KEPERCAYAAN DAN KEKUASAAN DALAM OTORITAS (1)

KEPERCAYAAN DAN KEKUASAAN DALAM OTORITAS PEMERINTAH SEBAGAI
DETERMINAN TINGKAT KEPATUHAN PAJAK DAN PENGGELAPAN PAJAK :
PENGUJIAN ASSUMSI KERANGKA SLIPPERY SLOPE

YESI MUTIA BASRI
Universitas Riau

ABSTRACT
Tax compliance depends on the factors perceived trust in the authorities and perceived power of
the authorities. Trust on the one hand fosters voluntary compliance whereas power on the other
hand leads to enforced compliance. This reaserch based on slippery slope framework that of
tax compliance postulates that citizens‟ compliance depends on power of the authorities to
enforce compliance and/or trust in the authorities and voluntary cooperation. While trust is
widely recognized as a strong determinant of cooperation, empirical evidence is less clear on
power: severe fines may lead towards compliance or even have the opposite effect. This study
tested these main assumptions of the slippery slope framework in Riau. The respondents of the
study are individual tax payer. 90 individual tax payers participated in this study. The data was
analysed using Structural Equation Modeling (SEM) with Partial Least Square (PLS). The
finding of this study show that power positively related to trust, trust is positively related to
voluntary tax compliance, but trust not relation with tax evasion. Power was found to be
positively related to enforce compliance, and negatively related to tax evasion. Voluntary

compliance negatively related to tax evasion and enforce compliance not significant related to
tax evasion
Key Word : Slippery slope framework, trust in authorities , power, voluntary compliance,
enforce compliance, tax evasion

I. PENDAHULUAN
Pajak merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah yang berguna untuk pembiayaan
Negara. Penerimaan pajak merupakan

kontributor terbesar pendapatan Negara rata-rata

meningkat signifikan hingga 70 persen pada tahun 2011 dan 80 persen pada tahun 2012. Akan
tetapi jumlah penerimaan pajak tersebut tidak mencapai jumlah yang ditargetkan. Pada tahun

1

2011 penerimaan pajak sebesar 99,3% dan pada tahun 2012 penerimaan pajak mengalami
penurunan yaitu hanya 91,3% dari target yang ditetapkan APBN (www.pajak.go.id).
Target pencapaian penerimaan pajak telah memberi peluang bagi oknum petugas pajak,
wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana melakukan tindak

kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan,
pemerasan dan pemalsuan dokumen yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan
illegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya

menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan Negara (Duaadji, 2010). Kejahatan di bidang
perpajakan harus ditangani secara serius dan dengan cara-cara yang efektif mengingat hasil
kejahatan dari pajak ini sangat material, yang apabila dibiarkan begitu saja akan mengganggu
stabilitas dan kesinambungan penyelenggaraan negara.
Hingga saat ini permasalahan pajak di Indonesia tidak henti-hentinya muncul. Banyak
contoh kasus penggelapan pajak seperti kasus PT Asian Agri Group yang diperkirakan mencapai
kerugian triliun, kasus penggelapan pajak pada tahun 2011

yang dilakukan oleh Gayus

Tambunan dan Dhana Widyatmika pada tahun 2012, serta banyak kasus penggelapan pajak lain
yang menimbulkan kerugian Negara.
Selain itu Dirjen Pajak mencatat tingkat kepatuhan para Wajib Pajak masih sangat
rendah, dimana tercatat hanya 19 juta orang dari 60 juta pemilik NPWP yang melakukan
kewajibannya, sedangkan potensi pembayar pajak sendiri mencapai 110 juta orang
(http://www.infobanknews.com).Tingkat kepatuhan pajak sendiri pada tahun 2011 yaitu 32,72

persen dari 1,5 juta Wajib Pajak Badan yang terdaftar dan kepatuhan pajak Wajib Pajak Orang
Pribadi yaitu sebesar 54,72 persen dari 16,10 juta wajib pajak yang terdaftar. Pada tahun 2012
tingkat kepatuhan pajak mengalami penurunan, yaitu hanya 27.3 persen dari 1,9 juta Wajib Pajak
2

Badan yang terdaftar dan sebesar 44 persen dari 8,8 juta Wajib Pajak Orang Pribadi yang
terdaftar (www.stpi-pajak.com).
Kasus kejahatan pajak yang terjadi di berbagai Negara telah menarik perhatian para
peneliti. Berbagai teori telah dikemukakan untuk merespon kejahatan pajak. Pendekatan
ekonomi klasik menyatakan bahwa pemeriksaan pajak, sanksi dan denda yang berat muncul
sebagai strategi yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan pajak (Allingham & Sandmo,
1972; Srinivasan, 1973). Wajib Pajak berperilaku sebagai agen rasional yaitu keputusan untuk
melakukan penggelapan pajak tergantung pada besarnya risiko yang dihadapi. Artinya jika risiko
untuk tertangkap rendah mereka akan cenderung untuk melakukan penggelapan pajak.
Kirchler (2007) mengusulkan sebuah konsep teoritis sebagai penentu kepatuhan pajak
yang disebut kerangka Slippery Slope yang mengintegrasikan faktor ekonomis dan psikologis.
Kepatuhan pajak

tergantung pada iklim integrasi faktor ekonomis dan psikologis antara


pemerintah dan pembayar pajak . Masyarakat perlu penegakan hukum agar mereka mematuhi
perpajakan atau mereka dapat bekerja sama secara sukarela. Kepatuhan pajak diasumsikan
tergantung pada kekuasaan otoritas dan kepercayaan warga negara dalam wewenang pemerintah.
Probabilitas audit dan denda merupakan hal yang penting untuk mengatur perilaku masyarakat,
begitu juga keadilan distribusi dari beban pajak yang dibayar, kesetaraan prosedur, dan norma
sosial.
Namun beberapa penelitian menunjukkan efek pencegahan terhadap kepatuhan pajak
hanya memiliki dampak yang kecil, bahkan kadang-kadang memiliki efek yang negatif (Frey,
1999; Kirchler, 2007).
experimen

Hasil penelitian

Wahl et.al (2010) dengan menggunakan teknik

menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan dan penegakan terhadap kepatuhan dan

penggelapan pajak menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hasil penelitian mereka
3


menunjukkan bahwa tuntutan yang berat dan pemaksaan menyebabkan munculnya perilaku
strategi untuk membayar pajak . Wajib Pajak akan membayar pajak jika mereka mencurigai
akan terdeteksi, namun segera menghindari pajak setelah mereka melihat kemungkinan tidak
tertangkap oleh aparat hukum.
Andreoni et.al (1998) menyatakan bahwa jika faktor ekonomi seperti probabilitas deteksi
dan keparahan hukuman

merupakan satu-satunya faktor penentu kepatuhan pajak, tingkat

penggelapan pajak akan menjadi lebih tinggi dibadingkan yang benar-benar diamati (Alm,
1991). Oleh sebab itu beberapa tahun terakhir kepercayan dalam otoritas pemerintah, serta moral
dan motivasi telah diteliti berkaitan dengan pengaruhnya terhadap penggelapan pajak
(Braithwaite, 2003; Coleman, 1996; Lago-Peñas & Lago-Peñas, 2010; Lavoie, 2009; Torgler,
2005)
Van Dijke dan Verbon (2010) meneliti efek moderasi kepercayaan pada hubungan
keadilan dan kepatuhan sukarela dan menemukan bahwa kepercayaan penting ketika otoritas
fokus pada keadilan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Percaya pada otoritas ini bisa
sangat relevan dan perlu dipertimbangkan dan mungkin menjadi alasan utama mengapa orang
peduli tentang keadilan prosedural (Colquitt et al, 2005) dan memiliki tempat sentral dalam teori
terbaru tentang kepatuhan sukarela (Kirchler et al., 2008)

Kogler et.al (2013) melakukan penelitian di Austria, Hungary, Romania dan Russia.
Mereka mengajukan dua dimensi dari kerangka slippery slope dalam penentu kepatuhan pajak
yaitu kepercayaan terhadap otoritas pemerintah dan kekuasaan dalam otoritas. Dalam konteks
ini, kepercayaan didefinisikan sebagai pendapat umum individu dan kelompok sosial bahwa
otoritas pajak bekerja untuk kebaikan bersama, sedangkan kekuasaan otoritas mengacu pada
persepsi kemampuan pemerintah untuk mendeteksi dan menghukum penghindaran (Kirchler et
4

al., 2008). Menurut kerangka kerja, kepatuhan pajak warga dapat dibina baik melalui
meningkatkan kepercayaan dalam otoritas atau dengan meningkatkan persepsi kekuasaan
otoritas. Namun, kualitas kepatuhan berbeda, tergantung pada dasar pembayar pajak yang jujur.
Meningkatkan kejujuran pajak melalui meningkatkan kepercayaan pemerintah mengarah ke
kepatuhan sukarela, sekaligus meningkatkan kekuasaan otoritas dan menimbulkan kepatuhan
yang ditegakkan . Hasil penelitian mereka mendukung asumsi slippery slope sekaligus
mengkonfirmasi peran kepercayaan dan kekuasaan sebagai penentu kepatuhan pajak.
Kastlunger et. al (2013) juga melakukan pengujian slipery slope di Italy dan menemukan
bukti bahwa

kepercayaan berhubungan dengan kepatuhan pajak sukarela. Kepercayaan


berhubungan negatif dengan kekuasaan koersif dan berhubungan positif dengan kekuasaan yang
sah. Kekuasaan koersif dan kekuasaan yang sah berkorelasi dengan kepatuhan ditegakkan.
Namun, pengaruh kepatuhan yang ditegakkan meningkatkan penghindaran pajak. Hasil
penelitian membuktikan sifat kekuasaan dan kepercayaan berhubungan dengan kepatuhan pajak,
dan pentingnya kekuasaan dan kepercayaan dalam strategi regulasi politik.
Berdasarkan hal diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
kepercayaan dan kekuasaan dalam otoritas pemerintah dengan tingkat kepatuhan pajak dan
penggelapan pajak yang dilakukan di Provinsi Riau dengan menggunakan Wajib Pajak Orang
Pribadi sebagai objek penelitian. Peneliti merasa perlu untuk mengkaji penyebab kepatuhan
pajak dan terjadinya penggelapan pajak yang sering terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi
Riau.
Penelitian ini didasarkan pada kerangka teori slippery slope yang diajukan oleh Kirchler
(2007). Kerangka Slippery Slope terdiri dari dimensi

(1) kepercayaan otoritas pajak, (2)

kekuasaan otoritas pajak, dan (3) pembayaran pajak. Pembayaran pajak diasumsikan dipengaruhi
5

oleh kepercayaan dan kekuasaan otoritas. Jika kepercayaan dan kekuasaan berada pada tingkat

minimum, pembayaran pajak diasumsikan rendah, wajib pajak bertindak egoistically melalui
memaksimalkan keuntungan mereka dengan menghindari pajak. Jika kepercayaan otoritas
meningkat maka pembayar pajak juga diasumsikan meningkat. Selain itu, jika kekuasaan
pemerintah meningkat, pembayaran pajak yang diperkirakan akan meningkat juga.
Penelitian ini diharapakan mampu untuk membuktikan secara empiris mengenai
pengaruh keperacayaan pada pemerintah dan kekuasaan pemerintah terhadap tingkat kepatuhan
pajak dan terjadinya penggelapan pajak. Penelitian ini memberikan kontribusi kepada
pemerintah bahwa dalam penegakan hukum haruslah jelas dan dilaksanakan tanpa membedabedakan, dengan demikian akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi terjadinya
penggelapan pajak.

II. KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Hubungan Kekuasaan dalam Otoritas dengan Kepercayaan
Kekuasaan dalam otoritas dimaksudkan disini adalah otoritas pajak untuk mendeteksi
dan menghukum kejahatan pajak (Kirchler et.al 2008). Jika kewenangan pemerintah memiliki
kekuasaan yang rendah untuk mengendalikan penggelapan pajak dalam suatu masyarakat
mungkin akan
dipercaya

menurunkan


kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pemerintah

mampu untuk melindungi pembayar pajak yang jujur dari eksploitasi bebas.

Kekuasaan untuk memerangi penggelapan pajak dapat meningkatkan kepercayaan

melalui

perilaku kooperatif masyarakat (Mulder et.al, 2006). Di satu sisi, kekuasaan dapat mendorong
kepercayaan, sementara di sisi lain juga dapat merusak kepercayaan,tergantung pada iklim
6

interaksi antara pembayar pajak dan otoritas pajak. Perubahan dalam satu dimensi mungkin
memiliki konsekuensi yang berbeda pada dimensi lain. Misalnya, adanya peningkatan kekuasaan
pemerintah ditafsirkan oleh pembayara pajak yang jujur sebagai pertanda ketidakpercayaan
terhadap otoritas pemerintah dan dengan demikian dapat merusak motivasi mereka untuk
memenuhi kewajiban pajaknya (Castelfranchi & Falcone, 2010; Frey, 1997; Feld & Frey, 2007).

Di sisi lain, pembayar pajak yang jujur mungkin menafsirkan dorongan dalam kekuasaan sebagai
upaya pemerintah untuk mengurangi penghindaran pajak, sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan pembayar pajak dalam otoritas dan meningkatkan tingkat kepatuhan.
Turner (2005) membedakan antara kekuasaan koersif dan sah. Ketika warga menerima
otoritas, mereka cenderung untuk secara sukarela bekerja sama. Kekuasaan dianggap sebagai
strategi yang sah dan kekuasaan ini digunakan ketika diperlukan. Ketika kepercayaan rendah dan
kekuasaan pemerintah dianggap sebagai penindas, kekuasaan cenderung dianggap sebagai
pemaksaan. Kekuasaan yang sah dapat memicu kepercayaan, sedangkan kekuasaan koersif
mengurangi kepercayaan dalam otoritas.
French dan Raven (1959) mendefinisikan kekuasaan koersif dari perspektif orang yang
dipengaruhi sebagai harapan bahwa bagian mempengaruhi akan menghukum ketidakpatuhan.
kekuasaan pemaksa ditandai dengan kekerasan dan pelaku yang tidak patuh harus mengambil
risiko moneter, fisik, sosial, maupun biaya psikologis. Kekuasaan yang sah tidak didasarkan
pada tekanan dan pemaksaan tetapi pada legitimasi, pengetahuan, kemampuan dan identifikasi
dengan kekuasaan. Legitimasi, pengetahuan dan kemampuan otoritas pajak menyebabkan
keberhasilan dalam melakukan pekerjaan mereka, dan mendorong kepercayaan (Gangl et al.,
2012).
Hipotesis 1 : Kekuasaan dalam otoritas berhubungan dengan kepercayaan
7


2.2. Hubungan

Kepercayaan dalam Otoritas dengan Kepatuhan Sukarela dan

Penggelapan Pajak
Kepercayaan terhadap otoritas pemerintah menurut Jackson & Milliron (1986) sebagai
determinan lain dari penggelapan pajak. Levi (1998) menyatakan bahwa jika orang percaya
bahwa pemerintah akan bertindak dalam kepentingan mereka, bahwa prosedur yang adil, dan
mereka percaya pada pemerintah menyebabkan mereka akan lebih cenderung bekerja sama
dalam membayar pajak. Feld & Frey (2002) berpendapat bahwa hubungan antara individu dan
pemerintah dianggap sebagai kontrak psikologis yang melibatkan ikatan emosional yang kuat
dan loyalitas. Seperti kontrak

psikologis dapat dipertahankan dengan tindakan positif

berdasarkan kepercayaan. Lebih percaya pada pemerintah meningkatkan insentif bagi individu
untuk berkomitmen untuk taat dan mematuhi undang-undang pajak (Feld & Frey,
2002).
Survei awal oleh Vogel (1974) di Swedia dan Song & Yarbrough (1978) di AS
menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan yang lebih besar dalam pemerintahan,
mereka cenderung untuk menghindari penggelapan pendapatan pajak. Penelitian yang dilakukan
oleh Wearing & Headey (1997) di Australia, dan Slemrod (2003) di Jerman dan AS juga
mendukung hubungan negatif antara kepercayaan pada pemerintah dan penggelapan pajak. Hasil
penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel (2013) menunjukkan bahwa kepercayaan berhubungan
dengan kepatuhan pajak dan penggelapan pajak
H2 : Kepercayaan pada otoritas pemerintah berhubungan positif dengan kepatuhan sukarela
H3 : Kepercayaan pada otoritas pemerintah berhubungan negatif dengan penggelapan pajak

8

2.3. Hubungan Kekuasaan dalam Otoritas dengan Tingkat Kepatuhan Ditegakkan dan
Penggelapan Pajak
Penegakan hukum merupakan penentu yang signifikan terjadinya penggelapan pajak
dalam studi sebelumnya. Penegakan legal berdasarkan aturan hukum memberikan landasan yang
penting untuk pencegahan menyimpang bentuk perilaku, seperti korupsi dan penggelapan pajak
(Schneider & Enste, 2000, 2002; Brunetti & Weder, 2003). Aturan hukum menganggap bahwa
otoritas pemerintah hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan tertulis yang
disahkan melalui prosedur yang telah ditetapkan (Joireman, 2001). Lebih dari itu, aturan hukum
dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap keputusan sewenang-wenang oleh pemerintah
dalam kasus individual (Eigen, 2002; Brunetti & Weder, 2003). Hal ini memastikan bahwa
lembaga utama dari sistem hukum (misalnya, pengadilan, jaksa, dan polisi) menegakkan hukum
secara efektif dan cukup.
Hasil penelitian oleh Schneider & Enste (2000, 2002) menunjukkan bahwa penegakan
hukum yang lemah,

