Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan

(1)

PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN

TESIS

OLEH :

AMPE SAHRIANITA BOANGMANALU

077024002/SP

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI

POLITIK PEREMPUAN

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Magister Studi Pembangunan pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

AMPE SAHRIANITA BOANGMANALU

077024002/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Telah diuji pada

Tanggal 27 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Heri Kusmanto, MA Anggota : 1. Warjio, MA

2. Drs. Zakaria, MSP

3. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(4)

PERNYATAAN

PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2009


(5)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pandangan DPD PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada Tahun 2006-2009. (2) untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskripsi dengan pendekatan kualitatif. Informan yang diteliti adalah pengurus DPD PKS Pakpak Bharat dan anggota legeslatif perempuan DPRD Kabupaten Pakpak Bharat. Tehnik pengumpulan data berupa wawancara dengan seluruh informan dan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwanya DPD PKS Pakpak Bharat memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik di karenakan laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dan kesetaraan dalam mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi. Dukungan PKS untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan tertuang pada misi utama bidang kewanitaan yakni wanita keadilan harus mampu menjadi pelopor, fasilitator dan dinamisator bagi upaya perwujudan partisipasi politik perempuan yang dalam aktifitasnya harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah syar’i.

Hambatan dan kendala yang dihadapi perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat untuk masuk kedalam dunia politik (1) adanya perspektif masyarakat khususnya perempuan bahwa politik kotor dan licik sehingga perempuan enggan berkiprah didalam politik. (2) budaya maskulin dan sistem kerja politik. (3) rendahnya kesadaran politik perempuan dan masyarakat Pakpak Bharat. (4) kultur masyarakat Pakpak Bharat bersifat patrialis.

DPD PKS Pakpak Bharat berupaya menjalankan berbagai kegiatan guna meningkatkan partisipasi politik perempuan antara lain (a) membangun sistem dukungan keluarga, organisasi perempuan dan partai politik. (b) melakukan sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya perempuan agar tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.


(6)

ABSTRACT

The objective of this paper is (1) to know their basic view as DPD PKS Pakpak Bharat Board Committee against the women political participation particularly to provide a specific position for Pakpak Bharat scope in district of 2004-2009. (2) to know what valuable efforts as made to their capacity as PKS Pakpak Bharat mainly in their way to got women political participation.

The method of research adopted to this study well known a descriptive method with a qualitative approach. The information to evaluate are those committee members DPD PKS Pakpak Bharat and women legislative members on DPRD Kab. Pakpak Bharat. In collecting the data, it has been done by interview to all informant and also with library research.

On this study found that DPD PKS Pakpak Bharat openly give the opportunity to those women to take part actively and also hold equally treated in taking part in mandatory as khalifah on the world. In this case, the management of PKS seen to encourage the women political participation is declared in the political mission mainly in women society with the basic theme is own capability as the initiator, facilitator and dynamic actor primary in the efforts to realize the women political participation with the activity it must be adjusted to the syar’i principles.

The barriers and obstacles as to be faced by those women on Pakpak Bharat District is mainly their way to enter political atmosphere with the condition as following (1) it is found a society perspective particularly those women feel that there is always practiced a bad political issues and shy practices resulting in the women hesitate to take part in political atmosphere (2) for hold a masculine tradition treated mainly in political practices system and (3) due to a bad awareness in politic by those women and public and (4) social culture as held locally in Pakpak Bharat people with partial done.

The management of DPD PKS Pakpak Bharat always hold and try to give contribution to encourage public to give their best for the improvement as particularly to the women hold with politic in the following steps : (a) to develop a familiar supporting system involved women dominantly in politic, (b) perform socialization and give their way to encourage them also with education, to complete them with awareness and other right as daily activities.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WarohmatullahiWabarokatuh

Tiada daya dan upaya melainkan atas kehendak Allah SWT. Syukur terbaik hanyalah Kepunyaan-Nya, penguasa atas segala yang ada dibumi dan dilangit. Puji terbesar hanyalah milik-Nya, pemilik segala karunia yang melingkupi segenap makhluk diseluruh alam semesta. Atas setitik ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis ini.

Tesis ini berjudul “Pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap Partisipasi

Politik Perempuan”. Disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa dalam proses penyusunan Tesis ini melibatkan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil dalam bentuk dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran, informasi, data dan lain-lain. Semoga Allah SWT membalas kebaikannya, Amin.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulusnya terutama kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;


(8)

2. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara;

4. Drs. Heri Kusmanto, MA, selaku Pembimbing Pertama yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motifasi, bimbingan serta pencerahan intelektual yang sangat berkesan bagi penulis, sejak proses awal penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini selesai;

5. Drs. Warjio, MA, selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak memberikan dorongan dan saran serta dukungan moril dan upaya pencerahan intelektual, sejak proses awal penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini selesai;

6. Drs. Zakaria, MSP dan Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku dosen pembanding dalam ujian tesis yang telah memberikan masukan dan koreksinya demi penyempurnaan penyusunan tesis ini;

7. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu baik dibidang Akademik maupun Administratif;

8. Drs. H. Makmur Berasa, selaku Bupati Pakpak Bharat yang telah memberikan izin tugas belajar kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara;


(9)

9. Terimakasih khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda Ismail Boangmanalu, S.Ag dan Ibunda Taryah Berampu atas cinta dan kasih sayang yang begitu tulus.

10.Rangkaian terimakasih kepada saudara-saudara penulis yakni Yaumil Salim Boangmanalu dan Hernawaty Kudadiri, AMK, Pinta Malem Boangmanalu, S.S, S.Pd, Eva Anawinta Boangmanalu, S.Pd, Umar Yakup Boangmanalu, S.Ag. Mereka semua tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat sekaligus mendoakan penulis agar menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara;

11.Seluruh rekan-rekan seperjuangan angkatan XII MSP, terkhusus kepada Marly Helena S.Sos, Siti Erna Latifi S.SIt, Dina Anggita S.Sos terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya mudah-mudahan kita semua menjadi sukses, amin;

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang sedikit banyak memberikan bantuan dan peluang untuk penyelesaian penulisan tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat. Atas segala kekurangan Tesis ini, penulis mohon maaf. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Medan, Agustus 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

1. Nama : Ampe Sahrianita Boangmanalu 2. Tempat/Tgl Lahir : Barisan Nauli, 15 Maret 1980

3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Agama : Islam 5. Golongan Darah :O

6. Nama Orang Tua

Ayah : Ismail Boangmanalu,S.Ag Ibu : Taryah Berampu

7. Alamat : Jl. Pemuda No. 12 Sidikalang No. Telp (0627) 22289

II. DATA PENDIDIKAN

1. TK. Aisyah Sidikalang : Tamat Tahun 1986 2. SD Negeri 030281 Sidikalang : Tamat Tahun 1993 3. SMP Negeri 1 Sidikalang : Tamat Tahun 1995 4. MAN 1 Sidikalang : Tamat Tahun 1998 5. Universitas Riau : Tamat Tahun 2003 6. Magister Studi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana USU Medan : Tamat Tahun 2009

III.DATA PENGALAMAN KERJA

1. 2003-2007 Pegawai Bagian Ekbang Setda Kab.Pakpak Bharat.

2. 2007- Sekarang Plt. Kasubbag Kesra Bagian Ekbang Setda Kab.Pakpak Bharat. 


