Analisis Hukum Tentang Pembatalan Hibah (Studi Putusan Pengadilan Agama No : 887/PDT.G/2009/PA. MDN)

(1)

TESIS

Oleh

PUTRI TIKA LARASARI CATURANGGA SITUMEANG

097011014/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PUTRI TIKA LARASARI CATURANGGA SITUMEANG

097011014/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum


(5)

Nama : PUTRI TIKA LARASARI CATURANGGA SITUMEANG

Nim : 097011014

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TENTANG PEMBATALAN HIBAH

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 887/PDT.G/2009/P.A.MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :PUTRI TIKA LARASARI CATURANGGA SITUMEANG Nim :097011014


(6)

berhibah. Hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan, dimana harta diberikan sewaktu pemilik harta masih hidup. fungsi hibah yang sebenarnya merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan apabila dilakukan tidak sesuai aturan yang berlaku. Di Indonesia Kompilasi Hukum Islam pengaturan mengenai hibah, yakni dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan sebelumnya dalam Pasal 171 butir g. Hibah hanya bisa dibatalkan yaitu hibah orang tua kepada anaknya.

Metode penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, dengan Metode pendekatan adalah dengan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang merupakan data sekunder dan wawancara dengan informan informan diantaranya Pihak Pengadilan Agama yang merupakan data primer. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pembatalan hibah. Yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.

Penelitian menunjukkan selain peraturan yang ada di Kompilasi Hukum Islam ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu telah nyata sudah wujud si penerima hibah maupun hartanya, harta itu pula harus dapat dimiliki zatnya, mampu untuk diserahkan.Faktor pembatalan hibah di Pengadilan Agama Medan ialah karena terbukti harta bukan hak milik penuh pemberi hibah. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus Nomor: 887/pdt.g/2009/pa.mdn mengabulkan pembatalan hibah istri ke suami ini adalah karena bukti pembagian harta tidak ada yang tertulis,sehingga Tergugat sangat lemah mempertahankan perlawanannya.


(7)

facility to help or make somebody else happy through grant provision. Grant is to give property to another person without asking anything in return and the property is given when the owner of the propertry is still alive. The actual function of grant is to foster ties of relationship but many of this activity have resulted in problems if it is not done according to existing applicable regulation. In Indonesia, providing grant is regulated in the Article 171 (g) and Article 210 through Article 214 of the Compilation of Islamic Law. The grant that can be cancelled is the grant given by parents to their children.

The data for this descriptive analytical study with normative juridical apoproach were the secondary data in the forms of primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research and the primary data obtained through the interviews with informants such as the staff of the Religious (Islamic) Court. The data obtained were analyzed through qualitative method.

The result of this study showed that, in addition to the regulations found in the Compilation of Islamic Law, several rerquirements need to be paid attention to are whether or not the grant recepients, the property to be granted are available, and the property can be owned and be safe to be given. The factor of cancelling a grant known at Medan Religious (Islamic) Court was that it was proven that the property did not belong to the grant provider. The decision made by the judge of Medan Religious (Islamic) Court against the case No: 887/pdt.g/2009/pa.mdn was the grant given by the wife to her husband was cancelled because of the absence of written evidence of property distribution that it was hard for the defendant to defend her resistance.


(8)

melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum/Tesis yang berjudul “ANALISIS HUKUM TENTANG PEMBATALAN HIBAH (Studi Putusan Pengadilan Agama No : 887/Pdt.G/2009/PA. Mdn). Tesis ini disusun guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap tesis ini menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca, khususnya mengenai Hukum Agraria/Pertanahan. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan Hukum/Tesis ini tidak dapat dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis


(9)

masukan kepada penulis;

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis;

4. Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah. MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberi semangat, arahan serta kritik yang membangun kepada penulis; 5. Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD selaku anggota komisi pembimbing

selalu memberi arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan untuk perbaikan dalam tesis ini;

7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

8. Seluruh pegawai Pengadilan Agama Medan

9. Kedua orang tua Ayahanda Drs. Eka Nusa Tri Putra Situmeang dan ibunda Ir. Siti Fatimah Nosar terima Kasih atas segalanya kalian adalah insipirasi dan motivasiku untuk melakukan yang terbaik ( You’re my inspiration and motivation doing the best).


(10)

rekan lainnya di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

12. Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian penulisan Tesis ini.

Penulis sadar bahwa Penulisan Hukum/Tesis ini masih jauh dari sempurna dan perlu terus dibenahi untuk hasil yang lebih baik lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sebagai masukan dan kesempurnaan Penulisan Hukum/Tesis ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Desember 2012 Penulis,


(11)

Nama : Putri Tika Larasari Caturangga Situmeang

NIM : 097011014

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 28 Agustus 1987

Alamat : Jl. Kongsi No. 320 A Marindal I Medan

Pekerjaan : Mahasiswi

Agama : Islam

Anak Ke : 1 (satu) dari 2 (dua) bersaudara

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Drs. Eka Nusa Tri Putra Situmeang

Nama Ibu : Ir. Siti Fatimah Nosar

Adek : Angga Sia Putra Situmeang

III. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

SD : 1993 sampai 1999 Sekolah Dasar Negeri

No. 101788 Medan

SMP : 1999 sampai 2002 Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama 22 Medan

SMA : 2002 sampai 2005 Sekolah Menengah Atas

Negeri 5 Medan

S1 : 2005 sampai 2009 Fakultas Hukum

Universitas Islam Sumatera Utara Medan

S2 : 2009 sampai 2012 S-2 Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Spesifikasi Penelitian ... 21

2. Sumber Data Penelitian ... 22

3. Teknik Pengumpulan Data ... 23

4. Metode Analisis Data ... 24

BAB II SYARAT HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 25

A. Tinjauan tentang Hibah dan harta dalam Hukum Islam ... 25

B. Syarat Hibah Menurut Hukum Islam... 41

BAB III FAKTOR-FAKTOR PEMBATALAN HIBAH DI PENGADILAN AGAMA MEDAN ... 61

A. Hibah yang Berkembang di Indonesia ... 61 B. Faktor-faktor Pembatalan Hibah di Pengadilan Agama Medan . 68


(13)

B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Medan dalam Menentukan Putusan Atas Pembatalan Hibah Perkara

Nomor 887/Pdt.G/2009/PA Mdn ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN


(14)

berhibah. Hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan, dimana harta diberikan sewaktu pemilik harta masih hidup. fungsi hibah yang sebenarnya merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan apabila dilakukan tidak sesuai aturan yang berlaku. Di Indonesia Kompilasi Hukum Islam pengaturan mengenai hibah, yakni dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan sebelumnya dalam Pasal 171 butir g. Hibah hanya bisa dibatalkan yaitu hibah orang tua kepada anaknya.

Metode penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, dengan Metode pendekatan adalah dengan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang merupakan data sekunder dan wawancara dengan informan informan diantaranya Pihak Pengadilan Agama yang merupakan data primer. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pembatalan hibah. Yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.

Penelitian menunjukkan selain peraturan yang ada di Kompilasi Hukum Islam ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu telah nyata sudah wujud si penerima hibah maupun hartanya, harta itu pula harus dapat dimiliki zatnya, mampu untuk diserahkan.Faktor pembatalan hibah di Pengadilan Agama Medan ialah karena terbukti harta bukan hak milik penuh pemberi hibah. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus Nomor: 887/pdt.g/2009/pa.mdn mengabulkan pembatalan hibah istri ke suami ini adalah karena bukti pembagian harta tidak ada yang tertulis,sehingga Tergugat sangat lemah mempertahankan perlawanannya.


(15)

facility to help or make somebody else happy through grant provision. Grant is to give property to another person without asking anything in return and the property is given when the owner of the propertry is still alive. The actual function of grant is to foster ties of relationship but many of this activity have resulted in problems if it is not done according to existing applicable regulation. In Indonesia, providing grant is regulated in the Article 171 (g) and Article 210 through Article 214 of the Compilation of Islamic Law. The grant that can be cancelled is the grant given by parents to their children.

The data for this descriptive analytical study with normative juridical apoproach were the secondary data in the forms of primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research and the primary data obtained through the interviews with informants such as the staff of the Religious (Islamic) Court. The data obtained were analyzed through qualitative method.

