Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K/PDT/2010)

(1)

TESIS

Oleh

DEWI FITRI

107011041/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI FITRI

107011041/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011041

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : DEWI FITRI

Nim : 107011041

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PIHAK

PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA

RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG RI NO. 1507K/PDT/2010)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :DEWI FITRI Nim :107011041


(6)

balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya dan bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya suatu perjanjian sewa-menyewa dibuat secara dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tertanggal 20 Desember 1959. Hubungan sewa-menyewa ini terus berlangsung dengan baik ketika penyewa dan yang menyewakan meninggal dunia kemudian dilanjutkan oleh ahli waris dari kedua belah pihak. Namun diawal bulan April 2005 ahli waris dari penyewa menghentikan pembayaran uang sewa, hingga diajukannya gugatan perkara ini. Perjanjian sewa-menyewa ini sebenarnya telah batal demi hukum dikarenakan ahli waris dari pihak penyewa dengan ahli waris pihak yang menyewakan tidak memperbaharui perjanjian sewa menyewa rumah tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik yang menyatakan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa)

dan mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mau

mengosongkan dan menyerahkan atas obyek terperkara, padahal para pemohon kasasi tidak memiliki alas hak yang sah atas obyek perkara. Sedangkan termohon kasasi adalah pemilik yang sah atas obyek perkara dengan membuktikan bahwa obyek tersebut diperolehnya dari almarhum orang tua kandungnya berdasarkan Akta Pembagian Waris No. 6 tanggal 09 September 2003 yang dibuat dihadapan Notaris di Medan.


(7)

agreement. Reciprocal agreement is an agreement causing right and responsibility to both parties and the rights and responsibility are related to each other. Basically, an agreement will last well if the parties involved in this agreementare with good faith, but if one party does not have good faith or does not implement his obligations, a default action will arise. Like what happened to the lease agreement which has been approved by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.1507 K/PDT/2010. This study discussed what legal consequence will raise if the tenant commits default in the lease agreement of the house he has rented for a long time and the basic consideration taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia in its decision No.1507 K/PDT/2010 rconcering this case.

The data for this descriptive analytical study with juridical normative approach were secondary data obtained through documentation study.

The result of this study showed that there was a leasing agreement made underhanded as turned out in the receipt dated December 20, 1959. This leasing relationship kept lasting well even though the lessee and the lessor have passed away, this leasing agreement was continued by the heirs of both parties. But, in the beginning of April 2005, until the filing of this case, the heir of the lessee has stopped paying the rent. Actually, this leasing agreement has been annuled by law because theirs of both the lessee and the lessor did not renew the leasing agreement of the house. This is regulated in Article 2 And Article 21 paragraph (1) of The Government Regulation No.44/1994 on the House is not Inhabited by the Owner of the House stating that the house occupied by non-owner is only valid if there is a written leasing agreement or permit from the owner or the unwritten agreement which does not determine the time limit and had existed before the enactment of Law No.4/1992, and stated to be expired within a period of 3 (three) years from the enactment of Law No.4/1992. And the consideration of the panel of judges of the Indonesian Supreme Court in this case to reject the request for a cassation filed by the cassation applicants (the heir of the lessee) and they have committed an unlawful act because they did not want to vacate and hand over the sued property, whereas the cassation applicants have no legal title on the sued property. Yet, the cassation defendent is the legal owner of the sued property by prooving that the sued object is obtained fro his deceased biological parents based on the Deed of Inheritance Distribution No. 6 dated September 9, 2003 made before a Notary in Medan.


(8)

Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 1507 K/PDT/2010)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis telah mendapat bimbingan dan pengarahan dari semua pihak maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing yakni kepada BapakProf. Sanwani Nasution, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CNsertaIbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum ,masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan demi kesempurnaan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih atas semua bimbingan, bantuan dan dorongan penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah


(9)

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II penulis dalam penulisan tesis ini yang telah banyak memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan ini.

4. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, selaku Dosen Pembimbing Utama penulis dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga Dosen Pembimbing III penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.

6. Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn selaku Dosen Penguji penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.


(10)

8. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu persatu namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan.

9. Seluruh staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen administrasi yang diperlukan.

10. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Orang Tua yang sangat penulis cintai dan sayangi, Bapak Drs. R. Basuki dan Ibu Fatimah serta juga kepada kakak tersayang Sri Rezeki, SH yang telah memberikan doa, dorongan dan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

11. Bapak Hendarto dan keluarga di Balikpapan yang telah membantu dan memberi dukungan secara moril maupun materil bagi penulis.

12. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 Group A, Group B dan Group C yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjabersama-samanya selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita semua.


(11)

Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena di dalamnya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.

Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk tesis ini, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 14 Januari 2013 Hormat Penulis,


(12)

Nama : Dewi Fitri

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 13 Nopember 1972

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Rajawali No. 54, Medan

II. ORANG TUA

Nama Bapak : Drs. R. Basuki

Nama Ibu : Fatimah

III. PENDIDIKAN

Tahun 1985 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri No. 060788, Medan.

Tahun 1988 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah

Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Medan. Tahun 1991 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah

Menengah Atas di SMA Swasta Angkasa Lanud Medan.

Tahun 2004 : Menyelesaikan Pendidikan Starata-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tahun 2013 : Menyelesaikan Pendidikan Starata-II

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.


(13)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Secara Teoritis ... 9

2. Secara Praktis ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 17

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 18

2. Sumber Data ... 19

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 20

4. Analisis Data ... 21

BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-RUMAH ... 22

A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ... 22


(14)

F. Hapusnya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah ... 50

G. Akibat Hukum Terhadap Penyewa Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah... 51

BAB III ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH PADA PUTUSAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 1507 K/PDT/2010 ... 55

A. Kasus Posisi ... 55

B. Memori Kasasi dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1507 K/PDT/2010 ... 71

C. Analisis Kasus ... 79

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN


(15)

jumlah ganti rugi oleh hakim, bilamana tidak ada keterangan yang lengkap/obyektif

Algemeene Regels : peraturan-peraturan/ ketentuan umum

Dissenting opinion : pendapat yang berbeda.

Dwangsom : uang paksa.

Goede trouw : itikad baik.

Impartiality : asas tidak berpihak.

Judex facti : hakim yang memeriksa duduknya

perkara

Legitma Persona Standi In Judicio : tidak mempunyai kwalitas dan kapasitas hukum untuk bertindak selaku penggugat di depan persidangan Pengadilan

Obscuur libelum : gugatan kabur atau tidak jelas. Onrechmatigedaad : perbuatan melawan hukum Plurium Litis Cnsortium : gugatan kurang pihak Produral due process : asas beracara secara benar

Motiveringsplicht : pemberian alasan (dari putusan hakim). Te kwader trouw : beritikad tidak baik


(16)

balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya dan bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya suatu perjanjian sewa-menyewa dibuat secara dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tertanggal 20 Desember 1959. Hubungan sewa-menyewa ini terus berlangsung dengan baik ketika penyewa dan yang menyewakan meninggal dunia kemudian dilanjutkan oleh ahli waris dari kedua belah pihak. Namun diawal bulan April 2005 ahli waris dari penyewa menghentikan pembayaran uang sewa, hingga diajukannya gugatan perkara ini. Perjanjian sewa-menyewa ini sebenarnya telah batal demi hukum dikarenakan ahli waris dari pihak penyewa dengan ahli waris pihak yang menyewakan tidak memperbaharui perjanjian sewa menyewa rumah tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik yang menyatakan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa)

dan mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mau

mengosongkan dan menyerahkan atas obyek terperkara, padahal para pemohon kasasi tidak memiliki alas hak yang sah atas obyek perkara. Sedangkan termohon kasasi adalah pemilik yang sah atas obyek perkara dengan membuktikan bahwa obyek tersebut diperolehnya dari almarhum orang tua kandungnya berdasarkan Akta Pembagian Waris No. 6 tanggal 09 September 2003 yang dibuat dihadapan Notaris di Medan.


(17)

agreement. Reciprocal agreement is an agreement causing right and responsibility to both parties and the rights and responsibility are related to each other. Basically, an agreement will last well if the parties involved in this agreementare with good faith, but if one party does not have good faith or does not implement his obligations, a default action will arise. Like what happened to the lease agreement which has been approved by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.1507 K/PDT/2010. This study discussed what legal consequence will raise if the tenant commits default in the lease agreement of the house he has rented for a long time and the basic consideration taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia in its decision No.1507 K/PDT/2010 rconcering this case.

The data for this descriptive analytical study with juridical normative approach were secondary data obtained through documentation study.

