamati. Terdapat tiga unsur dalam teori yang
berfungsi untuk memberikan pengarahan pada suatu penelitian, yaitu:23
a. Memberikan penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu
teori.
b. Menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari yang umum dan
abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata.
c. Memberikan penjelasan atas gejala yang ditemukan.
Berikut ini adalah teori-teori yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini:
a.

Teori Harta Kekayaan Bertujuan

Status badan hukum diperoleh yayasan setelah akta pendiriannya memperoleh
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.24 Selain itu, status badan
hukum yayasan juga dapat dilihat dari berbagai teori badan hukum. Salah satunya
adalah teori harta kekayaan bertujuan.
Teori harta kekayaan bertujuan yang dipelopori oleh A. Brinz, yang kemudian
diikuti oleh Van der Heijden, meyakini bahwa yang terpenting dalam suatu subjek
hukum adalah “kekayaan yang diurus untuk suatu tujuan tertentu”.25 A. Brinz dalam
bukunya Lehrbuch der Pandecten menyatakan bahwa:26

23

Sutan Reny Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), hal. 8
24
Pasal 11 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
25
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013),
hal. 177
26
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 34 (selanjutnya disebut Chidir
Ali 1)

Universitas Sumatera Utara

16

Only human beings can be considered correctly as ‘person’. The law, however,
protects purpose other than those concerning the interest of human beings. The
property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody. But it may be
considered as belonging for certain purposes and the device of the corporation
is used to protect those purpose.
Teori ini meyakini bahwa hak-hak dari suatu badan hukum adalah hak-hak
yang tidak ada pemiliknya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan
yang terikat oleh suatu tujuan.27 Pembahasan tersebut jelas menggambarkan bahwa
hanya manusia yang dapat diakui sebagai subjek hukum, akan tetapi teori ini
mengakui adanya kekayaan yang dipisahkan dan tidak dimiliki oleh manusia, yang
digunakan untuk tujuan tertentu. Kekayaan terpisah yang tidak dimiliki siapa-siapa
dan memiliki tujuan tertentu inilah yang teori ini pandang sebagai badan hukum.
Penerapan teori ini pada yayasan dapat terlihat dari definisi yayasan oleh
Riduan Syahrani yaitu “yayasan merupakan harta kekayaan yang ditersendirikan
untuk tujuan tertentu”.28 Maka, yayasan merupakan tiap kekayaan yang tidak
termasuk kekayaan orang maupun badan, yang diberi tujuan tertentu.29 Jadi, yayasan
tidak memiliki anggota, yang ada hanyalah pengurusnya, yang melakukan segala
kegiatan untuk mencapai tujuan yayasan dengan menggunakan kekayaan yang
ditersendirikan tersebut.

27

R. Ali Rido, op.cit., hal. 10
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1999), hal. 148
29
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 63-64 (selanjutnya disebut Chidir
Ali 2)
28

Universitas Sumatera Utara

17

Ini sesuai dengan pandangan Van Apeldoorn yang menyatakan bahwa “yayasan
adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya.”30
Jadi, ada harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk sesuatu subjek,
sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subjek hukum. Maka,
yayasan termasuk dalam kategori badan hukum sebagai kumpulan harta. Dalam
kategori ini, badan hukum memiliki kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya, yaitu
pendiri atau para pendiri yayasan, dimana kekayaan tersebut digunakan bagi
kepentingan tertentu saja.31 Kekayaan ini, menurut teori harta kekayaan bertujuan A.
Brinz, bukanlah milik siapa-siapa (manusia), melainkan milik tujuan yayasan itu
sendiri (bukan manusia).32
Kekayaan yayasan yang ditersendirikan atau dipisahkan dari pemiliknya,
sehingga menjadi kekayaan yayasan yang akan digunakan sesuai maksud dan tujuan
yayasan tersebut dapat berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang berasal dari
sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat dan
perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.33
Kekayaan tersebut kemudian digunakan untuk tujuan atau kepentingan tertentu.
Tujuan atau kepentingan tertentu dalam hal ini adalah tujuan didirikannya yayasan,

30

Anwar Borahima, op.cit., hal. 64-66
Munir Fuady, op.cit., hal. 187
32
R. Ali Rido, op.cit., hal. 10
33
Pasal 26 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
31

Universitas Sumatera Utara

18

yaitu dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.34 Maka, yayasan dalam
mengurus kekayaannya, harus sesuai dengan tujuan didirikannya yayasan sesuai
dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, yaitu tidak diperuntukkan untuk
mencari keuntungan, tetapi memiliki tujuan dalam bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Teori Harta Kekayaan Bertujuan dipandang dapat digunakan dalam penelitian
ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Teori Harta Kekayaan Bertujuan meyakini bahwa badan hukum memiliki
kekayaan terpisah yang terikat pada suatu tujuan.
2) Kekayaan yayasan merupakan kekayaan yang terpisah dari pemiliknya
dan dipergunakan sesuai dengan tujuan tertentu yang tercantum pada
anggaran dasarnya, yaitu tujuan di bidang sosial, keagamaan dan/atau
kemanusiaan.
b.

