Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan
manusia itu sendiri yang paling menarik dan tak akan ada habisnya untuk
didiskusikan. Karena sifatnya yang dinamis, persoalan yang terkait dengan
manusiapun selalu muncul dan berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
manusia itu sendiri.
Seluruh peristiwa yang dialami manusia tidak satupun yang tidak tersangkut
dengan

aturan

hukum.

Sejak

manusia

lahir,


menikah

bahkan

sampai

meninggalnyapun, hukum tetap menjamahnya. Ketika kita berbicara masalah hukum,
maka kedudukan manusia disamping sebagai subyek juga sekaligus sebagai obyek
hukum. Oleh karena itu setiap peristiwa yang menyangkut ruang lingkup kehidupan
manusia selalu disebut peristiwa hukum.
Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang
menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan, hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa
yang sangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim
disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya
seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin

1


Universitas Sumatera Utara

2

sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang
bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak seseorang yang telah meninggal
dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai
akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum
Kewarisan. Jadi, Hukum Kewarisan itu dapat dikatakan sebagai “himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak
dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum
lainnya”.1
Pengertian secara umum mengenai hukum waris adalah hukum waris
merupakan hukum yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau
keluarganya. Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena pada saat ini
berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Hukum Waris
Islam.

Bilamana disepakati bahwa hukum adalah merupakan salah satu aspek
kebudayaan baik rohaniah atau spiritual, maupun kebudayaan jasmaniah, inilah
barangkali salah satu penyebab kenapa adanya beraneka ragam sistem hukum
terutama hukum kewarisan.

1

Mohd.Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat.
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta: 1993, hal 3

Universitas Sumatera Utara

3

Seperti telah disinggung di atas bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia
masih bersifat pluralistis. Namun ketiga hukum waris tersebut mempunyai persamaan
yaitu bahwa yang menjadi obyek dari hukum waris tersebut adalah harta warisan
yang harus dibagikan kepada ahli warisnya. Namun diantara ketiga hukum itu hanya
hukum waris Islam yang memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh hukum waris
yang lain.

Hukum Kewarisan Islam bersumber dari wahyu Allah dalam Al-Qur’an,
Sunnah Rasul dan Ijtihad, yang berlaku dan wajib ditaati oleh semua umat Islam
dulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Penggunaan ketiga sumber ini
didasarkan kepada ayat Al-Qur’an sendiri dan hadist Nabi. Salah satu ayat yang
menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) : 59, yang
terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya)….”
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang mukmin diharuskan untuk
mengikuti atau taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini dapat diberi pengertian,
bahwa seorang mukmin senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus
mengikuti dan didasarkan pada ketiga sumber tersebut. Karena itu, pengertian taat
kepada Allah, dimaknakan dengan sumber Al-Qur’an. Sedangkan taat kepada Rasul,

Universitas Sumatera Utara

4


dimaknakan dengan sumber Sunnah, dan ulil amri dimaknakan sebagai sumber
ijtihad para mujtahid. 2
Dasar hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam Al Qur-an,
diantaranya dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 7 yang terjemahannya
berbunyi:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”.3
Selain terdapat dalam Al Qur-an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga
terdapat dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang artinya :
“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi S.A.W, ia berkata : Berikanlah faraid (bagian
yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada yang berhak menerimanya
dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang
terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim).4
Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadist Rasulullah SAW dan
ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam syariat Islam, sedikit
sekali ayat Al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikan disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk

kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. Disamping bahwa harta

2

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Penerbit Ekonisia,
Yogyakarta: 2002., hal 7
3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, CV. Jaya Sakti,
Surabaya : 1989, hal 114.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2008,
hal 12.

