Pepatah-Petitih Dalam Adat Pernikahan Niniak Mamak Etnis Minangkabau Kajian Antropolinguistik

(1)

DATA INFORMAN

Informan 1

Nama

: H.Abdul Ma’as

Umur

: 62 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Jl. Bromo Gg. Aman Lorong Subur Surau Tujuh Koto

Lama menjabat

: 5 tahun

Jabatan

: Niniak Mamak Batu Kalang

Lama berdomisili : 62 tahun (sejak lahir)


(2)

Informan 2

Nama

: Yuli Anas

Umur

: 56 tahun

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Kampung piliang nagari batu kalang Padang Sago

Lama menjabat

: 7 tahun

Jabatan

: Kapalo Mudo Niniak Mamak

Lama berdomisili : 56 tahun (sejak lahir)


(3)

Informan 3

Nama

: Muhammad Herman

Umur

: 65 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Kampung piliang nagari batu kalang Padang Sago

Lama menjabat

: ± 10 tahun

Jabatan

: Niniak Mamak Batu Kalang Padang Sago

Lama berdomisili : 65 tahun (sejak lahir)


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusataka

Amir, M.S. 2007. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Basaria, Ida. “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba”. Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11. 01 Mei 2009. Diposkan oleh Departemen Sastra Daerah. FIB USU. Basaria. “Hipotesis Sapir –Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba”. Fakultas Ilmu Budaya USU.

Daeng J, Hans. 2000. “Kompleksitas Upacara Pernikahan”.

Daeng, J. Hans. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Djajasudarma, Fatimah dkk. 1997. Nilai Budaya Dalam Ungkapan dan Pribahasa Sunda. Jakarta :DEPDIKBUD

Hakimy,Idrus Dt Rajo Pangulu. Seribu Pepatah Petitih-Mamang-Bidal-Pantùn-Gurindam.

Bandung : Penerbit Remaja Karya.,1996.

Hutapea, Vera Nurcahaya. 2007. “Tuturan pada Upacara Adat pernikahan Masyarakat Batak Toba”. (skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta :Gramedia Pustaka Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Lilimiwirdi. 2011. “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota Padang”. (Tesis). Padang : Universitas Andalas.

Mintargo, Bambang. 2000. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti Mahsun.2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : Raja Grafindo Persada


(8)

Masinambow, E.K.M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta :Rineka Cipta.

Pekei, Titus.2013. Menggali nilai budaya tradisi lisan dari papua. Jakarta: Direktorat sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Santoso, Riyadi, Drs., M.Ed. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya. Pustaka Eureka

Sibarani. 2008. Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat Batak Toba. (Tesis) Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

Sihombing, Erni. 2008. Makna Ungkapan dalam Bahasa Karo (skripsi). Fakultas Sastra USU. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisi Bahasa. Yogyakarta: Dutawacana University Press

Tampubolon. 2010. Umpasa Masyarakat Batak Toba Dalam Rapat Adat Kajian Pragmatik. (Tesis)

Soekadjio.R.G.1993. Antropologi edisi keempat jilid I. Surakarta: Erlangga Sulistiono dkk. 2013. Seri Bahasa Indonesia. Medan: Aneka Ilmu.

Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Van Zoest, Aart. 1993. Semiotik. Yayasan Sumber Agung. Jakarta


(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah mengambil lokasi di Sumatera Barat Nagari Batu Kalang Padang Pariaman. Daerah ini merupakan daerah penutur asli bahasa Minangkabau. Penulis menganggap tempat ini layak dijadikan lokasi penelitian karena bahasa yang digunakan belum tercampur dengan bahasa lain dan didukung oleh masyarakat yang masih asli. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 19 April sampai dengan 19 Mei 2016.

3.2Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data lisandata yang diperoleh secara langsung dengan mewawancarai nara sumber untuk mengumpulkan data secara mendalam. Dan data sekunder yang diperoleh secara langsung dari buku seperti karya Amir M.S yang berjudul Adat


(10)

dengan makna peribahasa pada adat Niniak mamak. Sumber data penulis adalah informan yang memenuhi syarat yang ditentukan. Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka adat yang terlibat dan memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Niniak Mamak. Tidak semua orang mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering mengikutinya. Dalam penelitian ini informan akan melakukan wawancara dengan tiga orang marasumber. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.

1. Berjenis kelamin pria; 2. Berusia antara 30-60 tahun;

3. Jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya; 4. Berpendidikan ( minimal tamatan SD sederajat ) 5. Menguasai bahasa dan budaya Minang dengan baik;

6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya; 7. Dapat berbahasa Indonesia;

8. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun,1995:106).

3.3Metode Penelitian

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan suatu penelitian lapangan, penulis secara langsung turun ke lapangan dalam upaya memeroleh data yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian lapangan dilakukan di Sumatera Barat yang secara administrarif terdapat di Padang Sago, Nagari Batu Kalang. Keterbatasan untuk mengingat semua hasil pembicaraan atau wawancara


(11)

tersebut, maka dilakukan teknik catat. Penelitian mencatat semua data atau informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:137-139).

Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka adat yang terlibat dan memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Niniak mamak. Tidak semua orang mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering mengikutinya. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan ancangan Antropolinguistik untuk mendeskripsikan kebudayaan masyarakat ditinjau dari bahasa dalam konteks kebudayaan.

Setelah semua data teridentifikasi, langkah kerja selanjutnya adalah membuat analisis makna dari data yang ada. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Metode kepustakaan, yaitu penulis melakukan penelitian dengan mencari data dari buku-buku yang berhubungan dengan penulisan sebagai bahan acuan dari berbagai referensi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan dasar-dasar teori yang akan digunakan dan untuk mengkaji hasil penelitian atau informasi yang mendukung penelitian.

2. Metode observasi, yaitu penulis turun langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan terhadap tempat, dan peran pemakai bahasa serta perilaku selama pelaksanaan pengguna bahasa berlangsung.

3. Metode wawancara, data penelitian ini adalah data lisan dan tulisan. Data tulisan diperoleh dengan menggunakan metode simak (Sudaryanto, 1993:13) yaitu dengan menyimak pengguna bahasa. Metode ini dikembangkan teknik sadap, yaitu meninjau dan mempelajari secara langsung kata-kata yang diperoleh dari studi pustaka. Selanjutnya


(12)

digunakan teknik catat dengan mencatat data-data tulis yang diperoleh dari bahan pustaka yang digunakan.

Tahapan strategi metode pengumpulan data itu berakhir dengan transkip dan tataan data yang sistematis dan ditandai oleh transkip serta tertatanya data secara sistematis (Sudaryanto, 1986:36).

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana (sudaryanto, 1995:21). Metode ini digunakan untuk mengkaji nilai budaya yang ada di dalam peribahasa dikaji dari segi makna Harafiah yang dilanjutkan dengan menentukan makna yang tersirat dalam data) peribahasa dan dikaji secara antropolinguistik yang melibatkan masyarakat bahasa sebagai pendukung budaya pemilik peribahasa tersebut. Dalam menginterprestasikan data peribahasa, penulis mengubah bahasa Minang kedalam bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan agar hubungan antar kalimat yang terdapat dalam peribahasa tersebut dapat diperoleh maknanya serta dapat ditemukan nilai budaya masyarakat yang tercermin di dalamnya.

Ko ado kayu gadang di tangah padang

‘Jika ada pohon besar di tengah padang’

Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan

‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’

Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo


(13)

Mako basamo-samo baselo jo kaluargo

‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’

Makna dari Pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, pepatah-petitih ini di sampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin. Seorang suami yang sudah mempunyai keluarga merupakan raja di dalam keluarganya, tugas seorang suami adalah sebagai pelindung bagi keluarganya, sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dalam keluarga. Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo isi pepatah-petitih ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga sebaiknya sama-sama diselesaikan dengan duduk tenang dan tetap satu hati untuk membina rumah tangga yang penuh dengan cinta.

