Representasi Kelompok Marga (Suak) Dalam Kekuasaan Di Tingkat Lokal: Kasus Di Pakpak Bharat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Konsep Etnisitas dan Kelompok Marga di Etnis Pakpak
Membicarakan representasi kelompok marga dari sebuah etnik di ranah

politik hanya akan sempurna bilamana pemahaman akan konsep etnik juga
dilakukan. Kajian tentang etnik dan atau etnisitas telah banyak dilakukan oleh
para ahli ilmu sosial. Disiplin ilmu yang paling getol melakukan kajian tentang
etnisitas adalah antropolgi, sosiologi dan ilmu politik. Banyak sudah pengertian
yang diberikan para ahli menyangkut defenisi umum tentang etnik dan etnisitas.
Menurut De Vos (1982:9) golongan etnik dapat dipahami sebagai suatu golongan
manusia yang mempunyai kesadaran bahwa mereka mempunyai seperangkat
tradisi yang berbeda dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat di mana
mereka hidup. Tradisi-tradisi tersebut adalah; 1) kepercayaan dan praktek
keagamaan (akidah dan amal keagamaan), 2) bahasa, 3) rasa kesinambungan
sejarah, dan 4) nenek moyang atau tempat asal bersama. Sementara itu seorang
antropolog, Frederick Barth (1969) mengungkapkan bahwa kelompok etnis adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. secara umum melestarian diri mereka secara biologis
2. memiliki bersama nilai-nilai kultural yang mendasar, yang terwujud dalam
bentuk-bentuk perilaku kultural
3. membangun satu forum komunikasi dan interaksi yang khas, dan
9

4. punya suatu ukuran keanggotaan untuk mengenali diri sendiri, dan
mengenali orang lain, sehingga mereka membentuk satu kategori yang
khas, yang berbeda dari kategori-kategori yang lain.
Dalam sebuah tulisan, Marzali (2009) mengungkapkan bahwa bila
dikaitkan dua pedapat ahli ( De Vos dan F Barth) maka akan dapat dilihat
kesamaan pemahaman pada beberapa sisi. Apa yang disebut “tradisi” oleh De Vos
menurut Marzali dapat dikaitkan dengan usaha untuk “melestarikan diri” seperti
yang dikatakan Barth. Lebih lanjut Marzali juga menjelasakan bahwa sebuah
golongan etnik tidak mungkin akan terus hidup dan lestari dengan tradisi-tradisi
kulturalnya di dalam suatu masyarakat yang majemuk, tanpa ada tekad dan usaha
dari anggota golongan tersebut untuk terus melestarikan diri mereka secara
biologis dan kultural. Dengan adanya usaha pelestarian ini maka anggota-anggota
golongan etnik tersebut dapat mengenali siapa yang termasuk ke dalam golongan
dan siapa yang di luar golongan.

Pembicaraan konsep etnik tidak akan bisa bisa melepaskan diri dari
solidaritas yang dituntut lahir dari individu-individu yang merasa satu etnik.
Kesadaran identitas ini menjadi penting sebab dalam banyak kasus dorongan
untuk memperjelas jati diri identitas inilah banyak muncul dinamika hubungan
sosial yang kadang menjurus destruktif. Konflik etnik, pertarungan politik secata
terbuka sering sekali merupakan sarana serta menjadi hasil akhir dari upaya
mengungkapkan ekspresi identitas etnik. Mengenai hal ini seorang ilmuwan
lainnya, Isaacs (1993) menjelaskan bahwa kesadaran identitas yang dimiliki
sekelompok orang bisa lahir karena beberapa hal. Secara spesifik Isaacs
mengatakan bahwa terdapat dua unsur pokok yang amat penting dalam

memebntuk identitas dasar kelompok (termasuk kelompok etnis) yaitu, (a)
kepribadian individu dan pengalaman hidup serta (b) rasa memiliki dan kualitas
rasa harga diri. Pada tataran yang lebih umum, Isaacs juga mengungkapkan bahwa
kesadaran identitas yang dimiliki sekelompok orang bisa muncul karena hal-hal
berikut: kesamaana bentuk tubuh, kesamaan tempat lahir, nama dan pola
penamaan, bahasa, sejarah dan asal usul, agama serta nasionalitas. Komponenkomponen dasar pembentuk indetitas tersebut dalam perkembangan kehidupan
manusia memiliki kontribusi yang berbeda di setiap tempat dan masa dalam
mempengaruhi pembentukan ekpresi kelompok termasuk kelompok etnis.
Pembicaraan tentang konsep etnisitas dapat diurai melalui dua perspektif,

