Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Ser

STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET
SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN,
SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI
SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI

A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya
1. Kredit dan Fungsi Kredit
Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11,
adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian
kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit
oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank
hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika
ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai
dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal
tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga
tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan.
Unsur kredit yang paling esensial adalah “kepercayaan” dari bank/kreditor terhadap

nasabah peminjam/debitu. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan
dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur, antara lain, jelasnya tujuan
peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Unsur-unsur kredit
terdiri atas :
a.
b.
c.
d.

Kepercayaan.
Tenggang Waktu.
Degree of risk (tingkat resiko).
Prestasi atau objek kredit.
Dalam sektor perbankan yang lebih luas, unsur-unsur kredit juga meliputi: organisasi

dan manajemen perkreditan, dokumen dan administrasi kredit, perjanjian kredit, agunan,
penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya. Dalam perkreditan ditemukan banyak
ketentuan yang mengatur dan membatasinya, hal itu karena memang bidang perbankan
merupakan kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan dibatasi ketentuan perundang1


undangan. Dengan kondisi seperti itu maka peraturan perundang-undangan merupakan salah
satu unsur utama dari kegiatan perkreditan.
2. Hukum Jaminan Pada Umumnya
Pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUHPer, yaitu Buku II
KUHPer, melainkan juga terdapat di luar KUHPer. Di dalam buku II KUHPer mengatur
mengenai jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (BAB
XIX), tentang gadai (BAB XX), dan tentang hipotek (BAB XXI). Adapun buku III KUHPer
mengatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang(Borgtocht) (BAB
XVII). Di luar KUHper, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai dalam :
1. KUHD.
2. UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
3. UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 10 Tahun 1998.
5. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.


B. Penyelesaian Kredit Macet
Penyelesaian Kredit Macet, jika kreditur memegang jaminan kebendaan berupa
jaminan hak tanggungan atau jaminan fidusia maka kreditur tersebut memiliki hak untuk
mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika
debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut
dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan
yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

2

1.

Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual
barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah
dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan
jangka waktu yang pasti.
Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan


2.

Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk
mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

3.

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan
hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera
janji (wanprestasi).
Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat
pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"
(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok,
perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.
Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk
prestasi, yaitu:
1.

Untuk memberikan sesuatu;


2.

Untuk berbuat sesuatu; dan

3.

Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa
wujud wanprestasi bisa berupa:
1.

Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.

Debitur keliru berprestasi;

3.


Debitur terlambat berprestasi.

Biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum,
dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H.,
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana
kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian
secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas
macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih
bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).
Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai
berikut:
3

1.

Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang
menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang,

2.


baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syaratsyarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,
dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan

3.

bank;
Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa
penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga
menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit
menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran

kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada
baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan
kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang
jaminan.
Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang

diberikan

oleh

debitur

dapat

kita

lihat

dalam Kitab

Undang-Undang

Hukum

Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
4.


Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual
barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah
dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan

5.

jangka waktu yang pasti.
Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk

6.

mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan
hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera
janji (wanprestasi).
Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat


pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"
(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok,
perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.
4

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk
prestasi, yaitu:
1.

Untuk memberikan sesuatu;

2.

Untuk berbuat sesuatu; dan

3.

Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa

wujud wanprestasi bisa berupa:
1.

Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.

Debitur keliru berprestasi;

3.

Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya
sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang
jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui
putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan
tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang
isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya,
maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila
pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan
eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada
apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur
melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk
wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan
dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.
Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum,
dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H.,
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana
kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian
secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas
macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih
bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).
Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai
berikut:

5

4. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut
jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi
perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
5. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syaratsyarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,
dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan
bank;
6. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa
penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga
menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit
menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran
kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada
baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan
kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang
jaminan.
Menurut Penulis ada 3 langkah yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan kredit
macet yakni :
1. Penyelesaian kredit macet melalui penjualan jaminan secara sukarela (penjualan
dibawah tangan.
2. Penyelesaian kredit macet melalui Parate Executie.
3. Penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di Pengadilan.
1. Penyelesaian Kredit Macet melalui Penjualan Jaminan Secara Sukarela
(Penjualan Dibawah Tangan)
Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat
(2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah
yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak tanggungan oleh kreditor sendiri
secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik
tanah dan bangunan dimaksud.
Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek hak tanggungan hanya dapat
dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka bank
tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek hak tanggungan atau
6

agunan kredit apabila debitor tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit
macet, debitor tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh
persetujuan dari nasabah debitor. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan
obyek hak tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan
pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual
dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan
bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelengan umum.
Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk
membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.
Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan
pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang
terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan berada. Hal ini
dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari
pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.
Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek hak tanggunganadalah
adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh
persetujuan dari nasabah debitor dapat terjadi karena, misal :
a. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit
ditemui atau tidak kooperatif;
b. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.
Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami
kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam
perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri
agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitor untuk memberikan surat
kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan
tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jagajaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitor membayar utangnya dengan lancar. Alasan
lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shocktherapy” bagi
debitor, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi.
Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain
oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek
7

tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak
penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena
alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai
kebutuhan praktek.
Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792
KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan kekuasaan
kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan”
Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa
adalah:
a. Persetujuan;
b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan
c. Atas nama pemberi kuasa.
Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatau perikatan;
Suatu hal tertentu; dan
Suatu sebab yang halal.
Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk

menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak,
baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.
Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan
atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa.
Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum
dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum
tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas
nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama
pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu
justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut,
misalnya :
a. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas tagihan
dari debitor, yang untuk keperluan mana debitor memberi kuasa kepada bank untuk
menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan dengan utang debitor;
8

b. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama
diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan
apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:
“Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada
waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi
semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang
tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.”
Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah
(UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdatatersebut tidak berlaku untuk jaminan
berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan
Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan
melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi).
Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli
bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi
syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat
tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya).
Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian. pendahuluan (perjanjian pengikatan
jual-beli). Dalam perjanjian tersebut penjual memberi kuasa kepada pembeli apabila syaratsyarat tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual,
harga jual beli telah dilunasi seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak tersebut
guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.
Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja
mempunyai kekuasaan mewakili. (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili
(vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan
mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata,
di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur
pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat
9

menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan
mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditor atau bakal pembeli dalam contoh di
atas) sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian,
dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian tersebut (integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan
penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat
bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau
disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.
Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa
sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang
Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang
telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas
tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu:
“Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya
mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.
Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa
mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan
menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum
hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”
2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Kredit Melalui Parate Eksekusi
Permasalahan parate eksekusi jaminan kredit bagi bank sangat penting karena sesuai
dengan fungsi hak jaminan berkaitan dengan pemberian kredit adalah sebagai pengaman
terakhir kredit yang diberikan oleh bank tersebut dapat kembali dan menguntungkan, yaitu
dengan cara eksekusi/menjual agunan kredit tersebut dan hasilnya diperuntukan bagi
pelunasan utang debitur, sedangkan apabila dari hasil penjualan terdapat sisa setelah
digunakan pembayaran utangnya, maka sisa itu dikembalikan kepada debitu. Jika dari hasil
penjualan terdapat kekurangan, maka kekurangannya wajib dibayar debitur, berdasarkan
pasal 1131 KUHPer.
Dalam kenyataannya, hak-hak yang melekat pada agunan kredit tersebut tidak
sepenuhnya mudah untuk dilaksanakan. Sekalipun jelas sekali undang-undang mengatur
mengenai kemudahan bagi kreditor untuk melakukan penjualan objek jaminan kredit, baik
yang dilakukan melalui kantor lelang maupun penjualan di bawah tangan, tetapi dalam
10