3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Pada tahap penyajian hasil analisis, sistematika yang digunakan adalah menggunakan model penyajian informal yang merujuk pada metode penyajian hasil analisis oleh Sudaryanto (1993). Penyajian informal digunakan dalam penelitian ini karena metode tersebut memungkinkan penjelasan mengenai suatu kaidah secara lengkap, rinci, dan terurai sehingga dapat memberikan nilai keterbacaan yang tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan.


(14)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Makna Petatah Petitih Niniak Mamak dalam pernikahan Minangkabau

Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat, memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara dan ditujukan kepada muda-mudi, pasangan pengantin, upacara menyambut tamu atau berbagai acara lainnya. Serta kadang kala Petatah Petitih juga diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam acara Adat Minangkabau pada acara Niniak Mamak di pesta pernikahan, biasanya hanya ada 3 bagian peribahasa yang diungkapkan, yaitu peribahasa pembukaan, peribahasa nasehat, dan peribahasa penutup atau harapan. Pateda (2001: 230) membagi makna ungkapan menjadi empat bagian yaitu :

1. Membandingkan (penyamaan) 2. Menasehati

3. Mengharapkan sesuatu 4. Mengejek

Dalam upacara Adat Niniak Mamak , hanya ada tiga makna yang terkandung sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, karena dalam Pepatah-petitih Minangkabau dalam acara


(15)

Niniak Mamak tidak ada makna mengejek. Jadi, sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, maka dari hasil mengamatan penulis makna pepatah-petitih dalam Niniak Mamak ada tiga yaitu:

1. Makna Penyamaan / Membandingkan

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna membandingkan /penyamaan dalam acara Niniak Mamak dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:

Data (1) Elok rumah badiri kokoh

‘Bagus rumah berdiri kokoh’

Tiado tiang nyo ka bagoyang

‘Tidak ada tiang nya akan bergoyang’

Sia nan diparsuntiang nak daro

‘Siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan’

Inyo ka manjadi kamanakan mamak

‘Dia akan tetap menjadi keluarga paman’

Makna dari kata-kata pepatah-petitih adalah makna penyamaan yang ditemukan pada bagian isi sia nan diparsuntiang nak daro dengan inyo ka manjadi kamanakan mamak ‘siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan, suami akan tetap menjadi keluarga paman’ adalah bagian isi dari pepatah-petitih yang maknanya menyamakan kedudukan hak marapulai (pengantin laki-laki) seperti anak kemenakan mamak nak daro (pengantin perempuan). Dengan demikian, jika anak daro dipersunting suku lain, maka marapulai tersebut tetap akan menjadi anak kemenakan paman dari nak daro.

Data (2)

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna membandingkan /penyamaan dalam acara Niniak Mamak dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:


(16)

‘Tangga mencari enau’

Anau tatap sigai baranjak

‘Enau tetap tangga pindah

Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta

‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar’

Nan nak daro mananti di rumah

‘Yang pengantin perempuan menanti di rumah’

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna membandingkan yang ditemukan pada bagian isi Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta, nan nak daro mananti di rumah ‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar, yang pengantin perempuan menanti di rumah’ dalam setiap adat pernikahan Minangkabau semua laki-laki akan diantar ke rumah istrinya dan akan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau di kampung halaman istrinya. Bila terjadi perceraian, maka suami yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal di rumah bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istri meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda, untuk dibawa kembali ke dalam lingkungan kampung halaman.

2. Makna Menasehati

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak dapat dilihat dari contoh berikut :

Data (3) Ko ado kayu gadang di tangah padang

‘Jika ada pohon besar di tengah padang’

Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan

‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’


(17)

‘Kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga

Mako basamo-samo baselo jo kaluargo

‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, pepatah-petitih ini disampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin, tugas seorang suami adalah sebagai pelindung bagi keluarganya, sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dalam keluarga. Makna menasehati yang ditemukan pada bagian isi Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo ‘kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga, maka bersama-sama bersila dengan keluarga’ ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga sebaiknya sama-sama diselesaikan dengan duduk tenang dan tetap satu hati untuk membina rumah tangga yang penuh dengan cinta.

Data (4)

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak dapat dilihat dari contoh berikut :

Malompek samo patah

‘Melompat sama patah’

Manyaruduak samo bungkuak

‘Menyeruduk sama bungkuk’

Tatungkuik samo makan tanah

‘Tertelungkup sama makan tanah’

Susah sanang samo samo

‘Susah senang sama-sama’

Masalah datang dihadang baduao


(18)

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati yang ditemukan pada bagian isi susah sanang samo-samo, masalah datang dihadang baduo ‘susah senang sama-sama, masalah datang dihadang berdua’ yang ditujukan untuk kedua calon pengantin. Pepatah-petitih ini dapat disimpulkan bahwa suami istri harus mempunyai sifat setia, yang dimaksud dengan setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan keluarga. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga baik susah ataupun senang sama-sama dilalui dengan sabar. Pengantin diberi nasehat agar berjanji tidak boleh berpisah atau bercerai kecuali dipisahkan oleh kematian. Pengantin juga harus saling melengkapi satu sama lain agar terjalin hubungan yang harmonis, saling pengertian agar seia-sekata dalam suka dan duka dan menjadi pasangan yang satu perasaan dan satu pemikiran.

Data (5)

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak dapat dilihat dari contoh berikut :

Gunuang biaso timbunan kabuik

‘Gunung biasa timbunan kabut’

Lurah biaso timbunan aie

‘Lurah biasa timbunan air’

Lauik biaso timbunan ombak

‘Laut biasa timbunan ombak’

Ko baribuik hati kaduonyo

‘Kalau ribut hati berdua ini (suami istri)’

Nan suami harus mangalah

Yang suami harus mengalah

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati. Biasanya petuah ini disampaikan kepada pengantin laki-laki harus mempunyai sifat arif bijaksana yang dapat


(19)

memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Isi pepatah-petitih yang mengandung makna menasehati ditemukan pada bagian isi ko baribuik hati kaduo ko, nan suami harus mangalah ‘kalau ribut hati berdua ini (suami istri), yang suami harus mengalah’ seorang suami mampu menangkis setiap bahaya yang akan datang. Serta mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih.

Data (6)

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak dapat dilihat dari contoh berikut :

Bakati samo barek

‘Menimbang sama berat’

Maukue samo panjang

‘Mengukur sama panjang’

Tibo di mato indak dipiciangkan

‘Tiba di mata tidak dipicingkan’

Tibo di paruik indak dikampihkan

‘Tiba di perut tidak dikempiskan’

Tibo di dado indak dibusuangkan

‘Tiba di dada tidak dibusungkan’

Jiko bakato marapulai ko nan manieh

‘Jika berkata suami haruslah manis’

Walau baban dipikua surang

‘Walau beban dipikul sendiri’

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, yang ditujukan kepada calon suami (marapulai) yang disampaikan oleh Niniak-Mamak. Marapulai diberi arahan agar


(20)

dapat bersifat adil, adil adalah dapat mengambil sikap yang tidak berat sebelah dan berpegang teguh pada kebenaran. Serta seorang suami harus pandai membawakan diri dan harus bijaksana, sehingga dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga kelak. Makna menasehati terdapat pada isi jiko bakato marapulai ko nan manieh, walau baban dipikua surang ‘jika berkata lelaki haruslah manis, walau beban dipikul sendiri’ yang artinya meskipun suami memiliki beban kerja yang banyak sebaiknya tidak dilampiaskan kepada istri, dan suami hendaklah menguntaikan kalimat yang baik atau manis untuk memikat istri tersebut.

