SIMBOL KEAGAMAAN DALAM ISLAM DAN IDEOLOGI TELEVISI | Solikhati | Islamic Communication Journal 5863 1 SM
Siti Solik hati
SIM BOL K EA GA M A A N DA L A M ISL A M DA N IDEOL OGI
T EL EV ISI
Siti Solikhati
Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo
Sholy_zain@yahoo.com
A BST R A CT
B
asically human lives are built based on fragmented symbols which form the real
picture of the whole world. People expressed every side of their lives (including
religious live) using certain symbols which are socially accepted. The discussion
on religious symbols has always leads to two means, namely socio-cultural symbols which
associate religious doctrines with the local culture, and normative symbols which are
supposed to be permanent symbols. The discussion on this paper focused on the nuance of
the meaning of religious symbols which have shifted more on cultural meaning rather than
the normative ones, as can be seen on television religious programs.
Accordingly, television has its own way of expressing things based on their own
management policy, in which usually they use market needs as the main reason. To fulfill
the market needs however, the medium need to wrap religious message up using certain
symbols to fit their audience needs. According to Fiske (1987) it will be easier to have a
look the ideology used by television by take a close look at how it uses certain symbols.
Keywords: Symbols, Ideology, Local Culture
A BST R A K
K
ehidupan manusia ini terdiri dari serpihan-serpihan simbol yang kemudian terpola
dan membentuk kesatuan dunia secara utuh. Manusia mengekspresikan diri,
termasuk di dalamnya mengekspresikan aspek kehidupan beragama
menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial. Wacana simbol dalam kehidupan
beragama mengandung makna multi dimensi, yaitu dimensi sosiokultural yang bisa
berubah sesuai dengan konteks, serta dimensi normative yang bersifat permanen dan
mutlak. Konteks wacana symbol keagamaan dalam paper ini difokuskan pada pergeseran
makna symbol keagamaan yang bersifat normative lebih banyak berfungsi sebagai symbol
kultural sebagaimana diperlihatkan pada tayangan-tayangan keagamaan di televisi.
Televisi memiliki cara tersendiri untuk mengemas informasi tertentu berdasarkan
konsep kebijakan internal dan menggunakan argument segmen audience. Untuk memenuhi
target audience, maka televisi perlu mengemas pesan keagamaan menggunakan symbol
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan audience. Menurut Fiske (1987) dengan melihat
bagaimana televisi menggunakan symbol-simbol tertentu, maka akan mudah untuk melihat
ideologi yang terkandung di dalamnya.
Kata K unci : Simbol, Ideologi, kultur lokal
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
121
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
disebarkan melalui media televisi, secara
PENDA HUL UA N
Islam merupakan ajaran agama yang di-
tidak langsung format siarannya menye-
sampaikan kepada para penganutnya dengan
suaikan dengan karakter entertaining yang
menggunakan simbol-simbol yang bersifat
dimiliki media tersebut. Dalam hal ini terjadi
permanen. Berkenaan dengan proses penye-
interaksi antara simbol keagamaan yang
barannya, secara normatif Islam bersifat elitis
bersifat sakral dengan simbol televisi yang
dalam arti bahwa secara kewenangan serta
bersifat kultural. Percampuran antara simbol-
kompetensi untuk menyampaikan ajaran ini
simbol keagamaan dan simbol kultural
tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi
potensial menyebabkan semakin rumitnya
menjadi wilayah orang-orang yang dianggap
mata rantai interpretasi terhadap ajaran
memenuhi syarat dan kriteria tertentu.
agama.
Meskipun demikian, secara pragmatis proses
Berkaitan dengan adanya peristiwa
penyebaran ajaran Islam tidak selamanya
interpretasi yang menimbulkan multitafsir
berbanding lurus dengan bagaimana Islam
terhadap makna pesan keagamaan, potensi
diwacanakan
Dalam
multitafsir semakin kelihatan karena adanya
praktiknya, penyebaran ajaran agama ini
variasi dalam peristiwa representasi ajaran
berjalan sesuai dengan perkembangan sosio-
Islam ke dalam bentuk simbol-simbol
kultural. Secara kultural, proses penyebaran
keagamaan yang sudah disesuaikan dengan
ajaran Islam baik secara tatap muka langsung
budaya media. Disamping itu, para penyebar
maupun melalui media, terjadi melalui
ajaran Islam yang dijadikan rujukan oleh
beberapa tahapan interpretasi oleh para
media televisi mempunyai pola tafsir yang
penyebar serta penerima ajaran. Ajaran
berbeda-beda sehingga hal ini potensial
agama disebarkan menggunakan simbol-
untuk menambah semakin kompleksnya
simbol keagamaan yang telah disesuaikan
multi proses cara tafsir terhadap ajaran
melalui proses interpretasi oleh pembawa
tersebut. Keaneka ragaman penggunaan
risalah, dan diterima dengan cara yang telah
simbol-simbol
disesuaikan dengan pola interpretasi dari
representasikan ajaran Islam ini setidaknya
penerima risalah.
bisa dilihat dalam tayangan keagamaan di
secara
normatif.
Salah satu media komunikasi modern
yang banyak digunakan untuk menyebarkan
ajaran ini adalah televisi. Ketika ajaran Islam
keagamaan
dalam
me-
televisi yang dikemas dalam bentuk hiburan,
khususnya dalam bentuk program sinetron.
Secara umum, bentuk-bentuk representasi Islam dengan menggunakan simbol-
122
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Siti Solik hati
simbol keagamaan dalam sinetron reliji bisa
bisnis dari para penyebar Islam yang terlibat
dilihat dari adanya proses simplifikasi dalam
dalam proses tersebut. Ideologi kapitalis
menjelaskan sebuah ajaran atau doktrin
yang dianut televisi serta penyebar ajaran
ajaran, misalnya dalam penggunaan atribut
Islam dalam mentransmisikan nilai-nilai
keagamaan, eksploitasi ayat-ayat suci, pe-
agama ini memunculkan keprihatinan di
nggunaan
kalangan umat Islam (Ibrahim: 2005).
dialog,
dan
penyederhanaan
penyelesaian akhir dalam sebuah problem
solving. Bentuk representasi Islam dengan
menggunakan
simbol-simbol
keagamaan
yang demikian ini pada tahapan tertentu bisa
mengakibatkan penyederhanaan pemahaman
penonton tentang ajaran keagamaan. Taylor
dan Harris menjelaskan bahwa ciri televisi
dalam menayangkan program fiksi biasanya
mengedepankan meta-story serta melakukan
ideological reduction yang bisa mengakibatkan terjadinya kebanalan atau pendangkalan makna (2008: 163). Penggunaan
simbol-simbol keagamaan dalam sebuah
tayangan program sinetron atau film tidak
lepas dari konstruksi ide tentang obyek
keagamaan yang direpresentasikan dalam
bentuk tampilan yang mengedepankan efek
easy consuming, sehingga ide pokok dari
ajaran Islam lebih mudah diterima oleh
Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif
ideologi media, bergesernya makna akibat
simbol-simbol
keagamaan
dalam merepresentasikan ajaran agama
nampaknya
Secara terminologis, kata simbol sering
menimbulkan pengertian yang berbeda-beda.
Dalam Collin Cobuild, simbol didefinisikan
sebagai: (1) “a shape or design that is used
to represent something such as an idea”, (2)
“something that seems to represent society
or aspects of life, because it is very typical of
it” (Collin Cobuild, 1987: 1482). Sedangkan
dalam Dictionary of Sociology (Jary and
Jary, 1991: 645), kata simbol didefinisikan
sebagai: (1). ―A sign, in which the connection
between the meaning and the sign is
conventional rather than natural‖, (2). ―An
indirect representation of an underlying
meaning, syndrome, etc, as for example, in
religious symbolism and ritual‖. Karena
hubungan antara makna dan tanda lebih
bersifat
penonton.
penggunaan
W A CA NA SIM BOL
menjadi
hal
yang
tak
terhindarkan dalam bisnis media. Hal ini
konvensional
sebagaimana
di-
sebutkan Jary and Jary, maka sebuah simbol
tidak
selamanya
mengandung
makna
universal, tetapi pemaknaan terhadap simbol
akan tergantung pada komunitas masyarakat
dimana simbol tersebut digunakan. Menurut
Berger (2010: 29), sebuah simbol bisa
konvensional
karena
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
123
ditambah dengan kecenderungan orientasi
dianggap
bersifat
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
seringkali manusia menafsirkan simbol-
simbol
simbol tersebut dan mengasosiasikan serta
diklasifikasikan sebagai berikut:
menerapkannya
dalam
budaya
mereka
sendiri.
art yang merupakan simbol tertua di
zaman Paleolitik. Lukisan yang
menjelaskan bahwa simbol telah sering
diperkenalkan oleh Chauvet Cave
digunakan untuk memaknai segala sesuatu
pada
mulai dari tanda-tanda yang bersifat sangat
simbol
sering
digunakan untuk mengungkapkan argumen
diakses
12
Juli
tahun sekitar 20.000 – 10.000 SM.
Lukisan yang juga dibuat pada
kayu-kayuan ini digunakan sebagai
connection to that greater thing or image to
pengingat yang diperkirakan dibuat
which it points”, bahkan istilah simbol juga
oleh para pemburu di daerah Afrika
digunakan dalam desain grafis, mitos, dan
atau Oceania.
3. Piktograf, yang dikenal sebagai
proto-writing adalah simbol yang
"symbols are more than just cultural
mewakili
artefacts: in their correct context, they still
atau
obyek,
dalam bentuk ilustrasi. Piktograf
addressing our intellect, emotions, and
digunakan dalam kebudayaan kuno
spirit". Ini berarti bahwa simbol tidak bisa
pada sekitar tahun 9.000 SM.
4. Ideogram, dianggap sebagai sistem
lebih luas dari simbol itu sendiri.
Liliweri (2011: 4-6) menjelaskan bahwa
dalam perkembangan komunikasi, manusia
memiliki lima tahapan sejarah mengenai
124
konsep
aktifitas, tempat, dan peristiwa
speak powerfully to us, simultaneously
karena ia berkaitan dengan hal-hal lain yang
ke-
cadas yang diperkirakan ada pada
is any sign which also has an inherent
dimaknai secara tunggal dan universal,
tentang
menyerupai lukisan pada batu-batu
Selanjutnya Morris menjelaskan ―A symbol
manusia dan tempat. Dalam menjelaskan
ini
2. Petroglif, merupakan karya yang
2014).
kejadian-kejadian, hingga gambaran tentang
SM
beradaan dirinya.
yang bersifat filosofis (http://www.fiu.edu
/~morriss/,
30.000
menginformasikan
njelaskan gambaran yang lebih rumit dari
bahkan
tahun
digunakan oleh manusia untuk
sederhana hingga digunakan untuk me-
cerita,
garis besar bisa
1. Cave painting, adalah sejenis rock
Mengenai terminologi simbol, Morris
sebuah
yang secara
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
penulisan logografis yang telah lama
dikenal di Mesir dan Cina. Ideogram
berupa konsep yang sangat abstrak,
tetapi
bisa
digunakan
untuk
menyampaikan ide-ide yang bersifat
Siti Solik hati
universal, misalnya dua tongkat
activities, relationships, events, gestures, and
dianggap
kaki
spatial units‖ yang secara empirik telah
tetapi bisa mewakili konsep tentang
digunakan untuk mengamati proses ritual
berjalan.
komunitas
masyarakat
5. Writing, yang ditemukan pertama
dipenuhi
dengan
kali pada tahun 400 SM dan
simbolik.
menggambarkan
peristiwa-peristiwa
Dalam praktek kehidupan sosial, simbol
logografik, silabik, dan alphabetik.
yang berlaku pada sebuah komunitas bisa
Variasi tulisan dari masing-masing
digunakan untuk membedakan jenis kegiatan
wilayah bersifat unik dan berbeda
manusia, misalnya apakah kegiatan tersebut
satu dengan lainnya.
dinilai sebagai hal yang natural atau
simbol serta sejarah simbol, maka bisa
pemahaman
bahwa
kehidupan
manusia tidak bisa lepas dari dunia simbol,
dan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia
terdiri dari proses produksi dan konsumsi
simbol. Konsep Cassirer tentang manusia
sebagai makhluk simbolik atau animal
symbolicum (dalam Verene, 1979) merupakan gagasan yang dijadikan rujukan
penting. Dalam konteks tulisan ini penulis
menggunakan kata ―simbol‖ sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan produk yang
dipertukarkan oleh manusia sebagai pesanpesan komunikasi --baik yang berupa
gambar, lambang, ucapan, tulisan, sikap, dan
perilaku-- yang merepresentasikan semua
aspek kehidupan manusia. Definisi simbol
yang
yang
dikembangkan berdasarkan kategori
Dengan melihat penjelasan tentang
diambil
Ndembu
digunakan
dalam
penelitian
ini
mengacu pada batasan terminologi simbol
dari Turner (1982: 19), yaitu: ―objects,
supranatural, yang bersifat profan atau sakral.
Menurut Beattie (1964: 202), semua simbol
bisa dianggap sebagai jenis bahasa dimana
orang
menggunakannya
untuk
meng-
ungkapkan tentang sesuatu, serta mengekspresikan
perilaku
simbolik
yang
dianggap memiliki bermacam-macam nilai
sosial yang penting. Simbol juga digunakan
sebagai
alat
menjelaskan
ekspresi
bahwa
manusia
dengan
yang
perilaku
simbolik itu seseorang bisa dimaknai apakah
dia ‗sedang menginginkan sesuatu‘ atau
sebaliknya bisa juga dia ‗sedang mencegah
dan menolak sesuatu‘.