ke sewenang-wenangan penegakan hukum dan lemahnya peraturan

perpajakan mendorong terjadinya korupsi dan penggelapan pajak. Secara khusus, hasil temuan
mereka menekankan pentingnya aturan hukum dalam mengurangi tingkat korupsi dan pajak
penggelapan di seluruh negara.
Scholz (2007) dan Cummings et al, (2009) menemukan bahwa dengan adanya risiko
sanksi hukum berupa penahanan dan sanksi denda

akan menyebabkan

berkurangnya

penggelapan pajak dan meningkatkan tingkat kepatuhan pajak melalui efek jera nya. Hasil
penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel (2013) juga menunjukkan bahwa kekuasaan yang
koesif berhubungan positif dengan kepatuhan pajak dan negatif dengan penggelapan pajak.
Berdasarkan hal diatas maka dihipotesiskan :
9

H4 : Kekuasaan dalam otoritas berhubungan positif dengan kepatuhan yang ditegakkan
H5 : Kekuasaan dalam otoritas berhubungan negatif dengan penggelapan pajak

2.4. Kepatuhan Pajak dan Penggelapan Pajak
Kepatuhan perpajakan pada prinsipnya adalah tindakan wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan dan peraturan
pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara (Siahaan,2005). Suatu iklim kepatuhan
dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana 1)Wajib pajak
paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.3) Menghitung jumlah pajak
yang terutang dengan benar 4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Kepatuhan
berebeda dengan penggelapan pajak. Penggelapan pajak merupakan Penggelapan pajak (tax
evasion) merupakan usaha yang digunakan oleh wajib pajak untuk mengelak dari kewajiban

yang sesungguhnya, dan merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang pajak. Misalnya
wajib pajak tidak melaporkan pendapatan yang sebenarnya (Siahaan, 2010).
Dalam penelitian ini juga menguji hubungan tingkat kepatuhan pajak dengan
penggelapan pajak. Wahl et al., (2010)

menunjukkan bahwa kepatuhan ditegakkan

menyebabkan peningkatan penggelapan pajak. Semakin banyak pembayar pajak merasa
dipaksakan untuk membayar pajak mereka, semakin mereka mencoba untuk menghindari
mereka segera setelah mereka melihat suatu kebetulan. Sebaliknya kepatuhan sukarela
berhubungan negatif dengan penggelapan pajak. Jika pembayar pajak dengan sukarela
melakukan pembayaran pajak maka mereka tidak akan mencari cara untuk melakukan
penggelapan pajak. Teori ini juga didukung oleh Kastlunger (2013) yang menemukan bahwa
10

kepatuhan yang ditegakkan menyebabkan terjadinya penggelapan pajak. Berdasarkan uraian
diatas maka dihipotesiskan :
H 6 : Kepatuhan sukarela berhubungan negatif dengan penggelapan pajak
H 7 : Kepatuhan ditegakkan berhubungan positif dengan penggelapan pajak

2.8. Model Penelitian
Model penelitian dapat dilihat pada gambar 1 berikut :

Gambar 1

III. METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha
bebas yang terdaftar di KPP Pratama Tampan yang berada di Pekanbaru. Sampel dipilih dengan
teknik convenience nonprobability sampling. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
adalah sebanyak 90 sampel.

3.2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan cara menyebarkan kuesioner
kepada responden dalam penelitian. Kuisioner di kirimkan kepada Wajib Pajak yang menjadi
responden dalam penelitian dan pengumpulan kuisioner dilakukan sesuai dengan kesepakatan
dengan responden.

3.3. Definisi Operasional Variabel
Kepercayaan pada otoritas pemerintah (Trust in Authority)
11

Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) mendefinisikan kepercayaan (trust) sebagai pendapat umum
individu dan kelompok sosial bahwa otoritas pajak yang baik hati dan bekerja menguntungkan
untuk kebaikan bersama . Mereka mengacu pada relasional aspek kepercayaan (Eberl 2003) dan
konsep kepercayaan sosial, Untuk mengukur kepercayaan pada otoritas pemerintah digunakan 3
pertanyaan yang mengukur persepsi terhadap tindakan

