Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Jeruk Nipis 2.1.1. Taksonomi

Secara taksonomi, tanaman Citrus aurantifolia termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae Genus : Citrus

Spesies : Citrus aurantifolia

Jeruk nipis memiliki beberapa nama yang berbeda, antara lain jeruk pecel (Jawa), jeruk durga (Madura), jeruk alit, kaputungan, dan lemo (Bali), mudutelong (Flores), lemo ape, lemo kapasa (Bugis), usinepese (Ambon), lemau nepis (Kalimantan), limau nipis (Malaysia), summa nao atau manao (Thailand), acid lime (Inggris), limmece, limah (Arab), zhi qiao (Cina) (Hariana, 2006). 2.1.2. Asal Usul

Asal usul dan penyebaran geografis jeruk nipis diduga berasal dari India Utara yang berbatasan dengan Myanmar, atau di Malaysia bagian utara. Namun menurut Swingle, jeruk nipis berasal dari kepulauan di Asia Tenggara.

Jeruk nipis tiba di Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Kolumbia, Ekuador) melalui Kepulauan Pasifik. Ia dibawa bangsa Polynesia yang berlayar sampai ke pantai barat Amerika.

Semua jeruk nipis yang berkembang di Eropa dibawa orang dari India ke Persia, Palestina, Mesir, dan Eropa oleh bangsa Arab. Saatnya bersamaan dengan jeruk lemon. Hal ini diutarakan dalam pustaka bangsa Arab pada abad ke-13 (Sarwono, 2001).


(2)

2.1.3. Jeruk Nipis Indonesia

Jeruk nipis yang dibudidayakan di Indonesia tidak jelas varietasnya. Namun di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Tlekung, Malang, telah dikoleksi kultivar jeruk nipis komersial yang disebut jeruk nipis wajak. Bibit yang dikembangkan adalah bibit jeruk bebas penyakit.

Ciri-ciri karakter jeruk nipis lokal yaitu: pohonnya tumbuh sebagai pohon kecil bercabang lebat, tetapi tak beraturan. Tajuknya selalu hijau. Tinggi pohon berkisar antara 1,5 sampai 5 m. Ranting-rantinngnya berduri pendek, kaku, dan tajam. Daunnya tunggal, selang-seling, berbentuk jorong sampai bundar, dan berukuran (4-8) cm x (2-5) cm. Pada bagian pinggir daun bergerigi kecil dan tangkai daunnya bersayap sempit.

Bunga jeruk nipis berbentuk tandan pendek, berada di ketiak daun pada pucuk yang baru merekah. Banyaknya bunga per tandan sekitar 1-10 kuntum. Bunga putih terlihat sewaktu masih kuncup. Daun kelopaknya berbentuk cawan, dan bercuping sekitar 8-12 cm. Benang sarinya berjumlah antara 20 sampai 25 utas. Tangkai putiknya mudah dibedakan dengan bakal buah.

Daging buah jeruk nipis bersegmen. Segmen buahnya berdaging hijau kekuning-kuningan dan mengandung banyak sari buah yang beraroma harum. Sari buahnya asam sekali. Sari buahnya yang sangat asam berisi asam sitrat berkadar 7-8% dari berat daging buah. Ekstrak sari buahnya sekitar 41% dari bobot buah yang sudah masak.

Produktivitas jeruk nipis sangat tergantung dari umur, kondisi tanaman, keadaan iklim, kesuburan tanah, dan pemeliharaan tanaman. Di Indonesia jeruk nipis bisa berbunga dan berbuah secara serentak, dan bisa berlangsung sepanjang tahun. Untuk berkembang, buah jeruk nipis memerlukan waktu 5-6 bulan, sejak muncul bunga sampai buah siap dipanen. Buah masak pohon akan berubah warna: dari hijau menjadi kuning. Setelah mencapai tahap masak penuh, jeruk akan jatuh ke tanah.

Jeruk nipis dipasarkan dalam bentuk buah segar. Buah dipetik pada saat umurnya sudah cukup tua, saat warna kulitnya masih hijau, tetapi kondisinya menjelang proses pemasakan penuh.


(3)

Buah yang masih hijau menandakan belum masak penuh. Buah yang djual di pasar, umumnya masih berwarna hijau. Buah seperti ini cocok untuk pengiriman jarak jauh atau dipasarkan di daerah lain, sebab yang hijau itu akan berubah menjadi kuning setelah terperam selama dalam proses pengiriman. Ketika sampai di tangan konsumen, buah sudah masak penuh (Sarwono, 2001).