Selanjutnya Beattie (1964: 224-229)
menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap
simbol bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu pemaknaan yang bersifat personal
(personalized), pemaknaan yang bersifat
kultural, dan pemaknaan yang bersifat
universal. Klasifikasi personal dan kultural
dalam pemaknaan ini didasarkan oleh
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
125
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
perbedaan pengalaman, cara merasa, dan
pendapat Berger (2010: 28) yang me-
cara
simbol-simbol
nyatakan bahwa sesungguhnya simbol-
tertentu. Sedangkan klasifikasi universal
simbol yang terdapat di dunia ini telah
didasarkan pada generalisasi karakter dasar
membantu manusia untuk tanggap terhadap
manusia
sesuatu yang ada di sekelilingnya.
pandang
terhadap
yang
mempunyai
kesamaan
persepsi terhadap hal hal tertentu. Misalnya,
Cassirer mengajukan argumen bahwa
ekspresi simbolik manusia yang berkaitan
sistem
simbol
merupakan
satu-satunya
dengan hantu dan ruh halus bisa berbeda
elemen pokok yang secara fungsional
secara individual disebabkan oleh pe-
dimiliki manusia untuk membedakannya dari
ngalaman spiritual yang berbeda dari masing
binatang. Meskipun manusia dan binatang
masing individu. Sistem budaya yang dianut
memiliki kesamaan indera dalam merespon
seseorang juga menyebabkan perbedaan
stimulus dari luar, namun ada hal yang
dalam mengungkapkan perilaku spiritual
membedakan, yaitu bahwa ―di antara sistem
secara simbolik.
reseptor dan sistem efektor, yang terdapat
Dalam praktek penggunaan simbol,
pada semua spesies binatang, pada manusia
pentingnya kegunaan simbol bagi manusia
terdapat mata rantai ke tiga yang mungkin
ditekankan oleh Cassirer, bahwa pada
dapat
dasarnya
ke-
(Cassirer, 1987: 38). Selanjutnya Cassirer
mampuan untuk memahami dunia ini dalam
menjelaskan bahwa dalam merespon semua
satu kesatuan yang utuh, melainkan manusia
rangsang yang ada, manusia tidak hanya
memahami dunia ini secara terpecah-pecah
melarutkan diri dalam dunia fisik semata-
menjadi berbagai wilayah pemikiran dan
mata, tetapi rangsangan tersebut membuat
wilayah kebudayaan. Untuk memahami
mereka hidup dalam dunia simbolis. Semua
keterpecahan wilayah ini maka Cassirer
bentuk kehidupan seperti bahasa, religi, seni,
membuat asumsi bahwa manusia adalah
dan mitos merupakan dunia simbolis yang
animal symbolicum dimana mereka me-
membuat manusia hidup dalam dunia simbol
nandai segala bentuk kegiatan, benda, dan
yang sangat kompleks. Dalam kehidupan
pemikiran mereka secara simbolik (dalam
yang praktispun manusia tidak bisa hidup
Verene, 1979: 12). Dengan demikian maka
dalam dunia yang semata-mata bersifat fisis,
keseluruhan kehidupan manusia ini terdiri
tetapi juga dalam emosi imajiner; kerinduan;
dari
kecemasan; dan fantasi; yang di dalamnya
manusia
tidak memiliki
serpihan-serpihan
simbol
yang
disebut sebagai sistem simbolis‖
kemudian terpola dan membentuk kesatuan
melekat
dunia secara utuh. Hal ini sesuai dengan
digunakan manusia untuk mengekspresikan
126
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
sistem
simbol.
Bahasa
yang
Siti Solik hati
gagasan dan perasaan-perasaan ini me-
mereka tidak memiliki sistem simbol sebagai
rupakan ekspresi afektif.
alat ucapan sebagaimana dimiliki manusia.
Gagasan Cassirer mengenai simbol ini
Ekspresi simbolik dan kemampuan simbolik
mengandung penjelasan bahwa salah satu
pada manusia merupakan indikator untuk
fungsi simbol dalam kehidupan manusia
mengetahui
dalam hal-hal tertentu adalah untuk membuat
Kemampuan
benda-benda bisa ‗berbicara‘ dan meng-
nunjukkan tipe pemikirannya, yang disebut
hidupkan tanda-tanda material yang masih
Herder sebagai pemikiran reflektif. Cassirer
bersifat beku. Dengan simbol ini, maka ciri
(1987: 62) menyatakan bahwa tanpa dunia
istimewa dari simbolisme manusia adalah
simbolik maka: ―Hidup manusia akan
bahwa semua yang ada di dunia ini
terkurung dalam batas batas biologis dan
mempunyai nama. Dalam menjelaskan hal
kebutuhan praktisnya; tiada gerbang bagi
ini, Cassirer mengajukan sebuah contoh
dunia ideal, yang dari berbagai sisi dijanjikan
kasus Hellen Keller yang bisu, tuli, dan buta
oleh agama, kesenian, filsafat , dan ilmu
yang secara mengejutkan ingin mengetahui
pengetahuan‖.
nama-nama dari setiap benda yang ada di
menjadi dua bentuk, yaitu bentuk aesthetic
sekitarnya. Dari kasus ini Cassirer ber-
sebagai ekspresi keindahan dan bentuk
agumen bahwa pada dasarnya setiap manusia
scientific sebagai ekspresi ilmiah atau
selalu dapat membangun dunia simboliknya
pengetahuan..
meskipun
dengan
segala
‗ketergantungan pemikiran relasional kepada
pemikiran simbolis‘. Pada tahap ini manusia
perkembangan
dengan
Ekspresi
manusia
ini
me-
dibedakan
SIM BOL KEA GA M A A N
Dengan sistem simbol ini maka muncul
relasional
simbolik
manusia.
keterbatasan
instrumen yang dimiliki.
mengalami
kemampuan
senantiasa
pemikiran
meng-
hubungkan segala sesuatu dengan simbol
tertentu, yang tidak ditemui pada dunia
binatang. Pemikiran relasional ini juga
membuat manusia mampu menemukan
makna makna yang abstrak tentang segala
sesuatu. Sedangkan binatang tidak mampu
mengembangkan distinctio rationis karena
Dengan menggunakan batasan simbol di
muka, maka yang dimaksud dengan 'simbol
keagamaan' dalam tulisan ini adalah semua
atribut, gejala, dan atau penanda yang
digunakan manusia untuk menunjukkan
keberadaan serta ciri tertentu suatu agama,
termasuk di dalamnya sistem nilai dan sistem
kepercayaannya.
Dalam
teori
sosial,
disebutkan: "Religious symbols may embody
or condense moods, feelings and values, but
symbols may also refer to specific places,
persons or events in history" (Turner, 1983:
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
127
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
56). Jika ditinjau dari klasifikasi Beattie
tentang simbol (1982), serta konsepsi
(1964) tentang pemaknaan manusia terhadap
Berger (2010) tentang sifat konvensional
nilai-nilai simbolik, maka realisme simbolik
sebuah simbol, maka bisa ditemukan
dalam agama bisa berbenturan dengan
sebuah
praktek keagamaan yang dianut kelompok
simbol keagamaan akan bervariasi sesuai
pengguna agama, karena praktek keagamaan
dengan pola interpretasi para penganut
dalam masyarakat bisa bervariasi sesuai
agama tentang simbol tersebut.
dengan
kelompok
atau
kelas
sosial.
Kelompok yang menamakan diri sebagai
'kelompok
rasional'
seperti
masyarakat
Amerika Serikat, misalnya, lebih mengutamakan sisi praktek keagamaan dibanding
aspek simbolik agama (Turner, 1983: 56).
Sementara pada masyarakat yang lain,
praktek keagamaan bisa berjalan dengan cara
yang berbeda sesuai dengan pola persepsi
masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai
simbolik agama.
bahwa
penggunaan
Sedangkan menurut Berger (2010: 28),
―simbol keagamaan selalu berada pada
puncak gunung dari peristiwa bersejarah,
legenda-legenda
dan
sebagainya
dan
memiliki kekuatan untuk mengarahkan
pikiran‖ manusia. Sementara Geertz menekankan bahwa pada hakekatnya agama
pasti menawarkan suatu pedoman hidup
yang unik dan realistik bagi manusia, yang
dirasakan dan dipersepsi secara berbeda
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan
Dalam kaitannya dengan simbol
keagamaan,
rumusan
Geertz
(1973:
90)
yang lain. Dengan adanya keunikan dan
me-
kerealistikan ini, maka bisa saja sebenarnya
ngatakan bahwa agama adalah: ―1) a
seseorang tidak menjadi relijius, tetapi
system of symbols which acts to 2)
karena dia hendak menemukan suatu makna
establish powerful, pervasive, and long-
hakiki, maka dia akan menggunakan simbol-
lasting moods and motivations in men by
simbol agama.
3) formulating conceptions of a general
Dalam
konteks simbol keagamaan
order of existence and 4) clothing these
dalam
conceptions
of
menjelaskan bahwa simbol-simbol tersebut
and
merupakan sumber tekstual keagamaan yang
motivations seem uniquely realistic”. Jika
berupa doktrin permanen sehingga tidak bisa
konsepsi Geertz (1973) yang menjelaskan
diubah sesuai dengan perspektif para penafsir
bahwa agama merupakan sistem simbol
agama. Pendapat ini merupakan salah satu
ini dipadukan dengan konsepsi Turner
fenomena penolakan dari sebagian umat
factuality
128
with
that
such
5)
the
an
aura
moods
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Islam,
Ridwan
(2004:
132)
Siti Solik hati
Islam terhadap metode tafsir hermeneutika
dimana para penyebar agama mencoba untuk
yang
sebagian
beradaptasi dengan cara mengakomodasi
intelektual Muslim. Namun demikian, sifat
budaya setempat ke dalam ajaran Islam,
teks keagamaan yang (menurut Ridwan)
misalnya peristiwa penyebaran Islam di Jawa
merupakan
serta
yang dilakukan oleh para wali yang dikenal
penolakan terhadap metode penafsiran yang
dengan istilah Walisanga. Proses islamisasi
dianggap baru di kalangan umat Islam ini
di wilayah Jawa tidak bisa dilepaskan dari
tidak
simbol
mulai
dilakukan
doktrin
cukup
oleh
permanen
efektif
untuk
mencegah
mitologi
serta
simbol-simbol
dinamika serta perubahan dalam penggunaan
linguistik yang berkembang pada masyarakat
dan interpretasi terhadap simbol-simbol
Jawa (Berg, 1995: 134). Setidaknya proses
keagamaan yang terus berkembang.
islamisasi yang dilakukan oleh Sultan Agung
Mengenai dinamika penafsiran terhadap
juga tidak lepas dari pola interpretasi yang
simbol-simbol kegamaan di dalam ajaran
dilakukannya terhadap ajaran Islam dengan
Islam, Piliang (2003: 308) menjelaskan
mengadopsi budaya setempat bisa dijadikan
bahwa untuk mengkaji hal-hal tersebut yang
sebagai salah satu bukti formal. Akibatnya
berkaitan
dengan
komunikasi,
maka
praktek keagamaan dalam masyarakat Jawa
diperlukan
sebuah
pemahaman
bahwa
diwarnai dengan simbol-simbol ritual yang
agama memang menggunakan dua bentuk
merupakan percampuran antara simbol Islam
tanda, yaitu (1) tanda-tanda yang wajib
dan simbol budaya Jawa. Penggunaan
diterima secara ideologis sebagai hal yang
simbol-simbol
bersifat transenden, dan (2) tanda-tanda yang
identitas Islam di Jawa kurun waktu yang
telah diterima secara sosial meskipun
relatif panjang.
sesungguhnya tanda-tanda tersebut masih
terbuka
lebar
bagi
ruang
interpretasi.
campuran
ini
menjadi
Jika proses penyebaran ajaran Islam ini
dikembalikan
kepada
konsepsi
Berger
Keaneka ragaman cara persepsi dan cara
tentang sifat konvensional simbol (Berger,
interpretasi
simbol-simbol
2010: 29), maka dalam proses islamisasi di
keagamaan yang besifat permanen menjadi
wilayah Jawa, simbol-simbol Islam telah
salah satu penyebab munculnya beberapa
diinterpretasikan terlebih dahulu oleh para
aliran keagamaan dalam Islam baik yang
penyebar
berupa ormas maupun yang berupa jamaah.
kepada
terhadap
ajaran
sebelum
masyarakat.
Hasil
disampaikan
interpretasi
Pola interpretasi yang berbeda-beda ini
tersebut kemudian disampaikan kepada
juga disebabkan oleh proses penyebaran
masyarakat yang kemudian ditafsirkan oleh
ajaran Islam yang bersifat lintas kultural
masyakarat sesuai dengan pola konsumsi
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
129
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
yang telah disesuaikan dengan budaya
keagamaan pada dasarnya tetap sama.
setempat serta pola persepsi individu.
Dengan kata lain, cara-cara ritual yang
Akibatnya, setelah melalui proses penye-
dilakukan umat beragama bisa berbeda-beda,
baran yang bersifat lintas kultural dan lintas
meskipun mereka menganut agama yang
negara serta proses interpretasi multi-tahap,
sama dan menggunakan sumber yang sama.
simbol-simbol
Islam
tersebut
banyak
mengalami peristiwa konstruksi sosial serta
konstruksi budaya, sehingga mengalami
perubahan dan pergeseran makna dari ajaran
aslinya. Oleh karena itu, sebagaimana tesis
Geertz dan Berger, muncullah simbol
keagamaan yang bersifat konvensional-
Argumen Geertz dan Berger ini hampir
serupa dengan konsepsi Cassirer (1987: 111)
yang menjelaskan bahwa pola pengamalan
agama seseorang sangat berkaitan dengan
perasaan keagamaan manusia yang tentunya
memiliki bentuk-bentuk tertentu, dan bukan
ditentukan
oleh
dogma-dogma
kepercayaan dan doktrin-doktrin serta sistem
teologis semata. Hal ini berarti bahwa dalam
dimensi pengamalan beragama, menusia
menggunakan dua jenis simbol, yaitu (1)
simbol-simbol
yang
bersifat
doktriner
teologis, dan (2) simbol-simbol yang bersifat
sosio-kultural
yang
merupakan
hasil
interpretasi manusia terhadap simbol yang
bersifat
doktriner.
