Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Chapter III V

BAB III
PENERAPAN PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL
DALAM PERSEROAN TERBATAS

A. Sejarah Prinsip Piercing The Corporate Veil
Salah satu topik populer dalam hukum perusahaan adalah topik piercing
the corporate veil. Piercing the corporate veil sangat erat hubungannya dengan
sifat dari PT itu sendiri. PT adalah badan usaha yang memiliki status badan
hukum. Dengan status badan hukum tersebut, PT mempunyai harta kekayaan
sendiri, dan tanggung jawab sendiri.73 Tanggung jawab dan kekayaannya PT
terpisah dengan kekayaan milik organ perusahaan seperti direksi, dewan
komisaris, dan pemegang saham. Hal ini berarti setiap kewajiban atau utang PT
hanya dilunasi dari harta kekayaan PT itu sendiri. Hal tersebut sangat berbeda
dibandingkan dengan tanggung jawab suatu perusahaan yang tidak berbentuk
badan hukum seperti firma atau perseroaan komanditer, jika terjadi kerugian
terhadap pihak ketiga atas kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk perseroan
(yang bukan badan hukum), pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik
perusahaan untuk bertanggung jawab secara hukum, termasuk meminta agar harta
benda pribadi dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang.74
Awalnya dari pentingnya fungsi kontrol terhadap direktur tidak terlepas
dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu

sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan
73
74

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 2.
Ibid, hlm. 3.

41
Universitas Sumatera Utara

42

kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd (1897). Teori ini mengungkapkan bahwa
sebuah pembentukan PT menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya
atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban
yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau
menjalankannya.75
Dalam perkembangannya, teori Salomon sering disalahgunakan oleh para
pemilik atau direktur yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini
terjadi karena seorang direktur dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan

dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan
berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan
mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam
perusahaan tersebut dengan membeli saham. Pemegang saham ini sering kali
hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap
prilaku direktur. Oleh karena itu dengan adanya pemisahan kekayaan antara
direktur dan perusahaannya, para direktur mempunyai moral hazard yang tinggi
karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila
keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para direktur yang
menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali
menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. Adanya penyimpangan ini
tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri dalam hukum perusahaan. Kerugian
perusahaan tentunya dapat merugikan pemilik modal perusahaan. Investasi
mereka akan hilang apabila perusahaan tersebut menjadi insolven. Demikian juga
75

Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2008), hlm 41.

Universitas Sumatera Utara


43

apabila ada barang atau jasa yang digunakan oleh perusahaan yang diperoleh
secara kredit, direktur akan mengelola barang dan jasa yang didalamnya terdapat
hak para kreditur yang baru akan hilang apabila hutang kredit tersebut dibayar
lunas.76
Terkait dengan perusahaan negara, secara umum dapat dikatakan bahwa
perusahaan negara yang terpisah badan hukumnya (separate legal entity) tidak
dapat dibebani apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum
yang lain.77 Pengakuan terhadap perusahaan yang memiliki badan hukum terpisah
sudah dilaksanakan oleh Inggris sejak 1817 dalam kasus Salomon v. Salomon
juga I Congreso del Partido, dimana pengadilan menyatakan bahwa,
“Perusahaan yang dikendalikan oleh negara, dengan kepribadian legal,
kemampuan untuk berdagang dan masuk ke dalam kontrak hukum privat,
meskipun sepenuhnya tunduk pada kendali negara mereka adalah fitur
yang terkenal dari dunia komersial modern. Perbedaan antara mereka, dan
negara pemerintahan mereka, mungkin tampak buatan: tapi ini adalah
perbedaan yang diterima dalam hukum Inggris dan negara-negara lain”.78
Dalam sejarah sistem hukum common law yang dianut di Inggris,

penerapan prinsip piercing the corporate veil ini sudah berkembang sejak awal
abad 20. Salah satu kasus yang menjadi pioneer adalah ketika pengadilan Inggris
memberikan putusan dalam kasus Salomon v Salomon & Co Ltd. Namun, dalam

76

Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007. Persepektif Hukum Bisnis Pembelaan
Direksi melalui Prinsip Business Judgment Rule, Disamping pada seminar Bisnis 46 tahun FE
USU: ìPengaruh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di
Sumatera Utaraî, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007, hlm. 4.
77
William C. Hoffman, “The Separate Entity Rule in International Perspective: Should
State Ownership of Corporate Shares Confer Sovereign Status for Immunity Purpose?”, Tulane
Law Review, Vol. 65, No. 3, February 1991, hlm. 546.
78
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

44


perkembangannya, penerapan prinsip piercing the corporate veil ini dapat
dikategorikan kedalam beberapa kelompok, yaitu:79
1. Periode Classical Veil Lifting (1897-1966), di mana pada periode ini,
terdapat beberapa putusan pengadilan tentang penerapan prinsip
piercing the corporate veil, diantaranya adalah:
a. Daimler Co Ltd v Continental Tyre and Rubber Co (Great Britain)
Ltd (1916) yang mana pengadilan memutuskan untuk menyingkap
tabir perusahaan untuk menentukan apakah Perusahaan Daimler
merupakan “musuh” pada saat Perang Dunia Ke-1, pada akhirnya
karena mayoritas pemegang saham adalah warga negara Jerman,
maka

pengadilan

memutuskan

bahwa

perusahaan


tersebut

merupakan “musuh”
b. Gilford Motor Co Ltd v Horne (1933) dimana seorang mantan
pekerja, yaitu Horne, dari Perusahaan Gilford Motor Co Ltd yang
terikat pada perjanjian untuk tidak mengambil pelanggan dari
bekas tempatnya bekerja, namun Horne kemudian mendirikan
perusahaan untuk menyaingi Gilford Motor Co Ltd. Pengadilan
kemudian memutuskan bahwa perusahaan tersebut didirikan untuk
tujuan yang tidak baik sehingga pengadilan memutuskan untuk
memberikan perintah
c. Jones v Lipman (1962) yang mana Lipman setuju untuk menjual
tanahnya kepada Jones. Namun kemudian Lipman berubah pikiran
79

