Efek penambahan 2,4- Diclorophenoxyacetic Acid (2,4-D) terhadap perubahan genetik organogenesis dari kultur suspensi kelapa sawit berdasarkan marka Simple Sequence Repeats (SSR)

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis palma yang saat ini dikenal
sebagai tanaman sebagai penghasil minyak terbesar per hektar per satuan waktu.
Kelapa sawit tersebar di daerah teropis antara lain seperti negara Amerika Latin,
Asia Tenggara, dan Afrika. Pada tahun 1848 benih kelapa sawit pertama kali
ditanam di Indonesia berasal dari Mauritius, Afrika dan perkebunan kelapa sawit
di Indonesia dipelopori oleh Adrien Hallet berkebangsaan Belgia di daerah Tanah
hitam, Hulu Sumatera Utara (Setyamidjaja, 2006).
Elaeis guineensis Jacq. berasal dari bagian barat Afrika yang terdapat di
daerah Guinea Bissau dan di Amerika Latin yaitu Elaeis oleifera terdapat di
daerah Brazil (Guedes et al., 2011). Hanya jenis Elaeis guineensis Jacq. yang
memiliki kandungan minyak yang tinggi yang dihasilkan dari bagian mesokarp
(minyak sawit) dan kernel minyak sawit sehingga memiliki daya tarik ekonomi
yang tinggi (Cochard et al.,2009).
Secara morfologi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dibedakan
berdasarkan ketebalan cangkang buah yang dibentuk, terdiri dari tiga varietas

yaitu varietas Dura (bercangkang tebal), Psifera (tanpa cangkang) dan Tenera
(bercangkang tipis). Masing-masing varietas memiliki karakteristik buah yang
berbeda yang menjadikan sebagai basis dalam pemuliaan kelapa sawit. Varietas
tenera merupakan variasi sawit yang dihasilkan dari persilangan antara Dura
dengan Pesifera. Tenera secara alami menghasilkan minyak sawit yang lebih
banyak dibandingkan dengan varietas Dura dan Pesifera (Thuzar et al., 2012),
karena kelapa sawit Tenera merupakan jenis kelapa sawit bibit unggul yang
memiliki sifat cangkang buah tipis namun bunga betinannya tetap fertil dan
persentasi daging buahnya dapat mencapai 90% serta kandungan minyak
pertandannya dapat mencapai 28% (Damery, 2012).

Universitas Sumatera Utara

5

Kelapa sawit dapat tumbuh subur pada tanah yang gembur, pengairan dan
drainasenya baik, kaya akan humus, serta tidak memiliki lapisan padas
(Setyamidjaja, 2006). Curah hujan optimum adalah 2000 – 2500 mm/tahun,
memiliki temperatur optimum sekitar 24 – 28 oC, kelembaban 80% dan intensitas
penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari serta kecepatan angin yang baik untuk

membantu proses penyerbukan sekitar 5 – 6 km/jam (Kiswanto et al., 2008).
2.2. Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi sel, protoplasma,
jaringan, dan organ kemudian menumbuhkan bagian tersebut pada media buatan
yang mengandung kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh tanaman dalam kondisi
aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Subarnas, 2011). Manfaat utama
dari aplikasi tehnik kultur jaringan adalah perbanyakan klon atau perbanyakan
massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain,
2009).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam kultur jaringan
ditentukan oleh sejumlah faktor antara lain :
a.

Faktor genetik tanaman.

b.

Nutrien, seperti makro dan mikro nutrient, air, gula, dan asam amino.


c.

Faktor fisik, seperti cahaya, temperatur, dan pH.

d.

Beberapa substansi organik seperti zat pengatur tumbuh, vitamin, senyawa
organik dan organik.

e.

Kandungan oksigen.
Dengan teknik kultur jaringan akan dihasilkan tanaman kelapa sawit yang

mampu bereproduksi 30% lebih banyak dari tanaman biasa. Penerapan teknik
kultur jaringan dalam sekala besar untuk perkebunan harus dilakukan secara hatihati karena perbanyakan dengan kultur jaringan dapat memberikan keragaman
genetik yang kecil. Keadaan ini dapat menimbulkan kerawanan genetik (genetic
vulnerability) yang sangat berbahaya terhadap serangan hama dan penyakit
(Pahan, 2006).


