Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis Terhadap Pencegahan Pembentukan, Penghambatan Pertumbuhan, dan Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro

(1)

EFEK PEMBERIAN AIR PERASAN JERUK NIPIS

(

Citrus aurantifolia

(Christm) Swingle) TERHADAP

PEMBENTUKAN, PERTUMBUHAN, DAN

PENGHANCURAN BIOFILM

Staphylococcus aureus

SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

FIRDA KHANIFAH

1111102000010

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2015


(2)

EFEK PEMBERIAN AIR PERASAN JERUK NIPIS

(

Citrus aurantifolia

(Christm) Swingle) TERHADAP

PEMBENTUKAN, PERTUMBUHAN, DAN

PENGHANCURAN BIOFILM

Staphylococcus aureus

SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

FIRDA KHANIFAH

1111102000010

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2015


(3)

(4)

(5)

(6)

v Nama : Firda Khanifah

NIM : 1111102000010

Judul : Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis Terhadap Pencegahan Pembentukan, Penghambatan Pertumbuhan, dan Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro

Pembentukan biofilm Staphylococcus aureus dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius karena dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik, desinfektan, dan imunitas hospes. Air perasan jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle) mengandung flavonoid, saponin, asam sitrat dan minyak atsiri, dimana telah diketahui bahwa beberapa flavonoid, saponin, asam sitrat dan minyak atsiri dari berbagai tanaman dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antibiofilm. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek air perasan jeruk nipis terhadap pembentukan, pertumbuhan dan penghancuran biofilm Staphylococcus aureus dengan menggunakan metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm). Perlakuan berupa penambahan

ekstrak etanol daun kelor dengan konsentrasi 0,0625%, 0,1255, 0,25%, 0,55, 1%, 2%, 4%, dan 8%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki aktivitas pencegahan, penghambatan dan penghancuran biofilm pada semua konsentrasi. Hasil optimasi dengan menggunakan response surface analysis (RSA) menunjukkan bahwa pada konsentrasi 8% dengan waktu kontak selama30 menit dan suhu 27,270C adalah kondisi optimal dalam menghambat pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus. Kondisi terbaik dalam menghancurkan biofilm Staphylococcus aureus adalah pada konsentrasi 8% dengan waktu inkubasi selama 1 hari dan suhu 27,270C.

Kata Kunci : Antibiofilm, (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle), Staphylococcus aureus, Response Surface Analysis (RSA).


(7)

vi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Name : Firda Khanifah

NIM : 1111102000010

Title : Effect Of Lime Juice Towards The Biofilm Prevention, Inhibition, And Destruction Of Staphylococcus aureus By In Vitro.

Biofilm formation of Staphylococcus aureus would be act as a caused serious health problems because it may increase resistance to antibiotics, disinfectant and hiospes immunity. Lime juice (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle) contain flavonoids, saponins, citric acids and essential oils, which have known that some flavonoids, saponins, citric acids and essential oils of various plants are reported to have antibiofilm activity. This study aims to investigate the effect of lime juice (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle) towards biofilm formation, inhibition and destruction of Staphylococcus aureus using Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm) methods.

The treatments is addition of lime juice (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle) with concentration of 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, 4% and 8%. The result of this study showed that all of the concentration of lime juice (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle) have prevention, inbition, and destruction activity. The result of optimization by using response surface analysis (RSA) showed that the 8% (v/v) for 30 minutes at 27,270C is the best contion to inhibit the biofilm formation of Staphylococcus aureus. The best condition to destruct the biofilm at 8% for 1 day incubation and 27,270C temperature.

Keywords: antibiofilm, (Citrus aurantifolia (Christm) Swingle), Staphylococcus aureus, Response Surface Analysis (RSA).


(8)

vii

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkankan kehadirat Allah SWT yang maha segala dengan kasih dan sayang-Nya, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini yang berjudul : “Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) terhadap Pembentukan, Pertumbuhan dan Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Penyusunan skripsi ini ditujukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam peulis panjatkan atas junjungan baginda kita, Nabi Muhammad SAW, nabi yang mengajarkan kita berbagai ilmu pengetahuan dan telah membawa kita dari alam kegelapan menuju kea lam terang benderang, beserta orang-orang yang senantiasa istiqomah dijalannya.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus dan tak hingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Arief Sumantri SKM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Yardi, M.Si., Ph.D., Apt., selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan dan saran.

3. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt., selaku pembimbing pertama dan Bapak Novik Nurhidayat, Ph.D., selaku pembimbing kedua, yang memberikan bantuan pengarahan, nasehat, dukungan , dan bimbingannya, sehingga penulis bisa


(9)

viii

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt., selaku sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan khususnya staf pengajar Program Studi Farmasi yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis.

6. Kedua orang tua yang tersayang dan tercinta, Ayahanda Dasukih dan Ibu Munyati, yang telah memberikan motivasi yang sangat besar serta doa dan kasih sayang yang melimpah kepada penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka.

7. Kakak tercinta Vijar Zulfikar dan adik tersayang Khusnul Khotimah serta saudara-saudara penulis, yang senantiasa memberikan doa dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.

8. Rekan penelitian tersayang The BIOFILMERS (Rika, Fatah, Kiki, Kak Eka dan Kak Via), serta The BIOSENSORERS (Kak Anom dan Kak Afif) yang telah membantu, mengajarkan dan memberi masukannya kepada penulis. 9. Sahabat perkuliahan terhebat dan tersayang Wafa, Novila Tari, Khabbatun

Ni’mah, Mazaya Fadhila, Yulia N. Raihana, Dini Fauzana, Dana Yusshiammanti, Fitri Rahmadhani, Dhenny Arman Siregar, serta adik kelas-Ku Noni dan Nita, yang selalu memberikan keceriaan dan motivasi untuk selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Sahabat putih abu-abu tersayang FECHRIEN ( Rini Okatviani, Kartika Pratiwi, Ahmad Ependi, Ahmad Faisal, Febriandanu S., dan Ichsan Kahfi), terimakasih atas keceriaan dan dorongannya selama ini kepada penulis.

11.Laboran terbaik Kak Lusi dan Pak Acun, yang telah banyak membantu penulis pada saat penelitian.


(10)

ix

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena pada dasarnya manusia adalah letak ketidaksempurnaan, maka dari itu dengan segala keterbukaan penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembangunan ilmu farmasi ke depannya.

Jakarta, 17 Juni 2015


(11)

x

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Firda Khanifah NIM : 1111102000010 Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

“Efek Pemberian Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) terhadap Pembentukan, Pertumbuhan dan Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada tanggal : 17 Juni 2015

Yang menyatakan,


(12)

xi

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Hipotesa ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Tanaman Jeruk Nipis(Citrus aurantifolia) ... 4

2.1. 1 Taksonomi ... 4

2.1. 2 Morfologi ... 4

2.1. 3 Kandungan Kimia ... 5

2.1. 4 Khasiat ... 5

2.2 Infeksi ... 5

2.3 Staphylococcus aureus ... 6

2.3.1 Klasifikasi Staphylococcus aureus ... 6

2.3.2 Uraian Staphylococcus aureus ... 6

2.3.3 Patogenisitas ... 6

2.3.4 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus ... 7

2.4 Biofilm ... 7

2.4.1 Definisi Biofilm ... 7

2.4.2 Pembentukan Biofilm ... 7

2.4.3 Resistensi Antibiotik Terhadap Biofilm ... 9

2.4.4 Pengendalian Biofilm ... 10

BAB III METODE PENELITIAN ... 12

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.2.1 Alat ... 12

3.2.2 Bahan ... 12

3.2.2.1 Tanaman ... 12

3.2.2.2 Bakteri Uji Bahan ... 12


(13)

xii

3.3.3 Penyiapan Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) ... 13

3.3.4 Pemeriksaan Kandungan Kimia Jeruk Nipis ... 14

3.3.5 Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Staphylococcus aureus ... 14

3.3.6 Pembuatan Medium Agar ... 15

3.3.6.1 Luria Bertani Agar ... 15

3.3.6.2 Media Heterotrof ... 16

3.3.7 Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri Pada Media Luria Bertani Agar ... 16

3.3.8 Pembuatan Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus ... 16

3.3.9 Uji Pembentukan dan Pertumbuhan Biofilm Bahan ... 16

3.3.10 Uji Aktivitas Antibiofilm Secara In Vitro ... 17

3.3.11 Rancangan Penelitian dan Analisa Data ... 19

3.3.12 Optimasi Aktivitas Terseleksi ... 20

3.3.13 Uji Aktivitas Antibiofilm Air Perasan Jeruk Nipis dari 3.3.14 Hasil Optimasi ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1.Determinasi ... 21

4.2 Karakterisasi dan Proses Penyiapan Sampel ... 21

4.3 Uji Penapisan Fitokimia ... 21

4.4 Karakterisasi Bakteri Staphylococcus aureus ... 22

4.5 Uji Pembentukan dan Pertumbuhan Biofilm Staphylococcus aureus ... 24

4.6 Uji Aktivitas Antibiofilm Air Perasan jeruk Nipis terhadap Biofilm S. aureus ... 26

4.7 Optimasi Aktivitas Penghambatan ... 31

4.8 Optimasi Aktivitas Penghancuran (degradasi) ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(14)

xiii

Tabel 4.1 Hasil Uji Penapisan Fitokimia ... 21

Tabel 4.2 Hasil Karakterisasi Bakteri ... 22

Tabel 4.3 Rata-Rata Densitas Optis Biofilm Aktivitas Antibiofilm ... 27

Tabel 4.4 Rata-Rata % Aktivitas Antibiofilm Air Perasan Jeruk Nipis ... 27

Tabel 4.5 Rerata Densitas Optis Uji Penghambatan Biofilm Kondisi Optimal ... 33


(15)

xiv

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Biofilm ... 8

Gambar 4.1 Hasil Purifikasi Bakteri Staphylococcus aureus ... 23

Gambar 4.2 Hasil Pewarnaan Gram Bakteri Staphylococcus aureus ... 24

Gambar 4.3 Grafik Pertumbuhan Biofilm Staphylococcus aureus ... 25

Gambar 4.4 Grafik Persentase Aktivitas Antibiofilm Air Perasan Jeruk Nipis terhadap Biofilm S. aureus... 32