Nindyo Pramono, Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara, (Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012), hlm 27-32

Universitas Sumatera Utara


45

dan memutuskan untuk tidak menjual tanahnya. Lipman kemudian
mendirikan perusahaan untuk menghindari transaksi.
2. Periode Interventionist years (1966-1989), dimana pada periode ini,
pengadilan di Inggris merubah cara pandang dari yang sebelumnya sangat
berhatihati untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil, menjadi
lebih aktif untuk melakukan intervensi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat
Lord Denning dalam kasus Littlewoods Mail Order Stores v IRC (1969)
yang menyatakan bahwa :
“Doktrin yang ditetapkan dalam kasus Salomon harus diawasi dengan
sangat hati-hati Seringkali seharusnya mengeluarkan peraturan perundangundangan mengenai kepribadian sebuah perusahaan terbatas yang tidak
bisa dilihat oleh pengadilan Tapi itu tidak benar. Pengadilan bisa, dan
sering melakukannya, menarik topengnya. Mereka melihat apa yang
benar-benar tertinggal. Badan legislatif telah menunjukkan jalannya
dengan akun kelompok dan sisanya. Dan pengadilan harus mengikutinya”.
Putusan pengadilan tentang penerapan prinsip piercing the veil pada
periode ini yaitu :80
a. DHN Food Distributors Ltd v Tower Hamlets (1976) yang menurut

pendapat Lord Denning bahwa suatu grup usaha pada realitasnya
merupakan entitas tunggal sehingga harus diperlakukan sebagai satu
kesatuan. Namun dalam kasus Woolfson v Strathclyde Regional
Council (1978), House of Lords tidak sependapat dengan pendapat
Lord Denning dalam kasus DHN Food Distributors Ltd v Tower
Hamlets (1976).

80

Ibid, hlm. 29-30.

Universitas Sumatera Utara

46

b. House of Lords menyatakan bahwa pengadilan dapat memutus untuk
menerapkan prinsip piercing the veil hanya dalam keadaan tertentu
saja. Tetapi, pendapat Lord Denning tersebut masih menjadi salah satu
pertimbangan seperti dalam kasus Re a Company (1985), dimana
Court of Appeal menyatakan bahwa :

“Kami melihat kasus-kasus sebelum dan sesudah Wallersteiner v Moir
1974 1 WLR 991. Kasus Lord Denning lainnya menunjukkan bahwa
pengadilan akan menggunakan kekuatannya untuk menembus jilbab
perusahaan jika perlu untuk mencapai keadilan terlepas dari
keefektifan hukum dari struktur perusahaan yang sedang
dipertimbangkan”.
3. Periode back to basics (1989-present), pada periode ini, salah satu putusan
pengadilan yang cukup terkenal adalah dalam kasus Adams v Cape
Industries Plc (1990). Dalam kasus ini pengadilan memutuskan untuk
tidak menyatakan bahwa Cape Industries Plc sebagai satu entitas tunggal
dengan subsidiaris lainnya. Hal penting dalam kasus Adams v Cape
Industries Plc (1990) adalah timbulnya pendapat bahwa pengadilan dapat
menerapkan prinsip piercing the corporate veil dalam tiga keadaan, yaitu:
a. Jika pengadilan memutuskan untuk menginterpretasikan statuta atau
peraturan, yaitu ketika Court of Appeal dalam SamengoTurner v J&H
Marsh & McLennan (Services) Ltd (2008) menyatakan grup usaha
sebagai satu objek yang keberadaannya dapat dibedakan terhadap
objek lain dengan dasar bahwa adanya kesamaan bisnis sebagai bentuk
penerapan dari EU Regulation;


Universitas Sumatera Utara

47

b. Adanya tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan fakta yang
sesungguhnya terjadi di perusahaan, sehingga dalam hal ini pengadilan
berwenang untuk menerapkan prinsip piercing the corporate veil;
c. Penerapan prinsip agensi. Dalam periode ini, terdapat beberapa
putusan pengadilan yang cukup menarik terkait dengan penerapan
prinsip piercing the veil, diantaranya adalah Creasey v Breachwood
Motors Ltd (1993) dan Ord v Belhaven Pubs Ltd (1998). Kedua kasus
tersebut mengilustrasikan penerapan classic veil lifting, bahwa apakah
pembentukan suatu perusahaan untuk menjalankan bisnis yang
legitimate atau hanya merupakan motif untuk menghindari kewajiban.
Jika tujuannya untuk menghindar dari kewajiban seperti dalam
Creasey v Breachwood Motors Ltd (1993), maka dapat dimungkinkan
untuk menerapkan prinsip piercing the veil.81
Prinsip bahwa perusahaan negara atau badan hukum lainnya milik negara
yang memiliki badan hukum tersendiri (separate legal entity) tidak dapat dibebani
apa yang menjadi tanggung jawab negaranya atau badan hukum lain bukanlah

absolut. Hal ini dapat diterobos apabila pengadilan bisa membuktikan adanya
alter ego antara hubungan keduanya.82
Sejak tahun 1995 Indonesia telah memiliki UUPT tersendiri yang terdiri
dari 129 Pasal. UUPT 1995 sudah cukup rinci diatur mengenai hak dan
tanggungjawab organ perseroan serta kedudukan perseroan itu sendiri yang
dibatasi oleh norma-norma yang berlaku secara universal termasuk makna
81

Ibid, hlm. 31-32.
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan
Yurisprudensi Edisi Revisi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), hlm. 270.
82

