Representasi Kelompok Marga (Suak) Dalam Kekuasaan Di Tingkat Lokal: Kasus Di Pakpak Bharat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Semangat penyelenggaraan negara yang bersifat desentralisasi telah lebih tua di
bandingkan dengan usia negara Indonesia. Ini dapat dilihat dari rekaman sejarah
yang menceritakan bahwa sejak jaman penjajahan praktek dan semangat
desentralisasi telah muncul. Tidak hanya itu, catatan sejarah juga menceritakan
bahwa banyak kerajaan-kerajaan di nusantara berbentuk semacam konfederasi
dimana di masing-masing kerajaan menyelenggarakan kegiatannya secara
otononom. Berbeda dengan tujuan desentralisasi di masa kerajaan dan penjajahan,
tujuan desentralisasi pasca kemerdekaan adalah untuk mencapai demokrasi
sebagai cara penyelenggaraan kehidupan bernegara. Hampir dapat dikatakan
bahwa seluruh periode berlakunya ketiga UU pemerintahan daerah pasca
kemerdekaan – UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948 dan UU No. 1
Tahun 1957- diwarnai oleh pernyataan politik dari berbagai kalangan mengenai
demokrasi.
Dalam sebuah kesempatan, Muhammad Hatta pernah mengatakan bahwa

“sejak semula kita menyadari demokrasi sebagai pemerintahan oleh yang
diperintah harus direalisasikan melalui desentralisasi”.(dalam Hoessein, 1996)
Lebih lanjut mengenai hal ini, Hoessein (1996) mengungkapkan bahwa dalam
perjalanan

waktu,

semangat

demokratisasi

yang

ingin

dicapai

dalam

penyelenggaraan negara melalui desentralisasi bersifat semu semata. Ini dapat

dilihat dari adanya praktek rekayasa dalam pemilihan anggota legislatif di daerah
1

sejak akhir orde lama hingga ujung kejayaan orde baru melalui saluran politik
formal. Desentralisasi sebagai sarana untuk mencapai demokrasi di Indonesia
pada waktu itu tampak formalistik belaka. Indikator kesemuanya ini dapat dilihat
dari berbagai regulasi terkait dengan kegiatan politik terutama dalam pemilihan
anggota legislatif di daerah dan kepala daerah. Pada periode tersebut, secara ideal
pemilihan Kepala Daerah (KDH) adalah berdasarkan hasil pemilihan anggota
legislatif dalam hal ini DPRD. Namun demikian, kecenderungan yang terjadi
adalah tidak demikian. Sekalipun DPRD dipimpin oleh personil- personil terpisah
dari KDH seperti yang ditentukan dalam perundang- undangan, namun
keanggotaan yang didasarkan atas pemilihan umum sebagaimana dijanjikan tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Ini dikarenakan dengan sistem stelsel terdaftar
urutan calon anggota legislatif juga sangat ditentukan oleh Kepala Derah (KDH).
Praktek ini semakin nyata di era orde baru dimana para masa itu, seorang Kepala
Daerah secara otomoatis juga menjabat sebagai ketua penasehat GOLKAR, yang
nota-benenya adalah organisasi pemenang pemilu. Kritik yang

lebih jelas


mengenai bagaimana seharusnya tujuan desentralisasi dalam kerangka otonomi
daerah kala itu diungkapkan oleh Hoessein dalam pernyataan sebagai berikut:
“…tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintah di
Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan
politik dan kesatuan bangsa”. (Hoessein, 1996 : 4 – 12 )
Seiring dengan begulirnya reformasi di tahun 1998 yang juga menandai
berakhirnya era orde baru, ternyata berimbas pada munculnya dua perubahan
mendasar dalam diskursus politik di Indonesia. Pertama, hancurnya pandangan
bahwa pemusatan kekuatan politik adalah satu-satunya cara yang dianggap tepat

untuk mengelola dan mengawasi keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia.
Kedua, ada keinginan untuk memperluas pandangan diskursus tentang hak, karena
dulu pengertian hak merupakan wilayah penafsiran yang dikuasai oleh negara.
Bagi Negara Indonesia yang sampai saat ini selalu menekankan negara kesatuan,
kedua perubahan diskursus politik tersebut yang lebih jauh lagi tentang otoritas
negara, fungsi kelembagaan negara, peranan masyarakat dalam penyelenggaraan
dan kritik terhadap pembangunan, serta pengertian kewarganegaraan. Perdebatan

tersebut mengerucut pada persoalan yang sering disebut sebagai desentralisasi,
yaitu pembagian sebagian otoritas politik, otoritas pembuatan undang-undang, dan
otoritas fiskal ke pemerintah kabupaten/kota. Apabila desentralisasi merupakan
peluang untuk mencari konsep pengelolaan fiskal, kelembagaan negara,
instrument hukum, dan pengawasan wilayah yang lebih memperhitungkan
keseimbangan politik antara pusat dan daerah, konsep ini tidak serta merta
menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang berakar pada keanekaragaman
sosial, budaya dan agama. Maraknya konflik etnis di Kalimantan, Maluku,
Sulawesi dan beberapa tempat lain di Indonesia memperlihatkan “sisi kelabu
desentralisasi”. Meskipun desentralisasi merupakan sebuah keniscayaan dan
altenatif bagi sebuah negara yang pernah terjebak dalam rezim otoriter, pilihan itu
bukannya tidak mengandung persoalan, terutama apabila kita lebih jauh
menyoroti dinamika sosial dan budaya, dan tidak sekadar terbatas pada aspek
perubahan kelembagaan negara (Thufail dan Martin Ramstedt, 2011)
Terbukanya kran desentralisasi ternyata direspon oleh banyak daerah dan
komunitas

di

Indonesia.


Dengan

berbagai

motif

dan

argumen

maka

bermunculanlah daerah-daerah baru sebagai hasil pemekaran atau gabungan

beberapa daerah. Kondisi itu ternyata mendapat payung hukum yang diproduksi
secara politis di lembaga-lembaga politik. Fenomena kemunculan daerah baru
sebagai upaya mewujudkan otonomi daerah ternyata juga dapat dicermati pada
proses kelahiran Kabupaten Pakpak Bharat di Sumatera Utara.
Secara kultural, Pakpak Bharat bukan wilayah baru. Pada awalnya, secara

administratif formal kabupaten ini hanya terdiri atas tiga kecamatan dari
Kabupaten Dairi yang juga merupakan sub- kultur area suku Bangsa Pakpak.
Sebelum Belanda masuk ke wilayah ini, etnik Pakpak yang penduduknya tersebar
di Kabupaten Pakpak Bharat, Aceh Selatan, dan Dairi ini sudah mempunyai
struktur pemerintahan tersendiri.
Raja Ekuten atau Takal Aur bertindak sebagai pemimpin satu suak. Suku
Pakpak terdiri atas lima suak, yaitu suak simsim, keppas, pegagan, boang, dan
kelasen. Di bawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh pertaki.
Pada umumnya pertaki juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di
kampungnya. Di setiap kuta ada sulang silima, sebagai pembantu pertaki yang
terdiri dari perisang-isang, perekur-ekur, pertulan tengah, perpunca ndiadep, dan
perbetekken. Meski struktur pemerintahan ini sudah tidak dipakai lagi, tetap
dipertahankan sebagai sumber hukum adat budaya Pakpak
Hampir 90 persen penduduk di wilayah Pakpak Bharat beretnis Pakpak.
Berbeda dengan kabupaten induknya yang dihuni bermacam-macam suku, seperti
Pakpak, Batak Toba, Mandailing, Nias, Karo, Melayu, Angkola, dan Simalungun
serta suku lainnya dengan komposisi jumlah populasi yang relatif serimbang.
Agaknya, hal inilah yang menjadi pendorong wilayah Pakpak untuk memekarkan
diri. Selain Alasan utamanya adalah untuk mengoptimalkan penggarapan potensi,


percepatan pembangunan fisik, dan pertumbuhan ekonomi wilayah terutama
pembangunan sumberdaya manusia.
Perlu dipahami, secara emik etnik Pakpak mengelompokkan diri ke dalam
beberapa kelompok subsuku yang memiliki teritori identik. Pengelompokan ini
lebih dikenal dengan suak. Menurut Berutu dan Nurbani (2007) wilayah
komunitas Pakpak tradisional, tidaklah identik dengan wilayah administrasi
Kabupaten Pakpak Bharat. Ini dikarenakan kelompok suku pakpak tersebar di
beberapa wilayah kabupaten di Sumatera Utara dan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Dalam hal ini mengacu kepada sejarah kolonialisme khususnya
keresidenan dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan,
sehingga wilayah komunitas Pakpak terpecah ke berbagai wilayah seperti disebut
diatas. Lebih lanjut Berutu juga menceritakan bahwa berdasarkan dialek dan
Daerah Asal Tradisionalnya, wilayah Pakpak terbagi menjadi 5 (lima) sub, yang
dalam bahasa setempat disebut dengan Pakpak silima Suak, yakni Suak Pakpak
Simsim, Suak Pakpak Keppas, Suak Pakpak Pegagan, Suak Pakpak Kelasen, dan
Suak Pakpak Boang.Secara geografi sebenarnya kelima Suak tersebut menyatu
atau berbatasan langsung satu dengan yang lainnya. Khusus di Kabupaten Pakpak
Barat, komponen utama pembentuk penduduknya didominasi oleh suak etnik
Simsim tanpa mengabaikan Suak etnik lainnya.
Dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di daerah,