Gambar 4.5 Contour plot dari %Penghambatan vs Konsentrasi dan Suhu ... 32

Gambar 4.6 Persentase aktivitas penghambatan kondisi optimal ... 33

Gambar 4.7 Contour plot dari %Penghancuran vs Waktu Kontak dan Suhu ... 34

Gambar 4.8 Contour plot dari % penghancuran vs waktu kontak dan konsentrasi ... 35


(16)

xv

Lampiran 1. Skema Metode Penapisan Fitokimia ... 46

Lampiran 2. Hasil Determinasi ... 48

Lampiran 3. Hasil Penapisan Fitokimia ... 49

Lampiran 4. Alat dan Bahan ... 50

Lampiran 5. Hasil Pembuatan Ekstrak ... 52

Lampiran 6. Hasil Karakterisasi Bakteri Staphylococcus aureus ... 53

Lampiran 7. Hasil Uji Pertumbuhan Biofilm Staphylococcus aureus ... 54

Lampiran 8. Hasil Uji Aktivitas Antibiofilm ... 55

Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Aktivitas Pencegahan Pembentukan Biofilm ... 57

Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Biofilm ... 62

Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penhancuran (Degradasi) Biofilm ... 67

Lampiran 12. Hasil Uji Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Biofilm Menggunakan Response Surface Analysis (RSA) ... 72

Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Penghancuran (Degadasi) Biofilm Menggunakan Response Surface Analysis (RSA) ... 74

Lampiran 14. Data Hasil Uji Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Biofilm ... 76

Lampiran 15. Data Hasil Uji Aktivitas Penghancuran (Degradasi) Biofilm ... 79

Lampiran 16. Hasil Uji Aktivitas Penghambatan Biofilm (Setelah Pemberian Kristal Violet) Kondisi Optimal ... 82

Lampiran 17. Hasil Uji Aktivitas Penghancuran Biofilm (Setelah Pemberian Kristal Violet) Kondisi Optimal ... 83

Lampiran 18. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Biofilm Kondisi Optimal ... 84

Lampiran 19. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penghancuran (Degradasi) Biofilm Kondisi Optimal ... 87


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada Negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortility) (Darmadi, 2008). Berbagai infeksi diperantarai oleh kemampuan bakteri untuk melekat dan berkolonisasi membentuk biofilm pada bahan organik atau anorganik. Biofilm saat ini dianggap sebagai mediator utama infeksi, dengan perkiraan 80% kejadian infeksi berkaitan dengan pembentukan biofilm. Pembentukan biofilm pada jaringan hidup, dan alat medis menimbulkan masalah kesehatan yang kritis (Archer, et al., 2011).

Biofilm merupakan bentuk struktural dari sekumpulan mikroorganisme yang dilindungi oleh matriks ekstraseluler yang disebut Extracellular Polymeric Substance (EPS), dimana EPS merupakan produk yang dihasilkan sendiri oleh mikroorganisme tersebut dan dapat melindungi dari pengaruh buruk lingkungan. EPS umumnya terdiri dari polisakarida, dan bakteri dalam EPS menginduksi peradangan kronis yang menunda penyembuhan (Prakash, et al., 2003).

Bakteri dalam biofilm memiliki perilaku yang berbeda dari bakteri planktonik, terutama dalam hal respon mereka terhadap pengobatan antibiotik. Bakteri dalam biofilm terkait sangat resisten terhadap antibiotik. Struktur rumit biofilm dengan matriks polimer ekstraseluler dapat mencegah antibiotik mencapai bakteri (Meng Chen et al., 2013). Terapi antibiotik pada umumnya hanya akan membunuh sel-sel planktonik sedang bakteri yang tersusun rapat dalam biofilm akan tetap hidup berkembang serta akan melepaskan sel-sel planktonik keluar dari formasi biofilm.

Salah satu bakteri penyebab infeksi yang mampu memproduksi biofilm adalah Staphylococcus aureus. S. aureus merupakan bakteri patogen yang menimbulkan berbagai permasalahan dalam dunia kesehatan. Infeksi yang paling sering ditimbulkan oleh S. aureus adalah infeksi piogenik kulit, S. aureus juga dapat menyebabkan furunkel, karbunkel, osteomielitis, infeksi luka, abses, pneumonia, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan penyakit yang diperantarai


(18)

2

toksin, termasuk keracunan makanan, sindrom kulit terbakar dan sindrom syok toksik (Richard, 1999).

Kemampuan pembentukan biofilm merupakan salah satu faktor virulensi S. aureus yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Hoiby et al., 2010; Lee et al., 2013). Dilaporkan bahwa Staphylococcus aureus telah resisten terhadap berbagai antibiotik diantaranya penisilin, oksasilin dan antibiotik beta laktam lainnya (Mardiastuti, 2007).

Selain sulitnya mengobati penyakit terkait biofilm dengan terapi antibiotik konvensional, pengobatan lebih lanjut terhalang oleh resistensi antibiotik yang meningkat di kalangan patogen sehingga menyebabkan peningkatan kesulitan pengendalian penyakit. Resistensi antibiotik pada S. aureus seperti resistensi metisilin adalah salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak. Pendekatan alternatif selain terapi antibiotik konvensional sangat dibutuhkan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri pembentuk biofilm (Meng Chen et al, 2013). Oleh karena itu diperlukan pencarian senyawa-senyawa aktif yang memiliki aktivitas sebagai antibiofilm.

Coleman et al, (2010) menunjukkan bahwa saponin dapat mengganggu pembentukan biofilm dengan merusak matriks biofilm. Sedangkan flavonoid berpotensi sebagai antibiofilm karena dapat menghambat proses quorum sensing dalam pembentukan biofilm (Vikram et al., 2010). Asam sitrat juga diketahui memiliki aktivitas antibiofilm yang baik. Mekanisme antibiofilm asam sitrat adalah dengan memecah jembatan kalsium dan merusak matriks biofilm (Faot et al., 2014).

Menurut Afifah (2013), jeruk nipis mengandung senyawa flavonoid, saponin dan fenol. Dan menurut Rahardjo 2012, jeruk nipis mengandung senyawa asam organik yang memiliki aktivitas antibakteri seperti asam sitrat yang merupakan komponen utama kemudian asam malat, asam laktat dan asam tartarat. Secara empiris jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) juga telah lama digunakan untuk mengobati berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti batuk, demam, disentri, jerawat dan menangani bau badan.


(19)

3

Berdasarkan uraian di atas dan belum adanya penelitian mengenai aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis (C. aurantifolia) maka dilakukan penelitian mengenai efek pemberian air perasan jeruk nipis (C. aurantifolia) terhadap pembentukan, pertumbuhan, dan penghancuran biofilm S. aureus secara in vitro.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Belum adanya penelitian mengenai aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis (C. aurantifolia).

2. Bagaimana efek pemberian air perasan jeruk nipis (C.aurantifolia) terhadap pembentukan, pertumbuhan, dan penghancuran biofilm S.aureus secara in vitro?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk menguji dan mengetahui efek pemberian air perasan jeruk nipis (C. aurantifolia) terhadap pembentukan, pertumbuhan, dan penghancuran biofilm S. aureus secara in vitro.

1.4 HIPOTESA

Air perasan jeruk nipis (C. aurantifolia) memiliki aktivitas sebagai antibiofilm.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas air perasan jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dalam mencegah pembentukan, menghambat pertumbuhan dan menghancurkan (degradasi) biofilm Staphylococcus aureus secara in vitro.


(20)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TANAMAN JERUK NIPIS 2.1.1 Taksonomi

Secara taksonomi, tanaman jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut (Saraf, 2006) :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Rutales Famili : Rutaceae Genus : Citrus

Species : Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle.

2.2 Morfologi

Jeruk nipis termasuk salah satu jenis citrus genuk yang termasuk jenis tumbuhan perdu yang banyak memiliki bahan dan ranting. Tingginya sekitar 0,5-3,5 meter dan memiliki daun yang majemuk, elips atau bulat telur, pangkal daun membulat dan berujung tumpul. Batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan keras, sedangkan permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam. Bunganya berukuran majemuk/tunggal yang tumbuh di ketiak daun atau di ujung batang dengan diameter 1,5-2,5 cm. Buah jeruk nipis berdiameter 3,5 sampai 5 cm, memiliki warna hijau ketika masih muda dan menjadi kuning setelah tua. Biji berbentuk bulat telur, pipih, putih kehijauan. Tanaman jeruk umumnya menyukai tempat-tempat yang dapat memperoleh sinar matahari langsung (Syamsuhidayat dan Hutape, 1991).