Data (7)

Pepatah-petitih yang menggambarkan makna menasehati dalam adat Niniak Mamak dapat dilihat dari contoh berikut :

Dalam awa akhie membayang

‘Dalam awal akhir terbayang’

Dalam baiak kanalah buruak

‘Dalam baik ingatlah buruk’

Dalam galak tangieh kok tibo

‘Dalam tawa tangis menghadang’

Hati gadang hutang kok tumbuah

‘Hati ria hutang tumbuh’

Kok ado rundiang ba nan batin

‘Jika ada masalah yang membantin’

Patuik baduo jan batigo

‘Diselesaikan berdua saja jangan bertiga’ Nak jan lahia didanga urang


(21)

Makna pepatah-petitih di atas adalah makna menasehati, ditujukan untuk kedua calon pengantin. Bahwa ketika sudah berumah tangga suami istri harus mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat. Makna menasehati terdapat pada bagian isi kok ado rundiang ba nan batinpatuik baduo jan batigonak jan lahia didanga urang‘kalau ada masalah yang membantin, diselesaikan berdua saja jangan bertiga, jangan sampai didengar orang’ maksudnya adalah dalam setiap permasalahan selalu diselesaikan dengan akal sehat dan diselesaikan berdua saja, menggunakan akal pikiran dengan baik, serta menggunakan otak untuk berfikir dan memanfaatkan alam untuk hidup dan kehidupannya. Serta masalah setidaknya jangan sampai didengar oleh orang banyak.

3. Makna Mengharapkan Sesuatu

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :

Data (8) Bajalan anak surang tak dahulu

‘Berjalan anak sendiri tidak dahulu’

Bajalan baduo tak ditangah

‘Berjalan berdua tidak di tengah’

Diharoikhemat cermat anak selalu

‘Diharap hemat cermat anak selalu’

Martabat nan ditanam tidaklah lengah

‘Martabat yang ditanam tidaklah lengah’

Makna dari pepatah-petitih tersebut adalah, makna mengharapkan sesuatu yang terdapat pada kata diharoik hemat cermat anak selalu dan martabat nan ditanam tidaklah lengah ‘diharap hemat cermat anak selalu, martabat yang ditanam tidaklah lengah’ makna sebuah


(22)

harapan yang ditujukan kepada suami istri agar kelak mendapatkan anak yang mempunyai sifat hemat dan cermat, serta diharap anak juga dapat bertindak pada saat dan waktunya, melihat kepada tempat dan keadaan, pandai menyesuaikan diri pada setiap tingkatan masyarakat, tidak merasa rendah diri dalam pergaulan, dan anak yang hormat kepada orang tua serta mempunyai sifat terbuka.

Data (9)

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :

Indak bataratak anak bakato asiang

‘Tidak bertempat anak berkata asing’

Bukan mahariak mahantam tanah

‘Bukan melawan menghantam tanah’

Samoga pandai anak batinggang di nan rumik

‘Semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit’

Dapek anak bakisa di nan sampik

‘Dapat anak hidup di tempat sempit’

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna mengharapkan sesuatu, terdapat pada isi pepatah-petitih samoga pandai anak batinggang di nan rumik, dapek anak bakisa di nan sampik ‘semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit, dapat anak hidup di tempat sempit’

diharapkan agar ketika suami dan istri mempunyai anak semoga anak tersebut selalu mempunyai sifat lapang hati, tidak mudah marah dan angkuh, pemaaf, serta mempunyai ketenangan dalam menghadapi segala hal. Diharapkan anak mempunyai sifat ramah tamah, sopan santun, hormat dan mencerminkan tingkah laku yang berlandaskan budi luhur orang Minang.


(23)

Data (10)

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung makna mengharapkan sesuatu terdapat pada data berikut :

Rumah gadang di dapan lumbuang nan tarukir

‘Rumah gadang di depan lumbung yang terukir’

Jo nan kuaso yang Maha Pencipto

‘Itu karena kuasa yang Maha Pencipta’

Kok lai punyo anak laki-laki

‘Jika punya anak laki-laki’

Samoga ka dapek anak yang nan bijaksano pandai mamimpin

‘semoga mendapat anak yang bijaksana pandai memimpin’

Kok lai punyo anak padusi

Jika punya anak perempuan

Samoga pandai batutur kato nan elok

‘Semoga pandai bertutur kata yang baik’

Makna dari pepatah-petitih di atas adalah makna mengharapkan sesuatu, yang terdapat pada isi pepatah-petitih kok lai dapek anak laki-laki, samoga ka dapek anak nan bijaksano pandai mamimpin ‘jika punya anak laki-laki, semoga mendapat anak yang bijaksana pandai memimpin’ isi pepatah-petitih ini ditujukan suami istri jika mempunyai anak laki-laki, diharapkan anak laki-laki dalam keluarga selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan perbuatannya yang akan merusak nama baik keluarga, karena kelak nantinya anak laki-laki dijadikan pemimpin keluarga hendaklah mencerminkan perilaku yang baik dan sempurna baik dari perkataan, duduk, minum, makan, berjalan, berpakaian sehingga dapat menjadi contoh untuk masa yang akan datang. Sedangkan pada kata kok lai dapek anak padusi, samoga pandai batutur


(24)

kata nan elok ‘jika dapat anak perempuan, semoga pandai bertutur kata yang baik’ yang artinya diharapkan ketika mendapat anak perempuan mampu bertutur kata yang baik dan bertingkah laku yang sopan layaknya anak gadis Minang.

4.2 Nilai-Nilai Budaya yang Terdapat Pada Acara Niniak-Mamak dalam Pernikahan Minagkabau.

Pepatah-petitih dalam pernikahan Adat Minangkabau memiliki makna yang mengandung nilai budaya. Menurut Kamus Besar Indonesia (KUBI), nilai berarti harga, angka, kepandaian, kadar mutu, banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau Adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut. Nilai bukan hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu tentang yang baik dan buruk.

Sibarani (2014:178) membagi nilai-nilai budaya kearifan lokal menjadi dua bagian yaitu kedamaian dan kesejahteraan. Kedamaian yaitu kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur. Sedangkan kesejahteraan yaitu kerja keras, displin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolahan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, dan peduli lingkungan


(25)

1. Nilai Kerukunan dan Penyelesaian Konflik

Menurut Sibarani nilai kerukunan dan penyelesaian konflik adalah adanya sikap kesopansantunan, kejujuran, dan kesetiakawanan sosial yang mengakibatkan tumbuhnya kerukunan antar keluarga. Meskipun dihadapkan pada konflik internal, namun para keluarga selalu menyelesaikan konflik tersebut dengan cara musyawarah atau kekeluargaan. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data (4)

Data (4) Malompek samo patah

‘Melompat sama patah’

Manyaruduak samo bungkuak

‘Menyeruduk sama bungkuk’

Tatungkuik samo makan tanah

‘Tertelungkup sama makan tanah’

Susah sanang samo samo

‘Susah senang sama-sama’

Masalah datang dihadang baduao

‘Masalah datang dihadang berdua’

Data (4) isi dari pepatah-petitih yang menyatakan nilai budaya kerukunan dan penyelesaian konflik yang terdapat pada isi susah sanang samo-samo, masalah datang dihadang baduo ‘susah senang sama-sama, masalah datang dihadapi berdua’ karena terdapat pengertian bahwa antara suami dan istri jika terjadi suatu masalah, perpecahan, beda pendapat, atau bahkan perkelahian antara suami istri sebaiknya sama-sama dihadang berdua untuk menghindari masalah yang datang. Ketika sudah berumah tangga suami istri diharapkan mampu membentuk rumah


(26)

tangga yang baik, serta suami istri merupakan penyambung silahturahmi dan saling menciptakan kerukunan dalam keluarga.

