Pepatah-Petitih Dalam Adat Pernikahan Niniak Mamak Etnis Minangkabau Kajian Antropolinguistik

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUN PUSTAKA

2.1 Konsep
2.1.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,1981:108).
Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan
bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak bisa memperoleh makna dari kata itu
(Tjiptada, 1984:19).
Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan
istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni makna donatif, makna
konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui
adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni :
1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar
2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai
3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat
saling mengerti.


Universitas Sumatera Utara

Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap
pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna
tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasih. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam menyampaikan
maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu.
Untuk itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan
makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3)
membandingkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahasa dan ungkapan di atas tidak
diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus. Oleh sebab itu,
orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,
1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap
pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna
tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam penyampaian maksudnya,
bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan peribahasa,
pantun, ataupun ungkapan.

Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna konotasi.
Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan
atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal pemakai bahasa (Harimurti dalam

Universitas Sumatera Utara

Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini tidak sesuai lagi dengan makna sebenarnya atau makna
konsep yang terdapat dalam sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari
makna sebenarnya walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.
Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk memahami
makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang dituntut untuk
menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan setiap kata, tetapi
makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut. Selanjutnya, orang dituntut untuk
tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat
membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.
2.1.2 Pepatah-petitih
Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis
peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya
mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di

dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat,
memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara.
Edwar Djarmis; 1990:26 mengatakan bahwa pepatah-petitih itu ada yang bersifat
universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan banyak sesuai
dengan suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu
perumpamaan yang tepat; halus dan jelas; mutiara bahasa mustika bahasa, bunga bahasa,
keindahan bahasa, dan pula dianggap sebagai bahasa diplomasi. Menurut Aman (1961) nasehat
yang pahit sekalipun dengan sebuah peribahasa tidaklah akan tajam kedengaran, dan terang tidak
akan melukai hati yang mendegarkannya.

Universitas Sumatera Utara

Definisi peribahasa menurut para ahli, antara lain (1) kalimat atau kelompok perkataan
yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadaminta dalam Sudaryat,
2009:89); (2) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan
maksud tertentu; (3) ungkapan atau kalimat ringkas, padat yang berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau gambaran tingkah laku (KBBI dalam Sudaryat,
2009:89). Peribahasa ialah salah satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan
menunjukkan perlambangan kehidupan, peribahasa meliputi pepatah dan perumpamaan.
1. Pepatah

Pepatah didefinisikan sebagai; (1) peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, atau
sindiran (KBBI, 2009:90), (2) berupa ajaran dari orang-orang tua (Poerwadaminta dalam
Sudaryat, 2009:90), (3) kadang-kadang merupakan undang-undang dalam masyarakat (Zakaria
dan Sofyan dalam Sudaryat, 2009:90).
2. Perumpamaan
Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan dari kehidupan manusia. Ciri utama
dari perumpamaan ialah adanya kata-kata bagai, laksana, seperti dan sebagainya (Sudaryat,
2009:91).

2.1.3 Niniak Mamak
Niniak mamak di Minangkabau mempunyai peranan yang sangat penting dan
menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan niniak
mamak suatu nagari di Minangkabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan
karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, sebagai penghulu datuk harus tahu tugas dan
tanggung jawabnya terhadap saudara dan kemenakannya dalam membina, mengayomi,

Universitas Sumatera Utara

melindungi, dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi untuk kemakmuran kemenakannya.
Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari di kampung

di bahas oleh Niniak Mamak dari berbagai penjuru kepala suku atau datuk-datuknya.

2.1.4 Masyarakat Minangkabau
Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang
ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, dan
identitas agama Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi daratan Sumatera Barat, separuh
daratan Riau, bagian Utara Bengkulu, bagian Barat Jambi, pantai Barat Sumatera Utara, Barat
Daya Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang sering
disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat Kota
Padang. Namun, mereka biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak,
bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.
Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu,
etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara,
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan
sistem adat Bodi Caniago yang egaliter.


Universitas Sumatera Utara

Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling mengisi
dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga
pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim
ulama, cerdik pandai, dan niniak mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat

Minangkabau

yang

demokratis

dan

egaliter,


semua

urusan

masyarakat

dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Pernikahan Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan
yaitu pemberian sejumlah uang dan barang kepada keluarga mempelai laki-laki. Sesudah upacara
pernikahan mempelai tinggal di rumah istrinya (matrilokal). Di samping itu, Minangkabau juga
menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata lebih mengedepankan kata kiasan,
ibarat, metafora, dan nasehat. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun
ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada
yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu,
karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain
justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada
juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam

masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
bergantung kepada daerahnya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

Adat dalam perspektif Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur perilaku
yang tertulis dalam pepatah-petitih. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan
rumah adat Minang, bukan sendi atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya adalah Kitab
Suci Al-Qur’an dan alam Sunatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan perilaku
mengacu pada norma dan adat.
Masyarakat Minangkabau masih menjunjung adat kebersamaan dan saling bergotongroyong. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang religius. Nilai positif dari
suku Minang adalah, suku Minang menganut sistem matrineal yang mana keturunan berdasarkan
garis ibu, jadi harta akan jatuh ke tangan wanita, apabila suatu saat lelaki meninggalkan wanita,
maka wanita itu tidak menjadi rentan dan terlalu bergantung pada pria.