Selanjutnya
Cassirer
berpendapat bahwa meskipun simbol-simbol
keagamaan yang digunakan umat beragama
bisa berubah-ubah sesuai dengan cara
penafirannya, namun kegiatan simbolik
130
Televisi diidentifikasi sebagai media
komunikasi yang bersifat transitoris karena
karakter dari volume materi yang ditawarkan
kepada konsumen serta informasi yang
sifatnya tidak permanen dan adanya proses
perekaman
kultural.
hanya
DUNIA T EL EV ISI
dalam
kegiatan
tayangnya
(Burton, 2007: 21). Meskipun informasi
yang disampaikan bersifat tidak permanen,
namun karena televisi memiliki karakter
visual
auditif
maka
tidak
menutup
kemungkinan bahwa pesan-pesan yang
disampaikannya bisa menimbulkan efek
tertentu
bagi
pemirsanya.
Dengan
mengambil teori madzab Frankfurt tentang
‗selera konsumen‘, maka bisa dikatakan
bahwa efek yang ditimbulkan oleh televisi
sesungguhnya bukan semata-mata terletak
pada jenis dan sifat pesan yang disampaikan
tetapi lebih pada pola konsumsi yang
dimiliki masyarakat.
Perlu digaris bawahi di sini bahwa
televisi hanyalah salah satu dari banyak
media yang menawarkan hiburan dan
informasi yang memiliki hubungan interaktif
dengan rumah produksi (production house)
dan institusi informasi yang lain. Disamping
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Siti Solik hati
fungsi hiburan, secara normatif televisi
yang ditujukan kepada masyarakat yang
memiliki fungsi lain berupa pendidikan,
bersifat pasif yang memerlukan hiburan dan
fungsi persuasif, fungsi informasi, fungsi
terkadang kurang bisa bersikap kritis. Untuk
kontrol sosial, dan fungsi sebagai pewaris
mengetahui popularitas program, maka
budaya. Fungsi-fungsi ini secara umum
televisi memiliki tingkat ketergantungan
termanifestasikan dalam bentuk beberapa
yang relatif tinggi terhadap hasil rating.
program seperti talk-show, iklan layanan
Efeknya, untuk memperoleh popularitas serta
masyarakat dan iklan komersil, berita, film
perhatian masyarakat (audience) ini, secara
dokumenter, film fiksi, serta program
logis televisi lebih banyak berkiblat pada
budaya.
program-
ideologi kapitalis yang lebih mementingkan
program yang ditayangkan televisi bisa saja
aspek keuntungan dibanding aspek sosio-
bersifat overlap, misalnya, terjadinya campur
kultural, sehingga tidak menutup kemung-
aduk antara fungsi infromasi dan fungsi
kinan bahwa sebuah informasi bisa bersifat
hiburan yang dalam prakteknya kadangkala
socially high cost. Logika kapitalis ini
materi hiburan yang disampaikan televisi
disamarkan oleh stasiun televisi yang
bisa bersifat informatif, dan sebaliknya
membuat slogan berupa jingle yang seolah-
materi informasi bisa bersifat hiburan
olah berfihak kepada kepentingan penonton,
sehingga tidak mudah untuk membedakan
misalnya,
Indosiar
antara pesan informasi dan pesan hiburan
―Memang
Untuk
(Burton, 2007: 98). Sifat entertaining televisi
membuat slogan ―Untuk Kita Semua‖.
pada umumnya terdapat pada televisi swasta
Meskipun televisi swasta menggunakan
yang memang memiliki karakter menonjol di
prinsip ‗melayani kebutuhan masyarakat‘,
bidang ini dengan lebih banyak menawarkan
namun terminologi ―kebutuhan‖ itu dalam
program yang bersifat hiburan, sehingga
prakteknya hanya sebatas dimaknai sebagai
pesan-pesan informatif pun lebih sering
―kebutuhan untuk diterima masyarakat‖
dikemas dalam bentuk hiburan.
dalam
Meskipun demikian,
Disamping
swasta
atau
itu,
televisi
kehidupan
rangka
membuat
Anda‖
dan
memperoleh
slogan
SCTV
penonton
televisi
sebanyak-banyaknya yang tujuan akhirnya
sangat
adalah menarik minat para pemasang iklan
komersial
tergantung kepada besar kecilnya iklan yang
komersil.
masuk, oleh karenanya, televisi menuntut
Madzab Frankfurt (dalam Strinati, 2004:
adanya popularitas. Sedangkan popularitas
89) melihat ada dua jenis kebutuhan
tersebut
cara
masyarakat, yaitu ‗kebutuhan sejati‘ dan
populer
‗kebutuhan semu‘ atau kebutuhan palsu.
bisa
menghadirkan
didapatkan
dengan
program-program
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
131
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
Dalam praktek kehidupan pada masyarakat
kebudayaan
kapitalistik, kebutuhan palsu masyarakat
penontonnya. Pada sisi yang lain, setiap
(yaitu kebutuhan yang bersifat konsumeris)
penonton memiliki cara tersendiri untuk
yang bisa dijamin pencapaiannya oleh
mencari kesenangan dari televisi, dan televisi
industri budaya seringkali bersifat menindas
menangkap selera pasar ini dengan cara
kebutuhan sejati (yaitu kebutuhan akan
menghadirkan program yang populer untuk
kebebasan dan kemandirian). Jika dilihat dari
menggaet
perspektif madzab ini, maka bisa dikatakan
sebagai pencarian kultural (cultural pursuit)
bahwa industri hiburan yang ditawarkan
sehingga bisa meyakinkan pengiklan untuk
televisi rata-rata hanya menjual kebutuhan
memasarkan produknya (Burton, 2007: 96).
‗semu‘ masyarakat dan bukan kebutuhan
Aspek kultural yang menjadi pertimbangan
untuk menyajikan informasi yang benar-
penting adalah ‗unsur budaya apa yang
benar diperlukan masyarakat atau kebutuhan
paling digemari penonton dan mudah
sejati. Masyarakat kapitalis sekedar menjual
diterima
apa yang hendak dibeli oleh konsumen
memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
dengan nilai imbalan yang sesuai dengan apa
Sedangkan aspek budaya yang ditawarkan
yang diperoleh oleh konsumen. Pada sisi
oleh televisi pada umumnya telah mengalami
yang lain, konsumen membayar dengan nilai
proses interpretasi awal yang ditentukan oleh
sesuai dengan cost yang telah dikeluarkan.
rating penonton yang tinggi.
Kalau dilihat dari sisi hukum pasar maka
televisi menjual apa yang diinginkan oleh
proses jual beli atau proses produksi-
masyarakat –atau menurut definisi Storey
konsumsi
ini
tentang pop culture sebagai ‗event yang
didasarkan pada pola saling menguntungkan,
digemari orang banyak untuk menghibur
dimana apabila konsumen sudah merasa
diri‘-- sehingga televisi dengan sendirinya
tidak cocok lagi dengan produk budaya yang
telah ikut menyebarluaskan budaya populer.
dalam
industri
budaya
yang
menjadi
sebanyak
kebutuhan
mungkin
pemirsa
sehingga
keberadaannya‘
ia
Ini artinya
berkembang maka mereka memiliki hak
Dengan demikian, maka dalam pasar
individu untuk tidak menggunakan dan tidak
televisi yang kapitalis, aspek kebudayaan
mengkonsumsinya.
masyarakat hanya berperan sebagai obyek
televisi
jual dan kemudian dipertimbangkan sebagai
menganggap masyarakat adalah penonton
bahan materi tayangan. Yang menjadi
yang memiliki karakter sebagai turis budaya,
pertimbangan utama pasar kapitalis adalah
oleh karenanya televisi berusaha untuk
selera publik (konsumen) dengan prinsip
memasukkan sebanyak mungkin unsur-unsur
demand
Dalam
132
aspek
kultural,
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
and
supply,
karena
dengan
Siti Solik hati
memenuhi tuntutan masyarakat maka televisi
dan apa yang tidak disampaikan
akan dapat memenuhi tuntutan popularitas.
kepada masyarakat serta
Pada saat popularitas di mata masyarakat
(2). bagaimana
sudah terpenuhi, maka secara tidak langsung
popularitas di mata pengiklan juga tercapai
dan ideologi kapitalisme semakin terkuatkan.
Konsep
popularitas
serta
ideologi
kapitalis semakin melengkapi klaim yang
mengatakan bahwa televisi merupakan salah
satu bentuk budaya populer, yang dalam
catatan Storey, telah muncul pada abad 20-an
(Storey, 2007: 11). Berdasarkan tesis Storey
ini, maka dalam wacana budaya populer,
televisi bukan hanya dianggap semata mata
sebagai ‗agent of social changes‘, (John
Fiske, 1978: 1) tetapi juga menjadi ‗bagian‘
dari budaya populer itu sendiri. Dalam
wacana perubahan sosial, televisi sering
dipandang dan dituduh sebagai media yang
mampu ‗merubah‘ wajah dunia. Anggapan
ini agak berlebihan karena berdasarkan
konsep
industri
budaya
sesungguhnya
perubahan perubahan sosial tidak berjalan
secara revolutif tetapi bersifat evolutif –
gradatif, serta tidak semata-mata disebabkan
pola
konsumsi
masyarakat.
Dalam pandangan ini, maka bisa dilihat
bahwa dari struktur masyarakat kapitalis ini
ada keterkaitan antara masyarakat dan
industri budaya yang ada di dalamnya,
dimana industri budaya yang terjadi dalam
masyarakat ditangkap kemudian disebarluaskan melalui televisi dan dikonsumsi
kembali oleh masyarakat. Dengan demikian
maka bisa dikatakan bahwa secara kultural,
televisi lebih banyak berperan sebagai
‗makelar budaya‘ sedangkan yang berperan
sebagai
produsen
sekaligus
konsumen
budaya adalah masyarakat itu sendiri.
Sebagai makelar budaya, televisi tentu saja
menggunakan hukum pasar dengan hanya
membeli dan menjual kembali produk yang
laku di pasaran.
R EPR ESENT A SI_SIM BOL
KEA GA M A A N DI T EL EV ISI
Sebelum
menjelaskan
simbol
tentang
keagamaan,
re-
oleh substansi materi yang disampaikan
presentasi
televisi melainkan oleh pola konsumsi serta
dahulu penulis perlu memaparkan apa yang
pola interpretasi konsumen. Pada struktur
dimaksud dengan terminologi representasi
masyarakat kapitalis, peran televisi dalam
dalam tulisan ini. Piliang (2010: 21)
masyarakat bisa dilihat dari sisi:
mendefinisikan
representasi
terlebih
sebagai
―tindakan menghadirkan atau mempresen(1). informasi budaya, tentang apa yang
disampaikan kepada masyarakat
tasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di
luar dirinya, biasanya berupa tanda atau
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
133
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
simbol‖. Representasi merupakan sebuah
merupakan sebuah imitasi dari perilaku dan
proses pencitraan tentang sesuatu dimana
oleh
citra
meng-
kebenarannya dan (3) estetika, dimana aspek
gambarkan realitas yang sesungguhnya.
seni merupakan salah satu problem dalam
Melalui politik representasi atau politik
memahami makna film. Sebagai salah satu
pencitraan, oleh karena itu, bisa dikatakan
bentuk dari karya seni, pemaknaan terhadap
bahwa sesuatu hendak digambarkan sesuai
sebuah film bisa memunculkan berbagai
dengan keinginan pembuat citra untuk
wacana yang berbeda, karena kreativitas seni
menimbulkan efek tertentu untuk men-
terkadang memunculkan hal-hal yang di luar
ciptakan ideologi dominan. Sebuah stasiun
imaginasi.
yang
dimunculkan
tidak
televisi bisa saja menyampaikan program
karena
itu
Dalam
perlu
dipertanyakan
pembahasan
mengenai
acara keagamaan yang menggambarkan
representasi Islam dengan menggunakan
sebuah
simbol-simbol
kegiatan
menggunakan
keagamaan
simbol-simbol
dengan
tertentu,
keagamaan
dalam
(sinetron), penulis mengadopsi
film
struktur
padahal sebenarnya fakta keagamaan tidak
perangkat analisis yang dibuat Fiske (1987)
selalu tampak sebagaimana yang dihadirkan
yang melibatkan tiga level pemaknaan dalam
dalam program tersebut. Menurut Hall
memahami kode-kode televisi. Struktur
(2011: 218) hal ini merupakan salah satu
Fiske
efek teknis dalam peristiwa representasi
penelitian ini karena perangkat semiotik yang
karena
disampaikan
ditawarkannya bisa menjawab persoalan-
melalui televisi merupakan tanda yang
persoalan dalam penelitian ini, mulai dari
berifat kompleks yang merupakan tanda
persoalan
visual dan tanda auditif.
televisi. Fiske mengajukan argumen bahwa
tanda-tanda
Sedangkan
yang
Ehrat
(2005:
4-5)
sebuah
menjadi
faktor
representasi
kejadian
penting
hingga
atau
dalam
ideologi
realitas
yang
menjelaskan bahwa dalam sebuah program
ditayangkan di televisi sebelumnya telah
televisi yang berbentuk sinetron atau film,
melalui proses encoding sesuai dengan kode-
representasi tentang sesuatu bisa dilihat dari
kode
adanya hubungan saling keterkaitan yang
diberlakukan oleh televisi. Dalam hal ini
terdapat pada tiga area permasalahan yaitu:
kode dimaknai oleh Fiske sebagai se-
(1) wilayah meaning atau makna, yang bisa
perangkat aturan dari sistem tanda yang telah
dilihat dari kode-kode yang digunakan dalam
disepakati dalam sebuah komunitas tertentu
film,
(2) narasi yang berkaitan dengan
yang digunakan untuk menyebarkan makna.
waktu, dimana narasi dalam film hanya
Secara semiotis, melalui politik representasi
134
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
sosial
sebagaimana
kode
yang
Siti Solik hati
televisi menciptakan makna di tengah
merepresentasikan
sebuah
berbagai kalangan masyarakat dengan cara
merupakan
kesengajaan
menghadirkan sesuatu untuk memenuhi
menciptakan citra tertentu. Dalam hal ini
kepentingan dominan di masyarakat, serta
Fiske (1987: 21) menjelaskan bahwa televisi
menyebarkan
adalah media yang realistik karena ia mampu
makna
tersebut
kepada
pemirsanya.
untuk
menumbuhkan keyakinan sosial di kalangan
Selanjutnya Fiske (1987: 4) membuat
struktur
sebuah
realitas
pemaknaan
tentang kode-kode
televisi sebagai berikut:
pemirsa tentang hal-hal yang bersifat riil.
