Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77 Pdt.P 2009 Pa Mdn)

29

BAB II
TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH
A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris)
Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.32 Dalam beberapa literatur hukum
Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti
fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini
terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris.
Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau
memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguhsungguh.33
Menurut Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran
dan Hadist, beliau menulis fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat
melahirkan suatu norma dengan berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Namun karena fiqh sebagai hasil pemikiran manusia, tentunya mengenal batas-batas
tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran itu berada dalam batas-batas


32

M.Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan : 2011, hal.1
33
Syafi’i Karim, Fiqh Ushulul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung : 2001, hal.11

29

Universitas Sumatera Utara

30

disiplinnya, yaitu dengan metode dan sumber di atas maka tidak setiap hasil
pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh.34
A. Hanafi, M.A. mengutip kata-kata Jurjani tentang Fiqh, yaitu:
“Fiqh menurut bahasa (luqhah) ialah memahami pembicaraan seseorang
yang berbicara. Menurut istilah ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dia suatu
ilmu yang diistimbathkan (diambil) dengan jalan pemikiran dan ijtihad. Dia

memerlukan pemikiran dan renungan. Oleh karena itu, tidak boleh
dinamakan Allah dengan Faqih, karena tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi-Nya.”35
Fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta
peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak
menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.
Fiqh mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh
dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah : ilmu untuk
mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang berhak menerimanya.
Karena ada beberapa istilah, pembahasan selanjutnya pada penelitian ini akan
memakai istilah Hukum Kewarisan Islam, karena istilah tersebut lebih dapat diterima
dan dipahami dalam mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan pembagian
harta waris terutama pada pembagian kewarisan munasakhah ini.
Al-Munasakhat dalam bahasa Arab berarti memindahkan dan menghilangkan,
contohnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba bermakna kita menukil (memindahkan)

34
35


Hazairin, Op.cit.hal. 10
Ahmad Hanafi, Op.cit. hal. 7

Universitas Sumatera Utara

31

kepada lembaran lain; nasakhat asy-syamsu azh-zhilla berarti sinar matahari
menghilangkan bayang-bayang.
Makna yang pertama, sesuai dengan firman Allah yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan “. (Al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut yang
terjemahannya yaitu :
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraidh ialah
meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta warisan sehingga

bagiannya berpindah kepada ahli waris lain bila ahli waris tersebut tidak terhijab. Bila
salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak waris (karena
memang belum dibagikan), maka haknya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya
disini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan
sebutan al-jami’ah 36
Menurut As-Sayyid Asy-Syarif, munasakhah adalah “pemindahan bagian
warisan dari sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya karena kematiannya
sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan”. Beliau menta’rifkan demikian,
karena arti lafadh munasakhah tersebut berasal dari suku kata naskh yang menurut

36

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press,
Jakarta: 1996, hal.132

Universitas Sumatera Utara

32

pengertian bahasa berarti naqlu atau tahwil, yakni memindahkan. Misalnya: A mati

meninggalkan dua orang ahli waris, yang bernama B dan C. kemudian sebelum harta
peninggalan tersebut dibagi-bagikan kepada B dan C, B menyusul meninggal, dengan
tidak meninggalkan ahli waris seorangpun selain C saja. Atau seperti contoh tersebut
tetapi B mempunyai ahli waris yang mewarisi B, yaitu D (cucu dari A). maka dengan
kematian B tersebut, berpindah bagian B kepada C atau C dan D. Tentu saja disini
ahli waris yang menggantikan (C dan D) yang tidak terhijab oleh ahli waris lainnya.37
Ibnu Umar Al-Baqry mendefinisikan munasakhah sebagai “kematian
seseorang sebelum harta dibagi-bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang
mewarisinya menyusul meninggal dunia.” Kedua pengertian munasakhah ini pada
dasarnya sama saja karena sudah mengandung unsur-unsur penting dari munasakhah
sebagai berikut: 38
1. Harta pusaka si pewaris belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut
ketentuan pembagian harta pusaka.
2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.
3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian
kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi
ahli waris terhadap orang yang pertama harus dengan jalan mempusakai.
Kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan
maupun hadiah, hal itu di luar pembahasan munasakhah.


37
38

Ibid.
Fatur Rahman, Op.cit. hal .460

Universitas Sumatera Utara

33

4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya
Unsur-unsur penting yang terkait dengan kasus kewarisan munasakhah ini,
menimbulkan

keadaan-keadaan

yang

dapat


menyebabkan

terjadinya

kewarisan munasakhah ini, keadaan yang dimaksud, yaitu : 39
1. Apabila ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama (selain
yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga tidak
terjadi perubahan dalam pembagian.
Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan lima orang anak laki-laki
atau lima orang anak perempuan dan tidak ada ahli waris selain mereka.
Tiba-tiba salah seorang diantara mereka wafat meninggalkan keempat
saudaranya. Jika hal itu terjadi, warisan dibagikan kepada empat orang itu
sebagai pengganti lima orang. Maksudnya adalah sebagai berikut :
a. Seseorang wafat meninggalkan lima anak laki-laki. Warisan dibagikan
sesuai dengan jumlah ru’us mereka, yaitu lima.
b. Kemudian salah seorang dari para ahli waris yang lima itu wafat
meninggalkan empat saudaranya. Warisan tetap dibagikan sesuai
dengan jumlah ru’us mereka, yaitu empat melalui furudh dan radd.
Misalnya lagi, andaikata seorang laki-laki mati meninggalkan tiga saudara
perempuan seayah seibu, kemudian mati salah seorang saudara

perempuannya meninggalkan dua saudara perempuannya tanpa ada

39

http://pendidikan.blogspot.com/2010/12/sistem-penggantian-tempat-munasakhah.html,
terakhir kali diakses tanggal 10 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara

34

pewaris selain keduanya. Sehingga dalam kedua keadaan diatas itu
memiliki hukumnya sama.
2. Apabila para pewaris mayit kedua adalah juga pewaris mayit pertama
disertai perbedaan nisbah mereka kepada mayit.
Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dari
istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua, tiba-tiba salah
seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-saudaranya (dua
saudara kandung perempuan dan satu saudara seayah). Jika ini terjadi
maka: 40

a. Pada perhitungan pertama (ketika si ayah wafat) : para ahli waris
disatukan oleh hubungan “anak” (banuwwah) karena mereka semua
adalah anak si ayah. Warisan dibagikan antara mereka sebagai
‘ashabah, dengan mengikuti prinsip untuk laki-laki adalah dua kali
bagian perempuan. Bentuk ‘ashabah mereka adalah ‘ashabah bil ghair;
b. Pada perhitungan kedua (ketika salah seorang anak perempuan wafat) :
para ahli waris disatukan dengan hubungan persaudaraan (ukhuwwah)
sehingga terjadi perbedaan pembagian menurut furudh dan ‘ashabah
yang mengikuti jenis kelamin masing-masing dan hubungan kedekatan
dengan mayit kedua karena dua saudara kandung perempuan akan
mewarisi melalui furudh dan saudara seayah akan mewarisi melalui
‘ashabah (‘ashabah bin nafsi). Atau dengan kalimat pendek dapat
40

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35


dikatakan bahwa ahli waris mayit kedua adalah ahli waris mayit pertama
dengan perubahan bagian warisan untuk mereka yang masih hidup.
Oleh karena itu, pembagiannya disini berubah dan dalam keadaan
seperti ini harus ada tindakan baru dan pengeluaran masalah yang
bernama

“Al-Jaamiah

(kewarisan

berganda)”,

yaitu

yang

menggabungkan dua masalah.
3. Apabila para ahli waris mayit kedua lain dari pada pewaris mayit pertama
atau sebagian dari mereka mewarisi dari dua jalur, yaitu dari jalur mayit
pertama dan dari jalur mayit kedua. Dalam keadaan ini haruslah

dikeluarkan “Al-Jaami’ah”, karena pembagiannya berbeda terhadap para
pewaris.
Misalnya, jika seorang istri (mayit pertama) pertama wafat meninggalkan
suami, anak perempuan dan ibu. Tiba-tiba si suami (mayit kedua) wafat
meninggalkan seorang istri kedua, ayah dan ibu. Setelah itu, si anak
perempuan (mayit ketiga anak mayit pertama) juga wafat meninggalkan
dua anak laki-laki, seorang anak perempuan dan nenek (“ibu” dari mayit
pertama) ini wafat. Sehingga dalam keadaan ini, kewarisan berganda yang
ada harus dipisah terlebih dahulu, karena pembagiannya berbeda terhadap
para pewaris.41
Munasakhah menurut hukum kewarisan Islam, dalam menentukan ahli waris
pengganti, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama
41

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

36

Syafi’i yaitu penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas antara kerabat keturunan
laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Selain dalam pandangan hukum
kewarisan Islam (fiqh mawaris), munasakhah ini juga berkembang sebagai bagian
bentuk dari ahli waris pengganti yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Sebelum dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni dan Keputusan Menteri Agama
tanggal 22 Juli 1991 Nomor 154, Pengadilan Agama di Indonesia dalam memutus
dan menyelesaikan perkara kewarisan, berpedoman pada hukum kewarisan madzhab
Syafi’i. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Biro Peradilan Agama Departemen
Agama Republik Indonesia tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735.
Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i dikenal ada tiga
macam ahli waris yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam
ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan asabah
saja sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan. Ciri dari hukum
kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i adalah pertama adanya diskriminasi
antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua pada
penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas. 42
Akibat dari ketentuan tersebut, banyak kasus kewarisan yang penyelesaiannya
kurang dapat diterima paling tidak oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia,
karena dipandang tidak adil dan diskriminatif. Sebagai contoh, jika dalam suatu kasus
42

Ahmad Zahari, Op.cit. hal.67

Universitas Sumatera Utara

37

kewarisan ahli warisnya terdiri dari cucu yang berasal dari anak laki-laki dan cucu
yang berasal dari anak perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya cucu
yang berasal dari anak laki-laki saja, cucu yang berasal dari anak perempuan tidak
mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham. Demikian pula jika ahli warisnya
terdiri dari keponakan laki-laki dan keponakan perempuan, maka yang berhak
mendapat warisan hanya keponakan laki-laki saja, keponakan perempuan tidak
mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham.43
Cara pembagian yang demikian itu dipandang janggal, tidak adil dan
diskriminatif, sehingga sulit diterima. Betapa tidak, karena bagi seorang paman
semua anak dari saudara-saudaranya adalah keponakannya sendiri, yaitu darah daging
dari saudara-saudaranya yang laki-laki maupun perempuan. Demikian pula bagi
seorang kakek, semua anak dari anak-anaknya adalah cucu-cucunya sendiri, yaitu
darah daging dari anak-anak yang telah meninggal dunia yang berarti pula darah
dagingnya sendiri, tidak peduli apakah cucunya itu laki-laki atau perempuan, dan juga
tidak peduli apakah cucunya itu berasal dari anaknya yang laki-laki ataupun yang
perempuan.
Dengan demikian berarti semua keponakan atau semua cucu layaknya akan
menempati posisi yang sama atau hak yang sama untuk mendapatkan warisan dari
harta peninggalan paman atau kakeknya, betapapun kecilnya bagian yang akan
mereka terima. Namun dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i
tidaklah demikian karena bercorak patrilineal, hukum kewarisan patrilineal menurut
43