2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini mampu
menjelaskan fenomena yang terdapat pada pepatah-petitih, nilai-nilai budaya pepatah-petitih
yang


terdapat

Niniak-Mamak

dalam

pernikahan

Minangkabau.

Robert

Sibarani

mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin;
(4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan
kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12)
kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen;
(16) pikiran positif; (17) rasa syukur.


Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Antropolinguistik
Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar membicarakan
dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2) mempelajari
bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang
terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi, saling
mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan
kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat
dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari
kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan
dengan budaya.
Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa factor
budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta yang harus
dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian
antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau
unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.


2.2.2 Nilai-Nilai Budaya
Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku
yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland,

Universitas Sumatera Utara

1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi
abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia
(Mahsun, 2001: 2).
Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi atau kasat mata.
Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan penafsiran tindakan, perbuatan, dan
tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya
adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara
individual, sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup
masyarakat.
Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan oleh
Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang
menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah
menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada
zamannya. Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada
berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya), antara
lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan,
keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan
(Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup
(Koentjaraningrat, 2004:25). Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar

Universitas Sumatera Utara

pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang
dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi
atau sedang terjadi.
Sehubungan dengan ini Prosser (1978:303) mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya
yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai
menjadi lima bagian, yaitu (1) nilai yang berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai yang
berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang berhubungan dengan dan
berorientasi pada waktu, (4) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai
yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia.
Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam
kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai mana
yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap individu, yaitu
secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan
yang hadir di sekitarnya (Mintargo, 2000 :18)
Robert Sibarani mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2)
kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan
gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11)
kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian
konflik; (15) komitmen; (16) pikiran positif; (17) rasa syukur.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relavan
untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :
Parlindungan Purba (2002) tesis berjudul : Ruang Persepsi Metafora pada Umpasa
Masyarakat Batak Toba : Suatu Kajian Paragmatik. Kajian ini difokuskan pada ruang persepsi
metafora yang ditemukan dalam masyarakat Batak Toba pada kegiatan acara adat marhata
sinamot ‘memusyawarahkan uang emas kawin’, dan meranjuk’ pesta membayar adat.
Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat pernikahan
masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat pernikahan
masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut.
Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat
cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya.
Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku
Batak Toba yang dianalisis dengan metode padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang
digunakan adalah teori tindak tutur Searle.
Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai Makna ungkapan
dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna ungkapan yang ada
di dalam bahasa Batak Toba dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam bahasa Batak Toba. Dia
membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna nasehat, makna menyindir, makna
penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya terbagi kedalam lima bagian yaitu :
hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan
alam, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Universitas Sumatera Utara

Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat
Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha
‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang dominan, bagaiman cara
tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam pernikahan masyarakat Batak
Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara
sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah.
Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori
tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Basaria (2009) dalam Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11 yang
berjudul “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba” membahas nilai-nilai budaya yang
tecermin dari ungkapan indirecness metafor dalam bahasa Batak Toba. Sebagian dari nilai
budaya yang dimaksud adalah motivasi berusaha, rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku,
etika, dan moral yang hidup pada masyarakat Batak Toba.

Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam rapat adat
“suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis
tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriftif dengan
membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan
ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984), Wijana
(1996), dan Searle.

Universitas Sumatera Utara

Lilimiwirdi (2011) dalam tesisnya “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota
Padang” Berdasarkan fungsinya eufemisme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) Sebagai
penghalus makna, meliputi fungsi ramah-tamah, penghormatan, pertanggungjawaban, dan
ekonomi; (2) Eufemisme untuk menjaga ketabuan; (3) eufemisme untuk menyugesti sesuatu
yang tidak menyenangkan meliputi fungsi pengendalian, kesangsian, kecurigaan, penipuan,
kebohongan, menghindari kesalahpahaman, dan kehancuran. Melalui eufemisme, juga ditelusuri
ideologi dan nilai yang dipakai di dalam masyarakatnya. Ideologi yang ditemukan adalah
keagamaan, sosialisme, materialisme, adat istiadat, etika atau moral, dan estetika. Kemudian,
nilai yang ditemukan adalah nilai religius (Islam), kepercayaan (kekuatan supranatural),
kebersamaan, kasih-sayang, kearifan, kecurigaan, kebohongan, kewaspadaan, kesetaraan,
ekonomi dan penawaran, kesangsian, ketakutan/kengerian, adat istiadat, etika, dan estetika.

Basaria dalam Hipotesis Sapir – Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba, budaya dan
perilaku orang Batak dapat dilihat pada ungkapan dan bahasanya. Bahasa dalam ungkapan
biasanya dipergunakan dalam situasi-komunikasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam
pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Jadi ungkapan tersebut mengekspresikan perilaku dan nilai nilai yang telah lama ada
pada orang Batak dan sampai saat ini masih terus hidup. Orang Batak sangat menghargai nilainilai budaya/adat yang terdapat dalam berbagai ungkapan yang diturunkan oleh orang tuanya
(yang dipandangnya sebagai orang yang pantùn dalam masyarakatnya. Jadi kajian ini
membuktikan kebenaran HSW dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba mengekspresikan
budaya dan perilaku orang Batak sebaliknya perilaku dan Budaya orang Batak dapat
diekspresikan melalui ungkapan bahasa Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara