this PDF file PERTUMBUHAN TUNAS ANGGUR HITAM (Vitis vinifera L.) PADA BERBAGAI KONSENTRASI BENZYLAMINO PURIN DAN INDOLEBUTYRIC ACID | Mardiyah | Agroland 1 PB

J. Agroland 24 (3) : 181 - 189, Desember 2017

ISSN : 0854-641X
E-ISSN : 2407-7607

PERTUMBUHAN TUNAS ANGGUR HITAM (Vitis vinifera L.) PADA
BERBAGAI KONSENTRASI BENZYLAMINO PURIN DAN
INDOLEBUTYRIC ACID
Shoots Growth of Black Grapes (Vitis vinifera L.) on Various Concentrations of
Benzylamino Purine and Indolebutyric Acid
Mardiyah1), Zainuddin Basri2), Ramal Yusuf ) dan Hawalina
2

2)

1)Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu
2)Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu
Email: Mardiyah911@gmail.com, zainuddin.untad@gmail.com, ryusufus@untad.ac.id, hawalinak@yahoo.com

ABSTRACT
This study aimed to determine media compositions supplied with BAP and IBA suitable

for the growth of black grape shoots. This research was conducted at the Laboratory of Plant
Biotechnology, Faculty of Agriculture, University of Tadulako, during April to September 2016.
The study used a factorial completely randomized design. Two factors were tested, the
concentrations of BAP i.e. 1.50 ppm, 2.00 ppm and 2.50 ppm; and the concentration of IBA i.e.
0.00 ppm, 0.25 ppm and 0.50 ppm. There were nine treatment combinations and each combination
treatment was replicated three times to obtain 27 experimental units. Each experimental unit using
an explant. Data were analyzed using analysis of variance and followed by Honestly Significant
Difference test at level of 5% if the treatment effects were significant. The results showed that the
composition of the culture media supplied with 2.00 ppm BAP without IBA is able to stimulate the
formation of black grape leaves at the earliest, at an average of 18.67 days per explant, while the
media added with 2.00 ppm 0.25 ppm BAP together with IBA can lead to longest shoot growth, at
an average of 2.13 cm per bud. The culture media applied with 2.50 ppm BAP can trigger earliest
shoot growth and highest number of leaf formation which were 11.11 days after culture and 2.44
leaves per explant. Earliest formation of black grape shoots of 11.89 days after culture is stimulated
by the addition of 0.25 ppm IBA.
Key Words: Benzylamino purine, black grapes, growth, indolebutyric acid, and shoots.

PENDAHULUAN
Anggur
(Vitis

vinifera
L.)
merupakan tanaman buah berbentuk perdu.
Tanaman ini mulai dibudidayakan di Timur
Tengah sejak 4000 tahun sebelum Masehi.
Tanaman anggur menghasilkan buah yang
kaya nutrisi karena mengandung banyak
senyawa polifenol dan resveratol yang
berperan aktif dalam berbagai metabolisme
tubuh. Senyawa-senyawa tersebut diketahui
mampu mencegah pembentukan sel-sel
kanker dan berbagai penyakit lainnya. Buah
anggur juga diketahui mengandung
181

senyawa metabolit sekunder yang berperan
sebagai antioksidan dalam menangkal
radikal bebas (Prihatman, 2000).
Budidaya anggur di Indonesia
umumnya dilakukan di dataran rendah,

yaitu pada daerah-daerah yang memiliki
intensitas penyinaran tinggi. Daerah-daerah
sentra budidaya anggur di Indonesia
terdapat di Jawa Timur (Probolinggo,
Pasuruan, Situbondo), Bali dan NTT
(Cahyono, 2010). Melihat potensi ekonomi
dan minat masyarakat terhadap buah anggur
yang terus meningkat menyebabkan
tanaman ini memiliki prospek yang tinggi

untuk dibudidayakan dan dikembangkan di
daerah lain di Indonesia.
Salah satu kendala dalam usaha
budidaya anggur adalah ketersediaan
bibit yang masih sangat terbatas. Menyadari
kendala tersebut, maka diperlukan suatu
metode yang tepat untuk penyediaan
bibit anggur. Metode penyediaan bibit
anggur yang relatif cepat dengan jumlah
bibit yang dihasilkan cukup banyak yaitu