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 22

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 23

1.4. Kerangka Pemikiran ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 26

2.1. Pembangunan Politik ... 26

2.2. Pengertian Partisipasi Politik ... 33

2.3. Bentuk dan Klasifikasi Partisipasi Politik... 43

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik... 52

2.5. Peluang Perempuan Berpartisipasi dalam Politik ... 64

BAB III METODE PENELITIAN... 66

3.1. Jenis / Desain Penelitian ... 66


(12)

3.3. Informan... 67

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 68

3.5. Lokasi Penelitian... 69

3.6. Metode Analisis Data... 69

3.7. Jadwal Pelaksanaan... 69

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 70

4.1.1. Kondisi Geografis ... 70

4.1.2. Kondisi Demografis ... 71

4.2. Dinamika Politik Lokal... 72

4.3. Sejarah Singkat Partai Keadilan Sejahtera... 75

4.4. Struktur Kepengurusan DPD PKS Pakpak Bharat... 78

4.5. Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi ... Politik Perempuan Khususnya Dalam Jabatan Politik ... 80

4.6. Upaya Yang Dilakukan DPD PKS Pakpak Bharat untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan ... 98

BAB V PENUTUP... 114

5.1. Kesimpulan ... 114

5.2. Saran ... 116


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Jumlah anggota DPR RI hasil pemilu 2004 ... 13 2

Representasi Perempuan di DPR RI pada Tahun 1950-2004 ... 14

3 Data Pemenuhan Kuota 30 % Caleg Perempuan Partai Politik untuk DPRRI... 16 4

Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004... 17

5 Bentuk- Bentuk Partisipasi Politik... 45

6 Informan Penelitian... 68

7 Perolehan Kursi di Kabupaten Pakpak Bharat 2004-2009 ... 75

8 Komposisi Kepengurusan DPD PKS Pakpak Bharat Periode 2006-2009 ... 79

9 Keanggotaan DPRD Kab. Pakpak Bharat hasil Pemilu 2004... 92

10 Jenjang Keanggotaan PKS... 95

11 Komposisi caleg PKS Pakpak Bharat pada pemilu 2004 ... 96

12 Program Kerja Bidang Kewanitaan DPD PKS Pakpak Bharat Periode 2006-2009 ... 111


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Kerangka Pemikiran Pandangan PKS Pakpak Bharat

Terhadap Partispasi Politik Perempuan ... 25 2 Piramida Partisipasi Politik Menurut Roth dan Wilson... 48


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Surat Permohonan Izin Penelitian... 121 2 Pedoman Wawancara... 123


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001). Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara. Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik. Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak


(17)

mengatur persoalan ketatanegaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara.

Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam konteks Islam, kata politik sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan "tabiat atau sifat dasar". Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasa-yasusu-siyasatan yang berarti " mengurus kepentingan seseorang", dan dalam kamus al-muhith dikatakan sustu ar-ra’iyatan siyasatan yang berarti saya memerintah dan melarangnya. Dengan pengertian ini Ahmad Athiyan menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memerhatikan urusan rakyat. Lebih jelas Hasan al-banna menyatakan bahwa politik adalah memerhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, internal dan eksternal, secara individu dan masyarakat keseluruhannya; bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan tetapi juga mencakup upaya menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan dimana mekanisme kontrol berperan besar. (Saidah dan Khatimah,2001:134) Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Afkar as-Siyasiyah mendefenisikan politik adalah mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya.

Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah


(18)

tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il. Kepemimpinan para nabi atas Bani Isra`il bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar (Muin, 2002). Dengan demikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik).

Dalam Islam, pembicaraan tentang kedudukan wanita dan peran politiknya merupakan polemik dalam jangka waktu yang relatif lama, banyak didominasi oleh perhitungan-perhitungan historis dari prinsip-prinsip Islam. Salah seorang pemimpin gerakan fundamentalis Syekh Abbas al-Madany menyatakan bahwa perempuan hendaknya dikurung untuk mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Kaum fundamentalis rmemandang ketidaksejajaran (inequality) antara laki-laki dan wanita sudah merupakan takdir Tuhan. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa Islam secara intrinsik memang berwatak patriarki dan menentang hak-hak wanita. (Fatima Mernissi, 2001:182). Pandangan minor demikian ini tentunya kurang menguntungkan bagi Islam. Mohsin Araki dalam buku Membela Perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama, mengemukakan Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Tuhan menurut


(19)

keyakinan umatnya sebagai konstruksi agama yang komplit dan sempurna. Segala sesuatu telah diatur secara proporsional, termasuk yang menyangkut posisi wanita dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Islam mengakui hak dan kewajiban dengan demikian umat yang beragama Islam harus terikat oleh dua hal tersebut.

Berbicara tentang peran politik perempuan khususnya dalam dunia Islam, ada dua pendapat yakni pertama mereka yang tidak mendukung peran politik perempuan muslim. Kelompok ini mempunyai pandangan bahwa perempuan ditugaskan untuk mengurus hal-hal domestik, seperti mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan lain-lain. Dunia publik adalah wilayah laki-laki. Kelompok ini merujuk pada teks-teks Al-Quran dalam surah Annisa’ 34, Al-Baqarah 228, ditafsirkan Ibnu Katsir bahwa laki-laki memiliki kelebihan untuk menangani urusan publik terutama urusan politik. Dan surat Al-Ahzab ayat 34, dipahami sebagian ahli tafsir sebagai ayat yang mengharuskan perempuan untuk diam di dalam rumah. (Fatima Mernissi, 2001) Kelompok kedua, mendukung peran politik perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan al ahliyyah atau kemampuan-ksemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas-tugas pengaturan dunia ini. Laki-laki dan perempuan beriman, menurut al Qur-an saling bekerjasama untuk tugas keagamaan menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran (kerusakan sosial). Teks-teks al Qur-an juga menegaskan akan adanya


(20)

balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik tersebut.(Baca antara lain: Q.S. Ali Imran 195, al Nahl 97, al Taubah 71). Beberapa ayat al Qur-an ini dan masih ada ayat yang lain cukup menjadi dasar legitimasi betapa partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Partisipasi mereka menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah baiat (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka&rsquob, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi&rsquo bint alMursquo awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah (Khamenei, 2005:74). Peran politik yang dimaksud lebih praktis, seperti menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kelompok ini menganggap kaum perempuan diizinkan memangku jabatan politik seberat yang dipangku laki-laki. Secara normatif, kelompok ini juga mendasarkan diri pada sumber-sumber Islam seperti AlQuran dan Sunnah Nabi. Misalnya surat


(21)

At-Taubah ayat 71 mereka menganggap sebagai ayat yang menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kesempatan dalam politik.

Membahas tentang peran politik perempuan maka secara khusus hak politik perempuan tertuang dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Unconvention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dalam pasal tujuh disebutkan negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut: 1. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk

dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;

2. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;

3. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Pasal 7 tentang Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi


(22)

jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting.

Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditanda tanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya. Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi


(23)

mereka. Akan tetapi masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas. Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa Pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Belakangan ini pemerintah Indonesia bahkan telah mengambil beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan yang menyangkut jender, terutama masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action).

Hak politik perempuan dalam DUHAM (Deklarasi Universalitas Hak Asasi Manusia) tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Hak politik perempuan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Konvenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Pemenuhan hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM juga harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi negara, konstitusi (khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang Hak Asasi Manusia), dan sejumlah undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM.


(24)

Dalam konteks nasional, Indonesia memandang perlu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan dalam kerangka dan agenda besar guna menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Konteks Indonesia, permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti di bidang politik dengan rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan dan akses politik kaum perempuan. Semua merupakan akibat dari kuatnya budaya patriarki yang menyebabkan adanya bias gender dalam tatanan kehidupan masyarakat. (RPJMN 2004-2009 Bab 12)

Sepanjang tahun, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpenting yang mereka serukan adalah penerapan kuota 30% bagi perempuan dalam proses pemilu. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini sebagai topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia pada hasil pemilu Tahun 1999-2004 (baik di tingkat nasional maupun lokal) masih sangat rendah, yakni sekitar 9% kursi di DPR pusat, 5,2% kursi di DPRD, dan di DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi. Data tahun 2000 menunjukkan keterwakilam perempuan di MPR 8,06%, DPR 9 %, MA 14,89%, BPK 0%, DPA 4,44% (Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001) Alasan kedua berkaitan dengan alotnya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik sekarang mulai berusaha meningkatkan


(25)

kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu jender itu sebagai unsur yang penting di dalam proses demokratisasi. Masalah-masalah seperti, penerapan kuota untuk perempuan diberbagai tingkatan dan berbagai lembaga politik, masalah dampak sistem pemilu untuk perempuan serta implikasi peningkatan keterwakilan perempuan bagi partai politik menjadi isu penting yang banyak didiskusikan.

Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para aktivis perempuan partai dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan undang-undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga–lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim, mengakibatkan


(26)

keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan, meskipun menurut data BPS tahun 2000 jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki–laki berkisar 52%:48%.

Partisipasi politik perempuan dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu akses, kontrol, dan suara perempuan dalam proses pembuatan kebijakan (policy making process). Realitas menunjukkan bahwa dalam tiga aspek di atas keterlibatan perempuan Indonesia sangat kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa hingga saat ini keterwakilan perempuan dalam arena politik sangat minim. Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006 menyimpulkan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosiokultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat (keluarga). Di samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik disebabkan masyarakat masih menganut pemilihan yang tegas antara ruang publik dan ruang domestik.

Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.


(27)

Tabel 1. Jumlah anggota DPR RI hasil pemilu 2004

No Partai politik Perempuan Persentase Laki-laki Persentase Jumlah

1 Golkar 18 14 110 86 128

2 PDIP 12 11 97 89 109

3 PPP 3 5,17 55 94,82 58

4 Demokrat 6 10,52 49 89,47 55

5 PKB 7 13,46 45 86,53 52

6 PAN 7 13,46 46 86,53 57

7 PKS 3 6,66 42 93,33 45

8 PBR 2 15,38 12 84,61 14

9 PBB 0 0 11 100 11

10 PDS 3 25 9 75 13

11 PDK 0 0 4 100 4

12 PKPB 0 0 2 100 2

13 Partai Pelopor 1 33 2 66 3 14 PKP

Indonesia 0 0 1 100 1

15 PNI

Marhaenis 0 0 1 100 1

16 PPDI 0 0 1 100 1

Jumlah 62 11,27 487 88,73 550

Sumber : DPR RI 2004

Pada tahun 1999-2004 representasi perempuan hanya memperoleh 9% persen dari jumlah total wakil-wakil di DPR-RI. Ini adalah angka terendah jumlah wakil perempuan sejak Pemilihan Umum tahun 1987, seperti pada tabel berikut.


(28)

Tabel 2. Representasi Perempuan di DPR-RI pada tahun 1950-2004

Pemilu Tahun

Perempuan Persentase Laki-laki Persentase

1950-1955 9 3,8 236 96,2

1955-1960 17 6,3 272 93,7 1956-1959* 25 5,1 488 94,9 1971-1977 36 7,8 460 92,2 1977-1982 29 6,3 460 93,7 1982-1987 39 8,5 460 91,5 1987-1992 65 13 500 87 1992-1997 65 13 500 87 1997-1999 54 10,8 500 89,2

1999-2004 45 9 500 91

2004-2009 62 11,27 487 88,73%

*Berdasarkan Pemilu 1955 anggota DPR RI berjumlah 272 orang, tetapi presiden Soekarno membentuk Dewan Konstituante untuk merevisi konstitusi. Dewan Konstituante dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1959 karena terjadi pertentangan yang tajam. Pembubaran konstituante dilakukan melalui dekrit presiden, 5 Juli 1959.

Sumber: Sekretariat DPR, 2001. Data dirumuskan ulang oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2002. Dengan tingkat representasi seperti ini, IPU menempatkan Indonesia pada posisi ke-83 dalam bidang Representasi Perempuan di Parlemen (Maret 2002).

Dengan disahkannya Undang-undang pemilu 2004 yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tercantum “setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR baik DPRRI, DPR propinsi, dan DPR Kabupaten/kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.


(29)

Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat. Sebagaimana juga banyak yang pesimis dan bahkan justru merasa ini adalah sebuah perlakuan diskriminatif. Mereka yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu bentuk affirmative policy untuk mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan. Sedangkan pandangan diskriminatif berawal dari penolakan pandangan bahwa perempuan hanya dinilai dari sekedar jumlah (kuantitatif) dan maka dari itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga menegaskan agar perempuan dinilai dari sudut pandang kualitas, bukan kuantitas.

Untuk memenuhi amanah dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 harus diakui, daftar caleg perempuan yang diajukan PKS dalam pemilu 2004 untuk DPR RI mencapai 40,3%, jauh melebihi kuota 30%. (data terlampir)


(30)

Tabel 3. Data Pemenuhan kouta 30% Caleg Perempuan Partai Politik untuk DPRRI

No Partai Politik Perempuan ( %) Laki-laki (%) Total

1 PNI Marhaines 60 (27,9) 155 (72) 215 2 PBSD 90 (37,1) 152 (62,8) 242 3 PBB 80 (23,8) 256 (76,1) 336 4 Merdeka 72 (35,6) 130 (64,3) 202 5 PPP 111 (22,3) 386 (77,6) 497 6 PPDK 74 (32,7) 150 (67,2) 223 7 PPIB 94 (32,7) 150 (67,2) 223 8 PNBK 64 (29,2) 152 (70,3) 216 9 Demokrat 117 (27) 316 (72,9) 433 10 PKPI 97 (38,8) 153 (61,2) 250 11 PPDI 91 (35,1) 168 (64,8) 259 12 PPNUI 78 (38,4) 125 (61,5) 203 13 PAN 182 (35) 338 (65) 520 14 PKPB 149 (35,9) 265 (64) 414 15 PKB 170 (37,6) 281 (62,3) 451 16 PKS 180 (40,3) 266 (59,6) 446 17 PBR 100 (31,5) 217 (68,4) 317 18 PDIP 158 (28,3) 400 (71,6) 558 19 PDS 87 (30,7) 196 (69,2) 283 20 GOLKAR 185 (28,3) 467 (71,6) 652 21 Patriot Pancasila 51 (29,4) 122 (70,5) 173 22 Syarikat Islam 101 (38,6) 160 (61,3) 261 23 PPD 64 (34,2) 123 (65,7) 187 24 PELOPOR 53 (30,4) 121 (69,5) 174 Sumber : DPR RI, 2004

Peserta Pemilu 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, 5 diantaranya adalah Partai Politik Islam (lihat tabel 4). Partai Keadilan Sejahtera salah satu peserta pemilu Tahun


(31)

2004 yang awalnya adalah Partai Keadilan di Pemilu 1999 namun dikarenakan tidak bisa meraih dukungan 2 % (electoral thereshold) maka untuk mengikuti Pemilu 2004 Partai Keadilan melakukan fusi dengan PKS pada tahun 2002.

Tabel 4. Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004

No Nama Partai Politik Singkatan

1 Partai Persatuan Pembangunan PPP 2 Partai Keadilan Sejahtera PKS 3 Partai Bintang Reformasi PBR 4 Partai Bulan Bintang PBB 5 Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia PPNUI

Sumber : Komisi Pemilihan Umum Tahun 2004

PKS adalah salah satu bintang pada pemilu 2004. Tiga peneliti dari Reform Institute yakni Yudi Latif, Aay M Furkan dan Edwin Arifin mencoba menelaah fenomena PKS sebagai salah satu partai politik Islam yang tidak berkaitan dengan parpol Islam selama orde baru. Pengamatan selama lima bulan itu mereka rangkum dalam laporanya Rethingking Islam, Reinventing Democracy. Para peneliti menilai aktivis PKS merupakan generasi baru dari sebuah pergerakan Islam yang termarjinalkan oleh orde baru. Ditengah marjinal itu generasi ini mampu berkonsolidasi, melakukan kaderisasi dan memanifestasikan diri dengan coraknya yang khas. Meski terpingirkan mereka tidak gagap politik, hal ini terlihat dari penampilan PKS yang elegan dalam dua kali pemilu.

Direktur Eksekutif Reform Institude, Yudi Latif, mengatakan PKS tampak ideal. Tidak heran katanya bila Francois Raillon (2004) dari CNRS, Belgia menganggap keberadaan PKS yang fenomenal mampu menghentikan stagnasi Islam politik yang


(32)

diawali dan disebabkan oleh partai politik Islam lain. PKS menurutnya adalah righteous redeemer (ratu adil saleh) yang muncul sebagai alternatif politik menawarkan citra, disiplin, pemikiran murni, bebas korupsi dan bermoral bersih.(Republika, senin 13 Juni 2005)

Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai politik yang memainkan peranan yang khas selaku partai yang berasaskan Islam. (www.pks.go.id). Partai ini menarik untuk diangkat karena banyak pemberitaan media, seperti pada harian Seputar Indonesia, 3 Juni 2008, Hajriyanto Y Thohari, seorang pengamat kenegaraan, menulis bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai primus inter minus malum, yakni partai yang secara organisasional dan kedisiplinan paling baik di antara semua partai-partai lain yang rata-rata buruk. PKS berhasil membuktikan diri sebagai satu-satunya partai politik yang solid, hidup, dan kuat. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa kata partai, itulah kata anggotanya. Sementara dalam partai-partai politik lain, mulai ada problem solidaritas dan soliditas: apa kata partai, tidak selalu paralel dengan apa kata anggota. Jadi keunggulan PKS adalah keunggulan komparatif karena partai-partai yang lain buruk. (www.okezone.com)

Pada Januari 2004 polling dilakukan Liputan 6 SCTV dengan hasil yang spektakuler. PKS muncul sebagai "partai yang disukai pemirsa" dengan 45,16% dari keseluruhan pemilih, jauh mengungguli PDIP 6,47%) dan Golkar 5,59%. Sementara Ketua Umum PKS Dr. Hidayat Nur Wahid, sebagai calon presiden pilihan responden terbanyak, hingga tulisan ini naik cetak, mendapatkan 119.145 suara (30,79%),


(33)

mengalahkan Ketua Umum PAN Prof. Dr. Amien Rais (23,63%) dan Ketua Umum PDIP Megawati Taufik Kiemas (3,76%).