Data (5)

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data

Gunuang biaso timbunan kabuik

‘Gunung biasa timbunan kabut’

Lurah biaso timbunan aie

‘Lurah biasa timbunan air’

Lauik biaso timbunan ombak

‘Laut biasa timbunan ombak’

Ko baribuik hati kaduonyo

‘Kalau ribut hati berdua ini (suami istri)’

Nan suami harus mangalah

Yang suami harus mengalah

Data (5) berisikan sebuah nilai yang mencerminkan nilai budaya kerukunan dan penyelesaian konflik yang pada isi pepatah-petitih ko ribuik hati kaduonyo,nan suami harus mengalah ‘kalau ribut hati berdua ini (suami istri), yang suami harus mengalah, maksudnya adalah jika terjadi permasalahan dalam keluarga tugas suami hendaklah mengalah untuk menyelesaikan masalah tersebut sehingga tidak menjadi masalah yang besar.


(27)

Data (7)

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data

Dalam awa akhie membayang

‘Dalam awal akhir terbayang’

Dalam baiak kanalah buruak

‘Dalam baik ingatlah buruk’

Dalam galak tangieh kok tibo

‘Dalam tawa tangis menghadang’

Hati gadang hutang kok tumbuah

‘Hati ria hutang tumbuh’

Kok ado rundiang ba nan batin

‘Jika ada masalah yang membatin’

Patuik baduo jan batigo

‘Diselesaikan berdua saja jangan bertiga’ Nak jan lahia didanga urang

‘Jangan sampai didengar orang’

Data di atas menunjukkan nasehat-nasehat orang Minang yang mengandung nilai kerukunan dan penyelesaian konflik. Isi pepatah-petitih yang mengandung nilai penyelesaian konflik kok ado rundiang ba nan batinpatuik baduo jan batigonak jan lahia di danga urang

kalau ada masalah yang membatin, diselesaikan berdua saja jangan bertiga, jangan sampai didengar orang’ maksudnya adalah dalam setiap permasalahan selalu diselesaikan dengan akal sehat dan diselesaikan berdua saja, menggunakan akal pikiran dengan baik. Dan juga


(28)

menggunakan hati sehingga dapat saling memahami manusia lain dengan mengembangkan perasaan dan hati nurani. Serta masalah setidaknya jangan sampai didengar oleh orang banyak.

Data (3)

Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kerukunan dan penyelesaian konflik terdapat pada data

Ko ado kayu gadang di tangah padang

‘Jika ada pohon besar di tengah padang’

Mako ka manjadi tampek balinduang kapanasan

‘Maka akan menjadi tempat berlindung kepanasan’

Ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo

‘Kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga

Mako basamo-samo baselo jo kaluargo

‘Maka sama-sama bersila dengan keluarga’

Pepatah-petitih ini disampaikan oleh urang nan tuo kepada kedua pengantin. Nilai penyelesaian konflik terdapat pada bagian isi ko ado duri nan mancucuak dalam kaluargo, mako basamo-samo baselo jo kaluargo ‘kalau ada duri yang menusuk dalam keluarga, maka bersama-sama bersila dengan keluarga’ isi pepatah-petitih ini merupakan nasehat untuk kedua pengantin yang artinya, jika ada masalah dalam keluarga sebaiknya sama-sama diselesaikan dengan duduk tenang dan tetap satu hati untuk membina rumah tangga yang penuh dengan cinta.

2. Nilai Komitmen

Menurut Sibarani nilai komitmen adalah nilai yang merupakan pengakuan seutuhnya, sebagai sikap yang sebenarnya yang berasal dari watak yang keluar dari dalam diri seseorang, meskipun setiap anggota keluarga memiliki sifat, pekerjaan dan kondisi keluarga yang


(29)

berbeda-beda. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai komitmen terdapat pada data (1)

Data (1) Elok rumah badiri kokoh

‘Bagus rumah berdiri kokoh’

Tiado tiang nyo ka bagoyang

‘Tidak ada tiang nya akan bergoyang’

Sia nan diparsuntiang nak daro

‘Siapa yang akan dinikahi oleh calon perempuan’

Inyo kamanjadi kamanakan mamak

‘Dia akan tetap menjadi keluarga paman’

Data (1) di atas mencerminkan nilai budaya komitmen yang terdapat pada isi pepatah-petitih sia nan dipersunting nak daro inyo ka manjadi kamanakan mamak, adalah komitmen antara keluarga mempelai wanita terhadap siapa saja yang menjadi calon untuk nak daro tersebut. Maka laki-laki yang menikah tadi akan tetap dianggap menjadi anak paman atau keluarga dari mempelai wanita.

3. Nilai Kesopansantunan

Menurut Sibarani nilai kesopansantunan adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalu sikap, perbuatan atau tingkah laku yang diciptakan oleh keluarga. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang menunjukkan adanya nilai kejujuran terdapat pada data (6)

Data (6) Bakati samo barek

‘Menimbang sama berat’

Maukue samo panjang


(30)

Tibo di mato indak dipiciangkan

‘Tiba di mata tidak dipicingkan’

Tibo di paruik indak dikampihkan

‘Tiba di perut tidak dikempiskan’

Tibo di dado indak dibusuangkan

‘Tiba di dada tidak dibusungkan’

Jiko bakato marapulai ko nan manieh

‘Jika berkata suami haruslah manis’

Walau baban dipikua surang

‘Walau beban dipikul sendiri’

Data (6) berisi sebuah nilai yang mencerminkan nilai kesopansantunan terdapat pada bagian isi pepatah-petitih jiko bakato marapulai ko nan manieh, walau baban di pikua surang, ‘jika berkata suami haruslah manis, walau beban dipikul sendiri’ yang artinya meskipun suami memiliki beban kerja yang banyak bagaimanapun suami harus tetap berperlaku yang baik kepada istri, sehingga istri dapat mengerti. Dan suami hendaklah menguntaikan kalimat yang baik atau manis untuk memikat istri tersebut.

4. Nilai Disiplin

Menurut Pratt Fairshild nilai disiplin adalah nilai yang dapat mengarahkan orang-orang yang berperilaku dan bersikap berdasarkan patokan atau batasan tingkah laku tertentu yang diterima dalam kelompok atau lingkup sosial masing-masing. Pengaturan tingkah laku tersebut bisa diperoleh melalui jalur pendidikan dan pembelajaran. Pepatah-petitih Minangkabau adat Niniak-Mamak yang mengandung nilai disiplin terdapat pada data (8) dan (9)


(31)

Data (8) Bajalan anak surang tak dahulu

‘Berjalan anak sendiri tidak dahulu’

Bajalan baduo tak di tangah

‘Berjalan berdua tidak di tengah’

Diharoikhemat cermat anak selalu

‘Diharap hemat cermat anak selalu’

Martabat nan ditanam tidaklah lengah

‘Martabat yang ditanam tidaklah lengah’

Pepatah-petitih tersebut mengandung nilai disiplin. Yang mengandung nilai disiplin terdapat pada isi bajalan anak surang tak dahulu, bajalan baduo tak ditangah ,diharoik hemat cermat anak selalu, martabat nan di tanam tidaklah lenga ‘berjalan anak sendiri tidak dahulu, berjalan berdua tidak di tengah, diharap anak hemat cermat selalu, martabat ditanam tidaklah lengah’ . Mengandung nilai disiplin karena pengharapan yang ditujukan kepada suami istri agar mampu mendidik anak untuk menjaga martabat keluarganya, agar kelak mendapatkan anak yang dapat bertindak pada saat dan waktunya, melihat kepada tempat dan keadaan, pandai menyesuaikan diri pada setiap tingkatan masyarakat, hormat kepada orang tua serta mempunyai sifat terbuka.

