Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap Faktor Risiko Dermatitis Popok pada Bayi Berusia 0-24 Bulan di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pengetahuan

2.1.1. Pengertian pengetahuan
Menurut Sveiby (1997), pengetahuan didefinisikan sebagai kapasitas
untuk bertindak. Sedangkan menurut Hunt dalam jurnal yang berjudul

The

concept of knowledge and how to measure it (2003), pengetahuan didefinisikan
sebagai sesuatu yang diyakini benar dan diakui kebenarannya. Pengetahuan juga
diartikan sebagai satu-satunya sumber yang berarti saat ini (Drucker, 1993).
Menurut Nonaka (2006), pengetahuan didefinisikan sebagai proses dinamis
manusia yang membenarkan keyakinan pribadi terhadap kebenaran.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2012).

2.1.2. Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku
Pengetahuan

seseorang

sangat

berpengaruh

terhadap

keamanan,

efektifitas, kenyamanan, dan kepuasan terhadap setiap tujuan yang ingin dicapai.
Pengetahuan memberikan keteraturan bagi kehidupan kita yang memungkinkan
untuk mengkonsep tujuan, mengantisipasi dan melihat situasi dan kondisi, serta
untuk merespon perubahan sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan keinginan.
Sebagai contoh, persepsi kita tergantung pada data yang kita dapatkan melalui

indera (penglihatan, pendengaran, perabaan) dan pengetahuan yang kita miliki
untuk menginterpretasikannya (Hunt, 2003).
Perilaku dan penampilan seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah
didapatkannya melalu belajar, praktik, dan pengalaman, serta reseptor sensorik
dan sistem otot, organ dan lain-lain.Seseorang bisa memiliki pengetahuan yang
cukup sebagai hasil dari belajar, tetapi pengetahuan tersebut tetap menjadi
kekuatan tersembunyi sampai seseorang tersebut menggunakannya untuk

Universitas Sumatera Utara

melakukan

pekerjaan,

memahami

sesuatu,

mengambil


keputusan

atau

memecahkan masalah (Hunt, 2003).
Agar bermanfaat bagi manusia, pengetahuan tidak hanya didapatkan,
tetapi juga diingat. Apabila pengetahuan sudah didapatkan tetapi tidak
mempengatuhi perilaku dan tidak tersimpan di dalam ingatan, berarti proses
belajar sebelumnya gagal (Hunt dan Sam, 1989). Pengetahuan itu sendiri tidak
bisa diamati secara langsung, tetapi harus diamati melalui uji kinerja, seperti
menggunakan alat ukur berupa kuesioner (Hunt, 2003).

2.1.3. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), dalam domain kognitif, terdapat enam
tingkatan pengetahuan, antara lain :
1. Tahu (know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima termasuk ke dalam
pengetahuan tingkat ini.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan
sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kelainan kulit pada bayi.
2. Memahami (comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Misalnya, mengapa harus menjaga kebersihan
tubuh bayi.
3. Aplikasi (application)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

Universitas Sumatera Utara

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya, dapat menggunakan
rumus


statistik

dalam

perhitungan-perhitungan

hasil

penelitian,

dapat

menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle)
di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4. Analisis (analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat pada
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)
Sintesis merujuk kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis
adalah kemampuan untuk menyusun formula baru dari formulasi-formulasi yang
sudah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Misalnya, dapat membandingkan antara bayi yang diberi ASI dengan bayi yang
diberi susu formula.

2.2.

Dermatitis popok

2.2.1. Epidemiologi
Diaper rash atau dermatitis popok merupakan kelainan kulit yang paling
sering dijumpai pada bayi. Prevalensi yang dilaporkan untuk dermatitis popok
bervariasi.Pada tahun 2000, Ward B. Daniel dkk.menuliskan prevalensi dermatitis
popok sebesar 7-35% dengan puncak insidensi pada usia 9-12 bulan. Sedangkan

berdasarkan penelitian di Britania Raya oleh R. Philip dkk. pada tahun 1997 yang
dituliskan kembali oleh Ward pada tahun 2000, insidensi dermatitis popok sebesar
25% pada 4 minggu pertama kehidupan bayi.