Teori Tujuan Sosial

Sosial artinya “berkenaan dengan masyarakat.”35 Kemudian, sosial juga dapat
berarti “suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan
sebagainya).”36 Maka, yayasan memiliki tujuan yang sosial berarti yayasan memiliki
tujuan yang berkenaan dengan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum.
Ini

didukung

oleh

deskripsi

F.

Emerson

Andrews

tentang

yayasan.

Ia

34

Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hal. 1496
36
Ibid.
35

Universitas Sumatera Utara

19

mendeskripsikan yayasan sebagai “instrument for the contribution of private wealth
to public purpose”.37 Ini berarti yayasan adalah sebuah alat atau cara untuk
memberikan kontribusi dari kekayaan pribadi untuk kepentingan umum. Pandangan
ini sesuai dengan definisi yayasan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yayasan “terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan,…”
Menurut Robert Clifton Weaver, terdapat empat alasan dilakukannya kegiatan
yang bertujuan sosial, antara lain:38
1) Tindakan yang Altruistis (altruistic behaviour)
Tindakan yang altruistis adalah tindakan-tindakan yang “bersifat
mendahulukan kepentingan orang lain.”39 Tindakan atau kelakuan yang
altruistis merupakan perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia untuk
melindungi sesamanya.40
2) Kebanggaan (pride)
Seorang yang memiliki kekayaan berlebih dapat mendirikan sebuah
lembaga yang dapat diingat sebagai kedermawanannya, serta perhatiannya

37

F. Emerson Andrews, American Foundation for Social Welfare, dalam Shelby M. Harrison,
“Foundation and Public Service”, The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 9, No. 1,
Oktober 1949, (New Jersey: Blackwell Publishing Ltd., 1949), hal. 107
38
Development Assistance Committee, “Philanthropic Foundations and Development Cooperation”, DAC Journal, Vol. 4, No. 3, (Organisation for Economic Co-operation and Development,
2003), hal. 12-14
39
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 44
40
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 12

Universitas Sumatera Utara

20

pada kesejahteraan umum.41 Yayasan dapat menjadi salah satu pilihan
lembaga yang didirikan.
3) Kewajiban dari Kepercayaan atau Agama yang Dianut (religion duty)
Agama atau kepercayaan merupakan dorongan yang paling nyata dalam
melakukan

kegiatan

sosial.

kepercayaan-kepercayaan

di

Sebagian
dunia

besar

agama-agama

memerintahkan

umatnya

atau
untuk

melakukan kegiatan amal, membebaskan kemiskinan dan penderitaan, serta
menyambut orang yang baru dikenal.42 Sebagai contoh adalah agama
Islam, yang penganutnya paling banyak di Indonesia, memiliki kewajiban
zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau
badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai
dengan syariat Islam.43 Tata cara perhitungan zakat ini bahkan telah diatur
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan
Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan
Zakat untuk Usaha Produktif.
4) Kepentingan Pribadi (self interest)
Terdapat beragam kepentingan pribadi sebagai alasan dari dilakukannya
kegiatan sosial. Salah satu kepentingan pribadi yang paling mencolok
adalah dalam hal pajak.44

41

Ibid., hal. 13
Ibid.
43
Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
44
Development Assistance Committee, op. cit., hal. 14

42

Universitas Sumatera Utara

21

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yayasan yang bertujuan sosial menurut F.
Emerson Andrews:45
1)
2)
3)
4)
5)

Non-governmental
Non-profit
Possessing a principal fund of its own
Managed by its own trustees and directors
Promotes social, educational, charitable, religious or other activities
serving the common welfare

Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan pada yayasan di Indonesia. Unsurunsur yayasan di Indonesia yang dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah sebagai berikut:46
1) Badan hukum yang memiliki kekayaannya sendiri
2) Tidak memiliki anggota, melainkan diurus dan diwakili oleh organ-organ
yayasan
3) Memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga
merupakan lembaga yang nirlaba karena ia social oriented, bukan profit
oriented
Unsur-unsur ini sesuai dengan prinsip-prinsip yayasan yang diungkapkan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara lain:47
1) yayasan adalah badan hukum;
2) yayasan adalah lembaga yang tujuannya amal (charity);
45