Meski diragukan tingkat validitasnya, namun hasil itu, karena disiarkan terus menerus, tak urung mempengaruhi peta dukungan masyarakat terhadap PKS. PKS dan Hidayat menjadi pembicaraan dimana-mana. Tak cuma di kota-kota besar, juga di desa-desa. Sebuah radio swasta terkemuka di Jakarta saat membincangkan kemenangan PKS. PKS dan Hidayat menjadi buah bibir di kampungnya. Dan sehari setelah SCTV menayangkan keunggulan PKS, sekelompok pelajar SLTA yang merupakan pemilih pemula mendatangi kantor DPP PKS untuk menggali informasi ihwal partai yang jadi pilihan pemirsa itu. Poling SMS itu sendiri menimbulkan pro dan kontra. Lemahnya metodologi pada poling SMS di televisi itu tak urung menuai kritik dan kecaman. Dalam hal ini suara keras datang Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dr. Denny JA. Menurut Denny, hasil poling itu tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan menyesatkan masyarakat. Denny menekankan agar pihak media yang mengadakan poling semacam itu memberikan keterangan yang menyolok mata bahwa itu hiburan belaka.(www.dudung.net)

Keberadaan PKS kian disorot publik. Tidak hanya ditanah air tapi juga di dunia internasional. Salah satunya yang menjadi pusat perhatian adalah ideologi partai yang sarat dengan nilai-nilai Islam, disamping para kadernya dari pusat hingga ranting memiliki integritas terhadap agama. Mungkin itulah sebabnya, Dr. Ken Miichi, guru besar dan pengamat internasional dari Universutas Kyoto, Jepang, saat diwawancarai oleh wartawan The Jakarta Post berkomentar, They practice democracy. They are totally


(34)

different from fundamentalist. Demonstrations by Partai Keadilan Sejahtera are very Peaceful and about half of the demonstrations are women. So this is a significant movement, and very different form past islamicmovement. (Jakarta Post, 21 September 2002).

Atau Komentar Greg Burton, Dosen senior Universitas Deakin, Australia, yang dikutip Media Indonesia, 19 Februari 2004. Greg mengatakan PKS kelihatan bersih, sederhana, canggih dalam khazanah pemikiran dan metode pendekatan. Yang lebih penting lagi, PKS Setelah tumbuh pola perekrutan kader berasaskan kepemimpinan yang didasarkan atas prestasi, bukan jenis kelamin maupun keterikatan etnis dan politis. Antara lain dengan kesempatan yang diberikan PKS kepada kaum muda lebih banyak tampil membuktikan diri. Itu belum terjadi dipartai-partai lain. Ini salah satu kelebihan PKS.

Djony Edward dalam kata penghantar bagi bukunya Efek Bola salju Partai Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa PKS hadir sebagai sebuah partai politik yang tampilannya berbeda dibandingkan dengan partai politik yang ada. Mengingat PKS sebagai parpol tidak hanya mengedepankan aspek politis dalam sepak terjangnya, tapi juga menjadikan moral agama sebagai basis gerakannya. Sehingga tidak jarang PKS dijuluki sebagai parpol dakwah atau parpol yang tampilannya labih dirasakan sebagai gerakan dakwah.

Data menunjukkan, Partai Keadilan Sejahtera berhasil meningkatkan suara secara signifikan dari 1,4% dalam Pemilu 1999 menjadi 7,3% popular vote dalam Pemilu 2004. PKS berhasil merebut 45 kursi dari 500 kursi yang tersedia di parlemen pusat. Menurut


(35)

Tifatul Sembiring Presiden PKS, partainya memiliki 8,3 juta konstituen dan 500 ribu kader aktif di seluruh nusantara (Republika, 17 Nopember 2004). Sedangkan, menurut Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS, 57% dari kader aktif PKS adalah perempuan.

Partisipasi politik kader perempuan PKS jelas tidak bisa dipungkiri, mengingat mereka tidak saja aktif di hari H pencoblosan, tapi juga berkampanye secara massif untuk menarik pemilih baru sesuai target yang ditentukan. Meminjam bahasa Nursanita Nasution, anggota parlemen perempuan dari PKS, setiap kader perempuan sadar betapa krusialnya waktu lima menit di dalam bilik suara, dan karenanya mereka diniscayakan untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partai dakwah ini (Media Indonesia, 5 Februari 2004).

Dari fenomena yang telah penulis kemukakan diatas maka penulis berkeinginan kuat untuk melakukan riset tentang pandangan PKS tentang partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pakpak Bharat adalah Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Dairi yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2003. Pemilihan Umum pada Tahun 2004 adalah pemilihan legeslatif yang pertama dilaksanakan dengan sistem pemilu langsung. Hal ini merupakan pengalaman pertama bagi masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat yang baru lepas dari Kabupaten induknya (Dairi).

Riset ini akan mencoba melihat bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya terhadap perempuan yang duduk dijabatan politik. Disamping itu, akan juga meneliti upaya apa yang dilakukan PKS untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Hal ini penting dilakukan agar kita dapat


(36)

menghasilkan rekomendasi guna peningkatan kualitas partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat pada masa yang akan datang.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2006-2009 ?

2. Upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk meningkatkan partisipai politik perempuan pada tahun 2006-2009 ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, maka peneliltian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2006-2009.

2. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2006-2009.


(37)

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi pemerintah atau bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan dan merancang strategi untuk memberdayakan dan mencerdaskan perempuan dalam bidang politik. 3. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan

dalam melakukan pendidikan politik bagi perempuan.

4. Bagi Program Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diharapkan dapat menambah ragam penelitian yang ada dan tambahan literature untuk penelitian-penelitian dimasa yang akan datang.

1.4. Kerangka Pemikiran

Peneliti mencoba melihat bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perrempuan khususnya perempuan yang duduk dalam jabatan politik. Peneliti juga memperdalam penelitian dengan melihat hambatan perempuan Pakpak Bharat untuk masuk dalam dunia politik dan menganalisis upaya yang dilakukan PKS Pakpak Bharat guna menningkatkan patisipasi politik.


(38)

PANDANGAN PKS PAKPAK  BHARAT TERHADAP  PARTISIPASI POLITIK 

PEREMPUAN 

JABATAN POLITIK  KHUSUSNYA LEGESLATIF 

HAMBATAN PEREMPUAN  PAKPAK BHARAT MASUK 

KEDUNIA POLITIK 

UPAYA MENINGKATKAN  PARTISIPASI POLITIK 

PEREMPUAN

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan


(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagaimana dipahami, bahwa dalam studi ini ditemukan setidaknya dua tema utama, yakni partisipasi politik perempuan dan Partai Keadilan Sejahtera. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan digali sejumlah teori dan beberapa bahan atau informasi yang penting menyangkut kedua tema diatas. Kedua tema tersebut, khususnya studi ini harus diletakkan dalam konteks studi pembangunan. Oleh karena itu, studi tentang partisipasi politik perempuan akan dicari titik temunya dengan pembangunan politik, yang dianggap segmen yang paling dekat dalam konteks studi pembangunan. Dalam kerangka teori akan diuraikan juga pengertian dan hakikat dari pembangunan politik.