2.2.1 Kandungan Kimia

Jeruk nipis mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutape, 1991). Mengandung minyak atsiri dengan komponen


(21)

5

siral, limonene, feladren, dan glikosida hedperidin. Buah jeruk juga mengandung zat bioflavonoid, pectin, dan enzim, protein, lemak dan pigmen (karoten dan klorofil). Sari jeruk buah nipis mengandung asam sitrat 7% dan minyak atsiri limonene. Buah matang berumur lebih dari 3 bulan, terutama sari uahnya mengandung 8% asam sitrat dari berat buah. Ekstrak air 41% dari berat buah, vitamin C 4,6%, air 91%, karbohidrat 5,9%, protein 0,5% dan lemak 2,4% (Sethpakdee, 1992).

2.2.2 Khasiat

Daun jeruk dan bunga jeruk nipis dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi, batuk, lender tenggorokan, demam, panas pada malaria, jerawat, ketombe, dan lain-lain. Buah jeruk nipis dapat digunakan menurunkan panas, obat batuk, peluruh dahak, menghilangkan ketombe, influenza, dan obat jerawat. Pada kulit dan buah jeruk nipis juga dapat diambil minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan obat dan hampir seluruh industri makanan, minuman, sabun, kosmetik, dan parfum menggunakan sedikit minyak atsiri ini sebagai pengharum dan juga dapat digunakan sebagai antirematik, antiseptik, antiracun, astringen, antibakteri, diuretik, antipiretik, antihipertensi, antijamur, insektisida, tonik, antivirus, dan ekspektoran. Getah batang ditambahkan dengan sedikit garam dapat dipergunakan sebagai obat sakit tenggorokan (Ninditha, 2012).

2.3 INFEKSI

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi didalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi terjadi jika mikroorganime bertumbuh dan mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme ini merusak tubuh maka disebut patogen. Suatu patogen harus berkembang biak dalam tubuh untuk dapat menimbulkan infeksi (Joyce et al., 2008). Dua faktor penting yang jelas berperan pada patogenesis infeksi adalah dosis kontaminasi bakteri dan ketahanan pasien (David,1995).


(22)

6

2.4 Staphylococcus Aureus

2.4.1 Klasifikasi Staphylococcus aureus

Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut : Divisi : Protophyta atau Schizophyta

Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus Spesies: Staphylococcus aureus

2.4.2 Uraian Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995).

2.4.3 Patogenisitas

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994). Infeksi yang paling sering ditimbulkan oleh Staphylococcus aureus adalah infeksi piogenik kulit (Richard, 1999).

Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula


(23)

7

terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).

2.4.4 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin (Jawetz et al., 1995)..

2.5 BIOFILM

2.5.1 Definisi Biofilm

Biofilm merupakan bentuk struktural dari sekumpulan mikroorganisme yang dilindungi oleh matrik ekstraseluler yang disebut Extracellular Polymeric Substance (EPS), dimana EPS merupakan produk yang dihasilkan sendiri oleh mikroorganisme tersebut dan dapat melindungi dari pengaruh buruk lingkungan (Prakash, et al., 2003). Komponen utama EPS terdiri dari polisakarsida yang dapat berasosiasi dengan ion-ion logam dan makromolekul lain seperti protein dan lipid. Biofilm saat ini dianggap sebagai mediator utama infeksi, dengan perkiraan 80% kejadian infeksi berkaitan dengan pembentukan biofilm (Archer, et al., 2011). Bakteri membentuk biofilm pada permukaan yang terendam atau lembab seperti jaringan hidup, permukaan gigi, peralatan medis yang ditempelinya dan implan.

2.5.2 Pembentukan Biofilm

Biofilm terbentuk ketika bakteri menempel pada suatu permukaan pada lingkungan yang lembab dan mulai mensekresikan suatu lender yang dapat


(24)

8

melekatkannya pada berbagai jenis benda seperti logam, plastik, pasir, partikel tanah dan jaringan.

Gambar 2.1. Proses Pembentukan Biofilm (Ranganathan, 2014)

Pembentukan biofilm dimulai dari perlekatan awal dari bentuk planktonik bakteri pada permukaan jaringan inang, pada tahap iniperlekatan sel masih bersifatreversibel. Tahap selanjutnya dimulai pembentukan sel monolayer dan produksilen direkstra selular, pada tahap ini kumpulan mikroba tertutup dalam matriks ekstrapolimer yang merupakan senyawa perekat yang kuat sehingga perlekatan menjadi ireversibel.

Kemudian terbentuk mikrokoloni bakteri dan biofilm mulai terbentuk, bakteri mulai berkembang biak dan memancarkan sinyal kimiawi sebagai alat komunikasi antarsel bakteri (Prakash et al., 2003). Selanjutnya biofilm yang terbentuk semakin banyak dan membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung sel terselubung dalam beberapa kelompok yang saling terhubung satu sama lainnya. Struktur biofilm dewasa terdiri dari bentuk dan saluran yang kompleks. Tahap terakhir terjadi disperse sel sehingga memungkinkan beberapa bakteri meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik. Sel bakteri dapat melepaskan diri dari biofilm matang dan menyebar kesistem organ lain. Akibatnya, biofilm menjadi sumber infeksi persisten dan kronis(Manuel et al., 2010).

Aspek biologis yang mengatur pembentukan biofilm, antara lain (Manuel et al., 2010) :


(25)

9

Permukaan sel hidrofobik dan adanya pelengkap berserabut ekstraseluler dapat mempengaruhi tingkat keterikatan mikroba. Menurut Drenkard dan Ausubel(2002), kemampuan bakteri untuk menempel satu sama lain pada permukaan tergantung pada interaksi domain hidrofobik.

 Zat Polimer Ekstraseluler (EPS)

EPS bertanggung jawab atas sel-sel dan bahan partikulat lain yang terikat ke permukaan (adhesi). Sebuah fungsi yang sering dikaitkan dengan EPS adalah efek perlindungan umum terhadap kondisi buruk mikroorganisme biofilm. Selain itu matriks molekul EPS diperlukan untuk komunikasi antar sel.

 Komunikasi Antar Sel

Komunitas bakteri adalah organisasi yang mandiri dan memiliki kerjasama antar sel, signaling antar sel telah ditunjukkan untuk memainkan peran dalam penempelan sel dan detasemen dari biofilm. Suksesnya adaptasi bakteri terhadap perubahan kondisi alam tergantung pada kemampuan mereka untuk merasakan dan merespon lingkungan eksternal dan memodulasi ekspresi gen yang sesuai.

2.5.3 Resistensi Antibiotik Terhadap Biofilm

Bakteri dalam biofilm memiliki perilaku yang berbeda dari bakteri planktonik, terutama dalam hal respon mereka terhadap pengobatan antibiotik. Bakteri biofilm terkait sangat resisten terhadap antibiotik (Meng Chen et al., 2013). Bakteri bebas umumnya rentan terhadap pengobatan antibiotik dan mekanisme pertahanan dari sel inangnya. Namun, konsentrasi minimal penghambatan (MIC) dan konsentrasi bakterisida minimal (MBC) antibiotik untuk bakteri biofilm meningkat menjadi sampai dengan 100-1000 kali lipat lebih tinggi daripada bakteri bebas. Struktur rumit biofilm dengan matriks polimer ekstraseluler dapat mencegah antibiotik mencapai bakteri serta kondisi fisiologis yang berubah pada bakteri bisa membuatnya lebih tahan terhadap antibiotik. Umur sel biofilm juga merupakan faktor yang menyebabkan berbedanya ketahanan sel biofilm terhadap senyawa kimia. Semakin lama umur sel biofilm maka ketahanannya terhadap antibakteri dan desinfektan semakin tinggi karena terbentuknya beberapa lapis sel biofilm (multilayers) pada substrat.


(26)

10

2.5.4 Pengendalian Biofilm

Proses pengendalian biofilm dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni secara kima, fisika dan biologi:

 Secara Kimia

Pengendalian biofilm secara kimia dilakukan melalui proses sanitasi dengan penambahan zat kimia. Sanitasi kimia dilakukan dengan menggunakan desinfektan. Tujuan penggunaan desinfektan ialah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme patogen. Teknik perlakuan deaktivasi biofilm mikroba dapat dilakukan dengan menggunakan enzim berbasis deterjen yang juga dikenal dengan bio-cleaners identik dengan bahan kimia ramah lingkungan yang banyak digunakan dalam industri pengolahan produk pangan (Simoes et al., 2010).

 Secara Fisika

Pengendalian biofilm secara fisika dilakukan dengan memanfaatkan suhu yang tinggi atau pemanasan. Sanitasi dengan menggunakan air panas lebih menguntungkan karena air panas mudah tersedia dan tidak beracun. Peralatan kecil seperti pisau, serta bagian–bagian alat pengolahan pangan dapat direndam dalam air yang dipanaskan hingga suhu 800C (Yunus, 2000). Tinggi rendahnya suhu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.Aktivitas panas sering dijadikan sebagai sanitasi suatu peralatan kesehatan dan peralatan proses penanganan makanan.

 Secara Biologi

Teknik perlakuan deaktivasi biofilm mikroba secara biologi dapat dilakukan dengan pengendalian fage dan interaksi mikrobiologis atau molekul metabolit (Simoes et al., 2010). Fage dapat juga digunakan untuk pengendalian biofilm pada produk pangan. Pada dasarnya fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri melalui jalur yang spesifik serta bersifat non-toksik terhadap manusia, sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan biofilm mikroba pada produk pangan (Kudva et al., 1999). Pengendalian biofilm juga dapat dilakukan dengan interaksi interspesies jamak atau produksi suatu metbolit sederhana (Rossland et al, 2005). Banyak bakteri


(27)

11

yang mampu mensintesis dan mensekresikan biosurfaktan dengan sifat anti lekat yang kuat (Rodriguez et al, 2004).