melalui teknik kultur jaringan. Kultur
jaringan merupakan teknik perbanyakan
tanaman dengan cara mengisolasi bagian
tanaman seperti daun, tunas atau akar dan
menumbuhkan bagian tanaman tersebut
pada media buatan yang kaya nutrisi dan zat
pengatur tumbuh pada wadah tertutup yang
tembus cahaya dan kondisi lingkungan
aseptik sehingga bagian tanaman tersebut
dapat tumbuh dan beregenerasi menjadi
tanaman lengkap (Susilowarno, 2009).
Salah
satu
faktor
penentu
keberhasilan dalam pelaksanaan kultur
jaringan adalah pemberian zat pengatur
tumbuh ke media kultur. Terdapat dua
kelompok zat pengatur tumbuh yang sangat
penting dan umum digunakan dalam kultur

jaringan yaitu sitokinin dan auksin. Kedua
kelompok zat pengatur tumbuh tersebut
menentukan pertumbuhan dan morfogenesis
eksplan dalam suatu kultur.
Guna mendapatkan pertumbuhan
dan morfogenesis yang dikehendaki,
pemberian kedua zat pengatur tumbuh
tersebut (sitokinin dan auksin) harus berada
pada konsentrasi dan rasio tertentu
(Arimarsetiowati, et al. 2012). Sitokinin
diketahui berperan sangat vital dalam kultur
jaringan. Sitokinin berperan dalam mengatur
pembelahan sel, memacu morfogenesis dan
perkembangan kloroplas serta menginduksi
embriogenesis dan organogenesis. Salah
satu jenis sitokinin yang digunakan dalam
kultur jaringan yaitu Benzylamino Purin
(BAP). BAP sering digunakan karena tahan
degradasi dan harganya relatif murah
(Paramartha, 2012).

Selain sitokinin, zat pengatur tumbuh
dari kelompok auksin juga berperan penting

dalam kultur jaringan. Auksin berperan
dalam pembesaran sel dan inisiasi akar.
Auksin yang sering digunakan yaitu
Indolebutyric Acid (IBA). IBA berperan
dalam menginduksi dan meningkatkan
pertumbuhan akar tanaman (Nurmayulis,
2011). Penggunaan IBA dan BAP dalam
kultur jaringan tanaman sudah
banyak
dilaporkan (Astuti, 2014), namun penggunaan
kedua zat pengatur tumbuh ini relatif
terbatas dalam kultur jaringan anggur.
Cerianingsih et al. (2012) melaporkan
bahwa penambahan 2 mg/L BAP mampu
menghasilkan persentase tunas tertinggi
pada eksplan tunas aksilar anggur Varietas
Jestro Ag 86 dan Prabu Bestari.

Penambahan IBA pada berbagai konsentrasi
yang dikombinasikan dengan BAP pada
media kultur jaringan anggur, khususnya
pada kultur jaringan anggur hitam (Varietas
Probolinggo - 81) belum pernah dilaporkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
perlu
dilakukan
penelitian
tentang
pertumbuhan tunas anggur hitam pada
berbagai konsentrasi BAP dan IBA secara
in vitro.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako,
Palu. Penelitian ini berlangsung sejak bulan
April sampai September 2016.
Alat dan Bahan. Alat-alat yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu laminar air flow
cabinet, kulkas, oven listrik, autoklaf,
pinset, scalpel, pipet, botol kultur, cawan
petri, batang pengaduk, pH meter,
pembakar Bunsen, timbangan analitik, hot
plate, gelas kimia, gelas ukur, rak kultur,
plastik, kertas saring, kertas label,
alumunium foil, karet gelang, shaker ,
magnetic
stirrer ,
handsprayer ,
alat
dokumentasi serta alat tulis-menulis.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
cabang tersier anggur hitam (Varietas
182