Universitas Sumatera Utara

48

terbatasnya. PT pada dasarnya adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan tujuan untuk melakukan usaha dan mencari keuntungan. Tujuan
tersebut tidak disebutkan dalam UUPT dan KUHD, namun tujuan tersebut
terdapat dalam Pasal 1618 KUHPerdata yang mengatur tentang perseroan perdata
secara umum. Hubungan kontraktual antara para pihak dalam PT memiliki ciri
khas bahwa setiap pihak yang turut serta dalam hubungan kontraktual tersebut
akan menyetorkan modalnya akan dinilai dengan nominal saham PT tersebut.83
Para

pihak

yang

lazimnya

disebut

sebagai

pemegang

saham

hanya

bertanggungjawab sebatas nilai saham yang dimilikinya. Makna keterbatasan
tersebut menjadi unsur pembeda utama bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk
perseroan lainnya. Kata terbatas dalam PT mulai dikenal sejak kasus Salomon vs
Salomon Co.84
Konsep pemisahan identitas pribadi sebuah perselisahaan terhadap direksi
dan pemegang sahamnya telah melembaga sejak kasus Salomon v. Salomon &
Co. Dalam kasus itu, dipahami bahwa perusahaan tidak bertindak untuk salah satu
pemegang saham, kewajiban-kewajiban perusahaan juga bahkan kewajiban para
pemegang saham, sekalipun saham-saham tersebut dipercayakan kepada satu
orang." Selanjutnya, sebuah perusahaan tidak dapat dianggap sebagai agen dari
para pemegang sahamnya kecuali terdapat bukti kuat dan jelas untuk
menunjukkan bahwa perusahaan dimaksud secara nyata bertindak sebagai agen
dalam sebuah transaksi tertentu.85

83

Freddy Harris. Pemisahan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas. Jumal Hukum
dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No.1 Januari- Maret 2005. hlm. 91
84
Ibid .
85
Licht, Amir N. "Accountability and Corporate Governance ". 2002, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

49

Konsep tentang sebuah perusahaan memiliki tanggung jawab terpisah
terhadap direksi dan pemegang sahamnya mengacu kepada sejumlah referensi
yang berbeda, termasuk status pribadi hukum perusahaan, tabir perusahaan, dan
pemisahan pribadi hukum. Semua penamaan tersebut merefleksikan pemikiran
bahwa sebuah perusahaan sepenuhnya memiliki kepribadian hukum yang terpisah
terhadap pendiri, pemegang saham, direksi dan staf perusahaannya.86
Eksistensi PT dalam sistem hukum Indonesia pertama kalinya diatur
dalam KUHD (Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847 – 23) KUHD, dengan
demikian dapat dikatakan adanya lembaga PT dalam sistem hukum Indonesia
masuk melalui sistem hukum Belanda.87 Di Negeri Belanda PT dikenal dengan
nama naamloze vennootschap (NV). Secara harfiah NV mempunyai arti
persekutuan tanpa nama. Menurut Rudhy Prasetya, istilah NV atau persekutuan
tanpa nama ada hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD dan Pasal
36 KUHD.88 Pasal 16 KUHD mengatur tentang firma. Dalam Firma, orang-orang
menjalankan usaha bersama di bawah nama bersama.

89

Nama firma dapat saja

nama salah seorang dari anggota sekutu firma atau bisa juga nama-nama para
sekutu dalam firma sekaligus.90
Rudhy Prasetya menyatakan ketentuan dalam Pasal 16 KUHD yang
mengatur tentang firma tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 36

86

Ibid, hlm 92
Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 10.
88
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undangundang Kepailitan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hlm. 11.
89
Ibid., hlm. 41.
90
Rudhy Prasetya, op.cit., hlm. 41.
87

Universitas Sumatera Utara

50

KUHD. Pasal 36 KUHD ini menunjuk perkecualian atas berlakunya Pasal 16
KUHD. Tegasnya justru nama-nama orang tidak dipergunakan dalam NV.91
Rudhy Prasetya maksud Pasal 36 KUHD ini adalah tiada lain untuk
mempertajam kedudukan mandiri PT agar terlepas dari orang-perorangannya,
yang membedakan PT dengan bentuk perusahaan lainnya.92
Guna menjawab tantangan tersebut maka diundangkanlah UUPT 1995.
Adapun alasan penggantian menurut UUPT 1995 tersebut dalam konsiderans
antara lain :
1. Ketentuan yang diatur dalam KUHD dianggap tidak sesuai lagi
peraturan PT yang ditentukan oleh KUHD, tidak sesuai lagi dengan
perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat, baik
secara nasional maupun internasional.
2. Menciptakan kesatuan hukum dalam perseroan yang berbentuk badan
hukum (rechts person, legal person, legal entity)93
Disamping konsideran yang dikemukakan, dalam penjelasan umum juga
dirumuskan hal-hal berikut antara lain:
1. Sasaran

umum

pembangunan,

antara

lain

diarahkan

kepada

peningkatan kemakmuran rakyat.
2. Untuk mencapai sasaran tersebut, sarana penunjang antara lain tatanan
hukum yang mampu mendorong dan mengendalikan berbagai kegiatan
pembangunan di bidang ekonomi.94

91

Ibid.
Ibid, hlm. 42.
93
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.
92

24.

Universitas Sumatera Utara

51

Kemudian diganti lagi dengan UUPT dan yang menjadi alasan
dilakukannya penggantian UUPT tersebut sebagaimana dalam konsideran
menimbang UUPT, yaitu:
1. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi

ekonomi

dengan

prinsip

kebersamaan,

efisiensi,

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian
nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia
usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di era globalisasi pada
masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang
mengatur tentang PT yang mendapat menjamin terselenggaranya iklim
dunia usaha yang kondusif.
3. Bahwa PT sebagai salah satu pilar pengembangan perekonomian
nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu
pembangunan nasional

yang disusun sebagai

usaha

bersama

berdasarkan asas kekeluargaan.