2.1. Pembangunan Politik

Menurut salah seorang sarjana terkemuka dalam bidang teori pembangunan politik, Pye menguraikan dengan jelas berbagai pandangan mengenai pembangunan politik. Berdasarkan hasil penelahaan atas teori yang berkembang, menurut Muhaimin dan Andrews dalam Pye menyatakan sepuluh defenisi dan hakikat pembangunan politik yakni: (1) Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi. (2) Pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri. (3) Pembangunan politik sebagai modernisasi politik. (4) Pembangunan politik sebagai operasi negara-negara. (5) Pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum. (6) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan partisipasi massa. (7)


(40)

Pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. (8) Pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur. (9) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. (10) Pembangunan politik sebagai satu segi proses perubahan sosial yang multidimensi. (Muhaimin dan Andrews, 1991:5-15)

Untuk lebih meneliti berbagai definisi pembangunan politik Pye menjelaskan ciri-ciri pembangunan politik yang paling dapat diterima umum dan fundamental dalam pemikiran umum mengenai masalah-masalah pembangunan politik. Pye menyatakan tiga ciri pokok pembangunan politik yakni:

Pertama, semangat dan sikap umum terhadap persamaan (equality). Pye menjelaskan equality berkenaan dengan pertama masalah partisipasi massa. Partisipasi yang dimaksud mungkin berujud mobilisasi demokratis atau totaliter, tetapi yang penting adalah bahwa semua orang harus menjadi warga negara yang aktif. Kedua berkenaan dengan hukum juga harus bersifat universal yang dapat diterapkan pada semua orang dan pelaksanaanya kurang lebih bersifat impersonal. Hal ini menyangkut pembinaan sistem hukum, dengan kodifikasi hukum dan prosedur-prosedur hukum yang jelas. Dengan kata lain semua orang berkedudukan yang sama terhadap hukum tampa diskriminasi. Ketiga berkenaan dengan rekrutmen jabatan politik harus mencerminkan kecakapan berdasarkan prestasi dan bukan pertimbangan status berdasarkan sistem sosial tradisionil. Dengan asumsi bahwa dalam sistem politik yang sudah maju orang harus menunjukkan jasa yang cukup untuk menduduki jabatan pemerintahan dan harus lulus ujian kecakapan yang kompetitif.


(41)

Ciri pokok yang kedua adalah kapasitas atau kesanggupan dari suatu sistem politik. Kapasitas berkaitan dengan output sistem politik dan seberapa jauh sistem politik dapat mempengaruhi sistem sosial dan sistem ekonomi. Kapasitas juga berhubungan dengan prestasi pemerintah dan keadaan yang mempengaruhi prestasi tersebut. Pye menjabarkan kapasitas dalam tiga hal, pertama kapasitas melihat masalah besarnya, ruang lingkup dan skala prestasi politik dan pemerintahan. Sistem yang telah maju dianggap bisa berbuat lebih banyak dan dapat mencakap berbagai kehidupan sosial yang lebih luas dari pada sistem yang belum maju. Kedua, kapasitas berarti efektif dan efisien dalam pelaksanaan kebijaksanaan umum. Sistem yang sudah maju dianggap tidak hanya dapat berbuat lebih banyak dari sistem yang belum maju, tetapi juga dapat bekerja lebih cepat dan teliti. Hal ini berhubungan dengan profesionalisme pemerintah. Sehingga dengan efisiensi dan efektifitas menghasilkan prestasi yang diakui secara universal. Ketiga, diferensial dan spesialisasi. Hal ini berlaku khususnya dalam analisa lembaga dan struktur. Jabatan dan struktur pemerintah masing-masing memiliki fungsi tersendiri, terbatas dan ada pembagian kerja didalam pemerintahan. (Muhaimin dan Andrews, 1991:17)

Dengan tiga ciri pembangunan politik tersebut yakni persamaan (equality), kapasitas dan diferensiasi sebagai inti proses pembangunan Pye mencatat bahwa menurut sejarah biasanya terjadi ketegangan yang akut antara tuntutan akan persamaan, kebutuhan kapasitas dan proses diferensiasi yang lebih besar. Penekanan yang lebih besar atas masalah persamaan dapat menganggu kapasitas dari suatu sistem, dan deferensiasi dapat


(42)

mengurangi kadar persamaan karena deferensiasi mementingkan kwalitas dan pengetahuan spesialis.

Jadi Pye pola-pola pembangunan dapat dibedakan berdasarkan sistem yang ditempuh masyarakat dalam usaha menangani masalah yang berlain dari gejala pembangunan (development syndrome) sehingga dalam pengertian ini pembangunan bukan proses yang unilinear (searah dan menaik) bukan pula proses yang diatur berdasarkan tahap yang berbeda tegas, tetapi ditentukan oleh luasnya cakupan masalah yang timbul baik secara terpisah maupun bersamaan.

Dalam usaha untuk mencari pola dari proses pembangunan yang berbeda ini perlu diperhatikan tiga hal yakni pertama, masalah persamaan biasaanya berkaitan erat dengan budaya politik, keterikatan dan keabsahan terhadap sistem. Kedua masalah kapasitas berkaitan dengan prestasi dari struktur pemerintahan yang memiliki wewenang resmi (authoritative) dan ketiga, masalah diferensiasi berkaitan dengan prestasi struktur yang tidak memiliki weweng resmi (nonauthoritative) dan dengan proses politik dalam masyarakat, sehingga menurut Pye akhirnya masalah pembangunan politik akan berkisar pada masalah hubungan antara budaya politik, struktur-struktur yang berwewenang dan proses politik umumnya.

Chicote (2003:368) pembangunan politik menekankan percabangan politik dari pembangunan dan memisahkan pembangunan politik dari pembangunan ekonomi. Ada tiga tipe kelompok menurut Ronald yaitu (pertama) berasosiasi dengan gagasan demokrasi (kedua) fokus pada aspek pembangunan dan perubahan politik (ketiga) menguji krisis dan konsekuensi-konsekuensi pembangunan politik. Untuk melengkapi


(43)

teori diatas, maka perlu dipahami makna dan hakekat dari modernisasi politik yang berhubungan dengan pembangunan politik.

Menurut Welch (Muhaimin dan Andrews, 1991:34-35) proses modernisasi politik memiliki tiga ciri pokok, pertama peningkatan pemusatan kekuasaan pada negara dibarengi dengan melemahnya sumber-sumber wewenang kekuatan tradisionil, kedua diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga politik, ketiga peningkatan partisipasi rakyat dalam politik dan kesediaan individu-individu untuk mengidentifikasi diri dalam sistem politik sebagai satu keseluruhan. Jadi modernisasi politik pertama-tama menyangkut pengalihan kekuasaan secara dramatis pusat wewenang kekuasaan.Sistem politik yang sudah dimodernisasikan menjadi rumit sekali karena modernisasi melipat gandakan volume, ruang lingkup dan efisiensi dari keputusan-keputusan resmi. Organ-organ pemerintah harus mengembangkan tingkat diferensiasi strukturil dan meningkatkan spesialisasi fungsionalnya.

Aspek ketiga dari modernisasi merupakan yang paling sulit dicapai sikap-sikap rakyat harus dirubah, sifat partisipasi politik harus diganti. Kesadaran yang meluas akan partisipasi dalam politik nasional merupakan ciri masyarakat moderen. Partisipasi timbul dari meningkatnya partai politik dan kelompok kepentingan. Jadi pola moderenisasi politik yang teratur mensyaratkan adanya transformasi sikap-sikap yaitu perubahan secara dramatis dari praktek-praktek sosial dan tradisionil ke modernisasi politik.

Pembangunan politik mengandung tiga dimensi yang satu dengan yang lain saling berkaitan yakni yang pertama dimensi preventif (pencegahan), dimensi pencegahan


(44)

dimaksud untuk mencegah hal yang meyimpang dan berlawanan dengan cita-cita semula, contohnya pada masa orde baru ideologi komunis dilarang.

Selanjutnya adalah dimensi pemeliharaan, dimana dalam hak ini meperhatikan atau memelihara apa-apa yang sudah ada dan merupakan bagian yang integral dari sistem politik yang ingin dibangun. Perhatian utama dari pemeliharaan adalah bagaimana lembaga-lembaga politik yang ada bisa terpelihara dan berfungsi sebagaimana mestinya. Contohnya pada masa orde baru adalah Partai Golkar dan pemilu yang diselenggarakan secara teratur.

Yang ketiga adalah dimensi pengembangan, melihat masalah pembangunan politik pada kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas suatu sistem politik sehingga mampu menyelesaikan secara memuaskan beban-beban berat yang berasal dari dinamika perkembangan masyarakat. Perubahan yang terjadi didalam masyarakat melahirkan berbagai persoalan dan tantangan yang perlu dijawab oleh sistem politik yang berlaku. Meningkatnya aspirasi dengan sendirinya menghendaki pengembangan kapasitas dan kapabilitas sistem politik.

