Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

22

BAB II
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN
WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH

A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.
Syarat-syarat untuk sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:40
1.
2.
3.
4.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Suatu hal tertentu; dan
Suatu sebab yang halal.

Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya
perjanjian itu :

1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para

pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan
tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.41
Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan
saatnya kesepakatan itu terjadi? Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para
pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu
tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan
40

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung :Alumni), 2004,

hal. 205.
41

Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang

mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna.(Pasal 1321 s.d Pasal 1328 KUH Perdata).

22

Universitas Sumatera Utara

23

hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi
antara para pihak melalui surat-menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan
saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian –
perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas , saat terjadinya kesepakatan
merupakan saat terjadinya perjanjian.42
Apabila ternyata dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat
unsur kekhilafan, atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau penipuan maka
dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian yaitu kekhilafan
mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian, dan selain itu kekhilafan
yang lain tidak menjadi batalnya suatu perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata).

2.

Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan

hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang
oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan
tertentu.43

42
43

Ibid, hal 206.
Ibid, hal. 208.

Universitas Sumatera Utara

24

Dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas umum yang

mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.44
Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1). Orang-orang yang belum dewasa;
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian
ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini.”
Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberikan
arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
a). seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
i). telah berumur 21 tahun; atau
ii).telah menikah;


44

Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “…cakap
membuat perikatan….”tidak konsisten, karena Pasal 1329 ini terkait dengan Pasal 1320 KUHPerdata
mengenai syarat sahnya perjanjian bukan syarat sahnya perikatan . Sehingga seharusnya redaksi
tersebut berbunyi”….cakap membuat kontrak/perjanjian…”

Universitas Sumatera Utara

25

hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah
menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum genap berusia 21
tahun tetap dianggap telah dewasa.
b). anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh:
i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
ii).Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).45

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa:
(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.”
Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974

tentang

Perkawinan,

kecakapan

bertindak

orang


pribadi

dan

kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:46
a). jika seseorang:
i). telah berumur 18 tahun; atau
ii). telah menikah;
45

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada), 2003, hal 129-130.
46
Ibid, hal 131.

Universitas Sumatera Utara

26

iii).seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya

dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah
dewasa.
b). seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah,
dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua ( yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
ii).walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya ( artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas
dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan.
Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang
anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya.47
Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa
yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.
pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan

47

R. Subekti, Op.cit, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

27

mengadakan

perjanjian,

yang

mewakilinya

adalah

orang


tuanya

atau

pengampunya (Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).48
3). Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,
baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.49Hal ini
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September
1963,

telah menghapus Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan

bahwa:


”seorang

istri

tidak

diperkenankan

menghibahkan,

menggadaikan, memindah tangankan dan sebagainya ataupun melakukan suatu
pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau
tegas dari suaminya” dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa: “seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa
izin suaminya.” Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita
bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga

48

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:
Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16.
49
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta
:Raja Grafindo Persada), 2006, hal. 128-129.

Universitas Sumatera Utara

28

Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya
ataupun menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.50
3.

Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu

perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang
menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan
jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan.51 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu,
kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut
haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual-beli misalnya, setiap
kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli
harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.52
4.

Suatu sebab yang halal.
Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab”

yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja
dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
yang terlarang, tidaklah mempunyai.”

50

Pr86’s Weblog, http://pr86.wordpress.com/2008/05/17/surat-edaran-mahkamah-agung/,
diakses pada tanggal 12 Nopember 2012.
51
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 209-210.
52
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja , Op.Cit, hal.155-156.

Universitas Sumatera Utara

29

Jadi didalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan
bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1). bukan tanpa sebab;
2). bukan sebab yang palsu;
3). bukan sebab yang terlarang.53
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut diatas dapat diklasifikasikan
kedalam dua kelompok yaitu:
a.

Syarat subyektif
1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2). Kecakapan membuat perikatan.

b.

Syarat obyektif
1). Suatu hal tertentu
2). Suatu sebab yang halal.
Dikatakan syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada

subyek-subyek perjanjian itu. Sedangkan yang dikatakan syarat-syarat obyektif
adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, yang meliputi suatu sebab
yang halal dan suatu sebab tertentu.
Akibat hukum dari syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memang ada tetapi dapat
dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.

53

Ibid, hal.161.