The result of this study showed that, in addition to the regulations found in the Compilation of Islamic Law, several rerquirements need to be paid attention to are whether or not the grant recepients, the property to be granted are available, and the property can be owned and be safe to be given. The factor of cancelling a grant known at Medan Religious (Islamic) Court was that it was proven that the property did not belong to the grant provider. The decision made by the judge of Medan Religious (Islamic) Court against the case No: 887/pdt.g/2009/pa.mdn was the grant given by the wife to her husband was cancelled because of the absence of written evidence of property distribution that it was hard for the defendant to defend her resistance.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni: agama Samawi dan agama non Samawi; Keseluruhan agama tersebut memiliki aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horizontal; termasuk di dalamnya cara perkawinan.1

Kata samawi berarti langit, dengan kata lain agama non samawi dapat diartikan sebagai agama yang berasal bukan dari langit. Agama samawi disebut juga agama wahyu sedangkan agama non samawi adalah agama yang non wahyu yang bersumber dari observasi, pemikiran atau filsafat dunia.2

Islam merupakan agama Samawi, Di dalam perkawinan Islam itu sendiri banyak sekali aturan aturan dimana negara juga ikut mengaturnya, diantara maksudnya adalah agar terciptanya kedamaian dan perlindungan hukum masing masing pihak jika suatu saat terjadi masalah, misalnya masalah pencatatan perkawinan di buku nikah, perceraian, masalah seputar tanggung jawab masing masing pihak, sampai ke masalah harta dan segala pengalihan harta.

1

Sudarsono, ,Hukum Perkawinan Nasional: Rineka cipta:Jakarta. 2005 hal 6.

2http://www.infogue.com/viewstory/2011/10/30/perbedaan_hakiki_agama_samani_dan

non_samawi/?url=http://muxlimo.blogspot.com/2011/10/perbedaan-hakiki-agama samawi non samawi.html, diakses 1 juni 2012


(17)

Islam adalah agama yang mengatur semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh oleh syariat Islam termasuk tentang harta.

Syariat Islam dipandang sebagai hukum yang ditetapkan Allah tentang kajian ilmu ilmu seperti ilmu tauhid, ilmu akhlak dan ilmu fiqh. Objek kajian ilmu fiqh inilah hukum yang berkaitan tentang perbuatan manusia seperti tentang zakat, haji, puasa, sholat, jual beli, dan termasuk hibah.

Al-Qur’an mengajarkan hukum jauh lebih luas dari apa yang diartikan oleh ilmu hukum, sebab hukum menurut Al-Qur’an, tidak hanya diartikan sebagai ketentuan-ketentuan yang mengatur hidup bermasyarakat, tetapi juga mengatur segala sesuatu yang ada dalam alam semesta raya ini.3 Namun Al-Quran tidak bisa berdiri sendiri, harus disertai dengan Sunnah atau hadist, dan semua itupun harus dipahami dengan pemahaman yang benar, tidak pemahaman akal kita sendiri.

Islam juga agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam, atau disebut agama yang rahmatan lil’alamin4, yaitu rahmat bagi semesta alam. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa Islam merupakan agama yang sarat akan manfaat dan maslahat baik bagi individu maupun sosial. Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan untuk memberikan manfaat dan maslahat kepada sesama manusia maupun sesama ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala, termasuk manfaat harta pribadi untuk keperluan orang banyak.

3

Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,Cetakan Pertama, 1995, hal. 2.

4Azyumardi Azra, Jejak Jejak Jaringan Kaum Muslim Dari Australia Hingga Timur Tengah,


(18)

Hukum tentang harta sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia yang pasti meninggalkan harta benda maupun sewaktu hidupnya mengenai pengaturan semua perpindahan hartanya dari seseorang ke seseorang yang lain.

Berkaitan tentang fungsi harta bagi manusia sangat banyak, harta dapat menunjang kegiatan manusia baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk karena manusia memang cenderung seperti itu. Kecenderungan di atas, tidak jarang mendorong manusia untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta kekayaan. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya, kecenderungan manusia terhadap harta kekayaan ini telah di naskahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Firman-Nya :

Artinya :

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.

( Q.S Ali Imran : 14 )

Kekayaan ini telah ada dalam sejarah umat manusia sejak dahulu hingga sekarang ini. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

Artinya :

“Bagi laki-laki ada hak kebahagiaan dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak kebahagiaan (pula) dari harta peninggalan harta ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak sesuai bagian yang ditetapkan ”.


(19)

(Q.S. An-Nisa’ 4 : 11)

Dari sekian banyak fungsi harta yang utama antara lain adalah:

1. Berfungsi menyempurnakan ibadah yang khas karena ibadah juga memerlukan alat alat seperti kain penutup aurat, bekal untuk naik haji, berzakat, sedekah maupun hibah

2. Meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode yang lain 3. Menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat

4. Untuk mencari ilmu dan mengembangkannya, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit

5. Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan keperluan si kaya dan si miskin, dan perputaran harta dintara masyarakat.5

Selain itu pemilikan dan penggunaan harta disamping untuk kemaslahatan pribadi juga harus harta itu memberi manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain. Memahami juga bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk sosial6, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri melainkan makhluk hidup yang selalu menjalin hidup bersama-sama dengan orang lain, saling membutuhkan dan saling tolong-menolong antara yang satu dengan yang lainnya, dalam rangka untuk mencapai maslahat dan ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bentuk tolong menolong ini bermacam-macam selain dalam bentuk Warisan ada yang berupa jasa, jual-beli, hadiah dan lain sebagainya dan salah satu wujud tolong-menolong itu ada yang dikenal berupa hibah.

Tolong-menolong memang telah menjadi satu bagian yang tidak dapat di hilangkan dari kehidupan umum apalagi dalam ajaran Islam. Islam mewajibkan

5

Ringkasan Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, Kencana, cetakan pertama, Jakarta 2010 hal 22

6 Felix Joseph Pratama, Pendidikan Religiositas Agama & Kepercayaan Membawa Pembaharuan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cetakan ke 5, 2010, hal 65.


(20)

umatnya untuk saling menolong satu dengan yang lain. Segala bentuk perbedaan yang mewarnai keidupan manusia merupakan salah satu isyarat kepada umat manusia agar saling membantu satu sama lain sesuai dengan ketetapan Islam. Islam memang telah mewajibkan kepada umatnya untuk saling menolong satu sama lainnya. Namun demikian, Islam pun memberikan batasan terhadap apa yang telah diajarkannya tersebut. Agama Islam merupakan sebuah ajaran Robbani yang berisikan hukum-hukum dan aturan-aturan. Maka apa yang telah diajarkan di dalam Islam pun tidak dapat dilakukan dengan semaunya sendiri, melainkan ada petunjuk.

Untuk itu, hendaknya umat Islam juga harus mengerti benar mengenai

hubungan antara sesama manusia seperti tolong-menolong yang diajarkan di dalam Islam tersebut. Aturan pakai untuk menggunakan atau menjalankan ajaran untuk saling tolong-menolong ini tentu saja hanya terdapat di dalam Al Quran dan Hadits, karena Islam adalah agama yang sumber utama ajarannya adalah Al Quran dan Hadits kemudian dengan pemahaman yang benar dari ulama ulama salaf yang sholeh. Dalam menjalin hubungan antara sesama manusia yang satu dengan yang lain, ketika telah terjadi ketidak ikhlasan atau ketidak adilan, biasanya masing-masing pihak ingin mempertahankan kepentingan yang berbeda, adakalanya kepentingan mereka bertentangan sehingga dapat menimbulkan perselisihan diantara beberapa pihak. Untuk menghindari gejala tersebut mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Dengan dibentuknya norma-norma maka jelas perbuatan apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan di dalam masyarakat,


(21)

sehingga terciptalah ketertiban di dalam masyarakat.7 Berbagai peraturan-peraturan dalam hukum dibuat untuk mengatur kehidupan manusia termasuk di Indonesia, sehingga dapat menjadi tentram dan damai. Dalam hal saling memberi dan tolong menolong seperti yang disebut diatas pula ada aturan yang mengaturnya termasuk pengaturan masalah seputar waris maupun hibah di Indonesia

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga.8 Dewasa ini pengertian hibah telah berkembang menjadi pemberian dari satu negara kepada negara lainnya. Bahkan dapat pula diartikan suatu pemberian dari suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya. Seperti tercantum dalam definisi hibah dalam penjelasan atas Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 huruf d menyatakan ”hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki”.

Biasanya dalam hal hibah kepada perseorangan, pemberian – pemberian tersebut tidak pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun. Namun jika ada perbedaan yang

7

Sudikno Mertokusumo.Mengenal Hukum sebagi Suatu Pengantar, Liberty, Yogayakarta, 2005, hal 1.

8Eman Suparman. 1995.Intisari Hukum Waris Indonesia.Penerbit Mandar Maju. Bandung.


(22)

menyolok antara peralihan hak milik atas harta kekayaan dengan menggunakan sarana hukum hibah bisa menjadi sarana perselisihan di antara pihak pihak yang berkepentingan, misalnya tidak adilnya pemberian, tidak ada ijin dari pemilik sebenarnya dan lain sebagainya.