Sementara itu Ramlan Surbakti (Ramlan, 1992:238-239) menilai adanya hubungan yang erat antara pembangunan politik, modernisasi politik dan perubahan politik. Pembangunan dan modernisasi politik merupakan perubahan politik tetapi tidak sebaliknya. Menurutnya dalam konsep pembangunan sedikit banyaknya terkandung adanya upaya yang disengaja, relatif terencan, memiliki sasaran yang jelas, proses yang evolusioner dan tidak mengandung kekerasan. Pembangunan politik dilihat dari implikasi politik dari pembangunan, sasaran yang hendak dicapai dengan pembangunan politik


(45)

tidak hanya sistem politik demokrasi tetapi juga kemampuan-kemampuan lain yang dianggap penting untuk suatu sistem politik agar dapat lestari.

Sedangkan Rauf (1994) berpandangan bahwa pembangunan politik tidak lain sebagai demokratisasi kehidupan politik dengan tujuan yang ingin dicapai, terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dimana suara rakyat merupakan pedoman bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya dan rakyat memiliki kebebasan termasuk kebebasan menjalankan pengawasan terhadap pemerintah.

2.2. Pengertian Partisipasi Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Dalam kamus Litre mendefenisikan politik sebagai ilmu memerintah dan mengatur Negara sementara konsep lain mengatakan bahwa politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia (Hamid, 2001:3)


(46)

Disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. 3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan

kekuasaan di masyarakat.

4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Kata partisipasi merupakan hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan atau berperan serta. Peran politik terkait erat dengan aktivitas-aktivitas politik mulai dari peranan para politikus profesional, pemberian suara, aktivitas partai sampai demonstrasi. Secara umum apa-apa saja yang menjadi indikator bagi peran atau partisipasi politik adalah menarik apa yang diawarkan Rush dan Althoff mengenai hierarki peran atau partisipasi politik.

Anggota masyarakat suatu negara mempunyai hak-hak tertentu yang juga harus diperhatikan oleh negara melalui aktifitas pemerintahannya. Dalam hubungannya dengan hak-hak ini, Jellienk membagi hak-hak ini berdasarkan dua tolak ukur yaitu perbedaan antara hak aktif dan hak pasif, serta hak positif dan negatif. Dengan hak aktif seorang warga masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut secara aktif bail langsung maupun tidak langsung dalam mengatur dan menyelenggarakan negara, sedangkan dengan hak pasif seorang warga masyarakat bisa dipilih, ditunjuk, diangkat untuk melaksanakan


(47)

tugas-tugas kenegaraan. Sementara hak positif yang melekat padanya, warga masyarakat akan menerima sesuatu dari negara dan pemerintah, sedangkan hak negatif seorang warga masyarakat harus rela mengorbankan sesuatu untuk negara dan pemerintahnya. Salah satu hak dan kewajiban warga masyarakat yang erat hubungannya dengan hak aktif adalah partisipasi politik.

Lebih jauh lagi Locke menyatakan bahwa yang disebut hak-hak politik rakyat adalah hak-hak yang mencakup hak atas hidup, kebebasan serta hak milik. Sedangkan Montesquie mencoba menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik itu yang dikenal dengan trias politikal. Lebih lanjut Jellinek menjelaskan bahwa partisipasi politik diartikan sebagai suatu usaha terorganisir dari para warga negara untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum.

Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance) dan juga politik secara luas semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi.

Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai Partisipasi secara harfiah dimaknai sebagai pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols, 1996:419).


(48)

Rousseau dalam bukunya The Social Contrac mengatakan, partisipasi sangat penting bagi pembagunan diri dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal ini ditegaskan Mill, bahwa tanpa partisipasi nyaris semua orang akan ditelan oleh kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka yang berkuasa. Di sini partisipasi dalam kata lain menjadi ukuran adanya kemandirian dan kedewasaan individu (warga) dalam melihat batasan antara kepentingan privat dan publik. Urusan publik memiliki hukum dan nilainnya sendiri yang tidak bisa dicampur adukkan dengan urusan privat. Maka dari itu, penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang karena melukai partisipasi dan melanggar hukum publik. Dalam konteks ini, partisipasi menjadi fungsi demokrasi, agar kekuasaan selalu berorientasi pada publik. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran elementer, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara.

Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan yang otoriter, fasis dan anti demokrasi biasanya menenggelamkan adanya partisipasi politik warga. Urusan kekuasaan disederhanakan hanya sebatas milik para elite politik. Sedangkan rakyat dikondisikan


(49)

kearah apatisme. Dalam pemikiran Abrahamsen, apatisme sebenarnya merupakan produk sosial, ekonomi dan pengaturan politik tertentu. Seperti di masa orde baru, berbagai regulasi digunakan untuk membungkam partisipasi politik rakyat. Rakyat tidak bebas berekspresi, berorganisasi. Adanya perbedaan pendapat, kritik dan protes massa dikendalikan dengan teror, kekerasan dan bentuk-bentuk represi lainnya.

Menurut Huntington dan Nelson (1994: 6) partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat idividual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap sporaadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Partisipasi mencakup kegiatan-kegiatan tidak mencakup sikap-sikap. Sementara para ahli lain mendefenisikan Partisipasi politik mencakup orientasi-orientasi para warga negara terhadap politik, serta prilaku politik mereka yang nyata. Hal ini dapat terwujud dalam pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan terhadap kompetisi, dan keefektifan politik, persepsi-persepsi tentang relevansi politik yang semua ini berkaitan dengan tindakan politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanan keputusan serta merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalm kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.


(50)

Menurut Rush dan Althoff (1993:23) partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Surbakti (1984:140) bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.

Budiarjo (1998:9) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup pemberian suara lewat pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (conctracting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Sementarara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa teori. Pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.(Sastroatmodjo, 1995:74-75)

Goel dan Olsen dalam buku Sastroatmodjo (1995:77) memandang partisipasi sebagai dimensi utama kehidupan stratifikasi sosial. Menurut mereka partisipasi dibagi dalam enam lapisan yakni pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang


(51)

menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi politik lainnya pada orang lain), warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi pertama, partisipasi yang bersifat sukarela (otonom). Kedua, atas desakan orang lain (mobilisasi). Hal ini senada dengan Nelson yang menyatakan dua sifat partisipasi yakni autonomous partisipation (partisipasi otonom) dan mobilized partisipation (partisipasi yang dimobilisasi).

Menurut Sastroatmojo (1995:68) pengertian partisipasi dibatasi oleh beberapa hal. Pertama, partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Kedua, yang dimaksud dalam partisipasi politik itu adalah warga negara biasa bukan pejabat pemerintah. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terlepas apakah tindakan-tindakan tersebut legal atau tidak. Keempat, partisipsi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah terlepas dari kegiatan tersebut efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi berupa kegiatan mmempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung, maksudnya apakah pelaku tersebut langsung berhubungan dengan pemerintah atau melalui perantara dalam menyampaikan aspirasinya.

Menurut Hasyim di antara peran politik perempuan yang dimaksud adalah: peran memberikan suara pada pemilihan, peran untuk menjadi anggota legislatif/ parlemen dan peran menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan atau Presiden. Sementara menurut Fanin peran perempuan dalam politik dapat dikelompokkan kepada tiga peran,


(52)

peran normative, peran memilih atau dipilih dalam suatu proses Pemilihan Umum, perempuan memperoleh hak-hak politiknya untuk memilih atau dipilih setelah kemerdekaan yaitu dalam Pemilu 1955. Peran aktif, sebagai fungsionaris partai politik atau sebagai anggota legislatif dan peran pasif, turut berpartisipasi dalam mengontrol jalannya pembangunan.

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam sistim demokrasi, bahkan yang mendasari demokrasi adalah nilai-nilai partisipasi. Karena partisipasi adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. (Surbakti, 1992:141) Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Hungtington, dan Nelson (1994:6) berpendapat bahwa: partisipasi politik merupakan kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, dan partisipasi dapat bersifat individual atau kelompok. Wiener dalam Huntigton (1994:10) menekankan sifat sukarela dari partisipasi dan mengemukakan menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat umum atas perintah pemerintah, tidak termasuk (partisipasi politik).