adil pemerintah, persepsi terhadap

kekuasaan yang lebih menonjol. Pertanyaan diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking
1= sangat tidak setuju sampai dengan 5= sangat setuju
Kekuasaan dalam Otoritas (Power in Authority)
Kekuasaan otoritas didefinisikan sebagai 'persepsi pembayar pajak terhadap otoritas pajak untuk
mendeteksi dan menghukum kejahatan pajak (Kirchler, Hoelzl, dan Wahl 2008). Untuk
mengukur kekuasaan dalam otoritas menggunakan 3 pertanyaan yang mengukur probabilitas
terdeteksinya penggelapan pajak dan keefektifan hukuman yang diberikan.. Pertanyaan diukur
dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5= sangat
setuju
Kepatuhan Sukarela (Voluntary Compliance)
Kepatuhan sekarela berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban
pajaknya sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama
(obtrusive investigasi) peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun
administrasi (James yang dikutip oleh Gunadi (2005) . Untuk mengukur kepatuhan sukarela

digunakan 5 item yang menanyakan sikap wajib pajak terhadap pembayaran pajak yaitu pajak
memang seharusnya dilakukan, membayar pajak merupakan kontribusi bagi Negara dan orang
lain, membayar pajak merupakan hal yang wajar dan memang sebagai tugas warga negara.

12

Setiap pertanyaan diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju
sampai dengan 5= sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)
Kepatuhahan yang ditegakkan (Enforce Compliance)
Kepatuhan yang ditegakkan berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi
kewajiban pajaknya disebabkan karena adanya pemeriksaan, peringatan, ataupun ancaman dan
penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Untuk mengukur kepatuhan keterpaksaan
digunakan 5 item pertanyaan yang mengukur sikap pemabayar pajak yaitu kepatuhan dikarenakan
seringnya pemeriksaan dan hukuman yang diberlakukan oleh otoritas pajak. Setiap pertanyaan

diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5=
sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)
Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Penggelapan pajak merupakan perilaku wajib pajak untuk tidak melaporkan pendapatan kena
pajaknya untuk mengurangi jumlah pajaknya. Penggelapan pajak dalam penelitian ini merupakan
penggelapan pajak dalam strategi untuk melakukan pembayaran. Penggelapan pajak diukur
dengan menggunakan 5 item pertanyaan yang menanyakan sikap wajib pajak dalam melakukan
transaksi pembayaran

dengan indikator tidak melaporkan pendapatan, tidak melaporkan

keuntungan, melaporkan pengeluaran pribadi sebagi pengeluaran perusahaan. Setiap pertanyaan
diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5=
sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)

3.4 Metode Analisis
Dalam penelitian ini teknis analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modeling
(SEM) dengan menggunakan alat bantu analisis data Partial Least Square (PLS). PLS adalah
13

analisis persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan
pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011).

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Responden
Dari 100 kuisioner yang disebarkan, jumlah kuisioner yang terkumpul dan diolah sebanyak 90
kuisioner. Gambaran umum responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Tabel 1
4.2 Pengujian outer model
Convergent validity
Convergent validity yang dilakukan dengan menggunakan evaluasi measurement (outer)
model

yaitu melihat besarnya loading factor untuk masing-masing konstruk.

Konstruk

dikatakan valid jika memiliki nilai cross loading ≥0,5. Tetapi jika nilai cross loading < 0,5 maka
harus dieksekusi. Berikut hasil cross lading setelah dilakukan eksekusi. Berdasarkan dari tabel 2
Tabel 2
Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)
Model mempunyai discriminant validity yang cukup jika akar avearge variance extrated
(AVE) untuk setiap konstruk lebih besar daripada korelasi antara konstruk dan konstruk lainnya.
Tabel 3 menunjukkan nilai AVE dan akar AVE.
Tabel 3
Hasil analisis menunjukkan nilai AVE berada diatas 0.5 dan akar AVE memiliki nilai yang
tinggi yaitu berada diatas 0.8. Perbandingan antara akar avearge variance extrated (AVE)
dengan latent variable correlations disajikan pada tabel 4 berikut :
14

Tabel 4
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai akar AVE memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingakan nilai korelasi masing-masing variabel laten. Dapat disimpulkan bahwa model
memiliki validitas diskriminan yang tinggi.

Composite reliability
Penelitian ini menggunakan composite reliability sebagai metode uji realibilitas karena
lebih baik dalam mengestimasi konsistensi internal suatu konstruk (Hartono, 2011).