Ibid

Universitas Sumatera Utara

38

ulama Syafi’i menempatkan keponakan perempuan sebagai dzawil arham, dan
akibatnya mereka tidak mendapat bagian apa-apa dari harta warisan paman dan
kakeknya.
Kejanggalan, kepincangan dan ketidakadilan menjadi semakin dirasa tatkala
mereka berhadapan dengan kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari dzawil
arham semuanya seperti cucu laki-laki dan perempuan yang berasal dari anak
perempuan dan seterusnya, karena menurut kewarisan patrilineal menurut ulama
Syafi’i harta warisan harus diserahkan kepada Baitulmal untuk diwariskan kepada
umat Islam lainnya, sementara keluarga pewaris sendiri yang dzawil arham itu tidak
mendapat apa-apa.
Memperhatikan ketentuan kewarisan yang dipandang tidak adil dan
diskriminatif tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam dengan mengambil
pengembangan dari kewarisan munasakhah dicantumkan Pasal 185 yang ayat (1) nya
menyebutkan bahwa, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Anak yang menggantikan
kedudukan orang tuanya tersebut selanjutnya disebut sebagai ahli waris pengganti.44
Dengan waris pengganti yang rumusannya seperti itu maka sanak keluarga
yang semula digolongkan sebagai dzawil arham kecuali bibi tidak hanya sekedar
dapat lebih diutamakan haknya untuk mendapat warisan dibandingkan dengan
baitulmal, akan tetapi ia juga dapat tampil sebagai ahli waris yang berhak mendapat
warisan sekalipun ahli waris dzawil furudl dan asabah ada bersama-sama dengan
44

Ibid. hal.69

Universitas Sumatera Utara

39

mereka. Dengan demikian maka kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI),
dengan waris penggantinya telah mengurangi sifat diskriminasi yang selama ini
terjadi dalam pembagian warisan dan sekaligus telah memberikan rasa keadilan
kepada sanak keluarga dari pewaris, kecuali bibi dan keturunannya.
Jika dipahami secara tekstual redaksi dari Pasal 185 tersebut, maka makna
yang terkandung didalamnya adalah :
1. Penggantian dalam Pasal 185 itu mencakup penggantian tempat, derajat dan
hak-hak, tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
a. Penggantian

tempat artinya cucu menggantikan orang tuanya dan

menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, keponakan
menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku
saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan
menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya.
b. Penggantian derajat artinya ahli waris pengganti yang menggantikan anak
laki-laki memperoleh derajat yang sama dengan derajat anak laki-laki, ahli
waris pengganti yang menggantikan anak perempuan memperoleh derajat
yang sama dengan derajat anak perempuan dan seterusnya.
c. Penggantian

hak artinya, jika orang yang digantikan oleh ahli waris

pengganti itu mendapat warisan, maka ahli waris pengganti juga berhak
mendapatkan warisan, dan jika orang yang digantikan itu menghijab ahli
waris yang lain maka ahli waris pengganti juga menghijab ahli waris
tersebut, dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara

40

d. Tanpa batas artinya, penggantian itu berlaku bagi cucu pewaris meskipun
pewaris mempunyai anak laki-laki lain atau dua orang anak perempuan
lainnya yang masih hidup.
e. Tanpa diskriminasi artinya yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah
semua keturunan baik laki-laki maupun perempuan, baik keturunan digaris
laki-laki maupun perempuan, kecuali yang tidak disebut dalam Pasal 174
ayat (1) huruf a. Dengan demikian, maka yang dapat menjadi ahli waris
pengganti adalah cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan
anak perempuan saudara laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan
saudara perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan paman dan
keturunan dari ahli waris pengganti tersebut.45
2. Ahli waris pengganti akan mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang ia
gantikan, artinya jika ahli waris pennganti itu menggantikan kedudukan anak
laki-laki maka ia akan mendapatkan bagian sebesar bagian anak laki-laki, jika
ia menggantikan kedudukan anak perempuan maka bagiannya adalah sebesar
anak perempuan tersebut, dan jika ahli waris pengganti itu ada dua orang atau
lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas bagain ahli waris yang mereka
gantikan, dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang
perempuan.
Yang dimaksud dengan sederajat dalam Pasal 185 ayat (2) yang berbunyi
“bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
45

Ibid.hal. 73

Universitas Sumatera Utara

41

sederajat dengan yang diganti” yaitu sederajat misalnya antara anak laki-laki dan
anak laki-laki, bukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dimana Al-Quran
Surat An-Nisaa ayat 11, KHI Pasal 176 dan 182 membedakannya. Dengan demikian,
bagian ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak laki-laki tidak boleh
melebihi atau tidak boleh lebih besar dari pada bagian anak laki-laki pewaris yang
masih hidup, namun bisa lebih besar dari bagian anak perempuan pewaris, tergantung
posisi kasusnya seperti apa.
Sedangkan pada munasakhah menurut bahasa yaitu memindahkan / menyalin
dan menghapus. Menurut istilah yaitu sebagian ahli waris ada yang mati sebelum
diadakan pembagian harta pusaka/harta waris dengan meninggalkan perolehan waris
dan ahli waris atau perpindahan hak waris seorang yang belum diterima oleh ahli
warisnya.
Jadi pada dasarnya antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam
telah mengatur sedemikian rupa tentang munasakhah maupun ahli waris pengganti
ini. Bedanya dalam hukum waris Islam adanya hijab dan mahjub pada ahli waris
pengganti tapi maksudnya sama yaitu meninggalnya ahli waris sebelum dia
mendapatkan bagiannya.
B. Penetapan Ahli Waris Dalam Kasus Kewarisan Munasakhah
Perpindahan hak waris seseorang yang belum diterima kepada ahli warisnya
atau pindah dari satu masalah ke masalah yang lain yang dimaksud dari kasus
kewarisan munasakhah. Dengan kata lain, seorang meninggal dunia dengan
meninggalkan ahli waris, tetapi berhubung karena satu dan lain hal salah seorang dari

Universitas Sumatera Utara

42

ahli waris tersebut meninggal dunia sebelum warisan pertama dan meninggalkan ahli
waris yang lain pula. Maka dalam hal ini pula terdapat dua kasus. Kasus pertama dan
kasus kedua dan tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya kasus ketiga dan
seterusnya. 46
Sebenarnya dalam hal tersebut masing-masing kasus dapat diselesaikan satusatu. Tetapi tidak lazim hal demikian dalam pembagian pusaka yang terjadi di
masyarakat. Yang lazim adalah kedua kasus tersebut diselesaikan sekaligus dan inilah
yang disebut dengan munasakhah. Munasakhah dalam pandangan hukum kewarisan
Islam disini, dalam menetapkan ahli waris, lebih mengacu ke dalam hukum kewarisan
patrilineal menurut ulama Syafi’i.47 Hukum kewarisan patrilineal menurut ulama
Syafi’i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, ‘asabah dan dzawil
arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya
dzawil furudl dan ‘asabah saja, sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat
warisan.48
Dalam garis besarnya, ahli waris yang termasuk dalam kasus munasakhah
dapat dijelaskan sebagai berikut: 49
1. Ahli waris yang terdiri dari ‘asabah saja
2. Ahli waris yang terdiri dari shahibul fard/ dzu fardlin ditambah ‘asabah.

46
Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan : 2002, hal. 96
47
Ahmad Zahari, Op.cit. hal. 107
48
Ibid.
49
Pahing Sembiring, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

43

Adapun maksud ‘asabah pada ahli waris dalam kasus munasakhah ini yaitu
ahli waris yang tidak ditentukan berapa besar bagiannya, namun ia berhak
menghabisi semua harta jika mewaris seorang diri, atau semua sisa harta jika mewaris
bersama dengan ahli waris dzawil furudl.50 Ahli waris yang terdiri dari ‘ashabah
menerima harta warisan salah satu diantara 2 (dua) yaitu menerima seluruh harta
warisan atau menerima sisa dari harta warisan. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada,
maka ia menerima seluruh harta warisan, akan tetapi kalau ada dzul fardlin ia
menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.51
Dalam hukum kewarisan patrilineal menurut ulama Syafi’i mengenal tiga
macam ‘asabah yaitu ‘asabah bin nafsi, ‘asabah bilghairi dan ‘asabah ma’al ghairi.
‘Asabah bin nafsi adalah ahli waris (laki-laki) yang sejak semula berkedudukan
sebagai ‘asabah. ‘Asabah bin nafsi ini terdiri dari : 52
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
c. Ayah
d. Kakek dari pihak ayah dan seterusnya keatas
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

50

Ahmad Zahari, Op.cit. hal.108
http://msyahrur.blogspot.com/2011/09/sekilas-singkat-tentang-warisan.html, terakhir kali
diakses tanggal 28 Juni 2012
52
Ahmad Zahari, Op.cit. hal. 109
51

Universitas Sumatera Utara

44

h. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i. Paman yang sekandung dengan ayah
j. Paman yang seayah dengan ayah
k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
l. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
‘Asabah bil ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula berkedudukan
sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi ‘asabah karena tertarik oleh
saudara laki-laki, sehingga ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan bersamasama manjadi ‘asabah, dan mereka berhak menghabisi semua harta atau semua sisa
harta dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan.
Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah:53
a. Anak perempuan menjadi ‘asabah karena tertarik oleh anak laki-laki
b. Cucu perempuan menjadi ‘asabah karena tertarik oleh cucu laki-laki
c. Saudara perempuan sekandung menjadi ‘asabah karena tertarik oleh saudara
laki-laki yang sekandung
d. Saudara perermpuan seayah menjadi ‘asabah karena tertarik oleh saudara
laki-laki seayah
‘Asabah ma’al ghairi adalah ahli waris (perempuan) yang semula
berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi ‘asabah
karena mewarisi harta bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan
pewaris. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah :
53

Ibid. hal. 110

Universitas Sumatera Utara

45

a. Saudara perempuan sekandung jika pewaris bersama anak perempuan atau
cucu perempuan pewaris
b. Saudara perempuan seayah jika mewaris bersama anak perempuan atau cucu
perempuan pewaris
Sedangkan yang dimaksud dengan dzu fardlin adalah seseorang yang
mempunyai pembagian tertentu (sudah ditentukan). Adapun pembagian tertentu
menurut Al-qur’an ada 6 (enam) yaitu : 54
1. ½ (setengah)
2. ¼ (seperempat)
3. 1/8 (seperdelapan)
4. 1/3 (sepertiga)
5. 2/3 (duapertiga)
6. 1/6 (seperenam)
Ahli waris yang mendapatkan bagian salah satu dari enam macam bagian
tersebut dinamakan ahli waris dzu fardlin. Pembagian tertentu (sudah ditentukan)
bagi ahli waris, disini yang dimaksudkan adalah dzawil furudl. Adapun ahli waris
yang mendapat ½ (seperdua) terdiri dari :
a. Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa ayat 11)
b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (Qiyas)
c. Saudara perempuan tunggal yang sekandung (QS. An-Nisa ayat 176)

54

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

46

d. Saudara perempuan tunggal yang seayah jika yang sekandung tidak ada (QS.
An-Nisa ayat 176)
e. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12)
Ahli waris yang mendapat seperempat terdiri dari : 55
a. Suami atau duda jika istrinya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12)
b. Istri atau janda jika suaminya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12)
Ahli waris yang mendapat 1/8 (seperdelapan) hanya satu orang saja yaitu istri
atau janda jika suaminya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 12).
Ahli waris yang mendapat 2/3 (dua pertiga) terdiri dari :
a. Dua orang perempuan atau lebih, jika anak laki-laki tidak ada (QS. An-Nisa
ayat 11)
b. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika anak
perempuan tidak ada (Qiyas)
c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (QS. An-Nisa ayat
176)
d. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika yang sekandung
tidak ada (QS. An-Nisa ayat 176)
55

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

47

Ahli waris yang mendapat 1/3 (sepertiga) terdiri dari :
a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu baik
laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik
laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa
ayat 11)
b. Dua orang saudara atau lebih yang seibu (QS. An-Nisa ayat 12)
Ahli waris yang mendapat 1/6 (seperenam) terdiri dari : 56
a. Ibu jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak, atau cucu baik
laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik
laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. An-Nisa
ayat 11)
b. Ayah jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu baik
laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki (QS. An-Nisa ayat 11)
c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) jika anaknya yang meninggal itu tidak
mempunyai ibu (HR. Zaid)
d. Cucu perempuan seorang atau lebih dari anak laki-laki, jika pewaris
mempunyai satu orang anak perempuan (HR. Bukhari)
e. Kakek dari pihak ayah jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak lakilaki sedangkan ayahnya tidak ada (Ijma’ ulama)
f. Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan (QS. An-Nisa ayat 12)

56

Ibid. hal 108

Universitas Sumatera Utara

48

g. Seorang atau lebih saudara perempuan seayah jika pewaris mempunyai
seorang saudara perempuan sekandung (Ijma’ ulama).
Dalam hal ini, apabila ahli waris yang terdiri dari ‘asabah semuanya dan ahli
waris shahibul fard/ dzu fardlin tidak ada, maka cara membagi pusakanya (warisan)
dilakukan dengan menjadikan asal masalahnya jumlah ahli waris shahibul fard/ dzu
fardlin tersebut dan dipandang kasus (masalah) pertama (kematian pada si pewaris)
ataupun kasus (masalah) kedua (kematian pada ahli warisnya) didalam kewarisan
munasakhah ini dianggap tidak ada.57 Contohnya : seorang meninggal, yang
meninggalkan 5 orang anak laki-laki, sebelum pusaka dibagikan mati pula salah
seorang anak laki-laki tersebut dengan meninggalkan 4 orang anak laki-laki. Dalam
masalah ini, dikatakan saja seorang yang meninggal, meninggalkan 4 orang anak lakilaki, maka asal masalahnya 4 menurut jumlah manusianya (mereka). Sedangkan
apabila mati seorang lagi anak tersebut maka asal masalahnya 3 yang sesuai dengan
jumlah manusianya.
Apabila ahli waris shahibul fard/ dzu fardlin ditambah dengan ahli waris dari
‘asabah, maka lebih dahulu dibuat perhitungan masalah pertama atau pada kematian
yang pertama pada kasus munasakhah ini dan kemudian dibuat perhitungan pada
masalah kedua atau pada kematian ahli waris selanjutnya pada kasus munasakhah ini,
dan harus ditentukan tiga angka yaitu : 58
1. Angka asal masalah pertama atau ‘aulnya (amI/aul)

57
58

Pahing Sembiring, Op.cit. hal. 97
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

49

2. Angka asal masalah kedua/ ‘aulnya (amII/aul)
3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan
dari mayat pertama) (pmII).
Contohnya : Istri meninggal, dengan meninggalkan ahli waris yaitu suami,
ibu, dan bapak. Kemudian sebelum pusaka dibagikan meninggal pula suami dengan
meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Sehingga penyelesaian dari kasus munasakhah ini yaitu :
1. Ahli waris istri (Angka asal masalah pertama atau ‘aulnya (amI/aul))
a. Suami : ½ = 3/6 = 3
b. Ibu : 1/6 = 1/6 = 1
c. Bapak : 1/3 (‘asabah bin nafsi) = 2/6 = 2
Sehingga amI/aul nya yaitu = 6
2. Ahli waris suami (Angka asal masalah kedua/ ‘aulnya (amII/aul))
a. Seorang anak laki-laki : 2/3
b. Seorang anak perempuan : 1/3 (‘asabah bilghair)
3. Angka pendapatan mayat yang kedua diterimanya dari kasus pertama (warisan
dari mayat pertama) (pmII) yaitu 3. Jadi pendapatan suami dari warisan
istrinya diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dengan
perbandingan 2: 1. Sehingga seorang anak laki-laki mendapat 2/3 × 3 = 2 dan
seorang anak perempuan mendapat 1/3 × 3 = 1
Penetapan ahli waris dalam kasus munasakhah ini, adalah dengan
menempatkan setiap ahli waris yang berhak menerima warisan (pusaka) dari setiap

Universitas Sumatera Utara

50

pewarisnya baik pusaka yang berasal dari bagian ahli waris yang telah meninggal
lebih dahulu dari pada si pewarisnya maupun yang meninggal tetapi belum adanya
pembagian pusaka dari si pewaris sebelumnya.
C. Penggantian Tempat (Ahli Waris Pengganti) Sebagai Pengembangan Dari
Munasakhah
Ayat-ayat Al-Quran terutama pada bidang kewarisan, yang mengatur akan
kedudukan cucu, kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi
tidak dirinci bagiannya atas warisan. Dalam Al-Quran, ahli waris yang bagiannya atas
warisan dirinci dengan jelas ialah anak, orang tua (bapak dan ibu), saudara, janda, dan
duda. Tiga ahli waris yang disebut pertama adalah ahli waris karena hubungan darah,
sedangkan dua ahli waris yang disebutkan kemudian adalah ahli waris karena
perkawinan. Sehingga pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada
ahli warisnya atau cucu dari sipewaris tidak dirinci bagiannya atas warisan yang
diterimanya. Sebagai hukum setelah Al-Quran, As-Sunnah merupakan petunjuk
apabila suatu persoalan tidak diatur oleh Al-Quran atau diatur secara garis besar saja.
Ternyata, As-Sunnah tidak merinci secara jelas bagian cucu, kemenakan, kakek, dan
ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi.
Sehingga kajian tentang ahli waris pengganti (plaatsvervulling) di dalam
hukum kewarisan Islam merupakan kajian baru dan tidak dikenal sebelumnya oleh
para fuqaha dalam literatur fikih klasik, ketentuan ini merupakan terobosan baru
dalam hal penyelesaian kewarisan anak (cucu) dari ahli waris (ayah) yang terlebih
dahulu meninggal dari pewaris (kakek), menurut fuqaha mazhab anak tersebut

Universitas Sumatera Utara

51

digolongkan dalam posisi dzawil arham yang menurut ketentuan syara’ (dalam hal ini
fikih dari ulama Syafi’i) bahwa anak (cucu) yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
dari pewaris (kakeknya) tersebut tidak dapat memperoleh dan menerima harta
warisan.59
Di dalam kenyataannya terlihat sering anak-anak yang kematian ayahnya
lebih dahulu dari kakeknya tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara
ayahnya hidup dalam kecukupan. Anak yatim tersebut menderita karena kehilangan
ayah dan sekaligus kehilangan hak (terhijab) dari kewarisan karena kewarisan
ayahnya diambil oleh saudara-saudara ayahnya.
Melihat kenyataan tersebut, perundang-undangan di beberapa negara muslim
tidak lagi mengikuti aturan-aturan fikih klasik mazhab tersebut, tetapi disana telah
diadakan beberapa perubahan terutama menyangkut hak anak (cucu) yang kematian
ayahnya terlebih dahulu dari kakeknya tersebut.
Hukum kewarisan di Mesir (1946) telah memperkenalkan lembaga alwassiyah al-wajibah (wasiat wajib) yang secara serta merta seorang pewaris dianggap
telah berwasiat untuk anak (cucu) yang kematian ayahnya terlebih dahulu dari
kakeknya itu tadi, dan hak yang diberikan adalah sebanyak hak yang seharusnya
diterima ayahnya atau maksimal 1/3 harta. Ketentuan tentang wasiat wajibah ini juga

59

http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/makalah-ilmu-faraid.html,
diakses pada tanggal 28 Juni 2012.

terakhir

kali

Universitas Sumatera Utara

52

telah menjadi perundang-undangan di beberapa negara muslim lainnya seperti
Tunisia (1959), Iraq (1964) dan Pakistan (1961). 60
Karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak menegaskan bagian cucu,
kemenakan, kakek, dan ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka persoalan itu
dicari jalan keluarnya melalui ijtihad. Salah satu ijtihad untuk menentukan bagian
cucu adalah ijtihad yang dilakukan Zaid bin Tsabit. 61 Pada saat itu, ijtihad Zaid bin
Tsabit mendapat pembenaran, sebab jalan pikiran tersebut sesuai dengan alam pikiran
masyarakat Arab pada saat ijtihad tersebut dilakukan. Penonjolan kedudukan laki-laki
maupun keturunan lewat garis laki-laki, merupakan sesuatu yang sangat logis, sebab
alam pikiran patrilineal sangat mempengaruhinya. Keturunan lewat orang perempuan
sama sekali tidak disinggung-singgung, sebab mempersoalkannya justru dianggap
sangat tidak logis oleh alam pikiran patrilineal. Tidak mewarisnya orang dari garis
perempuan, bukan merupakan persoalan dan juga tidak menyinggung rasa keadilan.
Yang perlu dicari pemecahannya adalah keturunan lewat garis laki-laki.62
Oleh karena itu, pikiran-pikiran kearah sistem penggantian tempat

tidak

dijumpai. Dalam kaitan ini Tahir Mahmood berkata : “Doktrin representasi tidak
diakui dalam hukum kewarisan Islam dimana para keluarga yang lebih dekat

60
Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab, INIS, Jakarta : 1998, hlm. 3.
61
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta : 2009, hal.154
62
Ibid

Universitas Sumatera Utara

53

menyingkirkan yang lebih jauh dalam golongan yang sama. Cara pemecahannya
dengan memperkenalkan prinsip wasiat wajibah.”63
Dari pernyataan Tahir Mahmood tampak bahwa ajaran tentang penggantian
tempat tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam. Sebagai gantinya, diperkenalkan
wasiat wajibah. Pranata wasiat wajibah, yang memberikan jalan keluar bagi cucu
yang tidak mewaris, memperluas pengertian cucu sampai derajat yang tidak terbatas
jika cucu tersebut lewat garis laki-laki dan satu derajat jika lewat garis perempuan.
Jika hanya dilihat dari segi ini, sesungguhnya masalah cucu dalam wasiat wajibah
amat mirip dengan penggantian tempat. “Sesungguhnya masalah cucu merupakan
waris pengganti ayahnya yang mati terlebih dahulu. Pemikiran seperti ini tidak diakui
oleh golongan Ahlussunnah”.
Di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa penggantian tempat dikenal dalam
hukum kewarisan Islam. Dengan pemikiran yang amat logis dan analitis, beliau
memaparkan bahwa pemikiran kearah sistem penggantian tempat lebih logis jika
dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran dalam bidang kewarisan jika dibandingkan
dengan pemikiran kearah lainnya. Dalam melakukan analisis ayat-ayat

Al-Quran

bidang kewarisan, metode yang beliau pergunakan adalah metode perbandingan
langsung, yaitu perbandingan antara segala ayat yang ada sangkut pautnya dengan
pokok persoalan, yaitu persoalan kewarisan. Karena dasar pikiran ini, beliau

63

Abdullah Siddik, Op.cit. hal.223

Universitas Sumatera Utara

54

berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan bagi suatu ayat Al-Quran untuk
memasukkan ayat yang lain.64
Anak laki-laki mewaris dari bapak maupun ibunya. Anak perempuan mewaris
dari bapak maupun ibunya. Bapak mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan.
Ibu mewaris dari anak laki-laki maupun perempuan. Kebenaran dari pernyataan ini
dapat dilihat dari Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya:
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan apabila anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk
dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya, seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, makanya ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.65
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa pengertian anak diperluas menjadi cucu
dan seterusnya dalam garis lurus, tetapi ayat ini jelas menunjukkan bahwa hak
mewaris orang laki-laki dan orang perempuan sama. Artinya, baik laki-laki atau
perempuan mewaris tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki atau perempuan.
Ini jelas menunjukkan bahwa Al-Quran menghendaki sistem bilateral dalam bidang

64
65

Hazairin, Op.cit. hal. 3
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal.150

Universitas Sumatera Utara

55

kewarisan, apalagi jika ayat tersebut dikaitkan dengan Al-Quran Surah An-Nisaa’
ayat 7.
Jika kemudian dalam praktik timbul persoalan mengenai cucu, konsistensi
terhadap ayat tersebut tetap perlu. Pendapat Zaid bin Tsabit mengenai cucu
menunjukkan bahwa beliau tidak konsisten. Tidak konsistennya terlihat mengapa
cucu dari garis laki-laki saja yang mungkin mewaris. Disini ditegaskan kata
“mungkin”, sebab cucu dari anak laki-laki pun tidak akan mewaris jika ada anak lakilaki. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, cucu terhijab oleh anak laki-laki.
Cucu dari anak perempuan sama sekali tidak disebutkan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam
alam pikiran patrilineal, cucu lewat garis perempuan hanya dipandang sebagai ahli
waris dzul arham.
Bertolak dari pikiran yang sangat sederhana, tetapi sangat logis itu, beliau
menguraikan bagaimana kemungkinan yang terjadi dalam hukum kewarisan Islam
jika terdapat ahli waris pengganti atau penggantian tempat 66.
Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat 12 menjelaskan bagian suami, istri dan
saudara atas warisan. Selengkapnya arti ayat tersebut adalah:
Dan bagian kamu (kamu-kamu) laki-laki seperdua dari harta peninggalan
istri-istri kamu (kamu-kamu) apabila mereka tidak mempunyai anak (walad),
maka jika ada bagi meeka itu anak (walad), maka bagi kamu (kamu-kamu)
seperempat dari harta peninggalan mereka, sesudah pengeluaran wasiat yang
diwasiatkan atau utang; dan bagi mereka seperempat dari harta peninggalan
kamu kalau tidak ada anak (walad) bagi kamu, maka bagi mereka
seperdelapan dari harta peninggalan kamu sesudah dikeluarkan wasiat yang
kamu wasiatkan, atau utang; dan jika ada seorang laki-laki diwarisi secara
punah (kalalah) atau seorang perempuan, sedang baginya ada seorang
66

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit, hal 157

Universitas Sumatera Utara

56

saudara laki-laki atau perempuan, setiap mereka itu memperoleh seperenam,
maka jika mereka itu lebih banyak daripada demikian, maka mereka itu
bersekutu (syurakaa’). Untuk sepertiga, sesudah di keluarga wasiat yang
diwasiatkannya atau utang, pengeluaran yang tidak mendatangkan
kemudaratan (kesempitan), demikianlah ketentuan Allah; dan Allah itu
mengetahui lagi penyantun.67
Apabila sebelum Islam datang, seorang perempuan tidak mungkin mewaris
dalam keadaan apa pun, apalagi seorang janda. Setelah Islam datang, seorang
perempuan sama haknya dengan seorang laki-laki dalam mewaris. Seorang janda
pada masa sebelum Islam datang telah dijadikan objek kewarisan, artinya ia dijadikan
seolah-olah suatu barang yang dapat dialihkan kepemilikannya. Dalam hukum
kewarisan Islam, kedudukan seorang janda sangat kuat. Sebab ia tidak mungkin terhijab hirman oleh siapapun. Ia hanya mungkin ter-hijab nuqshan, yaitu dengan
tampilnya keturunan.68
Disamping itu, dalam ayat Al-Quran di atas juga ditegaskan bahwa saudara
juga mewaris. Saudara laki-laki dan saudara perempuan mewaris dari saudaranya
yang meninggal dunia. Artinya, tidak memperhatikan berkelamin apa saudara yang
meninggal dunia, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan dapat mewaris.
Selanjutnya, bagian saudara tersebut diatur dalam Al-Quran Surah An-Nisaa’ ayat
176, yang artinya :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah
member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
67
68

Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit. hal. 155
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit. hal.158

Universitas Sumatera Utara

57

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak dua kali bagian saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kedua ayat Al-Quran ini, yakni Surah An-Nisaa’ ayat 12 maupun 176,
mengatur bagian saudara atas warisan. Karena adanya perbedaan itu, golongan
Ahlussunnah menafsirkan bahwa saudara dalam ayat 12 merupakan saudara seibu,
sedangkan saudara dalam ayat 176 merupakan saudara kandung atau saudara
sebapak.69
Dari ayat-ayat Al-Quran diatas, jelas sekali bagian kemenakan tidak diatur.
Yang jelas diatur adalah bagian saudara, baik saudara laki-laki maupun perempuan.
Pada waktu membicarakan bagian kemenakan, golongan Ahlussunnah hanya
mambahas kemenakan dari garis laki-laki saja, yaitu kemenakan dari saudara
kandung dan sebapak. Itupun hanya sebatas pada kemenakan laki-laki, sedangkan
kemenakan perempuan, hanya dipandang sabagai ahli waris dzul arham, kemenakan
laki-lakipun, kalau ia berasal dari saudara perempuan, baik kandung maupun sebapak
atau kemenakan itu berasal dari saudara seibu maka kemenakan tersebut hanya
dipandang sebagai ahli waris dzul arham.
Sama seperti pada waktu analisis mengenai bagian cucu, Hazairin sangat tidak
sependapat dengan keadaan seperti itu. Menurut beliau, sistem penggantian tempat
merupakan jalan yang sangat tepat untuk mengatasi kekusutan itu. Contoh sederhana,
69