Data (9)

Pepatah-petitih Minangkabau adat Niniak-Mamak yang mengandung nilai disiplin terdapat pada data

Indak bataratak anak bakato asiang

‘Tidak bertempat anak berkata asing’

Bukan mahariak mahantam tanah


(32)

Samoga pandai anak batinggang di nan rumik

‘Semoga pandai anak menyesuaikan di tempat rumit’

Dapek anak bakisa di nan sampik

‘Dapat anak hidup di tempat sempit’

Pepatah-petitih di atas mengandung nilai disiplin, terdapat pada isi pepatah-petitih

samogapandai anak batinggang di nan rumik, dapek anak bakisa di nan sampik‘semoga pandai anak hidup ditempat yang rumit, dapat anak menyesuaikan diri di tempat yang sempit’

diharapkan agar ketika suami dan istri mempunyai anak mampu menerepakan sifat disiplin untuk anak, agar anak mampu menyesuaikan diri di lingkungan sekitarnya, baik lingkungan besar ataupun lingkungan kecil.

5. Nilai Religi

Menurut Sibarani nilai religi adalah merupakan dasar dari pembentukkan budaya religius, nilai yang bersifat kerohanian yang tinggi, bersifat mutlak dan abadi, serta bersumber pada kepercayaan dan keyakinan dalam diri manusia. Pepatah-petitih Minangkabau pada acara Niniak-Mamak yang mengandung nilai religi terdapat pada data (10)

Data (10) Rumah gadang di dapan lumbuang nan tarukir

‘Rumah gadang di depan lumbung yang terukir’

Jo nan kuaso yang maha pencipto

‘Itu karena kuasa yang Maha Pencipta’

Kok lai punyo anak laki-laki

‘Jika punya anak laki-laki’

Samoga ka dapek anak yang nan bijaksano pandai mamimpin


(33)

Kok lai punyo anak padusi

Jika punya anak perempuan

Samoga pandai batutur kato nan elok

‘Semoga pandai bertutur kata yang baik’

Data (10) pada kalimat mengandung nilai religi jo nan kuaso Maha Pancipto ‘dengan kuasa Yang Maha Pencipta’ yang menujukan sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kuasa-Nya agar kelak suami istri mendapatkan anak yang baik sebagai pemimpin serta berperilaku yang sopan santun terdahap sesama manusia.

6. Nilai Pengelolaan Gender

Menurut Suryadi dan Idris nilai pengelolaan gender adalah jenis kelamin sosial dan konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Pepatah-petitih Minangkabau adat Niniak Mamak yang mengandung nilai pengelolaan gender terdapat pada data

Data (2) Sigau mancari anau ‘Tangga mencari enau’ Anau tatap sigai baranjak

‘Enau tetap tangga pindah

Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta

‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar’

Nan nak daro menanti di rumah

‘Yang pengantin perempuan tetap di rumah’

Pepatah-petitih di atas terdapat nilai pengelolaan gender. Yaitu dengan membandingkan antara kedudukan suami dan istri. Yang mengandung nilai pengelolaan gender terdapat pada isi nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta dengan nan nak daro menanti dirumah‘pengantin


(34)

laki-laki datang karena dijemput pergi dengan diantar yang pengantin perempuan tetap di rumah’ Dalam setiap adat pernikahan Minangkabau semua laki-laki akan diantar ke rumah istrinya dan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat. Bila terjadi perceraian, maka suami yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal di rumah bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.


(35)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Adapun yang menjadi simpulan dari penelitian ini adalah:

1. Dalam data pepatah-petitih pernikahan Adat Minangkabau terdapat tiga makna pepatah-petitih (peribahasa) yaitu:

1. Membandingkan (penyamaan) 2. Menasehati

3. Mengharapkan sesuatu

2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap makna pepatah-petitih bahasa Minangkabau dapat disimpulkan adanya nilai-nilai budaya yang terdapat pada masyarakat Minangkabau yang bernilai baik seperti : nilai kejujuran, nilai komitmen, nilai kerukunan dan penyelesaian konflik, nilai pengelolaan gender, nilai religi, dan nilai disiplin.

5.2 Saran

Peneliti berharap agar peneliti-peneliti lain melakukan penelitian sejenis dalam suku/etnik lain. Untuk mendukung suksesnya peneliti lanjutan, kiranya masyarakat Minangkabau turut berpartisipasi mendukung penelitian setiap budaya yang ada dalam masyarakat agar budaya itu sendiri tidak punah, khusunya untuk masyarakat Minangkabau agar tetap memakai dan mempertahankan pepatah-petitih (peribahasa) dengan cara sering mengucapkan pepatah-petitih (peribahasa) tersebut dalam kehidupan sehari-hari.


(36)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,1981:108). Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak bisa memperoleh makna dari kata itu (Tjiptada, 1984:19).

Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni makna donatif, makna konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni :

1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar 2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai

3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.


(37)

Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasih. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam menyampaikan maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu.

Untuk itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3) membandingkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahasa dan ungkapan di atas tidak diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus. Oleh sebab itu, orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin, 1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam penyampaian maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan peribahasa, pantun, ataupun ungkapan.

Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna konotasi. Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal pemakai bahasa (Harimurti dalam


(38)

Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini tidak sesuai lagi dengan makna sebenarnya atau makna konsep yang terdapat dalam sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari makna sebenarnya walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.

Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk memahami makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang dituntut untuk menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan setiap kata, tetapi makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut. Selanjutnya, orang dituntut untuk tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

2.1.2 Pepatah-petitih

Peribahasa atau yang biasa orang Minang sebut dengan Pepatah-petitih merupakan jenis peribahasa yang berisi nasehat atau ajaran dari orang-orang tua. Padanan setiap katanya mengandung aturan dasar dalam berperilaku. Makna pepatah-petitih yang terkandung di dalamnya sangat dalam dan bijak. Pepatah-petitih sering digunakan untuk memberi nasehat, memberi sindiran halus, memberi pujian, untuk mematahkan pembicaraan lawan bicara.

Edwar Djarmis; 1990:26 mengatakan bahwa pepatah-petitih itu ada yang bersifat universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan banyak sesuai dengan suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu perumpamaan yang tepat; halus dan jelas; mutiara bahasa mustika bahasa, bunga bahasa, keindahan bahasa, dan pula dianggap sebagai bahasa diplomasi. Menurut Aman (1961) nasehat yang pahit sekalipun dengan sebuah peribahasa tidaklah akan tajam kedengaran, dan terang tidak akan melukai hati yang mendegarkannya.


(39)

Definisi peribahasa menurut para ahli, antara lain (1) kalimat atau kelompok perkataan yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadaminta dalam Sudaryat, 2009:89); (2) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan maksud tertentu; (3) ungkapan atau kalimat ringkas, padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau gambaran tingkah laku (KBBI dalam Sudaryat, 2009:89). Peribahasa ialah salah satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambangan kehidupan, peribahasa meliputi pepatah dan perumpamaan.

1. Pepatah

Pepatah didefinisikan sebagai; (1) peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, atau sindiran (KBBI, 2009:90), (2) berupa ajaran dari orang-orang tua (Poerwadaminta dalam Sudaryat, 2009:90), (3) kadang-kadang merupakan undang-undang dalam masyarakat (Zakaria dan Sofyan dalam Sudaryat, 2009:90).

2. Perumpamaan

Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan dari kehidupan manusia. Ciri utama dari perumpamaan ialah adanya kata-kata bagai, laksana, seperti dan sebagainya (Sudaryat, 2009:91).

2.1.3 Niniak Mamak

Niniak mamak di Minangkabau mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan niniak mamak suatu nagari di Minangkabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, sebagai penghulu datuk harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap saudara dan kemenakannya dalam membina, mengayomi,


(40)

melindungi, dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi untuk kemakmuran kemenakannya. Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari di kampung di bahas oleh Niniak Mamak dari berbagai penjuru kepala suku atau datuk-datuknya.

2.1.4 Masyarakat Minangkabau

Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaa identitas agama Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi darat darat Daya disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat

urang awak,

bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.

Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendika Menurut

dan Datuk Ketumanggungan

mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter.