kehadiran suak etnik Pakpak jelas memberi pengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung. Hal ini dapat diketahui dari pengamatan awal yang
dilakukan yang memperlihatkan bahwa kehadiran komponen subkelompok etnik
yang diwakili oleh suak marga yang ada ternyata berkaitan dengan proses

pembentukan komposisi keanggotaan pada pranata Dewan Perwakilan Rakayat
Derah (DPRD). Memperhatikan bahwa kewenangan DPRD menjadi lebih kuat
dibandingkan era sebelumnya, maka perhatian atas komposisi pranata ini menjadi
menarik dikaji. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa di masa transisi di
daerah, pusat- pusat kekuasaan tidak lagi menumpuk pada figur Kepala Daerah
(eksekutif), tetapi mulai melebar kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah / DPRD ( Legislatif). Hubungan kerja di antara dua lembaga tersebut yang
di masa UU No. 5/74 bersifat hirarkis ( secara de facto DPRD berada di bawah
kekuasaan Kepala Daerah meskipun secara de jure sejajar ), kini di bawah UU
No.22/99 tentang

Pemerintahan Daerah, telah bergeser menjadi hubungan

kekuasaan yang sejajar, equal dan ini dipertegas melalui Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah No. 32/ 2004.

Pengambilan keputusan yang tadinya bisa diambil secara cepat/ sepihak
oleh kepala daerah, sekarang hal ini relatif sulit dilakukan karena harus melalui
dialog/ negosiasi dengan DPRD. Mungkin karena lambannya proses negosiasi,
salah satu petinggi dari Depdagri melihat DPRD sebagai lembaga penghambat
proses pengambilan keputusan, dan oleh karena itu DPRD dituduh sebagai pihak
yang menghambat pelayanan Publik. Atas dasar berbagai hal terkait dengan
kedudukan pranata politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang urgen,
maka kajian tentang representasi elemen masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat
pada pranata terebut menjadi relevan dilakukan. Kondisi ini tentunya didasarkan
pada adagium bahwa komposisi pranata politik tersebut akan semakin ideal dan
diharapkan fungsional jika merepresentasikan keragaman elemen yang ada di
masyarakat.

1.2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diungkapkan di atas, maka pokok
pembahasan dalam studi ini adalah :
1. Bagaimana kondisi perkembangan atau dinamika keterwakilan suak etnik

yang dalam hal ini diwakili oleh kelompok marga lokal dalam pranata
politik lokal
2. Hal-hal apa saja yang secara langsung mempengaruhi representasi
kelompok marga tersebut dalam pranata politik lokal (DPRD)?
3. Bagaimana prospek pembentukan keseimbangan pada pranata politik lokal
dikaitkan dengan keterwakilan elemen masyarakat termasuk kelompok
marga di Kabupaten Pakpak Bharat ?

1.3.

Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan Studi

1.3.1. Tujuan Pelaksanaan Studi
Pelaksanaan studi ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui bagaimana komposisi keanggotaan DPRD Kabupaten
Pakpak Bharat terpilih selama ini dikaitkan dengan reprensentasi suak
suku yang diwakili oleh kelompok marga yang ada
b. Mengetahui hal-hal apa saja yang ikut serta mempengaruhi represetasi
kelompok marga dalam pranata politik (DPRD) di tingkat lokal
c. Menggali hal-hal potensial yang secara langsung ikut serta dalam

pembentukan keseimbangan politik yang ditandai dengan representasi
kelompok marga secara ideal di tingkat lokal.

3.1.2. Manfaat Pelaksanaan Studi
Secara umum terdapat dua manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari
penelitian ini, yaitu 1) manfaat teoritis ataupun keilmuan dan 2) manfaat praktis.
Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan akan bisa memperkaya khasanah
pengetahuan dalam ranah studi pembangunan terkait dengan pembangunan politik
dengan dimensi etnisitas. Ini artinya pengetahuan tentang bagaimana konsepkonsep keilmuan terkait dengan etnisitas dapat mempengaruhi sistem politik akan
diperkaya melalui studi ini. Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan akan
diperoleh dari studi ini adalah diantaranya adalah:
1. Berguna

sebagai

bahan

pertimbangan

Pemerintah

(kususnya

Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat) dalam melakukan perencanaan
pembangunan khususnya pembangunan politik
2. Melengkapi bahan bagi institusi penyelenggara Pemilu dalam
menentukan daerah pemilihan pada Pemilu berikutnya sehingga lebih
representatif

secara

sosial-budaya

administrasi kewilayahan

di

banding

pertimbangan