yaitu perspektif esensialis dan konstruktivistik (Lefaan, 2012). Dalam pandangan
esensialistik, konsep etnisitas dipahami sebagai entitas yang tetap, baku, dan
berorientasi pada karakter biologis. Secara esensial, pemahaman akan etnisitas
ditandai dengan munculnya rasa primordial dalam diri individu secara alamiah
sejak kelahiran terjadi. Merujuk pendapat Geertz (1992) dalam bukunya Tafsir
Kebudayaan yang merupakan terjemahan dari The Interpretation of Kultur,
penggunaan konsep primordial merujuk pada anggapan bahwa etnisitas adalah
sebuah identitas yang telah dibawa seseorang sejak lahir. “Primordial” merupakan
sesuatu yang bersifat askriptif dan melekat pada setiap orang. Dalam bagian
lainnya Lefaan (2012) yang mengutip Pendapat Barker mengungkapkan bahwa
perspektif esensialisme mengasumsikan bahwa kata-kata memiliki acuan tetap
dan kategori sosial mencerminkan identitas esensial yang melandasinya.
Berdasarkan pemahaman ini akan ditemukan suatu kebenaran tetap dan esensial,
misalnya berupa feminitas atau identitas kulit hitam (Barker dalam Lefaan, 2012)

Sementara itu, perspektif konstruktivistik beranggapan bahwa melihat
konsep etnisitas sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi
penganut persepektif ini, identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat
bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah (Hall dalam
Lefaan, 2012). Dengan pemahaman seperti ini, maka identitas enik harus dilihat

sebagai sesuatu yang bersifat situasional dan mengambang. Dengan kata lain,
identitas etnik harus dilihat sebagai sesuatu yang cair atau dapat berubah sesuai
dengan wadahnya. Dengan demikian, perspektif ini melihat bahwa identitas etnik
merupakan sesuatu yang bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan kebutuhan
sebagai contoh, seorang yang berasal dari Sulawesi Selatan yang di kampung
halamannya tidak pernah mempersoalkan identitas etniknya, begitu berada di
Sabah karena harus berkerja segera bisa menangkap kebutuhan demi survival-nya
untuk menyebut dirinya sebagai orang Melayu. Kesamaan agama yang dianut
orang Bugis dan orang Melayu, yaitu Islam, memudahkan bagi orang Bugis untuk
mengaku sebagai orang Melayu dan dengan demikian akan diperoleh privileseprivilese sebagai layaknya orang Melayu atau Bumi Putera Malaysia.
Menurut pandangan konstruktivistik identitas etnik memiliki batas-batas
(ethnic boundaries) yang membuatnya berbeda dengan identitas etnik yang lain.
Dalam banyak hal, batas-batas identitas etnik inilah yang dapat digeser-geser
sesuai dengan situasi dan konteksnya. Batas-batas identitas ini, dengan demikian,
merupakan sesuatu yang dapat dinegosiasikan (negotiating boundaries) sehingga
bisa menjadi sesuatu yang bersifat instrumentalistik. Dalam pandangan antiesensialisme, sangatlah jelas bahwa kelompok-kelompok etnis tidak berdasarkan
pada faktor-faktor primordial atau karakter kebudayaan universal yang membuat

terbentuknya kelompok etnis tertentu atau spesifik, tetapi terbentuk melalui
praktek-praktek yang tidak berkaitan satu sama lain. Etnisitas dibentuk oleh

identitas kelompok dan diidentifikasi oleh tanda-tanda dan simbol-simbol dan
kesepakatan etnisitas. (Lefaan, 2012)
Terlepas dari berbagai pandangan para ahli di atas, diakui atau tidak
konsep etnis dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih sangat mempengaruhi
gerak dinamika msayarakat. Kenyataan ini lahir sebagai konsekwensi tipikal
masyarakat yang masih menganggap penting kejelasan asal asul diri sebagai alat
bantu untuk mengidentifikasi diri, proses pemanfaatan identitas kelompok etnik
ini berlangsung hampir di semua bidang kehidupan termasuk kehidupan politik.
Atas dasar itulah mengapa pemahaman konsep etnik ini menjadi perlu dalam
membicarakan representasi kelompok marga dalam ranah kekuasaan di tingkat
lokal.
Merujuk berbagai pendapat di atas, maka terminologi etnisitas yang paling
umum dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan manusia yang memiliki identitas
bersama yang cenderung merasa terikat secara genealogi dan memiliki
seperangkat kebudayaan yang dianggap bisa membedakan kesatuan tersebut
dengan kesatuan hidup manusia lainnya. Menggunakan pemahaman ini, maka
penjelasan etnik Pakpak dalam kajian ini menjadi lebih mudah dimengerti.
Secara umum Pakpak digolongkan sebagai bagian dari suku bangsa Batak,
seperti halnya Toba, Simalungun, Karo dan Mandailing (liat Coleman, 1983 dan
Lister dan Nubani, 2007). Pernyataan ini dapat diterima bila dilihat secara umum