Gambar 1. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) (Sarwono, 2001)

Gambar 2. Pohon Jeruk Nipis (Sarwono, 2001)

2.1.4. Kandungan dan Manfaat Jeruk Nipis

Menurut hasil analisis di Thailand, per 100 gram bagian buah yang dapat dimakan, komposisinya sebagai berikut: 91 gram kandungan air, 0,5 gram protein, 2,4 gram lemak, 5,9 gram karbohidrat, 0,3 gram serat, 17 Si vitamin A, 46 mg vitamin C, dan sekitar 150 kj nilai energi (Sarwono, 2001).


(4)

Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam jeruk nipis diantaranya asam sitrat sebanyak 7-7,6%, damar lemak, mineral, minyak terbang, sitral limonen, fellandren, lemon kamfer, geranil asetat, cadinen, dan linalin asetat. Selain itu, jeruk nipis juga mengandung vitamin C sebanyak 27 mg/100 g jeruk, Ca sebanyak 40 mg/100 g jeruk, dan P sebanyak 22 mg (Hariana, 2006).

Berdasarkan Daftar Komposisi Baban Makanan, yang dikeluarkan Lembaga Makanan Rakyat Departemen Kesehatan, setiap 100 gram jeruk nipis mengandung 86 gram air, 0,8 gram protein, 0,3 gram lemak, 12,3 gram karbohidrat, 40 mg kalsium, 22 gram fosfor, 0,6 mg zat besi, 0,04 mg vitamin B1, 27 mg vitamin C, dan 37 kalori energi. Bagian yang dapat dimakan sekitar 76% dari bobot keseluruhan (Sarwono, 2001).

Jeruk nipis memiliki berbagai macam manfaat. Daun jeruk dan bunga jeruk nipis dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi, batuk, lendir tenggorokan, demam, panas pada malaria, jerawat, ketombe, dan lain-lain. Air buahnya digunakan sebagai penyedap masakan, minuman penyegar, bahan pembuat asam sitrat, membersihkan karat pada logam atau kulit yang kotor. Selain itu, dapat digunakan sebagai obat tradisional maupun campuran jamu (Dalimarta, 2000). Efek farmakologis yang dimiliki oleh jeruk nipis di antaranya antidemam, mengurangi batuk, antiinflamasi, dan antibakteri (Hariana, 2006). Manfaat lain yang dimiliki oleh jeruk nipis adalah sebagai antifungi. Berdasarkan penelitian Anggrahini (2014), ekstrak jeruk nipis berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dimana semakin besar konsentrasi, maka diameter zona hambat yang terbentuk juga semakin besar.

2.2.Streptococcus pyogenes

Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus pyogenes

Sebagian besar streptokokus yang mempunyai antigen grup A adalah S. pyogenes. S. pyogenes merupakan patogen utama pada manusia yang berhubungan dengan invasi lokal atau sistemik dan penyakit imunologis


(5)

pascainfeksi-streptokokus. S. pyogenes secara khas menghasilkan zona-zona hemolisis β yang besar (diameter 1 cm) di sekitar koloni yang berdiameter lebih dari 0,5 mm. S. pyogenes bersifat PYR-positif (menghidrolisis I-pyrrolidonyl-2-naphthylamide) dan biasanya sensitif terhadap basitrasin (Brooks et al., 2012).

Gambar 3. Streptokokus yang Tersusun dalam Bentuk Rantai (Sturm, 2011)

Gambar 4. Streptococcus pyogenesyang Dikelilingi oleh Zona Hemolisis β (Buxton, 2010)

2.2.1. Morfologi dan Identifikasi 1. Organisme topikal

Masing-masing kokus berbentuk bulat atau ovoid dan tersusun menyerupai rantai. Kokus membelah diri pada bidang yang tegak lurus terhadap sumbu panjang rantai. Anggota kokus yang tersusun dalam rantai sering memiliki gambaran diplokokus yang nyata dan sesekali tidak menyerupai batang. Panjang rantai sangat bervariasi dan dipengaruhi faktor lingkungan. Streptokokus bersifat


(6)

gram positif, tetapi seiring bertambahnya usia kultur dan kematian bakteri, streptokokus kehilangan sifat gram positifnya dan dapat tampak sebagai gram-negatif; untuk sebagian streptokokus, hal ini dapat terjadi setelah inkubasi selama satu malam (Brooks et al., 2012).

2. Kultur

Sebagian besar streptokokus tumbuh pada medium solid sebagai koloni doskoid, biasanya berdiameter 1 – 2 mm. S. pyogenes merupakan tipe hemolitik β. Hemolisis tipe β, membentuk zona bening di sekeliling koloninya, tidak ada sel darah merah yang masih utuh, zona tidak bertambah lebar setelah disimpan dalam peti es (Brooks et al., 2012; Warsa, 1994).