Apabila ditinjau dari pengertiannya, tidak ada hubungan atau keterikatan secara langsung antara hibah dan waris. Sebab hibah adalah aqad yang ditujukan untuk pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu masih hidup tanpa adanya imbalan. Sedangkan hukum waris adalah9kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Banyak masyarakat yang kurang taat kepada hukum Allah menginginkan hal yang berbeda dari pembagian harta namun melakukannya bukan merusak pembagian wariasan namun memberikan secara Cuma Cuma kepada pihak lain atas dasar alasan masing masing, mungkin karena pewaris menyukai kebaikan seseorang maka ia memberikan sebagian hartanya sebelum ia meninggal kepada orang lain tersebut atau memberikan berupa benda kepada salah satu anaknya yang dianggapnya lebih berjasa dan alasan lainnya selain mewarisi. Agama Islam telah memberikan tuntunan tentang cara memindahkan hak atas harta atau kekayaan dari seorang yang satu kepada yang

9Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. PT.


(23)

lainnya. Tujuannya agar tidak terjadi masalah dikemudian hari, tuntunan tersebut adalah hibah.

Baik hibah, wasiat maupun warisan, ketiganya mempunyai perbedaan dalam pelaksanaannya, apabila hibah dilakukan dengan alasan yang tepat maka ini tidak akan timbul konflik, namun jika dilakukan dengan alasan maupun kondisi yang salah maka akan membawa masalah maupun kerugian bagi pihak pihak tertentu terkhusu bagi ahli waris. Ini juga salah satu alasan ketertarikan dalam mengangkat masalah hibah ini.

Pengadilan Agama Medan merupakan pilihan dalam penelitian ini dikarenakan telah terdapat beberapa kasus pembatalan hibah.

Sampai saat ini di Indonesia masih berlaku lebih dari satu hukum yang mengatur hibah, artinya hibah juga diatur baik oleh hukum Islam, hukum Perdata yang bersumber pada Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maupun hukum Adat. Pada dasarnya pengaturan masalah hibah menurut ketiga sistem hukum tersebut memiliki unsur – unsur kesamaan, meskipun dalam beberapa hal satu sama lain mengandung pula perbedaan.

Di dalam BW hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693. Menurut pasal 1666 BW, hibah dirumuskan sebagai berikut :

“Hibah adalah suatu perjanjiandengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cumadan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu bendaguna keperluan di penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.


(24)

Sedangkan sekilas tentang hibah dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah ialah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikan di antara anak anaknya pada waktu ia masih hidup,10 penghibahan itu juga terjadi kemungkinan akibat kekhawatiran si pemberi hibah misalnya ibu dari anak anaknya adalah ibu tiri, atau bisa jadi karena maksud si pemberi hibah itu untuk menyimpang dari hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat yang kental islamnya, ini biasanya terjadi pada masyarakat garis keibuan seperti di Minangkabau.

Hibah sebenarnya dapat meneguhkan rasa kecintaan antara manusia, oleh karena itu Islam sanggup mengantar dan memberikan keselamatan secara utuh memiliki ajaran yang sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan. Hibah atau pemberian merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Subhana wa ta’ala, dalam rangka mempersempit kesenjangan antara hubungan keluarga serta menumbuhkan rasa setia kawanan dan juga kepedulian sosial.

Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang disebut intervivos11. Pemberian semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan ”hibah”. Di dalam Hukum Islam jumlah harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih. Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut di atas, Asaf A. A.Fyzee dalam bukunya ”Pokok-pokok 10Tamakiran, S, Asas Asas Hukum Waris Menurut Tiga System Hukum, Pioner Jaya,

Bandung, 1987.


(25)

Hukum Islam II” memberikan rumusan hibah sebagai berikut: ”Hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan”12.

Hibah merupakan suatu pemberian secara cuma-cuma ataupun suatu bentuk hadiah kepada seseorang. Pemberian hibah dilaksanakan sebagai fungsi sosial dalam masyarakat, sehingga masalah-masalah pewarisan seperti pewarisan dapat diselesaikan melalui hibah, tetapi kenyataannya hibah bukan merupakan solusi yang tepat terhadap permasalahan-permasalahan tanah, karena bisa menjadi masalah baru misalanya penarikan kembali hibah.

Suatu pemberian sebagai hibah antara seseorang dengan anak sendiri atau juga dengan orang lain karena sesuatu balas jasa tidak boleh ditarik kembali. Oleh karenanya pada suatu masyarakat adat tertentu jika akan memberikan sesuatu kepada seseorang haruslah dipikir sampai matang terlebih dahulu supaya jangan sampai menyesal di kemudian hari. Dalam hal hibah ditarik kembali, menurut hukum Islam dan hukum Perdata KUH Perdata, hibah tidak dapat ditarik kembali, namun ada diberi memberikan pengecualian dalam hal – hal tertentu hibah dapat ditarik kembali atau dihapuskan oleh penghibah. Demikian pula menurut hukum Adat bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali jika hibah itu bertentangan dengan hukum Adat.13

Kasus penarikan atau pembatalan hibah merupakan kasus yang pernah terjadi. Dalam hukum hibah yang telah diberikan tidak dapat dikembalikan kembali, akan

12 ibid hal 2. 13Ibid.Op.cit Hal 85


(26)

tetapi terdapat beberapa perkecualian hibah dapat ditarik kembali. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan hibah tanah maka persoalannya menjadi semakin kompleks.

Adapun hibah yang boleh ditarik kembali dalam hukum islam di Indonesia adalah hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya (Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam).

Dalam pasal di atas sangat jelas dinyatakan bahwa di Indonesia hibah tidak boleh ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya, menunjukkan keharaman menarik kembali hibah atau sadaqah yang telah diberikan kepada orang lain, kebolehan menarik hibah hanya berlaku bagi orang tua kepada anaknya, maksudnya agar orang tua dalam memberikan hibah kepada anak anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan14.

Sebagaimana terjadi juga dalam masyarakat, pemberian atau hibah kepada anak bisa menjadi dilema jika tidak sesuai aturan atau melebihi porsi yang wajar, begitu pula dengan sebuah sengketa pembatalan hibah yang terjadi di Pengadilan Agama Medan denagn nomor perkara: 887/pdt.G/2009/PA.Mdn.

Dalam kasus sengketa pembatalan hibah yang terjadi di Pengadilan Agama Medan dengan nomor perkara: 887/pdt.G/2009/PA.Mdn, penggugat mengajukan gugatan kepada beberapa orang tergugat.

Penggugat adalah seorang wanita yang meninggalkan suaminya begitu saja, namun ketika kembali ia menemukan suaminya telah menikah lagi dan memiliki


(27)

beberapa anak, kemudian penggugat melihat harta berupa tanah yang dahulu ia miliki bersama suaminya telah dikuasai orang lain bahkan telah dihibahkan suaminya kepada orang lain, dari sinilah terjadi konflik, maka penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Medan untuk menarik kembali hartanya itu, ia menuntut suaminya yaitu Tergugat I. Sedangkan tergugat I,II,III,IV dan V, Merupakan anak anak dan istri kedua dari Tergugat I.

Penggugat merasa sebagai pemilik sebagian harta hibah berupa tanah, karena dianggap merupakan harta bersama yang masih belum diselesaikan pembagiannya antara penggugat(mantan istri) dan tergugat I (mantan suami).

Hibah yang berfungsi sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama, kulit dan lain-lain. Hibah ini dapat dijadikan sebagai solusi dalam permasalahan warisan. Seperti dalam kasus diatas, Kenyataannya fungsi hibah yang sebenarnya merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam harta yang dihibahkan, sehingga fungsi dari hibah yang sebenarnya tidak berjalan dengan sesuai. Keadaan demikian itu tidak selaras dengan maksud dari hibah yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang sengketa hibah terpaksa harus diselesaikan di pengadilan, padahal fungsi utama dari hibah yaitu memupuk persaudaraan/silaturahmi.

Dari uraian di atas Maka penulis merasa tertarik dan bermaksud melakukan penelitian, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk Tesis penulis yang berjudul:


(28)

ANALISIS HUKUM TENTANG PEMBATALAN HIBAH (Study Kasus Putusan Pengadilan Agama No: 887/pdt.G/2009/PA.Mdn).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat pengkajian berkaitan dengan Pembatalan Hibah Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus Perkara Nomor 887/pdt.G/2009/PA.Mdn). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk ituresearch questiondalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana syarat hibah dalam hukum Islam ?