94

Ibid

Universitas Sumatera Utara

52

4. Bahwa UUPT 1995 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dengan kebutuhan masyarakat sehingga perlu
diganti dengan undang-undang yang baru.95

B. Pengaturan Prinsip Piercing The Corporate Veil dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007
Berdasarkan Pasal 1 UUPT, PT merupakan badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan

yang ditetapkan dalam undang-undang ini

serta peraturan

pelaksanaannya.96 Dari pengertian tersebut, hal penting yang perlu digarisbawahi
adalah pada kata “badan hukum”. Dari pengertian tersebut dapat dianalisis
mengenai sebatas mana tanggung jawab perseroan dan tanggung jawab direksi. 97
Sebagai badan hukum pendirian PT sangatlah penting. Pendirian PT dapat
mengakibatkan hilangnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham sebesar
setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan
pribadi (piercing the corporate veil) apabila pendirian PT tidak sah. Artinya bila
pendirian tidak sah maka pemegang saham harus bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan atas kerugian PT. Sehingga
dengan demikian pendirian PT harus memperhatikan syarat dan mekanisme
pendirian PT yang diatur dalam regulasi di Indonesia.98

95

Ibid.
Indonesia,(Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 1.
97
Ibid, Pasal 5
98
Jandi Mukianto, Pendirian, Pengurusan, dan Pengawasan Perseroan Terbatas di
Indonesia, WIEM – Registered Indonesian Legal Consultant, 2014, hlm. 3.
96

Universitas Sumatera Utara

53

Dalam ilmu hukum perusahaan istilah teori piercing the corporate veil
merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa
melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan
pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan
hukum dari perusahaan tersebut, serta membebankan tanggung jawab kepada
pihak pribadi dan pelaku dari perseroan tersebut, dengan mengabaikan prinsip
tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya
dinikmati oleh mereka.99
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:
1) Terjadinya penipuan.
2) Didapatkan suatu ketidakadilan
3) Terjadinya suatu penindasan (oppression).
4) Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5) Dominasi pemegang saham yang berlebihan.
6) Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.100
Teori piercing the corporate veil sangatlah berguna untuk menjembatani
kepentingan hukum antara holding company dengan tindakan hukum anak

99

Muhammad Syafi’i, op. cit, hlm. 218.
Ibid, hlm. 129.

100

Universitas Sumatera Utara

54

perusahaan, karena bagaimanapun juga jika ada hubungan hukum, maka tentu
akan ada akibat hukumnya.101
Prinsip piercing the corporate veil ini telah dirumuskan dalam UUPT
secara tegas, namun terbatas, yakni dalam empat hal, sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa para pemegang
saham tetap bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan perseroan
bila:102
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
Menurut UUPT, status badan hukum perseroan baru diperoleh setelah akta
pendiriannya disahkan oleh menteri kehakiman. Selama status PT sebagai
badan hukum belum diperoleh, PT yang bersangkutan tidak berbeda
dengan firma, persekutuan komanditer, atau persekutuan perdata,
karenanya seluruh pemegang saham tanpa kecuali bertanggung jawab
secara pribadi atas segala perikatan yang dilakukan oleh PT tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) huruf a UUPT, maka sebelum memperoleh
pengesahan dari Menteri Kehakiman atau tidak dipenuhi persyaratan
perseroan sebagai badan hukum, tanggung jawab para pemegang saham,
direksi dan komisaris berubah menjadi tidak terbatas. Artinya, para
pemegang saham, direksi dan komisaris ikut bertanggung jawab secara
pribadi bila perseroan mengalami kerugian, sepanjang belum memperoleh
status badan hukum. Setelah memperoleh status sebagai badan hukum,
maka tanggung jawab pemegang saham dan komisaris menjadi terbatas,
101

Ibid.
Ryan Aulia Akbar, Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2012, hlm 16-17
102

Universitas Sumatera Utara

55

sedangkan tanggung jawab direksi masih tidak terbatas. Dalam Pasal 23
UUPT

ditentukan

bahwa

selama

pendaftaran

dan

pengumuman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UUPT belum
dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
segala perbuatan hukum yang dilakukan. Lebih lanjut lagi, penjelasan
Pasal 23 UUPT ini menyatakan bahwa selain sanksi pidana yang diatur
dalam undang-undang tentang wajib daftar perusahaan, Pasal 23 ini
mengatur sanksi perdata dalam hal kewajiban, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22, UUPT tidak terpenuhi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk
kepentingan pribadi. Perseroan yang dimaksud dalam alasan ini adalah
perseroan yang berbadan hukum dan dengan hanya berlaku bagi pemegang
saham yang beritikad buruk yang memanfaatkan perseroan untuk
kepentingan pribadinya. Tentang ada tidaknya itikad buruk pada diri
pemegang saham harus dibuktikan.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab secara pribadi di
sini hanya berlaku bagi pemegang saham yang terlibat dalam perbuatan
hukum yang dilakukan perseroan. Perseroanlah yang melakukan perbuatan
yang melawan hukum, sedangkan pemegang sahamnya ikut terlibat saja
dalam perbuatan melawan hukum tersebut. Inipun juga harus dibuktikan.