(41)

Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan niniak mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

Pernikahan Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan yaitu pemberian sejumlah uang dan barang kepada keluarga mempelai laki-laki. Sesudah upacara pernikahan mempelai tinggal di rumah istrinya (matrilokal). Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata lebih mengedepankan kata kiasan, ibarat, metafora, dan nasehat. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.


(42)

Adat dalam perspektif Minangkabau merupakan sistem nilai yang mengatur perilaku yang tertulis dalam pepatah-petitih. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang bangunan rumah adat Minang, bukan sendi atau pondasi) dari adat, yang rujukan utamanya adalah Kitab Suci Al-Qur’an dan alam Sunatullah yang tidak tertulis. Sedangkan budaya merupakan perilaku mengacu pada norma dan adat.

Masyarakat Minangkabau masih menjunjung adat kebersamaan dan saling bergotong-royong. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang religius. Nilai positif dari suku Minang adalah, suku Minang menganut sistem matrineal yang mana keturunan berdasarkan garis ibu, jadi harta akan jatuh ke tangan wanita, apabila suatu saat lelaki meninggalkan wanita, maka wanita itu tidak menjadi rentan dan terlalu bergantung pada pria.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini mampu menjelaskan fenomena yang terdapat pada pepatah-petitih, nilai-nilai budaya pepatah-petitih yang terdapat Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau. Robert Sibarani mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen; (16) pikiran positif; (17) rasa syukur.


(43)

2.2.1 Antropolinguistik

Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar membicarakan dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2) mempelajari bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan dengan budaya.

Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa factor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.

2.2.2 Nilai-Nilai Budaya

Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland,


(44)

1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia (Mahsun, 2001: 2).

Nilai budaya merupakan suatu gejala abstrak, ideal dan tidak inderawi atau kasat mata. Nilai budaya hanya bisa diketahui melalui pemahaman dan penafsiran tindakan, perbuatan, dan tuturan manusia (Saryono, 1997:31). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual, sosial, dan religius-transendental untuk dapat terjaganya pandangan hidup masyarakat.

Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan oleh Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada zamannya. Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya), antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan (Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).

Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 2004:25). Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar


(45)

pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.

Sehubungan dengan ini Prosser (1978:303) mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai menjadi lima bagian, yaitu (1) nilai yang berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi pada waktu, (4) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia.

Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai mana yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap individu, yaitu secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan yang hadir di sekitarnya (Mintargo, 2000 :18)

Robert Sibarani mengkalsifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong-royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen; (16) pikiran positif; (17) rasa syukur.


(46)

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relavan untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :

Parlindungan Purba (2002) tesis berjudul : Ruang Persepsi Metafora pada Umpasa Masyarakat Batak Toba : Suatu Kajian Paragmatik. Kajian ini difokuskan pada ruang persepsi metafora yang ditemukan dalam masyarakat Batak Toba pada kegiatan acara adat marhata sinamot ‘memusyawarahkan uang emas kawin’, dan meranjuk’ pesta membayar adat.

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut. Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya. Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku Batak Toba yang dianalisis dengan metode padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang digunakan adalah teori tindak tutur Searle.

Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai Makna ungkapan dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna ungkapan yang ada di dalam bahasa Batak Toba dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam bahasa Batak Toba. Dia membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna nasehat, makna menyindir, makna penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya terbagi kedalam lima bagian yaitu : hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.


(47)

Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Pernikahan Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang dominan, bagaiman cara tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam pernikahan masyarakat Batak Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah. Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Basaria (2009) dalam Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11 yang berjudul “Ungkapan Metafora Pada Etnis Batak Toba” membahas nilai-nilai budaya yang tecermin dari ungkapan indirecness metafor dalam bahasa Batak Toba. Sebagian dari nilai budaya yang dimaksud adalah motivasi berusaha, rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku, etika, dan moral yang hidup pada masyarakat Batak Toba.

Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam rapat adat “suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriftif dengan membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.


(48)

Lilimiwirdi (2011) dalam tesisnya “Eufimisme dalam masyarakat Minangkabau di Kota Padang” Berdasarkan fungsinya eufemisme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) Sebagai penghalus makna, meliputi fungsi ramah-tamah, penghormatan, pertanggungjawaban, dan ekonomi; (2) Eufemisme untuk menjaga ketabuan; (3) eufemisme untuk menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan meliputi fungsi pengendalian, kesangsian, kecurigaan, penipuan, kebohongan, menghindari kesalahpahaman, dan kehancuran. Melalui eufemisme, juga ditelusuri ideologi dan nilai yang dipakai di dalam masyarakatnya. Ideologi yang ditemukan adalah keagamaan, sosialisme, materialisme, adat istiadat, etika atau moral, dan estetika. Kemudian, nilai yang ditemukan adalah nilai religius (Islam), kepercayaan (kekuatan supranatural), kebersamaan, kasih-sayang, kearifan, kecurigaan, kebohongan, kewaspadaan, kesetaraan, ekonomi dan penawaran, kesangsian, ketakutan/kengerian, adat istiadat, etika, dan estetika.

Basaria dalam Hipotesis Sapir – Whorf Pada Umpasa Bahasa Batak Toba, budaya dan perilaku orang Batak dapat dilihat pada ungkapan dan bahasanya. Bahasa dalam ungkapan biasanya dipergunakan dalam situasi-komunikasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi ungkapan tersebut mengekspresikan perilaku dan nilai nilai yang telah lama ada pada orang Batak dan sampai saat ini masih terus hidup. Orang Batak sangat menghargai nilai-nilai budaya/adat yang terdapat dalam berbagai ungkapan yang diturunkan oleh orang tuanya (yang dipandangnya sebagai orang yang pantùn dalam masyarakatnya. Jadi kajian ini membuktikan kebenaran HSW dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba mengekspresikan budaya dan perilaku orang Batak sebaliknya perilaku dan Budaya orang Batak dapat diekspresikan melalui ungkapan bahasa Batak Toba.


(49)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah lambang bunyi yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik dan sopan santun yang baik. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan suara yang dihubungkan satu sama lain menurut seperangkat aturan sehingga memiliki arti (Haviland, 1995). Hal ini merupakan definisi bahasa menurut Haviland, menggunakan suara sebagai suatu sistem komunikasi digunakan oleh setiap manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya

Menurut Sudaryono, bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman. Kridalaksana (1984:28) mengatakan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dalam mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun.

Pepatah-Petitih merupakan salah satu bahasa lisan masyarakat Minangkabau yang berisikan nasehat, sindiran, pandangan-pandangan atau pedoman hidup yang baik, dan petunjuk-petunjuk dalam melakukan hubungan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat Minangkabau

pepatah-petitih mempunyai makna tersendiri sebagai pegangan dalam menjalankan hidupnya. Penggunaan istilah pepatah-petitih disampaikan oleh penghulu di dalam berbagai acara.


(50)

ditaati dan dihormati. Pepatah-petitih adalah sarana masyarakat merefleksikan diri akan hakikat kebudayaan, pemahaman mendasar dari pesan, dan tujuan dari sebuah kebudayaan.

Untuk memperoleh pemahaman tentang pepatah-petitih, berikut dikemukakan beberapa pengertian. Petatah atau pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasihat dan sebagainya; perkataan (ajaran) orang tua-tua; pepatah-petitih, adalah berbagai-bagai peribahasa (Poerwadarminta;1985:734). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasehat atau ajaran dari orang tua-tua (biasanya dipakai atau diucapkan untuk mematahkan lawan bicara). Pepatah-petitih artinya berbagai-bagai peribahasa (Depdikbud;1988:666).

Dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau dikenal adanya pemuka adat yang disebut Niniak Mamak atau lebih dikenal lagi dengan sebutan Datuk . Niniak Mamak atau Datuk kadang- kadang disebut penghulu memiliki fungsi yang sama. Suku Minangkabau termasuk suku yang kaya akan adat dan kebudayaan. Sifat dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat perilaku bahasa. Hakimy (dalam Oktavianus, 2006 : 24) mengatakan bahwa filosofi alam terkembang jadi guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman hidup.