F. Emerson Andrews, Philanthropic Foundations, (New York: Russell Sage Foundation,
1956), hal. 11
46
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”
47
Suherman Toha, et.al., Penelitian Hukum tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja
Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013), hal. 132

Universitas Sumatera Utara

22

3) yayasan adalah lembaga dengan tujuan nirlaba (non profit);
4) yayasan adalah lembaga yang tujuannya sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Pada umumnya, para pakar di Indonesia berpendapat bahwa tujuan sosial,
keagamaan dan kemanusiaan tersebut haruslah diartikan tujuan amal.48 Arie
Kusumastuti M. Suhardiadi berpendapat bahwa “keberadaan yayasan merupakan
suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga
yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”49
Teori tujuan sosial sebagai latar belakang dibentuknya yayasan dipandang
dapat digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi tindakan manusia yang
bertujuan sosial.
2) Yayasan termasuk salah satu tindakan yang dilatarbelakangi oleh tujuan
sosial.
c.

Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan atau yang juga dikenal sebagai teori utilitarianisme,
merupakan teori yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Utilitarianisme berakar dari
kata utilitarian yang berarti didesain agar berguna atau bermanfaat dan praktis,
menekankan pada fungsi (designed to be useful and practical rather than attractive),
dan dari kata utility yang berarti keadaan atau situasi yang berguna atau memiliki

48
49

Ibid., hal. 105
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Abadi, 2003),

hal. 1

Universitas Sumatera Utara

23

kemanfaatan (the quality of being useful).50 Dari pengertian kedua kata tersebut, jelas
bahwa teori ini memberikan penekanan pada kegunaan atau kemanfaatan dari
sesuatu. Jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, teori utilitarianisme
memberikan penekanan pada tujuan dari kehidupan manusia, baik berupa tindakan,
aktivitas, interaksi, maupun kehidupan itu sendiri.51
Maka pada pokoknya, prinsip utilitarianisme adalah “an action is right from an
ethical point of view if and only if the sum total of utilities produceed by that act is
greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have
performed in its place.”52 Prinsip tersebut pada intinya membandingkan besar utilitas
atau kemanfaatan dari suatu tindakan yang dilakukan dengan tindakan lain yang dapat
dilakukan. Jika tindakan yang dilakukan memiliki jumlah utilitas atau kemanfaatan
yang lebih besar dari jumlah utilitas atau kemanfaatan dari tindakan lain yang dapat
dilakukan, maka tindakan tersebut dianggap benar dari sudut pandang etis.
Dalam konteks hukum, teori ini meyakini bahwa “hukum berfungsi untuk
memberikan manfaat yang sebesarnya kepada jumlah orang terbanyak.”53 Maka,
kemanfaatan diletakkan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan dari hukum

50

Oxford University, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition, (New York,
Oxford University Press, 2005), hal. 1690
51
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 117
52
Manuel G. Velasquez, Business Ethics: Concepts and Cares, (New Jersey: Pearson
Education Inc., 2002), hal. 76
53
H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), (Bandung: PT
Refika Aditama, 2010), hal. 44

Universitas Sumatera Utara

24

disini, diukur dengan seberapa besar kebahagiaan yang dapat diberikan hukum
kepada manusia atau masyarakat.54
Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar dari teori kemanfaatan yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham:55
1) Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada
individu-individu, kemudian kepada orang banyak. Jeremy Bentham
menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah kebahagian yang sebesarbesarnya bagi orang yang sebanyak-banyaknya (the aim of law is the greatest
happiness for the greatest number)
2) Prinsip itu harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan
selalu sama
3) Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka perundangundangan harus mencapai empat tujuan :
a) untuk memberi nafkah hidup (to provide subsistence)
b) untuk memberikan nafkah makanan berlimpah (to provide abundance)
c) untuk memberikan perlindungan (to provide security)
d) untuk mencapai persamaan (to attain equity)
Rudolf von Jhering mengembangkan teori utilitarianisme yang dikemukakan
Jeremy Bentham dengan menjelaskan bahwa “tujuan hukum adalah melindungi
kepentingan-kepentingan” yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan
kemanfaatan, tetapi kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan
“bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain.”56
Maka jelas dalam pandangan Jhering bahwa tujuan hukum untuk memperoleh
kebahagiaan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya, hendaknya dihubungkan

54
55

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 117
Muhammad Erwin, Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.