2. Apa faktor faktor yang menyebabkan pembatalan hibah di Pengadilan Agama Medan ?

3. Bagaimana Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan dalam menentukan putusan perkara Nomor 887/pdt.G/2009/PA.Mdn ditinjau dari Hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembatalan hibah tanah oleh pemberi hibah di Pengadilan Negeri Medan. Adapun secara pragmatis penelitian ini ditujukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui syarat hibah yang ada dalam hukum Islam

2. Untuk mengetahui faktor faktor apa yang menyebabkan pembatalan hibah di Pengadilan Agama Medan


(29)

3. Untuk menganalisis pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan dalam menentukan putusan perkara Nomor 887/pdt.G/2009/PA.Mdn ditinjau dari hukum Islam

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis : menambah hazanah keilmuan mengenai upaya hukum dapat ditempuh apabila terjadi persengketaan terhadap penarikan/pembatalan Hibah oleh ahli waris. Maka dengan itu dapat dijadikan salah satu bahan untuk melakukan kajian atau penelitian lanjutan bagi akademis atau penelitian berikutnya.

2. Secara praktis: dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sengketa tentang penarikan Hibah oleh ahli waris yang mungkin terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menemukan aspek-aspek hukum dari sengketa penarikan hibah oleh ahli waris.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, dan sepanjang yang diketahui, penelitian tentang “Analisis Hukum Tentang Pembatalan Hibah (Study Kasus Putusan Pengadilan Agama No: 887/Pdt.G/2009/Pa.Mdn)” belum pernah dilakukan, oleh karena itu penelitian ini adalah asli. artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan


(30)

kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, Kecuali:

1. Agustina Darmawati 077011003/mkn dengan judul “ Analisis Yuridis atas Harta Gono-gini yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: studi kasus putusan pengadilan agama medan no. 691/pdt.g/2007/pa. Medan”,

2. Lila Triana, Nomor Induk: 027011035, Mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2004 dengan judul: “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota Medan)”,

3. Tyas Pangesti, sh / b4b007212, program studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2009, dengan judul “pembatalan hibah dan akibat hukumnya (studi kasus perkara nomor 20/pdt.g/1996/pn.pt)”.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Hukum tidak sebatas berfungsi meneguhkan pola pola yang sudah ada, tetapi juga melakukan perubahan ke arah kebutuhan masa depan15.

15 Muslan Abdurahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang,


(31)

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis18.

Paling tidak ada empat kegunaan kerangka teoritis bagi suatu penelitian, yaitu: 1. teori tersebut berguna lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta

yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep konsep serta mempperkembangkan definisi definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

4. Teorimemberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor faktor tersebut akan timbul lagi pada masa masa yang akan datang19.

Pada hakikatnya, teori merupakan serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam system deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas sesuatu gejala. Umumnya terjadi 3 (tiga) elemen dalam suatu teori:

16 J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI,

Jakarta, 1996, hal. 203.

17

Ibid,hal. 16.

18

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,CV. Mandar Maju, Bandung, 1994.,op. cit, hal. 80.


(32)

1. Penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam teori

2. Teori menganut system deduktif,yaitu suatu yang bertolak dari suatu yang umum (abstrak) menuju suatu yang khusus dan nyata

3. Bahwa teori memberikan penjelasan aras gejala yang dikemukakan. Dengan demikian untuk kebutuhan penelitian, maka fungsi teori adalah mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan20.

Hibah diatur dalam beberapa hukum yaitu di dalam KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat. Dalam ketiga hukum tersebut hibah merupakan satu solusi dalam pembagian harta warisan lepada keluarganya. Hibah dilaksanakan dan akan syah apabila memenuhi semua persyaratan baik untuk penghibah, penerima hibah dan benda-benda yang akan dihibahkan. Hibah diatur dalam ketiga hukum tersebut, sehingga pelaksanannya di dalam kehidupan bermasyarakat berpatokan pada ketiga hukum tersebut yang mengatur secara jelas tentang hibah untuk menghindari permasalahan-permasalahan yang dapat timbal dari pelaksanaan hibah. Kompilasi Hukum Islam memuat substansi hukum penghibahan yang terdiri dari 5 Pasal mulai Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 yaitu:

a) Pasal 210 berisi tentang syarat harta yang akan dihibahkan dengan orang yang menghibahkan

b) Pasal 211 berisi tentang hibah orang tua ke anak

20 Sri gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung; Alumni, 1999, hal 16


(33)

c) Pasal 212 berisi tentang pencabutan atau pembatalan hibah

d) Pasal 213 berisi tentang pemberian hibah dari pemberi hibah yang sudah mendekati ajalnya

Karena dalam kasus ini ada berhubungan dengan harta bersama maka ada baiknya kita mengetahui sedikit tenntang harta bersama. Abdul Manan menyatakan, bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa21.

Kondisi di atas dapat berbeda jika sebelumnya di antara calon suami dan isteri telah melakukan perjanjian pra nikah mengenai pemisahan harta sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Dari uraian di atas maka tesis ini akan menggunakan teori positivisme, dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan an hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk22.

21

Abdul Manan, .Beberapa Masalah tentang Harta Bersama., Mimbar Hukum, No. 33, Tahun VIII, 1997, hal. 59.

22Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filsafat Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2002,


(34)

Selain teori tersebut teori utilitarisme dari Jeremy Bentham juga dipakai. Teori tersebut merupakan pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir (the greatest good for the greatest number). Artinya semakin bermanfaat pada banyak orang maka perbuatan itu semakin etis.

Dengan teori tersebut maka analisa masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni hukum perkawinan, dalam hal ini ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) atas harta hibah

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut denganoperational definition23.

Agar menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian saya ini, maka perlu diuraikan pengertian konsepsi yang digunakan, yaitu:

a. Pembatalan adalah salah satu cara menghapus kontrak/perjanjian. Pembatalan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Pembatalan secara aktif, yaitu pihak yang merasa dirugikan melakukan penuntutan pembatalan perjanjian kepada hakim pengadilan

23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal.10.


(35)

2. Pembatalan secara pasif, yaitu pihak yang dirugikan menunggu sampai ada yang menggugat di muka hakim/pemgadilan untuk memenuhi prestasi dan pada saat itu baru mengajukan tentang tidak sahnya perjanjian tersebut24.

b. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, dan tidak dapatditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya.25

Hukum waris Islam didasarkan pada hukum Islam yang dianut oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia yaitu yang didasarkan pada Al-Qur’an , hadits dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Indonesia. Ketiga hukum waris ini semuanya mengatur pula mengenai ketentuan hibah.

Diantara ketiga Hukum di Indonesia pada dasarnya dalam pengaturan ketentuan hibah memiliki unsur – unsur kesamaan, meskipun dalam beberapa hal satu sama lain mengandung pula perbedaan. Unsur kesamaan dan perbedaan ini terdapat pula dalam pengaturan pembatalan hibah. Pada dasarnya semua ketentuan hibah dalam ketiga hukum tersebut mengatur bahwa suatu hibah tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Namun dengan syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan tertentu dalam hukum waris adat dan hukum waris perdata dapat mengadakan penarikan kembali atas suatu hibah. Oleh karena semua ketentuan hukum waris tersebut mengatur tentang ketentuan penarikan kembali atau pembatalan atas hibah, dari hal 24 Yunirman Rijan, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak Dan Surat Penting Lainnya,Penerbit Raih Asa Sukses, Jakarta 2009, hal 43.


(36)

tersebut diinginkan penelitian hanya berfokus pada hukum waris Islam saja dan melihat bagaimana penerapannya yang ada di pengadilan Agama khususnya di Medan.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut diadakan Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah26.

Penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat untuk memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan cara-cara tertentu, sistematis berarti berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan di dalam suatu kerangka tertentu.27

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku 26 Soetrisno Hadi,Metodologi Reseach, (Yokyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi

UGM,1980), hal 7


(37)

berkaitan dengan teori- teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.28

Dikatakan deskriptif karena penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pembatalan hibah.

Data yang diperoleh dari penelitian diupayakan memberikan gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang berhubungan erat dengan gejala – gejala yang diteliti kemudian dianalisa mengenai penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang – undangan guna untuk mendapatkan data atau informasi mengenai pelaksanaannya

2. Sumber Data Penelitian

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yangmeliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.29 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:.

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

28 Ronny Hanitijo Soemitro. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri. Ghalia

Indonesia. Jakarta. Hal.35

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(38)

b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

c) Kompilasi Hukum Islam

d) Putusan perkara pengadilan Agama Medan Nomor

887/pdt.G/2009/PA.Mdn.