praktik, hal tersebut masih terdapat kendala, yaitu masih diperlukannya fiat eksekusi dari
Pengadilan. Berdasarkan penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak
Tanggungan, bahwa terdapat kata-kata “melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga
parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.” Ini berarti, sekalipun debitur
telah cidera janji, penjualan objek hak jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan.
Dalam praktik, pihak kantor lelang akan meminta adanya fiat pengadilan mengenai eksekusi
jaminan kredit. Tanpa adanya penetapan pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit,
pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih terdapat permasalahan hukum.
Sering terjadi, walaupun pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek jaminan
kredit, pihak debitur mengadakan upaya bantahan mengenai penetapan eksekusi tersebut
dengan alasan-alasan yang dapat diterima hakim. Hal demikian juga akan memperpanjang
pelaksanaan eksekusi jaminana kredit.
Dasar dilakukannya lelang terdapat dalam undang-undang yang mengatur mengenai
hak jaminan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, penjualan melalui lelang
atas hak tanggungan berdasarkan janji, yang diatur dalam Pasal 6, yang intinya adalah apabila
debitur cidera janji, kreditor (pemegang hak tanggungan) atas kekuasaan sendiri menjual
melalui lelang umum serta mengambil pelunasan piutangnya.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, sertifikat hak
tanggungan disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Namun, dalam penjelasan tersebut antara lain dinyatakan tata cara pelaksanannya
dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
3. Penyelesaian Kredit Macet Melalui Gugatan Perdata di Pengadilan
Mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN) atas dasar wanprestasi
(ingkar janji/cedera janji) dapat dijadikan opsi oleh Bank untuk menyelesaikan portfolio
kredit macet. Opsi ini dapat ditempuh manakala pihak bank tidak dapat melakukan eksekusi
grosse akta melalui Pengadilan Negeri disebabkan antara lain perjanjian kreditnya tidak
diiringi pembuatan grosse akta pengakuan utang yang dibuat secara notarial.
Penyelesaian kredit macet melalui gugatan di Pengadilan Negeri, dalam teorinya, asas
peradilan adalah asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Keuasaan Kehakiman. Namun demikian
dalam praktiknya bersengketa di Pengadilan bisa memakan waktu bertahun-tahun dan dengan
biaya tidak sedikit.

11

Proses mediasi harus terlebih dahulu dilalui yang jangka waktunya paling lama 40
hari, sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008. Setelah mediasi dilalui
sebenarnya dalam melakukan pemeriksaan dan memutus perkara perdata apabila berjalan
lancar dapat diselesaikan selama delapan minggu atau delapan kali persidangan.
Adapun rincian acara persidangan dimaksud, apabila dapat berjalan lancar setiap
sekali seminggu sebagai berikut :
1. Sidang pertama
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

: Pemeriksaan identitas para pihak bersengketa dan penunjukan
Mediator.
Mediasi dengan mediator paling lama selama 40 (empat puluh) hari
Sidang kedua
: Jawaban tergugat.
Sidang ketiga
: Replik.
Sidang keempat
: Duplik.
Sidang kelima
: Pembuktian oleh penggugat.
Sidang keenam
: Pembuktian oleh tergugat.
Sidang ketujuh
: Kesimpulan masing-masing pihak.
Sidang kedelapan
: Putusan.
Hambatan dalam memeriksa perkara dengan cepat dalam perkara perdata

sebagaimana dimaksud diatas, pada umumnya berasal dari para pihak yang berperkara itu
sendiri. Salah satu yang sering ditemui dalam persidangan antara lain salah satu pihak
berhalangan hadir, belum siap jawaban/replik/duplik, belum siap bukti dan saksi, yang
kesemuanya menyebabkan sidang ditunda paling cepat satu minggu dan bisa lebih lama dari
itu.
Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang tidak puas terhadap putusan
tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang perlu
diperhatikan adalah tata cara pengajuan banding sebagai berikut :
1. Mengajukan Permohonan Banding dengan membuat akta pernyataan banding di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dalam waktu paling
lambat 14 hari sejak putusan dibacakan (jika prinsipal atau kuasanya hadir di
persidangan) atau sejak relaas putusan diterima jika putusan dibacakan secara verstek.
Jika lewat waktu maka berakibat permohonan banding tidak dapat diterima.
2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat permohonan banding dan
membuat memori banding dengan surat kuasa khusus untuk itu.
3. Penyerahan memori banding tidak harus dilakukan secara bersamaan dengan
pembuatan akta banding, penyerahan memori banding dapat dilakukan kapan saja
asalkan selama perkara banding tersebut belum diputus pengadilan tinggi. Hal ini
didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973 yang menyatakan undang-undang
tidak menentukan batas waktu penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu,
12