(28)

12

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Kesehatan, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) - Cibinong pada bulan Maret sampai bulan Mei 2015.

3.2. ALAT DAN BAHAN 3.2.1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, kertas saring, membran penyaring 0.2 µ, corong, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pinset, vortex, incubator, mikroplate, miroplate reader, jarum ose, kapas, kain kasa, spatula, batang pengaduk, mikropipet, bunsen, pinset, alumunium foil, plastik wrap, vial, timbangan analitik, autoklaf, oven, Laminar Air flow (LAF), lemari pendingin, seperangkat alat filtrasi, dan spektrofotometer UV-Vis.

3.2.2. Bahan 3.2.2.1. Tanaman

Jeruk nipis (Citrus aurantiolia (Christm.) Swingle) yang diperoleh dari kelurahan Cipondoh Indah, kecamatan Cipondoh - Tangerang. Buah ini dipetik pada tanggal 9 Maret 2015 dan 26 April 2015.

3.2.2.2. Bakteri Uji

Kultur Staphylococcus aureus yang telah diisolasi dari kulit manusia.

3.2.2.3. Bahan Lainnya

Aquadest steril, etanol 96%, NaCl fisiologis, lugol, safranin, kristal violet 1 %, media heterotrof (HTR) cair, luria bertani (LB) agar, klorin, biorem 1 (basa alkali), biorem 10 (enzim), media kingler iron agar (KIA), susu skim, H2O2 3%,


(29)

13

3.3. METODE

3.3.1. Determinasi Jeruk Nipis (Citrus aurantiolia (Christm.) Swingle)

Determinasi dilakukan untuk memastikan klasifikasi tanaman yang digunakan dalam penelitian. Determinasi terhadap jeruk nipis (Citrus aurantiolia (Christm.) Swingle) dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI – Cibinong.

3.3.2. Sterilisasi Alat dan Bahan

Seluruh alat yang akan digunakan dalam penelitian dicuci bersih, dikeringkan dan disterilkan terlebih dahulu. Gelas beker, erlenmeyer, cawan petri, tabung reaksi, jarum ose, spatula, dan pinset disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Alat-alat kaca seperti gelas beker, Erlenmeyer, dan tabung reaksi ditutup mulutnya dengan kapas dan cawan petri dibungkus dengan kertas. Bahan-bahan yang terbuat dari karet disterilkan dengan direndam dalam alcohol 70% dan jarum ose disterilkan dengan nyala Bunsen (Pertiwi, 2010).

Seluruh media pembenihan (nutrient agar dan media heterotrof) disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Pengerjaan aseptis dilakukan di dalam lemari aseptis yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, lalu disterilkan dengan UV yang dinyalakan selama lebih kurang 2 jam sebelum digunakan.

3.3.3. Penyiapan Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantiolia (Christm.) Swingle)

Jeruk nipis (Citrus aurantiolia (Christm.) Swingle) yang akan digunakan diukur terlebih dahulu menggunakan penggaris, kemudian dicuci dengan air bersih dan dibilas dengan etanol lalu dipotong menjadi 2 bagian. Kemudian airnya diperas kedalam tabung erlenmeyer dan disaring dengan menggunakan kertas saring lalu disaring kembali menggunakan membran penyaring berukuran 0.2 µ m (Ninditha, 2012).

Selanjutnya dilakukan penyiapan berbagai seri konsentrasi air perasan jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Konsentrasi air perasan jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.0625%, 0,125%, 0,25%,


(30)

14

0,50%, 1%, 2%, 4 % dan 8% v/v. Proses ini dilakukan untuk memperoleh sampel yang siap untuk digunakan.

3.3.4. Pemeriksaan Kandungan Kimia Jeruk Nipis

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung di dalam air perasan jeruk nipis (Citrus aurantiolia). Metabolit sekunder yang diuji secara kualitatif ini antara lain alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Penapisan fitokimia pada penelitian ini dilakukan oleh Pusat Studi Biofarmaka – LPPM IPB. Metode penapisan fitokimia tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.

3.3.5. Karakterisasi Bakteri Staphylococcus aureus

Jarum ose yang berbentuk bulat diusapkan pada kulit kemudian ose tersebut digoreskan pada media BHI dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Bakteri yang tumbuh pada media kemudian dikarakterisasi menggunakan pewarnaan Gram. Selanjutnya bakteri gram positif yang berbentuk staphylococcus dikarakterisasi menggunakan media KIA, media pelarut fosfat, susu skim 20% dan penambahan H2O2 3% (Breed et al., 1957).

3.3.5.1. Karakterisasi Bakteri Menggunakan Media KIA (Deteksi H2S)

Media KIA (Klingler Iron Agar) dibuat sebanyak 9 ml dengan posisi tegak dalam tabung reaksi. Kemudian ditusukkan sebanyak 1 ose bakteri uji ke dalam media menggunakan ose yang berbentuk jarum. Terbentuknya H2S

menunjukkan bahwa bakteri uji adalah Staphylococcus aureus. Terbentuknya H2S

dapat dilihat dari perubahan warna pada media dari warna merah menjadi warna hitam pada bekas tusukan bakteri dan dapat juga dilihat dari media agar yang terangkat (Breed, et al., 1957).

3.3.5.2. Karakterisasi Bakteri Menggunakan Media Pelarut Fosfat (Phospatase)

Dibuat media BHI dengan penambahan NaCl, dan Ca3(PO4)2 sebagai media


(31)

15

cawan petri. Kemudian ditusukkan sebanyak 1 ose bakteri uji ke dalam media menggunakan ose yang berbentuk jarum. Setelah itu diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Terbentuknya zona bening disekitar tempat penusukan bakteri menunjukkan bahwa bakteri uji adalah Staphylococcus aureus (Breed, et al., 1957).

3.3.5.3. Karakterisasi Bakteri Menggunakan Susu Skim 20% (Koagulase)

Dibuat susu skim 20%, kemudian dipasteurisasi selama 30 menit pada suhu 900C. Selanjutnya dibuat kultur bakteri dalam tabung appendorf, dengan memasukkan sebanyak 1 mL aquadest kemudian ditambahkan sebanyak 2 ose bakteri ke dalamnya dan divortex hingga homogen. Susu yang telah dipasteurisasi dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL kemudian ditambahkan 500µL kultur bakteri dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Terbentuknya gumpalan (koagulasi) menunjukkan bahwa bakteri uji adalah Staphylococcus aureus (Breed, et al., 1957).

3.3.5.4. Karakterisasi Bakteri dengan Penambahan H2O2 3% (Katalase) Sebanyak 1 ose bakteri uji disebar pada kaca objek, kemudian ditambahkan 1 tetes H2O2 3%. Terbentuknya gelembung menunjukkan bahwa bakteri uji adalah

Staphylococcus aureus (Breed, et al., 1957).

3.3.6. Pembuatan Medium Agar 3.3.6.1. Luria Bertani Agar

Media luria bertani agar dibuat dengan cara mencampur bacto agar 2.25 gram, yeast ekstrak 0.75 gram, tripton, 1,5 gram, dan NaCl 0.75 gram, kemudian dilarutkan dengan pemanasan dalam 150 mL aquadest. Selanjutnya disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Penuangan media dilakukan ketika masih cair, yaitu pada suhu sekitar 45 – 500C. Kemudian diratakan dengan menggoyang cawan dan diputar membentuk angka 8 sebanyak 3 kali lalu disterilisasi dan disimpan dalam kulkas (Adela, 2011).


(32)

16

3.3.6.2. Media Hetrotrof (HTR) Cair

Media HTR cair dibuat dengan cara mencampur pepton 3,75 gram, K2HPO4

0,625, glukosa 0,625 gram, NaCl 1,25 gram dan tripton 0,75 gram, kemudian dilarutkan dengan pemanasan dalam 250 mL aquadest. Selanjutnya disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

3.3.7. Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri pada Media Luria Bertani Agar

Hasil karakterisasi bakteri Staphylococcus aureus kemudian dipurifikasi (dimurnikan). Teknik yang digunakan adalah Streak Plate. Jarum ose dipanaskan terlebih dahulu sampai berpijar, lalu didinginkan. Kemudian bakteri diambil dan digoreskan pada media luria bertani agar. Selanjutya diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam (Deby et al., 2012). Kemudian dilakukan pengamatan secara morfologis terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang telah ditumbuhkan pada media luria bertani agar, serta dilakukan karakterisasi bakteri dengan pewarnaan Gram.

3.3.8. Pembuatan Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus

Diambil sebanyak satu ose bakteri Staphylococcus aureus yang telah dibiakkan dan dimasukkan ke dalam tabung berisi media heterotrof (HTR) sebanyak 10 mL dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Kultur bakteri uji divorteks kemudian diukur nilai optical dencity (OD) pada panjang gelombang 600nm untuk mengetahui konsentrasi dari suspensi bakteri tersebut. Kemudian suspensi bakteri diencerkan mengunakan media HTR hingga OD mencapai 0.5.