Universitas Sumatera Utara

Pada survei terhadap 1.089 bayi dijumpai 50% bayi mengalami dermatitis
popok, dengan 5% diantaranya berlanjut menjadi serius (Singalavanija, 2010).
Puncak insidensi dermatitis popok menurut Agrawal (2011) adalah pada usia 9-12
bulan dengan prevalensi 7-35% dan tidak ditemukan kaitan dengan ras dan jenis
kelamin. Sementara pada tahun 2012 lalu, Dib R. dkk.menuliskan prevalensi
dermatitis popok di Amerika Serikat sebesar 4-35% pada 2 tahun pertama
kehidupan bayi. Insiden dermatitis popok lebih rendah pada bayi yang mendapat
ASI. Untuk cakupan internasional, suatu penelitian di Italia didapati prevalensi
dermatitis popok sebesar 15.2% dengan puncak insidensi 19.4% pada bayi berusia
3-6 bulan. Di Inggris, prevalensi dermatitis popok sebesar 25% pada bayi berusia
1 bulan. Di Nigeria, berdasarkan data yang dikumpulkan sejak tahun 1995-1996
teridentifikasi kasus dermatitis popok sebsesar 7% pada anak-anak. Di Kuwait
tercatat dermatitis popok dijumpai sebanyak 4%.Kelainan kulit ini tidak
terkategori mengancam jiwa, tetapi bisa menjadi masalah yang mengganggu bagi

orang tua.Dermatitis popok lebih sering ditemukan pada pasien dengan ras Afrika
Amerika, tidak ditemukan kaitan dengan perbedaan jenis kelamin pada penderita
dermatitis popok.Dermatitis popok bisa dijumpai sedini mungkin pada bayi yang
pada periode awal kehidupannya memakai popok. Puncak insidensi yaitu pada
usia 7-12 bulan dan akan menurun seiring dengan bertambahnya umur. Dermatitis
popok tidak lagi menjadi masalah ketika bayi mulai diajarkan untuk toilet
training, biasanya pada usia sekitar 2 tahun. Di Indonesia, berdasarkan laporan
morbiditas divisi Dermatologi Pediatrik di beberapa rumah sakit, angka kejadian
lama dan baru untuk dermatitis popok pada tahun 2010 sebanyak 25 kasus dan 15
kasus pada tahun 2011.
Bayi yang hanya diberi ASI menunjukkan angka insidensi mengalami
dermatitis popok yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang diberi susu
formula dan makanan padat. Insidensi dermatitis popok 3-4 kali lebih tinggi pada
bayi yang mengalami diare (Singalavanija, 2010).
Frekuensi dan keparahan kejadian dermatitis popok lebih rendah pada bayi
dengan frekuensi penggantian popok sebanyak 8 kali atau lebih per harinya tanpa
memperhatikan jenis popok.Frekuensi dermatitis popok juga lebih rendah pada

Universitas Sumatera Utara


bayi yang memakai popok sekali pakai dengan penyerap super dibandingkan
dengan bayi yang memakai kain popok biasa (Singalavanija, 2010).

2.2.2. Definisi
Dermatitis popok adalah kelainan kulit tersering yang dijumpai pada bayi,
berupa ruam kemerahan di daerah genitalia, bokong, perut bagian bawah, hingga
paha bawah bayi yang muncul karena reaksi akibat enzim bakteri yang
terakumulasi di feses bayi, dan juga amoniak yang terakumulasi di popok.
Merujuk pada beberapa penelitian, kelainan kulit jenis ini tidak hanya
dialami oleh bayi, tetapi juga dialami oleh orang lanjut usia dengan riwayat
penyakit inkontinensia urin (Li, 2012).