Universitas Sumatera Utara

5

merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan
hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Dalam rangka upaya pemahaman terhadap ayat-ayat kewarisan tersebut, maka
muncullah pendapat-pendapat yang berbeda antara para ahli fara’idl dari golongan
satu (ahlussunnah) dengan golongan yang lain (Syi’ah atau dhahiri), bahkan antara
para ahli fara’idl yang berada dalam satu golongan seperti antara Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan juga para murid atau pengikut-pengikutnya.
Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang popular (dianut) di Indonesia adalah
pendapat Imam Syafi’i sesuai surat edaran kepala Biro Peradilan Agama Departemen
Agama RI tanggal 18 Februari 1958 nomor B/I/735.5
Sejalan dengan upaya untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam,
Hazairin pada pertengahan tahun 50-an telah memperkenalkan teori hukum kewarisan
Islam hasil ijtihadnya yang bercorak bilateral. Teori Hazairin ini sudah barang tentu
berbeda dengan paham kewarisan syafi’i yang bercorak patrilineal. Ciri dari hukum
kewarisan patrilineal Syafi’i adalah pertama ada diskriminasi antara kerabat
5

Ahmad Zahari, Tesis Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam Serta Persamaan Dan

Perbedaannya Dengan Hukum Kewarisan Syafi’i Dan Hazairin, Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hlm.2

Universitas Sumatera Utara

6

keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli
waris bersifat sangat terbatas. Sedangkan ciri dari kewarisan bilateral Hazairin adalah
pertama tidak ada diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat
keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli waris tidak terbatas.6
Waris pengganti pada dasarnya, adalah ahli waris karena penggantian yaitu
orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat
warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil menggantikannya.
Kenyataan di masyarakat, seringkali ditemukan kasus seseorang meninggal
dunia, tetapi harta warisannya tidak segera dibagikan kepada para ahli warisnya yang
berhak. Tidak berapa lama kemudian, di antara ahli warisnya ada yang menyusul
wafat sebelum harta warisan yang wafat pertama tadi dibagikan. Di kemudian hari, di
antara para ahli waris dari yang wafat pertama maupun ahli waris dari yang wafat
belakangan tidak jarang terjadi perselisihan karena masing-masing mengklaim harta

warisan.
Hal yang dapat membawa kepada perpecahan keluarga, bahkan perbuatan
kriminal seperti ini seharusnya dapat dihindari atau dicegah. Dalam Islam, pembagian
warisan hendaknya disegerakan pelaksanaannya setelah urusan fardhu kifayah atas
mayit selesai. Penundaan pembagian warisan yang terlalu lama dapat menimbulkan
kesulitan untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris. Hal ini wajar terjadi
karena mungkin terdapat lebih dari seorang di antara ahli waris yang menyusul wafat
sebelum harta warisan dari yang wafat pertama sekali dibagikan.
6

ibid

Universitas Sumatera Utara

7

Masalah ini oleh sebagian ulama dimasukkan dalam bahagian munasakhah
yang artinya bila seseorang atau lebih dari kalangan ahli waris mayit pertama
meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama dibagi sehingga bagiannya berpindah
kepada ahli warisnya yang lain.7

Pada saat pembagian dilaksanakan maka bagian ahli waris yang telah
meninggal dunia tersebut kemudian dipindahkan kepada ahli waris (lain) yang berhak
menerimanya. Ahli waris (lain) yang berhak menerima pemindahan pembagian
kewarisan tersebut bisa ahli waris yang mewaris bersamanya bisa ahli waris yang lain
sama sekali, atau bisa juga gabungan keduanya. Dalam hal pemindahan pembagian
kewarisan dari ahli waris yang meninggal kepada ahli waris lain yang berhak
menerimanya, maka terjadilah penggantian terhadap ahli waris tersebut sehingga
biasa disebut dengan ahli waris pengganti. Sedangkan perpindahan hak warisnya dari
ahli waris inilah yang disebutkan dengan munasakhah, maka dari itu munasakhah ini
tidak bisa diidentikkan sama dengan ahli waris pengganti atau penggantian tempat.
Berbicara mengenai munasakhah ini memang tidaklah lepas dari ahli waris
pengganti yang merupakan suatu hal yang baru di dalam hukum waris Islam. Di
Negara-negara Islam lainnya tidak mengenal adanya ahli waris pengganti. Mereka
lebih menekankan konsep wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris
yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan
bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai dzawil arham atau terhijab
oleh ahli waris lain.
7

Bahrun Abubakar, Fiqih Waris, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung: 2008, hal. 249