Hasil

pengujian menunjukkan variabel memiliki nilai composite realibility yang tinggi yaitu berada
diatas 0.9. Hasil pengujian composite reliability dapat dilihat pada tabel 3 diatas.
Pengujian Model Struktural (Inner Model)
Pengujian inner model atau model struktural dilakukan untuk melihat hubungan antara
variabel, nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian. Model struktural dievaluasi
dengan menggunakan R-square untuk variabel dependen, Stone-Geisser Q-square test untuk
predictive relevance dan uji t serta signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. R

square dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5
Hasil pengujian menunjukkan nilai R-square konstruk kepercayaan (Trust) sebesar 0,68,
Kepatuhan sukarela (VOLCOMP) sebesar 0.375, Kepatuhan yang ditegakkan (ENVCOMP)
sebesar 0.356 dan konstruk penggelapan pajak (TAXEVAS) sebesar 0.511. Semakin tinggi nilai
R-square, maka semakin besar kemampuan variabel independen tersebut dapat menjelaskan
variabel dependen sehingga semakin baik persaman struktural.

15

Structural Equation Model (SEM)

Metode analisis utama dalam penelitian ini dilakukan dengan Structural Equation Model
(SEM). Pengujian dilakukan dengan bantuan program SmartPLS. Hasil pengujian diperoleh
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2

Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Pengujian hipotesis yang diajukan, dapat dilihat dari besarnya nilai t-statistik. Signifikasi
parameter yang diestimasi memberikan informasi yang sangat berguna mengenai hubungan
antara variabel-variabel penelitian. Batas untuk menolak dan menerima hipotesis yang diajukan
adalah ±1,645 ( 1-tailed) dan ±1,960 signifikan pada p50
Total
Pendidikan Terakhir
a. SD - SMA
b. S1/D3
c. S2
Total

Responden
Frekuensi
Persentase
63%
37%
100%

57
33
90

49%
20%
22%
9%
100%

44
18
20
8
90

49%
51%
0

44
46
0

100%

90

26

4.

Pekerjaan
a. Pegawai Swasta
b. Wirausaha
Total
5.
Lama memiliki
NPWP
a.  5 tahun
b. 6-10 tahun
c. 11-15 tahun
d. 16-20 tahun
e. > 20 tahun
Total
Sumber : Data olahan (2013)

29%
71%
100%

26
64
90

76%
15%
0
9%
0
100%

68
14
0
8
0
90

Tabel 2 : Cross Loading
TRUST
POWER VOLCOMP ENVCOMP TAXEVAS
Ecomp1
0.141
0.308
0.1
0.685
-0.145
Ecomp2
0.165
0.434
0.336
0.763
-0.233
Ecomp3
0.306
0.462
0.262
0.827
-0.282
Ecomp4
0.479
0.54
0.312
0.875
-0.226
Ecomp5
0.477
0.527
0.322
0.904
-0.25
power1
0.431
0.844
0.362
0.423
-0.456
power2
0.407
0.827
0.256
0.541
-0.453
power3
0.453
0.884
0.308
0.624
-0.393
TEv1
-0.583
-0.516
-0.656
-0.268
0.801
Tev2
-0.552
-0.426
-0.485
-0.259
0.865
TEv3
-0.418
-0.37
-0.553
-0.251
0.792
TEv4
-0.445
-0.289
-0.683
-0.223
0.75
TEv5
-0.593
-0.304
-0.68
-0.209
0.812
trust1
0.909
0.435
0.709
0.332
-0.546
trust2
0.887
0.421
0.733
0.353
-0.62
trust3
0.866
0.332
0.647
0.355
-0.426
Vcomp1
0.661
0.332
0.884
0.256
-0.703
Vcomp2
0.569
0.273
0.856
0.305
-0.567
Vcomp3
0.565
0.209
0.831
0.165
-0.492
Vcomp4
0.705
0.241
0.878
0.311
-0.527
Vcomp5
0.652
0.227
0.862
0.277
-0.502
Sumber : Output Smart PLS 2013
27

Tabel 3 : Composite resliability, AVE dan Akar AVE

Average
variance
Composite
extracted Akar
Reliability
(AVE)
AVE
TRUST
0.918
0.788 0.88
POWER
0.888
0.726 0.852
VOLCOMP
0.936
0.744 0.863
ENVCOMP
0.907
0.664 0.815
TAXEVAS
0.902
0.648 0.805
Sumber : Output Smart PLS 2013
Tabel 4 : Korelasi antar konstruk
Variabel
TRUST POWER VOLCOMP ENVCOMP
TRUST
0.88*
POWER
0.4
0.852*
VOLCOMP
0.613
0.3
0.863*
ENVCOMP
0.348
0.597
0.305
0.815*
TAXEVAS
-0.524
-0.475
-0.64
-0.295
Sumber : Output Smart PLS 2013
* Akar Ave