2) Bahan hukum sekunder adalah yaitu bahan – bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. bahan hukum sekunder tersebut meliputi : a) Hasil karya ilmiah para sarjana

b) Hasil penelitian yang berkaitan dengan hibah

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang berkaitan hibah yang dibatalkan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian ini maka data yang dikumpulkan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Recearch)

Penelitian Kepustakaan (Library Recearch) digunakan untuk memperoleh data

sekunder sebanyak mungkin. Penelitian kepustakaan ini dilakukandengan cara mempelajari Undang-Undang, pendapat-pendapat atau tulisan para sarjana serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini.


(39)

Data yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan ini adalah data primer. Data

primer diperoleh dari informan yang erat hubungannya dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan data yang diperoleh dari informan tersebut nantinya akan diperoleh data primer. Data primer inipun dihimpun dengan mengadakan wawancara dengan informasi seperti: Hakim Pengadilan Agama yaitu Bapak Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery yang dipilih sebagai salah satu informan karena beliau merupakan hakim ketua yang mengadili kasus yang dibahas dalam tesis ini. juga ada pegawai Pengadilan Agama yaitu Bpk. H. Juhri, dan staf Pengadilan Agama.

Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara. Dalam wawancara ini, informan yang diwawancarai mempunyai pengalaman tertentu atau terjun secara langsung yang berkaitan dengan penelitian ini.

Dari hasil wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam praktek tentang pembatalan hibah . Hasil yang diperoleh dari wawancara ini merupakan data primer untuk mendukung data sekunder.

4. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh melalui penelitian kepusatakaan maupun data yang diperoleh melalui penelitian lapangan akan dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif yaitu analisis data dengan mengelompokkan dan menyelidiki data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahaan yang diajukan. Kemudian akan ditarik kesimpulannya dengan menggunakan metode penarikan kesimpulan deduktif dan dari hasil ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dibuat.


(40)

BAB II

SYARAT HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Tinjauan umum tentang Hibah dan harta dalam Hukum Islam 1. Tinjauan umum tentang Hibah

Pengertian hibah memang banyak ditemukan dalam literatur hukum Islam, walau pada prinsipnya mendekati sama.

Pada mulanya kata hibah Secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata wahaba yang berarti pemberian30, sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.31

Sedangkan secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun(bangkit), yang terambil dari katahubuubur riihartinyamuruuruha(perjalanan angin).32

Hibah menurut terminologi syara’ adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.33

30 Ahmad Warson Munawir Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia Yogyakarta Pondok

Pesantren “ Al-Munawir,” 1984, hal. 1692.

31

Syayid Sabig,Fiqh Al-Sunnah, juz III, Beirut: Dar Al-Fikir, 1992, hal. 388.

32ibid hal 984 33Ibid hal 435


(41)

Dari pengertian tersebut dapat diambil pengertian umum bahwa hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan dimana harta diberikan sewaktu pemilik harta masih hidup.

Hibah juga dalam pengertian umum adalah Sadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertical (hubungan manusia dengan Tuhan) mempunyai dimensi taqorrub

artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang, semakin banyak Berderma danSadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh keimanan dan ketaqwaan34. Dilihat dari sudut lain hibah juga mempunyai aspek horizontal (hubungan sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta dapat menghilangkan rasa kecemburuan sosial.Sadaqahbiasa kita sebut di Indonesia adalah sedekah.

Penghibahan digolongkan dalam perjanjian cuma-cuma dalam perkataan dengan cuma-cuma ditunjukkan adanya prestis dari satu pihak saja, sedangkan pihak lainnnya tidak usah memberikan kontra prestisnya35. Makanya hibah disebut juga perbuatan hukum sepihak.

Hibah juga merupakan perbuatan hukum sepihak, dalam hal itu pihak yang satu memberikan atau menjanjikan memberikan benda kepadanya kepada pihak lain dan tidak mendapatkan tukaran atau penggantian atau imbalan36.

Dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling

34Chuzaimah T. Yanggo dan A Hafidz Anshory,Problematika Hukum Islam III, hal 81. 35Subekti,Aneka Perjanjian, PT Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 94.


(42)

mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempererat tali persaudaraan.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, artinya :

“...Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orang orang yang meminta...”.

(Q.S. Al – Baqarah 177: ). Rasulallah juga bersabda, artinya :

Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari).37

Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, memang tidak ditemui ayat dan hadist Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, memberi hadiah, melakukan infaq, sedekah, ibraa, hadiah, ’Umra, Ruqbah dan pemberian pemberian lain termasuk hibah.

Sedekah sedikit berbeda dengan hibah, sedekah biasanya si pemberi mengharapkan ridho Allah subhanahu wata’ala walau terkadang banyak juga niat

37 Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Quran Dn Sunnah,pustaka imam Asy-Syafi’I, Jakarta,2007,hal 60


(43)

hibah adalah mencari pahala. Contoh sedekah ialah Seperti memberikan beras, atau benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Allah berfirman yang Artinya : "Dan kamu tidak menafkahkan, melainkan karena mencari keridhaan Allah dan sesuatu yang kamu belanjakan, kelak akan disempurnakan balasannya sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya". (QS. AI Baqarah : 272). Bersedekah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala sedekah.

Allah berfirman dalam surat AI Baqarah ayat 264:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia ..." (QS. AI Baqarah : 264)

Istilah lain yang hampir sama dengan hibah adalah Ibraa. Artinya membebaskan hartanya kepada orang lain yang berhutang.

Sedangkan hadiah artinya imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah mendapatkan hibah38 atau hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang39, Hadiah yaitu pemberian seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti dengan maksud memuliakan atau memberikan penghargaan.

38Sayyid sabbiq, Op.Cit hal 417

39 Helmi Karim, Fiqh Muamalat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta cetakan kedua April


(44)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama.

Berbeda pula dengan pemberian ‘umra dan ruqbah. Umra artinya umur

sedangkan ruqbah berarti mengintai. Menurut sayyid sabiq ‘umra adalah semacm hibah, yaitu seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan jika yang diberi hadiah itu mati maka barang atau harta itu kembali kepada pemberi bihah/penghibah40.

Ada yang membedakan antara sedekah dengan hadiah dan mengatakan jika dia memberikan sesuatu sebagai hak milik kepada orang yang memerlukan sesuatu sebagai hak milik kepada orang yang memerlukan demi pahala akhirat dinamakan sedekah, dan jika dipindahkannya ke tempat yang menerima hibah sebagai tanda hormat kepadanya adalah hadiah dan setiap hadiah dan sedekah adalah hibah dalam arti bahasa dan tidak semua hibah adalah sedekah dan hadiah41.

Namun jika seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi bukan sebagai hak milik maka disebut pinjaman, jika pemberian itu disertai imbalan maka disebut jual beli.

Dalam prakteknya ternyata Nabi Muhammad shallallahu’alahi wa sallam dan sahabatnya dalam memberi dan menerima hadiah tidak saja diantara sesama muslim

40Sayyid sabiq jilid III op.cit hal 990

41 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fikh Muamalah Sistem Transaksi Dalam Fikh Islam,


(45)

tetapi juga dari atau kepada orang lain yang berbeda agama, bahkan dengan orang bukan muslim42sekalipun.

Hibah yang berfungsi sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama, kulit dan lain-lain. Hibah ini dapat dijadikan sebagai solusi dalam permasalahan warisan. Kenyataannya fungsi hibah yang sebenarnya merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam harta yang dihibahkan, sehingga fungsi dari hibah yang sebenarnya tidak berjalan dengan sesuai.

Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan43.

Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :

a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.

b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan44.

42Lihat sayyid sabiq op.cit hal 985

43Mu Al-Adab Al-Mufrud, Beirut:Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990, hal.180. 44Eman Suparman, Op.Cit.1995, hal. 74-75.


(46)

Mazhab Syafi’i memberikan beberapa pengertian tentang pengertian khusus dan pengertian umum hibah sebagai berikut :45

1) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian dilakukan pada saat pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik pemberi.

2) Memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan/ganti. Pemberian semata – mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberi (mauhublah). Artinya, pemberi hibah hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengaharapkan adanya pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Hibah dalam arti umum dapat diartikan sebagai sedekah. Pemberian sifatnya sunah yang dilakukan dengan ijab dan kabul waktu orang yang memberi masih hidup. Pemberian tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menututp kebutuhan orang yang diberikannya

Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan mengenai hibah, yakni dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan sebelumnya dalam Pasal 171 butir g.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171:g mendefinisikan hibah sebagai berikut :

“Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.46

45M.Idris Ramulyo. 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam denganKewarisan Kitab Undang undang Hukum perdata,Sinar Grafika, Jakarta, hal. 116


(47)

Kata “yang masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sesudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa47.