Universitas Sumatera Utara

8

Besarnya wasiat wajibah menurut pasal 71 Undang-Undang Wasiat Mesir
menetapkan sebesar bagian yang semestinya diterima oleh orang tuanya apabila
masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan dan
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 8
a. Hanya terbatas kepada cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu
dari pewaris.
b. Cucu tersebut bukan termasuk orang yang berhak menerima harta warisan.
c. Pewaris tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah
ditentukan baginya.
d. Besarnya wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.
Berdasarkan ketentuan di atas, cucu yang dapat diberikan wasiat wajibah
adalah cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan maupun dari anak
laki-laki. Jika cucu dari garis laki-laki tersebut tidak terhijab oleh anak, mereka tetap
menerima bagian harta warisan kakeknya berdasarkan kedudukannya selaku ashabah
sebagaimana dalam sistem kewarisan jumhur,9 bukan sebagai penggantian tempat
atau ahli waris pengganti sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam. 10
Menurut Hazairin, bahwa dengan pikiran logis menafsirkan Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 33 yang berbunyi sebagai berikut :

8

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta: 1979, hal.64
Jumhur adalah kewarisan yang menempatkan semua laki-laki dari jalur laki sebagai ashabah
bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris mereka selalu tampil
sebagai ashabah jika ahli waris yang dekat perempuan. Lihat T.M. Hasby as-Shiddiqie, Fiqhul
Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta: 1973, hal.172.
10
ibid
9

Universitas Sumatera Utara

9

“ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orangorang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu “.
Ayat ini yang menunjukkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam dikenal
adanya sistem ahli waris pengganti. Menurut beliau, tidak ada satu indikator
(petunjuk) pun yang membuktikan bahwa cucu dari garis perempuan tidak dapat
mewaris. Ahli waris pengganti berarti bahwa dari sejak semula bukan sebagai ahli
waris, karena pertimbangan dan keadaan tertentu menerima warisan namun tetap
dalam status bukan ahli waris.11
Adanya waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam tidak sejalan dengan
pendapat kebanyakan para ulama, terutama pada hukum kewarisan patrilineal Syafi’i
dalam arti sesungguhnya tidak mengenal ahli waris pengganti. Cucu dalam hukum
kewarisan patrilineal Syafi’i memang dapat menjadi ahli waris yang berhak
memperoleh warisan atau dapat menerima perpindahan hak waris atau munasakhah
dari orang tuanya atas warisan dari kakeknya yang belum dibagi, tetapi tidak untuk
menggantikan tempat, derajat dan hak-hak orang tuanya yang meninggal lebih dahulu
dari pada pewaris, melainkan untuk dan atas namanya sendiri dengan menempati
tempat, derajat dan hak-hak yang berbeda dengan tempat, derajat dan hak-hak orang
11

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta: 1964,

hal. 8

Universitas Sumatera Utara

10

tuanya sebagai ahli waris jika masih hidup. Waris pengganti dalam Kompilasi Hukum
Islam ini merupakan termasuk dalam bentuk pembaharuan hukum waris Islam di
Indonesia, dari itu perlu dibedakan antara munasakhah dalam fiqih Islam dengan
waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam yang diilhami dari pemikiran
Hazairin.12
Meskipun masih memerlukan analisis lebih lanjut tetapi dapat ditegaskan
bahwa hukum kewarisan Islam mengenal dan telah membuat aturan tentang ahli
waris pengganti. Selanjutnya yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah bagaimana
sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.
Pada awalnya, dalam Hukum Kewarian Islam, tidak mengenal adanya ahli
waris pengganti atau penggantian tempat seperti telah disinggung sebelumnya,
Hukum waris Islam di Indonesia baru mengenal adanya penggantian tempat baru
setelah dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam Al Qur’an sendiri tidak secara tegas
mengatur mengenai ketentuan ahli waris pengganti. Dengan sifat keumumannya, Al
Qur’an bisa mengimbangi setiap kepentingan, keadaan dan memberikan ketentuan
hukum terhadap semua peristiwa dengan cara yang tidak keluar dari dasar-dasar
syari’at dan tujuan-tujuannya.13
Atas dasar itu pula Al Qur’an memberi kesempatan bagi yang memenuhi
syarat untuk berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum, baik yang sudah ada

12
13

Ahmad Zahari, Op.cit.hal.75
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1986, hal. 56