Ibid

Universitas Sumatera Utara

58

seorang meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang kemenakan laki-laki, yang
seorang berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara
perempuan. Menurut golongan Ahlussunnah, anak dari saudara perempuan sama
sekali tidak mewaris, karena terhalang oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki.
Dalam keadaan seperti ini, seluruh warisan diterima oleh anak laki-laki dari saudara
laki-laki, yang disebut terakhir ini berkedudukan sebagai ashabah binafsihi. Dalam
contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada
pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian tersebut, kedua
kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari anak laki-laki memperoleh
sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari saudara laki-laki memperoleh
dua pertiga bagian.70
Setelah Hazairin membuktikan adanya penggantian tempat dalam hukum
kewarisan Islam, baik dalam garis lurus kebawah, ke atas, dan garis ke samping.
Beliau berusaha merumuskan pengertian penggantian tempat tersebut menurut hukum
kewarisan Islam. Menurut beliau, yang dimaksud dengan garis pokok penggantian
adalah suatu cara untuk menentukan siapa-siapa ahli waris. Tiap-tiap ahli waris
berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan menggantikan ahli waris yang lain.
Jika seseorang meninggal dunia, yang tampil sebagai ahli waris terdiri atas
anak, cucu, saudara, bapak, ibu, dan kakek serta nenek. Dari sekian ahli waris yang
ada, perlu diadakan penyaringan atau penentuan siapa yang berhak memperoleh
bagian warisan. Jika antara pewaris dengan ahli waris tidak ada penghubung, bisa
70

Ibid. hal.159

Universitas Sumatera Utara

59

dikatakan orang tersebut mewaris langsung. Misalnya, seorang anak mewaris dari
orang tuanya. Jika antara pewaris dengan ahli waris

tersebut mewaris karena

penggantian tempat, misalnya seorang cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia
lebih dahulu daripada pewaris. Menentukan siapa ahli waris dari keseluruhan ahli
waris yang ada inilah yang dimasudkan oleh Hazairin dengan garis pokok
penggantian.
Pada pemikiran Hazairin mengenai dikenalnya penggantian tempat dalam
hukum kewarisan Islam apabila diuji dengan As-Sunnah dalam bidang kewarisan,
sehingga ada beberapa hadis yang perlu diutarakan dalam kaitan ini, yakni sebagai
berikut.
Ibnu Abbas telah berkata : Apakah Zaid bin Tsabit tidak takut akan Allah
dengan menjadikan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki dari anak lakilaki) seperti anak laki-laki, tetapi ia tidak menjadikan bapaknya bapak sebagai bapak.
Maksudnya, jika seseorang mati dengan tidak meninggalkan bapak, bapaknya bapak
mestinya dianggap seperti bapak, sebagaimana anak dianggap sebagai anak. Ini
pendapat Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas bercerita bahwa Rasulullah berkata, Bayarkanlah faraidh kepada
yang berhak menerimanya, dan sisanya (yaitu setelah dibagi untuk ahli waris dzul
faraidh) untuk orang laki-laki yang terdekat (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist yang
pertama menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak setuju dengan pendapat Zaid bin
Tsabit yang menyamakan kedudukan cucu dari anak laki-laki dengan anak laki-laki,
baik dalam mewaris maupun menghijab. Dalam phadis yang kedua, sangat penting

Universitas Sumatera Utara

60

jika dikaitkan dengan ijtihad Hazairin tentang penggantian tempat dalam hukum
kewarisan Islam.71
Penggantian tempat ini yang merupakan ajaran Hazairin juga telah diatur
dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pengembangan dari kasus
munasakhah yang lebih cenderung dengan hukum kewarisan patrilineal menurut
ulama Syafi’i, yang masih tetap di pergunakan tidak hanya oleh masyarakat Islam,
melainkan juga oleh para Hakim di lingkungan Peradilan Agama sendiri.
Pelembagaan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) dalam KHI tersebut dilakukan
dengan cara modifikasi. Artinya: 72
1. Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau
nilai-nilai hukum Eropa.
2. Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk
wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negara, seperti Mesir. Tapi
langsung secara tegas menerima kompromi yuridis waris pengganti baik
bentuk dan perumusan.
3. Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi
dalam acuan penerapan:
a. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
71

Ibid.
Departemen Agama RI, Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, no. 44 thn.1999,
Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, hal.22-23.
72

Universitas Sumatera Utara

61

b. Apabila waris pengganti seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai
seorang saudara perempuan, maka bagiannya sebagai ahli waris pengganti
tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan
dibagi dua antara waris pengganti dengan bibinya.
Motivasi pelembagaan hukum waris pengganti (plaatsvervulling) dalam
hukum waris KHI tersebut, didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Oleh
karena tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi menghukum seseorang untuk
tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya, hanya
karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dahulu dari kakek. Apalagi jika
faktanya, pada saat kakek meninggal dunia, anak-anaknya semua sudah kaya dan
mapan, sebaliknya si cucu oleh karena ditinggal menjadi yatim, melarat dan miskin
dan dilenyapkan pula haknya untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi hak
bapaknya karena bapaknya meninggal terlebih dahulu dari kakeknya tersebut.
Dengan demikian pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang termuat
dalam KHI tersebut kelihatannya memberikan keadilan di Indonesia yang sangat
tinggi terutama terhadap anak yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dari kakeknya
yang dalam sistem kewarisan Islam (syara’) ia tidak akan mendapatkan harta waris.
Pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
KHI masih berbentuk law in book dan tentunya belumlah sepenuhnya sesuai dengan
kenyataan (penerapan) yang ada di dalam masyarakat (law in action). Dalam
teorinya, sebuah sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila hukum tersebut sudah
dapat dipatuhi masyarakat, dan masyarakat akan mematuhi hukum jika mereka

Universitas Sumatera Utara

62

mengetahui ketentuan-ketentuan kaedah hukum (aspek kognitif) sehingga timbul
sikap akan sadar hukum (aspek afektif),73 dengan ini hukum dapat dilaksanakan
sesu