pula karena dari segi sistem kekerabatan dan struktural sosial memiliki
kesamaan – kesamaan. Demikian juga dari segi komunitas, etnis- etnis tersebut

hidup

berdampingan

di

wilayah

Sumatera

Utara.

Namun

demikian,

pengelompokan etnik Pakpak sebagai bagian dari etnik Batak tidaklah tepat.

Kondisi ini dikarenakan terminologi Batak sendiri tidak pernah dikenal dalam
kebudayaan orang Pakpak secara emik. Keberlangsungan pandangan yang
menempatkan etnik Pakpak sebagai bagian dari Batak lebih dikarenakan aspek
politis semata. Ketidak tepatan pandangan yang selama ini menempatkan
Pakpak sebagai subkultur Batak juga tidak tepat karena secara substansi banyak
sekali unsur-unsur kebudayaan Pakpak yang tidak sama atau identik dengan
suku-suku lain yang selama ini juga dianggap sebagai sub suku Batak. Untuk
menghindari kerancuan dan pengertian umum pemakaian konsep etnik maka
dalam studi ini etnik Pakpak dianggap etnik tersendiri yang bukan menjadi
subetnik atau bahkan subkultur dari Batak. Secara kulutural, orang Pakpak dapat
mengklasifikasikan dirinya ke dalam lima bagian komunitas berdasarkan
wilayah komunitas marga dan dialek bahasa yang dikenal, yakni :
1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak
ulayat di wilayah Simsim. Misalnya Marga Berutu, Sinamo, Padang,
Solin Banurea, Boangmanalu, Cibro, Sitakar, dll. Dalam administrasi
pemerintah Republik Indonesia saat sekarang wilayah ini adalah
Kabupaten Pakpak Bharat yang dimekarkan dari Kabupaten Dairi
tahun 2003
2. Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek
Keppas. Misalnya Marga ujung, Bintang, Bako, Maha, dll. Dalam

administrasi pemerintah mencakup wilayah Kecamatan Silima

Pungga- pungga, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Parbuluan dan
Kecamatan Sidikalang dan lain – lain di Kabupaten Dairi
3. Pakpak Pegagan, yakni Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan.
Misalnya Marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Sikettang,
dll.Dalam administrasi Pemerintahan wilayah ini termasuk dalam
Kecamatan Sumbul, Kecamatan Pegagan Hilir dan Kecamatan Tiga
Lingga dan lain- lain di Kabupaten Dairi.
4. Pakpak Klassen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek
Klassen. Misalnya, Marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak
Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dll. Dalam administrasi
Pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini sejak tahun 2003 berada
di Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Perlilitan dan
Kecamatan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah ( Kecamatan
Barus ).
5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang.
Misalnya, Marga Sambo, Penarik dan Saraan. Dalam administrasi
Pemerintahan Republik Indonesia Wilayah ini berada di Wilayah Aceh
Singkil (Coleman, 1983; Berutu, 1994; Berutu dan Nurbani, 2007 )

Bila dilihat dari susunan penduduk, wilayah orang Pakpak Keppas dan
Pegagan saat ini sudah heterogen dari segi etnik maupun budaya. Malah dari segi
kwantitas mereka menjadi minoritas dibanding etnik Toba. Hal yang sama juga
ditemukan di wilayah Klassen yang walaupun masih tergolong homogen dari segi
komposisi etniknya tapi pengaruh kebudayaan Toba sangat menonjol di wilayah
tersebut. Berbeda dengan Pakpak Simsim dan Boang yang masih homogen baik

dari segi etnis maupun orientasi Budaya. (Berutu, 2007: 3 - 4). Berkenaan dengan
kedua suak terakhir, Simsim dan Boang, merupakan komponen utama atau
dominan yang masyarakatnya menjadi unsur pembentuk komposisi penduduk
Kabupaten Pakpak Bharat.