Universitas Sumatera Utara

11

ketentuan nashnya yang bersifat dzanny (samar-samar) maupun yang belum ada
nashnya sama sekali, sepanjang itu dilakukan semata-mata dengan tujuan
kemaslahatan umat. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang pelaksanannya diatur berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, maka Kompilasi
Hukum Islam menjadi acuan untuk ahli waris pengganti ini.
Dan khusus di dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur
mengenai kewarisan terdapat beberapa hal yang merupakan kemajuan di dalam
hukum Islam terutama bidang ilmu waris. Salah satunya adalah mengenai adanya ahli
waris pengganti atau penggantian tempat yang di atur di dalam Pasal 185 ayat 1 dan 2
yang berbunyi sebagai berikut :14
Ayat 1: “Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut
dalam Pasal 173.”
Ayat 2: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.”
Melihat bunyi pasal tersebut dapat diketahui letak kemajuan yang dimaksud. Hal

tersebut cukup penting dan mendasar bila dilihat dari ketentuan mengenai ahli waris
pengganti berdasarkan madzhab Syafi’I yang menganut sistem kewarisan yang bercorak
patrilinial, dalam mana kelompok ahli waris mencakup: dzul fara’id, ashabah, dan dzul
14

Pasal 185 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam

Universitas Sumatera Utara

12

arham, yang ajarannya dianut oleh sebagian besar ulama-ulama di Indonesia sejak dahulu

kala dan merupakan pengembangan dari kewarisan munasakhah. Dari ketentuan tersebut
dapat dikatakan bahwa semua cucu baik laki-laki maupun perempuan yang berasal dari
anak laki-laki maupun perempuan ada kemungkinan untuk mewarisi harta peninggalan
kakeknya.15

Pada umumnya di masyarakat, masalah kewarisan diselesaikan sendiri oleh
orang-orang

yang

bersangkutan

melalui

musyawarah

dalam

keluarganya.

Penyelesaian masalah kewarisan melalui musyawarah dalam keluarga ini yang paling
banyak terdapat dalam masyarakat Indonesia karena penyelesaian dengan cara
musyawarah dalam keluarga ini dibenarkan oleh hukum kewarisan Islam. Kecuali
bila

terjadi

persengketaan

diantara

ahli

waris,

maka

barulah

mereka

menyelesaikannya melalui Pengadilan, meskipun ada juga para ahli waris yang tidak
bersengketa tetapi tetap meminta penetapan keahliwarisannya

serta bagiannya

masing-masing ahli waris akan harta peninggalan pewaris ke Pengadilan yang disebut
penyelesaian non litigasi.16
Apabila makna hukum sama dengan perundang-undangan, maka menurut
Bentham, tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan
yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Begitu juga halnya dengan hukum
Islam, yang biasa disebut dengan istilah syariat, menurut Abdul Wahab Khallaf,

15

Amir Hamzah, A. Rachmad Budiono, Sri Indah. S, Hukum Kewrisan Dalam Kompilasi
Hukum Islam, IKIP Malang, 1996: hal. 34.
16
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit.hal. 20

Universitas Sumatera Utara

13

mempunyai tujuan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan orangorang yang terkena ketentuan hukum (Mukallaf).17
Berpindahnya kedudukan ahli waris kepada ahli waris nya yang lain atau
dalam istilah faraid disebut Munasakhah, sehingga bagiannya ikut terbagi. Seperti
kasus sengketa warisan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Medan No. 77/
Pdt.P/ 2009/PA Mdn.
Dalam kasus Munasakhah ini, dimana seorang atau lebih dari ahli waris yang
meninggal dunia sebelum harta warisan dibagikan sehingga bagiannya (porsinya)
berpindah kepada ahli waris yang lain, karena ahli warisnya sudah bertingkat-tingkat
akibat berlarut-larutnya pembagian harta warisan, dimana ahli waris mayit pertama
yang meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama tersebut dibagiwariskan. Dalam
kasus ini, dari pemohon meminta agar ditetapkannya sebagai ahli waris yang
mustahiq (yang berhak) dari keturunan si pewaris. Dalam hal ini si pewaris tidak
mempunyai ahli waris baik dari keturunan keatas maupun kebawah, tetapi
mempunyai 2 (dua) saudara kandung yang masing-masing memiliki ahli waris.
Warisan yang diwariskan kepada ahli waris dari saudara kandung si pewaris tersebut
(keponakan), tetapi keponakan dari sipewaris tersebut juga telah meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris juga, sehingga anak-anak atau ahli waris dari keponakan si
pewarislah yang menggantikan atau terjadi pemindahan atau munasakhah dari orang
tuanya dan bahkan cucu dari salah seorang ahli waris dari saudara sekandung si
pewaris (cucu dari keponakan) yang menggantikan orang tuanya. Dalam kasus
17