3. Karakteristik pertumbuhan

Pada perbenihan biasa, pertumbuhannya kurang subur jika kedalamnya tidak ditambahkan darah atau serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4-7,6, suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 37°C, pertumbuhannya cepat berkurang pada suhu 40°C. Streptococcus hemolyticus meragi glukosa dengan membentuk asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhannya. Tumbuhnya akan subur bila diberi glukosa berlebih dan diberikan bahan yang dapat menetralkan asam laktat yang terbentuk (Warsa, 1994).

Kebanyakan streptokokus merupakan organisme anaerob fakultatif, serta tumbuh pada kondisi aerobik dan anaerobik. Streptococcus pyogenes dan Streptococcus faecalis bersifat anaerob fakultatif, sedangkan Peptostreptococcus bersifat anaerob mutlak (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

Streptococcus terdiri dari kokus yang berdiameter 0,5-1 µm. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai. Tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain yang hidupnya saprofilik. Geraknya negatif (Warsa, 1994).

4. Variasi

Varian pada galur streptokokus yang sama dapat memperlihatkan bentuk koloni yang berbeda. Hal ini khususnya terdapat pada galur S. pyogenes yang membentuk koloni yang mengkilap ataupun buram. Koloni yang tampak buram, terdiri atas organisme yang menghasilkan banyak protein M dan biasanya bersifat


(7)

virulen. S. pyogenes pada koloni yang mengkilap cenderung menghasilkan sedikit protein M dan seringkali tidak virulen (Brooks et al., 2012).

2.2.2. Struktur Antigen 1. Protein M

Substansi ini merupakan faktor virulensi pada S. pyogenes grup A, kerjanya menghambat fagositosis. Terutama dihasilkan oleh kuman dengan koloni tipe mukoid. Pembentukannya kurang jika kuman telah mengalami penanaman berulang-ulang dan akan pulih kembali jika kuman disuntikkan pada binatang percobaan berulang kali. Protein ini dapat ditemukan dalam ekstrak Streptococcus grup A yang dibuat dengan asam hidrokhlorida panas (Warsa, 1994).

2. Substansi T

Antigen ini tidak ada hubungannya dengan virulensi kuman. Rusak pada ekstraksi dengan asam atau dengan pemanasan. Atigen ini diperoleh dari kuman melalui pencernaan proteolitik yang dengan cepat menghancurkan protein M (Brooks et al., 2012).

3. Nukleoprotein

Ekstraksi Streptokokus dengan basa lemah, menghasilkan suatu campuran yang terdiri dari protein dan substansi P yang mungkin merupakan bagian dari badan sel kuman (Warsa, 1994).

2.2.3. Toksin dan Enzim 1. Streptokinase

Enzim ini juga disebut fibrinolisis, kerjanya merubah plasminogen dalam serum menjadi plasmin, yaitu suatu enzim proteolitik yang menghancurkan fibrin dan protein lainnya. Proses pencernaan ini dapat dihambat oleh inhibitor nonspesifik dalam serum dan oleh antibodi spesifik, antistreptokinase. Streptokinase dimiliki oleh Streptokokus grup A, G, dan C (Brooks et al., 2012). 2. Streptodornase

Streptokokus grup A juga dapat memecah DNA. Bila enzim ini belum masuk ke dalam membran plasma sel hidup, sifatnya masih inaktif. Berperan dalam depolimerisasi dari penumpukan DNA yang tertimbun pada pus yang


(8)

disebabkan oleh pecahnya PMN. Streptokinase dan streptodornase bekerja sebagai enzimatic debridement (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

3. Hialuronidase

Enzim ini memecah asam hialuronat yang merupakan komponen penting dari bahan dasar jaringan ikat. Hialuronidase membantu dalam penyebaran kuman. Enzim yang telah dimurnikan dipergunakan dalam pengobatan, yaitu membantu dalam penyebaran dan penyerapan obat yang disuntikkan ke dalam jaringan tubuh (Warsa, 1994).

Selain itu, enzim ini bersifat antigenik dan bersifat spesifik untuk tiap sumber bakteri atau sumber jaringan. Setelah infeksi oleh organisme penghasil hialuronidase, antibodi spesifik akan ditemukan dalam serum (Brooks et al., 2012).

4. Eksotoksin pirogenik (Toksik eritogenik)

S. pyogenes menghasilkan eksotoksin A yang memiliki fage lisogenik. Eksotoksin pirogenik bekerja sebagai superantigen yang memicu sel T dengan cara berikatan dengan kompleks histokompabilitas mayor kelas II di daerah Vβ pada reseptor sel T. Sel T yang teraktivasi melepaskan sitokin yang menyebabkan syok dan cedera jaringan (Brooks et al., 2012).