Fiske menyebut hal itu sebagai realism yang
difahami sebagai bentuk narasi tertentu,
meskipun narasi itu beruwjud gambar dan
Level 1
lukisan.
R ealitas
Penampilan, busana, make-up, perilaku,
pembicaraan (kata-kata) gestur, ekspresi,
suara
(Yang
di-encode
secara
Selanjutnya Fiske mengatakan
bahwa ―realism is not a matter of any fidelity
to an empirical reality, but of the discursive
convention by which and on which a sense of
reality is constructed‖ (Fiske, 1987: 23).
elektronik
menggunakan kode teknis tertentu dalam
wujud)
Melihat pada konstruksi realitas yang
disebutkan Fiske ini, maka dapat dikatakan
bahwa
Level 2
program-program
fiksi
yang
ditawarkan televisipun pada hakekatnya
R epresentasi
merupakan hal yang bersifat realistik.
Kamera, lighting, editing, musik, suara
Kemampuan televisi dalam menghadirkan
(Yang membentuk representasi seperti
realitas yang dapat diterima khalayak sesuai
naratif, konflik, tindakan, karakter, dialog,
dengan kode-kode sosial yang berlaku secara
setting, casting)
tidak langsung telah menjadikan televisi
Level 3
sebagai
Ideologi
media
yang
strategis
untuk
menyebarkan berbagai jenis informasi.
Individualisme, patriarki, ras, kelas sosial,
Posisi strategis televisi sebagai agen
materialisme, kapitalisme
transformasi budaya menjadikannya sebagai
(Yang disusun ke dalam penerimaan
salah satu media yang dipilih umat Islam
sosial yang koheren oleh kode-kode
untuk proses penyebaran ajaran agama.
ideologis).
Sejalan dengan berkembangnya tuntutan
Dalam kajian terhadap film (sinetron),
komunitas umat Islam akan perlunya media
penggunaan simbol-simbol tertentu dalam
guna mengembangkan ajaran agama, maka
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
135
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
ini
presumably,
dihindarkan. Konsekuensi dari perlunya
mengindikasikan bahwa representasi agama
televisi
dengan
dalam
kegiatan
pengembangan
television‖.
Hal
televisi merupakan alernatif yang sulit untuk
menggunakan
simbol-simbol
ajaran Islam ini adalah bahwa kegiatan
keagamaan dalam tayangan televisi bukan
keagamaan yang bersifat privat dan sakral
pekerjaan yang sederhana, karena simbol-
secara tak terhindarkan lagi harus memasuki
simbol tersebut tidak semata-mata digunakan
wilayah publik dan profan. Dalam pengantar
untuk menyam-paikan pesan keagamaan
buku Media dan Citra Muslim, Ibrahim
semata, namun juga untuk kepentingan sosial
(2005) menekankan bahwa ekspresi sikap
serta media itu sendiri.
keberagamaan umat Islam di Indonesia pada
Ketika simbol keagamaan direpresen-
masa kini telah benar-benar menemukan
tasikan dalam bentuk pesan di media televisi,
aktualisasinya dalam ruang publik melalui
maka ia memberi kesempatan kepada siapa
media massa. Namun demikian semua
saja
ekspresi simbol-simbol keagamaan yang
pemaknaan. Proses penafsiran ini tentu saja
ditransformasikan
massa
berbeda-beda antara satu orang dengan yang
lagi
lainnya, sebagai akibat dari perbedaan
merupakan representasi bentuk murni dari
kerangka acuan dan sistem kepercayaan.
simbol-simbol doktriner agama melainkan
Disamping itu, proses penafsiran terhadap
lebih merupakan hasil konstruksi sosial yang
pesan-pesan keagamaan juga dipengaruhi
bertarung dalam praktik kinerja media. Hal
oleh bagaimana proses pesan yang bersifat
ini bisa difahami karena penghadiran simbol-
simbolik itu diproduksi. Proses penafsiran
simbol keagamaan dalam tayangan televisi
simbol-simbol keagamaan yang dilakukan
tidak bisa dibatasi hanya pada wilayah yang
melalui beberapa tahap, sebagaimana telah
bersifat sakral saja.
dijelaskan pada bagian sebelumnya, meng-
tersebut
pada
lewat
dasarnya
media
bukan
Pemahaman ini sesuai dengan hasil
untuk melakukan penafsiran dan
akibatkan
wacana
penafsiran
simbol
penelitian Maguire dan kawan-kawan (2013)
keagamaan sebagai bentuk pesan media
mengenai sekularisasi agama dan televisi
menjadi semakin kompleks, karena proses
komersial yang dilakukan terhadap tayangan
yang dilaluinya memungkinkan terjadinya
televisi di Amerika. Dalam hasil penelitian
bias. Perubahan wacana serta perubahan
ini disebutkan bahwa ―religious symbolism is
bentuk
not restricted to a special sacred sphere, but
semakin beragam sebagai akibat campur
can be found in any number of social
tangan
contexts and social mediums -- including,
penyebaran
136
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
simbol-simbol
media
keagamaan
massa
pesan-pesan
dalam
ini
proses
keagamaan.
Siti Solik hati
Akibatnya,
simbol-simbol
keagamaan
tercampur aduk dengan produk budaya
populer media massa yang menggunakan
logika keseragaman, sehingga memunculkan
simbol keagamaan yang bersifat kultural dan
nyaris seragam. Oleh Irianto (dalam Ibrahim,
2005: 520), penggambaran tentang agama
(Islam) di media massa (khususnya televisi)
pada hakekatnya tidak merefleksikan ajaran
yang
sesungguhnya,
mengutamakan
karena
tampilan
menggunakan
ia
fisik
simbol-simbol
lebih
dengan
yang
mendekati citra Islam.
Kehidupan keberagamaan seseorang
sesungguhnya
tidak
hanya
diwujudkan
dalam bentuk penggunaan simbol dan atribut
kegamaan, tetapi juga dalam bentuk sikap
dan perilaku religius. Oleh karena itu untuk
menggambarkan Islam secara kontekstual,
Islam serta atribut keagamaan yang
digunakan oleh umat Islam.
Pembedaan
ini
didasarkan
pada
pendapat Cassirer mengenai bentuk-bentuk
simbol keagamaan yang meliputi perasaan
keagamaan
serta
doktrin
keagamaan
sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Konstruksi simbol-simbol keagamaan
(Islam) yang dihadirkan televisi menjadi
semakin
rumit
karena
media
tersebut
menggunakan parameternya sendiri, yang
tidak selamanya bisa berjalan seimbang
dengan parameter Islam. Mengenai deskripsi
kerumitan proses produksi pesan komunikasi
melalui media ini, Morley (dalam Storey,
2007: 17) menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga hal yang perlu dicermati, yaitu:
1. Produksi
pesan
merupakan
perlu dilakukan kajian yang teliti mengenai
pekerjaan yang problematik, karena
penggunaan
keagamaan
satu peristiwa bisa di-encode dengan
tersebut. Dalam konteks penelitian ini,
cara yang berbeda oleh pembuat
simbol-simbol keagamaan (Islam) dibedakan
pesan, sehingga ketika sampai pada
menjadi dua kelompok yaitu:
decoder,
simbol-simbol
(1) simbol secara normatif yang dibatasi
pada keberadaan ayat al Qur'an serta
hadits nabi yang merupakan simbol
dari doktrin keagamaan
pesan
tersebut
bisa
menghasilkan makna yang berbeda
2. Pesan komunikasi yang dibuat oleh
media bersifat teks terbuka yang
memungkinkan
untuk
dimaknai
secara berbeda oleh penerima pesan
(2) simbol secara kultural akibat pola
3. Peristiwa
decoding
merupakan
tafsir dan konstruksi sosial yang berupa
proses yang problematik karena satu
sikap dan perilaku beragama pemeluk
pesan bisa dimaknai dengan cara
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
137
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
yang berbeda oleh orang yang
berbicara atau mengandung makna ketika
berbeda
pesan tersebut dilihat dari tiga sisi, yaitu:
Teori sosial yang berkembang tentang
(a) context (konteks sosial, atau dalam
paradigma konstruksi sosial di media ini
kaitan apa serta kapan dan di mana
diawali oleh sebuah asumsi bahwa pada
pesan tersebut digunakan), artinya
hakekatnya manusia itu dianggap sebagai
sebuah pesan bisa saja memiliki
aktor yang kreatif (Bungin, 2001: 5).
makna atau dimaknai secara berbeda
Kreativitas manusia ini diwujudkan dengan
apabila pesan tersebut digunakan
berbagai kemampuan yang dimilikinya
dalam konteks sosial yang berbeda
untuk membuat konstruk atas realitas sosial
yang ada, yang kebenarannya bersifat relatif.
Sedangkan relativitas dari realitas sosial ini
dibentuk oleh adanya konvensi-konvensi
atau
kesepakatan
yang
berlaku
pada
masyarakat setempat, serta tergantung pada
waktu dan tempat realitas sosial tersebut
diberlakukan. Oleh karena itu realitas sosial
juga bisa dikatakan sebagai hasil atau produk
(b) contact (hubungan antara pengirim
dan penerima pesan), artinya sebuah
pesan juga bisa dimaknai secara
berbeda tergantung pada intensitas
hubungan
jarak
psikologis
(psychological gap) antara pengirim
dan penerima pesan
(c) code (simbol yang digunakan), artinya
bahasa
dari sebuah konstruksi sosial.
serta
pesan
atau
tanda
(ikon,
Paradigma komunikasi yang mem-
simbol) baik itu verbal ataupun non
berikan kontribusi cukup besar dalam kajian
verbal juga berpengaruh terhadap
penggunaan simbol di media massa adalah
proses pemaknaan sebuah pesan.
konsep
linguistik
yang
disumbangkan
Jacobson (dalam Fiske, 1987 b: 47). Dalam
paradigma
ini
Jacobson
paradigma
komunikasi
menengahi
linear
yang
dikembangkan Shannon dan Weaver yang
berseberangan
dengan
paradigma
komunikasi triangular yang dikembangkan
Newcomb pada pertengahan abad ke 20.
Perspektif linguistik Jacobson mengatakan
bahwa sebuah pesan (teks) baru akan bisa
138
Salah satu bentuk simbol keagamaan
yang sudah mengalami proses konstruksi
yang dihadirkan televisi adalah sinetron
religi.
Terminologi
―sinetron‖
pada
umumnya dipahami sebagai kependekan
istilah
dari
sinema
elektronik
yang
merupakan cerita bersambung yang secara
khusus ditayangkan di televisi. Sinetron pada
dasarnya merupakan duplikasi opera sabun
yang ditayangkan oleh
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
televisi
asing,
Siti Solik hati
sedangkan istilah sinetron secara khusus
citra tertentu, karena agama adalah salah satu
diberlakukan di Indonesia sebagaimana
wilayah kultural. Dalam setiap realitas ajaran
ungkapan Arimbi ―Sinetron is an Indonesian
keagamaan selalu terdapat ikon, simbol, dan
term for soap opera in television. It is an
sistem
acronym for cinema electronic‖ (Arimbi,
strukturnya.
2009: 202). Sedangkan menurut Endah
keagamaan yang dihadirkan ke hadapan
(2008) sinetron merupakan kepanjangan dari
pemirsa televisi sudah berwujud ‗realitas
sinema elektronik yang berarti sebuah karya
bentukan‘ atau realitas citraan karena realitas
cipta seni budaya, dan media komunikasi
tersebut telah mengalami konstruksi serta
pandang dengar yang dibuat berdasarkan
modifikasi
sinematografi dengan direkam pada pita
Upaya untuk melihat bagaimana simbol-
video
lalu
simbol keagamaan dihadirkan dalam bentuk
ditayangkan melalui stasiun televisi. Istilah
hiburan di televisi setidaknya bisa membantu
sinetron ini pertama kali di Indonesia
menemukan tiga hal:
melalui
proses
elektronik
dipopulerkan Arswendo Atmowiloto.
menggunakan
yang
Pada
melalui
perlu
sisi
lain,
politik
untuk
melihat
sinetron, maka diperlukan sebuah studi kritis
representasi
dari
yang menurut Burton (2007: 37) bisa
tersebut
dilakukan dengan menggunakan beberapa
keagamaan, dan
ideologi, konsep komodifikasi, representasi,
dan modus penyampaian pesan. Oleh karena
representasi
agama
sudah
representasi.
merupakan realitas media,
simbol keagamaan dalam bentuk tayangan
konsep kunci, yaitu dengan melihat pada
realitas
berupa ajaran keagamaan yang
simbol-
televisi yang bernuansa hiburan sebagaimana
dipahami
untuk menemukan inti pesan
(a)
Untuk memahami bagaimana Islam
direpresentasikan
tanda
(b)
dalam
bagaimana
wujud
bentuk
pesan
simbol
(c) untuk menemukan ideologi yang
tersembunyi di balik penggunaan
simbol-simbol keagamaan.
dijadikan
komoditas dagangan oleh piha
SIM BOL K EA GA M A A N DA L A M ISL A M DA N IDEOL OGI
T EL EV ISI
Siti Solikhati
Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo
Sholy_zain@yahoo.com
A BST R A CT
B
asically human lives are built based on fragmented symbols which form the real
picture of the whole world. People expressed every side of their lives (including
religious live) using certain symbols which are socially accepted. The discussion
on religious symbols has always leads to two means, namely socio-cultural symbols which
associate religious doctrines with the local culture, and normative symbols which are
supposed to be permanent symbols. The discussion on this paper focused on the nuance of
the meaning of religious symbols which have shifted more on cultural meaning rather than
the normative ones, as can be seen on television religious programs.