Dede Rosyada, , Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta: 1993, hal. 29

Universitas Sumatera Utara

14

munasakhah pada ahli waris ini sebelumnya dinyatakan bahwa ada termasuk
kelompok dzawil arham yang berdasarkan hukum kewarisan patrilineal menurut
ulama syafi’i tidak mendapatkan hak waris. Yang mana munasakhah ini, lebih
cenderung dengan ajaran hukum kewarisan patrilineal menurut ulama syafi’i.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan
latar belakang tersebut, untuk mengkaji dasar-dasar hukum tentang pembagian harta
warisan terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli warisnya, yang
mana ahli warisnya yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya digantikan oleh anaknya bahkan cucunya (Munasakhah) dalam
Penetapan Pengadilan Agama Medan, dengan judul penelitian : “Tinjauan Yuridis
Terhadap Kewarisan

Munasakhah

Dalam Perspektif Hukum Waris Islam

(Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No.77/ Pdt.P/2009/PA Mdn.)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang
dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah menetapkan ahli waris dalam keadaan munasakhah ?
2. Bagaimanakah menyelesaikan kasus munasakhah ?
3. Apakah yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
kasus munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/ Pdt.P/
2009/ PA Mdn ?

Universitas Sumatera Utara

15

C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui penetapan ahli waris dalam keadaan munasakhah
2. Untuk mengetahui penyelesaian kasus pada munasakhah
3. Untuk mengetahui yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam
menetapkan munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/
Pdt.P/ 2009/ PA Mdn.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis
dan secara praktis.
1. Secara Teoritis
Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai pembagian
harta warisan terhadap kewarisan munasakhah yaitu menggantikan ahli waris
yang meninggal sebelum pembagian harta warisan sehingga bagiannya
berpindah kepada ahli waris lainnya yang ditinjau dalam perspektif hukum
Islam, setidaknya tesis ini dapat menambah wawasan berfikir dan kajian
pembaca mengenai aturan dan besarnya bagian warisan terhadap ahli waris
pengganti dalam kasus munasakhah tersebut.
2. Secara Praktis

Universitas Sumatera Utara

16

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan,
ataupun setidaknya menjadi bahan acuan bagi para hakim, ulama,
cendikiawan muslim, profesi Notaris, akademisi, pengacara serta mahasiswa
dalam menyelesaikan perselisihan mengenai pembagian harta warisan
terhadap kasus munasakhah dan dikaitkannya dengan Kompilasi Hukum
Islam.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah

Dalam Perspektif

Hukum Waris Islam ( Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No.77/
Pdt.P/2009/PA Mdn.)”, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti
lain dalam judul dan permasalahan yang sama. Permasalahan ini perlu dibahas,
mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beragam agama dan suku
budaya yang sangat rentan dengan persoalan warisan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,

yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak literature, beberapa ahli

Universitas Sumatera Utara

17

menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun
sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan) dan juga simbolis.18
Menurut M. Solly Lubis, bahwa :
“teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat
dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya
teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian
dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun
meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan
benar.”19
Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu
keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir
untuk menganalisa permasalahan yang dibahas.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan. Adil dalam
arti seimbang dalam arti proporsional yang biasanya diperlukan pada hukum
kewarisan Islam. Berdasarkan Al-Qur’an Surat Infithar (6): 7, yang terjemahannya
yaitu :
“Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu yang maha pemurah ? yang menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan kamu (menjadikan) susunan
tubuhmu seimbang.”
Misalnya hak anak laki-laki dua kali bahagian anak perempuan karena
tanggung jawab anak laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi
suami tentu saja kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibandingkan anak

18

H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung,
2004, hal. 21
19
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27