5. Hemolisin

In vitro Streptokokus dapat menyebabkan terjadinya hemolisis pada sel darah merah dalam berbagai taraf. Jika penghancuran sel darah merah terjadi secara lengkap dengan disertai pelepasan hemoglobin, maka disebut beta hemolisis. Jika penghancuran sel darah merah tidak terjadi secara lengkap dengan disertai pembentukan pigmen hijau, maka disebut alfa hemolisis. Gamma hemolisis kadang-kadang dipakai untuk menunjukkan kuman yang nonhemolitik. Streptococcus grup A beta-haemolyticus membentuk 2 macam hemolisin, yaitu sreptolisin-O dan Strepptolisin-S. Streptolisin-O aktif dalam suasana anaerob dan melisiskan sel darah merah. Sedangkan streptolisin-S menyebabkan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni kuman yang ditanam pada lempeng agar darah dalam suasana aerob. (Warsa, 1993).


(9)

2.3.Penyakit Akibat Streptococcus pyogenes 2.3.1 Penyakit Akibat Invasi S. pyogenes

Port d’entre sangat memengaruhi gambaran klinik. Pada setiap kasus dapat terjadi infeksi yang cepat meluas secara difus ke jaringan sekitarnya dan saluran getah bening, tetapi peradangan setempatnya sendiri hanya terjadi secara ringan. Dari saluran getah bening infeksi cepat meluas ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteremia.

1. Erisipelas

Jika port d’entre-nya kulit atau selaput lendir dapat terjadi erisipelas -suatu selulitis superfisialis dengan batas lesi yang tegas, edematous, berwarna merah terang dan sangat nyeri- disertai pembengkakan edema masif yang keras dan tepi infeksi yang cepat meluas (Warsa, 1994).

2. Selulitis

Selulitis adalah suatu infeksi akut pada kulit dan jaringan subkutan yang menyebar dengan cepat. Selulitis terjadi akibat infeksi yang berkaitan dengan luka bakar, insisi bedah, trauma ringan, ataupun luka lainnya (Brooks et al., 2012). 3. Sepsis puerpuralis

Sepsis puerpuralis terjadi pada masa puerpereum. Jalan masuk kuman streptokokus adalah uterus. Penyakit ini disertai dengan septikemia yang dimulai dari luka yang terinfeksi (endometritis) (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003). 4. Sepsis

Sepsis terjadi karena luka bekas operasi atau karena trauma, terkena infeksi oleh kuman Streptokokus. Ada yang menyebut penyakit ini sebagai surgical scarlet fever. Bakteremia S.pyogenes juga dapat terjadi setelah infeksi kulit, misalnya selulitis, dan yang lebih jarang, faringitis. (Warsa, 1994; Brooks et al., 2012).

2.3.2 Penyakit Akibat Infeksi Lokal S. pyogenes 1. Nyeri tenggorok akibat streptokokus

Nyeri tenggorok streptokokus merupakan bentuk yang paling sering dari infeksi streptokokus hemolitik. S. pyogenes melekat ke epitel faring. Pada bayi dan anak kecil timbul sebagai nasofaringitis subakut dengan sekret serosa dan


(10)

sedikit demam; dan infeksinya cenderung untuk meluas ke telinga tengah, prosesus mastoideus dan selaput otak. Kelenjar getah bening cervical biasanya membesar. Penyakitnya dapat berlangsung berminggu-minggu. Pada anak-anak yang lebih besar dan pada orang dewasa, penyakitnya berlangsung lebih akut dengan nasofaringitis dan tonsilitis yang hebat, selaput lendir hiperemis dan membegkak dengan eksudat yang purulen. Kelenjar getah bening cervical membesar dan nyeri, biasanya disertai demam tinggi. Dua puluh persen dari infeksi ini tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003; Brooks et al., 2012).

2. Impetigo

Pada impetigo lokalisasi nyeri sangat superfisial, dengan pembentukan vesicopustula di bawah stratum korneum. Bagian kulit yang mengelupas diliputi oleh crusta yang berwarna kuning. Penyakit ini sangat menular pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh Streptokokus dan bermacam-macam Stafilokokus (Warsa, 1994).

2.3.3 Penyakit Paska Infeksi Streptokokus

Setelah suatu infeksi S. pyogenes terutama radang tenggorokan dapat disusul suatu masa laten selama 1 – 4 minggu, kemudian dapat timbul nefritis atau demam rheuma. Adanya masa laten ini menunjukkan bahwa penyakit yang timbul setelah infeksi Streptokokus bukan merupakan akibat langsung dari penyebaran bakteri, melainkan merupakan reaksi hipersensitif daripada organ yang terkena terhadap zat anti Streptokokus (Brooks et al., 2012).