3.3.9. Uji Pembentukan dan Pertumbuhan Biofilm Optimal

Uji pembentukan biofilm dilakukan dengan menggunakan 10 mL suspensi bakteri dalam tabung reaksi yang diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Jika terbentuk biofilm terlihat lapisan-lapisan seperti benang halus pada suspensi bakteri. Selanjutnya dilakukan uji pertumbuhan biofilm untuk mengetahui waktu inkubasi yang menghasilkan pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus paling baik. Pengujian dilakukan dengan menggunakan microtitier flat-bottom


(33)

17

polystyrene 96 wells, dengan cara memvariasikan waktu inkubasinya. Jumlah suspensi bakteri yang dimasukkan adalah 200 µL dengan variasi waktu inkubasi adalah 1, 2, 3, dan 4 hari. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan 200 µL larutan kristal violet 1% ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Microplate dicuci kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya, yaitu dengan air mengalir sebanyak 3 kali. Larutan etanol 96% sebanyak 200 µL dimasukkan ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Pebacaan Optical Dencity (OD) dilakukan dengan Mark Bio-Rad microplate reader pada panjang gelombang 595nm. Pengujian dilakukan triplo. Hasil absorbansi terbesar pada waktu inkubasi dan jumlah bakteri tersebut dinyatakan memiliki pembentukan biofilm yang optimal (George, 2011).

3.3.10. Uji Aktivitas Antibiofilm Secara In Vitro (Yosephine, 2013)

Uji Pencegahan Pembentukan Biofilm pada Permukaan

Uji ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas air perasan jeruk nipis terhadap pencegahan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus. Pengujian dilakukan dengan menggunakan microtitier flat-bottom polystyrene 96 wells. Pengujian dilakukan terhadap masing-masing ekstrak tanaman dengan variasi konsentrasi 0.0625%, 0,125%, 0,25%, 0,50%, 1%, 2%, 4 % dan 8% v/v. 200 µL ekstrak tanaman terlebih dahulu dimasukkan pada tiap well dan diinkubasi selama 1 jam, kemudian ekstrak tanaman dibuang lalu dimasukkan suspensi bakteri sebanyak 200 µL pada tiap well. Suspensi uji kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 370C. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan 200 µL larutan kristal violet 1% ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Microplate dicuci kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya, yaitu dengan air mengalir sebanyak 3 kali. Larutan etanol 96% sebanyak 200 µL dimasukkan ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Pebacaan Optical Dencity (OD) dilakukan dengan Mark Bio-Rad microplate reader pada panjang gelombang 595nm. Pengujian dilakukan triplo.


(34)

18

Uji Penghambatan Pertumbuhan dan Perkembangan Biofilm

Uji ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas air perasan jeruk nipis terhadap penghambatan pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus. Pengujian dilakukan dengan menggunakan microplate flat-bottom polystyrene 96 wells. Suspensi bakteri, ekstrak dan media dimasukkan dalam waktu bersamaan. Media HTR yang dimasukkan sebanyak 60 µL, suspense bakteri sebanyak 70 µL dan ekstrak tanaman sebanyak 70 µL dengan variasi konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 1%, 2%, 4 % dan 8% v/v. Suspensi uji kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 370C. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan 200 µL larutan kristal violet 1% ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Microplate dicuci kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya, yaitu dengan air mengalir sebanyak 3 kali. Larutan etanol 96% sebanyak 200 µL dimasukkan ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Pebacaan Optical Dencity (OD) dilakukan dengan Mark Bio-Rad microplate reader pada panjang gelombang 595nm di laboratorium mikrobiologi, LIPI Cibinong. Pengujian dilakukan triplo. % penghambatan =

Uji Penghancuran (Degradasi) Biofilm

Uji ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas air perasan jeruk nipis dalam mendegradasi biofilm Staphylococcus aureus. Pengujian ini dilakukan sebagaimana penghambatan perlekatan dan pertumbuhan biofilm hanya saja suspensi ekstrak uji ditambahkan pada saat biofilm telah terbentuk. Biofilm terbentuk setelah masing-masing wells diinkubasi selama 2 hari pada suhu 370C dengan jumlah suspensi bakteri sebanyak 200 µL. Setelah terbentuknya biofilm, suspensi dalam microplate tersebut dibuang, kemudian dimasukkan 200 µL ekstrak tanaman dengan variasi konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 1%, 2%, 4 % dan 8% v/v. Setelah itu diinkubasi dalam suhu ruang selama 1 jam. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak tiga kali, dan seterusnya sebagaimana dilakukan pada uji penghambatan perlekatan dan


(35)

19

pertumbuhan biofilm. Persentase pendegradasian dari biofilm dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

% penghancuran =

3.3.11. Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratories dengan desain penelitian post test only control-group design. Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif berupa nilai absorbansi atau Optical Density (OD595nm). Data hasil pengujian aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis

(Citrus auranifolia (Christm) Swingle) terhadap pencegahan pembentukan, penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm Staphylococcus aureus dianalisis secara statistik. Tujuan dilakukan analisa statistik adalah untuk melihat apakah air perasan jeruk nipis memperlihatkan perbedaan aktivitas antibiofilm yang signifikan terhadap biofilm yang dibentuk oleh bakteri Staphylococcus aureus. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Levene dan uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Apabila hasil sebaran data normal, maka untuk melihat perbedaan kadar masing-masing kelompok perlakuan dianalisis dengan uji statistik One way ANOVA.

Hipotesis :

Ho : tidak ada perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok Ha : terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok. Pengambilan keputusan :

Bila nilai signifikansi ≤0.05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan

Bilai nilai signifikansi ≥0.05 Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan

(Santoso, 2009).


(36)

20

Pada penelitian ini, optimasi aktivitas terseleksi dilakukan dengan menggunakan aplikasi metode Response Surface Analysis (RSA). Konsentrasi air perasan jeruk nipis, suhu dan waktu inkubasi yang digunakan divariasikan. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsentrasi air perasan jeruk nipis dengan suhu dan waktu inkubasi yang menunjukkan aktivitas optimal. Kemudian dilakukan uji aktivitas antibiofilm dengan konsentrasi air perasan jeruk nipis, waktu inkubasi, dan suhu yang digunakan sesuai dengan kondisi optimal yang diperoleh dari RSA dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol positif.


(37)

21

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi

Hasil determinasi tumbuhan menunjukkan bahwa sampel buah yang digunakan adalah jeruk nipis dengan nama spesies Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle, suku Rutaceae ( Lampiran 2 ).

4.2 Karakterisasi dan Penyiapan Sampel

Karakteristik buah jeruk nipis yang digunakan adalah berbentuk bulat, berwarna hijau kekuningan dan berdiameter 35-40 mm. Dari 3 buah jeruk nipis diperoleh sebanyak 45 mL air perasan jeruk nipis yang kemudian disaring dengan menggunakan membran penyaring berukuran 0,2µm untuk menyaring bakteri dan virus yang mungkin mengkontaminasi air perasan jeruk nipis pada proses penyiapan sampel. Kemudian dibuat seri konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, 4% dan 8% v/v. Pengenceran air perasan jeruk nipis dilakukan dengan menggunakan aquadest steril untuk menghindari terjadinya kontaminasi.

4.3 Uji Penapisan Fitokimia

Kandungan metabolit sekunder golongan alkaloid, flavonoid, tannin, steroid, triterpenoid, saponin dan hidrokuinon pada air perasan jeruk nipis diuji dengan cara penapisan fitokimia. Hasil penapisan fitokimia air perasan jeruk nipis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1.Hasil uji penapisan fitokimia

Golongan Hasil

Alkaloid -

Flavonoid +

Steroid -

Triterpenoid -

Tannin -

Saponin +


(38)

22

Dari hasil pengujian penapisan fitokimia menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki kandungan senyawa saponin, dan flavonoid, dimana zat aktif tersebut berpotensi memiliki aktivitas sebagai antibiofilm. Menurut Calabro et al (2004) flavonoid terdapat pada Citrus sp., 3 dari 6 jenis utama flavonoid yang terdapat pada citrus adalah flavanone (eriocitrin, hesperidin, narirutin dan neoriocitrin), flavone (apigenin) dan flavonols (kaempferol, quercetin dan rutin). Hisperidin merupakan flavonoid paling dominan yang terdapat pada jeruk nipis (Peterson, Julia J., et al, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Vikram et al (2010) membuktikan bahwa flavonoid Citrus sp. dapat menghambat proses quorum sensing dalam pembentukan biofilm. Sedangkan saponin berpotensi sebagai antibiofilm karena dapat mengganggu pembentukan biofilm dengan merusak matriks biofilm (Coleman et al., 2010). Selain mengandung senyawa flavonoid dan saponin, air perasan jeruk nipis juga mengandung asam sitrat dan minyak atsiri (Dalimarta, 2010). Asam sitrat dan minyak atsiri juga diketahui memiliki aktivitas antibiofilm yang baik. Mekanisme antibiofilm asam sitrat adalah dengan memecah jembatan kalsium dan merusak matriks biofilm (Faot et al., 2014). Sedangkan minyak atsiri dapat menginaktivasi enzim yang berperan dalam pembentukan biofilm (Dwi & Triana, 2010).

4.4 Karakterisasi Bakteri Staphylococcus aureus

Dilakukan pewarnaan terhadap 7 koloni bakteri yang tumbuh dari hasil isolasi bakteri pada kulit. Isolasi bakteri dilakukan dari kulit karena S. aureus merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada kulit dan permukaan mukosa (Voung & Otto, 2002). Hasil pewarnaan tersebut menunjukkan bahwa seluruh koloni bakteri merupakan bakteri Gram positif yang tersusun dari sel yang berbentuk bulat (coccus) dan berkoloni seperti buah anggur (staphylococcus). Kemudian dilakukan karakterisasi lebih lanjut untuk mengetahui bakteri dengan spesies Staphylococcus aureus dari 7 koloni bakteri tersebut. Hasil karakterisasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2.