memori banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam tingkat banding
belum memutus perkara tersebut.
4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama perkara banding tersebut
belum diputus di Pengadilan Tinggi.
5. Membayar biaya perkara banding.
Setelah diputus di tingkat banding yakni di Pengadilan Tinggi, maka apabila ada dari
pihak yang bersengketa tidak puas dengan putusan tingkat banding maka dapat mengajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal-hal yang perlu untuk diperhatikan adalah
sebagai berikut :
1. Mengajukan Permohonan Kasasi dengan membuat akta pernyataan kasasi di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama,
tenggang waktunya adalah paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.
2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat pemohonan kasasi dan
membuat memori kasasi dengan surat kuasa khusus untuk itu.
3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan tenggang waktu 14 hari
setelah permohonannya didaftar.
4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari
setelah Salinan memori kasasi diterima.
5. Membayar biaya perkara kasasi.
Terhadap putusan tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung dapat diajukan Peninjauan
Kembali (PK) dengan ketentuan Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :
”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

13

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.”
Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :
“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau
sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah
diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta
tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan
itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara.”
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka hal penting yang harus diperhatikan
dalam pengajuan permohonan PK adalah :
1. Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini terbatas hanya
pada bentuk Alat Bukti Surat.
2. Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali
(PK) ini, harus bersifat menentukan.
3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan pejabat yang berwenang.1
4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.

1

Catatan Penulis : Pengakuan tersumpah Dikenal juga Affidafit. Adapun
terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b
tersebut tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan,
maka tidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam
melakukan pengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada
umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan
pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di
hadapan dan oleh pejabat tersebut.
Dikaitkan dengan perkara, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum
adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya
dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu, jika alat bukti
surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka
pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh
pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

14

Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan tanggal ditemukan alat bukti
surat itu, pemohon PK harus menyatakan di bawah sumpah dimana :
1. Pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan
tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun
Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor dimana alat bukti surat itu
ditemukan.
2. Selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu
tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat
pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu
tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah
saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat
bukti surat tersebut tidak sah sebagai alasan permohonan PK.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dalam praktiknya memakan waktu lama.
Debitur sering memanfaatkan lamanya waktu penyelesaian perkara di Pengadilan. Bahkan
adakalanya debitor sengaja menggugat kreditor dengan tujuan untuk mengulur-ulur waktu
pembayaran dan menggunakan dalih “masih dalam sengketa” untuk menghalang-halangi
eksekusi jaminan. Oleh karena itu bank dalam menghadapi debitor semacam itu memerlukan
strategi khusus.
Namun demikian Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004,
ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya
yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya Peninjauan
Kembali (“PK”) tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi.
4. Eksekusi Putusan Pengadilan
Sebuah perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap,
maka eksekusinya tidak dilaksanakan secara otomatis oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan
Negeri dalam perkara perdata bersikap pasif, karena eksekusi putusannya harus diminta oleh
pihak yang menang dalam berperkara yang disebut disebut pemohon eksekusi. Sikap
pengadilan yang demikian, sejalan dengan hukum perdata adalah hukum pribadi, sehingga
terserah kepada pihak yang berperkara itu sendiri, apakah akan dieksekusi atau tidak putusan
pengadilan.
15

Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat beberapa jenis sebagaimana
diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H. yakni :
1. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis, condemnatory verdict).
2. Putusan Deklarator (declaratoir vonnis, declaratory verdict).
3. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis, constitutive verdict).
Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil dan eksekusi pembayaran. M.
Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :
“Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak
dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya
sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan,
yaitu melakukan suatu “tindakan nyata” atau “tindakan riil”, sehingga eksekusi semacam
ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan
amar putusan, melakukan “pembayaran sejumlah uang”. Eksekusi yang seperti ini disebut
“pembayaran uang”.
Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata dimana putusan hakim yang
telah mempunyai putusan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua
jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat dieksekusi.
Lilik Mulyadi, S.H. berpendapat :
“Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan amar berisi
penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti: penghukuman berisi penyerahan sesuatu
barang, mengosongkan sebidang tanah, membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu
perbuatan tertentu dan lain-lain. Sedangkan terhadap putusan hakim dengan sifat amar
“deklaratoir” atau “konstitutif” tidak memerlukan eksekusi oleh karena pada putusan
tersebut mengandung sifat dan dan keadaan dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai
berlaku/tercipta sejak putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.”
Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang bersifat
menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau konstitutif tidak perlu
dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan oleh hakim,
maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan
kondemnator bisa berupa putusan untuk:
a. Menyerahkan suatu barang.
b. Mengosongkan sebidang tanah.
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu.
d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
16