2.2.3. Etiologi
Penyebab dermatitis popok belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat
banyak faktor (multifaktor) yang terlibat dalam kejadian dermatitis popok yang
terdiri dari(Serdaroglu, 2010):
1. Kelembapan dan friksi
Faktor yang paling berperan dalam menyebabkan dermatitis popok adalah
lembabnya area yang ditutupi dan di sekitar popok.Barrier (lapisan
pelindung) kulit menjadi rusak dan memudahkan terjadinya penetrasi zatzat iritan.

2. Urin dan feses bayi
Terkait dengan peranan enzim yang terkandung di dalam feses bayi
(protease dan lipase) yang mengubah urea menjadi amonia, pH kulit bayi
yang terpapar zat iritan tersebut akan meningkat dan menyebabkan iritasi
pada kulit bayi.
3. Mikroorganisme
Pada sekitar 80% bayi yang mengalami iritasi kulit perineal, ditemukan
mikroorganisme Candida albicans.Infeksi oleh mikroorganisme ini
biasanya terjadi 48-72 jam setelah terjadinya iritasi kulit. Infeksi

Universitas Sumatera Utara

akansemakin mudah ketika bayi sedang dalam pemberian antibiotik,
kondisi imun yang buruk, dan penyakit metabolik (Diabetes Melitus).
4. Nutrisi
Dermatitits popok bisa merupakan tanda klinis pertama yang menunjukkan
kurangnya asupan biotin dan zink pada bayi.
5. Zat iritan kimia
Sabun, deterjen, dan antiseptik bisa menjadi pemicu atau meningkatkan
risiko dermatitis kontak iritan.Pemakaian popok sekali pakai dengan daya

serap yang baik dapat mengurangi risiko terkena dermatitis popok.
6. Antibiotik
Pemberian antibitik dengan kerja obat yang luas pada bayi untuk beberapa
kondisi seperti otitis media dan infeksi saluran pernapasan menunjukkan
kecenderungan peningkatan insiden dermatitis kontak iritan (dermatitis
popok).Ini juga menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi Candida
albicans.
7. Diare
Produksi feses yang encer berkaitan dengan pemendekan waktu transit dan
sejumlah enzim pencernaan yang tersisa di dalam feses.
8. Kelainan saluran kemih
Kelainan saluran kemih menyebabkan tidak dieksresikannya urin dengan
baik sehingga akan menjadi faktor predisposisi infeksi saluran kemih.

2.2.4. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko terjadinya dermatitis popok antara lain(Li, 2012) :
1. Lingkungan tempat tinggal
Bayi yang tinggal di pedesaan lebih berisiko terhadap dermatitis popok
dibandingkan dengan bayi yang tinggal di perkotaan.
2. Makanan padat (telur)
Bayi yang diberikan makanan padat, seperti telur lebih berisiko mengalami
dermatitis popok.

Universitas Sumatera Utara

3. Frekuensi penggantian popok
Bayi dengan frekuensi penggantian popok
≤ 6 kali/hari lebih berisiko
terkena dermatitis popok dibandingkan dengan bayi dengan frekuensi
penggantian popok ≥ 6 kali/hari.
4. Diare
Bayi dengan frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 kali dalam sehari
dengan konsistensi feses lunak dan cair lebih berisiko terkena dermatitis
popok dibandingkan dengan bayi yang tidak terkena diare.

2.2.5. Patogenesis
Kulit tertutup
popok

Kontak urin dan
feses dengan
kulit

Meningkatkan
pH kulit

Permeabilitas
kulit meningkat
Destruksi kulit

Aktivasi enzim
di feses

Dermatitis
Popok

Gambar 2.1. Diagram Patogenesis Dermatitis Popok

Kulit bayi yang tertutup popok, berkontak dengan urin dan feses,
keduanya menyebabkan peningkatan permeabilitas kulit sehingga rentan
mengalami kerusakan akibat gesekan.Hal ini disebabkan oleh peningkatan pH
kulit yang nantinya dapat mengaktivasi enzim pada feses bayi, sehingga
menyebabkan destruksi lapisan pelindung kulit (Stratum corneum).Destruksi kulit

Universitas Sumatera Utara

mempermudah penetrasi iritan kimiawi dan juga bakteri seperti Candida albicans
sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder (Li, 2012).