Universitas Sumatera Utara

18

perempuan yang bakal menjadi istri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari
calon suami atau anak-anaknya.20
Agama Islam mengatur cara pewarisan itu berasaskan keadilan antara
kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat.
Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi
juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus
kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan.
Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.
Di samping sifat hukum waris Islam tersebut diatas, prinsip yang mendasari
sistem pewarisan Islam dalam simposium hukum waris nasional tahun 1983 di
Jakarta adalah sebagai berikut : 21
a. Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang
untuk pengosongkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat pada orang
yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian
hartanya semasa ia masih hidup.
b. Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak boleh
meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli warispun
berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara sukarela atau
melalui Putusan Pengadilan (hakim).

20

Hasballah Thaib dan Zamakhasyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, Pustaka
Bangsa, Medan, 2007, hal.247
21
Imam Sudiyat, Peta Hukum Waris di Indonesia, Simposium hukum Waris Nasional ,
Jakarta: 1983, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

19

c. Pewarisan terbatas dilingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan
perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah.
d. Hukum waris Islam cendrung membagikan harta warisan kepada ahli waris
dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan
menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit
atau banyak jumlahnya.
e. Perbedaan umur tidak membawa pembedaan dalam hak mewarisi bagi anakanak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya
kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan kerabat.
Kewarisan munasakhah pada hukum kewarisan Islam ini juga adanya untuk
memberi rasa keadilan terhadap ahli waris, karena ahli warisnya sudah bertingkattingkat dan adanya ahli waris pengganti dalam hal ini akibat berlarut-larutnya
pembagian harta warisan, sehingga bagian (porsi) nya lebih diatur secara adil lagi.
Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 185 ayat (1) disebutkan: "Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173".22
Dalam pembagiannya ahli waris pengganti, bagiannya tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang diganti sebagaimana bunyi pasal 185 ayat (2) KHI :
"Bagian Ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti".23

22
23

Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
Pasal 185 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

Universitas Sumatera Utara

20

Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 tersebut,
menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan terobosan terhadap
penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, apabila ayah meninggal lebih
dahulu dari pada kakek. Hal yang perlu diperhatikan dari Pasal 185 ini adalah bahwa
isi pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. Tetapi
pasal 185 ini bersifat tentatif atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada
pertimbangan hakim Pengadilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa
dilihat dari kata dapat dalam pasal tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif dalam
Pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam KHI
karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus, kasihan terhadap cucu atau
cucu-cucu pewaris.24
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris pengganti tidak
boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, bahwa
pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat waris karena
keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap
sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli waris, tentu tidak diperlukan
pembahasan khusus seperti yang disebutkan dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini
sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya tidak akan terlalu
dirugikan.

24

Yahya Harahap, “Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” Dalam
Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No.5, Al Hikmah, Jakarta: 1992, hal.25

Universitas Sumatera Utara

21

Konsep dari ahli waris pengganti ini sebagaimana yang berlaku di Indonesia
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidaklah terlepas dari masalah kewarisan
munasakhah, sebenarnya berasal dari kontribusi pemikiran dari

Hazairin.25 Ide

pembaharuan dalam hukum kewarisan Islam yang ditawarkan oleh Hazairin secara
mendasar meliputi: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat
menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada
anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka kakek ataupun saudara baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis
laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris
menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui sistem kewarisan bilateral. Ketiga,
ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain
(utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya
meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya
dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).
Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan
saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian
(misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. Masalah ahli waris pengganti ini
muncul karena Hazairin merasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan
yang ada selama ini, yaitu dengan menemukan dasar hukum permasalahan mengenai
ahli waris pengganti di dalam nashnya, sehingga penggantian ahli waris dapat
diterapkan dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, dengan tidak keluar dari
25