Dari berbagai defenisi yang diberikan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa konsep partisipasi politik mengacu pada kegiatan warga Negara pada dua hal pokok yaitu pada proses pemilihan penguasa (pemerintah) dan pengawasan pada aktifitas penguasa yang terpilih. Aktifitas kedua ini berupa kegiatan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (kebijakan).


(53)

Setelah mengetahui konsep partisipasi politik maka partisipasi bukanlah hal yang susah bahkan partisipasi politik tampak sederhana dan mudah dilakukan, maka partisipasi dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh para aktivis perempuan pada hakekatnya adalah usaha menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh perempuan. Secara umum partisipasi tidak hanya pada bidang politik akan tetapi dalam segala bidang kehidupan perempuan mempunyai hak dan kewajibannya untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif, hanya saja karena selama ini terjadi kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh produk-produk kebijakan yang bias gender. Sehingga dibutuhkan perjuangan keras dan holistic dari segenap perempuan dalam segala lini, terlebih pada lini politik, karena sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan. Menurut Lester dalam bukunya Political Participation, menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu : partisipasi politik yang berhubungan pada output proses politik (disebut partisipasi pasif) dan pada input proses politik (disebut partisipasi aktif), dimana aktivitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan. Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus difahami dan diikuti, baik laki-laki atau pun perempuan. Yang dikatakan oleh Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga-lembaga pemerintahan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan tidak hanya aktivitas yang ada pada tingkat elit tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic yang menyertakan analisis pada aktivitas-aktivitas berbagai kelompok yang terorganisir di luar pemerintahan dengan memberikan penekanan pada individu-individu, kepentingan-kepentingan bersama dan nilai normatif.


(54)

Sehinga berpartisipasi tidak sekedar ikut – ikutan tanpa tujuan dan arah yang jelas bagi setiap anggota akan tetapi dalam proses partisipasi keterlibatan secara aktif mental, emosi dan prilaku untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan menjadi bagian yang penting.

Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan. Partisipasi politik menurut Closky merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Budiarjo, 1998:2).

Ditegaskan oleh Moore (1988) bahwa salah satu ciri yang penting dari kedudukan perempuan dalam masyarakat ialah mereka adakalanya mempunyai kekuasaan politik tetapi tidak mempunyai kekuatan, legitimasi, dan otoritas. Dalam banyak sistem politik di dunia sekarang ini, perempuan mempunyai kekuasaan politik, misalnya mereka mempunyai hak suara. Akan tetapi, mereka kurang memiliki otoritas yang nyata dalam menjalankan kekuasaan tersebut (Moore, 1988:134). Berdasarkan definisi partisipasi politik diatas, maka penyusun dapat menarik satu definisi tentang partisipasi politik, yaitu keterlibatan warga negara dalam jabatan politik khususnya dalam legeslatif dan struktur partai.


(55)

2.3. Bentuk dan Klasifikasi Partisipasi Politik

Lebih lanjut Huntington dan Nelson (1994:16-19) menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan atau prilaku yakni:

1. Kegiatan pemilihan mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi lainnya;

2. Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan meeka mengenai persoalan yang menyangkut kepentingan umum;

3. Kegiatan organisasi, menyangkut patisipasi sebagai anggota dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah; 4. Mencari koneksi, (cantacting) merupakan tindakan perseorangan yang ditujukan

terhadap pejabat pemerintah dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu orang atau sekelompok orang;

5. Tindak kekerasan (Violence), sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadapap orang atau benda. Oleh karena itu kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang lebih kuat kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik, mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah atau merubah seluruh sistem politik (revolusi).


(56)

Almond (1984) menglasifikasikan kegiatan partisipasi dengan pendekatan konvensional dan non konvensional, Kegiatan politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern sedangkan nonkonvensional termasuk yang beberapa mungkin legal maupun illegal penuh kekerasaan dan revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas system politik, integritas kehidupan politik kepuasaan dan ketidak puasaan warga negara. Hal ini dapat diijelaskan dengan tabel berikut:

Tabel 5. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Konvensional Nonkonvensional

Pemberian suara Pengajuan petisi Diskusi politik Berdemonstrasi Kegiatan kampanye Konfrontasi Membentuk dan bergabubg dalam

kelompok kepentingan

Tindakan kekerasan politik terhadap harta benda

Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrasi

Tindakan kekerasan politik terhadap manusia

Perang gerikya dan revolusi

Sumber :Almond (1984)

Bentuk partisipasi politik yang berupa pemberian suara (voting) merupakan suatu bentuk yang paling umum digunakan dari masa lampau sampai sekarang, baik dalam masyarakat tradisionil maupun moderen. Disamping itu pemberian suara boleh jadi merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar di berbagai masyarakat. Bentuk partisipasi politik lewat pemberian suara dewaasa ini tidak lagi dikaitkan dengan system politik yang sedang berlangsung di suatu negara. Dengan kata


(57)

lain aktifitas pemberian suara tidak tergantung apakah negara yang bersangkutan menggunakan cara-cara demokrasi atau totaliter dalam pemerintahannya.

Bagi negara yang bersistem demokrasi persoalan partisipasi politik dalam bentuk pemberian suara ini bukanlah persoalan yang rumit karena aktifitas pemberian suara selaras dengan sikap demokrasi tersebut. Carter dan Herz mengatakan bahwa demokrasi memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk mengadakan eksperimen, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak-hak politik sipil yang sangat mendasar disamping adanya penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan.

Bentuk partisipasi politik yang lain menurut Budiarjo (1985) adalah kegiatan kampanye, kagiatan kampanye biasanya dilakukan sebelum kegiatan pemberian suara atau pemungutan suara. Ditinjau dari segi kuantitasnya lebih banya dibandingkan dengaan diskusi politik namun dari segi kualitas tampak adanya dua kelompok dalam kegiatan tersebut. Yang pertama pada kelompok mayoritas yang kegiatannya terbatas. pada ikut-ikutan saja tanpa didasari kejernihan berfikir serta strategi tertentu dan kelompk yang kedua adalah kelompok minoritas yang selain aktif dalam kegiatan kampanye juga berperan sebagai penggerak atau motornya. Secara sederhana Budiarjo (1985) membagi partisipasi dalam dua bentuk. Bentuk partisipasi aktif antara lain memberikan suara dalam pemilu, turut serta dalam demontrasi ataupun memberikan dukungan keuangan dengan memberikan sumbangan. Bentuk partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang sebentar-bentar misalnya dalam diskusi politik informal oleh individu-individu dalam keluarga masing-masing, ditempat kerja maupun antara sahabat-sahabat.


(1)

Ulfiah, Ufi. 2007. Perempuan di Panggung Politik , Jakarta: Rahima Jakarta.

Weld, Claude E. 1991. Studi Perbandingan Modernisasi Politik dalam Yahya Muhaimin & Colin Mac Andrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik , Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Zaidi, Nur Hasan. 2007. Mereka Bicara PKS, Telaah Objektif Perjalanan Dakwah Politik PKS, Bandung: Fitrah Rabbani.

Website :

Husein Muhammad, 2004. Partisipasi Politik Perempuan, (Online), www.islamlib.com, diakses pada tanggal 1 April 2008.

IDEA, 2002. Laporan Lokakarya IDEA, (online), www.idea.int, diakses pada tanggal 2 April 2008.

Thohary.HY, 2008. PKS Partai Primus Inter Minus Malum, (Online), www.news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008, diakses tanggal 24 Desember 2008.

Denny, JA, 2004. Hasil Polling Menyesatkan, (Online), www.dudung.net/print-artikel/perang-poling-dukungan-kelas-menengah-pada-pks.html15k, diakses tanggal 24 Desember 2008.

Djony, 2006. Efek Bola Salju, (Online) http://www.pks.go.id , diakses pada 24 Desember 2009.

Sumber lain:

Miichi,Ken. 21 September 2002, Demonstrations are Keadilan Sejahtera, Jakarta Post. Nursanita. 5 Februari 2004, Perempuan PKS, Media Indonesia.

Burton, Greg. 19 Februari 2004, Fenomena PKS, Media Indonesia. Latif Yudi. 13 Juni 2005, Meramal Masa Depan PKS, Republika. Tifatul. 17 Nopember 2004, PKS Dalam Pemilu 2004, Republika. Tempo, 28 Juli 2005.