179
56

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 122

Universitas Sumatera Utara

25

dengan kepentingan sosial. Dalam pandangannya, hukum bertujuan untuk “mengejar
kemanfaatan dan menghindari kerugian, juga bertugas mengorganisir tujuan dan
kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain.”57
Teori utilitarianisme yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham dan Rudolf von
Jhering memiliki sedikit perbedaan. Teori utilitarianisme yang dikemukakan oleh
Jeremy Bentham dikenal juga sebagai utilitarianisme yang individual (individual
utilitarianism) karena pendapatnya yang menyatakan bahwa agar tidak terjadi homo
homini lupus atau a man is a wolf to another man (manusia menjadi serigala bagi
manusia yang lain), keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi
bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesarbesarnya.58 Sedangkan teori utilitarianisme yang diungkapkan oleh Rudolf von
Jhering dikenal sebagai utilitarianisme yang bersifat sosial (social utilitarianism)
karena ia menitikberatkan pada perlindungan kepentingan-kepentingan, sehingga
kepentingan-kepentingan individu hendaknya dijadikan bagian dari tujuan sosial
dengan cara menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingankepentingan orang lain.59
Meskipun pendapat Jeremy Bentham dan Rudolf von Jhering memiliki sedikit
perbedaan, keduanya sepakat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk mengejar
kebahagiaan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya.
57

Bernard L. Tanya, et.al., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2013), hal. 99
58
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 118
59
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 123-124 (selanjutnya disebut W. Friedmann 1)

Universitas Sumatera Utara

26

Dalam teori ini, seperti yang telah dijelaskan dalam konteks hukum di atas,
ukuran baik buruknya suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatan itu
mendatangkan kebahagiaan atau tidak.60 Dari ukuran tersebut, jelas bahwa teori ini
menekankan pentingnya konsekuensi dari perbuatan tersebut dalam menilai baik
buruknya suatu perbuatan. Kualitas moral suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk
bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya.61 Sedangkan
dalam konteks hukum, pembentuk undang-undang hendaknya melahirkan undangundang yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat.62
Kebahagiaan inilah yang merupakan ukuran baik buruknya suatu perundangundangan yang dilahirkan pembentuk undang-undang.
Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme) dipandang dapat digunakan dalam
penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
1)

Teori Kemanfaatan menitikberatkan pembentukan undang-undang
untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
secara umum.

2)

Undang-Undang Yayasan dibentuk dengan tujuan untuk memberikan
manfaat sosial bagi orang yang sebanyak-banyaknya.

60

W. Friedmann, Legal Theory, 3rd Edition, (London: Stevens & Sons Ltd., 1953), hal. 211
(selanjutnya disebut W Friedmann 2)
61
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
hal. 93-94
62
H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 17

Universitas Sumatera Utara

27

2.

Konsepsi
Suatu konsep atau kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu

pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoretis yang sering
kali masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang
dapat dijadikan pegangan konkrit dalam proses penelitian.63 Konsepsi sangat
diperlukan dalam penelitian agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda dari definisi
yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi-definisi opersional yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.64

b.

Badan Hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki
hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.65

c.

Organ yayasan merupakan alat perlengkapan yang berwujud manusia
alamiah untuk mengurus dan bertindak mewakili yayasan.66 Organ-organ
yayasan tersebut terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan.67

63

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 133
Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
65
Chidir Ali 2, op.cit., hal. 19
66
Rudhi Prasetya, op.cit., hal. 11
67
Pasan 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
64

Universitas Sumatera Utara

28

d.

Pembina Yayasan adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan
yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh UndangUndang Yayasan atau Anggaran Dasar Yayasan.68

e.

Anggaran Dasar adalah peraturan-peraturan penting yang menjadi dasar
dari peraturan yang lain-lain (bagi perkumpulan dan lain-lain).69
Honorarium adalah upah sebagai imbalan jasa; upah di luar gaji.70

f.

G.