Universitas Sumatera Utara

56

4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan. Berbeda dengan alasan diatas, di sini yang melakukan
perbuatan melawan hukum adalah pemegang sahamnya, dengan cara
menggunakan kekayaan perseroan, sehingga mengakibatkan kekayaan
perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dengan
kata lain, tanggung jawab para pemegang saham besifat residual, bahwa
para pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum
tersebut baru bertanggung jawab secara material setelah kekayaan
peseroan terbatas tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.103
Menurut Munir Fuadi, agar suatu piercing the corporate veil, secara
hukum di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1. Terjadinya penipuan.
2. Didapat suatu ketidakadilan.
3. Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5. Adanya dominsi pemegang saham yang berlebihan.
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya. 104
UUPT mengakui teori piercing the corporate veil dengan membebankan
tanggung jawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.

103

Ibid.
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2010)., hlm.9.
104

Universitas Sumatera Utara

57

Pengaturan terhadap prinsip piercing the corporate veil. Pasal 3 ayat (1)
UUPT mengatur mengenai prinsip tanggung jawab terbatas atau limited liability
atau limitatief aansprakelijkheid, sedangkan Pasal 3 ayat (2) mengatur mengenai
batasan terhadap prinsip limited liability tersebut. Pasal 3 ayat (2) UUPT
menyebutkan bahwa ketentuan yang diatur pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku
jika :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan
pribadi;
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan;
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.105
Selain itu, prinsip piercing the veil ini dapat ditemukan pula pada
ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa
“dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui,
pemegang saham tetap kurang dari dua orang, pemegang saham bertanggung
jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas

105

Nindyo Pramono. Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Press, 2012), hlm. 33-34.

Universitas Sumatera Utara

58

permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan
perseroan tersebut”.106
C. Penerapan Piercing The Corporate Veil dalam Peraturan PerundangUndangan yang Terkait dengan Perseroan Terbatas
Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, doktrin piercing the
corporate veil ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip keterpisahan
tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dengan pemegang sahamnya,
walaupun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukan.
Cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak.
Dengan demikian ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut
bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan
oleh dan atas nama perseroan itu sendiri.107
Tanggung jawab terbatas dari pemegang saham bisa hapus atau hilang
dalam hal-hal tertentu.108 Hal-hal tertentu tersebut maksudnya antara lain apabila
terbukti terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta
kekayaan perseroan, sehingga perusahaan didirikan semata-mata sebagai alat yang
dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.109
Apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi
pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan
semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi
106

Indonesia, (Perseroan Terbatas), op.cit, Pasal 7.
Munir Fuady , op.cit, hlm.88
108
I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahan. (Jakarta: Megapoin, 2000), hlm 145.
109
Ibid, hlm.146.

107

Universitas Sumatera Utara

59

tujuan pribadinya, maka dalam keadaan demikian para pemegang saham, direksi
dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan prinsip
piercing the corporate veil harus bertanggungjawab dengan harta pribadinya dan
atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata.110
Terjadinya piercing the corporate veil adalah sebagai berikut :
1. Persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung

dengan

itikad

buruk

(tekwaadetrouw

atau

bad

faith)

memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan atau PT (Pasal 3 ayat
(2) UUPT).111
Dengan demikian pemegang saham “dalam keadaan tertentu” dapat saja
kehilangan “kekebalan” atas tanggung jawab terbatasnya, atau dengan kata lain ia
harus bertanggungjawab penuh secara pribadi. Beberapa hal yang terhadapnya
dapat diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah :
1. Permodalan yang tidak layak;
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;
3. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan;
110

Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004), hlm. 4.
111
I.G. Rai Widjaya, op cit, hlm. 146.

Universitas Sumatera Utara

60

4. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan
hukum.112
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab induk perusahaan (holding
company) doktrin piercing the corporate veil melihat tanggung jawab induk
perusahaan tersebut dari 2 (dua) sisi yaitu:
a. Tanggung jawab perusahaan pengontrol sebagai induk perusahaan dalam
suatu kelompok usaha; dan
b. Tanggung jawab perusahaan holding sebagai pemegang saham.113
Ciri utama PT adalah PT merupakan subjek hukum yang berstatus badan
hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited
liability) bagi perseroan, para pemegang saham, anggota direksi, dan
komisaris.114 Dalam rangka meningkatkan tegaknya keadilan dan mencegah
ketidakwajaran, pada keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip keterpisahan
perseroan dari pemegang saham, secara kasuistik perlu digantikan dan dihapus
dengan cara menembus tembok atau tabir perseroan atas perisai tanggung jawab
terbatas.115 Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham ini pada mulanya
merupakan masalah yang kontroversial, karena ada yang berpendapat bahwa
tanggung jawab pemegang saham dalam PT tidak boleh lebih dari nilai saham
yang di ambilnya, sesuai dengan pengertian kata terbatas dalam nama badan

112

Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm 61-62
113
Ibid, hlm 83
114
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 7
115
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm 76.

Universitas Sumatera Utara

61

hukum ini. 116
Persoalan yang timbul, apakah prinsip tersebut berlaku dalam segala
kondisi ataukah ada kondisi tertentu yang menyebabkan prinsip ini menjadi tidak
berlaku lagi. Kondisi-kondisi yang membuat prinsip tanggung jawab terbatas ini
menjadi tidak berlaku lagi, disebut sebagai kondisi di mana telah terjadi piercing
the corporate veil.117 Untuk istilah piercing the corporate veil kadang-kadang
disebut juga dengan istilah lifting the corporate veil atau going behind the
corporate veil. Penerapan prinsip ini mempunyai isi utama, yaitu untuk mencapai
keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan yang mempunyai
hubungan hukum tertentu.118
Kata piercing the corporate veil terdiri atas kata-kata sebagai berikut:
a. Pierce

: menyobek/mengoyak/menembus

b. Veil

: kain tirai atau cadar

c. Corporate

: perusahaan

Secara

harfiah

istilah

piercing

the

corporate

veil

berarti

mengoyak/menyikap/cadar perseroan, sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan
istilah tersebut sudah merupakan suatu doktrin atau teori yang mengartikan
sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau
perusahaan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan atau pelaku
usaha (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan tersebut