Definisi definisi di atas sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalas atau balasan.

Namun Hasballah Thaib dalam hal ini mengatakan bahwa ada 3 tingkatan dalam hal membalas hibah seseorang:

1. pemberian seseorang kepada yang lebih rendah dari dirinya, seperti pemberian seorang majikan kepada pembantunyadengan maksud ingin menghormatri dan mengasihinya, pemberian yang demikian tidak menghendaki balasan

2. pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan dan manfaat

3. pemberian dari seseorang kepada orang lain yang setingkat dengannya. Pemberian ini mengandung makna kecintaan dan pendekatan. Dikatakan pula bahwa pemberian yang demikian wajib dibalas. Adapun apabila seseorang diberi hadiah dan disyaratkan untk membalasnya maka ia wajib membalasnya48.

46 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1, Jakarta: Akademika

Pressindo, 1992, hlm. 156.

47

Amir Syarifudin,Pelaksana Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1985, hal. 252.

48M. Haballah Thaib,Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, 1999, Pascasarjana USU,


(48)

Adapun bentuk bentuk macam hibah lainnya yaitu49: 1. Hibah barang

2. Hibah manfaat

Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta tersebut atau manfaat barang yang dihibahkan itu, namun zat harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

Kemudian, jika dikaitkan dengan pembatalan hibah maka, jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh menarik kembali hibah yang telah diberikan. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas, beliau berkata, Rasulullah bersabda:

”menarik kembali hibah itu adalah seperti anjing yang muntah, kemudian menjilat kembali muntahnya tersebut”.

49Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Juz II, Mustofa al Baby Halaby wa Auladuh, Cairo, Mesir


(49)

2. Pengertian harta dalam Hukum Islam

Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan keempat sistem hukum yang pada umumnya terbentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil pemufakatan & budaya manusia di suatu tempat di suatu masa. Beda dari keempat sistem hukum yang lain. Sistem hukum Islam tidak hanya hasil pemukafatan manusia yang dipengaruhi oleh kebudayaannya di suatu tempat pada suatu masa.

Apabila Hukum Islam itu disistematisasikan seperti di dalam tata hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut50:

a) Tentang Hukum Perdata Islam

Hukum Perdata (Islam) meliputi: a.Munakahat,mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian serta akibatakibat hukumnya, b.

wirasah,mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut jugahukum faroid,c.

muamalat, ialah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, kontrak dan sebagainya.

b) Tentang Hukum Publik Islam

Hukum Publik (Islam) meliputi: a. Jinayah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam


(50)

jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah(hudud artinya batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau pelajaran); b. al-ahkam as-sulthoniyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan dengan kepala Negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya; c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain dan Negara lain; dan d. mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara. Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti luas tersebut dibandingkan dengan susunan hukum Barat, seperti dalam ilmu-ilmu hukum, maka munakahat, dapat disamakan dengan hukum perkawinan; wirasah/faroid sama dengan hukum kewarisan;

muamalat dalam arti khusus sama dengan hukum benda dan hukum perjanjian,

jinayah/uqubat sama dengan hukum pidana; al-ahkam assulthoniyah sama dengan hukum ketatanegaraan, yaitu tata Negara dan administrasi Negara;siyar

sama dengan hukum internasional; danmukhasamatsama dengan hukum acara. Hukum Islam telah diterapkan di Indonesia jauh sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia . pengertian Hukum Islam sendiri punya 2 makna yaitu sebagai syari’at dan fiqh. Pengertian pertama, hukum Islam bersifat absolut, tidak akan berubah. Sedangkan menurut pengertian kedua sebagai fiqh yang merupakan


(51)

penjabaran lebih lanjut dari syari’at dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan syariah hukum Islam dapat berubah & berkembangan. Jadi fiqh di suatu negara dapat berbeda dengan fiqh di negara lain.51

Namun demikian, bila membicarakan syari’at dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum publik; demikian pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi hukum privat. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi : munakahat, warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam assulthoniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat.52

Kalangan ulama fiqh telah membahas tentang harta, cara mendapatkan dan memindahkan hak milik sebagaimana mereka juga telah membahas tentang hak dan sumber sumber yang ada, mereka juga mengupas tentang toeri akad dan perbuatan yang menyebabkan seseorang memberi jaminan, sebagaimana mereka juga telah membahas tentang aplikasi tori mendapatkan kekayaan tanpa usaha, lalu membahas tentang hubungan antara pemberi dan penerima utang dan ini akan dapati tersebar luas dalm bab bab fiqh yang berbeda beda.

Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan 51Afdol, Landasan Hukum Positif pemberlakuan Hukum Islam dan permasalahan implementasi hukum kewarisan Islam,2003, Airlanggga University Press, Surabaya, hal 1.


(52)

ke dalam salah satu al-dharuriyyat al khamsah(lima keperluan pokok) yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta53

Jadi harta merupakan keperluan hidup pokok bagi manusia, sarana memenuhi kesenangan, sebagai bekal bagi kehidupan akhirat sekaligus sabagai cobaan.

Makna dari harta itu sendiri ialah berasal dari bahasa Arab disebutal-mal, ada beberapa pendapat tentang pengertianmalyaitu:

1. Menurut bahasa umum yaitu, uang atau harta sedangkan menurut istilah ialah segala sesuatu yang berharga dan bersifat materi serta beredar diantara manusia54

2. Menurut ulama Hanafiah yang dikutip dari Nasrun Haroen55 al mal artinya segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.

3. Sedangkan menurut jumhur ulama (selain Hanafiayah): yang juga dikutip oleh Nasrun Haroen56 al mal yaitu segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusaknya atau melenyapkannya. Dalam perdata Islam , harta disebut juga istilahmal, jama’nyaamwal57

Dari kandungan definisi di atas ada perbedaan perbedaan esensi harta, yaitu menurut jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga termasuk

53

Ibn Ishaq Al Syathiby,Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah(Beirut: dar al-ma’rifah 1975), jilid II hal 8-12.lihat juga Wahbah al Zuhaily,Ushul Al-Fiqh Al Islamy(Damaskus; dar al fikr, 2001) juz 2cet ke 2 hal 1048

54

M.Abdul Mujieb(et al).Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ke 1 hal 191

55

Nasroen Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)cet ke 2 hal 73

56Ibid hal 73 57

Zahri Hamid,Harta Dan Milik Dalam Hukum Islam, CV Bina Usaha, Yogyakarta, Cetakan pertama, 1985 hal 1.


(53)

manfaat dari benda itu sendiri. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendirian bahwa harta hanya bersifat materi.

Kemudian Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan sebagai berikut:

1. Mal adalah nama bagi selain manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dikelola dengan jalan ikhtiar.

2. Benda yang dijadikan harta itu dapat dijadikan harta oleh umumnya manusia atau oleh sebagian mereka

3. Sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah kita mentransaksikannya

4. Sesuatu yang dimubahkan walaupun dipandang harta, seperti sebiji beras, tidaklah dipandang sebagai harta walaupun boleh kita memilikinya

5. Harta itu wajib mempunyai wujud, karena manfaat tidak termasuk dalam bagian harta

6. Harta yang dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu atau untuk waktu yang lama dan digunakan di waktu dia dibutuhkan58.

Para ahli fiqh menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang mungkin dapat dikuasai dan diambil manfaatnya menurut cara yang terbiasa59 maka sesuatu baru dikatakan harta apabila memenuhi 2 hal:

1. kemungkinan dapat dikuasai

2. kemungkinan dapat diambil manfaatnya menurut cara yang terbiasa berdasarkan definisi di atas jelaslah bahwa harta itu mesti berupa materi, sebab materi itulah yang dapat disimpan dan dikuasai. Yang demikian ini adalah pendapat ulama hanafiyyah60.

Namun dari segi bernilai atau tidak bernilainya, harta dibagi kepada dua macam, yaitu :

58

Lihat Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Fiqh Muamalah(jakarta:bulan bintang , 1989) cet ke 3 hal 140

59Zahri Hamid,Op.Cit, hal 1 60Ibid hal 3


(54)

1. Harta Mutaqqawwin. Definisi harta ini adalah sesuatu yang bernilai dimana orang yang merusakkannya secara melawan hukum wajib menggantikannya. Sesuatu yang tidak memiliki unsur unsur yang sedemikian itu tidak dapat disebut sebagai harta mutaqqawwin, seperti benda yang tidak ada pemiliknya61.