Universitas Sumatera Utara

30

Adapun apabila pihak tidak memenuhi syarat objektif itu adalah apabila syarat
tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain
batal dengan sendirinya. Hal ini berarti secara yuridis sejak lahirnya perjanjian itu
sudah batal atau perjanjian itu memang ada tetapi tidak berlaku.
Disamping itu dalam hal perjanjian yang batal demi hukum tersebut, maka
pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim sebab dasar
hukumnya tidak ada.
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang
telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut.
Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.54
B. Asas-Asas Dalam Perjanjian.
Asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu
perjanjian antara lain:
1.

Asas kebebasan berkontrak
Buku

III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem

terbuka,artinya memberi keleluasan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola
hubungan hukumnya.

55

Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ini tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah

54

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak , Cetakan ketiga, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hal. 67.
55
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial
, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), Cetakan Ke-2, hal. 109.

Universitas Sumatera Utara

31

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, itu dimaksudkan
untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu undang-undang.
Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk
melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan
perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syaratsyarat perjanjian.56
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:57
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapaia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak
sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam
56

Ibid, hal. 110.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.. 47.
57

Universitas Sumatera Utara

32

satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait.58Apabila mengacu
rumusan Pasal 1338 ayat(1) KUHPerdata yang dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam
satu kerangka sistem hukum perjanjian /kontrak ( vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338
ayat (1) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka penerapan asas
kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal
ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian dengan memerhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.;
b. untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai kausa;
c. tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;
d. tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban
umum;
e. harus dilaksanakan dengan itikad baik.59
2.

Asas konsensualisme.
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung asas

yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan
“ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde).60 Di dalam asas ini
terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan

58

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 111.
Ibid, hal. 118.
60
Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001), hal.82.
59

Universitas Sumatera Utara

33

kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas
kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.61
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan
berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti,
yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.62 Pelanggaran terhadap ketentuan ini
akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undangundang.
3.

Asas pacta sunt servanda.
Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,asas pacta sunt

servanda 63 dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang sendiri
mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan
pembuat undang-undang.64

61

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991),
hal. 43-44.
62
Ibid, hal. 37.
63
N. E. Algra et al., dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”,
(Jakarta : BinaCipta, 1983), Cetakan pertama, hal. 384.
64

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 126.

Universitas Sumatera Utara

34

Di dalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak
merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu konsensualisme
dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt
servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt
servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang
mengadakan

perjanjian,

sedangkan

kebebasan

berkontrak

menyangkut

isi

perjanjian.65
4.

Asas itikad baik.
Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

mengatakan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa
yang dimaksud dengan itikad baik (good faith)

perundang-undangan tidak

memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud,
kemauan yang baik.66 Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa
“goede trouw” adalah itikad baik.67
Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan
jujur” atau “secara jujur”.68 Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu:

65

Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3,
Mei Tahun 2003, hal. 197.
66
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Balai Pustaka), 1995, hal. 369.
67
N.E. Algra et al., Op.Cit, hlm 174.
68
Soetojo Prawirohamidjojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam Rangka
Memperingati Dies Natalis XXXVIII Universitas Airlangga Surabaya, 11 November 1992, hal.3.

Universitas Sumatera Utara

35

a). Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik
disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat
yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks
ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang
bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab
dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini diatur dalam Pasal 1977 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak
milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
b). Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan
hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu
hal.69
C. Wanprestasi.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa wanprestasi adalah
kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat.
Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak

69

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : Sumur), 1992, hal. 56-62.

Universitas Sumatera Utara

36

secara sepatutnya sedang yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu prestasinya
tidak dilakukan pada waktu yang tepat.70
Sedangkan M. Yahya Harahap,71 pengertian wanprestasi adalah “pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknnya”.
Kalau begitu seorang debitur (penyewa) berada dalam keadaan wanprestasi, apabila
dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dalam
jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
selayaknya atau sepatutnya.
Dari kedua pendapat diatas, dapatlah kita menarik suatu pengertian bahwa
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan dan kelalaian debitur
yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi prestasi yang harus dipenuhinya dalam
suatu perjanjian.
Jadi dapat dilihat bahwa wanprestasi itu terjadi atau timbul apabila si berutang
yakni debitur tidak memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan dalam suatu
perjanjian dengan kreditur atau si berutang.
1.

Timbulnya ganti rugi (schade vergoeding).
Kewajiban “ganti rugi” (schade vergoeding) tidak sendirinya timbul pada saat

kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, “setelah” debitur
“dinyatakan lalai.” Harus ada “pernyataan lalai” dari kreditur.