Universitas Sumatera Utara

6

Hartman et al. (1997) mengemukakan lima istilah yang diterapkan untuk
menunjukkan tipe-tipe dasar dari regenerasi tanaman secara vegetatif (regenerassi
somatik) dalam kultur in vitro. Kelima istilah tersebut didasarkan atas macammacam eksplan yang digunakan dalam kaitannya dengan siklus hidup tanaman,
yaitu kultur meristem, poliferasi pucuk aksilar, induksi tunas adventif,
organogenesis dan embriogenesis somatik (Zulkarnain, 2009).

2.3.

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara

yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan
merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh yang sering
ditambahkan dalam media tanam adalah auksin dan sitokinin karena
mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ.
Pada media tanam, auksin mempunyai peranan terhadap pembelahan sel,

dominasi apikal, pemanjangan dan diferensiasi sel dan pembentukan kalus.
Kisaran auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm (Herawan &
Ismail,2009), namun para ahli kultur jaringan sering menganjurkan untuk
membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena dapat meningkatkan
peluang terjadinya mutasi genetik dan menghambat fotosintesis pada tanaman
yang diregenerasikan (Zulkarnain, 2009).

2.4.

Embriogenesis Somatik dan Organogenesis
Embriogenesis somatik adalah proses perkembangan dimana sel-sel

somatik berkembang menjadi struktur yang menyerupai embrio zigotik melalui
rangkaian tahapan karakteristik embriologis tanpa fusi gamet (Jimenez et al,.
2001). Embrio somatik yang berasal dari kultur sel jaringan atau organ dapat
terbentuk secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik yang
terbentuk secara langsung dapat membentuk embrio dari sel tunggal atau
kelompok sel yang menyusun jaringan eksplan tanpa melalui pembentukan kalus,
sedangkan embrio yang terbentuk secara tidak langsung melalui pembentukan
embrio melalui fase kalus (Utami et al., 2007). Embriogenesis somatik mewakili


Universitas Sumatera Utara

7

lintasan perkembangan yang unik, termasuk sejumlah karakteristik dediferensiasi
sel, aktivitas pembelahan sel, reprogram proses fisiologi sel, metabolisme, dan
pola ekspresi gen (Yang & Zhang, 2010).
Embriogenesis somatik memiliki keuntungan, yaitu embrio-embrio
somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, yakni memiliki ujung-ujung akar dan
pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap (Zulkarnain, 2009).
Proses pembentukan organogenesis dimulai dengan pembentukan dan
perkembangan tunas dari jaringan meristem dengan perubahan sel parenkim
tunggal atau sekelompok kecil sel yang membelah yang menghasilkan massa sel
globuler yang bersifat kenyal dan berkembang menjadi promidium pucuk atau
akar. Organogenesis dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Pembentukan tunas secara langsung tergantung pada bagian tanaman yang
digunakan sebagai eksplan dan jenis tanaman yang dikultur, sedangkan
organogenesis secara tidak langsung dapat dilakukan dengan inisiasi kalus pada
media tumbuh. Akar atau tunas adventif yang akan terbentuk diawali dengan

terbentuknya kalus (Nugrahani et al., 2011).
Perbanyakan tanaman melalui kalus akan menghasilkan tanaman dengan
genetik yang bervariasi. Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik
memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi.
Jaringan meristem memiliki sifat-sifat genetik yang stabil, memungkinkan
dihasikannya tanaman baru dengan sifat-sifat genetik yang identik dengan
induknya. Stabilitas meristem ditentukan oleh sejumlah faktor diantaranya sel-sel
meristem memiliki mekanisme penggandaan DNA yang lebih efisien daripada
sel-sel pada jaringan yang belum terorganisasi (misalnya kalus) sehingga
kemungkinan terjadinya mutasi sangat kecil (Stafford, 1991).