Accordingly, television has its own way of expressing things based on their own
management policy, in which usually they use market needs as the main reason. To fulfill
the market needs however, the medium need to wrap religious message up using certain
symbols to fit their audience needs. According to Fiske (1987) it will be easier to have a
look the ideology used by television by take a close look at how it uses certain symbols.
Keywords: Symbols, Ideology, Local Culture
A BST R A K
K
ehidupan manusia ini terdiri dari serpihan-serpihan simbol yang kemudian terpola
dan membentuk kesatuan dunia secara utuh. Manusia mengekspresikan diri,
termasuk di dalamnya mengekspresikan aspek kehidupan beragama
menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial. Wacana simbol dalam kehidupan
beragama mengandung makna multi dimensi, yaitu dimensi sosiokultural yang bisa
berubah sesuai dengan konteks, serta dimensi normative yang bersifat permanen dan
mutlak. Konteks wacana symbol keagamaan dalam paper ini difokuskan pada pergeseran
makna symbol keagamaan yang bersifat normative lebih banyak berfungsi sebagai symbol
kultural sebagaimana diperlihatkan pada tayangan-tayangan keagamaan di televisi.
Televisi memiliki cara tersendiri untuk mengemas informasi tertentu berdasarkan
konsep kebijakan internal dan menggunakan argument segmen audience. Untuk memenuhi
target audience, maka televisi perlu mengemas pesan keagamaan menggunakan symbol
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan audience. Menurut Fiske (1987) dengan melihat
bagaimana televisi menggunakan symbol-simbol tertentu, maka akan mudah untuk melihat
ideologi yang terkandung di dalamnya.
Kata K unci : Simbol, Ideologi, kultur lokal
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
121
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
disebarkan melalui media televisi, secara
PENDA HUL UA N
Islam merupakan ajaran agama yang di-
tidak langsung format siarannya menye-
sampaikan kepada para penganutnya dengan
suaikan dengan karakter entertaining yang
menggunakan simbol-simbol yang bersifat
dimiliki media tersebut. Dalam hal ini terjadi
permanen. Berkenaan dengan proses penye-
interaksi antara simbol keagamaan yang
barannya, secara normatif Islam bersifat elitis
bersifat sakral dengan simbol televisi yang
dalam arti bahwa secara kewenangan serta
bersifat kultural. Percampuran antara simbol-
kompetensi untuk menyampaikan ajaran ini
simbol keagamaan dan simbol kultural
tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi
potensial menyebabkan semakin rumitnya
menjadi wilayah orang-orang yang dianggap
mata rantai interpretasi terhadap ajaran
memenuhi syarat dan kriteria tertentu.
agama.
Meskipun demikian, secara pragmatis proses
Berkaitan dengan adanya peristiwa
penyebaran ajaran Islam tidak selamanya
interpretasi yang menimbulkan multitafsir
berbanding lurus dengan bagaimana Islam
terhadap makna pesan keagamaan, potensi
diwacanakan
Dalam
multitafsir semakin kelihatan karena adanya
praktiknya, penyebaran ajaran agama ini
variasi dalam peristiwa representasi ajaran
berjalan sesuai dengan perkembangan sosio-
Islam ke dalam bentuk simbol-simbol
kultural. Secara kultural, proses penyebaran
keagamaan yang sudah disesuaikan dengan
ajaran Islam baik secara tatap muka langsung
budaya media. Disamping itu, para penyebar
maupun melalui media, terjadi melalui
ajaran Islam yang dijadikan rujukan oleh
beberapa tahapan interpretasi oleh para
media televisi mempunyai pola tafsir yang
penyebar serta penerima ajaran. Ajaran
berbeda-beda sehingga hal ini potensial
agama disebarkan menggunakan simbol-
untuk menambah semakin kompleksnya
simbol keagamaan yang telah disesuaikan
multi proses cara tafsir terhadap ajaran
melalui proses interpretasi oleh pembawa
tersebut. Keaneka ragaman penggunaan
risalah, dan diterima dengan cara yang telah
simbol-simbol
disesuaikan dengan pola interpretasi dari
representasikan ajaran Islam ini setidaknya
penerima risalah.
bisa dilihat dalam tayangan keagamaan di
secara
normatif.
Salah satu media komunikasi modern
yang banyak digunakan untuk menyebarkan
ajaran ini adalah televisi. Ketika ajaran Islam
keagamaan
dalam
me-
televisi yang dikemas dalam bentuk hiburan,
khususnya dalam bentuk program sinetron.
Secara umum, bentuk-bentuk representasi Islam dengan menggunakan simbol-
122
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Siti Solik hati
simbol keagamaan dalam sinetron reliji bisa
bisnis dari para penyebar Islam yang terlibat
dilihat dari adanya proses simplifikasi dalam
dalam proses tersebut. Ideologi kapitalis
menjelaskan sebuah ajaran atau doktrin
yang dianut televisi serta penyebar ajaran
ajaran, misalnya dalam penggunaan atribut
Islam dalam mentransmisikan nilai-nilai
keagamaan, eksploitasi ayat-ayat suci, pe-
agama ini memunculkan keprihatinan di
nggunaan
kalangan umat Islam (Ibrahim: 2005).
dialog,
dan
penyederhanaan
penyelesaian akhir dalam sebuah problem
solving. Bentuk representasi Islam dengan
menggunakan
simbol-simbol
keagamaan
yang demikian ini pada tahapan tertentu bisa
mengakibatkan penyederhanaan pemahaman
penonton tentang ajaran keagamaan. Taylor
dan Harris menjelaskan bahwa ciri televisi
dalam menayangkan program fiksi biasanya
mengedepankan meta-story serta melakukan
ideological reduction yang bisa mengakibatkan terjadinya kebanalan atau pendangkalan makna (2008: 163). Penggunaan
simbol-simbol keagamaan dalam sebuah
tayangan program sinetron atau film tidak
lepas dari konstruksi ide tentang obyek
keagamaan yang direpresentasikan dalam
bentuk tampilan yang mengedepankan efek
easy consuming, sehingga ide pokok dari
ajaran Islam lebih mudah diterima oleh
Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif
ideologi media, bergesernya makna akibat
simbol-simbol
keagamaan
dalam merepresentasikan ajaran agama
nampaknya
Secara terminologis, kata simbol sering
menimbulkan pengertian yang berbeda-beda.
Dalam Collin Cobuild, simbol didefinisikan
sebagai: (1) “a shape or design that is used
to represent something such as an idea”, (2)
“something that seems to represent society
or aspects of life, because it is very typical of
it” (Collin Cobuild, 1987: 1482). Sedangkan
dalam Dictionary of Sociology (Jary and
Jary, 1991: 645), kata simbol didefinisikan
sebagai: (1). ―A sign, in which the connection
between the meaning and the sign is
conventional rather than natural‖, (2). ―An
indirect representation of an underlying
meaning, syndrome, etc, as for example, in
religious symbolism and ritual‖. Karena
hubungan antara makna dan tanda lebih
bersifat
penonton.
penggunaan
W A CA NA SIM BOL
menjadi
hal
yang
tak
terhindarkan dalam bisnis media. Hal ini
konvensional
sebagaimana
di-
sebutkan Jary and Jary, maka sebuah simbol
tidak
selamanya
mengandung
makna
universal, tetapi pemaknaan terhadap simbol
akan tergantung pada komunitas masyarakat
dimana simbol tersebut digunakan. Menurut
Berger (2010: 29), sebuah simbol bisa
konvensional
karena
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
123
ditambah dengan kecenderungan orientasi
dianggap
bersifat
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
seringkali manusia menafsirkan simbol-
simbol
simbol tersebut dan mengasosiasikan serta
diklasifikasikan sebagai berikut:
menerapkannya
dalam
budaya
mereka
sendiri.
art yang merupakan simbol tertua di
zaman Paleolitik. Lukisan yang
menjelaskan bahwa simbol telah sering
diperkenalkan oleh Chauvet Cave
digunakan untuk memaknai segala sesuatu
pada
mulai dari tanda-tanda yang bersifat sangat
simbol
sering
digunakan untuk mengungkapkan argumen
diakses
12
Juli
tahun sekitar 20.000 – 10.000 SM.
Lukisan yang juga dibuat pada
kayu-kayuan ini digunakan sebagai
connection to that greater thing or image to
pengingat yang diperkirakan dibuat
which it points”, bahkan istilah simbol juga
oleh para pemburu di daerah Afrika
digunakan dalam desain grafis, mitos, dan
atau Oceania.
3. Piktograf, yang dikenal sebagai
proto-writing adalah simbol yang
"symbols are more than just cultural
mewakili
artefacts: in their correct context, they still
atau
obyek,
dalam bentuk ilustrasi. Piktograf
addressing our intellect, emotions, and
digunakan dalam kebudayaan kuno
spirit". Ini berarti bahwa simbol tidak bisa
pada sekitar tahun 9.000 SM.
4. Ideogram, dianggap sebagai sistem
lebih luas dari simbol itu sendiri.
Liliweri (2011: 4-6) menjelaskan bahwa
dalam perkembangan komunikasi, manusia
memiliki lima tahapan sejarah mengenai
124
konsep
aktifitas, tempat, dan peristiwa
speak powerfully to us, simultaneously
karena ia berkaitan dengan hal-hal lain yang
ke-
cadas yang diperkirakan ada pada
is any sign which also has an inherent
dimaknai secara tunggal dan universal,
tentang
menyerupai lukisan pada batu-batu
Selanjutnya Morris menjelaskan ―A symbol
manusia dan tempat. Dalam menjelaskan
ini
2. Petroglif, merupakan karya yang
2014).
kejadian-kejadian, hingga gambaran tentang
SM
beradaan dirinya.
yang bersifat filosofis (http://www.fiu.edu
/~morriss/,
30.000
menginformasikan
njelaskan gambaran yang lebih rumit dari
bahkan
tahun
digunakan oleh manusia untuk
sederhana hingga digunakan untuk me-
cerita,
garis besar bisa
1. Cave painting, adalah sejenis rock
Mengenai terminologi simbol, Morris
sebuah
yang secara
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
penulisan logografis yang telah lama
dikenal di Mesir dan Cina. Ideogram
berupa konsep yang sangat abstrak,
tetapi
bisa
digunakan
untuk
menyampaikan ide-ide yang bersifat
Siti Solik hati
universal, misalnya dua tongkat
activities, relationships, events, gestures, and
dianggap
kaki
spatial units‖ yang secara empirik telah
tetapi bisa mewakili konsep tentang
digunakan untuk mengamati proses ritual
berjalan.
komunitas
masyarakat
5. Writing, yang ditemukan pertama
dipenuhi
dengan
kali pada tahun 400 SM dan
simbolik.
menggambarkan
peristiwa-peristiwa
Dalam praktek kehidupan sosial, simbol
logografik, silabik, dan alphabetik.
yang berlaku pada sebuah komunitas bisa
Variasi tulisan dari masing-masing
digunakan untuk membedakan jenis kegiatan
wilayah bersifat unik dan berbeda
manusia, misalnya apakah kegiatan tersebut
satu dengan lainnya.
dinilai sebagai hal yang natural atau
simbol serta sejarah simbol, maka bisa
pemahaman
bahwa
kehidupan
manusia tidak bisa lepas dari dunia simbol,
dan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia
terdiri dari proses produksi dan konsumsi
simbol. Konsep Cassirer tentang manusia
sebagai makhluk simbolik atau animal
symbolicum (dalam Verene, 1979) merupakan gagasan yang dijadikan rujukan
penting. Dalam konteks tulisan ini penulis
menggunakan kata ―simbol‖ sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan produk yang
dipertukarkan oleh manusia sebagai pesanpesan komunikasi --baik yang berupa
gambar, lambang, ucapan, tulisan, sikap, dan
perilaku-- yang merepresentasikan semua
aspek kehidupan manusia. Definisi simbol
yang
yang
dikembangkan berdasarkan kategori
Dengan melihat penjelasan tentang
diambil
Ndembu
digunakan
dalam
penelitian
ini
mengacu pada batasan terminologi simbol
dari Turner (1982: 19), yaitu: ―objects,
supranatural, yang bersifat profan atau sakral.
Menurut Beattie (1964: 202), semua simbol
bisa dianggap sebagai jenis bahasa dimana
orang
menggunakannya
untuk
meng-
ungkapkan tentang sesuatu, serta mengekspresikan
perilaku
simbolik
yang
dianggap memiliki bermacam-macam nilai
sosial yang penting. Simbol juga digunakan
sebagai
alat
menjelaskan
ekspresi
bahwa
manusia
dengan
yang
perilaku
simbolik itu seseorang bisa dimaknai apakah
dia ‗sedang menginginkan sesuatu‘ atau
sebaliknya bisa juga dia ‗sedang mencegah
dan menolak sesuatu‘.