The result of this study showed that there was a leasing agreement made underhanded as turned out in the receipt dated December 20, 1959. This leasing relationship kept lasting well even though the lessee and the lessor have passed away, this leasing agreement was continued by the heirs of both parties. But, in the beginning of April 2005, until the filing of this case, the heir of the lessee has stopped paying the rent. Actually, this leasing agreement has been annuled by law because theirs of both the lessee and the lessor did not renew the leasing agreement of the house. This is regulated in Article 2 And Article 21 paragraph (1) of The Government Regulation No.44/1994 on the House is not Inhabited by the Owner of the House stating that the house occupied by non-owner is only valid if there is a written leasing agreement or permit from the owner or the unwritten agreement which does not determine the time limit and had existed before the enactment of Law No.4/1992, and stated to be expired within a period of 3 (three) years from the enactment of Law No.4/1992. And the consideration of the panel of judges of the Indonesian Supreme Court in this case to reject the request for a cassation filed by the cassation applicants (the heir of the lessee) and they have committed an unlawful act because they did not want to vacate and hand over the sued property, whereas the cassation applicants have no legal title on the sued property. Yet, the cassation defendent is the legal owner of the sued property by prooving that the sued object is obtained fro his deceased biological parents based on the Deed of Inheritance Distribution No. 6 dated September 9, 2003 made before a Notary in Medan.


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang.2Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua

1

Wirjono Prodjodikoro,Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 4. 2


(19)

belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal berbagai perjanjian3 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti : jual-beli; sewa-menyewa; tukar menukar; pinjam meminjam; dan lain-lain.

Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara

3Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian Cuma-Cuma; c.

Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian Kebendaan; h. Perjanjian Konsensual; i. Perjanjian riil; j. Perjanjian Liberatori; k. Perjanjian Pembuktian; m. Perjanjian Untung-Untungan; n. Perjanjian Publik; o. Perjanjian Campuran,Ibid, hal. 66.


(20)

yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain disana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.4

Sehingga dalam hal ini terjadi adanya keseimbangan antara pihak penyewa dan yang menyewakan. Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan diperkuat dengan adanya dasar hukum yang terdapat di dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.5

Dari definisi sewa menyewa tersebut diatas, maka dapat ditelaah bahwa :

1. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewa dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa.

2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan untuk dimiliki .

3. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga yang tertentu pula.

4 J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung , Citra Aditya

Bakti, 1995), hal. 43.

5R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Jakarta, Pradnya


(21)

Perjanjian sewa menyewa menimbulkan suatu perikatan yang bersumber pada perjanjian. Perjanjian ini diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Perikatan.6Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam Bab ke Tujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.7

Perjanjian sewa menyewa ini seperti juga perjanjian-perjanjian lainnya merupakan suatu perjanjian konsensuil yaitu bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan. Mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.8 Akan tetapi walaupun merupakan perjanjian konsensuil oleh undang-undang diadakan perbedaan terutama berdasarkan akibat-akibat yang timbul antara sewa tertulis dan sewa lisan.

Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa menyewa itu dibuat hanya secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak menghentikan sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.

6R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan(Bandung : Bina Cipta, 1987), hal. 3. 7R. Subekti,Aneka Perjanjian Buku II, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 41 . 8Ibid, hal. 90.


(22)

Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa- Menyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum9.

Di dalam sewa-menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.10

Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010, awalnya hubungan sewa menyewa ini berlangsung dengan baik antara D (pihak yang menyewakan) dengan CF (penyewa) berdasarkan Surat Perjanjian Sewa Menyewa dibawah tangan seperti ternyata dalam kwitansi tanda terima tertanggal 20 Desember 1959 dan tidak menentukan jangka waktunya atas : “sebidang tanah sebagian dari bekas Grant C / Controleer Nomor : C 5377 berikut

9 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung :

Alumni, 2006), hal. 185

10Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,


(23)

satu pintu rumah petak semi permanen terletak di Kota Medan, Kecamatan Petisah, Kelurahan Petisah Tengah, setempat dikenal dengan Jalan Mojopahit (yang selanjutnya menjadi obyek perkara).”

Ketika D dan CF meninggal dunia, hubungan tersebut berlanjut ke para ahli waris mereka yakni antara anak si pemilik tanah (yang menyewakan) yakni KGR (anak kandung D) dan F (cucu dari penyewa) beserta suaminya R. KGR memperoleh tanah beserta bangunan rumah tersebut dari almarhum orangtuanya berdasar pada Akta Pembagian Waris tanggal 9 September 2003 No. 6 yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Notaris di Medan yang kemudian oleh KGR didaftarkan kepemilikannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan terdaftar pada Sertipikat Hak Milik No. 1239 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan tanggal 29 Maret 2006.