e. Membayar sejumlah uang.
Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari point a sampai dengan point d adalah
penghukuman untuk bentuk eksekusi riil, sedangkan pada point e adalah eksekusi
pembayaran uang.
Ada tiga hal yang membedakan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran. M.
Yahya Harahap S.H. menyebutkan yang membedakaan itu adalah sebagai berikut:
1. Eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang
memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi.
Jika diperhatikan dengan seksama, menjalankan eksekusi riil sangat mudah dan
sederhana. Ambil contoh penghukuman pengosongan tanah. Cara eksekusinya sederhana.
Prosesnya pun sangat mudah dengan jalan memaksa tergugat keluar meninggalkan tanah
tersebut. Begitu pula pada bentuk eskekusi riil yang lain. Pada dasarnya secara teoritis sangat
mudah dan sederhana. Lain halnya mengenai eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Adakalanya terhukum sama sekali tidak mempunyai uang tunai. Yang ada hanya harta benda.
Diperlukan syarat dan tata tertib yang terinci. Secara garis besarnya tahapannya adalah
melalui proses sita jaminan (esxecutorial beslag) dan kemudian dilanjutkan dengan penjualan
lelang yang melibatkan jawatan lelang.
Penahapan proses itu tidak perlu dalam menjalankan eskesusi riil. Pada eksekusi riil,
Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan
eksekusi. Berdasarkan penetapan itu, panitera atau juru sita pergi ke lapangan melaksanakan
penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran,
eksekusi sudah dianggap terlaksana. Berbeda halnya dengan ekskusi pembayaran sejumlah
uang. Untuk mendapatkan uang itu, harta tergugat harus lebih dahulu dilelang dan untuk
sampai pada tahap lelang terdapat tata cara tersendiri.
2. Eksekusi riil terbatas putusan pengadilan, sedang eksekusi pembayaran uang meliputi
akta yang disamakan dengan putusan pengadilan .
Eksekusi riil hanya terjadi dan mungkin diterapakan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memunyai kekuatan hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dahulu, berbentuk
provisi dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengdilan. Eksekusi pembayaran sejumlah
uang tidak hanya didasarkan atas putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta
tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap yang terdiri dari grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek,
crediet verband, hak tanggungan, jaminan fidusia.

17

Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse akta. Sebab grosse akta
pengakuan utang, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan
hukum utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran sejumlah uang. Jadi,
bentuk kelahiran terjadinya grosse akta itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi
pembayaran sejumlah uang.
3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan.
Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau
persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa
atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembyaran sejumlah uang,
dasar hubungan hukumnya hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan
ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal
225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang
dihukumkan pada waktu tertentu.
Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan eksekusi pembayaran sejumlah
uang. Pada dasarnya eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah untuk melaksanakan
putusan pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh putusan
pengadilan. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan putusan berupa pembayaran
sejumlah uang sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan berwenang
untuk melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara penjualan lelang harta
kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak
yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam
amar putusan.
Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat langsung dilakukan dan
hasilnya langsung diperoleh oleh penerima hak dari pihak yang dihukum. Terdapat tahapantahapan yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan penyerahan hasil lelang
kepada penerima hak atas pihak yang dihukum adalah tahapan terakhir dalam eksekusi.
Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut :
1. Peringatan (aanmaning).
Peringatan (aanmaning) merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan
merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil
maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Peringatan (aanmaning) baru dapat dilakukan setelah diterimanya pengajuan
permohonan eksekusi dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk pengajuan eksekusi dapat
dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Selama belum ada permohonan eksekusi,
18