Selanjutnya Beattie (1964: 224-229)
menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap
simbol bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu pemaknaan yang bersifat personal
(personalized), pemaknaan yang bersifat
kultural, dan pemaknaan yang bersifat
universal. Klasifikasi personal dan kultural
dalam pemaknaan ini didasarkan oleh
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
125
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
perbedaan pengalaman, cara merasa, dan
pendapat Berger (2010: 28) yang me-
cara
simbol-simbol
nyatakan bahwa sesungguhnya simbol-
tertentu. Sedangkan klasifikasi universal
simbol yang terdapat di dunia ini telah
didasarkan pada generalisasi karakter dasar
membantu manusia untuk tanggap terhadap
manusia
sesuatu yang ada di sekelilingnya.
pandang
terhadap
yang
mempunyai
kesamaan
persepsi terhadap hal hal tertentu. Misalnya,
Cassirer mengajukan argumen bahwa
ekspresi simbolik manusia yang berkaitan
sistem
simbol
merupakan
satu-satunya
dengan hantu dan ruh halus bisa berbeda
elemen pokok yang secara fungsional
secara individual disebabkan oleh pe-
dimiliki manusia untuk membedakannya dari
ngalaman spiritual yang berbeda dari masing
binatang. Meskipun manusia dan binatang
masing individu. Sistem budaya yang dianut
memiliki kesamaan indera dalam merespon
seseorang juga menyebabkan perbedaan
stimulus dari luar, namun ada hal yang
dalam mengungkapkan perilaku spiritual
membedakan, yaitu bahwa ―di antara sistem
secara simbolik.
reseptor dan sistem efektor, yang terdapat
Dalam praktek penggunaan simbol,
pada semua spesies binatang, pada manusia
pentingnya kegunaan simbol bagi manusia
terdapat mata rantai ke tiga yang mungkin
ditekankan oleh Cassirer, bahwa pada
dapat
dasarnya
ke-
(Cassirer, 1987: 38). Selanjutnya Cassirer
mampuan untuk memahami dunia ini dalam
menjelaskan bahwa dalam merespon semua
satu kesatuan yang utuh, melainkan manusia
rangsang yang ada, manusia tidak hanya
memahami dunia ini secara terpecah-pecah
melarutkan diri dalam dunia fisik semata-
menjadi berbagai wilayah pemikiran dan
mata, tetapi rangsangan tersebut membuat
wilayah kebudayaan. Untuk memahami
mereka hidup dalam dunia simbolis. Semua
keterpecahan wilayah ini maka Cassirer
bentuk kehidupan seperti bahasa, religi, seni,
membuat asumsi bahwa manusia adalah
dan mitos merupakan dunia simbolis yang
animal symbolicum dimana mereka me-
membuat manusia hidup dalam dunia simbol
nandai segala bentuk kegiatan, benda, dan
yang sangat kompleks. Dalam kehidupan
pemikiran mereka secara simbolik (dalam
yang praktispun manusia tidak bisa hidup
Verene, 1979: 12). Dengan demikian maka
dalam dunia yang semata-mata bersifat fisis,
keseluruhan kehidupan manusia ini terdiri
tetapi juga dalam emosi imajiner; kerinduan;
dari
kecemasan; dan fantasi; yang di dalamnya
manusia
tidak memiliki
serpihan-serpihan
simbol
yang
disebut sebagai sistem simbolis‖
kemudian terpola dan membentuk kesatuan
melekat
dunia secara utuh. Hal ini sesuai dengan
digunakan manusia untuk mengekspresikan
126
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
sistem
simbol.
Bahasa
yang
Siti Solik hati
gagasan dan perasaan-perasaan ini me-
mereka tidak memiliki sistem simbol sebagai
rupakan ekspresi afektif.
alat ucapan sebagaimana dimiliki manusia.
Gagasan Cassirer mengenai simbol ini
Ekspresi simbolik dan kemampuan simbolik
mengandung penjelasan bahwa salah satu
pada manusia merupakan indikator untuk
fungsi simbol dalam kehidupan manusia
mengetahui
dalam hal-hal tertentu adalah untuk membuat
Kemampuan
benda-benda bisa ‗berbicara‘ dan meng-
nunjukkan tipe pemikirannya, yang disebut
hidupkan tanda-tanda material yang masih
Herder sebagai pemikiran reflektif. Cassirer
bersifat beku. Dengan simbol ini, maka ciri
(1987: 62) menyatakan bahwa tanpa dunia
istimewa dari simbolisme manusia adalah
simbolik maka: ―Hidup manusia akan
bahwa semua yang ada di dunia ini
terkurung dalam batas batas biologis dan
mempunyai nama. Dalam menjelaskan hal
kebutuhan praktisnya; tiada gerbang bagi
ini, Cassirer mengajukan sebuah contoh
dunia ideal, yang dari berbagai sisi dijanjikan
kasus Hellen Keller yang bisu, tuli, dan buta
oleh agama, kesenian, filsafat , dan ilmu
yang secara mengejutkan ingin mengetahui
pengetahuan‖.
nama-nama dari setiap benda yang ada di
menjadi dua bentuk, yaitu bentuk aesthetic
sekitarnya. Dari kasus ini Cassirer ber-
sebagai ekspresi keindahan dan bentuk
agumen bahwa pada dasarnya setiap manusia
scientific sebagai ekspresi ilmiah atau
selalu dapat membangun dunia simboliknya
pengetahuan..
meskipun
dengan
segala
‗ketergantungan pemikiran relasional kepada
pemikiran simbolis‘. Pada tahap ini manusia
perkembangan
dengan
Ekspresi
manusia
ini
me-
dibedakan
SIM BOL KEA GA M A A N
Dengan sistem simbol ini maka muncul
relasional
simbolik
manusia.
keterbatasan
instrumen yang dimiliki.
mengalami
kemampuan
senantiasa
pemikiran
meng-
hubungkan segala sesuatu dengan simbol
tertentu, yang tidak ditemui pada dunia
binatang. Pemikiran relasional ini juga
membuat manusia mampu menemukan
makna makna yang abstrak tentang segala
sesuatu. Sedangkan binatang tidak mampu
mengembangkan distinctio rationis karena
Dengan menggunakan batasan simbol di
muka, maka yang dimaksud dengan 'simbol
keagamaan' dalam tulisan ini adalah semua
atribut, gejala, dan atau penanda yang
digunakan manusia untuk menunjukkan
keberadaan serta ciri tertentu suatu agama,
termasuk di dalamnya sistem nilai dan sistem
kepercayaannya.
Dalam
teori
sosial,
disebutkan: "Religious symbols may embody
or condense moods, feelings and values, but
symbols may also refer to specific places,
persons or events in history" (Turner, 1983:
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
127
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
56). Jika ditinjau dari klasifikasi Beattie
tentang simbol (1982), serta konsepsi
(1964) tentang pemaknaan manusia terhadap
Berger (2010) tentang sifat konvensional
nilai-nilai simbolik, maka realisme simbolik
sebuah simbol, maka bisa ditemukan
dalam agama bisa berbenturan dengan
sebuah
praktek keagamaan yang dianut kelompok
simbol keagamaan akan bervariasi sesuai
pengguna agama, karena praktek keagamaan
dengan pola interpretasi para penganut
dalam masyarakat bisa bervariasi sesuai
agama tentang simbol tersebut.
dengan
kelompok
atau
kelas
sosial.
Kelompok yang menamakan diri sebagai
'kelompok
rasional'
seperti
masyarakat
Amerika Serikat, misalnya, lebih mengutamakan sisi praktek keagamaan dibanding
aspek simbolik agama (Turner, 1983: 56).
Sementara pada masyarakat yang lain,
praktek keagamaan bisa berjalan dengan cara
yang berbeda sesuai dengan pola persepsi
masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai
simbolik agama.
bahwa
penggunaan
Sedangkan menurut Berger (2010: 28),
―simbol keagamaan selalu berada pada
puncak gunung dari peristiwa bersejarah,
legenda-legenda
dan
sebagainya
dan
memiliki kekuatan untuk mengarahkan
pikiran‖ manusia. Sementara Geertz menekankan bahwa pada hakekatnya agama
pasti menawarkan suatu pedoman hidup
yang unik dan realistik bagi manusia, yang
dirasakan dan dipersepsi secara berbeda
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan
Dalam kaitannya dengan simbol
keagamaan,
rumusan
Geertz
(1973:
90)
yang lain. Dengan adanya keunikan dan
me-
kerealistikan ini, maka bisa saja sebenarnya
ngatakan bahwa agama adalah: ―1) a
seseorang tidak menjadi relijius, tetapi
system of symbols which acts to 2)
karena dia hendak menemukan suatu makna
establish powerful, pervasive, and long-
hakiki, maka dia akan menggunakan simbol-
lasting moods and motivations in men by
simbol agama.
3) formulating conceptions of a general
Dalam
konteks simbol keagamaan
order of existence and 4) clothing these
dalam
conceptions
of
menjelaskan bahwa simbol-simbol tersebut
and
merupakan sumber tekstual keagamaan yang
motivations seem uniquely realistic”. Jika
berupa doktrin permanen sehingga tidak bisa
konsepsi Geertz (1973) yang menjelaskan
diubah sesuai dengan perspektif para penafsir
bahwa agama merupakan sistem simbol
agama. Pendapat ini merupakan salah satu
ini dipadukan dengan konsepsi Turner
fenomena penolakan dari sebagian umat
factuality
128
with
that
such
5)
the
an
aura
moods
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Islam,
Ridwan
(2004:
132)
Siti Solik hati
Islam terhadap metode tafsir hermeneutika
dimana para penyebar agama mencoba untuk
yang
sebagian
beradaptasi dengan cara mengakomodasi
intelektual Muslim. Namun demikian, sifat
budaya setempat ke dalam ajaran Islam,
teks keagamaan yang (menurut Ridwan)
misalnya peristiwa penyebaran Islam di Jawa
merupakan
serta
yang dilakukan oleh para wali yang dikenal
penolakan terhadap metode penafsiran yang
dengan istilah Walisanga. Proses islamisasi
dianggap baru di kalangan umat Islam ini
di wilayah Jawa tidak bisa dilepaskan dari
tidak
simbol
mulai
dilakukan
doktrin
cukup
oleh
permanen
efektif
untuk
mencegah
mitologi
serta
simbol-simbol
dinamika serta perubahan dalam penggunaan
linguistik yang berkembang pada masyarakat
dan interpretasi terhadap simbol-simbol
Jawa (Berg, 1995: 134). Setidaknya proses
keagamaan yang terus berkembang.
islamisasi yang dilakukan oleh Sultan Agung
Mengenai dinamika penafsiran terhadap
juga tidak lepas dari pola interpretasi yang
simbol-simbol kegamaan di dalam ajaran
dilakukannya terhadap ajaran Islam dengan
Islam, Piliang (2003: 308) menjelaskan
mengadopsi budaya setempat bisa dijadikan
bahwa untuk mengkaji hal-hal tersebut yang
sebagai salah satu bukti formal. Akibatnya
berkaitan
dengan
komunikasi,
maka
praktek keagamaan dalam masyarakat Jawa
diperlukan
sebuah
pemahaman
bahwa
diwarnai dengan simbol-simbol ritual yang
agama memang menggunakan dua bentuk
merupakan percampuran antara simbol Islam
tanda, yaitu (1) tanda-tanda yang wajib
dan simbol budaya Jawa. Penggunaan
diterima secara ideologis sebagai hal yang
simbol-simbol
bersifat transenden, dan (2) tanda-tanda yang
identitas Islam di Jawa kurun waktu yang
telah diterima secara sosial meskipun
relatif panjang.
sesungguhnya tanda-tanda tersebut masih
terbuka
lebar
bagi
ruang
interpretasi.
campuran
ini
menjadi
Jika proses penyebaran ajaran Islam ini
dikembalikan
kepada
konsepsi
Berger
Keaneka ragaman cara persepsi dan cara
tentang sifat konvensional simbol (Berger,
interpretasi
simbol-simbol
2010: 29), maka dalam proses islamisasi di
keagamaan yang besifat permanen menjadi
wilayah Jawa, simbol-simbol Islam telah
salah satu penyebab munculnya beberapa
diinterpretasikan terlebih dahulu oleh para
aliran keagamaan dalam Islam baik yang
penyebar
berupa ormas maupun yang berupa jamaah.
kepada
terhadap
ajaran
sebelum
masyarakat.
Hasil
disampaikan
interpretasi
Pola interpretasi yang berbeda-beda ini
tersebut kemudian disampaikan kepada
juga disebabkan oleh proses penyebaran
masyarakat yang kemudian ditafsirkan oleh
ajaran Islam yang bersifat lintas kultural
masyakarat sesuai dengan pola konsumsi
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
129
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
yang telah disesuaikan dengan budaya
keagamaan pada dasarnya tetap sama.
setempat serta pola persepsi individu.
Dengan kata lain, cara-cara ritual yang
Akibatnya, setelah melalui proses penye-
dilakukan umat beragama bisa berbeda-beda,
baran yang bersifat lintas kultural dan lintas
meskipun mereka menganut agama yang
negara serta proses interpretasi multi-tahap,
sama dan menggunakan sumber yang sama.
simbol-simbol
Islam
tersebut
banyak
mengalami peristiwa konstruksi sosial serta
konstruksi budaya, sehingga mengalami
perubahan dan pergeseran makna dari ajaran
aslinya. Oleh karena itu, sebagaimana tesis
Geertz dan Berger, muncullah simbol
keagamaan yang bersifat konvensional-
Argumen Geertz dan Berger ini hampir
serupa dengan konsepsi Cassirer (1987: 111)
yang menjelaskan bahwa pola pengamalan
agama seseorang sangat berkaitan dengan
perasaan keagamaan manusia yang tentunya
memiliki bentuk-bentuk tertentu, dan bukan
ditentukan
oleh
dogma-dogma
kepercayaan dan doktrin-doktrin serta sistem
teologis semata. Hal ini berarti bahwa dalam
dimensi pengamalan beragama, menusia
menggunakan dua jenis simbol, yaitu (1)
simbol-simbol
yang
bersifat
doktriner
teologis, dan (2) simbol-simbol yang bersifat
sosio-kultural
yang
merupakan
hasil
interpretasi manusia terhadap simbol yang
bersifat
doktriner.