Dalam struktur masyarakat Minangkabau, Datuk mempunyai peran yang sangat penting, terutama dalam sistem kekerabatan. Di samping peranannya dalam kekerabatan perkauman, Datuk pun secara tradisional akan berkuasa atas sumber daya alam dan membagi hak pengolahannya, dalam bidang ekonomi misalnya, datuk memperhatikan dan mengetahui kesulitan-kesulitan dan kemudahan yang diderita oleh anak kemenakan atau dengan kata lain selalu mengawasi dan kebijakan menerima informasi yang baik atau buruk terhadap kehidupan anak kemenakannya.


(51)

Pernikahan adat Minangkabau merupakan salah satu kebudayaan yang memiliki keunikan, yaitu berupa ritual adat Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui pernikahan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud pernikahan menurut adat Minangkabau menjalin pendekatan yang berlaku seperti umumnya, tidak dibenarkan melakukan pernikahan sesama marga di Minang. Ketentuan ini wajib dipahami bagi kaum muda yang ingin mencari pasangan hidup. Janji setia terpatri bagi pemuda yang akan merantau, mencari pengalaman, mencoba kemandirian serta mencari bekal materi untuk berumah tangga.

Adapun beberapa proses pernikahan adat Minangkabau yaitu :

• Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur.Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga

• Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau niniak mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam


(52)

carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya.

• Maanta Siriah Tanyo, yang artinya mendapatkan menantu anak dari saudara suami, adalah harapan bagi para ibu di Minangkabau. Pernikahan semacam ini disebut induk bako. Pernikahan ideal lainnya adalah ikatan pernikahan antara anak dari keluarga ibu dengan anak paman yang disebut anak pisang. Sebelum melamar niniak mamak dan orang tua sudah saling menjajaki kemungkinan menikahkan anak mereka.

• Maanta bali/ Mananti bali, bagian dari proses pernikahan adat Minang ini memberi gambaran bahwa pihak calon pengantin pria berkewajiban menyediakan keperluan pesta kepada pihak calon mempelai wanita. Ada dua istilah untuk prosesi ini : mananti bali yang dilaksanakan dirumah calon pengantin wanita dan maanta bali yang dilakukan dirumah calon pengantin pria. Rombongan atau utusan keluarga calon pengatin pria beriringan sambil menjunjung hantaran berupa bahan mentah menuju kediaman keluarga calon pengantin wanita.

• Malam Bainai, adalah malam seribu harapan, seribu doa bagi kebahagian rumah tangga anak daro yang akan melangsungkan pernikahan esok harinya. Tumbukkan daun inai atau yang biasa disebut daun pacar, yang ditorehkan pada kuku calon mempelai oleh orang tua, niniak mamak, saudara, dan orang-orang terkasih lainnya.


(53)

• Manjalang, gambaran panuh hikmah para tetua menghantar anak daro dalam mengarungi hidup rumah tangga. Payung dan bahan makanan mengartikan pengayoman, penghidupan bagi rumah tangga yang akan dibina anak daro yang mereka antarkan.

• Maanta Marapulai, saudara dari pihak pengantin pria menghantar sang pengantin pria sebagai tanda turut berbahagia. Kian hari kian berkurang jumlah pengantarnya, hingga marapulai mulai terbiasa di tinggal dirumah anak daro. Pada budaya Minang, tinggal di rumah mertua layaknya kewajiban bagi marapulai.

• Manikam Jajak, proses dimana kedua pengantin baru pergi ke rumah orang tua serta niniak mamak pengantin pria dengan membawa makanan. Tujuan dari adat Manikam jajak di Minang ini adalah untuk menghormati atau memuliakan orang tua serta niniak mamak.

Acara pernikahan Niniak Mamak adalah, seorang penghulu atau datuk yang mempunyai kedudukan kuat, dan dihormati sebagai gadang basa batuah . Niniak mamak dihormati sebagai suluah bendang dalam nagari. Niniak mamak berperan mengayomi anak kamanakan baik dari limbago paruik/ jurai sampai ke kaum suku di kampung. Dalam upacara pernikahan, dilaksanakan pihak perempuan yang disebut kemenakan meminta izin kepada mamak-mamaknya (pamannya) untuk meminta restu agar pria yang dinikahinya dianggap sebagai sutan mudo dari paman tersebut. Kemenakan wajib melakukan upacara ritual Niniak Mamakini, agar calon suaminya nanti menjadi anak laki-laki pamannya.

Upacara Niniak Mamak adalah bagian dari kajian Antropologi. Sebagaimana antropolinguistik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara budaya dan bahasa, terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat


(54)

dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 231). Kajian Antropolinguistik menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan, konsep warna, dan pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya. Harafiah (2005 : 61) juga mengatakan bahwa Antropolinguistik menganggap bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia.

Adapun Pepatah-petitih dalam adat niniak-mamak etnis Minangkabau seperti berikut ini :

Sigai mancari anau

‘Tangga mencari enau’

Anau tatap sigai baranjak

‘Enau tetap tangga pindah

Nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta

‘Pengantin laki-laki datang karena dijemput’

Nan nak daro mananti di rumah

‘Yang pengantin perempuan menanti di rumah’

Pepatah-petitih di atas terdapat nilai pengelolaan gender. Yaitu dengan membandingkan antara kedudukan suami dan istri. Yang mengandung nilai pengelolaan gender terdapat pada isi

nan marapulai datang dek bajapuik pai jo baanta dengan nan nak daro mananti dirumah . Dalam setiap adat pernikahan Minangkabau semua laki-laki akan diantar ke rumah istrinya dan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Bila terjadi perceraian, maka suami yang harus pergi dari rumah


(55)

istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal di rumah bersama anak-anaknya sebagaimana telah di atur hukum adat.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah makna pepatah-petitih (peribahasa) Niniak-Mamak dalam adat pernikahan Minangkabau?

2. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang terdapat pada pepatah-petitih Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau ?

1.3 Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar penelitian tersebut terarah dan tidak terlalu meluas sehingga tujuan peneliti dapat tercapai. Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya menganalisis makna pepatah-petitih , nilai-nilai budaya yang terdapat pada pepatah-petitihadat pernikahan niniak mamak etnis Minangkabau.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan makna pepatah-petitih (peribahasa) Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau

2. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya pepatah-petitih yang terdapat Niniak-Mamak dalam pernikahan Minangkabau.


(56)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Segala sesuatu yang dikerjakan harus memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.3 Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis dalam penelitian ini, antara lain :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam Niniak mamakdalam pernikahan adat Minangkabau

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin mengkaji tentang Niniak mamak dalam pernikahan Minangkabau dengan menggunakan teori Antropolinguistik.

1.4.4 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, antara lain :

1. Memperkenalkan kepada pembaca bahwa Niniak mamak dalam pernikahan Minangkabau dapat dikaji sebagai bahan penelitian.

2. Dapat dijadikan sebagai pelestarian, pembinaan, dan pengembangan salah satu makna dan nilai-nilai budaya Minangkabau


(57)

PEPATAH-PETITIH DALAM ADAT PERNIKAHAN NINIAK-MAMAK ETNIS MINANGKABAU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

RIKA KARTIKA 120701023

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis pepatah-petitih (peribahasa) dalam bahasa Minangkabau dengan kajian Antropolinguistik. Tujuannya untuk mengetahui nilai-nilai budaya dan makna dari pepatah-petitih bahasa Minangkabau yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode catat, penelitian mencatat semua data atau informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wacana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah makna pepatah-petitih bahasa Minangkabau ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter orientasi nilai budaya dari penelitian petatah-petitih dalam bahasa Minangkabau tercermin nilai kesopansantunan,nilai komitmen, nilai kerukunan dan penyelesaian konflik, nilai pengelolaan gender, nilai religi, dan nilai disiplin.