2.2. Teori Representasi dalam Politik
Secara teoritik, pembicaraan mengenai konsep representasi banyak digunakan
oleh ilmuwan dengan latar belakang yang berbeda. Menurut Lefaan (2012) Dalam
kajian budaya dan media, representasi adalah merupakan konsep kunci. Bahkan
bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi,
yang

didefinisikan


sebagai

bagaimana

dunia

ini

dikonstruksi

dan

direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural
studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi
representasi. Ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual.
Ia juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada
beragam konteks. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu,
mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program
televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks

sosial tertentu (Barker dalam Lefaan, 2012).
Sementara itu, konsep representasi dalam politik dipahami sebagai kondisi
yang mempertimbangkan keberadaaan wakil-wakil dari elemen masyarakat dalam
pranata politik. Begitu pentingnya konsep representasi dapat dilihat dari pendapat
Hanna Fenichel Pitkin (1969) yang mengemukakan bahwa “the representative
system is the modern form of democracy” yang berarti bahwa representasi adalah

inti dari dalam politik modern. Dalam konsepsi representasi dari Hanna Pitkin,
ada empat cara memandang representasi politik.
Pertama, dalam perspektif otorisasi, representasi sebagai pemberian dan
pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai person yang diberi kewenangan untuk
bertindak. Ini menyiratkan bahwa wakil diberi hak oleh yang diwakili untuk
bertindak, yang sebelumnya tidak dimilikinya. Sebaliknya terwakil yang
memberikan beberapa haknya, harus menjadi bertanggungjawab atas konsekuensi
tindakan yang dilakukan oleh wakil. Pandangan otorisasi ini memusatkan pada
formalitas

hubungan

keduanya

atau

yang

disebut

sebagai

pandangan

“formalistik”. Jadi teori formalistik berpusat pada otorisai artinya mereka yang
berada dalam struktur formal yang merepresentasi.
Kedua,

representasi

deskriptif,

seseorang

dapat

berpikir

tentang

representasi sebagai “standing for” segala sesuatu yang tidak ada. Person bisa
berdiri demi orang lain, menjadi substitusi untuk orang lain, atau mereka cukup
menyerupai orang lain. Representasi deskriptif menggambarkan bahwa wakil
mendeskripsikan konstituen, biasanya ditandai dengan karakteristik yang nampak
seperti warna kulit, gender, kelas sosial. Model ini dipahami sebagai kesamaan
deskripsi antara wakil dengan yang diwakili. Ciri pandangan ini kebanyakan
dikembangkan di antara yang membela representasi proporsional, bahkan
pandangan ini dianggap sebagai prinsip fundamental representasi proporsional
yang berupaya menjamin bahwa badan perwakilan mencerminkan hitungan
matematis “more or less”. Proporsionalitas wakil ini berkait dengan komposisi
komunitas, sebagai kondensasi dari keseluruhan, sehingga proporsionalitas wakil
ini menghendaki metapora peta. Badan perwakilan sebagai peta yang ditarik dari

skala konfigurasi fisik dan sebagai keseluruhan copy yang selalu memiliki
proporsi yang sama sebagaimana yang asli. Dalam pandangan ini secara
sederhana pratana politik menjadi replika dari kondisi utuh masyarakat pemilik
sistem politik.
Ketiga, representasi simbolik berarti merepresentasikan sesuatu yang
bukan merepresentasikan fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan
peta atau potret, tetapi dengan sombol, dengan disimbolkan atau diwakili secara
simbolik. Meskipun sebuah simbol merepresentasikan “standing for” segala
sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Simbol memiliki ciri yang
membantu

merasionalisasi

signifikansi

simboliknya,

sehingga

simbol

mensubstitusi yang diwakili dan symbol mensubstitusi apa yang disimbolkan.
Baik pandangan formalistic maupun deskriptif tidak relevan dikaitkan
dengan merepresentasi aktivitas tetapi lebih relevan dikaitkan dengan representasi
karakteristik. Di samping itu, representasi deskriptif maupun simbolik menjadi
suplemen

bagi

pandangan

yang

formalistic.