(39)

23

Tabel 4.2.Hasil karakterisasi bakteri

Karakterisasi Bakteri

1 2 3 4 5 6 7

Media KIA - - - + +

Media pelarut fosfat - - - + -

Susu skim 20% - - - + -

H2O2 3% + + + + + + +

Dari hasil karakterisasi bakteri yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa bakteri 6 merupakan bakteri Staphylococcus aureus. Kemudian bakteri dipurifikasi dan dilakukan karakterisasi secara morfologis dan mikroskopis. Hasil purifikasi dan karakterisasi bakteri Staphylococcus aureus secara morfologis dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. Hasil purifikasi bakteri Staphylococcus aureus

Secara morfologis dapat dilihat bahwa bakteri Staphylococcus aureus yang tumbuh pada media pembenihan berwarna putih kekuningan, berbentuk bundar, menonjol dan berkilau. Sedangkan hasil karakterisasi bakteri Staphylococcus aureus secara mikroskopis dapat dilihat pada gambar 4.2.


(40)

24

Gambar 4.2. Hasil pewarnaan Gram bakteri Staphylococcus aureus

Berdasarkan karakterisasi yang dilakukan dengan cara pewarnaan Gram, dapat dipastikan bahwa bakteri Staphylococcus aureus yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar bakteri Gram positif yang menghasilkan warna ungu setelah pewarnaan Gram. Secara mikroskopis bakteri ini berbentuk Staphylococcus (bulat dan tersusun seperti anggur).

4.5 Uji Pembentukan dan Pertumbuhan Biofilm Staphylococcus aureus

Pada uji pembentukan biofilm terbentuk lapisan-lapisan seperti benang halus pada suspensi bakteri yang telah diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Staphylococcus aureus yang digunakan positif dapat membentuk biofilm. Menurut Meng Chen (2013), S. aureus merupakan salah satu bakteri yang paling sering membentuk biofilm. Pembentukan biofilm S.aureus dapat terjadi melalui beberapa regulasi, salah satunya adalah melalui ica-dependent biofilm production (Lee et al, 2013).

Kemampuan pembentukan biofilm merupakan salah satu faktor virulensi S. aureus yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Hoiby et al., 2010; Lee et al., 2013). Setelah dilakukan uji pembentukan biofilm kemudian dilakukan pengujian pertumbuhan biofilm S. aureus untuk mengetahui waktu inkubasi yang menghasilkan pembentukan biofilm paling baik dengan jumlah suspensi bakteri sebanyak 200µL selama 1-4 hari.

Uji pertumbuhan biofilm ini menggunakan suspensi bakteri yang telah diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Suspensi bakteri diinkubasi pada suhu


(41)

25

370C karna suhu ini merupakan suhu optimal dalam pertumbuhan S.aureus. Setelah 24 jam kemudian diukur nilai optical dencity (OD) suspensi bakteri pada panjang gelombang 600nm untuk mengetahui konsentrasi dari suspensi bakteri tersebut.Kemudian suspensi bakteri diencerkan mengunakan media HTR hingga OD mencapai 0,5 atau sekitar 108 CFU/ml (Abdelhady et al., 2013). Digunakan OD 0,5 pada suspensi bakteri karena bakteri membentuk biofilm dengan baik

(kuat) dengan OD ≥0,5 (Ando et al., 2004). Media yang digunakan dalam pembuatan suspensi bakteri tidak selalu harus menggunakan HTR cair namun bisa juga menggunakan media lainnya seperti Tryticase soy broth, LB broth dan media BHI.

Uji pertumbuhan biofilm ini menggunakan metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm) dengan kristal violet 1% sebagai pendeteksi. Kristal violet akan

mewarnai biofilm sehingga terbentuk cincin berwarna ungu di sekeliling sumuran yang kemudian ditambahkan dengan etanol 96 % untuk melarutkan kristal violet yang terikat pada biofilm. Banyaknya kristal violet yang terlarut berbanding lurus dengan jumlah biofilm yang terbentuk. Namun demikian, faktor fisika, kimia, dan biologis juga dapat mempengaruhi ikatan kristal violet dan biofilm. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor struktural yang mempengaruhi difusi pewarna, perbedaan morfologi dan fisiologi dari setiap sel, dan interaksi kimia antara komponen senyawa dalam tanaman dengan pewarna itu sendiri (Niu dan Gilbert, 2004). Hasil pertumbuhan biofilm dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.3.Grafik pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

1 2 3 4

0.29 1.04 0.98 0.45 De n sitas B iof il m ( OD k ristal viol et)


(42)

26

Dari grafik diatas diketahui bahwa bakteri S. aureus membentuk biofilm paling baik pada waktu inkubasi selama 2 hari, sehingga waktu ini yang akan digunakan untuk pengujian antibiofilm. Dari grafik ini juga terlihat pertumbuhan biofilm meningkat dari hari pertama ke hari kedua kemudian terjadi penurunan biofilm di hari ketiga dan hari keempat. Penurunan biofilm ini diduga terjadi karena pembentukan biofilm sudah berada pada fase terakhir yaitu dispersi. Pada tahap dispersi, sel-sel dalam koloni akan terlepas sendiri atau bersama sebagian komponen matriks. Pada tahap ini, matriks ekstraseluler biofilm akan didegradasi oleh enzim dispersin B dan deoxyribonuclease (Kaplan, 2010).

4.6 Uji Aktivitas Antibiofilm Air Perasan Jeruk Nipis terhadap Biofilm Staphylococcus aureus

Setelah diketahui waktu dan konsentrasi bakteri yang menghasilkan pembentukan biofilm paling baik, kemudian dilakukan uji aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis. Hasil uji aktivitas antibiofilm ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki aktivitas terhadap pencegahan pembentukan, penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus. Hal ini ditunjukkan dari densitas optis yang diperoleh pada perlakuan dengan penambahan air perasan jeruk nipis konsentrasi 0,0625% sampai dengan 8% dibandingkan dengan kontrol negatif dan dari % pencegahan, % penghambatan dan % penghancuran biofilm mulai dari pemberian air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625% sampai dengan 8%. Kontrol negatif yang digunakan pada uji aktivitas antibiofilm ini adalah suspensi bakteri tanpa penambahan media dan air perasan jeruk nipis. Densitas optis antibiofilm air perasan jeruk nipis terhadap biofilm Staphylococcus aureus dapat dilihat pada tabel 4.3.


(43)

27

Tabel 4.3.Rata-rata densitas optis aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis.

Perlakuan Rata-Rata Densitas Optis ± SD

Pencegahan Penghambatan Penghancuran

Kontrol (-) 0.46 ± 0,02 0.46 ± 0,02 0.92 ± 0,06

Ekstrak 0.0625% 0.12 ± 0,05 0.20 ± 0,03 0.32 ± 0,10 Ekstrak 0.125% 0.15 ± 0,01 0.15 ± 0,06 0.35 ± 0,06 Ekstrak 0.25% 0.15 ± 0,04 0.10 ± 0,01 0.37 ± 0,04 Ekstrak 0.5% 0.15 ± 0,05 0.10 ± 0,09 0.37 ± 0,07

Ekstrak 1% 0.22 ± 0,04 0.11 ± 0,02 0.39 ± 0,13

Ekstrak 2% 0.18 ± 0,03 0.11 ± 0,02 0.48 ± 0,03

Ekstrak 4% 0.19 ± 0,06 0.12 ± 0,03 0.48 ± 0,02

Ekstrak 8% 0.26 ± 0,03 0.17 ± 0,07 0.48 ± 0,09

Persentase aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis terhadap biofilm Staphylococcus aureus dapat dilihat pada tabel 4.4 dan gambar 4.4.

Tabel 4.4.Rata-rata % aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis.

Perlakuan Rata-Rata % Aktivitas ± SD

% Pencegahan % Penghambatan % Penghancuran

Ekstrak 0.0625% 66,23 ± 11,36 56,33 ± 5,99 64,86 ± 11,10 Ekstrak 0.125% 65,94 ± 0,75 67,75 ± 13,59 62,48 ± 6,33 Ekstrak 0.25% 62,40 ± 9,34 79,18 ± 3,01 59,55 ± 4,54 Ekstrak 0.5% 61,10 ± 10,50 77,80 ± 6,17 59,48 ± 7,74 Ekstrak 1% 61,10 ± 9,11 76,14 ± 4,14 57,75 ± 14,15 Ekstrak 2% 61,03 ± 5,86 75,20 ± 4,74 48,50 ± 3,01 Ekstrak 4% 53,15 ± 12,03 74,19 ± 6,21 48,25 ± 2,51 Ekstrak 8% 50,69 ± 6,54 62,55 ± 15,32 48,10 ± 9,99


(44)

28

Gambar 4.4.Grafik persentase aktivitas antibiofilm air perasan jeruk nipis terhadap biofilm S. aureus

Uji pencegahan pembentukan biofilm S. aureus menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki aktivitas dalam mencegah pembentukan biofilm. Pada uji ini diketahui microplate yang digunakan berbahan dasar polystyrene yang bersifat lipofilik. Air perasan jeruk nipis diketahui mengandung minyak atsiri yang juga bersifat lipofilik sehingga ketika air perasan jeruk nipis dibuang diduga minyak atsiri masih menempel pada permukaan microplate sehingga dapat mencegah pembentukan biofilm.

Grafik pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa pada uji pencegahan pembentukan biofilm S.aureus, semakin besar konsentrasi air perasan jeruk nipis maka semakin kecil aktivitasnya (berbanding terbalik). Hal ini diduga terjadi karena semakin kecil konsentrasi air perasan jeruk nipis maka semakin besar kemampuan dari senyawa aktifnya untuk berpenetrasi ke dalam bakteri sehingga kemampuan pencegahannya semakin besar. Belum diketahui secara pasti mekanisme dari pencegahan pembentukan biofilm karena penelitian mengenai uji pencegahan pembentukan biofilm masih sangat sedikit dilakukan.