Berikut ini adalah penyakit paska infeksi streptokokus: 1. Glomerulonefritis akut

Penyakit ini dapat timbul 1 – 4 minggu setelah infeksi kulit S. pyogenes. Beberapa galur yang nyata bersifat nefritogenik, terutama dari tipe M 2, 42, 49, 56, 57, dan 60. Glomerulonefritis dapat dipicu oleh kompleks antigen-antibodi pada membran basal glomerulus (Brooks et al., 2012).

2. Demam rematik

Menurut Taranta dan Markowitz (1981) dan Stollerman (1990) dalam Leman (2009), demam rematik dapat ditemukan di seluruh dunia, dan mengenai


(11)

semua umur, tetapi 90% dari serangan pertama terdapat pada umur 5-15 tahun. Pada umur dibawah 5 tahun, jarang terjadi.

Demam rematik atau rheumatic fever merupakan gejala sisa (sequale) yang terberat dari infeksi Streptococcus hemolyticus. Timbul kerusakan pada otot dan katup jantung. Kemungkinan terjadi reaksi silang antara otot jantung dengan antibodi terhadap streptokokus (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

Timbulnya demam rematik biasanya didahului oleh infeksi S. pyogenes 1 – 4 minggu sebelumnya. Infeksinya mungkin hanya ringan tanpa memberikan gejala. Namun, pada umumnya, pasien dengan nyeri tenggorok streptokokus yang berat memiliki resiko lebih besar untuk berkembang menjadi demam rematik (Brooks et al., 2012).

2.4.Pengaruh Jeruk Nipis Terhadap Bakteri

Minyak atsiri dan flavonoid merupakan kandungan pada jeruk nipis yang memiliki efek hambatan terhadap pertumbuhan bakteri. Daya antibakteri minyak atsiri jeruk nipis yang berasal dari senyawa fenol dan turunannya dapat mendenaturasi protein sel bakteri. Salah satu senyawa turunan itu adalah klavikol yang memiliki daya bakterisida lima kali lebih kuat dibandingkan fenol. Fenol merupakan senyawa toksik, mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Hal ini menyebabkan bakteri terdenaturasi. Fenol dan beberapa senyawa fenolik mempunyai kegunaan sebagai antiseptik, desinfektan, atau bahan pengawet (Brooks et al., 2005).

Senyawa flavonoid bersifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi. Sifat antibakteri flavonoid secara umum disebabkan senyawa ini mempunyai kemampuan mengikat protein ekstraseluler dan protein integral yang bergabung dinding sel bakteri (Murphy, 1999). Akibat mekanisme tersebut, permeabilitas dinding sel pecah karena tidak mampu menahan tekanan sitoplasma (Lasmayanty, 2007). Kandungan flavonoid dapat menekan sitokin, yakni penyebab peradangan dalam saluran pencernaan serta bertindak sebagai antioksidan dan antikarsinogenik dalam lambung (Utami dan Puspaningtyas, 2013).


(12)

Menurut Poedjiadi (1994) dalam Ambarwati (2012), selain mengandung minyak atsiri dan flavonoid, jeruk nipis juga mempunyai kandungan asam sebesar 7-7,6%. Asam dapat mendenaturasi protein sel bakteri dengan cara mengacaukan jembatan garam dengan adanya muatan ionik. Denaturasi ditandai dengan adanya kekeruhan yang meningkat dan timbulnya gumpalan.

Pengaruh jeruk nipis sebagai antibakteri telah dibuktikan oleh banyak penelitian, terutama terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri daun jeruk nipis mempunyai aktivitas hambatan terhadap pertumbuhan S. aureus pada kadar 20%, 40%, dan 80% serta Escherichia coli pada kadar 40% dan 80% (Dalimartha, 2000). Penelitian terhadap S. aureus juga dilakukan oleh Pradani (2012) dan Razak dkk. (2013). Pada penelitian Pradani (2012), terbentuk zona hambat dimulai pada konsentrasi 6,25% hingga konsentrasi 100%. Pada penelitian Razak dkk. (2013), air perasan jeruk nipis memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dengan berbagai konsentrasi yaitu 25%, 50%, 75%, dan 100% dan terdapat pengaruh lama kontak terhadap pertumbuhan bakteri. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi air perasan jeruk nipis, maka daya hambatnya semakin baik.

Selain Staphylococcus aureus, air perasan jeruk nipis juga berpengaruh terhadap bakteri-bakteri lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2011), dari rata-rata zona hambat ekstrak etanol buah jeruk nipis terhadap Streptococcus pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Corynebacterium diphtheriae, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus adalah resisten sampai intermediate. Pemberian ekstrak jeruk nipis pada S. dysenteriae yang diteliti oleh Mukhitasari (2012) menunjukkan zona hambat pertumbuhan S. dysenteriae mulai terbentuk pada konsentrasi 6,25% hingga 100%. Hal ini menunjukkan bahwa perasan jeruk nipis mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. dysenteriae. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ambarwati (2010), pemberian ekstrak jeruk nipis 65% dapat menghambat pembentukan plak pada gigi. Pemberian larutan ekstrak jeruk nipis diberikan per oral pada subjek dengan rentang usia 12 – 18 tahun.