116

Ibid.
Leo J. Susilo, Good Corporate Governance Pada Bank, (Bandung: Hikayat Dunia,
Bandung 2007), hlm.42.
118
Ibid.
117

Universitas Sumatera Utara

62

sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.119 Penghapusan tanggung
jawab terbatas diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT, yang menyatakan
tanggung jawab pemegang saham hapus atau tidak berlaku apabila terjadi hal-hal
tertentu. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab
terbatas. 120
Kamus hukum merumuskan perusahaan sebagai tindakan peradilan yang
memaksakan pertanggungjawaban pribadi terhadap petugas korporasi, direktur,
dan pemegang saham perusahaan yang tidak sah atas perbuatan salah korporasi
tersebut.
Penjelasan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut di atas
menunjukkan bahwa, piercing the corporate veil hanya dapat terjadi dalam hal
adanya tindakan atau perbuatan yang salah. Perlu diperhatikan bahwa, dilarang
bukan saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau melakukan
sesuatu yang tidak boleh dilakukan, melainkan termasuk juga dalam kategori
melakukan tindakan atau perbuatan yang salah. Dengan demikian, untuk
mengetahui bagaimana piercing the corporate veil dapat diberlakukan,
bergantung sepenuhnya pada kewenangan yang dimiliki dan kewajiban yang
dipikul oleh pihak yang hendak dimintakan pertanggungjawaban pribadi
tersebut.121
Dengan demikian, berarti pada prinsipnya terdapat banyak sekali
kemungkinan penyebab terjadinya pelanggaran terhadap luasnya kewenangan

119

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.7.
120
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 76.
121
Black’s Law Dictionary, op.ci, hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

63

yang dimiliki dan atau kewajiban yang dipikul, yang dapat menyebabkan
berlakunya prinsip piercing the corporate veil ini.122
Penerapan teori piercing the corporate veil secara universal dilakukan
dalam hal-hal sebagai berikut: 123
a. Penerapan teori piercing the corporate veil, karena perusahaan tidak
mengikuti formalitas tertentu
Salah satu alasan untuk menerapkan teori piercing the corporate veil adalah
jika perusahaan tersebut tidak atau tidak cukup memenuhi formalitas tertentu
yang diharuskan oleh hukum perusahaan. Sasaran utama penerapan teori piercing
the corporate veil dalam hal ini agak berbeda dari biasanya. Dalam hal ini tidak
bertujuan langsung untuk melindungi pihak tertentu, seperti pihak minoritas atau
pihak ketiga, tetapi semata-mata untuk menegakkan hukum agar formalitas
tersebut dipenuhi.
b. Penerapan teori piercing the corporate veil terhadap badan-badan hukum
yang hanya terpisah secara artifisial
Penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam suatu perusahaan
yang sebenarnya dalam kenyataan adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut
dibagi kedalam beberapa perseroan secara artifisial. Misalnya, terdapat beberapa
perseroan yang terpisah secara artifisial, tetapi bisnisnya dilakukan sedemikian
rupa sehingga, seolah-olah bisnis tersebut dilakukan oleh satu unit perusahaan
saja. Oleh karena itu, dengan menerapkan teori piercing the corporate veil beban
tanggung jawab akan diberikan kepada seluruh perseroan yang saling terkait
122

Ibid.
Tuti Rastuti, Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan, (Bandung:
Refika Aditama, 2015), hlm.278.
123

Universitas Sumatera Utara

64

tersebut.
c. Penerapan teori piercing the corporate veil

berdasarkan hubungan

kontraktual
Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan jika ada hubungan
kontraktual antara perusahaan dengan pihak ketiga. Tanpa penerapan teori
piercing the corporate veil tersebut, kerugian terhadap pihak ketiga tidak
mungkin tertanggulangi. Agar dapat diterapkan teori piercing the corporate veil
dalam hubungan dengan kontrak pihak ketiga ini, biasanya dipersyaratkan
terdapat unsur keadaan yang tidak lazim pada aktivitas perusahaan. Keadaan tidak
lazim tersebut dapat berupa salah satu dari fakta-fakta seperti permodalan
perusahaan tidak dinyatakan dengan benar atau tidak disetor, pihak ketiga
diperdaya untuk bertransaksi dengan perseroan.124
d. Penerapan teori piercing the corporate veil karena perbuatan melawan
hukum atau tindak pidana
Jika terdapat unsur pidana dalam suatu kegiatan perseroan, meskipun hal
tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri. Berdasarkan teori piercing the
corporate veil, oleh hukum dibenarkan jika tanggung jawab dimintakan kepada
pihak-pihak lain, seperti direksi atau pemegang saham. Demikian juga jika
perusahaan melakukan

perbuatan di bidang perdata (onrechtmatigedaad).

Misalnya manakala bisnis perusahaan berskala besar sementara modalnya sangat
kecil.125

124

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.12
125
Ibid, hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

65

e. Penerapan teori piercing the corporate veil dalam hubungan dengan holding
company dan anak perusahaan
Selain terhadap perseroan tunggal, teori piercing the corporate veil juga
muncul dalam hal perusahaan dalam grup usaha. Dalam hal ini menurut

ilmu

hukum dikenal apa yang disebut dengan doctrin instrumental. Menurut doktrin
ini, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan. Dalam hal ini berarti yang
bertanggung jawab, bukan hanya badan hukum yang melakukan perbuatan huum
yang bersangkutan, melainkan juga pemegang saham (induk perusahaan) ikut
bertanggung jawab secara hukum, yakni jika terdapat salah satu unsur- unsur
sebagai berikut:126
1) express agency,
2) Estoppels,
3) Direc tort, atau
4) Dapat dibuktikan adanya tiga unsur sebagai berikut:
a) Pengontrolan anak perusahaan oleh perusahaan holding.
b) Penggunaan kontrol oleh perusahaan holding untuk melakukan
penipuan, ketidakjujuran, atau tindakan tidak fair lainnya.
c) Terdapatnya kerugian sebagai akibat dari breach of duty dari
perusahaan holding.
Penerapan teori piercing the corporate veil kedalam tindakan suatu
perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari
perseroan tersebut (meskipun berbadan hukum), tetapi juga pertanggungjawaban