Aktivitas yang paling baik pada uji pencegahan penbentukan biofilm S.aureus dihasilkan pada konsentrasi ekstrak 0,0625% dengan % pencegahan hingga mencapai 66,23% dan % pencegahan yang terendah pada konsentrasi ekstrak 8% dengan % pencegahan yang diperoleh sebesar 50,69%. Hasil uji

66.23 56.33 64.86 65.94 67.75 62.48 62.40 77.18 59.55 61.10 77.80 59.48 61.10 76.14 57.75 61.03 75.20 48.50 53.15 74.19 48.25 50.69 62.55 48.10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Pencegahan Penghambatan Penghancuran

A kt iv itas A n tibiofi lm Ekstrak 0.0625% Ekstrak 0.125% Ekstrak 0.25% Ekstrak 0.5% Ekstrak 1% Ekstrak 2 % Ekstrak 4% Ekstrak 8%


(45)

29

statistik One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) terhadap semua perlakuan (p ≤ 0,05). Kemudian dilanjutkan uji post hoc yang menjelaskan tentang perbandingan densitas optis antar perlakuan.

Dari hasil uji post hoc, dinyatakan bahwa air perasan jeruk nipis dapat mencegah pembentukan biofilm S. aureus secara bermakna (signifikan) terhadap kontrol negatif. Densitas optis air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1% dan 2% tidak berbeda secara bermakna (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%,1% dan 2% memiliki aktivitas pencegahan yang sama. Begitupun pada konsentrasi 4% dan 8% yang tidak berbeda secara bermakna (signifikan). Namun pada konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1% dan 2% memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) terhadap konsentrasi 4% dan 8%. Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1% dan 2% memiliki perbedaan aktivitas terhadap air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 4% dan 8%.

Selanjutnya pengujian aktivitas air perasan jeruk nipis terhadap penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus. Grafik pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa pola aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm mengikuti pola sigmoid. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Keerthiga & Anand (2015) pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dengan menggunakan anggrek tanah (Geodorum densiflorum (Lam.) Schltr.) yang juga menunjukkan pola sigmoid. Hal ini diduga terjadi karena pada konsentrasi kecil, senyawa aktif dari ekstrak dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bakteri namun daya hambatnya kurang kuat sedangkan pada konsentrasi besar senyawa aktif dari ekstrak memiliki daya hambat yang kuat namun tidak dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bakteri sehingga aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm yang paling baik dihasilkan pada konsetrasi yang tidak terlalu kecil dan tidak teralu besar.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Loresta, (2014) pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dengan menggunakan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) yang menunjukkan pola linier yaitu semakin


(46)

30

besar konsentrasi yang digunakan maka semakin besar aktivitas penghambatannya. Aktivitas terbaik pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dengan menggunakan ekstrak etanol daun kelor adalah pada ekstrak 8% dengan % penghambatan hingga menacapai 40,22%, dimana aktivitas ini diduga terjadi karena adanya zat aktif tannin dan flavonoid yang terkandung di dalam ekstrak. Penelitian Vikram et al (2010) dan Taganna et al (2011) menunjukkan bahwa flavonoid dan tannin dapat menghambat quorum sensing yang merupakan proses penting dalam pembentukan biofilm.

Penelitian yang dilakukan oleh Geethashri et al, (2014) juga menunujukkan pola linier pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dengan menggunakan ekstrak Azadirachta indica, Mangifera indica, Piper betel, dan Piper ningrum. Aktivitas terbaik pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dengan menggunakan ekstrak Azadirachta indica, Mangifera indica, Piper betel, dan Piper ningrum ditunjukkan pada ekstrak Azadirachta indica dengan konsentrasi ekstrak 30 mg/ml yang menghasilkan % penghambatan hingga mencapai 48,21% dan aktivitas terbaik pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm S.aureus dengan menggunakan air perasan jeruk nipis adalah pada konsentrasi 0,25% dengan % penghambatan yang dihasilkan hingga mencapai 66,23%. Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki aktivitas yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan biofilm dibandingkan dengan ekstrak etanol daun kelor, ekstrak Azadirachta indica, ekstrak Mangifera indica, ekstrak Piper betel, dan ekstrak Piper ningrum. Tingginya aktivitas penghambatan biofilm S. aureus karena memiliki banyak kandungan zat aktif yang memiliki aktivitas sebagai antibiofilm, yaitu flavonoid, saponin, asam sitrat dan minyak atsiri.

Hasil uji statistik One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) pada semua perlakuan (p ≤ 0,05). Kemudian dilanjutkan uji post hoc yang menjelaskan tentang perbandingan densitas optis antar perlakuan. Dari hasil uji post hoc, dinyatakan bahwa air perasan jeruk nipis dapat menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus secara bermakna (signifikan) terhadap kontrol negatif. Densitas optis air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, dan 4% tidak berbeda secara bermakna


(47)

31

(signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, dan 4% memiliki aktivitas penghambatan yang sama. Air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625% menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan 8%. Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625% memiliki perbedaan aktivitas terhadap air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, 4% dan 8%. Begitupun pada konsentrasi 8% yang menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, dan 4%.

Pengujian aktivitas air perasan jeruk nipis yang terakhir dilakukan terhadap penghancuran (degradasi) biofilm S. aureus. Kemampuan degradasi biofilm dari senyawa terkait dengan kemampuan penetrasi senyawa ke dalam biofilm yang terbentuk, yakni mampu berpenetrasi pada lapisan EPS atau lendir yang menyelubungi bakteri. Selain itu, kemampuan senyawa dalam mendegradasi biofilm adalah menghilangkan EPS pada biofilm yang sudah terbentuk (Ardani et al., 2010).

Grafik pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi air perasan jeruk nipis maka semakin kecil aktivitas penghancurannya (berbanding terbalik). Hal ini diduga terjadi karena semakin kecil konsentrasi air perasan jeruk nipis maka semakin besar kemampuan dari senyawa aktifnya untuk berpenerasi ke dalam lapisan EPS atau lendir yang menyelubungi bakteri. Berbeda dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Yosephine (2013) pada uji penghancuran biofilm Streptococcus mutans dengan menggunakan minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L.) yang menunjukkan pola linier yaitu semakin besar konsentrasi minyak atsiri maka semakin besar kemampuannya dalam mendegradasi biofilm. Semakin besar konsentrasi maka semakin besar kandungan zat aktif yang berfungsi sebagai antibiofilm, sehingga semakin besar pula potensinya dalam menghancurkan biofilm. Namun aktivitas degradasi yang dihasilkan oleh minyak atsiri kemangi tidak terlalu baik, dengan % aktivitas penghancuran paling baik yang dihasilkannya adalah 57,64% pada konsentrasi 0,2%. Rendahnya nilai % degradasi biofilm ini menunjukkan bahwa minyak atsiri kurang efektif sebagai agen pendegradasian biofilm. Kemungkinan penyebabnya adalah karena minyak


(48)

32

atsiri kemangi tidak memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpenetrasi ke dalam lapisan EPS dan membersihkan lapisan EPS tersebut.

Aktivitas air perasan jeruk nipis yang paling baik dalam menghancurkan biofilm Staphylococcus aureus dihasilkan pada konsentrasi 0,0625% dengan % penghancuran hingga mencapai 64,86% dan yang terendah dihasilkan pada konsentrasi 8% dengan % penghancuran 48,10%. Hasil ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis memiliki aktivitas penghancuran yang lebih baik jika dibandingkan minyak atsiri kemangi.

Hasil uji statistik One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) pada semua perlakuan (p ≤ 0,05). Kemudian dilanjutkan uji post hoc yang menjelaskan tentang perbandingan densitas optis antar perlakuan. Dari hasil uji post hoc, dinyatakan bahwa air perasan jeruk nipis dapat menghancurkan biofilm S. aureus secara bermakna (signifikan) terhadap kontrol negatif. Densitas optis air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5% dan 1% tidak berbeda secara bermakna (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5% dan 1% memiliki aktivitas penghancuran yang sama. Begitupun pada konsentrasi 2%, 4% dan 8% yang tidak berbeda secara bermakna (signifikan). Namun pada konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5% dan 1% memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) terhadap konsentrasi 2%, 4% dan 8%. Hal ini menunjukkan bahwa air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5% dan 1% memiliki perbedaan aktivitas terhadap air perasan jeruk nipis dengan konsentrasi 2%, 4% dan 8%.

4.7 Optimasi Aktivitas Penghambatan

Selanjutnya dilakukan optimasi aktivitas terseleksi. Optimasi ini dilakukan pada uji antibiofilm yang menunjukkan hasil yang paling baik dengan menggunakan air perasan jeruk nipis. Dari pengujian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan biofilm menghasilkan aktivitas yang paling baik. Namun, karena biofilm S. aureus biasanya sudah terbentuk terlebih dahulu maka optimasi dilakukan pada aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm.


(49)

33

Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) terhadap 3 faktor yaitu suhu, konsentrasi dan waktu inkubasi. Rentang suhu yang digunakan pada uji ini adalah 250C - 500C, rentang konsentrasi yang digunakan adalah 0,0625% - 8% dan rentang waktu inkubasi yang digunakan adalah 1 – 4 hari. Setelah dioptimasi, didapatkan hasil sebanyak 20 pasang dari ketiga faktor yang harus dilakukan uji aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan (triplo). Hasil uji aktivitas terseleksi dianalisa menggunakan RSA untuk mengetahui kondisi optimal yang menghasilkan aktivitas paling baik.Kemudian diperoleh hasil (contour plot) yang menunjukkan suhu, konsentrasi dan waktu yang optimal dalam menghasilkan aktivitas antibiofilm yang paling baik.