(1)

virulen. S. pyogenes pada koloni yang mengkilap cenderung menghasilkan sedikit protein M dan seringkali tidak virulen (Brooks et al., 2012).

2.2.2. Struktur Antigen 1. Protein M

Substansi ini merupakan faktor virulensi pada S. pyogenes grup A, kerjanya menghambat fagositosis. Terutama dihasilkan oleh kuman dengan koloni tipe mukoid. Pembentukannya kurang jika kuman telah mengalami penanaman berulang-ulang dan akan pulih kembali jika kuman disuntikkan pada binatang percobaan berulang kali. Protein ini dapat ditemukan dalam ekstrak Streptococcus

grup A yang dibuat dengan asam hidrokhlorida panas (Warsa, 1994). 2. Substansi T

Antigen ini tidak ada hubungannya dengan virulensi kuman. Rusak pada ekstraksi dengan asam atau dengan pemanasan. Atigen ini diperoleh dari kuman melalui pencernaan proteolitik yang dengan cepat menghancurkan protein M (Brooks et al., 2012).

3. Nukleoprotein

Ekstraksi Streptokokus dengan basa lemah, menghasilkan suatu campuran yang terdiri dari protein dan substansi P yang mungkin merupakan bagian dari badan sel kuman (Warsa, 1994).

2.2.3. Toksin dan Enzim 1. Streptokinase

Enzim ini juga disebut fibrinolisis, kerjanya merubah plasminogen dalam serum menjadi plasmin, yaitu suatu enzim proteolitik yang menghancurkan fibrin dan protein lainnya. Proses pencernaan ini dapat dihambat oleh inhibitor nonspesifik dalam serum dan oleh antibodi spesifik, antistreptokinase. Streptokinase dimiliki oleh Streptokokus grup A, G, dan C (Brooks et al., 2012). 2. Streptodornase

Streptokokus grup A juga dapat memecah DNA. Bila enzim ini belum masuk ke dalam membran plasma sel hidup, sifatnya masih inaktif. Berperan dalam depolimerisasi dari penumpukan DNA yang tertimbun pada pus yang


(2)

disebabkan oleh pecahnya PMN. Streptokinase dan streptodornase bekerja sebagai enzimatic debridement (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

3. Hialuronidase

Enzim ini memecah asam hialuronat yang merupakan komponen penting dari bahan dasar jaringan ikat. Hialuronidase membantu dalam penyebaran kuman. Enzim yang telah dimurnikan dipergunakan dalam pengobatan, yaitu membantu dalam penyebaran dan penyerapan obat yang disuntikkan ke dalam jaringan tubuh (Warsa, 1994).

Selain itu, enzim ini bersifat antigenik dan bersifat spesifik untuk tiap sumber bakteri atau sumber jaringan. Setelah infeksi oleh organisme penghasil hialuronidase, antibodi spesifik akan ditemukan dalam serum (Brooks et al., 2012).

4. Eksotoksin pirogenik (Toksik eritogenik)

S. pyogenes menghasilkan eksotoksin A yang memiliki fage lisogenik. Eksotoksin pirogenik bekerja sebagai superantigen yang memicu sel T dengan cara berikatan dengan kompleks histokompabilitas mayor kelas II di daerah Vβ pada reseptor sel T. Sel T yang teraktivasi melepaskan sitokin yang menyebabkan syok dan cedera jaringan (Brooks et al., 2012).

5. Hemolisin

In vitro Streptokokus dapat menyebabkan terjadinya hemolisis pada sel darah merah dalam berbagai taraf. Jika penghancuran sel darah merah terjadi secara lengkap dengan disertai pelepasan hemoglobin, maka disebut beta hemolisis. Jika penghancuran sel darah merah tidak terjadi secara lengkap dengan disertai pembentukan pigmen hijau, maka disebut alfa hemolisis. Gamma hemolisis kadang-kadang dipakai untuk menunjukkan kuman yang nonhemolitik. Streptococcus grup A beta-haemolyticus membentuk 2 macam hemolisin, yaitu sreptolisin-O dan Strepptolisin-S. Streptolisin-O aktif dalam suasana anaerob dan melisiskan sel darah merah. Sedangkan streptolisin-S menyebabkan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni kuman yang ditanam pada lempeng agar darah dalam suasana aerob. (Warsa, 1993).


(3)

2.3.Penyakit Akibat Streptococcus pyogenes 2.3.1 Penyakit Akibat Invasi S. pyogenes

Port d’entre sangat memengaruhi gambaran klinik. Pada setiap kasus dapat terjadi infeksi yang cepat meluas secara difus ke jaringan sekitarnya dan saluran getah bening, tetapi peradangan setempatnya sendiri hanya terjadi secara ringan. Dari saluran getah bening infeksi cepat meluas ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteremia.

1. Erisipelas

Jika port d’entre-nya kulit atau selaput lendir dapat terjadi erisipelas -suatu selulitis superfisialis dengan batas lesi yang tegas, edematous, berwarna merah terang dan sangat nyeri- disertai pembengkakan edema masif yang keras dan tepi infeksi yang cepat meluas (Warsa, 1994).

2. Selulitis

Selulitis adalah suatu infeksi akut pada kulit dan jaringan subkutan yang menyebar dengan cepat. Selulitis terjadi akibat infeksi yang berkaitan dengan luka bakar, insisi bedah, trauma ringan, ataupun luka lainnya (Brooks et al., 2012). 3. Sepsis puerpuralis

Sepsis puerpuralis terjadi pada masa puerpereum. Jalan masuk kuman streptokokus adalah uterus. Penyakit ini disertai dengan septikemia yang dimulai dari luka yang terinfeksi (endometritis) (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003). 4. Sepsis

Sepsis terjadi karena luka bekas operasi atau karena trauma, terkena infeksi oleh kuman Streptokokus. Ada yang menyebut penyakit ini sebagai surgical scarlet fever. Bakteremia S.pyogenes juga dapat terjadi setelah infeksi kulit, misalnya selulitis, dan yang lebih jarang, faringitis. (Warsa, 1994; Brooks et al., 2012).

2.3.2 Penyakit Akibat Infeksi Lokal S. pyogenes 1. Nyeri tenggorok akibat streptokokus

Nyeri tenggorok streptokokus merupakan bentuk yang paling sering dari infeksi streptokokus hemolitik. S. pyogenes melekat ke epitel faring. Pada bayi dan anak kecil timbul sebagai nasofaringitis subakut dengan sekret serosa dan


(4)

sedikit demam; dan infeksinya cenderung untuk meluas ke telinga tengah, prosesus mastoideus dan selaput otak. Kelenjar getah bening cervical biasanya membesar. Penyakitnya dapat berlangsung berminggu-minggu. Pada anak-anak yang lebih besar dan pada orang dewasa, penyakitnya berlangsung lebih akut dengan nasofaringitis dan tonsilitis yang hebat, selaput lendir hiperemis dan membegkak dengan eksudat yang purulen. Kelenjar getah bening cervical

membesar dan nyeri, biasanya disertai demam tinggi. Dua puluh persen dari infeksi ini tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003; Brooks et al., 2012).

2. Impetigo

Pada impetigo lokalisasi nyeri sangat superfisial, dengan pembentukan

vesicopustula di bawah stratum korneum. Bagian kulit yang mengelupas diliputi oleh crusta yang berwarna kuning. Penyakit ini sangat menular pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh Streptokokus dan bermacam-macam Stafilokokus (Warsa, 1994).

2.3.3 Penyakit Paska Infeksi Streptokokus

Setelah suatu infeksi S. pyogenes terutama radang tenggorokan dapat disusul suatu masa laten selama 1 – 4 minggu, kemudian dapat timbul nefritis atau demam rheuma. Adanya masa laten ini menunjukkan bahwa penyakit yang timbul setelah infeksi Streptokokus bukan merupakan akibat langsung dari penyebaran bakteri, melainkan merupakan reaksi hipersensitif daripada organ yang terkena terhadap zat anti Streptokokus (Brooks et al., 2012).

Berikut ini adalah penyakit paska infeksi streptokokus: 1. Glomerulonefritis akut

Penyakit ini dapat timbul 1 – 4 minggu setelah infeksi kulit S. pyogenes.

Beberapa galur yang nyata bersifat nefritogenik, terutama dari tipe M 2, 42, 49, 56, 57, dan 60. Glomerulonefritis dapat dipicu oleh kompleks antigen-antibodi pada membran basal glomerulus (Brooks et al., 2012).

2. Demam rematik

Menurut Taranta dan Markowitz (1981) dan Stollerman (1990) dalam Leman (2009), demam rematik dapat ditemukan di seluruh dunia, dan mengenai


(5)

semua umur, tetapi 90% dari serangan pertama terdapat pada umur 5-15 tahun. Pada umur dibawah 5 tahun, jarang terjadi.