KGR selaku ahli waris pihak yang menyewakan pernah beberapa kali menerima pembayaran uang sewa dari cucu penyewa yang dibayar setiap bulannya, namun sejak bulan April 2005 pihak penyewa (cucu dari penyewa) tidak lagi membayar uang sewa dengan alasan tidak jelas dan apabila yang menyewakan menagih uang sewa, penyewa sama sekali tidak mengindahkannya. Hal ini sudah menimbulkan suatu itikad tidak baik dikarenakan penyewa tidak mau membayar uang sewa.

Dengan tidak adanya pembayaran uang sewa, maka diawal tahun 2006 pihak yang menyewakan berencana menempati, memakai dan memanfaatkan obyek perkara


(24)

yang secara sah dan menurut hukum adalah miliknya dan karenanya meminta agar penyewa untuk mengosongkan obyek perkara namun sama sekali tidak dihiraukan . Bulan Oktober 2006 melalui kuasa hukumnya, pihak yang menyewakan melayangkan somasi yang intinya agar penyewa dapat segera mengosongkan obyek perkara dikarenakan obyek tersebut akan ditempatinya.

Penyewa bukannya mengosongkan obyek perkara malah memberikan surat somasi kepada yang menyewakan dengan alasan bahwa mereka telah tinggal menetap di obyek perkara sejak tanggal 20 Desember 1959 ( kurang lebih 50 tahun ) dan sepengetahuan mereka bangunan yang didirikan diatas obyek perkara itu dibangun oleh kakek penyewa dan selama itu pula pemilik tanah tidak pernah menempati dan mengurus obyek perkara tersebut.

Perbuatan penyewa tersebut telah membuktikan bahwa mereka telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) dan beritikad tidak baik terhadap yang menyewakan serta telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) karena selain tidak membayar uang sewa juga tidak mau mengosongkan serta menyerahkan obyek perkara. Sehingga pihak yang menyewakan merasa sangat dirugikan dan mengajukan gugatan, kasus ini bergulir panjang sampai pada tahap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507K/PDT/2010,11 dimana putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menolak gugatan pihak penyewa.

11Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2010 tentang Sewa Menyewa.pdf, http: //putusan.mahkamahagung.go.id diakses tanggal 27 Pebruari 2012.


(25)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan (problem)yang dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya?

2 Bagaimanakah dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 1507 K/PDT/2010 mengenai perkara ini?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui akibat hukum atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewa. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik


(26)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis dan secara praktis.

1. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya hukum perjanjian, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khusus mengenai perbuatan wanprestasi yang dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.

2. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang diketahui dari hasil - hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia


(27)

No. 1507 K/PDT/2010)”. Adapun penelitian yang berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa yang pernah dilakukan oleh:

1. Nama : RIKA FITRI

Nim : 087011101

Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah Yang Dibuat Oleh Notaris.

Permasalahan :

1). Bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa menyewa yang dibuat Notaris?

2). Bagaimanakah kewajiban pemilik rumah untuk menjamin bahwa hak – hak penyewa itu ada?

3). Bagaimanakah ketentuan asuransi yang dibuat di dalam akta sewa menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris ?

2. Nama : KELVINA SEFIALORA

Nim : 087011062

Judul Tesis : Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Bank.

Permasalahan:

1) Apakah sewa menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa dijaminkan ke Bank?

2) Bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah dalam masa sewa jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (Bank)?


(28)

3) Bagaimana upaya penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap kreditur (Bank)?

Dengan demikian penelitian ini secara ilmiah adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan . Meskipun peneliti terdahulu ada yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah perjanjian sewa-menyewa namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.13

M.Solly Lubis yang menyatakan bahwa:

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.14

Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya

12Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6. 13J.J.J M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam,

Fakultas Ekonomi, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1996), hal. 203


(29)

dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.15

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,16 yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut diatas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang “Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010), maka dipergunakan teori keadilan dan teori kepastian hukum.

Menurut Roscoe Pound, keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Yang mana dengan kata lain semakin meluas/ banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia.17

15Snelbecker, dalam Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif.(Bandung : Remaja

Rosdakarya, 2002), hal.34

16 M. Solly Lubis,Op.Cit.,hal. 80

17Ahmad Yahya Zein, Keadilan Dan Kepastian Hukum, diakses dari: http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/Keadilan dan Kepastian-hukum. html , tanggal 29 April 2012.


(30)

Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang di katakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.

Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap- tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels” ( peraturan/ ketentuan umum).18

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum ( peraturan/ ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut :

a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.

b. Sifat undang- undang yang berlaku bagi siapa saja.

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.


(31)

Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di karenakan di suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan lah yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.19

Di Indonesia pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan bahwa hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat.20 Dalam keterkaitannya dengan kasus ini diharapkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010 dapat memberikan suatu keadilan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang sedang berperkara.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi

19 Loc.cit.

20 Ahmad Ubbe, Putusan Hakim sebagai “Rekayasa Sosial” dalam Pembinaan Hukum

Nasional, tulisan pada Majalah Hukum Nasional No.1 Tahun 2002 yang diselenggarakan BPHN Depkeh dan HAM, Jakarta, hal.72.


(32)

operasional.21 Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.22

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi - defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.23

Agar terdapat persamaan persepsi dalam memahami penulisan di dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa konseptual sebagaimana terdapat di bawah ini:

a. Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.24Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa :

1) Memberikan sesuatu;

21Sumadi Suryabarata,Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal.3. 22H. Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat(Bandung:Citra Aditya Bakti, 1999), hal.5. 23Sumadi Suryabarata,Op.cit, hal. 28.

24Munir Fuady,Hukum Kontrak ,dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung :Citra Aditya


(33)

2) Berbuat sesuatu; 3) Tidak berbuat sesuatu;

b. Wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi.25 c. Perjanjian, menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.26

d. Sewa Menyewaadalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. Demikian uraian yang diberikan oleh pasal 1548 KUH Perdata mengenai perjanjian sewa menyewa.27

e. Sewa Menyewa Rumah adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan pemilik berdasarkan perjanjian sewa menyewa.28

f. Pemilikadalah setiap orang atau badan yang mempunyai hak atas rumah.29 g. Penyewa adalah setiap orang atau badan yang membayar harga sewa pemilik

berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.30

25

Qirom S. Meliala,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 29.

26

Purwahid Patrik,Dasar-Dasar Hukum Perikatan(Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 94. 27R. Subekti,Hukum Perjanjian( Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 90.

28Peraturan Pemerintah Republik Indonnesia Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik , Pasal 1 butir (3).

29


(34)

h. Ganti Rugi adalah penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUHPerdata). Dengan demikian pada dasarnya, ganti-kerugian itu adalah ganti-kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.31 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu,maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-30Ibid, Pasal 1 butir (6).

31Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,


(35)

permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.32 Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

1. Sifat dan Jenis Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimasukan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.33

Jenis penelitian yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.34

Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif

32Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 43.

33 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal. 101.

34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(36)

bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perbuatan wanprestasi yang dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah.

Penelitian ini dilakukan dengan memakai metode penelitian normatif yakni dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.35 2. Sumber Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library research.36

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan

35 Ibrahim Johni, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayu Media

Publishing , 2005), hal. 336.

36 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta:Raja


(37)

Pemilik, Undang- Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, .Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1507 K/PDT/2010.

2. Bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian para pakar yang termuat dalam literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik mengenai perjanjian yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah yang berhubungan dengan materi penelitian.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang pemikiran tentang wanprestasi yang dilakukan penyewa dalam perjanjian sewa menyewa rumah.

Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, majalah ilmiah, ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada internet dan sebagainya


(38)

maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Analisis Data.

Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.37

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.38

Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :39

a. mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti;

b. memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian; c. mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin;

d. menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada;

e. menarik kesimpulan dengan menggunakan pendekatan deduktif.

37 Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 101. 38 Soerjono Soekanto,Op.Cit.,hal. 251.

39

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal.45


(39)

BAB II

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH

A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.

Syarat-syarat untuk sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:40

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya perjanjian itu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.41

Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan saatnya kesepakatan itu terjadi? Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan

40Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung :Alumni), 2004,

hal. 205.

41Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang


(40)

hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi antara para pihak melalui surat-menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian – perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas , saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian.42

Apabila ternyata dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat unsur kekhilafan, atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau penipuan maka dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian yaitu kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian, dan selain itu kekhilafan yang lain tidak menjadi batalnya suatu perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.43

42 Ibid, hal 206. 43 Ibid, hal. 208.


(41)

Dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas umum yang mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.44

Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1). Orang-orang yang belum dewasa;

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini.”

Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

a). seorang baru dikatakan dewasa jika ia: i). telah berumur 21 tahun; atau ii).telah menikah;

44Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “…cakap membuat perikatan….”tidak konsisten, karena Pasal 1329 ini terkait dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian bukan syarat sahnya perikatan . Sehingga seharusnya redaksi tersebut berbunyi”….cakap membuat kontrak/perjanjian…”


(42)

hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

b). anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

ii).Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).45

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa:

(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”

Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:46 a). jika seseorang:

i). telah berumur 18 tahun; atau ii). telah menikah;

45 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,( Jakarta:

Raja Grafindo Persada), 2003, hal 129-130.


(43)

iii).seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

b). seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua ( yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

ii).walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya ( artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.47

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan


(44)

mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya (Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).48

3). Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.49Hal ini berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, telah menghapus Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: ”seorang istri tidak diperkenankan menghibahkan, menggadaikan, memindah tangankan dan sebagainya ataupun melakukan suatu pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau tegas dari suaminya” dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa izin suaminya.” Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga

48 Mohd. Syaufii Syamsuddin,Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:

Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16. 49

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta :Raja Grafindo Persada), 2006, hal. 128-129.


(45)

Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya ataupun menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.50

3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.51 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual-beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.52

4. Suatu sebab yang halal.

Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai.”

50Pr86’s Weblog, http://pr86.wordpress.com/2008/05/17/surat-edaran-mahkamah-agung/,

diakses pada tanggal 12 Nopember 2012.

51Riduan Syahrani,Op.Cit,hal. 209-210.


(46)

Jadi didalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1). bukan tanpa sebab; 2). bukan sebab yang palsu; 3). bukan sebab yang terlarang.53

Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut diatas dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu:

a. Syarat subyektif

1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2). Kecakapan membuat perikatan.

b. Syarat obyektif 1). Suatu hal tertentu 2). Suatu sebab yang halal.

Dikatakan syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu. Sedangkan yang dikatakan syarat-syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, yang meliputi suatu sebab yang halal dan suatu sebab tertentu.

Akibat hukum dari syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memang ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.

53


(47)

Adapun apabila pihak tidak memenuhi syarat objektif itu adalah apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain batal dengan sendirinya. Hal ini berarti secara yuridis sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada tetapi tidak berlaku.

Disamping itu dalam hal perjanjian yang batal demi hukum tersebut, maka pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim sebab dasar hukumnya tidak ada.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.54

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian.

Asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu perjanjian antara lain:

1. Asas kebebasan berkontrak

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka,artinya memberi keleluasan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. 55

Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah

54Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), hal. 67.

55Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial ,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), Cetakan Ke-2, hal. 109.


(48)

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.

Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.56

Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:57

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapaia ingin membuat perjanjian. c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam

56Ibid,hal. 110.

57Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.. 47.


(49)

satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait.58Apabila mengacu rumusan Pasal 1338 ayat(1) KUHPerdata yang dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum perjanjian /kontrak (vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 ayat (1) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian dengan memerhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.;

b. untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai kausa; c. tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;

d. tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum;

e. harus dilaksanakan dengan itikad baik.59 2. Asas konsensualisme.

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde).60 Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan

58Agus Yudha Hernoko,Op. Cit, hal. 111. 59Ibid, hal. 118.

60Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya


(50)

kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.61

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti, yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.62 Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.

3. Asaspacta sunt servanda.

Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,asas pacta sunt servanda63dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang-undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.64

61Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991),

hal. 43-44.

62Ibid, hal. 37.

63N. E. Algra et al., dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”,

(Jakarta : BinaCipta, 1983), Cetakan pertama, hal. 384. 64


(51)

Di dalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu konsensualisme dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt servandaberkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi perjanjian.65

4. Asas itikad baik.

Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa yang dimaksud dengan itikad baik (good faith) perundang-undangan tidak memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan yang baik.66 Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa “goede trouw” adalah itikad baik.67

Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”.68 Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua macam, yaitu:

65Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3,

Mei Tahun 2003, hal. 197.

66Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Balai Pustaka), 1995, hal. 369.

67N.E. Algraet al.,Op.Cit, hlm 174.

68Soetojo Prawirohamidjojo,Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam Rangka


(52)

a). Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini diatur dalam Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis. b). Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.69

C. Wanprestasi.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat. Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak


(53)

secara sepatutnya sedang yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat.70

Sedangkan M. Yahya Harahap,71pengertian wanprestasi adalah “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknnya”. Kalau begitu seorang debitur (penyewa) berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dalam jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut selayaknya atau sepatutnya.

Dari kedua pendapat diatas, dapatlah kita menarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan dan kelalaian debitur yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi prestasi yang harus dipenuhinya dalam suatu perjanjian.

Jadi dapat dilihat bahwa wanprestasi itu terjadi atau timbul apabila si berutang yakni debitur tidak memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan dalam suatu perjanjian dengan kreditur atau si berutang.

1. Timbulnya ganti rugi (schade vergoeding).

Kewajiban “ganti rugi” (schade vergoeding) tidak sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, “setelah” debitur “dinyatakan lalai.” Harus ada “pernyataan lalai” dari kreditur.

70Sri Soedewi Masjschoen Sofwan,Op.Cit, hal.12. 71 M. Yahya Harahap,Op.Cit, hal. 60-61.


(54)

Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan oleh Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “penggantian perongkosan, kerugian dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur; setelah ia untuk itu “ditegor kealpaannya” melaksanakan perjanjian; akan tetapi sekalipun sudah ditegor ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud.

Dari ketentuan pasal diatas terdapat suatu asas umum: untuk lahirnya kewajiban “ganti rugi” debitur harus lebih dulu diletakkan/ditempatkan dalam “keadaan lalai”, melalui prosedur “peringatan /pernyataan lalai”. Kalau begitu si debitur sudah dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai, jika sebelumnya sudah ada pemberitahuan , peringatan atau tegoran kreditur terhadap debitur, bahwa si debitur telah lalai melakukan pelaksanaan perjanjian. Peringatan atau tegoran itu dilakukan oleh kreditur “sesaat” setelah batas waktu yang ditentukan lewat.72

2. Pernyataan lalai (ingebrekke stelling)

Di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan bahwa : “siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Kata “perintah” dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel” juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan”. Karena disana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu


(55)

ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur ( si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “perintah/peringatan” itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi”.73

Menurut Subekti, surat perintah tersebut diartikan sebagai “suatu peringatan resmi oleh seorang jurusita pengadilan, sedangkan yang dimaksud oleh undang-undang dengan akte sejenis adalah suatu peringatan tertulis”.74

Dalam perkembangannya, surat peringatan atau teguran juga boleh dilakukan secara lisan, dengan ketentuan desakan atau teguran agar si berutang melakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat prestasinya, dinyatakan dengan cukup tegas. Sebaiknya dilakukan secara tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercatat, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang .

73J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari

http://www.hukum.online.com/berita/baca/lt4cbfb83aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian -i-brioleh-j-satrio, pada tanggal 10 Nopember 2012.


(56)

Sedangkan kapan waktu pernyataan lalai itu menurut Wiryono Projodikoro, dalam buku hukum perjanjian, adalah tidak mutlak.75

Oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, dikatakan bahwa “kapan kini suatu tenggang harus dianggap fatal, itu tergantung daripada keadaan-keadaan suatu persoalan yang bersifat kenyataan”.76

Suatu pernyataan lalai ini tidak diperlukan lagi bila si berutang mengakui bahwa ia telah lalai atau telah menolak untuk berprestasi yang telah dipenuhi si berutang tidak sebagaimana mestinya, disamping dapat juga dengan perjanjian ditentukan bahwa, tidak perlu diadakan pernyataan lalai (ingebrekke stelling) dan si berutang akan lalai menurut jika ia melampaui tengggang waktu yang sudah ditentukan atau ditetapkan.

Pada perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu, maka apabila ia melakukan berarti ia telah melanggar janji, sehingga dapatlah dikatakan ia melakukan wanprestasi tanpa memerlukan pernyataan lalai terlebih dahulu. Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 pernyataan lalai tidak perlu lagi karena dengan adanya gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri itu juga dianggap sebagai teguran atau pernyataan lalai.

Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:77

75Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

(Bandung: Sumur , 1965), hal.7.

76Ibid,hal.12.


(57)

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang disanggupinya, tetapi tidak sebagaimana mestinya. c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Berbeda dengan Subekti, maka Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu:78

a. Prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara yang sepatutnya. b. Prestasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

Sedang menurut Setiawan, ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu:79 a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Terlambat memenuhi prestasi. c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

Akibat dari wanprestasi munculnya suatu ganti rugi bagi pihak yang merasa dirugikan. Menurut Nieuwenhuis, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.80Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak berwujud (moral, ideal).

78Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,Op.cit, hal. 12.

79R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, ( Bandung: Bina Cipta, 1979), Cetakan II,

hal 17-18.


(1)

Maret 2006 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan sesuai dengan Surat Ukur No. 21/Petisah tengah/2006 tertanggal 06 Maret 2006.

B. Saran.

1. Bagi para pihak yakni penyewa dan pemilik rumah yang telah melakukan Perjanjian sewa-menyewa yang tidak menentukan jangka waktu sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik baik secara akta dibawah tangan maupun akta notaril sebaiknya memperbaharui perjanjian sewa menyewa jika ada keinginan untuk melanjutkan perjanjian tersebut. Sehingga hal ini diharapkan agar adanya kepastian hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah tersebut.

2. Perjanjian sewa-menyewa rumah antara pemilik rumah dengan penyewa itu sebaiknya dibuat secara tertulis dan dilakukan dihadapan notaris (secara akta notariil), agar lebih kuat pada pembuktiannya. Perjanjian tersebut dibuat dengan memperhatikan klausula-klausula penting yang akan dituangkan dalam perjanjian sewa-menyewa tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak . Dengan demikian memperkecil kemungkinan terjadi suatu perkara atau masalah dikemudian hari.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin.Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Algra, N.E et al,Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, Cetakan pertama, 1983.

Badrulzaman, Mariam Darus et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, 2001.

___________,Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, 1991.

Erawati, Elly- Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Harahap, M.Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung , 1986.

_______________, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Hartono, Sunaryati ,Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung, 1994.

Hexley, Philip ,Law of Evidence: Cases & Materials, Blackstone Press, London. Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian ,Asas Proposionalitas Dalam Kontrak

Komersial,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke-2, 2011. Johni, Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media


(3)

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006.

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Marzuki, Peter Mahmud, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, Mei 2003.

Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008.

Meliala, Qirom S,Pokok-Pokok Hukum Perdata Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985.

Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode -Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Miru, Ahmadi,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan ketiga, 2010.

______________,Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Patrik, Purwahid,Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994. ______________, Hukum Perdata I (Azas-Azas Hukum Perikatan), Seksi Hukum

Perdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1986.

Prawirohamidjojo, Soetojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam Rangka Memperingati Dies Natalies XXXVIII Universitas Airlangga Surabaya, 11 November 1992.

Prodjodikoro, Wirjono , Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, cetakan VII, 1973.


(4)

_____________,Hukum Perdata Tentang Persetujuan - Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, Cetakan ketujuh, 1981.

______________,Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, Cetakan I, 2000. Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,

2009.

Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987. Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1985.

Sofwan, Sri Soedewi Masjschoen, Hukum Perutangan Bagian A, Seksi Hukum Perdata, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980.

Sirait, Ningrum Natasya,Hukum Kontrak Bisnis, Diktat Hukum Perusahaan, Magister Kenotariatan USU, Medan, 2010.

Subagyo, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum –Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.

_________,Aneka Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995. _________,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1984. _________,Aneka Perjanjian Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

_________,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Kelimabelas, 2005.


(5)

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Keduapuluh, 1986.

Surya Barata, Samadi,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Syahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993.

Syahrani ,Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004.

Syamsuddin, Mohd. Syaufii , Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi II, 1995.

Wuisman, J.J.J M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting: M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

B. INTERNET

Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai Dasar

Gugatan, diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan, tanggal 1 Oktober 2012. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2010 tentang Sewa

Menyewa.pdf, diakses darihttp: //putusan.mahkamahagung.go.id, tanggal 27 Pebruari 2012.

Kuncoro, NM. Wahyu, Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum….Apa Bedanya?, diakses dari http://advokatku.blogspot.com/2009/01/Wanprestasi dan-perbuatan-melawan-hukum.html, pada tanggal 10 Juni 2012.

Lembaga Kajian Dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi Demi Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung Yang Terlupakan, diakses dari http: //www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demi-kepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung- yang -terlupakan, tanggal 1 Oktober 2012.


(6)

Zein, Yahya Ahmad,Untuk Hukum Dan Keadilan, Keadilan Dan Kepastian Hukum, diakses dari http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/Keadilan dan Kepastian-hukum. html, pada tanggal 29 April 2012.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik


Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 15

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 2

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 4 21

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 33

Analisis Perbuatan Wanprestasi Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI NO. 1507 K PDT 2010)

0 0 5