Representasi

deskriptif

memperkenalkan ide pentingnya wakil menyerupai konstituen. Sedangkan
representasi simbolik masyaratkan peran keyakinan irasional, yang diabaikan oleh
pandangan formalistic dan pentingnya penerimaan konstituen. Representasi
deskriptif atau simbolik biasanya dekat dengan obyek bukan dekat dengan
aktivitas maka wakil kerapkali tidak merepresentasi dengan melakukan sesuatu
sama sekali. Artinya representasi tidak dalam makna berbicara tentang peran,
kewajibannya dan apa yang ditampilkan oleh wakil. Realisme tindakan
representasi deskriptif dan simbolik ekuivalen dengan pandangan “standing for”,
bukan pada aktivitas representasi yang “acting for”. Bahkan pandangan

representasi formalistic dan deskriptif tidak memungkinkan untuk aktivitas
merepresentasi sebagai “acting for” bagi orang lain. Dengan kata lain dalam
realisme politik tidak ada ruang untuk aktivitas kreatif perwakilan legislatif.
Pada sisi lain konsepsi merepresentasi sebagai “standing for” membawa
pada pengertian lain representasi yaitu representasi sebagai pembuatan atau
“penciptaan” jenis aktivitas. Kalau representasi sebagai aktivitas maka
representasi dimaknai sebagai “acting for” orang lain. Representasi “acting for”
berbeda dengan pandangan yang formalistic, sebab representasi ini lebih
memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri menjangkau representasi
substantive. Dalam konteks ini wakil berbicara, bertindak demi opini, keinginan,
kebutuhan atau kepentingan substantive terwakil atau sering disebut dengan
representasi “substantive acting for” orang lain.
Keempat, konsep substantif memandang representasi bukan sekadar
sebagai cara berdiri seseorang demi orang lain (a way of standing for someone)
tetapi representasi sebagai cara bertindak demi orang lain (a way of acting for
someone). “acting for” memunculkan pemahaman yang berbeda tentang
hubungan termasuk representasi person lainnya. Orang dapat bertindak sebagai
pengganti orang lain dengan bertindak sebagai trustee, agen yang menguasakan,
sebagai yang dipercaya/fiduciary (dalam arti sebagai agen bebas) atau sebagai
ahli. Masing-masing cara “acting for” menyangkut interpretasi yang berbeda
dalam relasi antara wakil dan yang diwakili dan harapan yang berbeda (dan
obligasi). (lebih lanjut baca Windyastuti, 2009)
Tentangan yang sangat berpengaruh terhadap konsep dan praktik
representasi politik sebagai ide diletakkan oleh Anne Philips dalam the politics of

presence. Phillips berargumentasi bahwa kita mesti mengubah interpretasi tentang
representasi dari kerangka yang didasarkan pada politik ide (merepresentasikan
opini warganegara dan preferensi kebijakan) ke kerangka yang didasarkan pada
‘the politics of presence’ atau politik kehadiran. Jelasnya, Phillips berpendapat
bahwa anggota dari kelompok yang termarginalisasi semestinya secara fisik
terwakili dalam lembaga legislative dengan jumlah yang proporsional dengan
populasinya. Lebih besar ‘presence’ kelompok seperti minoritas perempuan,
adalah sangat penting tidak hanya karena mereka secara otentik merepresentasi
anggota kelompok mereka, tetapi karena mereka dapat mengubah agenda dan
membawa

perspektif

baru

dalam

politik

kebijakan.

Dalam

ukuran

keterwakilannya, politik ide memiliki akuntabilitas sedangkan politik kehadiran
memiliki autentisitas (Young dalam Windyastuti, 2009).
Dari empat perspektif yang diungkapkan di atas terlihat dengan jelas
bahwa isu represntasi merupakan bagian yang penting dalan kajian sistem politik
terutama yang bertema demokrasi. Ini dikarenakan demokrasi seharusnya akan
menghasilkan sebuah kondisi keseimbangan yang memberi ruang pada semua
komponen masyarakat untuk terepresentasi secara proporsional dalam pranata
politik. Pada konteks dimana representasi diupayakan maka seluruh tindakan
politik menjadi relevan untuk kaji sebab setiap tindakan antar eleman akan
terhubung melalui sebuah relasi kuasa.
Secara empiris, representasi sosio-kultural, politik, dan bahkan realitas
sosial itu sendiri merupakan realitas yang dikonstruksikan oleh sebuah kekuatan
dominatif. Asumsi inilah yang juga digunakan untuk melihat berbagai fenomena
politik yang kemudian melahirkan tawaran konsep politik representasi. Sebagai

ilustrasi misalnya, fenomena maraknya para elite politik yang sering mengklaim
atas nama rakyat ketika berkampanye, padahal untuk diri mereka sendiri; para
pejabat pemerintah yang menawarkan program kerja yang mengatasnamakan
demi kepentingan rakyat, padahal demi kepentingan akses proyek untuk
kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya, adalah beberapa contoh
beroperasinya praktik politik representasi. Bahkan para elite politik ketika ingin
memenuhi ambisi politiknya, dalam memobilisasi massa pun bersifat artifisial,
dalam arti membuat massa bayaran. Demikian pula unjuk rasa yang mengalami
komodifikasi dalam mengartikulasikan tuntutannya, semua itu merupakan praktik
politik representasi. (Lefaan, 2012)
Menurut Frantz Fenon representasi merupakan salah satu bentuk
penjajahan simbolik, karena selalu disertasi dengan dominasi subyek terhadap
obyek. Subyek yang dimaksud adalah mereka yang sering mengatasnamakan
obyek. Jadi penjajahan kontemporer tidak serta merta berupa pemaksaan dengan
fisik, namun merupakan kekerasan sistematik yang dipraktikkan melalui
pemaksaan pikiran subyek terhadap obyek dan selalu merepresentasikan
(generalisasi) ide obyek (Fanon, 2005). Sementara itu, menurut Meuthia GanieRochman (2000), perilaku kelompok-kelompok yang selalu merepresentasikan
rakyat demi tujuan kelompok atau pun pribadi adalah karakteristik kelompokkelompok yang dilahirkan Orde Baru dan terbawa hingga pasca-Orde Baru.
Selama masa Orde Baru kelompok itu selalu mencari pengaruh atas proses politik
dalam kerangka pemerintahan yang berkuasa. Fenomena itu dijelaskan dari pola
hubungan tiga tujuan interaksi politik, yaitu otoritas (authority), representasi
(representation), dan legitimasi (legitimation).

Konsep politik representasi ini menarik untuk menjelaskan fenomena yang
terjadi di

banyak daerah di Indonesia terutama seriring dengan maraknya

gelombang pemekaran daerah. Dalam banyak kajian selalu terungkap bahwa salah
satu motif munculnya ide pemekaran selalu berkenaan dengan rasa tidak puas
sebagian kalangan atas sistem represestasi yang terjadi pada sistem politik daerah
induk. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat yang dalam
banyak analisa kalangan pemisahan daerah tersebut dari Kabupaten Dairi
memiliki dimensi tuntutan dari etnis Pakpak untuk berekspresi secara lebih aktif
termasuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

2.3. Kelompok Marga dalam Otonomi dan Kekuasaan Lokal di Pakpak
Bharat
Bila pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di era otonomi daerah,
keberadaan elemen masyarakat lokal secara kultural memiliki arti yang sangat
penting dalam konfigurasi sistem politik di daerah. Hal yang sama terjadi di
hampir semua daerah di Indonesia setelah kran otonomi daerah dibuka. Dalam
kajian ini, elemen masyarakat yang menjadi sentral perhatian adalah kelompok
marga sebagai wakil dari suak suku Pakpak yang ada di Kabupaten Pakpak
Bharat. Bila dalam penjelasan sebelumnya struktur masyarakat di Kabupaten
Pakpak Bharat lebih didominasi oleh suak Pakpak Simsim dan Boang, maka
pembicaraan peran setiap elemen masyarakat tersebut menjadi sangat penting.
Secara faktual, kultur area (wilayah kebudayaan) kedua suak Etnik Pakpak
tersebut menjadi domain utama dari wilayah Kabupaten Pakpak Bharat. Oleh
karena itu keberadaan kedua suak etnik Pakpak tersebut di Kabupaten Pakpak
Bharat memiliki peran yang tidak hanya bersifat budaya namun juga melingkupi

aspek ekonomi dan politik. Kondisi ini dapat dilihat sebagai konsekwensi dari
sistem sosial masyarakat Pakpak sendiri. Secara tradisional, masyarakat Pakpak
memiliki stratifikasi sosial yang berkaitan erat dengan kepemilikan hal ulayat
(tanah). Satuan organisasi sosial tradisonal masyarakat Pakpak dikenal dengan
istilah Kuta. Kuta sendiri merupakan kesatuan teritori yang biasanya dihuni oleh
keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen yang sama. Disusul kemudian oleh
keluarga pendatang dari marga yang berbeda, tapi terikat oleh suatu hubungan
perkawinan dengan penduduk asli. Selain memiliki pemukiman, sebuah kuta
biasanya juga memiliki lahan perladangan yang khusus diperuntukkan bagi
anggota kuta yang bersangkutan. Fikarwin (2007) menyebutkan bahwa pola
stratifikasi sosial masyarakat Pakpak di setiap Kuta berhubungan pola pengelolaan
sumberdaya milik bersama (common property resources) yang biasanya berupa
lahan perladangan (tanoh pertahumaan). Tanah perladangan di masyarakat Pakpak
secara kultural seluruhnya adalah milik marga-marga yang pertama sekali
membuka Kuta (Marga Tanah). Dalam sebuah kuta akan terdapat seorang
pemimpin dari kalangan Marga tanah yang dikenal dengan nama Pertaki. Selain
kelompok Marga tanah, kelompok lain yang terdapat dalam sebuah Kuta adalah
Kelompok Anak Beru. Dalam praktek tradisionalnya, marga tanah memiliki
keistimewaan bil dibandingkan dengan kelompok Anak Beru terumanya terkait
dengan sistem pengelolaan lahan perladangan. Dengan kata lain, secara kultural
kelompok marga yang berstatus sebagai Marga Tanah memiliki peran sentral
dalam menggerakkan roda kehidupan di Kuta yang meliputi aspek sosial, ekonomi
dan politik.

Dalam perjalanannya, sistem startifikasi tersebut mulai luntur seiring
dengan pertemuan dengan tata nilai pemerintahan negara. Sejak negara hadir
dalam kehidupan masyarakat Pakpak, sistem pelapisan sosial ini mulai luntur dan
kembali bergejolak untuk direvitalisasi saat kran otonomi dan pemekaran daerah
mulai digulirkan. Klimaks dari harapan itu diwujudkan dengan lahirnya
Kabupaten Pakpak Bharat. Seiring dengan kerinduan akan memori untuk
merekonstruksi ulang kehidupan sosial sesuai dengan tradisi sosial etnik Pakpak,
maka arti penting kehadiran kelompok marga dengan ragam statusnya menjadi
mulai bergeliat. Peluang otonomi daerah yang ditandai dengan hadirnya
Kabupaten Pakpak Bharat seharusnya bisa menjadi wadah bagi masyarakat
Pakpak untuk merekonstruksi ulang sistem sosial tradisional ke dalam struktur
formal kenegaraan melalui keterlibatan seluruh elemen. Atas dasar kondisi
tersebut keterwakilan atau representasi kelompok marga dalam sistem kekuasaan
lokal terutama dalam pranata politik menjadi sangat menarik untuk dikaji sebab
ketidak berhasilan pemekaran Pakpak Bharat dalam melahirkan representasi
elemen masyarakat dalam politik politik akan bisa memunculkan rasa ketidak
puasan yang pada gilirannya akan mengganggu kelancara roda pemerintahan.
Untuk kasus di Pakpak Bharat, perhatian pada isu representasi kelompok
marga pada pranata politik juga berkaitan erat dengan tema perhatian banyak
kalangan tentang

Bagaimana kelompok etnik yang berbudaya homogen

menyikapi kehadiran orang luar etniknya yang berkepentingan masuk ke wilayah
teritorial mereka? Setiap kelompok etnik telah mengembangkan suatu mekanisme
budaya untuk mengakomodasi hal itu, dan sesungguhnya hampir semua kelompok
etnik dalam pengertian klasik tadi membuka diri untuk masuknya orang luar.

Syaratnya orang luar tersebut bersedia mengikuti aturan main yang berlaku dalam
komunitas setempat. Karena di sini ada kebudayaan dominan (dominant kultur),
maka seperti dikemukakan oleh Suparlan (1999) “para pelaku dari kelompokkelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan, dan
tunduk pada, aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang
dominan”. Ungkapan-ungkapan seperti

di mana bumi dipijak disitu langit

dijunjung; lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang, dan ungkapan
sejenis yang diproduksi oleh setiap kelompok etnik adalah bentuk kearifan untuk
mengakomodasi perbedaan atau keragaman budaya. Sepanjang pemahaman dan
aturan main yang berlaku setempat dipatuhi oleh warga etnik lain, tidak akan ada
ketegangan apalagi konflik etnik. (Lubis, 2005 : 62 - 63 ).

2.4. Kerangka Teoritis
Dalam melihat persoalan representasi dalam kekuasaan lokal ini terdapat beberapa
pilihan paradigma yang dapat digunakan. Pada penelitian ini paradigma keilmuan
yang dianggap relavan adalah paradigma struktural fungsional. Pemilihan
paradigma ini lebih dikarena keberadaan suak etnik dan atau kelompok marga
yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah bagian dari struktur masyarakat
yang secara praktis haruslah memainkan fungsinya secara bersamaan dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan roda kekuasaan di pemerintahan lokal di
Pakpak Bharat. Tidak hanya itu, keseimbangan komposisi representasi suak etnik
pakpak dan atau kelompok marga dalam ranah kekuasaan akan bisa menciptakan
keseimbangan sosial. Oleh karena itu, pencapaian titik keseimbangan tersebut

akan berlangsung dalam semua dimensi kehidupan masyarakat Pakpak termasuk
dalam sistem politiknya.
Memperhatikan bahwa struktur tidak serta merta akan menggerakkan
kehidupan bersama, maka penggabungan pemikiran struktural dengan fungsional
yang menjadi pilihan dalam paradigma ini menjadi sangat berkesesuaian dengan
tema penelitian. Pemikiran Struktural memiliki ciri yang menjadi landasan
pikirnya yaitu bahwa struktur-struktur yang membangun sebuah sistem
merupakan sebuah kesatuan gagasan (wholeness), memiliki prinsip transformasi
(transformation) dan memiliki kemampuan melakukan pengaturan sendiri (selfRegulation) (lihat Kling, 1985; Matusky, 1985). Sementara itu paham fungsional
selalu didasarkan pada pemikiran yang menekankan bahwa keberfungsian
masing-masing bagian pembentuk sebuah sistem akan memberi jaminan pada
kelangsungan hidup sistem secara keseluruhan (lebih jelas baca “Functionalism”
oleh Jonatahan H. Turner dan Alexandra Maryanski diterbitkan oleh The
Benjamin/ Cummings Publishing Company. Menlo Park California tahun 1979).
Atas dasar pemikiran yang melandasi kedua pendekatan ini, maka secara
sederhana pendekatan struktural fungsional terbentuk atas beberapa prinsip dasar
diantaranya; masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem yang diantara komponen
pembentuk sistem harus terjadi hubungan saling mempengaruhi, sebagai sebuah
sistem masyarakat selalu bergerak ke arah ke seimbangan, perubahan biasanya
terjadi secara gradual yang disebabkan oleh proses penyesuaian, pertumbuhan dan
penemuan, ketegangan diatasi dengan penyesuaian dan konsensus merupakan
kekuatan pemersatu. Di samping itu, dalam pandangan struktural fungsional,

masyarakat yang merupakan sebuah sistem akan bereaksi terhadap lingkungan
dimana dia tinggal termasuk ketika terjadi perubahan di sekelilingnya.
Sinergis dengan prinsip dasar pendekatan fungsional, Malinowski
mengungkapkan bahwa keberfungsian elemen-elemen pembentuk kehidupan
sosial termasuk budaya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik
yang bersifat biologis maupun psikologis. Berkenaan dengan kebutuhan tersebut,
lebih lanjut Malinowski mengungkapkan paling tidak terdapat 3 (tiga) tingkat
kebutuhan manusia, yaitu: (1) kebutuhan biologis yang berupa makanan, prokasi
dan sebagainya, (2) kebutuhan yang bersifat instrumental (struktur sosial) seperti
kebutuhan akan hukum, pendidikan, stratifikasi sosial dan lainnya serta (3)
kebutuhan integratif yang bisa berupa agama dan kesenian (lebih lanjut baca
Turner dan Alexandar Maryanski, 1970).
Secara sederhana kerangka pikir yang didasarkan pada paradigma
struktural fungsional dalam penelitian ini dapat dilihat bagan berikut ini:

1.
2.
3.
4.
5.

Suak etnik Pakpak:
Pakpak Simsim
Pakpak Keppas
Pakpak Pegagan
Pakpak Klassen
Pakpak Boang

Proses dan
Kegiatan
Politik

Pemekaran Dairi yang melahirkan
Kabupaten Pakpak Bharat

Kondisi
Komposisi
Pranata Politik
(Dewan
Perwakilan
Rakyat Daerah)
dan faktor yang
mempengaruhi

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Keseimbangan representasi
akan mencipatkan
keseimbangan sehingga
potensi menujuh ksejahteraan
akan terbuka