Selanjutnya
Cassirer
berpendapat bahwa meskipun simbol-simbol
keagamaan yang digunakan umat beragama
bisa berubah-ubah sesuai dengan cara
penafirannya, namun kegiatan simbolik
130
Televisi diidentifikasi sebagai media
komunikasi yang bersifat transitoris karena
karakter dari volume materi yang ditawarkan
kepada konsumen serta informasi yang
sifatnya tidak permanen dan adanya proses
perekaman
kultural.
hanya
DUNIA T EL EV ISI
dalam
kegiatan
tayangnya
(Burton, 2007: 21). Meskipun informasi
yang disampaikan bersifat tidak permanen,
namun karena televisi memiliki karakter
visual
auditif
maka
tidak
menutup
kemungkinan bahwa pesan-pesan yang
disampaikannya bisa menimbulkan efek
tertentu
bagi
pemirsanya.
Dengan
mengambil teori madzab Frankfurt tentang
‗selera konsumen‘, maka bisa dikatakan
bahwa efek yang ditimbulkan oleh televisi
sesungguhnya bukan semata-mata terletak
pada jenis dan sifat pesan yang disampaikan
tetapi lebih pada pola konsumsi yang
dimiliki masyarakat.
Perlu digaris bawahi di sini bahwa
televisi hanyalah salah satu dari banyak
media yang menawarkan hiburan dan
informasi yang memiliki hubungan interaktif
dengan rumah produksi (production house)
dan institusi informasi yang lain. Disamping
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
Siti Solik hati
fungsi hiburan, secara normatif televisi
yang ditujukan kepada masyarakat yang
memiliki fungsi lain berupa pendidikan,
bersifat pasif yang memerlukan hiburan dan
fungsi persuasif, fungsi informasi, fungsi
terkadang kurang bisa bersikap kritis. Untuk
kontrol sosial, dan fungsi sebagai pewaris
mengetahui popularitas program, maka
budaya. Fungsi-fungsi ini secara umum
televisi memiliki tingkat ketergantungan
termanifestasikan dalam bentuk beberapa
yang relatif tinggi terhadap hasil rating.
program seperti talk-show, iklan layanan
Efeknya, untuk memperoleh popularitas serta
masyarakat dan iklan komersil, berita, film
perhatian masyarakat (audience) ini, secara
dokumenter, film fiksi, serta program
logis televisi lebih banyak berkiblat pada
budaya.
program-
ideologi kapitalis yang lebih mementingkan
program yang ditayangkan televisi bisa saja
aspek keuntungan dibanding aspek sosio-
bersifat overlap, misalnya, terjadinya campur
kultural, sehingga tidak menutup kemung-
aduk antara fungsi infromasi dan fungsi
kinan bahwa sebuah informasi bisa bersifat
hiburan yang dalam prakteknya kadangkala
socially high cost. Logika kapitalis ini
materi hiburan yang disampaikan televisi
disamarkan oleh stasiun televisi yang
bisa bersifat informatif, dan sebaliknya
membuat slogan berupa jingle yang seolah-
materi informasi bisa bersifat hiburan
olah berfihak kepada kepentingan penonton,
sehingga tidak mudah untuk membedakan
misalnya,
Indosiar
antara pesan informasi dan pesan hiburan
―Memang
Untuk
(Burton, 2007: 98). Sifat entertaining televisi
membuat slogan ―Untuk Kita Semua‖.
pada umumnya terdapat pada televisi swasta
Meskipun televisi swasta menggunakan
yang memang memiliki karakter menonjol di
prinsip ‗melayani kebutuhan masyarakat‘,
bidang ini dengan lebih banyak menawarkan
namun terminologi ―kebutuhan‖ itu dalam
program yang bersifat hiburan, sehingga
prakteknya hanya sebatas dimaknai sebagai
pesan-pesan informatif pun lebih sering
―kebutuhan untuk diterima masyarakat‖
dikemas dalam bentuk hiburan.
dalam
Meskipun demikian,
Disamping
swasta
atau
itu,
televisi
kehidupan
rangka
membuat
Anda‖
dan
memperoleh
slogan
SCTV
penonton
televisi
sebanyak-banyaknya yang tujuan akhirnya
sangat
adalah menarik minat para pemasang iklan
komersial
tergantung kepada besar kecilnya iklan yang
komersil.
masuk, oleh karenanya, televisi menuntut
Madzab Frankfurt (dalam Strinati, 2004:
adanya popularitas. Sedangkan popularitas
89) melihat ada dua jenis kebutuhan
tersebut
cara
masyarakat, yaitu ‗kebutuhan sejati‘ dan
populer
‗kebutuhan semu‘ atau kebutuhan palsu.
bisa
menghadirkan
didapatkan
dengan
program-program
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
131
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
Dalam praktek kehidupan pada masyarakat
kebudayaan
kapitalistik, kebutuhan palsu masyarakat
penontonnya. Pada sisi yang lain, setiap
(yaitu kebutuhan yang bersifat konsumeris)
penonton memiliki cara tersendiri untuk
yang bisa dijamin pencapaiannya oleh
mencari kesenangan dari televisi, dan televisi
industri budaya seringkali bersifat menindas
menangkap selera pasar ini dengan cara
kebutuhan sejati (yaitu kebutuhan akan
menghadirkan program yang populer untuk
kebebasan dan kemandirian). Jika dilihat dari
menggaet
perspektif madzab ini, maka bisa dikatakan
sebagai pencarian kultural (cultural pursuit)
bahwa industri hiburan yang ditawarkan
sehingga bisa meyakinkan pengiklan untuk
televisi rata-rata hanya menjual kebutuhan
memasarkan produknya (Burton, 2007: 96).
‗semu‘ masyarakat dan bukan kebutuhan
Aspek kultural yang menjadi pertimbangan
untuk menyajikan informasi yang benar-
penting adalah ‗unsur budaya apa yang
benar diperlukan masyarakat atau kebutuhan
paling digemari penonton dan mudah
sejati. Masyarakat kapitalis sekedar menjual
diterima
apa yang hendak dibeli oleh konsumen
memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
dengan nilai imbalan yang sesuai dengan apa
Sedangkan aspek budaya yang ditawarkan
yang diperoleh oleh konsumen. Pada sisi
oleh televisi pada umumnya telah mengalami
yang lain, konsumen membayar dengan nilai
proses interpretasi awal yang ditentukan oleh
sesuai dengan cost yang telah dikeluarkan.
rating penonton yang tinggi.
Kalau dilihat dari sisi hukum pasar maka
televisi menjual apa yang diinginkan oleh
proses jual beli atau proses produksi-
masyarakat –atau menurut definisi Storey
konsumsi
ini
tentang pop culture sebagai ‗event yang
didasarkan pada pola saling menguntungkan,
digemari orang banyak untuk menghibur
dimana apabila konsumen sudah merasa
diri‘-- sehingga televisi dengan sendirinya
tidak cocok lagi dengan produk budaya yang
telah ikut menyebarluaskan budaya populer.
dalam
industri
budaya
yang
menjadi
sebanyak
kebutuhan
mungkin
pemirsa
sehingga
keberadaannya‘
ia
Ini artinya
berkembang maka mereka memiliki hak
Dengan demikian, maka dalam pasar
individu untuk tidak menggunakan dan tidak
televisi yang kapitalis, aspek kebudayaan
mengkonsumsinya.
masyarakat hanya berperan sebagai obyek
televisi
jual dan kemudian dipertimbangkan sebagai
menganggap masyarakat adalah penonton
bahan materi tayangan. Yang menjadi
yang memiliki karakter sebagai turis budaya,
pertimbangan utama pasar kapitalis adalah
oleh karenanya televisi berusaha untuk
selera publik (konsumen) dengan prinsip
memasukkan sebanyak mungkin unsur-unsur
demand
Dalam
132
aspek
kultural,
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
and
supply,
karena
dengan
Siti Solik hati
memenuhi tuntutan masyarakat maka televisi
dan apa yang tidak disampaikan
akan dapat memenuhi tuntutan popularitas.
kepada masyarakat serta
Pada saat popularitas di mata masyarakat
(2). bagaimana
sudah terpenuhi, maka secara tidak langsung
popularitas di mata pengiklan juga tercapai
dan ideologi kapitalisme semakin terkuatkan.
Konsep
popularitas
serta
ideologi
kapitalis semakin melengkapi klaim yang
mengatakan bahwa televisi merupakan salah
satu bentuk budaya populer, yang dalam
catatan Storey, telah muncul pada abad 20-an
(Storey, 2007: 11). Berdasarkan tesis Storey
ini, maka dalam wacana budaya populer,
televisi bukan hanya dianggap semata mata
sebagai ‗agent of social changes‘, (John
Fiske, 1978: 1) tetapi juga menjadi ‗bagian‘
dari budaya populer itu sendiri. Dalam
wacana perubahan sosial, televisi sering
dipandang dan dituduh sebagai media yang
mampu ‗merubah‘ wajah dunia. Anggapan
ini agak berlebihan karena berdasarkan
konsep
industri
budaya
sesungguhnya
perubahan perubahan sosial tidak berjalan
secara revolutif tetapi bersifat evolutif –
gradatif, serta tidak semata-mata disebabkan
pola
konsumsi
masyarakat.
Dalam pandangan ini, maka bisa dilihat
bahwa dari struktur masyarakat kapitalis ini
ada keterkaitan antara masyarakat dan
industri budaya yang ada di dalamnya,
dimana industri budaya yang terjadi dalam
masyarakat ditangkap kemudian disebarluaskan melalui televisi dan dikonsumsi
kembali oleh masyarakat. Dengan demikian
maka bisa dikatakan bahwa secara kultural,
televisi lebih banyak berperan sebagai
‗makelar budaya‘ sedangkan yang berperan
sebagai
produsen
sekaligus
konsumen
budaya adalah masyarakat itu sendiri.
Sebagai makelar budaya, televisi tentu saja
menggunakan hukum pasar dengan hanya
membeli dan menjual kembali produk yang
laku di pasaran.
R EPR ESENT A SI_SIM BOL
KEA GA M A A N DI T EL EV ISI
Sebelum
menjelaskan
simbol
tentang
keagamaan,
re-
oleh substansi materi yang disampaikan
presentasi
televisi melainkan oleh pola konsumsi serta
dahulu penulis perlu memaparkan apa yang
pola interpretasi konsumen. Pada struktur
dimaksud dengan terminologi representasi
masyarakat kapitalis, peran televisi dalam
dalam tulisan ini. Piliang (2010: 21)
masyarakat bisa dilihat dari sisi:
mendefinisikan
representasi
terlebih
sebagai
―tindakan menghadirkan atau mempresen(1). informasi budaya, tentang apa yang
disampaikan kepada masyarakat
tasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di
luar dirinya, biasanya berupa tanda atau
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
133
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
simbol‖. Representasi merupakan sebuah
merupakan sebuah imitasi dari perilaku dan
proses pencitraan tentang sesuatu dimana
oleh
citra
meng-
kebenarannya dan (3) estetika, dimana aspek
gambarkan realitas yang sesungguhnya.
seni merupakan salah satu problem dalam
Melalui politik representasi atau politik
memahami makna film. Sebagai salah satu
pencitraan, oleh karena itu, bisa dikatakan
bentuk dari karya seni, pemaknaan terhadap
bahwa sesuatu hendak digambarkan sesuai
sebuah film bisa memunculkan berbagai
dengan keinginan pembuat citra untuk
wacana yang berbeda, karena kreativitas seni
menimbulkan efek tertentu untuk men-
terkadang memunculkan hal-hal yang di luar
ciptakan ideologi dominan. Sebuah stasiun
imaginasi.
yang
dimunculkan
tidak
televisi bisa saja menyampaikan program
karena
itu
Dalam
perlu
dipertanyakan
pembahasan
mengenai
acara keagamaan yang menggambarkan
representasi Islam dengan menggunakan
sebuah
simbol-simbol
kegiatan
menggunakan
keagamaan
simbol-simbol
dengan
tertentu,
keagamaan
dalam
(sinetron), penulis mengadopsi
film
struktur
padahal sebenarnya fakta keagamaan tidak
perangkat analisis yang dibuat Fiske (1987)
selalu tampak sebagaimana yang dihadirkan
yang melibatkan tiga level pemaknaan dalam
dalam program tersebut. Menurut Hall
memahami kode-kode televisi. Struktur
(2011: 218) hal ini merupakan salah satu
Fiske
efek teknis dalam peristiwa representasi
penelitian ini karena perangkat semiotik yang
karena
disampaikan
ditawarkannya bisa menjawab persoalan-
melalui televisi merupakan tanda yang
persoalan dalam penelitian ini, mulai dari
berifat kompleks yang merupakan tanda
persoalan
visual dan tanda auditif.
televisi. Fiske mengajukan argumen bahwa
tanda-tanda
Sedangkan
yang
Ehrat
(2005:
4-5)
sebuah
menjadi
faktor
representasi
kejadian
penting
hingga
atau
dalam
ideologi
realitas
yang
menjelaskan bahwa dalam sebuah program
ditayangkan di televisi sebelumnya telah
televisi yang berbentuk sinetron atau film,
melalui proses encoding sesuai dengan kode-
representasi tentang sesuatu bisa dilihat dari
kode
adanya hubungan saling keterkaitan yang
diberlakukan oleh televisi. Dalam hal ini
terdapat pada tiga area permasalahan yaitu:
kode dimaknai oleh Fiske sebagai se-
(1) wilayah meaning atau makna, yang bisa
perangkat aturan dari sistem tanda yang telah
dilihat dari kode-kode yang digunakan dalam
disepakati dalam sebuah komunitas tertentu
film,
(2) narasi yang berkaitan dengan
yang digunakan untuk menyebarkan makna.
waktu, dimana narasi dalam film hanya
Secara semiotis, melalui politik representasi
134
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
sosial
sebagaimana
kode
yang
Siti Solik hati
televisi menciptakan makna di tengah
merepresentasikan
sebuah
berbagai kalangan masyarakat dengan cara
merupakan
kesengajaan
menghadirkan sesuatu untuk memenuhi
menciptakan citra tertentu. Dalam hal ini
kepentingan dominan di masyarakat, serta
Fiske (1987: 21) menjelaskan bahwa televisi
menyebarkan
adalah media yang realistik karena ia mampu
makna
tersebut
kepada
pemirsanya.
untuk
menumbuhkan keyakinan sosial di kalangan
Selanjutnya Fiske (1987: 4) membuat
struktur
sebuah
realitas
pemaknaan
tentang kode-kode
televisi sebagai berikut:
pemirsa tentang hal-hal yang bersifat riil.