proses peringatan tidak dapat dilakukan. Namun demikian, ketika sudah diajukan
permohonan eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan
(aanmaning). Batas waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua Pengadilan
Negeri maksimal adalah 8 (delapan) hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 196 HIR.
Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak tergugat tidak hadir
memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan
dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera
atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi (executoriale beslag).
2. Sita Eksekusi (executorial beslag)
Sita eksekusi atau (executorial beslag) merupakan tahap lanjutan dari peringatan
dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR.
Mengenai sita eksekusi (executorial beslag) ada beberapa hal yang perlu dijelaskan
oleh penulis adalah sebagai berikut :
a. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, surat perintah dilakukan setelah surat
peringatan (aanmaning). Penahapan proses sita eksekusi harus disusul dengan
penahapan surat perintah penjualan lelang. Setelah

penahapan proses perintah

penjualan lelang baru kemudian dilakukan proses penahapan penjualan lelang oleh
jawatan lelang. Mengenai penahapan penjualan lelang akan dibahas lebih lanjut dalam
pemabahasan tersendiri.
b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi, surat perintah eksekusi berisi
perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta
kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan batas yang ditentukan
pasal 197 ayat (1) HIR.
c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi dibantu dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Ketentuan ini adalah syarat formil yang ditentukan
Pasal 197 ayat (6) HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan dua orang
saksi menurut hukum dianggap tidak memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi
dianggap tidak sah.
d. Tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan
pelaksanaan sita eksekusi dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita.
19

Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 197 ayat (5) dan ayat (9) HIR. Maksudnya
adalah panitera atau juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak disita
terletak untuk melihat sendiri jenis barang maupun ukuran dan letak barang yang
hendak disita eksekusi bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.
e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita eksekusi. Autentikasi sita
eksekusi sebagai tindakan hukum dituangkan dalam berita acara. Berita acara
merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa berita acara sita eksekusi
dianggap tidak pernah terjadi. Hal inilah yang disinggung Pasal 197 ayat (5) dan (6)
HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang dilakukan panitera atau juru
sita mesti dilengkapi dengan pembuatan berita acara.
f.

Pasal 197 ayat (5) HIR menentukan berita Acara eksekusi diberikan kepada tersita
eksekusi jika tersita hadir pada waktu pelaksanaan eksekusi. Walaupun undangundang menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap diberikan kepada
tereksekusi walapun dia tidak hadir.

g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak tersita.
Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak tersita. Hadir atau
tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.
h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan pihak tersita. Penjagaan
dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan kepada pemohon eksekusi.
Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik tereksekusi atas barang yang
disita. Selama barang yang disita eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita masih
tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini berdasarkan dengan hak penjagaan dan
penguasaan barang yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (9)
HIR.
3. Lelang Eksekusi (executoriale verkoop).
Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang (executorial verkoop). Hal ini
ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR yang berbunyi :
“penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut
keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau
orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan
dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana
penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.”

20

Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang
sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang. Penjualannya disebut penjualan
lelang (executorial verkoop).
5. Perlawanan Terhadap Eksekusi
Menurut pasal 195 ayat (6) HIR diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk
mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan. Tidak selamanya
perlawanan dapat menunda eksekusi. Bank perlu cermat dalam menyikapi dan mengambil
langkah hukum apabila berhadapan dengan “debitor nakal” yang sengaja menunda-nunda
eksekusi dengan alasan masih ada “perlawanan” terhadap eksekusi putusan pengadilan.
Syarat agar perlawanan yang dapat menunda eksekusi adalah sebagai berikut :
a. Perlawanan diajukan sebelum eksekusi dijalankan.
b. Pihak yang mengajukan perlawanan adalah pihak ketiga yang tidak ikut dalam
perkara dimana pihak ketiga tersebut memiliki hak terhadap objek eksekusi.
c. Terdapat perdamaian antara para pihak yang bersengketa mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
d. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah dijalankan secara
sukarela.

21

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan penegakannya,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1987.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja
PressindoYogyakarta, 2013.
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta,
2010.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia,
Djambatan, Jakarta, 1997.
Moh.Tau