(58)

PEPATAH-PETITIH DALAM ADAT PERNIKAHAN NINIAK MAMAK

ETNIS MINANGKABAU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

SKRIPSI

Oleh :

RIKA KARTIKA

120701023

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

MEDAN


(59)

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian saya ucapkan shalawat dan salam kepada junjungan Baginda Rasullullah Muhammad SAW karena syafaatnya manusia dapat menuntut ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang bermanfaat dibumi ini.

Skripsi ini ditulis sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Meskipun skripsi ini ditulis dengan sungguh-sungguh, namun masih memiliki kesalahan dan kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat dari pembacanya, agar dapat menyempurnakan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang terutama kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, MS selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Prof. Drs. Mauly

Purba, MA, Ph.D selaku wakil Dekan I, Dra. Heristina Dewi, M.Pd wakil Dekan II, dan Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku wakil Dekan III.

2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., sebagai ketua Departemen Sastra Indonesia

dan Bapak Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP., sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.

3. Ibu Dr. Ida Basaria, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, meluangkan waktu dalam


(60)

4. Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Ibu Dra.Mascahaya, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan pengarahan dan masukan bagi penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh Bapak dan ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalani masa perkuliahan, serta pegawai Administrasi Bapak Slamet yang membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi selama perkuliahan.

7. Bapak Wali Nagari Batu Kalang H.Jamarusti yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Secara khusus penulis ucapkan teristimewa kepada Ayahanda Januardi Piliang dan Ibunda tercinta Mardiana Koto, atas tetesan keringat dan air mata yang telah melahirkan dan membesarkan ananda, dan juga telah membimbing serta memberi motivasi yang sangat luar biasa kepada ananda. Kepada kakakku Dina Fatmuliana dan adik-adikku Arif Al-Qadri dan Afiqa Aurellia Piliang yang telah memberikan semangat dan motivasinya kepada penulis, tanpa adanya pengertian, dan pengorbanan kalian skripsi ini tidak dapat dirampungkan.

9. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 departemen sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada sahabat-sahabat terbaik Yesi Elviani, Devi Asniyar Harefa, Dinny Nanda Putri yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan dan menyusun skripsi ini, serta terima kasih atas doa dan dukungan dan arahan terhadap penulis. Dan kepada teman-teman seperjuangan Triwanty Tobing, Diana Rosliana, Meylani, Ahmad Fauzi, Dede Hengki serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.


(61)

Akhirnya semua kebaikan yang penulis terima ini menjadi amal ibadah sepanjang hayat dan informasi yang diperoleh dapat bermanfaat bagi peningkatan untuk pendidikan, khususnya bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia pada masa yang akan datang.

Medan, Juni 2016

NIM. 120701023 Rika Kartika


(62)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

SURAT PERNYATAAN ... vi

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.3 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.4 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep ... 9

2.1.1 Makna ... 9

2.1.2 Pepatah-petitih ... 11

2.1.3 Ninik Mamak ... 12

2.1.4 Masyarakat Minangkabau ... 13

2.2 Landasan Teori... 15

2.2.1 Antropolinguistik ... 16

2.2.2 Nilai-Nilai Budaya ... 17

2.3 Tinjauan Pustaka ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 22

3.1.2 Waktu Penelitian ... 22


(63)

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 24

3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 26

BAB IV PEMBAHASAN ... 27

4.1 Makna Pepatah-Petitih adat Niniak Mamak ... 27

1. Makna Membandingkan ... 28

2. Makna Menasehati ... 29

3. Makna Mengharapkan Sesuatu ... 34

4.2 Nilai-Nilai Budaya Pepatah-Petitih adat Niniak Mamak ... 37

1.Nilai Kerukunan dan Penyelesaian Konflik ... 38

2. Nilai Komitmen ... 41

` 3. Nilai Kesopansantunan ... 42

4. Nilai Disiplin ... 43

5. Nilai Religi ... 45

6. Nilai Pengelolaan Gender ... 46

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 47


(64)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang perna diajukan dalam memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacuh dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2016

NIM. 120701023 Rika Kartika


(1)

4. Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Ibu Dra.Mascahaya, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan pengarahan dan masukan bagi penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh Bapak dan ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalani masa perkuliahan, serta pegawai Administrasi Bapak Slamet yang membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi selama perkuliahan. 7. Bapak Wali Nagari Batu Kalang H.Jamarusti yang telah memberikan izin kepada penulis

dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Secara khusus penulis ucapkan teristimewa kepada Ayahanda Januardi Piliang dan Ibunda tercinta Mardiana Koto, atas tetesan keringat dan air mata yang telah melahirkan dan membesarkan ananda, dan juga telah membimbing serta memberi motivasi yang sangat luar biasa kepada ananda. Kepada kakakku Dina Fatmuliana dan adik-adikku Arif Al-Qadri dan Afiqa Aurellia Piliang yang telah memberikan semangat dan motivasinya kepada penulis, tanpa adanya pengertian, dan pengorbanan kalian skripsi ini tidak dapat dirampungkan.

9. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 departemen sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada sahabat-sahabat terbaik Yesi Elviani, Devi Asniyar Harefa, Dinny Nanda Putri yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan dan menyusun skripsi ini, serta terima kasih atas doa dan dukungan dan arahan terhadap penulis. Dan kepada teman-teman seperjuangan Triwanty Tobing, Diana Rosliana, Meylani, Ahmad Fauzi, Dede Hengki serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan


(2)

Akhirnya semua kebaikan yang penulis terima ini menjadi amal ibadah sepanjang hayat dan informasi yang diperoleh dapat bermanfaat bagi peningkatan untuk pendidikan, khususnya bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia pada masa yang akan datang.

Medan, Juni 2016

NIM. 120701023 Rika Kartika


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

SURAT PERNYATAAN ... vi

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.3 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.4 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep ... 9

2.1.1 Makna ... 9

2.1.2 Pepatah-petitih ... 11

2.1.3 Ninik Mamak ... 12

2.1.4 Masyarakat Minangkabau ... 13

2.2 Landasan Teori... 15

2.2.1 Antropolinguistik ... 16

2.2.2 Nilai-Nilai Budaya ... 17

2.3 Tinjauan Pustaka ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 22


(4)

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 24

3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 26

BAB IV PEMBAHASAN ... 27

4.1 Makna Pepatah-Petitih adat Niniak Mamak ... 27

1. Makna Membandingkan ... 28

2. Makna Menasehati ... 29

3. Makna Mengharapkan Sesuatu ... 34

4.2 Nilai-Nilai Budaya Pepatah-Petitih adat Niniak Mamak ... 37

1.Nilai Kerukunan dan Penyelesaian Konflik ... 38

2. Nilai Komitmen ... 41

` 3. Nilai Kesopansantunan ... 42

4. Nilai Disiplin ... 43

5. Nilai Religi ... 45

6. Nilai Pengelolaan Gender ... 46

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 47


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang perna diajukan dalam memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacuh dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2016

NIM. 120701023 Rika Kartika


(6)

PEPATAH-PETITIH DALAM ADAT PERNIKAHAN NINIAK-MAMAK ETNIS

MINANGKABAU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK RIKA KARTIKA

120701023

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis pepatah-petitih (peribahasa) dalam bahasa Minangkabau dengan kajian Antropolinguistik. Tujuannya untuk mengetahui nilai-nilai budaya dan makna dari pepatah-petitih bahasa Minangkabau yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode catat, penelitian mencatat semua data atau informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wacana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah makna pepatah-petitih bahasa Minangkabau ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter orientasi nilai budaya dari penelitian petatah-petitih dalam bahasa Minangkabau tercermin nilai kesopansantunan,nilai komitmen, nilai kerukunan dan penyelesaian konflik, nilai pengelolaan gender, nilai religi, dan nilai disiplin.