2.5. Keragaman Somaklonal Tanaman Kelapa Sawit Hasil Kultur Jaringan
Keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan tidak
seperti yang diharapkan. Salah satu yang umum ditemukan pada klon kelapa sawit
yang dihasilkan dari kultur jaringan adalah terjadinya perubahan 10-40% ke arah
abnormalitas pada organ reproduktif yaitu bunga dan buah. Terjadinya proses

Universitas Sumatera Utara

8


abnormalitas ini terjadi pada konversi satu atau lebih primodial anter menjadi
karpel tambahan yang lunak dan berkembang menjadi buah mantel (Corley et al.,
1986). Tidak terbentuknya buah pada abnormalitas karena tandan buah dipenuhi
oleh bunga jantan atau buah yang menyebabkan hilangnya produksi (Mathes et
al., 2001). Hasil penelitian Hetharie (2008) menggunakan jaringan daun,
bunga,dan buah mantel menunjukkan adanya perubahan metilasi pada jaringan
daun dan bunga tetapi diduga tidak berkaitan langsung dengan abnormalitas
bunga (mantel).
Pada kelapa sawit variasi somaklonal berefek pada pembentukan organ
pembungaan baik jantan maupun betina disebut dengan “mantled” (Jaligot et al.,
2004). Menurut Euwens et al. (2004) bahwa persentasi bunga mantled meningkat
dari 5% hingga 80% selama tiga sampai empat tahun proses regenerasi kultur.
Konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media berpengaruh terhadap
keragaman somaklonal, gangguan ekspresi gen yang diakibatkan fitohormon
(Jones, 1991), struktur kalus, lamanya subkultur dan umur kalus, tekanan seleksi
yang dipakai, jenis eksplan yang digunakan, level ploidi sumber eksplan dan
kecepatan proliferasi kalus (Skirven et al., 1994) sedangkan menurut Karp (1995)
terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman yaitu, derajat awal dari
pertumbuhan meristematik, konstitusi genetik dari material awal, dan zat pengatur

tumbuh pada media serta sumber jaringan.
Masalah abnormalitas pada kelapa sawit dapat diatasi apabila penyebab
abnormalitas dapat diidentifikasi atau tersedia teknologi untuk mendeteksi dan
menyeleksi bibit kelapa sawit abnormal (Budiana & Febrimarsa, 2010).

2.6. Mikrosatelit SSR (Simple Sequence Repeats)
Mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang berulang, dimana satu motif
mengandung satu sampai enam pasang basa yang diulang secara tandem dalam
sejumlah waktu (Navascues & Emerson, 2005). Mikrosatelit sangat baik
digunakan sebagai penanda genetik karena tingkat polimorfisme

yang tinggi

(Hancock,1999).

Universitas Sumatera Utara

9

Pada saat ini penanda molekuler yang paling luas digunakan untuk

mendeteksi keragaman genetik adalah SSR (simple sequence repeat), karena
sifatnya yang reproducible, kodominan, dan dapat mendeteksi variasi alel yang
tinggi (Utami, 2007). Penanda ini telah digunakan pada berbagai studi,
diantaranya studi keragaman genetik atau identifikasi varietas tanaman
(Bredemeijer et al., 2002). Untuk kelapa sawit, saat ini penanda SSR merupakan
penanda yang paling prospektif untuk menganalisis populasi dan mengetahui
struktur genetik populasi kelapa sawit (Singh et al., 2008; Zulhermana, 2009).
Penanda SSR ini juga telah digunakan secara luas untuk mengkarakterisasi
koleksi plasma nutfah kelapa sawit (Zaki et al., 2012) dan peta genetik kelapa
sawit berdasar penanda SSR juga telah dikonstruksi (Billote et al., 2010).
SSR dapat dideteksi dengan pewarnaan menggunakan teknik Silver
Staining

PAGE

(pewarnaan

perak

dengan


teknik

Polyacrilamyde

Gel

Electrophoresis). Proses SSR dapat diotomatisasi dengan menggunakan penanda
fluorescently-labeled dan alat analisis genetik (genetic

analyzer). Kelebihan

utama dari teknik SSR adalah pembacaan fragmen DNA lebih akukrat (ketelitian
sampai 1 bp), lebih otomatis, dan hightroughput (penanda yang berbeda ukuran
fragmen DNA dan warna labelnya dapat diperoses bersamaan dalam sekali
pendeteksian (running) (Santoso et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara