PERANG JAMAL DAN SEBAB SEBAB PERSELISIHA
PERANG JAMAL & SEBABSEBAB PERSELISIHAN
Oleh Rimbun Natamarga
Dalam Minhaj AsSunnah, tentang kemunculan perselisihan tersebut, Ibnu Taimiyah
menulis,
“Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali radhiyallahu ‘anhu yang menerima
pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar di sana karena empat sebab. (1) Tidak
adanya qishash terhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3)
kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh
Utsman berada, (4) orangorang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam pasukan Ali
radhiyallahu ‘anhu.Empat alasan itulah yang membuat rakyat Syam mencurigai Ali
memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali
justru melaknat para pembunuh Utsman itu.”
Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik
terhadap Utsman sampai terbunuh. Dalam Tarikh AdDimasyq karya Ibnu Asakir dan Al
Bidayah wa AnNihayah karya Ibnu Katsir, disebutkan namanama orang yang masuk dan
melakukan kekerasan fisik itu berdasarkan riwayatriwayat yang sahih.
Orang pertama adalah lakilaki yang dijuluki AlMawt AlAswad, kematian yang
hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak
bernyawa, AlMawt AlAswad keluar.
Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul
rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.
Orang ketiga adalah Sudan bin Humran AlMuradi. Ialah yang membuat jarijari
istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang
lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan
dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.
Orang keempat adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, ‘Amr segera
menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah
tidak bernyawa lagi itu. “Tiga tikaman,” kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam
tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku.”
Khalifah Khayyath, dalam kitab tarikh miliknya, menambahkan orang kelima,
Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh
banyak orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.
Antara keluarnya AlMawt AlAswad dan masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat
masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar AshShiddiq dari istrinya yang
bernama Asma’ binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat
keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.
Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan
rombongan orangorang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan teman
temannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad
berlalu siasia.
Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang
berdarahdarah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpin—
meski dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipun—tidak akan sanggup
menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan.
Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H.
Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai
menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Ya’la bin Muniyah dan Abdullah bin ‘Amir.
Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman.
Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah
dan berdiam di sana.
Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang
diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana.
Belum lagi Ali datang, tibatiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa
pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat
dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair
dan Aisyah juga dibantu oleh pendudukpenduduk Bashrah.
Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan
rombongan sahabatsahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk
datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai
pasukan Kufah.
Masingmasing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha
mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh AlMiqdad bin AlAswad dan AlQa’qa
bin ‘Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.
Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman.
Selain itu, masingmasing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang.
Satusatunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.
Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tibatiba sebuah pasukan yang
diorganisasi oleh oknumoknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam
rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu
fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan
Ali. Mereka segera melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.
Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali
telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik.
Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya.
Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan
Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka.
Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi di antara mereka itu
berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair,
masingmasing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korban
korban telah berjatuhan.
Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Ka’ab bin Sur untuk
menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Ka’ab mencoba menarik
perhatian kedua belah pihak meminta—dengan nama Allah—untuk berhenti
menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Ka’ab tewas dihujani anakanak panah.
Thalhah termasuk orangorang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang
anak panah takbertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat
berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai.
Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang
menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah
yang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda
Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, “Sungguh, engkau akan memerangi
Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim.” Salah satu perawi hadits ini
diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.
Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota
pasukan Ali. Pembunuh itu bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian
Zubair itu, Ali segera berkata kepada ‘Amr, “Kabari orang yang membunuh putra
Shafiyyah itu dengan Neraka.” Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair.
Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang.
Sekedup Aisyah terjatuh dan orangorang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus
menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena
membela keselamatan Aisyah.
Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan
serangan. Ali secara langsung memerintahkan orangorangnya untuk mengamankan
sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.
Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk
mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana.
Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu ‘anhu memimpin shalat
jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Hartaharta yang telah
dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orangorang yang lari dari perang
dibiarkannya dan tidak dikejar.
Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya.
Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.
Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk
kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika
melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil
dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu ‘anhum.
Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orang
orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, “Wahai anakanakku, jangan kalian saling
mencacimaki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah
yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudarasaudara iparnya. Walaupun aku
pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih.”
Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, “Beliau benar. Demi Allah, tidak
ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau
adalah istri nabi kalian radhiyallahu ‘anha di dunia dan di akhirat”.[]
Oleh Rimbun Natamarga
Dalam Minhaj AsSunnah, tentang kemunculan perselisihan tersebut, Ibnu Taimiyah
menulis,
“Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali radhiyallahu ‘anhu yang menerima
pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar di sana karena empat sebab. (1) Tidak
adanya qishash terhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3)
kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh
Utsman berada, (4) orangorang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam pasukan Ali
radhiyallahu ‘anhu.Empat alasan itulah yang membuat rakyat Syam mencurigai Ali
memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali
justru melaknat para pembunuh Utsman itu.”
Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik
terhadap Utsman sampai terbunuh. Dalam Tarikh AdDimasyq karya Ibnu Asakir dan Al
Bidayah wa AnNihayah karya Ibnu Katsir, disebutkan namanama orang yang masuk dan
melakukan kekerasan fisik itu berdasarkan riwayatriwayat yang sahih.
Orang pertama adalah lakilaki yang dijuluki AlMawt AlAswad, kematian yang
hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak
bernyawa, AlMawt AlAswad keluar.
Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul
rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.
Orang ketiga adalah Sudan bin Humran AlMuradi. Ialah yang membuat jarijari
istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang
lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan
dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.
Orang keempat adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, ‘Amr segera
menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah
tidak bernyawa lagi itu. “Tiga tikaman,” kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam
tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku.”
Khalifah Khayyath, dalam kitab tarikh miliknya, menambahkan orang kelima,
Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh
banyak orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.
Antara keluarnya AlMawt AlAswad dan masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat
masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar AshShiddiq dari istrinya yang
bernama Asma’ binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat
keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.
Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan
rombongan orangorang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan teman
temannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad
berlalu siasia.
Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang
berdarahdarah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpin—
meski dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipun—tidak akan sanggup
menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan.
Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H.
Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai
menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Ya’la bin Muniyah dan Abdullah bin ‘Amir.
Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman.
Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah
dan berdiam di sana.
Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang
diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana.
Belum lagi Ali datang, tibatiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa
pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat
dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair
dan Aisyah juga dibantu oleh pendudukpenduduk Bashrah.
Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan
rombongan sahabatsahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk
datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai
pasukan Kufah.
Masingmasing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha
mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh AlMiqdad bin AlAswad dan AlQa’qa
bin ‘Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.
Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman.
Selain itu, masingmasing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang.
Satusatunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.
Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tibatiba sebuah pasukan yang
diorganisasi oleh oknumoknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam
rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu
fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan
Ali. Mereka segera melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.
Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali
telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik.
Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya.
Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan
Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka.
Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi di antara mereka itu
berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair,
masingmasing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korban
korban telah berjatuhan.
Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Ka’ab bin Sur untuk
menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Ka’ab mencoba menarik
perhatian kedua belah pihak meminta—dengan nama Allah—untuk berhenti
menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Ka’ab tewas dihujani anakanak panah.
Thalhah termasuk orangorang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang
anak panah takbertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat
berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai.
Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang
menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah
yang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda
Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, “Sungguh, engkau akan memerangi
Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim.” Salah satu perawi hadits ini
diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.
Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota
pasukan Ali. Pembunuh itu bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian
Zubair itu, Ali segera berkata kepada ‘Amr, “Kabari orang yang membunuh putra
Shafiyyah itu dengan Neraka.” Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair.
Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang.
Sekedup Aisyah terjatuh dan orangorang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus
menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena
membela keselamatan Aisyah.
Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan
serangan. Ali secara langsung memerintahkan orangorangnya untuk mengamankan
sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.
Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk
mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana.
Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu ‘anhu memimpin shalat
jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Hartaharta yang telah
dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orangorang yang lari dari perang
dibiarkannya dan tidak dikejar.
Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya.
Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.
Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk
kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika
melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil
dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu ‘anhum.
Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orang
orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, “Wahai anakanakku, jangan kalian saling
mencacimaki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah
yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudarasaudara iparnya. Walaupun aku
pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih.”
Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, “Beliau benar. Demi Allah, tidak
ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau
adalah istri nabi kalian radhiyallahu ‘anha di dunia dan di akhirat”.[]