126

Ibid, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

66

hukum dapat dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan, penerapan teori
piercing the corporate veil juga membebankan tanggung jawab hukum kepada
organ perusahaan yang lain, seperti direksi atau komisaris.127
Rumusan piercing the corporate veil menunjukkan bahwa, suatu perseroan
terbatas sering kali tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari kehendak pihakpihak yang merupakan dan menjadi pemegang saham dari perseroan terbatas
tersebut. Dalam konterks demikian, kehendak dari perseroan terbatas tersebut
adalah kehendak dari pemegang saham perseroan terbatas tersebut. Dalam konteks
yang demikian, konsep piercing the corporate veil menyatakan bahwa, jika
keadaan terpisah perseroan dengan pemegang sahamnya tidak ada, maka sudah
selayaknya jika sifat pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga
dihapuskan. Dengan disibaknya cadar pembatas antara perseroan dan pemegang
saham dalam melakukan pengelolaan perseroan, maka cadar pembatas
pertanggungjawaban terbataspun demi hukum hapus dan bercampur menjadi satu.
Jadi, dalam hal ini pemegang saham turut bertanggung jawab secara pribadi
terhadap kerugian perseroan terbatas.128
Penerapan piercing the corporate veil tidak hanya dapat dilakukan oleh
pemegang saham perseroan, melainkan juga oleh setiap pihak yang dalam
kedudukannya memungkinkan terjadinya penyimpangan atau dilakukannya hal-hal
yang dapat, atau dilakukannya hal-hal yang sepatutnya dilakukan, yang bermuara
pada terjadinya kerugian bagi perseroan, sehingga perseroan tidak dapat atau

Gunawan Widjaja, “Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris&Pemilik PT” ,
(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm.25
128
Ibid, hlm 27
127

Universitas Sumatera Utara

67

tidak sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibannya. 129 Artinya, pengurus
perseroan atau direksi dan atau dewan komisaris dapat juga dimintakan
pertanggungjawaban pribadinya, atas kerugian perseroan.130
Penerapan piercing the corporate veil dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Perseroan Terbatas adalah sebagai
berikut:
1. Prinsip piercing the corporate veil dalam perundang-undangan Indonesia
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD, ketentuan tentang perseroan terbatas di atur dalam
Pasal 36 sampai dengan Pasal 55, Buku Kesatu, Bab Ketiga Bagian
Ketiga. Seharusnya ada dua pasal lagi yang mengatur tentang
perseroan terbatas, yaitu Pasal 57 dan 58, namun berdasarkan
Staatsblad 1938 Nomor 276, dua pasal tersebut telah dihapus. Hal-hal
yang diatur antara lain adalah syarat pendirian dan tata cara pendirian,
permodalan dan saham perseroan, pengurus perseroan, tempat
kedudukan perseroan dan jangka waktu berdirinya perseroan,
pembubaran perseroan, laporan keuangan (laporang untung rugi)
perseroan. Dari 19 pasal terkait dengan ketentuan PT tersebut, tidak
ada satu pasal pun yang menyingung keberadaan piercing the
corporate veil dalam konteks pertanggungjawaban pemegang saham.
Ketentuan Pasal 40 ayat (2) KUHD menyebutkan, “para persero atau
pemegang saham tersebut tidak bertanggungjawab untuk lebih dari
129
130

Ibid, hlm. 29.
Ibid, hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara

68

pada jumlah penuh andil tersebut”. Berbeda dengan UUPT, baik
UUPT 1995 maupun UUPT, KUHD tidak memberikan pengecualian
atas prinsip limited liability (pertanggungjawaban terbatas). Oleh
karenanya, piercing the corporate veil dalam konteks pemagang saham
tidak dikenal dalam ketentuan KUHD.131
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Dengan berlakunya UUPT 1995 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret
1996, maka segala ketentuan dalam Buku Kesatu Bagian III Bagian
Ketiga, Pasal 36 – 56 KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi. Prinsip
dasar limited liability ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995,
yang menyebutkan bahwa, “pemegang saham perseroan tidak
bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan
melebihi nilai saham yang telah diambilnya”. Namun demikian prinsip
tersebut tidaklah berlaku mutlak, di mana Pasal 3 ayat (2) UUPT 1995
membuka ruang pertanggungjawaban pemegang saham melebihi
saham yang ia setorkan apabila:132
1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;

131

Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veil Pada Perseroan Terbatas Di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Yustisia Vol.2 No.3 September - Desember 2013, hlm 29.
132
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

69

2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk kepentingan pribadi;
3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung

secara

melawan

hukum

menggunakan

kekayaan

perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi hutangnya
c. UUPT sama halnya dengan UUPT 1995, UUPT sampai batas tertentu
juga mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil, dengan
membebankan tanggungjawab tersebut kepada pihak-pihak sebagai
berikut: 133
(1) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak pemegang saham;
(2) Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak direksi dan dewan
komisaris. Pemindahan beban tanggungjawab kepada pemegang
saham dalam UUPT antara lain di atur dalam Pasal 33 ayat (1) dan
(2), Pasal 7 ayat (5) dan (6), serta Pasal 33. Selain itu, penerapan
piercing the corporate veil dapat dilihat juga dari ketentuan Pasal 7
ayat (1) UUPT yang menyebutkan bahwa, “perseroan didirikan
oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam
bahasa Indonesia”. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (5) dan (6), yang