2.2.6. Gambaran Klinis
Dermatitis popok ditandai dengan dermatitis kemerahan di permukaan
kulit yang berkontak dengan popok dan juga kulit di sekitarnya, yaitu di bokong,
daerah genital, perut bagian bawah, daerah pubis, dan paha atas. Onset munculnya
gejala paling sering pada minggu ke-3 hingga minggu ke-12, dengan puncak
prevalensi antara bulan ke-7 dan ke-12. Gejala yang sama ditemukan pada anakanak dan orang dewasa dengan kelainan inkontinensia urin (Serdaroglu dan
Ustunbas, 2010).

2.2.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dermatitis diaper antara lain(Serdaroglu dan Ustunbas, 2010) :
1. Dermatitis seboroik, ditandai dengan deskuamasi berwarna kuning di atas
permukaan kulit yang kemerahan.
2. Psoriasis vulgaris, ditandai dengan plak-plak berwarna kemerahan.
3. Dermatitis kontak alergi, ditandai dengan adanya erupsi di wajah dan
permukaan tubuh.
4. Dermatitis atopik, jarang ditemukan pada bayi < 6 bulan.
5. Candidiasis, apabila erupsi meluas sampai ke daerah inguinal atau
ditemukannya pustule satelit yang berlanjut hingga 72 jam.
6. Acrodermatitis enteropatica, terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan
ASI ditandai dengan trias klinis, yaitu, dermatitis, diare, dan alopesia.

2.2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dermatitis popok tergantung pada keparahan dan
penyebabnya.Tetapi bisa juga berdasarkan pada pola penatalaksanaan standar.
Pemakaian obat topikal tanpa memperhatikan beberapa hal secara detail dapat
menyebabkan kegagalan penatalaksanaan. Beberapa elemen agar penatalaksanaan
berhasil menurut Paige dan David G., (2010) antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Perhatian terhadap popok
a. Popok sekali pakai vs popok yang dicuci (disposable versus
washable

napkin).

Disposable

napkin

yang

berkualitas

mengandung gel yang dapat menurunkan insiden dan keparahan
dermatitis popok. Gel tersebut dapat menyerap cairan di popok
sekitar 80 kali dan juga dapat menurunkan kelembapan kulit.
Penggunaan popok juga berkaitan dengan pH kulit. Popok berdaya
serap tinggi juga memiliki selaput membrane breathable mikro
yang menunjukkan penurunan prevalensi infeksi Candida albicans
dan dermatitis popok.
b. Menggunakan Popok disposable dengan lapisan pelembut. Pada
popok disposable, lapisan yang berkontak dengan kulit terdiri dari
paraffin putih yang lembut. Hal ini berkaitan dengan penurunan
keparahan dermatitis popok iritan.
c. Frekuensi penggantian popok. Penting untuk segera mengganti
popok setelah bayi buang air besar.
d. Perhatikan popok washable.
2. Perawatan rutin kulit yang tertutup popok
Perawatan rutin kulit yang tertutup popok dapat mencegah berulangnya
dermatitis popok yang sudah berhasil ditatalaksana.Setiap kali mengganti
popok, berikan emolien penangkal air, campuran paraffin pelembut putih
dan cairan paraffin, Zinc, krim minyak castor, atau krim Bepanthen.
3. Terapi spesifik
Pemberian

topikal

kortikosteroid

diindikasikan

untuk

kasus-kasus

ringan.Pemberian dilakukan 2 kali setelah mandi, dalam bentuk
krim.Untuk erupsi yang disebabkan oleh infeksi Candida albicans bisa
diberikan mikonazole.Topicalsucralfat bisa diberikan untuk menjaga
lapisan pelindung kulit dari kerusakan yang disebabkan urin dan feses.

Universitas Sumatera Utara