Probolinggo-81)
yang
relatif

muda
(berwarna hijau) sebagai sumber eksplan,
aquades steril, alkohol 70%, detergen,
spritus, fungisida (Dithane), bakterisida
(Agrept), Betadine, Tween 20, Bayclin,
gula, agar-agar, bahan kimia sesuai
komposisi media MS, asam askorbat, arang
aktif serta zat pengatur tumbuh BAP dan
IBA.
Desain
Penelitian.
Penelitian
ini
menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial dengan
dua faktor yang dicobakan, yaitu BAP
dan IBA. Faktor pertama yaitu konsentrasi
BAP yang terdiri dari tiga taraf, yaitu: B1 =
1,50 ppm, B2 = 2,00 ppm, dan B3 = 2,50
ppm. Faktor kedua yaitu konsentrasi IBA

yang terdiri dari tiga taraf, yaitu: I0 = 0,00
ppm, I1 = 0,25 ppm, dan I2 = 0,50 ppm.
Terdapat sembilan kombinasi perlakuan
dan tiap kombinasi perlakuan diulang
sebanyak tiga kali, sehingga diperoleh 27
satuan percobaan. Masing-masing satuan
percobaan menggunakan satu eksplan.
Variabel Pengamatan. Variabel yang
diamati dalam penelitian ini meliputi: Saat
muncul tunas, dilakukan dengan cara
mengamati tunas yang terbentuk berukuran
±1 mm pada permukaan eksplan yang
dihitung sejak hari pengkulturan sampai
terbentuk tunas; Saat muncul daun, diamati
dengan cara mengamati daun yang
terbentuk berukuran ±2 mm yang dihitung
sejak hari pengkulturan sampai terbentuk
daun; Jumlah daun, dilakukan dengan cara
menghitung semua jumlah daun yang
terbentuk hingga akhir pengamatan

(6 minggu setelah kultur); serta Panjang
tunas, dilakukan dengan cara mengukur
panjang tunas (cm) dari pangkal hingga
ujung tunas pada akhir pengamatan
(6 minggu setelah kultur).
Analisis Data. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan analisis
keragaman (Analysis of Variance). Hasil
analisis yang menunjukkan pengaruh nyata
atau sangat nyata selanjutnya diuji lanjut
183

dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf
5% guna mengetahui perbedaan antar
perlakuan yang dicobakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Saat Muncul Tunas. Analisis ragam
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi
antara konsentrasi BAP dan IBA terhadap
variabel saat muncul tunas. Namun
konsentrasi BAP berpengaruh sangat nyata
dan konsentrasi IBA berpengaruh nyata
terhadap variabel saat muncul tunas. Ratarata saat muncul tunas pada berbagai
perlakuan ditampilkan pada Tabel 1.
Hasil uji BNJ taraf 5% pada Tabel 1
menunjukkan bahwa BAP mampu memacu
pembentukan tunas anggur yang cepat.
Semakin tinggi konsentrasi BAP yang
digunakan, semakin cepat tunas terbentuk.
Pembentukan tunas paling cepat diperoleh
pada konsentrasi 2,50 ppm BAP (B3), yaitu
rata-rata 11,11 hari setelah kultur dan
berbeda dengan perlakuan konsentrasi 1,50
ppm (B1) maupun 2,00 ppm BAP (B2).
Tunas anggur hitam yang terbentuk pada
media MS yang ditambahkan 2,50 ppm
BAP tumbuh lebih cepat masing-masing
sekitar 1 hari dan 3,45 hari, bila
dibandingkan dengan tunas yang terbentuk
pada media yang ditambahkan 2,00 ppm
dan 1,50 ppm BAP.
Widiastoety dkk. (1991) melaporkan
bahwa pemberian BAP pada media kultur
dapat
memacu
pembentukan
dan
multiplikasi tunas anggrek. Hariyanti dkk.
(2004) menyatakan bahwa penambahan zat
pengatur tumbuh sitokinin dalam konsentrasi
yang tinggi memberikan pengaruh yang baik
terhadap
pembentukan
tunas
dan
menghasilkan jumlah tunas pisang talas
terbanyak. Dalam penelitiannya, juga
mengamati bahwa semakin tinggi konsentrasi
BAP yang digunakan, semakin cepat pula
tunas pisang talas terbentuk.
Menurut Utami (1998), sitokinin
(seperti BAP) sangat berperan dalam
memacu sintesis RNA dan protein pada sel