2. HartaGhairu Mutaqawwim. Adalah bila tidak dipenuhi didalamnya salah satu dari dua hal yaitu pemeliharaan dan kebolehan mengambil manfaat dalam keadaan leluasa dan biasa62. Misalnya adalah minuman keras dan babi, bagi umat muslim keduanya adalah harta yang tidak boleh dipelihara. Namun ada ruksah untuk memakannya dalam keadaan sangat terpaksa misalnya jika di hutan tidak ada lagi makanan selain babi, maka boleh memakannya dan tidak ada dosa baginya.

Harta yang kita miliki sebenarnya tidak semua milik kita, makanya dalam islam ada hak orang lain yang wajib harus dikeluarkan jika kita memenuhi syarat tiap tahunnya seperti zakat. Begitu juga hibah.

Di dalam harta juga ternyata terkandung di dalamnya hak masyarakat. Islam menghormati hak milik pribadi seseorang dan menegaskan adanya hak masyarakat dalam hak pribadi itu, karena Islam memberikan kebebasan menggunakan harta kepada pemiliknya selama tidak membuat orang lain rugi.

Hibah untuk kerabat dekat lebih utama daripada kerabat yang jauh, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Absullah bin Umar dia berkata, bersabda Rasulullah :”orang orang yang menyayangi akan disayangi oleh Alla, maka

61Ibid hal 4 62Ibid hal 5


(55)

sayangilah orang yang ada di muka bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang di langit, rahim berasal dari Rahman Allah siapa yang menyambungkannya, maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya”63.

Dasar hibah menurut Islam juga adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

“Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”.(Q.S Al – Maidah : 2). Kemudian, Firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya :

“Dan meberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta”. (Q.S. Al – Baqarah : 177

Rasulallah bersabda, artinya:

“siapa yang mendapatka kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap dan minta minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya” (HR Ahmad)


(56)

Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, belum dapat ditemui ayat atau sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dan Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberianpemberian lain termasuk hibah.

Selain itu dasar hukum hibah dalam hukum waris Islam terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw, yang mengartikan bahwa hibah ialah pemberian dari seseorang kepada orang lain.64 Dewasa ini telah berkembang pengertian hibah adalah pemberian dari satu negara kepada negara lainnya. Bahkan dapat pula diartikan suatu pemberian dari suatu badan hukum kepada badan hukum lainnya.

B. Syarat Hibah Menurut Hukum Islam

Hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul65, atau dengan kata lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Sedangkan menurut mazhab hanafi sudah cukup dengan ijab saja sudah sah. Kalau menurut mazhab Hambali bahwa cukup dengan perbuatan yang menunjukkan kepada pemberian saja sudah dianggap sah, sebab Nabi shallallahu a’laihi wasallam dan sahabat diberi hadiah dan memberi hadiah melakukan hal yang demikian itu.66

Hibah tidak terkait dengan syarat apapun, apabila hibah dikaitkan dengan penggantian sesuatu maka dikatakan jual beli, Namur jika syarat diserahkan setelah pemberi hibah meninggal dunia maka dikatakan wasiat. Maka Akad hibah itu semata

64

M. Idris Ramulyo. Op.Cit Hal. 116

65Ijab berarti pernyataan orang yang memberi harta, Kabul merupakan pernyataan orang yang

menerima harta.


(57)

mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela tanpa imbalan apapun.

Walaupun hibah merupakan akad yang sifatnya menjalin silaturahmi, Namun tindakan tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, jika salah satu rukun atau syarat itu tidak dipenuhi baik oleh pemberi atau penerima hibah maka bisa menjadi tidak sah.

Dalam buku Fiqh Muamalah67disebutkan dalam Ilmu Fiqh diterangkan rukun hibah itu ada 4 yaitu: shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah.

Kemudian jika di dalam buku Fiqh ‘ala Mazhabil Arbaan diterangkan bahwa rukun hibah itu ada tiga yaitu orang yang melakukan akad (orang yang menghibahkan dan yang menerima hibah), harta yang dihibahkan dan shigat hibah.68

Sedangkan jumhur ulama mengemukan bahwa rukun hibah itu ada empat:69 1. orang yang menghibahkan (al Wahib)

2. harta yang dihibahkan ( al-mauhub) 3. lafal hibah

4. orang yang menerima hibah (Mauhub lahu)

Dalam buku Fikh Muamalatdisebutkansebagaimana amalan-amalan yang lain, maka tidaklah sah suatu amal perbuatan tanpa terpenuhinya rukun hibah, adapun uraian tentang syarat hibah adalah70:

a. Kedua Belah Pihak yang Berakad (Aqidain)

Kedua pihak itu biasa disebut pemberi hibah dan penerima hibah. 67Helmi Karim Op.cit hal 76.

68

Abdur Rahman Al Jazari, Kitabul Fiqh alal Majhabil Arba’ah. JUZ III Darul Kutubil Ilmiyah. Beirut Lebanon. 1990 hal 257.

69Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit., hal 160. 70Abdul Aziz Muhammad Azzam,Op.cit. hal 442


(58)

Pertama, pihak pemberi hibah: Ada beberapa syarat orang yang memberi hibah, yakni:

1. Harus memiliki hak atas barang hibah dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya71. Ini juga dikatakan dalam kompilasi hukum Islam pasal 210 (2).

Hak berasal dari bahasa Arab al haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian berbeda, diantaranya : milik, ketetapan dan kepastian, bagian dari kewajiban daan kebenaran.

Dalam terminoloi fiqh terdapat beberapa pengertian al haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya:

Menurut Wahbah al-Zuhaily72:”suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara”. Menurut Syeikh Ali al Kalif73: ”kemaslahatan yang diperoleh secara syara”.

Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki(harta). Secara terminologi al milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah74adalah:

71Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bpk Drs.H.Mohd Hidayat Nassery,

Agustus 2011

72

Wahbah al Zuhaily,Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh(damaskus Dar Fikr,2005)juz 4 hal 8

73

Ali al Khalif,AlHaqq wa Zimmah(Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, 1976) hal 36.

74 Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-aqd fi al-syari’ah al-islamiyah.


(1)

1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.

2. Menyatakan syah hibah yang dilakukan Tergugat I kepada Tergugat III, IV, dan V yang dibuat dihadapan Notaris GO UTON UTOMO, SH di Medan dengan Akta Hibah No.24 tanggal 19 Juni 2009.

3. Menghukum Penggugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini.

Bahwa tentang jalannya persidangan selengkapnya telah dicatat di dalam Berita Acara Persidangan dan untuk menyingkat duduk perkara cukup dengan menunjuk Berita Acara Persidangan a quo.

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana telah diuraikan di atas.

Menimbang bahwa yang pokok perkara adalah Penggugat menggugat agar hibah yang telah dilakukan Tergugat I kepada Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V atas sebidang tanah yang terletak setempat dikenal dengan Jalan Bhayangkara No.43/480 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung (dahulu Kecamatan Percut Sei Tuan) pada tanggal 19 Juni 2009 dengan Akta Hibah No.24 yang dibuat GO UTON UTOMO SH Notaris di Medan dibatalkan oleh karena hibah a quo dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin Penggugat, dalil dan alasan mana selengkapnya telah terurai pada bagian duduk perkara.

Menimbang bahwa sebelum diperiksa pokok perkara maka Penggugat dan Tergugat-Tergugat telah dihadapkan kepada mediator Hakim Drs. M. Kholil Pulungan dan telah dilakukan mediasi namun gagal untuk mendamaikan Penggugat dan Tergugat-Tergugat, dengan demikian kehendak Peraturan Mahkamah Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 menjadi telah terpenuhi.

Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat maka Tergugat-Tergugat dalam jawabannya telah mengakui secara murni sebagian dalil-dalil a quo dan mengakui dengan clausula sebagian lainnya, adapun dalil-dalil yang diakui Tergugat-Tergugat secara murni adalah sebagai berikut:

- bahwa Penggugat pernah menikah dengan Tergugat I pada sekitar tahun 1955.

- bahwa dari pernikahan a quo telah lahir anak : 1. Syamsul Tarigan, 2. Abdul Rasyid Tarigan, 3. M. Yusuf Tarigan, 4. Nursarintan Tarigan, 5. Mhd. Nasib Tarigan.


(2)

- bahwa dari perkawinan a quo lahir anak: 1. Muliani Tarigan, 2. Mhd. Sura Tarigan, 3. Mhd. Tabah Tarigan.

- bahwa pada tahun 1964 Tergugat I bersama-sama Penggugat telah membeli sebidang tanah dari Basir Harahap seluas + 1.240 M2 setempat dahulu dikenal dengan Kampung Indra Kasih Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, sekarang dikenal dengan Jalan Bhayangkara Gang Keluarga No.43/480 Kerlurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung Kota Medan yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini.