(2)

Lampiran 2: Daftar Pedoman Wawancara

Wawancara ini merupakan wahana untuk menggali informasi mengenai pandapat informan yang berkaitan dengan judul penelitian tesis “PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN”. Jawaban yang Bapak/Ibu berikan tidak akan mempengaruhi keberadaan Bapak/Ibu karena penelitian ini semata-mata untuk keperluan akademis. Untuk itu kami mengharapkan informasi serta jawaban yang sesungguhnya (objektif) dari Bapak/Ibu sesuai dengan pandangan Bapak/Ibu mengenai hal tersebut.

Atas bantuan dan partisipasinya saya ucapkan terimakasih. WAKTU WAWANCARA

Hari :

Tanggal : Pukul :

IDENTITAS RESPONDEN

A. PERTANYAAN UNTUK PENGURUS DPD PKS KAB.PAKPAK BHARAT DAFTAR PERTANYAAN INI DIISI OLEH PENELITI

PADA SAAT WAWANCARA DENGAN INFORMAN

1. Nama      : 

2. Umur      : 

3. Jenis Kelamin    : 

4. Status perkawinan  : 

5. Pendidikan Terakhir  :  6. Jabatan dalam Partai  : 

7. Alamat      : 

8. No. Telp (Hp)    : 

9. Pengalaman Organisasi :   


(3)

A. PERTANYAAN UNTUK PENGURUS DPD PKS PAKPAK BHARAT

1. Berapa orang perempuan yang duduk dalam struktur DPD PKS Pakpak Bharat periode 2004-2009?

2. Bagaimana sistem rekruitmen yang dilakukan DPD PKS Pakpak Bharat untuk duduk dalam struktur partai?

3. Untuk duduk dalam struktur partai apakah harus melalui training? Training apa saja yang harus diikuti?

4. Menurut Bapak/Ibu perlukah saat ini perempuan terjun dalam jabatan politik khususnya duduk distruktur partai atau menjadi Aleg diKab. Pakpak Bharat ? Alasannya ……….

5. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap perempuan yang terjun dalam jabatan politik?

6. Sebahagian masyarakat Islam melihat perempuan tidak layak memiliki keterlibatan dibidang sosial politik karena khawatir terjadi pencampuran (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menurut DPD PKS mengenai hal ini ? 7. Banyak yang beranggapan bahwa dalam Islam perempuan hanya mengurus

hal-hal yang bersifat domestik, bagaimana menurut Bapak/Ibu?

8. Bagaimana kebijakan partai Bapak/Ibu mengatur tentang kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan Negara?

9. Bagaimana pandangan DPD PKS Pakpak bharat mengenai kedudukan perempuan dalam jabatan politik dan terhadap perannya dalam jabatan tersebut?

10. Dalam menjalankan perannya sebagai partai politik hambatan atau kendala apa yang dihadapi dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kab. Pakpak Bharat, khususnya meningkatkan partisipasi perempuan untuk duduk dalam struktur partai atau menjadi Aleg?

11. Menurut bapak/Ibu apakah kultur atau budaya lokal mempunyai pengaruh terhadap keterlibatan perempuan dalam politik dikab. Pakpak Bharat?


(4)

13. Adakah kebijakan secara umum dalam DPD PKS Pakpak Bharat Bapak/Ibu terhadap perempuan yang duduk dalam jabatan politik?

14. Apa saja kebijakannya dan bagaimana implementasinya di Kab.Pakpak Bharat? 15. Strategi apa yang diterapkan DPD PKS Pakpak Bharat guna meningkatkan

partisipasi politik perempuan?

CATATAN TAMBAHAN:

……… ……… ………

B. PERTANYAAN UNTUK ANGGOTA LEGESLATIF YANG BERASAL DARI PKS

1. Sebelum menjadi Aleg apakah ibu terlebih dahulu duduk dalam struktur PKS Pakpak Bharat?

2. Bagaimana sistemnya ibu masuk menjadi Aleg Kab. Pakpak Bharat?

3. Dalam pandangan Ibu bagaimana perempuan yang terjun dalam jabatan politik? Apakah tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan ?

4. Dalam pandangan Ibu bagaimana perempuan yang terjun dalam jabatan politik? Apakah tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan ?

5. Menurut Ibu perlukah saat ini perempuan terjun dalam jabatan politik khususnya diKab. Pakpak Bharat? Alasannya ………

6. Bagaimana ibu melihat partisipasi perempuan dalam jabatan politik di Kab.Pakpak Bharat?

7. Sebagai anggota legeslatif apakah ibu meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga untuk terjun dalam jabatan politik?

8. Bagaimana ibu menjalankan tugas dan peran ibu dalam keluarga dan sebagai anggota legeslatif?


(5)

9. Sebahagian masyarakat Islam melihat perempuan tidak layak memiliki keterlibatan dibidang sosial politik karena khawatir terjadi pencampuran (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menurut Ibu mengenai hal ini ?

10. Banyak yang beranggapan bahwa dalam Islam perempuan hanya mengurus hal-hal yang bersifat domestik, bagaimana menurut Ibu?

11. Bagaimana kebijakan partai Ibu mengatur tentang kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan Negara?

12. Bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat mengenai kedudukan perempuan terhadap perannya dalam politik?

13. Dalam Struktur DPRD Kab. Pakpak Bharat Ibu diamanahkan di komisi apa? Apa saja tugas dan fungsinya?

14. Apa saja yang kontribusi ibu selama menjabat menjai Aleg di kab.Pakpak Bharat? 15. Dalam menjalankan perannya sebagai anggota legeslatif diKab. Pakpak Bharat

hambatan atau kendala apa yang dihadapi dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan?

16. Menurut Ibu apakah kultur atau budaya lokal mempunyai pengaruh terhadap keterlibatan perempuan dalam politik diKab.Pakpak Bharat?

17. Menurut Ibu peluang apa yang dimiliki perempuan diKab.Pakpak Bharat untuk berpartisipasi dalam jabatan politik?

18. Adakah kebijakan secara umum dalam partai Ibu terhadap perempuan yang duduk dalam jabatan politik?

19. Apa saja kebijakannya dan bagaimana implementasinya di Kab.Pakpak Bharat? 20. Strategi apa yang diterapkan Ibu selaku Anggota DPRD Pakpak Bharat guna

meningkatkan partisipasi politik perempuan?

CATATAN TAMBAHAN :

……… ……… ……….


(6)

C.PERTANYAAN UNTUK CALEG PEREMPUAN PKS DALAM PEMILU 2004-2009

1. Sebelum menjadi Caleg apakah ibu terlebih dahulu duduk dalam struktur PKS Pakpak Bharat?

2. Bagaimana sistemnya ibu masuk menjadi Caleg dari PKS Kab. Pakpak Bharat? 3. Dalam pandangan Ibu bagaimana perempuan yang terjun dalam jabatan politik?

Apakah tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan ?

4. Dalam pandangan Ibu bagaimana perempuan yang terjun dalam jabatan politik? Apakah tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan ?

5. Menurut Ibu perlukah saat ini perempuan terjun dalam jabatan politik khususnya diKab. Pakpak Bharat? Alasannya ………

6. Bagaimana ibu melihat partisipasi perempuan dalam jabatan politik di Kab.Pakpak Bharat?

7. Sebagai Caleg apakah ibu meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga untuk terjun dalam jabatan politik?

8. Sebahagian masyarakat Islam melihat perempuan tidak layak memiliki keterlibatan dibidang sosial politik karena khawatir terjadi pencampuran (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menurut Ibu mengenai hal ini ?

9. Banyak yang beranggapan bahwa dalam Islam perempuan hanya mengurus hal-hal yang bersifat domestik, bagaimana menurut Ibu?

10. Menurut Ibu apakah kultur atau budaya lokal mempunyai pengaruh terhadap keterlibatan perempuan dalam politik diKab.Pakpak Bharat?

11. Menurut Ibu peluang apa yang dimiliki perempuan diKab.Pakpak Bharat untuk berpartisipasi dalam jabatan politik?

12. Bagaimana kondisi perempuan PKS di Kab.Pakpak Bharat?

13. Apa saja yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan partisipasi politik khususnya yang duduk dalam struktur partai?

14. Issue apa yang Ibu angkat ketika melaksanakan kampanye pada pemilu 2004-2009?