dan jaringan yang selanjutnya akan
mendorong pembelahan dan diferensiasi
sel. Gowen (1995) menyatakan bahwa
pembentukan tunas secara in vitro sangat
dipengaruhi oleh keberadaan sitokinin pada
media kultur; dan jenis sitokinin yang
diketahui paling efektif adalah BAP. BAP
diketahui dapat memacu penyerapan
air oleh sel dan jaringan dari media
sehingga sintesis protein dan pembelahan
sel bisa berjalan dengan baik. Chaerudin
dkk. (1996) menyatakan bahwa BAP
merupakan zat pengatur tumbuh sintetik
yang tidak mudah dirombak oleh enzimenzim yang terdapat pada tanaman sehingga
sangat efektif menginduksi pembentukan
tunas. Basri (2004) melaporkan bahwa
sitokinin (BAP) sangat berperan dalam
menstimulasi
pembelahan
sel
serta
pembentukan tunas.
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa
zat pengatur tumbuh IBA dapat memacu
saat muncul tunas anggur yang lebih cepat.
Tunas anggur terbentuk paling cepat pada
media MS yang ditambahkan 0,25 ppm IBA
(I1), yaitu rata-rata 11,89 hari setelah kultur

dan berbeda dengan konsentrasi 0,00 ppm
IBA (I0; tanpa pemberian IBA), namun
tidak berbeda dengan konsentrasi 0,50 ppm
IBA (I2). Ali dkk. (2007) menyatakan
bahwa pemberian auksin pada media kultur
dapat meningkatkan proses-proses fisiologis
pada sel-sel tanaman yang dikultur, seperti
turut membantu dalam memacu pembelahan
sel-sel pada jaringan serta berbagai proses
organogenesis, diantaranya dalam pembentukan
dan pertumbuhan tunas. North dan
Ndakidemi (2012) melaporkan bahwa
pembentukan tunas sangat dipengaruhi oleh
sejumlah fitohormon yang terdapat pada
eksplan (tanaman), diantaranya auksin.
Prematilake dan Mendis (1999) melaporkan
bahwa auksin turut dibutuhkan untuk
mendorong pembentukan tunas, namun
umumnya dibutuhkan dalam jumlah atau
konsentrasi yang rendah.
Panjang
Tunas.
Analisis
ragam
menunjukkan bahwa terdapat interaksi
antara konsentrasi BAP dan IBA terhadap
variabel panjang tunas pada 6 minggu
setelah kultur (MSK). Rata-rata panjang
tunas pada berbagai perlakuan ditampilkan
pada Tabel 2.

Tabel 1. Rata-Rata Saat Muncul Tunas (Hari Setelah Kultur)
BAP (ppm)
IBA (ppm)

Rata-rata
B1(1,50)

B2(2,00)

B3(2,50)

I1(0,00)

15,67

14,67

11,67

14,00q

I2(0,25)

14,33

11,33

10,00

11,89p

I3(0,50)

13,67

12,33

11,67

12,56pq

Rata-rata

14,56c

12,78b

11,11a

BNJ 5%

BNJ 5%

1,64

1,64

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris (a,b) atau kolom (p,q) yang
sama tidak berbeda pada uji BNJ taraf 5%.
184

Tabel 2. Rata-Rata Panjang Tunas 6 Minggu Setelah Kultur.
BAP (ppm)