Metode Penelitian

1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah sebuah proses untuk menemukan hukum yang

mengatur aktivitas dalam masyarakat.71 Penelitian ini pada dasarnya adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.72
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dalam penyusunannya
untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti. Meray Hendrik Mezak mengartikan
penelitian hukum normatif sebagai “penelitian yang ditujukan untuk mengkaji
kualitas dari norma hukum itu sendiri, sehingga sering kali penelitian hukum normatif

68

Pasal 28 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Pusat Bahasa, op.cit., hal. 64
70
Ibid., hal. 555
71
Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, Legal Research, (St. Paul, Minn: West Publishing
Company,1992), hal. 1
72
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), hal. 35
69

Universitas Sumatera Utara

29

diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif”.73 Maka, penelitian tesis ini meneliti
data-data yang dikumpulkan secara kualitatif, bukan secara kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif karena dalam menjawab
masalah-masalah yang telah dirumuskan, jelas bahwa yang diteliti lebih
mengutamakan bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif
menekankan kepada bahan-bahan data sekunder, baik berupa peraturan-peraturan
maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma
atau doktrin hukum yang bersifat teoretis ilmiah serta dapat digunakan untuk
menganalisis masalah yang dibahas.74
Penelitian hukum normatif meliputi berbagai objek kajian. Dalam penelitian ini,
objek kajian yang diteliti ada tiga, yaitu:
a.

Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
Penelitian hukum normatif dengan objek kajian ini difokuskan untuk
melakukan pengumpulan data terhadap hukum yang sedang berlaku di
dalam suatu negara atau masyarakat.75 Penelitian dalam tesis ini
menginventarisasi hukum positif atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan.

73

Ibid.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13
75
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 15
74

Universitas Sumatera Utara

30

b.

Penelitian terhadap asas-asas hukum
Penelitian hukum normatif dengan objek kajian ini meliputi penelitian
terhadap:76
1) unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat
hukum;
2) dan unsur nyata yang menghasilkan tata hukum tertentu.
Penelitian dalam tesis ini menganalisis pengaturan pembayaran
honorarium kepada Pembina Yayasan dan pertimbangan hukum Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 5/PUU-XIII/2015, sehingga unsur ideal dan unsur nyata dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut dapat dimengerti.

c. Penelitian yang berupa penemuan hukum in concreto
Objek kajian dalam penelitian hukum normatif ini merupakan putusan
pengadilan yang bersifat nyata (konkret) yang kemudian akan dikaji dan
dianalisis.77 Tesis ini akan menganalisis apakah peraturan dan
pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara nomor
5/PUU-XIII/2015 sudah tepat.
Sifat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yang bertujuan
memberikan suatu uraian deskriptif mengenai masalah yang diteliti. Penelitian yang

76
77

Ibid., hal. 14
Ibid., hal. 15

Universitas Sumatera Utara

31

deskriptif analitis menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum
baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian.78
Penelitian ini diharapkan dapat menganalisis dan menggambarkan secara sistematis
dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan yayasan pada
umumnya dan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan secara khusus.
2.

Sumber Data
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang mengutamakan

data sekunder. Data sekunder dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
a.

Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas.79 Bahan hukum primer ini bersifat
mengikat80 dan merupakan bahan hukum yang memiliki tingkatan
kekuatan hukum yang tertinggi dan menjadi landasan utama dalam
menganalisis penelitian ini. Bahan-bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847
Nomor 23)

78

Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 63
Peter Mahmud Marzuki, op. cit., hal. 141
80
Meray Hendrik Mezak, “Jenis Metode dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, Law
Review, Vol. V, No.3, Maret 2006, (Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2006), hal. 88
79

Universitas Sumatera Utara

32

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5255)
4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756)
5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459)
6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430)
7) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4132)
8) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5387)

Universitas Sumatera Utara

33

9) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4894)
10) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan
11) Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan
Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta
Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif
12) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015
b.

Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berupa publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum ini
meliputi buku teks, kamus hukum, jurnal hukum dan komentar mengenai
putusan pengadilan.81 Bahan hukum sekunder merupakan pendukung atau
bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer,82 yang menjelaskan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penyusunan tesis ini berupa buku-buku teks yang berhubungan
dengan badan hukum yayasan, buku-buku teks yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti dalam tesis ini, serta Risalah Sidang Perkara Nomor

81
82

Peter Mahmud Marzuki, op. cit., hal. 141
Meray Hendrik Mezak, op. cit., hal. 88

Universitas Sumatera Utara

34

5/PUU-XIII/2015, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang
Yayasan dan Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
c.

Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang digunakan untuk
mendukung bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum ini
merupakan bahan informasi hukum83 yang dapat berasal dari referensi
non-hukum seperti internet, majalah dan koran. Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penyusunan tesis ini berupa kamus, informasi dari
internet dan lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka

(library r

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

7 121 117

Analisis Yuridis Terhadap Yayasan Yang Tidak Didaftarkan Menurut Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004

1 37 120

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015) Cover

0 0 15

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)

0 0 2

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)

0 0 39

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015) Chpater III V

0 0 58

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)

0 0 6

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28 PUU-XI 2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian

0 0 16

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28 PUU-XI 2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian

0 0 2

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 11