Demam rematik atau rheumatic fever merupakan gejala sisa (sequale) yang terberat dari infeksi Streptococcus hemolyticus. Timbul kerusakan pada otot dan katup jantung. Kemungkinan terjadi reaksi silang antara otot jantung dengan antibodi terhadap streptokokus (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

Timbulnya demam rematik biasanya didahului oleh infeksi S. pyogenes 1 – 4 minggu sebelumnya. Infeksinya mungkin hanya ringan tanpa memberikan gejala. Namun, pada umumnya, pasien dengan nyeri tenggorok streptokokus yang berat memiliki resiko lebih besar untuk berkembang menjadi demam rematik (Brooks et al., 2012).

2.4.Pengaruh Jeruk Nipis Terhadap Bakteri

Minyak atsiri dan flavonoid merupakan kandungan pada jeruk nipis yang memiliki efek hambatan terhadap pertumbuhan bakteri. Daya antibakteri minyak atsiri jeruk nipis yang berasal dari senyawa fenol dan turunannya dapat mendenaturasi protein sel bakteri. Salah satu senyawa turunan itu adalah klavikol yang memiliki daya bakterisida lima kali lebih kuat dibandingkan fenol. Fenol merupakan senyawa toksik, mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Hal ini menyebabkan bakteri terdenaturasi. Fenol dan beberapa senyawa fenolik mempunyai kegunaan sebagai antiseptik, desinfektan, atau bahan pengawet (Brooks et al., 2005).

Senyawa flavonoid bersifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi. Sifat antibakteri flavonoid secara umum disebabkan senyawa ini mempunyai kemampuan mengikat protein ekstraseluler dan protein integral yang bergabung dinding sel bakteri (Murphy, 1999). Akibat mekanisme tersebut, permeabilitas dinding sel pecah karena tidak mampu menahan tekanan sitoplasma (Lasmayanty, 2007). Kandungan flavonoid dapat menekan sitokin, yakni penyebab peradangan dalam saluran pencernaan serta bertindak sebagai antioksidan dan antikarsinogenik dalam lambung (Utami dan Puspaningtyas, 2013).


(6)

Menurut Poedjiadi (1994) dalam Ambarwati (2012), selain mengandung minyak atsiri dan flavonoid, jeruk nipis juga mempunyai kandungan asam sebesar 7-7,6%. Asam dapat mendenaturasi protein sel bakteri dengan cara mengacaukan jembatan garam dengan adanya muatan ionik. Denaturasi ditandai dengan adanya kekeruhan yang meningkat dan timbulnya gumpalan.

Pengaruh jeruk nipis sebagai antibakteri telah dibuktikan oleh banyak penelitian, terutama terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri daun jeruk nipis mempunyai aktivitas hambatan terhadap pertumbuhan S. aureus pada kadar 20%, 40%, dan 80% serta

Escherichia coli pada kadar 40% dan 80% (Dalimartha, 2000). Penelitian terhadap S. aureus juga dilakukan oleh Pradani (2012) dan Razak dkk. (2013). Pada penelitian Pradani (2012), terbentuk zona hambat dimulai pada konsentrasi 6,25% hingga konsentrasi 100%. Pada penelitian Razak dkk. (2013), air perasan jeruk nipis memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dengan berbagai konsentrasi yaitu 25%, 50%, 75%, dan 100% dan terdapat pengaruh lama kontak terhadap pertumbuhan bakteri. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi air perasan jeruk nipis, maka daya hambatnya semakin baik.

Selain Staphylococcus aureus, air perasan jeruk nipis juga berpengaruh terhadap bakteri-bakteri lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2011), dari rata-rata zona hambat ekstrak etanol buah jeruk nipis terhadap

Streptococcus pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Corynebacterium diphtheriae, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus adalah resisten sampai intermediate. Pemberian ekstrak jeruk nipis pada S. dysenteriae yang diteliti oleh Mukhitasari (2012) menunjukkan zona hambat pertumbuhan S. dysenteriae mulai terbentuk pada konsentrasi 6,25% hingga 100%. Hal ini menunjukkan bahwa perasan jeruk nipis mempunyai aktivitas antibakteri terhadap

S. dysenteriae. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ambarwati (2010), pemberian ekstrak jeruk nipis 65% dapat menghambat pembentukan plak pada gigi. Pemberian larutan ekstrak jeruk nipis diberikan per oral pada subjek dengan rentang usia 12 – 18 tahun.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

7 71 67

Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis Terhadap Pencegahan Pembentukan, Penghambatan Pertumbuhan, dan Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro

0 11 105

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

5 31 67

Pengaruh Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) Terhadap Pertumbuhan Streptococcus viridans Secara In Vitro.

3 6 19

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

0 2 13

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

0 0 2

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

0 1 3

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

0 3 3

Pengaruh Konsentrasi Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus Pyogenes Secara in vitro

0 0 19

KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH VARIASI KONSENTRASI PERASAN JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) TERHADAP PERTUMBUHAN Candida albicans SECARA in vitro

0 0 14