Hazairin, Op.cit. hal.54

Universitas Sumatera Utara

22

nashnya yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu tidak
mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya.
Hazairin mengartikan kata mawali dengan “pengganti ahli waris”, sehingga
menurutnya berarti, “Bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli
waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun (kerabat),
Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama
aqrabunnya.”26
Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian ayah
tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya hidup dalam
kecukupan. Anak yatim tersebut menderita karena kehilangan ayah dan kehilangan
hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat untuk cucu yatim itu. Tetapi
sering pula ia meninggal sebelum melakukannya, karena itulah Undang-Undang
mengambil alih aturan mengenai ahli waris pengganti atau penggantian tempat ini.
Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk melengkapi
hukum-hukum yang telah ada dan juga bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi
ahli waris. Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli waris yang
digantikannya, untuk itu ahli waris pengganti perlu dikembangkan dalam hukum
kewarisan Islam. Apalagi hal ini tidak akan merugikan ahli waris lainnya. Anggapan
di sebahagian pihak bahwa hukum Islam tidak mengenal ahli waris pengganti dalam
hukum kewarisan, hal ini dirasa tidak adil bila dihubungkan kepada seorang cucu
menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku anak pewaris,
26

Ibid. hal.56

Universitas Sumatera Utara

23

keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku
saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat
orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya.27
Dalam hukum kewarisan Islam ada ahli waris pengganti, yang dalam beberapa
hal berbeda dengan penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) dalam hukum
kewarisan KUH Perdata. Pencantuman ahli waris pengganti dalam kompilasi hukum
Islam ini dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan hukum.
2.

Konsepsi
Dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 10628 dapat dipahami bahwa

bermunasakhah telah diatur sebelumnya dalam ketetapan agama yang harus
dilaksanakan dan bukan semata-mata karena adanya keputusan hakim.
Konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Harta warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang
yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap,
termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya
dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas
hutangnya ketika pewaris masih hidup.

27

Ibid.
Quran dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah ayat 106, yang artinya “ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darip
adanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu ?”
28

Universitas Sumatera Utara

24

b. Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah buku rangkuman dari tiga buku yang
berisikan : Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum
Kewarisan, Buku III tentang Hukum Perwakafan.
c. Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
d. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan
ahli waris dan harta peninggalan.
e. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
f. Munasakhah adalah berpindahnya bagian sebagian ahli waris kepada ahli
warisnya karena yang bersangkutan meninggal sebelum warisan dibagikan,
contohnya bila seseorang atau lebih dari kalangan ahli waris mayit pertama
meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama dibagi sehingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya yang lain.
G. Metode Penelitian
Metodelogi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian
ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus
memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Penelitian merupakan

Universitas Sumatera Utara

25

salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga
dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran.
Dilaksanakan

untuk

mengumpulkan

data

guna

memperoleh

pemecahan

permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis.29
Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang
tepat diperlukan untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari serta
memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian penelitian yang dilakukan
akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan.30
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif, karena tesis ini

didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan dengan jalan mengumpulkan
data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier.
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat dilihat
bahwa sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian yang bersifat diskriptif
merupakan suatu “penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan

29

Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta: 1998, hal 9
30
Komarudin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung: 1979, hal
27.

Universitas Sumatera Utara

26

menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek
pelaksanaannya”.31
2.

Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu
baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber
data tersebut terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang antara lain dari:
1) Al-Qur’an dan Hadist.
2) Kompilasi Hukum Islam.
3) Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/Pdt.P/2009/PA Mdn
b. Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa:
1) Buku-buku;
2) Jurnal-jurnal;
3) Majalah-majalah;
4) Artikel-artikel media;
5) Dan berbagai tulisan lainnya.

31

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta :1986, hal.63

Universitas Sumatera Utara

27

c. Bahan Hukum Tersier

yang merupakan bahan-bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, serperti :
1) Kamus Inggris-Indonesia;
2) Kamus Hukum Arab-Indonesia;
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4) Ensiklopedi Hukum Islam.
3.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

metode penelitian kepustakaan (Library Research) yang dilakukan berdasarkan atas
karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang belum
dipublikasikan.
4.

Analisis Data
Penelitian hukum normatif pada hakekatnya berarti kegiatan untuk

mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum yang tertulis. Sistematis berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Sebelum analisis dilakukan, terlebih
dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan
(primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Sehingga analisis
yang digunakan adalah secara kualitatif yang diartikan sebagai kegiatan menganalisis

Universitas Sumatera Utara

28

data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur
baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis dan hasil penelitian lainnya.
Oleh karena itu, kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan
kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat
dpresentasikan dalam bentuk deduktif.

Universitas Sumatera Utara