133

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

70

menyatakan setelah perseroan memperoleh status sebagai badan
hukum dan pemegang saham kurang dari dua orang, maka dalam
jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak keadaan tersebut,
pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian
sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham
baru kepada orang lain. Selanjutnya, dalam jangka waktu enam
bulan tersebut, pemegang saham tetap kurang dari dua orang,
pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala
perikatan

dan

kerugian

perseroan,

dan

atas

pihak

yang

berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan
tersebut.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak terdapat perluasan pengaturan
doktrin piercing the corporate veil dari KUHD sampai dengan UUPT 1995 dan
UUPT. Sebagai produk kolonial Belanda yang dibuat tahun 1840, KUHD belum
mengatur doktrin piercing the corporate veil, khusus terkait dengan untuk
pemegang saham. UUPT 1995 sebagai pengganti ketentuan mengenai PT yang
ada dalam KUHD, kemudian telah memasukkan ketentuan piercing the corporate
veil terkait keberadaan pemegang saham dan memperluas ketentuan piercing the
corporate veil yang berkaitan dengan direksi dan komisaris.134 UUPT sebagai
pengganti UUPT 1995, secara prinsip tidak mengubah atau menambahkan materi
atau bentuk pelanggaran piercing the corporate veil. Apabila dirunut dari KUHD
sampai dengan UUPT, dapat disimpulkan secara normatif perbuatan-perbuatan
134

Sulistiowati dan Veri Antoni, Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veilpada Perseroan Terbatas Di Indonesia, Jurnal Yustisia Edisi 87 September - Desember 2013,
hlm 29.

Universitas Sumatera Utara

71

yang dapat dikategorikan sebagai piercing corporate veil, dalam hukum perseroan
terbatas di Indonesia, antara lain:135
a. Direksi melanggar anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar
perseroan;
b. Formalitas pendirian perseroan belum terpenuhi baik oleh Pemegang
Saham;
c. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk
kepentingan pribadi;
d. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
e. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengak ibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
hutangnya;
f. Perolehan saham melalui mekanisme pembelian saham kembali oleh
perseroan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
g. Direksi dan atau komisaris tidak melaksanakan fiduaciary duty;
h. Perhitungan laporan tahunan oleh direksi dan atau komisaris, khususnya
laporan keuangan yang tidak benar atau menyesatkan;
i. Direksi dan atau merupakan penyebab perusahaan mengalami kepailitan

135

Ibid, hlm.31.

Universitas Sumatera Utara

72

a. Penerapan prinsip piercing corporate veil dalam kasus (praktek) di
lapangan
Secara normatif ketentuan piercing the corporate veil baru dilembagakan
dalam undang-undang berdasarkan UUPT 1995, mengingat KUHD sebagai
warisan Kolonial Belanda belum mengatur doktrin piercing corporate veil, khusus
terkait dengan untuk pemegang saham. Namun dalam kasus PT. Bank
Pembangunan Asia dengan PT. Djaya Tunggal di tahun 1991, prinsip tersebut
telah dipakai oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya, meskipun belum ada
dasar hukumnya secara normatif, kecuali dalam KUHD yang diatur secara
terbatas.136
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Mahkamah Agung telah
menerapkan teori atau doktrin piercing the corporate veil, yaitu tindakan
persekongkoln antara direksi dan dewan komisaris, yang menyebabkan kerugian
pada perusahaan, dapat diminta pertanggungjawaban terhadap Direksi dan
Komisaris yang bersekongkol tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam kasus
O. Sibarani dengan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd” tahun
1973 dimana Mahkamah Agung membuat hukum sendiri berdasarkan doktrin
piercing the corporate veil, yang kemudian subtansi putusan kemudian diadopsi
dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT 1995 dan diadopsi lagi dalam Pasal 7 ayat (5)
UUPT, yang menyatakan bahwa setelah perseroan memperoleh status badan
hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang
saham bertanggungjawab secara pribadi apabila dalam jangka waktu paling lama

136

Ibid, hlm .30.

Universitas Sumatera Utara

73

6 (enam) bulan tidak mengalihkan sebagian saham kepada pihak lain atau
perseroan juga tidak mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Hal yang sama
juga diterapkan dalam PT. Usaha Sandang dengan PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland
Ltd. Sedikit berbeda dengan dalam kasus Raden Roosman dengan Perusahaan
Otobis N.V. Sendiko dengan mendasarkan pada Pasal 39 selama prosedur
pendirian perseroan belum terpenuhi, maka pengurus yang menyebabkan kerugian
perseroan

yang

belum

berbadan

hukum

tersebut

dapat

dimintakan

pertanggungjawaban.137
Organ-organ perseroan ini juga dapat disebut dengan alat perlengkapan
perseroan terbatas yang bedasarkan ketentuan-ketentuan yang memuat syaratsyarat konstitutif dari badan hukum, berupa anggaran dasar dan atau undangundang serta peraturan-peraturan lain menunjukkan orang-orang mana yang dapat
bertindak untuk dan atas pertanggung-jawaban badan hukum, orang-orang ini
disebut dengan organ (alat perlengkapan) dari badan hukum tersebut.138
Undang-undang PT mensyaratkan bahwa PT harus memiliki organ yang
terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 25 16

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

1 40 16

Analisis Hukum Mengenai Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil Atas Tanggung Jawab Direksi Pada Sebuah Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 19 68

PIERCING THE CORPORATE VEIL TERHADAP HOLDING COMPANY DALAM TINDAKAN HUKUM ANAK PERUSAHAAN

8 51 258

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS.

0 0 13

Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 10

Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 1

Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 20

Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 20

Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 1 7