- bahwa pada tanggal 19 Juni 2009 Tergugat I telah menghibahkan sebagian dari tanah a quo kepada Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V di hadapan Go Uton Utomo SH Notaris di Medan dengan Akta Hibah No.24 tanggal 19 Juni 2009.

Dalil-dalil mana karena telah diakui Tergugat-Tergugat menjadi telah terbukti sesuai Pasal 311 RBg.

Menimbang bahwa dalil-dalil yang diakui dengan clausula oleh Tergugat-Tergugat adalah sebagai berikut:

- bahwa antara Tergugat I dengan Penggugat sebenarnya telah terjadi perceraian pada sekitar tahun 1972, bahkan setelah itu Penggugat telah menikah lagi dengan laki-laki lain bernama Sikoyok pada tahun 1973 kemudian bercerai, dan pada tahun 1978 Penggugat menikah dengan laki-laki lain lagi bernama Kliwon.

- bahwa pada tahun 1964 Tergugat I dengan Penggugat telah membuat kesepakatan untuk membagi dua objek sengketa, separoh untuk bagian Tergugat I dan separoh lainnya untuk bagian Penggugat.

- bahwa pada tanggal 19 Juni 2009 Tergugat I telah menghibahkan tanah yang menjadi bagian Tergugat I kepada Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V di hadapan Go Uton Utomo SH Notaris di Medan dengan Akta Hibah No.24 tanggal 19 Juni 2009.

Dalil-dalil mana telah dibantah oleh Penggugat sehingga karenanya untuk dalil a quo majelis membebankan pembuktiannya kepada Tergugat-Tergugat (vide Pasal 283 RBg) dan akan dipertimbangkan lebih lanjut.

Mmenimbang bahwa sebelum mempertimbangkan bukti-bukti surat yang diajukan Penggugat (i.c. P.1 sampai dengan P.8), bukti-bukti mana meskipun telah dibubuhi materai cukup namun Penggugat telah tidak menunjukkan aslinya (kecuali bukti P.3 dan P.6), maka terhadap alat bukti a


(3)

dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak memnuhi syarat formil yang ditentukan.

Menimbang bahwa tentang bukti P.3 dan P.6 ternyata tidak ada relevansinya dengan pokok perkara maka terhadap bukti a quo juga tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

Menimbang bahwa tentang perolehan objek sengketa ternyata telah diakui Tergugat-Tergugat (i.c. diperoleh Penggugat dan Tergugat I pada tahun 1964 dengan membeli dari Basir Harahap), dengan demikian harta a quo diperoleh setelah dan pada masa perkawinan Penggugat dengan Tergugat I, sehingga dengan menunjuk Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 harta a quo menjadi harta bersama Penggugat dengan Tergugat I.

Menimbang bahwa sepanjang pemeriksaan perkara ini maka Majelis telah tidak menemukan adanya perjanjian tertentu antara Penggugat dengan Tergugat I menyangkut harta a quo, dengan demikian untuk melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan harta terperkara tidak dapat dilakukan secara sepihak, tetapi harus atas kesepakatan bersama (i.c. Penggugat dengan Tergugat I).

Menimbang bahwa andaikata – quod non – dalil Tergugat-Tergugat yang mengatakan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat I sebenarnya telah terjadi perceraian sekitar tahun 1972 akan dapat dipertimbangkan juga, dalil mana di samping telah dibantah Penggugat dan Tergugat-Tergugat ternyata telah tidak mengajukan bukti tentang itu, namun dalil a quo tidak dapat merobah kedudukan harta terperkara sebagai harta bersama Penggugat dengan Tergugat I, karena harta a quo diperoleh pada tahun 1964 pada saat Penggugat dengan Tergugat I sudah dan masih terikat dengan ikatan perkawinan yang sah.

Menimbang bahwa tentang dalil Tergugat-Tergugat yang mengatakan bahwa pada tahun 1964 itu juga Penggugat dengan Tegugat I telah membuat kesepakatan membagi dua objek sengketa dengan ketentuan separoh untuk Penggugat dan separoh lainnya untuk Tergugat I, dalil mana secara tegas telah dibantah Penggugat, sehingga karenanya Majelis membebankan pembuktian tentang hal ini kepada Tergugat-Tergugat (vide Pasal 283 RBg).

Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya Tergugat-Tergugat hanya mengajukan satu orang saksi (i.c. Serma Br Tarigan) yang dalam keterangannya tidak ada menyebutkan adanya kesepakatan a quo, demikian pula saksi-saksi Penggugat ternyata tidak satupun yang menyebutkan adanya


(4)

kesepakatan Penggugat dan Tergugat I untuk membagi dua objek sengketa, dengan demikian dalil Tergugat-Tergugat yang demikian menjadi tidak terbukti. Menimbang bahwa oleh karena status harta terperkara masih merupakan harta bersama Penggugat dengan Tergugat I, maka perbuatan Tergugat I yang telah menghibahkan sebagian harta objek sengketa kepada Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V adalah perbuatan melawan hukum (Onrechmatige daad) dan tidak sah, karena harta yang dihibahkan bukan merupakan hak dari Tergugat I (vide Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam), atas dasar mana gugatan Penggugat tentang pembatalan hibah patut untuk dikabulkan.

Menimbang bahwa oleh karena perbuatan Tergugat I telah dilakukan di hadapan Notaris dan telah melahirkan Akta Hibah No. 24 dari Notaris Go Uton Utomo SH, sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas Majelis berpendapat bahwa Akta Hibah No.24 dari Go Uton Utomo SH Notaris di Medan tidak berkekuatan hukum, oleh karenanya gugatan Penggugat tentang hal inipun patut dikabulkan.

Menimbang bahwa tentang gugatan Penggugat agar Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V mengosongkan dan mengembalikan objek sengketa kepada Penggugat, Majelis memandangnya tidak tepat, oleh karena harta a quo statusnya milik bersama Penggugat dengan Tergugat I sehingga seharusnya Penggugat minta harta a quo dikembalikan kepada Penggugat dan Tergugat I, tetapi karena hal ini telah tidak dilakukan Penggugat maka gugatan Penggugat tentang hal ini patut dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijke Verklaard).

Menimbang bahwa oleh karena Penggugat telah menyatakan mencabut permohonan sita atas objek sengketa, maka tentang permohonan sita ini tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Menimbang bahwa oleh karena Tergugat-Tergugat adalah pihak yang kalah dalam perkara ini, maka untuk menentukan pihak yang akan dibebani membayar biaya perkara Majelis menunjuk kepada Pasal 192 ayat (1) RBg, sehingga karenanya semua biaya perkara dibebankan kepada Tergugat-Tergugat untuk membayarnya secara tanggung renteng yang besarannya akan disebutkan dalam diktum amar putusan ini.

MENGINGAT


(5)

dalil-MENGADILI

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.

2. Menyatakan batal hibah yang dilakukan Tergugat I kepada Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V atas objek sengketa sebagaimana tersebut pada Akta Hibah Go Uton Utomo SH Notaris di Medan No. 24 tanggal 19 Juni 2009.

3. Menyatakan Akta Hibah Go Uton Utomo Notaris di Medan No.24 tanggal 19 Juni 2009 tidak berkekuatan hukum.

4. Menyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijk Verklaard) gugatan Penggugat yang selebihnya.

5. Membebankan kepada Tergugat-Tergugat untuk membayar semua biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp.761.000,- (tujuh ratus enam puluh satu ribu rupiah).

Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Hakim Majelis di Medan pada hari Selasa tanggal 29 Desember 2009 M. bertepatan dengan tanggal 12 Muharram 1431 H. oleh kami Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery sebagai Hakim Ketua, Dra. Harmala Harahap, S.H.,M.H dan Drs. Mawardi Lingga, M.A. masing-masing sebagai Hakim Anggota, serta dibantu oleh Supriati, SH, sebagai Panitera Pengganti, putusan mana pada hari itu juga telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat.

Hakim Ketua ttd

Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery Hakim Anggota

ttd

Dra. Harmala Harahap,S.H.,M.H

Hakim Anggota ttd


(6)

Panitera Pengganti ttd

Supriati, S.H.

Perincian Biaya Perkara :

1. Pendaftaran ……….. : Rp. 30.000,-2. Biaya Panggilan……… : Rp

720.000,-3. Redaksi………. :Rp.

5.000,-4. Meterai……….. : Rp. 6.000,-Jumlah :


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)

2 58 123

Analisis Hukum Tentang Pembatalan Hibah (Studi Putusan Pengadilan Agama No : 887/PDT.G/2009/PA. MDN)

13 145 141

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

2 91 165

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Kajian Yuridis Pembatalan Penetapan Itsbat Nikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 2686/Pdt.G/2009/PA.Lmj)

1 23 11

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 2 14