IBA (ppm)
0,00
0,25
0,50
BNJ 5%

BNJ 5%

1,50
a
p1,10
a
p1,57

2,00
a
p1,40
b
q2,13

2,50
a
p1,00
ab
q1,93

a

a

b

p1,13

p1,10

0,50

q1,73

0,50

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris (a,b) atau kolom (p,q) yang
sama tidak berbeda pada uji BNJ taraf 5%.
Uji BNJ taraf 5% pada Tabel 2
menunjukkan bahwa tunas anggur hitam
paling panjang dijumpai pada media yang
ditambahkan 2,00 ppm BAP dan 0,25 ppm
IBA, yaitu rata-rata 2,13 cm per tunas. Jika
dibandingkan dengan tunas yang terbentuk
pada
komposisi
media
tersebut,
pembentukan tunas relatif lebih pendek bila
konsentrasi BAP dinaikkan menjadi 2,50
ppm; dan pembentukan tunas semakin
pendek dan nyata berbeda bila konsentrasi
BAP diturunkan menjadi 1,50 ppm.
Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan
penggunaan komposisi media yang sama
(2,00 ppm BAP dan 0,25 ppm IBA), hal
yang serupa terhadap pembentukan tunas
menjadi lebih pendek dan nyata berbeda
bila konsentrasi IBA ditingkatkan menjadi
0,50 ppm atau pun tanpa pemberian IBA.
Sebagaimana diketahui bahwa pertambahan
panjang atau tinggi suatu organ seperti
tunas
merupakan
hasil
aktivitas
pembelahan, pemanjangan dan pembesaran
sel-sel yang terdapat pada jaringan meristem
pucuk (apical meristem). Aktivitas pembelahan,
pemanjangan dan pembesaran sel-sel
semakin intensif dengan adanya pemberian
zat pengatur tumbuh pada jumlah
(konsentrasi), perbandingan (rasio) dan
jenis (macam) yang sesuai. Zat pengatur
tumbuh sitokinin sangat berperan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, termasuk memacu pertumbuhan
185

dan perkembangan sel-sel dan jaringan pada
ujung pucuk.
Menurut Lakitan (1996), sitokinin
dapat menstimulasi pembelahan sel melalui
peningkatan laju sintesis protein. Aktivitas
dan efektifitas sitokinin seperti BAP sering
meningkat bila terdapat zat pengatur
tumbuh lain, terutama auksin seperti
IBA (Abidin, 1995).
Darmanti (2008) menyatakan bahwa
sitokinin mampu memacu pembelahan sel
sehingga jumlah sel bertambah banyak
dan adanya auksin, maka sel-sel tersebut
akan
mengalami
pemanjangan
dan
pembesaran sehingga tunas atau tanaman
menjadi lebih panjang atau lebih tinggi.
Auksin mampu mendorong pemanjangan
dan pembesaran sel-sel karena auksin bisa
mempengaruhi dinding sel melalui dua fase,
yaitu fase pembelahan dan fase pelebaran
dinding sel sehingga sel mengalami
kerenggangan dan penebalan. Akan tetapi,
bila konsentrasi auksin yang diberikan atau
ditambahkan ke media semakin tinggi,
maka pertumbuhan akan terhambat karena
auksin pada konsentrasi yang (terlalu)
tinggi akan memacu sintesis etilen sehingga
dapat menghambat pertumbuhan.
Gardner et al. (1991) menyatakan
bahwa
sitokinin
berperan
dalam
pembelahan sel-sel dan auksin sangat
diperlukan dalam proses pemanjangan dan
pembesaran sel-sel baru yang terdapat pada

meristem apikal batang maupun tunas
sehingga mengakibatkan tanaman atau
tunas menjadi tinggi atau panjang. Sesuai
hasil penelitian, maka suplai 2,00 ppm BAP
dan 0,25 ppm IBA merupakan konsentrasi
yang sesuai untuk mendorong pembelahan,
pembesaran dan pemanjangan sel-sel pada
meristem pucuk anggur hitam sehingga
tunas yang dihasilkan berukuran paling
panjang dibanding dengan perlakuan
lainnya.
Saat Muncul Daun. Analisis ragam
menunjukkan bahwa terdapat interaksi
antara konsentrasi BAP dan IBA terhadap
variabel saat muncul daun. Rata-rata saat
muncul daun pada berbagai perlakuan yang
dicobakan ditampilkan pada Tabel 3.
Uji BNJ taraf 5% pada Tabel 3
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
2,00 ppm BAP tanpa IBA (B2I0) diperoleh
pembentukan daun (saat muncul daun)
paling cepat, yaitu rata-rata 18,67 hari per
eksplan.
Jika
dibandingkan
dengan
komposisi media tersebut (2,00 ppm BAP
tanpa IBA), saat muncul daun anggur relatif
melambat menjadi rata-rata sekitar 1,6 hari
bila konsentrasi BAP diturunkan menjadi
1,50 ppm dan semakin nyata melambat dan
berbeda menjadi rata-rata sekitar 6 hari bila
konnsentrasi BAP ditingkatkan menjadi
2,50 ppm.
Sesuai hasil tersebut maka diketahui
bahwa perlakuan yang baik untuk memacu
pembentukan daun anggur hitam adalah
dengan pemberian BAP pada konsentrasi
2,00 ppm tanpa IBA. Diduga suplai BAP
pada konsentrasi 2,00 ppm tanpa IBA telah
cukup dan sesuai untuk menstimulasi
pembelahan dan diferensiasi sel-sel pada