70
71

Sri Soedewi Masjschoen Sofwan, Op.Cit, hal.12.
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 60-61.

Universitas Sumatera Utara

37

Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan oleh Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “penggantian perongkosan, kerugian
dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur; setelah ia untuk
itu “ditegor kealpaannya” melaksanakan perjanjian; akan tetapi sekalipun sudah
ditegor ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud.
Dari ketentuan pasal diatas terdapat suatu asas umum: untuk lahirnya
kewajiban “ganti rugi” debitur harus lebih dulu diletakkan/ditempatkan dalam
“keadaan lalai”, melalui prosedur “peringatan /pernyataan lalai”. Kalau begitu si
debitur sudah dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai, jika sebelumnya sudah ada
pemberitahuan , peringatan atau tegoran kreditur terhadap debitur, bahwa si debitur
telah lalai melakukan pelaksanaan perjanjian. Peringatan atau tegoran itu dilakukan
oleh kreditur “sesaat” setelah batas waktu yang ditentukan lewat.72
2.

Pernyataan lalai (ingebrekke stelling)
Di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan

bahwa : “siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan”.
Kata “perintah” dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel” juga bisa diterjemahkan
dengan “peringatan”. Karena disana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu
72

Ibid, hal. 62.

Universitas Sumatera Utara

38

ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur ( si berhutang) adalah pihak yang
dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “perintah/peringatan”
itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut)
atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa
isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam
perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar
debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai
setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya.
Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut
“somasi”.73
Menurut Subekti, surat perintah tersebut diartikan sebagai “suatu peringatan
resmi oleh seorang jurusita pengadilan, sedangkan yang dimaksud oleh undangundang dengan akte sejenis adalah suatu peringatan tertulis”.74
Dalam perkembangannya, surat peringatan atau teguran juga boleh dilakukan
secara lisan, dengan ketentuan desakan atau teguran agar si berutang melakukan
dengan seketika atau dalam waktu yang singkat prestasinya, dinyatakan dengan
cukup tegas. Sebaiknya dilakukan secara tertulis, dan seyogyanya dengan surat
tercatat, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang .

73

J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari
http://www.hukum.online.com/berita/baca/lt4cbfb83aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasibagian -i-brioleh-j-satrio, pada tanggal 10 Nopember 2012.
74
Subekti, Op.cit, hal.46.

Universitas Sumatera Utara

39

Sedangkan kapan waktu pernyataan lalai itu menurut Wiryono Projodikoro,
dalam buku hukum perjanjian, adalah tidak mutlak.75
Oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, dikatakan bahwa “kapan kini suatu tenggang
harus dianggap fatal, itu tergantung daripada keadaan-keadaan suatu persoalan yang
bersifat kenyataan”.76
Suatu pernyataan lalai ini tidak diperlukan lagi bila si berutang mengakui
bahwa ia telah lalai atau telah menolak untuk berprestasi yang telah dipenuhi si
berutang tidak sebagaimana mestinya, disamping dapat juga dengan perjanjian
ditentukan bahwa, tidak perlu diadakan pernyataan lalai (ingebrekke stelling) dan si
berutang akan lalai menurut jika ia melampaui tengggang waktu yang sudah
ditentukan atau ditetapkan.
Pada perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu, maka apabila ia melakukan
berarti ia telah melanggar janji, sehingga dapatlah dikatakan ia melakukan
wanprestasi tanpa memerlukan pernyataan lalai terlebih dahulu. Dengan keluarnya
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 pernyataan lalai tidak perlu lagi
karena dengan adanya gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri itu juga dianggap
sebagai teguran atau pernyataan lalai.
Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat
berupa empat macam:77

75

Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(Bandung: Sumur , 1965), hal.7.
76
Ibid, hal.12.
77
Subekti, Op.cit, hal.45.

Universitas Sumatera Utara

40

a.

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b.

Melaksanakan apa yang disanggupinya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.

c.

Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Berbeda dengan Subekti, maka Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi

tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu:78
a.

Prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara yang sepatutnya.

b.

Prestasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

Sedang menurut Setiawan, ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu:79
a.

Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b.

Terlambat memenuhi prestasi.

c.

Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Akibat dari wanprestasi munculnya suatu ganti rugi bagi pihak yang merasa

dirugikan. Menurut Nieuwenhuis, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan
pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang
melanggar norma oleh pihak lain.80Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud)
yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang
bersifat immaterial, tidak berwujud (moral, ideal).

78
79

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit, hal. 12.
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan , ( Bandung: Bina Cipta, 1979), Cetakan II,

hal 17-18.
80

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 81.

Universitas Sumatera Utara

41

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian. Hal ini
sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:”pada suatu
perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur
sejak sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang
bersangkutan,

maka

barang

itu,

semenjak

perikatan

dilakukan,

menjadi

tanggungannya.”
Menurut Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi, yaitu: 81
a.

Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti rugi;

b.

Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;

c.

Peralihan resiko;

d.

Membayar biaya perkara, kalau samapai diperkarakan di depan hakim.
Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan

sebagai berikut :82
a). Ganti rugi.
Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya jika seorang sutradara mengadakan
perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan
dan pemain ini kemudian tidak datangsehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan,

81
82

Subekti, Op.Cit, hal.45.
Ibid, hal. 47-54.

Universitas Sumatera Utara

42

maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan
lain-lain.
Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu
penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini
mati karena penyakit tersebut.
Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal
jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari
harga pembeliannya.
Dalam Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya,rugi dan bunga yang nyata telah atau
sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan
olehnya.”
Dan Pasal 1248 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si
berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenaikerugian yang diderita
oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.”

Dari kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu
dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung
dari wanprestasi.

Universitas Sumatera Utara

43

Beberapa hal penting dalam persoalan ganti rugi adalah:83
1.

Ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang nyata
dan bunga.

2.

Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi karena force majeur.

3.

Kerugian yang wajib dibayar dapat berupa kerugian yang benar-benar telah
diderita dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat dinikmati
kreditur.

4.

Ganti rugi dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan kehilangan
keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut.

5.

Apabila dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi yang
harus dibayar oleh pihak debitur jika wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi
tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak, tidak boleh lebih atau
kurang.

6.

Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi hanya terdiri
dari bunga seperti yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b). Pembatalan perjanjian.
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian,
sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak
dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman
karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi.

83

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Kontrak Bisnis , Diktat Hukum Perusahaan, ( Medan:
Magister Kenotariatan USU, 2010), hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

44

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu
dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian
yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut
keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memnuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu
bulan.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka jelas bahwa pembatalan
perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata-nyata melalaikan
kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan
jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.
c). Peralihan resiko.
Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang
dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang
menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian:

Universitas Sumatera Utara

45

Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka resiko
dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya
belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, resiko itu beralih kepada dia.
d). Pembayaran biaya perkara.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi
seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,
bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat
(1) HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu
perkara di depan hakim.
Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang
dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari keadaan
memaksa (force majeure), maka perjanjian bisa menjadi batal.84
D. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah
Penghunian rumah dengan cara sewa-menyewa didasarkan kepada suatu
perjanjian tertulis antara pemilik dengan penyewa. Didalam perjanjian tersebut
sekurang-kurangnya mencantumkan ketentuan mengenai hak dan kewajiban , jangka
waktu sewa dan besarnya harga sewa. 85

84

Elly Erawati- Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta:
Nasional Legal Reform Program, 2010), hal. 28.
85
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah
Oleh Bukan Pemilik, Pasal 4.

Universitas Sumatera Utara

46

Didalam perjanjian sewa-menyewa terdapat beberapa hal yang pokok, yaitu:86
1.

Menyerahkan barang untuk dinikmati.
Setelah diantara para pihak terdapat kata sepakat untuk membuat suatu

perjanjian sewa-menyewa maka timbullah hak dan kewajiban diantara para pihak
yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan barangnya untuk
dinikamati dan berhak mendapatkan imbalan harga sewa. Sedangkan pihak penyewa
berkewajiban membayar harga sewa dan berhak untuk menikmati barang yang
disewa. Jadi barang dalam perjanjian sewa-menyewa ini diserahkan tidak untuk
dimiliki tetapi hanya untuk dipakai atau dinikmati kegunaannya.
Namun untuk hak memakai dan hak mendiami sebuah rumah tidak dapat
disewakan pada pihak lainnya. Hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 827 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan : “Hak mendiami tak boleh
diserahkan atau disewakan kepada orang lain”.
2.

Membayar harga sewa.
Pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa, ia berkewajiban untuk

membayar harga sewa. Pembayaran sewa ini dapat dilakukan per bulan atau per
tahun.
Menurut Subekti, bahwa:“Pembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu
ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut

86

Subekti, Op.cit, hal. 90

Universitas Sumatera Utara

47

perjanjian, dinamakan pembayaran, bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya
untuk majikan dikatakan membayar”.87
Jadi dalam melakukan pembayaran harga sewa ini tidak melulu harus
berwujud uang, dapat juga berwujud barang bertubuh. Namun dalam prakteknya,
pembayaran harga ini berupa uang (pembayaran yang sah).
Apabila pihak penyewa ini tidak memenuhi kewajibbannya membayar harga
sewa, maka pihak pemilik barang atau yang menyewakan dapat minta untuk
membatalkan perjanjian sewanya.
3.

Selama jangka waktu tertentu.
Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata adalah perjanjian sewa-menyewa untuk waktu tertentu. Namun waktu
tertentu seperti disebutkan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut bukanlah merupakan syarat untuk timbulnya perjanjian sewa-menyewa.
Sewa-menyewa itu sudah ada sejak tercapainya kata sepakat. Apabila dalam
perjanjian sewa-menyewa tersebut waktu sewanya telah ditentukan, maka sewamenyewa tersebut akan berakhir dengan sendirinya setelah waktu sewanya berakhir.
Sedangkan apabila dalam perjanjian sewa-menyewa jangka waktu berakhirnya tidak
ditentukan, maka untuk menghentikan perjanjian sewa-menyewa ini harus dengan
memberitahukan terlebih dahulu kepada si penyewa yaitu dengan memberitahukan
terlebih dahulu kepada si penyewa yakni dengan memperhatikan tenggang waktu

87

Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 1984), hal. 152.

Universitas Sumatera Utara

48

menurut adat kebiasaan setempat. Untuk sewa menyewa, tenggang waktu tersebut
biasanya satu bulan. Hal-hal seperti tersebut diatas berlaku juga bagi perjanjian sewamenyewa rumah.
E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah.
1.

Hak-hak para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.
Hak dari pemilik rumah adalah mendapatkan pembayaran harga sewa

sedangkan hak dari pihak penyewa adalah menempati rumah yang disewanya dari
pihak pemilik rumah dalam keadaan baik.
Apabila rumah yang disewanya tersebut terdapat cacat yang tersembunyi atau
tidak diketahui sebelumnya maka pihak penyewa berhak untuk menuntut pemenuhan
prestasi yang baik atau dari cacat yang tidak tersembunyi kepada pihak pemilik
rumah.
Hak dari pihak pemilik rumah terhadap cacat yang tersembunyi ini terdapat
dalam Pasal 1552 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan:
“Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari
barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang
menyewakan itu sendiri tidak mengetahui pada waktu dibuatnya perjanjian sewa”.
Adapun hak yang lain dari pihak penyewa ialah mendapatkan kenikmatan atas
rumah yang disewa tersebut. Dalam hal ini apabila rumah yang menjadi obyek
perjanjian sewa-menyewa rumah dijual oleh pihak pemilik rumah, maka pihak
penyewa masih tetap dapat mendiami rumah tersebut sampai habis waktu sewanya.
Ketentuan seperti tersebut diatas terdapat dalam Pasal 1576 ayat (1) Kitab Undang-

Universitas Sumatera Utara

49

Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Dengan dijualnya barang yang
disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila
ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pihak
penyewa masih dapat menempati rumah yang disewakan, apabila tidak ditentukan
lain. Hak ini diperoleh si penyewa karena hak sewa tersebut tetap mengikutinya,
selama waktu sewa tersebut belum berakhir.
2.

Kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.
Kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah sebagai berikut:

a.

Menyerahkan barang kepada si penyewa.

b.

Memelihara barang sedemikian rupa sehingga barangnya dapat dinikmati atau
dipakai untuk keperluan si penyewa.

c.

Memberikan kenikmatan atas rasa aman pada barang yang disewakannya selama
berlangsungnya sewa-menyewa rumah.

d. Melakukan perbaikan-perbaikan atas barang yang disewakan, kecuali perbaikan
kecil.88
Kewajiban dari pihak penyewa yaitu:
a.

Di dalam menempati rumah yang disewanya tersebut, pihak penyewa harus
bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik, artinya pihak penyewa
diwajibkan untuk menempati rumah tersebut seakan-akan miliknya sendiri.
88

Subekti, Op.Cit, hal. 42-43.

Universitas Sumatera Utara

50

b.

Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewamenyewa rumah.

c.

Melakukan perbaikan-perbaikan kecil, misalnya: melakukan perbaikan-perbaikan
jendela kunci dalam, kaca-kaca jendela dan sebagainya.

Adapun hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini tidak ditepati oleh salah satu pihak,
maka terjadilah wanprestasi dan akibat dari wanprestasi timbullah sengketa sewamenyewa rumah.
F. Hapusnya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah.
Mengenai lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian, berakhirnya ada dua cara yaitu :
1.

Berakhir dengan sendirinya pada waktu yang ditentukan bila perjanjian sewamenyewa rumah tersebut dibuat secara tertulis.

2.

Dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang waktu tertentu menurut adat
kebiasaan setempat, bila perjanjian sewa-menyewa rumah dibuat secara lisan.
Cara yang pertama tersebut diatas ditentukan dalam Pasal 1570 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Jika sewa dibuat dengan
tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah
lampau tanpa diperlukannya suatu pemberitahuan untuk itu”.
Adapun cara yang kedua tercantum dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Unadang
Hukum Perdata, yang menyebutkan:“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka
sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak lain bahwa

Universitas Sumatera Utara

51

ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Maksud dari pemberitahuan dengan mengindahkan jangka waktu yang layak ini
adalah agar si penyewa mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi akibat dari
pengakhiran sewa tersebut.
Sedangkan untuk hapusnya perjanjian sewa-menyewa rumah karena benda
yang disewakan musnah seluruhnya di luar kesalahan pihak pemilik rumah dan pihak
penyewa, maka perjanjian sewa-menyewa rumah itu batal demi hukum. Ketentuan
tersebut diatas terdapat di dalam Pasal 1553 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang menyebutkan ”Jika selama waktu sewa barang yang disewakan sama
sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa
gugur demi hukum”. Namun apabila rumah yang disewa tersebut musnah sebagian
saja, maka pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan, apakah ia akan
menghentikan sewa-menyewa atau ia minta pengurusan harga sewa.
G. Akibat Hukum Terhadap Penyewa Yang Melakukan Wanprestasi Dalam
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah.
Penyewa disebutkan berada dalam keadaan wanprestasi , apabila dia dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari
jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
“sepatutnya/selayaknya”. Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari
wanprestasi ialah keharusan atau kemestian bagi penyewa membayar ganti rugi

Universitas Sumatera Utara

52

(schadevergoeding). Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak
yang lainnya dapat menuntut “pembatalan perjanjian”.
Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat
waktu” atau “tak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak pemilik rumah. Setiap
pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan “perbuatan melawan hukum”
(onrechtmatigedaad).89
Wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti pernyataan lalai
(ingeberkestelling) yang dilakukan si penyewa. Hal ini sebagaimana dimaksud pasal
1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”
atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur
langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi atau peringatan.90
Perhitungan ganti rugi akibat dari wanprestasi, dihitung sejak saat terjadi
kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan: “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu,
barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan
dilakukan,menjaditanggungannya”.
Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “biaya, ganti

89

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 60-61.
NM. Wahyu Kuncoro, Advokatku : Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum….Apa
Bedanya?, diakses dari http://advokatku.blogspot.com/2009/01/Wanprestasi dan-perbuatan-melawanhukum.html, pada tanggal 10 Juni 2012.
90

Universitas Sumatera Utara

53

rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal
1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, dalam wanprestasi,
penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara
rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian
tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest).
Kendatipun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk
membayar ganti kerugian, tetapi kerugian dapat dituntut oleh kreditur jumlahnya
tidak dapat diperhitungkan dengan sekehendak hati, melainkan dibatasi sedemikian
rupa oleh undang-undang.
Pembatasan pertama untuk segala macam wanprestasi disebutkan dalam Pasal
1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan demikian:
“Bahkan, jika hal tidak terpenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya
siberutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang
di derita oleh siberpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya
perikatan.”
Apakah yang dimaksud “akibat langsung” dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata diatas ini? Wirjono Prodjodikoro91menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan akibat langsung dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu
91

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Sumur Bandung, 1973),
cetakan VII, hal . 53

Universitas Sumatera Utara

54

adalah suatu akibat yang tidak begitu jauh ketinggalan daripada hal dilakukannya
suatu wanprestasi. Namun, penentuan yang demikian ini, menurut beliau, tentunya
juga masih belum tegas karena pengertian jauh adalah kabur juga. Oleh karena itu,
hakimlah yang pada akhirnya harus menetapkan ini in konkrito menurut rasa keadilan
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K/PDT/2010)

10 145 120

Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)

3 51 151

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KASUS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 676 K/PDT/2010).

31 189 64

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 15

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 2

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 4 21

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 5