Hasil contour plot dari % penghambatan terhadap waktu inkubasi dan suhu pada konsentrasi 0,0625% dapat dilihat pada gambar 4.5.

SUHU W A K T U I N K U B A S I 50 45 40 35 30 25 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0

KO NSENTRA SI 0.0625 Hold Values > – – – – – < 40

40 45 45 50 50 55 55 60 60 65 65 %PENGHA MBA TA N

Contour Plot of %PENGHAMBATAN vs WAKTU INKUBASI, SUHU

Gambar 4.5.Contour plot dari % penghambatan vs konsentrasi dan suhu. Countor plot pada RSA berwana biru hingga hijau tua. Kondisi optimal ditandai dengan warna hijau tua pada contour plot. Contour plot dari % penghambatan terhadap waktu inkubasi dan suhu pada konsentrasi 0,0625% menunjukkan bahwa waktu inkubasi tidak mempengaruhi aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm dan suhu optimum dalam menghambat pertumbuhan biofilm adalah pada suhu ± 270C - 410C.

Hasil contour plot dari % penghambatan terhadap waktu inkubasi dan konsentrasi pada suhu 250C dapat dilihat pada gambar 4.6.


(50)

34 KONSENTRASI W A K T U I N K U B A S I 8 7 6 5 4 3 2 1 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 SUHU25 Hold Values > – – – – – < 55

55 60 60 65 65 70 70 75 75 80 80 %PENGHA MBA TA N Contour Plot of %PENGHAMBATAN vs WAKTU INKUBASI, KONSENTRASI

Gambar 4.6.Contour plot dari % penghambatan vs waktu inkubasi dan konsentrasi.

Contour plot dari % penghambatan terhadap waktu inkubasi dan konsentrasi pada suhu 250C menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi maka semakin besar aktivitasnya sedangkan waktu inkubasi tidak mempengaruhi aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm.

Dari hasil optimasi aktivitas penghambatan didapatkan kondisi optimal untuk aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus adalah pada suhu 27,270C, dengan konsentrasi 8% dan waktu inkubasi selama 1 hari. Kemudian dilakukan pengujian dengan kondisi tersebut dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Kontrol negatif yang digunakan adalah suspensi bakteri tanpa penambahan media dan air perasan jeruk nipis sedangkan kontrol positif untuk uji penghambatan pertumbuhan biofilm menggunakan klorin.Karna tidak ada inkubator dengan suhu 27,270C maka pengujian dilakukan disuhu ruang ±250C. Menurut Heins et al (1995), suhu ruang berkisar antara 230C -270C. Persentase aktivitas penghambatan kondisi optimal yang dibandingkan dengan kontrol positif dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.6.

Tabel 4.5. Rata-rata densitas optis uji penghambatan biofilm kondisi optimal

Kelompok Perlakuan Rata-Rata Densitas Optis ± SD

Kontrol (-) 0.55 ± 0.03

Ekstrak 8% 0.12 ± 0.06


(51)

35

Gambar 4.6.Persentase aktivitas penghambatan kondisi optimal.

Hasil pengujian aktivitas air perasan jeruk nipis kondisi optimal terhadap penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus menunjukkan bahwa ekstrak air perasan jeruk nipis memberikan hasil yang lebih baik terhadap penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dibandingkan dengan kontrol positif. Hasil uji statistik One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) pada semua perlakuan (p ≤ 0,05). Kemudian dilanjutkan uji post hoc yang menjelaskan tentang perbandingan densitas optis antar perlakuan. Dari hasil uji post hoc, dinyatakan bahwa air perasan jeruk nipis dapat menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus secara bermakna (signifikan) terhadap kontrol negatif dan kontrol positif.

4.8 Optimasi Aktivitas Penghancuran (Degradasi)

Optimasi aktivitas penghancuran dilakukan sama halnya dengan aktivitas penghambatan pertumbuhan hanya saja pada aktivitas menggunakan rentang waktu kontak yaitu 30-90 menit. Hasil contour plotdari % penghancuran terhadap waktu kontak dan suhu pada konsentrasi 0,0625% dapat dilihat pada gambar 4.7.

60 65 70 75 80

Ekstrak 8%

Klorin (Kontrol +)

78.42

66.49

%

P

en

gh

am

b

ata

n


(1)

Lampiran 18. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Biofilm Kondisi Optimal

a. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov Smirnov

Tujuan : Untuk melihat kenormalan distribusi data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal.

Hipotesis :

Ho : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal terdistribusi normal

Ha : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal tidak terdistribusi normal

Pengambilan Keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima

Tabel 11.1. Hasil uji normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Absorbansi

N 9

Normal Parametersa Mean .28433

Std. Deviation .203200 Most Extreme

Differences

Absolute .274

Positive .274

Negative -.205

Kolmogorov-Smirnov Z .821

Asymp. Sig. (2-tailed) .510

a. Test distribution is Normal.

Keputusan : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal terdistribusi normal (p ≥ 0.05)

b. Uji Homogenitas (Levene)

Tujuan : untuk melihat homogenitas dari data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal


(2)

Hipotesis :

Ho : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal bervariasi homogen

Ha : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal tidak bervariasi homogen

Pengambilan keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima

Tabel 11.2. Hasil uji homogenitas Test of Homogeneity of Variances Densitas Optis

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

5.062 2 6 .052

Keputusan : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm bervariasi homogen (p ≥ 0.05).

c. Uji One-Way ANOVA

Tujuan : untuk melihat data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm kondisi optimal antar kelompok perlakuan terdapat perbedaan secara bermakna atau tidak.

Hipotesa :

Ho : data densitas optis aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm tidak berbeda secara signifikan

Ha : data densitas optis aktivitas pencegahan pembentukan biofilm berbeda secara signifikan

Pengambilan Keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima


(3)

ANOVA

Densitas Optis

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .324 2 .162 155.571 .000

Within Groups .006 6 .001

Total .330 8

Keputusan : data densitas optis aktivitas pencegahan pembentukan biofilm berbeda secara signifikan (p ≤ 0.05).

d. Uji Post Hoc

Tabel. 12.4. Hasil uji post hoc

Multiple Comparisons

Densitas Optis LSD

(I)

Konsentrasi (J)

Konsentrasi

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol (-) Ekstrak 8% .431333* .026351 .000 .36685 .49581

Kontrol (+) .365667* .026351 .000 .30119 .43015

Ekstrak 8% Kontrol (-) -.431333* .026351 .000 -.49581 -.36685

Kontrol (+) -.065667* .026351 .047 -.13015 -.00119

Kontrol (+) Kontrol (-) -.365667* .026351 .000 -.43015 -.30119

Ekstrak 8% .065667* .026351 .047 .00119 .13015


(4)

Lampiran 19. Hasil Uji Statistik Aktivitas Penghancuran (Degardasi) Kondisi Optimal

a. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov Smirnov

Tujuan : Untuk melihat kenormalan distribusi data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm.

Hipotesis :

Ho : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm terdistribusi normal

Ha : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm tidak terdistribusi normal

Pengambilan Keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima

Tabel 11.1. Hasil uji normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Absorbansi

N 9

Normal Parametersa Mean .33900

Std. Deviation .126173 Most Extreme

Differences

Absolute .266

Positive .266

Negative -.172

Kolmogorov-Smirnov Z .798

Asymp. Sig. (2-tailed) .547

a. Test distribution is Normal.

Keputusan : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm terdistribusi normal (p ≥ 0.05)

b. Uji Homogenitas (Levene)

Tujuan : untuk melihat homogenitas dari data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm


(5)

Hipotesis :

Ho : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm bervariasi homogen

Ha : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm tidak bervariasi homogen

Pengambilan keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima

Tabel 11.2. Hasil uji homogenitas Test of Homogeneity of Variances Densitas Optis

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

.558 2 6 .600

Keputusan : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm bervariasi homogen (p ≥ 0.05).

c. Uji One-Way ANOVA

Tujuan : untuk melihat data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm antar konsentrasi terdapat perbedaan secara bermakna atau tidak.

Hipotesa :

Ho : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm tidak berbeda secara signifikan

Ha : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm berbeda secara signifikan

Pengambilan Keputusan :

Bila signifikansi ≤ 0.05 Ho ditolak Bila signifikansi ≥ 0.05 Ho diterima


(6)

Tabel 12.3. Hasil uji One-Way ANOVA ANOVA

Densitas Optis

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .118 2 .059 38.695 .000

Within Groups .009 6 .002

Total .127 8

Keputusan : data densitas optis aktivitas penghancuran (degradasi) kondisi optimal biofilm berbeda secara signifikan (p ≤ 0.05).

d. Uji Post Hoc

Tabel. 12.4. Hasil uji post hoc

Multiple Comparisons

Densitas Optis LSD

(I)

Konsentrasi (J)

Konsentrasi

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol (-) Ekstrak 8% .262333* .031908 .000 .18426 .34041

Kontrol (+) .217667* .031908 .000 .13959 .29574

Ekstrak 8% Kontrol (-) -.262333* .031908 .000 -.34041 -.18426

Kontrol (+) -.044667 .031908 .211 -.12274 .03341

Kontrol (+) Kontrol (-) -.217667* .031908 .000 -.29574 -.13959