meristem daun sehingga daun terbentuk
lebih cepat. Gardner dkk. (1991)
menyatakan bahwa senyawa nitrogen yang
terkandung pada sitokinin (BAP) berperan
dalam proses sintesis asam-asam amino
dan protein yang selanjutnya digunakan
untuk berbagai proses pertumbuhan dan
perkembangan eksplan, diantaranya untuk
memacu
pembentukan
daun-daun.
Selanjutnya, Astuti (2014) melaporkan
bahwa
BAP
mampu
meningkatkan
pembelahan sel dan memacu proliferasi
serta morfogenesis pucuk, termasuk
pembentukan daun.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa media yang disuplai 2,00 ppm BAP
disertai dengan penambahan masing-masing
0,25 ppm dan 0,50 ppm IBA menyebabkan
perlambatan
yang
nyata
terhadap
pembentukan daun anggur hitam. Pada
media yang disuplai 2,00 ppm BAP akan
terjadi perlambatan pembentukan daun
(sekitar 5 sampai 12 hari) bila media
tersebut juga ditambahkan 0,25 ppm atau
0,50 ppm IBA. Hasil ini dengan jelas
menunjukkan bahwa pemberian BAP pada
konsentrasi 2,00 ppm telah cukup untuk
memacu pembentukan daun pada anggur
hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kandungan auksin endogen sudah cukup
dan telah mampu untuk menstimulasi
dan memacu pembentukan daun pada
tanaman anggur hitam. Penambahan auksin
(IBA) pada media telah menyebabkan
peningkatan kandungan auksin dalam
eksplan dan peningkatan tersebut telah
melampaui jumlah atau konsentrasi yang
ideal bagi pembentukan daun; akibatnya
pembentukan daun menjadi lambat.

Tabel 3. Rata-Rata Saat Muncul Daun (Hari Setelah Kultur)
IBA (ppm)

BAP (ppm)
1,50

p18,67

p22,33

a

r30,67

p19,33

a

p20,33

0,25

BNJ 5%

q24,00

BNJ 5%

2,50

ab

0,00

0,50

2,00
a

p25,00

b

p25,67

ab

b

ab

p25,00

4,68

b

4,68

186
Keterangan :

Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris (a,b) atau kolom (p,q) yang sama tidak berbeda pada uji
BNJ taraf 5%.

Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Daun 6 Minggu Setelah Kultur
BAP (ppm)

IBA (ppm)

BNJ 5%

1,50

2,00

2,50

0,00

1,00

2,00

1,67

0,25

1,33

2,33

3,00

0,50

1,67

1,67

2,67

Rata-rata

1,33a

2,00ab
0,80

2,44b

0,80

BNJ 5%

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNJ taraf 5%.

Wattimena (1992) menyatakan bahwa
morfogenesis
pada
eksplan
sangat
tergantung pada rasio antara sitokinin dan
auksin yang ditambahkan ke dalam media
serta interaksi dari zat pengatur tumbuh
yang
ditambahkan
tersebut
dengan
fitohormon-fitohormon
yang
terdapat
pada tanaman. Abidin (1990) melaporkan
bahwa sitokinin sering berperan lebih dominan
dalam menstimulasi pembentukan dan
pertumbuhan
daun
maupun
tunas.
Selanjutnya, George dan Sherrington (1984)
menyatakan bahwa penggunaan zat
pengatur tumbuh dalam kultur in vitro pada
batas-batas tertentu mampu merangsang
pertumbuhan termasuk pembentukan daun,
namun dapat bersifat sebagai penghambat
bila digunakan melebihi dari konsentrasi
optimal.
Jumlah
Daun.
Analisis
ragam
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi
antara konsentrasi BAP dan IBA terhadap
variabel jumlah daun pada 6 minggu setelah
kultur (MSK). Namun konsentrasi BAP
berpengaruh sangat nyata terhadap variabel
jumlah daun. Rata-rata jumlah daun pada
berbagai perlakuan ditampilkan pada
Tabel 4.
Uji BNJ taraf 5% pada Tabel 4
menunjukkan bahwa jumlah daun anggur
187