Tabel 5 : R square

Variabel
TRUST
POWER
VOLCOMP

Rsquare
0.16
0.375
28

ENVCOMP
0.356
TAXEVAS
0.511
Sumber : Output Smart PLS 2013
Tabel 6 : Result of Inner Weight
Hipotesis

H1
H2
H4
H3
H5
H6

POWER -> TRUST
TRUST -> VOLCOMP
POWER -> ENVCOMP
TRUST -> TAXEVAS
POWER -> TAXEVAS
VOLCOMP ->
TAXEVAS
H7
ENVCOMP ->
TAXEVAS
Sumber : Output Smart PLS 2013

mean
Kesimpulan
original of
sample
subsa
Standard Testimate mples deviation Statistic
Diterima
0.4
0.429
0.118
3.399
Diterima
0.613
0.632
0.073
8.358
Diterima
0.597
0.61
0.103
5.792
Ditolak
-0.119 -0.134
0.152
0.781
Diterima
-0.338 -0.332
0.135
2.493
Diterima
-0.497 -0.499
0.12
4.138
Ditolak
0.099
0.088
0.137
0.724

Gambar 2 : Full Model Struktural Equation Model

29

KUISIONER PENELITIAN
Berilah pendapat Bpk/Ibu mengenai pernyataan berikut dengan memberikan tanda silang (X)
pada kolom yang disediakan

dengan skala penilaian:

1= Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Netral (N)
4= Setuju (S)
5=Sangat Setuju (SS)
No
1
2
3

1
2
3

1
2
3
4
5

1
2
3
4
5

STS
Kepercayaan pada pemerintah
Pemerintah bertindak adil terhadap warga negara
Di Negara ini kepentingan sekelompok orang lebih kuat
daripada kepentingan masyarakat*
Lembaga-lembaga
pemerintahan
bertindak
atas
kepentingan warga negara
Kekuasaan pemerintah
Kemungkinan bahwa penggelapan pajak akan terdeteksi
sangat besar
Sangat mudah untuk menghindari pajak*
Pemerintah
sangat
efektif
melakukan
penindasan/hukuman terhadap kriminalitas pajak
Kepatuhan sukarela
Ketika saya membayar pajak seperti yang disyaratkan
oleh peraturan, saya membayar pajak karena :
Bagi saya sudah jelas bahwa membayar pajak memang
seharusnya saya lakukan
Membayar pajak untuk mendukung negara dan warga
negara lainnya.
Karena saya ingin berkontribusi untuk semua orang baik
Karena bagi saya itu hal yang wajar untuk dilakukan.
Karena saya menganggapnya sebagai tugas saya sebagai
warga negara
Kepatuhan Ditegakkan
Ketika saya membayar pajak seperti yang dipersyaratkan
oleh peraturan, saya melakukannya dikarenakan :
Banyak sekali pemeriksaan pajak yang dilakukan
Hukuman berat bagi yang menghindari pajak
saya tidak tahu persis bagaimana untuk menghindari
pajak tanpa menarik perhatian.
Kantor pajak sering melakukan audit
Saya tahu bahwa saya akan diaudit

TS

N

S

SS

30

Tax Evasion dalam strategi pembayaran
Jika Bapak/Ibu dihadapkan dengan kondisi pada pernyataan dibawah, berikan pendapat
Bapak/Ibu dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom yang disediakan
dengan skala
penilaian:
1= Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Netral (N)
4= Setuju (S)
5=Sangat Setuju (SS)
No
1
2

3

4

5

STS

TS

N

S

SS

Kecendrungan Tax Evasion
Jika Pelanggan membayar tunai dan tidak membutuhkan
faktur, Bpk/Ibu bisa tidak melaporakan pendapatan .
Jika Bpk/Ibu membeli barang pribadi dan kemudian
menjualnya kembali, keuntungan yang diperoleh dari
penjualan tersebut tidak perlu dilaporkan.
Bpk/Ibu bisa sengaja menyatakan tagihan restoran untuk
makan dengan teman-teman sebagai pengeluaran bisnis
perusahaan.
Bpk/Ibu ke luar negeri untuk bertemu kerabat dan
melakukan pertemuan singkat dengan salah satu
pemasok perusahaan. Terlepas dari ini Bpk/Ibu
bisa menyatakan pengeluaran untuk hotel dan makanan
untuk mengundang kerabat sebagai perjalanan bisnis
perusahaan
Bpk/Ibu baru saja mengambil bagian dalam sebuah
proyek di perusahaan seorang kenalan. Bpk/Ibu bisa
menyembunyikan penghasilan tambahan kena pajak atas
pajak penghasilan

31