hitam paling banyak terbentuk pada
perlakuan 2,5 ppm BAP (rata-rata 2,44
helai) dan berbeda dengan perlakuan 1,50
ppm BAP, tetapi tidak berbeda dengan
perlakuan 2,00 ppm BAP. Terdapat
pengurangan sekitar 0,44 helai sampai 1,11
helai daun bila konsentrasi BAP yang
digunakan hanya 1,50 ppm atau 2,00 ppm
BAP.
Menurut
Widyastuti
dan
Tjokrokusumo (2001), jumlah daun yang
terbentuk pada suatu eksplan bergantung
dari kecepatan pertumbuhan dan laju
pembentukan tunas-tunas baru. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kecepatan pertumbuhan
dan laju pembentukan tunas-tunas baru
sangat dipengaruhi oleh kemampuan
penyerapan hara dan zat pengatur tumbuh,
terutama sitokinin dari media. Zat pengatur
tumbuh (BAP) yang diserap dari media
akan meningkatkan kemampuan jaringan
tanaman untuk mensintesis hormon-hormon
endogen dan keberadaan zat pengatur
tumbuh bersama fitohormon di dalam
jaringan
tanaman
akan
memacu
pembentukan daun (Husni dkk., 1994).
Daun yang terbentuk merupakan hasil
morfogenesis dari pembelahan, pembesaran
dan diferensiasi sel-sel pada meristem
pucuk. Hasil yang diperoleh pada penelitian
ini sama dengan penelitian Talukder et al.

(2003) yang melaporkan bahwa pemberian
2,5 ppm BAP menghasilkan jumlah daun
anggrek Dendrobium terbanyak, yaitu ratarata 2,55 helai daun per eksplan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Komposisi media kultur yang
disuplai 2,00 ppm BAP tanpa IBA mampu
memacu pembentukan daun anggur hitam
paling cepat, yaitu rata-rata 18,67 hari per
eksplan, dan media yang ditambahkan 2,00
ppm BAP bersama 0,25 ppm IBA dapat
mendorong pertumbuhan tunas paling
panjang, yaitu rata-rata 2,13 cm per tunas.
Komposisi media kultur yang
diberikan 2,50 ppm BAP sesuai untuk

mendorong pertumbuhan tunas paling cepat
dan pembentukan daun paling banyak, yaitu
berturut-turut 11,11 hari setelah kultur dan
2,44 helai daun per eksplan.
Komposisi media kultur yang
ditambahkan 0,25 ppm IBA sesuai untuk
menstimulasi pembentukan tunas anggur
hitam paling cepat, yaitu rata-rata 11,89 hari
setelah kultur.
Saran Sesuai hasil penelitian, maka
disarankan
menggunakan
komposisi
media kultur yang ditambahkan 2,50 ppm
BAP dan 0,25 ppm IBA untuk mendapatkan
pertumbuhan tunas anggur hitam yang baik.
Disarankan pula untuk melakukan penelitian
lanjutan dengan menggunakan jenis sitokinin
dan auksin lain pada varietas anggur berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., 1990. Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung. 85 hlm.
Abidin, Z., 1995. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.
Ali, G., F. Hadi, Z. Ali, M. Tariq, and M. A. Khan, 2007. Callus Induction and in Vitro Complete Plant
Regeneration of Different Cultivars of Tobacco ( Nicotiana tabacum L.) on Media of Different
Hormonal Concentrations. Journal Biotechnology, 6(4): 561-566.
Arimarsetiowati, R. dan Ardiyani, F., 2012. Pengaruh Penambahan Auxin Terhadap Pertunasan dan
Perakaran Kopi. Pelita Perkebunan, 28(2): 82-90.
Astuti, P., 2014. Induksi Tunas dan Perakaran Bambu Kuning Bambusa vulgaris secara in vitro. Biogenesis,
2(2): 109-114.
Basri, Z., 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Tadulako Press, Palu.
Cahyono, B., 2010. Cara Sukses Berkebun Anggur Lokal dan Impor. Pustaka Mina. Jakarta.

167 hlm.

Cerianingsih, M.W., I. A. Astarini dan G.M. Nurjaya, 2012. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IBA
dan BAP pada Kultur in Vitro Tunas Aksiler Anggur (Vitis vinifera L.) Varietas Prabu Bestari dan
Jestro AG 86. Journal of Biological Sciences: 2302-5697. Universitas Udayana, Bali.
Chaerudin, T.S., T. Supriatun dan A. Bavadal, 1996. Multiplikasi Tunas Tanaman Mentha arvensis Melalui
Kultur Jaringan. Fakultas MIPA Universitas Padjajaran.
Darmanti, S., N. Setiari, dan T.D. Romawati, 2008. Perlakuan Defoliasi untuk Meningkatkan Pembentukan
dan Pertumbuhan Cabang Lateral Jarak Pagar (Jatropha curcas). Laboratorium Biologi Struktur dan
Fungsi Tumbuhan Jurusan Bilogi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro.
Gardner, G.J., R.B. Pearce and R.L. Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan: Herawati
Susilo). Universitas Indonesia Press, Jakarta. 530 hlm.

188

George, E.F. and P.D. Sherrington, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Ltd, England. 709
hlm.
Gowen, S., 1995. Bananas and Plantains. Chapman and Hall. London, UK. p.435-436.
Hariyanti, E., R. Nirmala dan Rudarmono, 2004. Mikropropagasi Tanaman Pisang Talas dengan
Naphtaleneacetic Acid dan Benzylamino Purine. Jurnal Budidaya Pertanian, 10(1):
26-34.
Husni, A., P. Ragapadmi dan S. Deden, 1994. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (BAP, Kinetin dan
NAA) Terhadap Pertumbuhan Kapolaga Secara in Vitro . Medkom Litbangtri.
Lakitan, B., 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
250 hlm.
North, J.J. and P.A. Ndakidemi, 2012. Evaluation of Different Ratios of Auxin and Cytokinin for the in Vitro
Propagation of Streptocarpus rexii. International Journal of the Physical Science, 7(7): 1083-1087.
Nurmayulis, 2011. Pengaruh Indolebutiric Acid Terhadap Pembentukan Akar pada Tanaman Aren. J.
Agrivigor, 10(2): 208-218.
Paramartha, 2012. Pengaruh Penambahan Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan
dan Perkembangan Biji Dendrobium taurulinum Secara in Vitro. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(1): 923928.

Prematilake, D.P. and M.H. Mendis, 1999. Microtubers of Potato
Conservation and Tissue Culture. Journal Natn ., 27(1): 17-28.

( Solanum tuberosum): In Vitro

Prihatman, K., 2000. Budidaya Pertanian Anggur. Sistem Informasi Pembangunan
hlm. 1-3.

di Pedesaan, BAPPENAS.

Susilowarno, G.R., 2009. Siap Menghadapi Ujian Nasional 2010. Biologi SMA/MA. Grasindo, Jakarta.
Talukder, S.K., K.M. Nasirudin, S. Yasmin, L. Hassan and R. Begum, 2003. Shoot Proliferation of
Dendrobium Orchid with BAP and NAA. Journal of Biological Sciences, 3(11): 1058-1062.
Utami, E.S.W., 1998. Pengaruh Penambahan Ragi Roti Sebagai Alternatif Pengganti Zat Pengatur Tumbuh
BA untuk Diferensiasi pada Kultur Jahe Merah (Zingiber officinale var. Sunti val). Fakultas MIPA
Universitas Airlangga.
Wattimena, G.A., 1992. Sitokinin. Pusat Antar Universitas. Laboratorium Bioteknologi Tanaman Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Widiastoety, D., Syafril dan B. Haryanto, 1991. Kultur in Vitro Anggrek Dendrobium dalam Medium Cair.
Jurnal Hortikultura, 1(3): 6-10.
Widyastuti dan Tjokrokusumo, 2001. Peranan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh Tanaman pada Kultur in Vitro .
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 3(5): 55–63.

189

190

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25