Fiske menyebut hal itu sebagai realism yang
difahami sebagai bentuk narasi tertentu,
meskipun narasi itu beruwjud gambar dan
Level 1
lukisan.
R ealitas
Penampilan, busana, make-up, perilaku,
pembicaraan (kata-kata) gestur, ekspresi,
suara
(Yang
di-encode
secara
Selanjutnya Fiske mengatakan
bahwa ―realism is not a matter of any fidelity
to an empirical reality, but of the discursive
convention by which and on which a sense of
reality is constructed‖ (Fiske, 1987: 23).
elektronik
menggunakan kode teknis tertentu dalam
wujud)
Melihat pada konstruksi realitas yang
disebutkan Fiske ini, maka dapat dikatakan
bahwa
Level 2
program-program
fiksi
yang
ditawarkan televisipun pada hakekatnya
R epresentasi
merupakan hal yang bersifat realistik.
Kamera, lighting, editing, musik, suara
Kemampuan televisi dalam menghadirkan
(Yang membentuk representasi seperti
realitas yang dapat diterima khalayak sesuai
naratif, konflik, tindakan, karakter, dialog,
dengan kode-kode sosial yang berlaku secara
setting, casting)
tidak langsung telah menjadikan televisi
Level 3
sebagai
Ideologi
media
yang
strategis
untuk
menyebarkan berbagai jenis informasi.
Individualisme, patriarki, ras, kelas sosial,
Posisi strategis televisi sebagai agen
materialisme, kapitalisme
transformasi budaya menjadikannya sebagai
(Yang disusun ke dalam penerimaan
salah satu media yang dipilih umat Islam
sosial yang koheren oleh kode-kode
untuk proses penyebaran ajaran agama.
ideologis).
Sejalan dengan berkembangnya tuntutan
Dalam kajian terhadap film (sinetron),
komunitas umat Islam akan perlunya media
penggunaan simbol-simbol tertentu dalam
guna mengembangkan ajaran agama, maka
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
135
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
ini
presumably,
dihindarkan. Konsekuensi dari perlunya
mengindikasikan bahwa representasi agama
televisi
dengan
dalam
kegiatan
pengembangan
television‖.
Hal
televisi merupakan alernatif yang sulit untuk
menggunakan
simbol-simbol
ajaran Islam ini adalah bahwa kegiatan
keagamaan dalam tayangan televisi bukan
keagamaan yang bersifat privat dan sakral
pekerjaan yang sederhana, karena simbol-
secara tak terhindarkan lagi harus memasuki
simbol tersebut tidak semata-mata digunakan
wilayah publik dan profan. Dalam pengantar
untuk menyam-paikan pesan keagamaan
buku Media dan Citra Muslim, Ibrahim
semata, namun juga untuk kepentingan sosial
(2005) menekankan bahwa ekspresi sikap
serta media itu sendiri.
keberagamaan umat Islam di Indonesia pada
Ketika simbol keagamaan direpresen-
masa kini telah benar-benar menemukan
tasikan dalam bentuk pesan di media televisi,
aktualisasinya dalam ruang publik melalui
maka ia memberi kesempatan kepada siapa
media massa. Namun demikian semua
saja
ekspresi simbol-simbol keagamaan yang
pemaknaan. Proses penafsiran ini tentu saja
ditransformasikan
massa
berbeda-beda antara satu orang dengan yang
lagi
lainnya, sebagai akibat dari perbedaan
merupakan representasi bentuk murni dari
kerangka acuan dan sistem kepercayaan.
simbol-simbol doktriner agama melainkan
Disamping itu, proses penafsiran terhadap
lebih merupakan hasil konstruksi sosial yang
pesan-pesan keagamaan juga dipengaruhi
bertarung dalam praktik kinerja media. Hal
oleh bagaimana proses pesan yang bersifat
ini bisa difahami karena penghadiran simbol-
simbolik itu diproduksi. Proses penafsiran
simbol keagamaan dalam tayangan televisi
simbol-simbol keagamaan yang dilakukan
tidak bisa dibatasi hanya pada wilayah yang
melalui beberapa tahap, sebagaimana telah
bersifat sakral saja.
dijelaskan pada bagian sebelumnya, meng-
tersebut
pada
lewat
dasarnya
media
bukan
Pemahaman ini sesuai dengan hasil
untuk melakukan penafsiran dan
akibatkan
wacana
penafsiran
simbol
penelitian Maguire dan kawan-kawan (2013)
keagamaan sebagai bentuk pesan media
mengenai sekularisasi agama dan televisi
menjadi semakin kompleks, karena proses
komersial yang dilakukan terhadap tayangan
yang dilaluinya memungkinkan terjadinya
televisi di Amerika. Dalam hasil penelitian
bias. Perubahan wacana serta perubahan
ini disebutkan bahwa ―religious symbolism is
bentuk
not restricted to a special sacred sphere, but
semakin beragam sebagai akibat campur
can be found in any number of social
tangan
contexts and social mediums -- including,
penyebaran
136
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
simbol-simbol
media
keagamaan
massa
pesan-pesan
dalam
ini
proses
keagamaan.
Siti Solik hati
Akibatnya,
simbol-simbol
keagamaan
tercampur aduk dengan produk budaya
populer media massa yang menggunakan
logika keseragaman, sehingga memunculkan
simbol keagamaan yang bersifat kultural dan
nyaris seragam. Oleh Irianto (dalam Ibrahim,
2005: 520), penggambaran tentang agama
(Islam) di media massa (khususnya televisi)
pada hakekatnya tidak merefleksikan ajaran
yang
sesungguhnya,
mengutamakan
karena
tampilan
menggunakan
ia
fisik
simbol-simbol
lebih
dengan
yang
mendekati citra Islam.
Kehidupan keberagamaan seseorang
sesungguhnya
tidak
hanya
diwujudkan
dalam bentuk penggunaan simbol dan atribut
kegamaan, tetapi juga dalam bentuk sikap
dan perilaku religius. Oleh karena itu untuk
menggambarkan Islam secara kontekstual,
Islam serta atribut keagamaan yang
digunakan oleh umat Islam.
Pembedaan
ini
didasarkan
pada
pendapat Cassirer mengenai bentuk-bentuk
simbol keagamaan yang meliputi perasaan
keagamaan
serta
doktrin
keagamaan
sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Konstruksi simbol-simbol keagamaan
(Islam) yang dihadirkan televisi menjadi
semakin
rumit
karena
media
tersebut
menggunakan parameternya sendiri, yang
tidak selamanya bisa berjalan seimbang
dengan parameter Islam. Mengenai deskripsi
kerumitan proses produksi pesan komunikasi
melalui media ini, Morley (dalam Storey,
2007: 17) menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga hal yang perlu dicermati, yaitu:
1. Produksi
pesan
merupakan
perlu dilakukan kajian yang teliti mengenai
pekerjaan yang problematik, karena
penggunaan
keagamaan
satu peristiwa bisa di-encode dengan
tersebut. Dalam konteks penelitian ini,
cara yang berbeda oleh pembuat
simbol-simbol keagamaan (Islam) dibedakan
pesan, sehingga ketika sampai pada
menjadi dua kelompok yaitu:
decoder,
simbol-simbol
(1) simbol secara normatif yang dibatasi
pada keberadaan ayat al Qur'an serta
hadits nabi yang merupakan simbol
dari doktrin keagamaan
pesan
tersebut
bisa
menghasilkan makna yang berbeda
2. Pesan komunikasi yang dibuat oleh
media bersifat teks terbuka yang
memungkinkan
untuk
dimaknai
secara berbeda oleh penerima pesan
(2) simbol secara kultural akibat pola
3. Peristiwa
decoding
merupakan
tafsir dan konstruksi sosial yang berupa
proses yang problematik karena satu
sikap dan perilaku beragama pemeluk
pesan bisa dimaknai dengan cara
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
137
Simbol Keagamaan Dalam Islam … hal.121-146
yang berbeda oleh orang yang
berbicara atau mengandung makna ketika
berbeda
pesan tersebut dilihat dari tiga sisi, yaitu:
Teori sosial yang berkembang tentang
(a) context (konteks sosial, atau dalam
paradigma konstruksi sosial di media ini
kaitan apa serta kapan dan di mana
diawali oleh sebuah asumsi bahwa pada
pesan tersebut digunakan), artinya
hakekatnya manusia itu dianggap sebagai
sebuah pesan bisa saja memiliki
aktor yang kreatif (Bungin, 2001: 5).
makna atau dimaknai secara berbeda
Kreativitas manusia ini diwujudkan dengan
apabila pesan tersebut digunakan
berbagai kemampuan yang dimilikinya
dalam konteks sosial yang berbeda
untuk membuat konstruk atas realitas sosial
yang ada, yang kebenarannya bersifat relatif.
Sedangkan relativitas dari realitas sosial ini
dibentuk oleh adanya konvensi-konvensi
atau
kesepakatan
yang
berlaku
pada
masyarakat setempat, serta tergantung pada
waktu dan tempat realitas sosial tersebut
diberlakukan. Oleh karena itu realitas sosial
juga bisa dikatakan sebagai hasil atau produk
(b) contact (hubungan antara pengirim
dan penerima pesan), artinya sebuah
pesan juga bisa dimaknai secara
berbeda tergantung pada intensitas
hubungan
jarak
psikologis
(psychological gap) antara pengirim
dan penerima pesan
(c) code (simbol yang digunakan), artinya
bahasa
dari sebuah konstruksi sosial.
serta
pesan
atau
tanda
(ikon,
Paradigma komunikasi yang mem-
simbol) baik itu verbal ataupun non
berikan kontribusi cukup besar dalam kajian
verbal juga berpengaruh terhadap
penggunaan simbol di media massa adalah
proses pemaknaan sebuah pesan.
konsep
linguistik
yang
disumbangkan
Jacobson (dalam Fiske, 1987 b: 47). Dalam
paradigma
ini
Jacobson
paradigma
komunikasi
menengahi
linear
yang
dikembangkan Shannon dan Weaver yang
berseberangan
dengan
paradigma
komunikasi triangular yang dikembangkan
Newcomb pada pertengahan abad ke 20.
Perspektif linguistik Jacobson mengatakan
bahwa sebuah pesan (teks) baru akan bisa
138
Salah satu bentuk simbol keagamaan
yang sudah mengalami proses konstruksi
yang dihadirkan televisi adalah sinetron
religi.
Terminologi
―sinetron‖
pada
umumnya dipahami sebagai kependekan
istilah
dari
sinema
elektronik
yang
merupakan cerita bersambung yang secara
khusus ditayangkan di televisi. Sinetron pada
dasarnya merupakan duplikasi opera sabun
yang ditayangkan oleh
Islamic Comunication Journal
Volume 02, Nomor 02, Juli-Desember 2017
televisi
asing,
Siti Solik hati
sedangkan istilah sinetron secara khusus
citra tertentu, karena agama adalah salah satu
diberlakukan di Indonesia sebagaimana
wilayah kultural. Dalam setiap realitas ajaran
ungkapan Arimbi ―Sinetron is an Indonesian
keagamaan selalu terdapat ikon, simbol, dan
term for soap opera in television. It is an
sistem
acronym for cinema electronic‖ (Arimbi,
strukturnya.
2009: 202). Sedangkan menurut Endah
keagamaan yang dihadirkan ke hadapan
(2008) sinetron merupakan kepanjangan dari
pemirsa televisi sudah berwujud ‗realitas
sinema elektronik yang berarti sebuah karya
bentukan‘ atau realitas citraan karena realitas
cipta seni budaya, dan media komunikasi
tersebut telah mengalami konstruksi serta
pandang dengar yang dibuat berdasarkan
modifikasi
sinematografi dengan direkam pada pita
Upaya untuk melihat bagaimana simbol-
video
lalu
simbol keagamaan dihadirkan dalam bentuk
ditayangkan melalui stasiun televisi. Istilah
hiburan di televisi setidaknya bisa membantu
sinetron ini pertama kali di Indonesia
menemukan tiga hal:
melalui
proses
elektronik
dipopulerkan Arswendo Atmowiloto.
menggunakan
yang
Pada
melalui
perlu
sisi
lain,
politik
untuk
melihat
sinetron, maka diperlukan sebuah studi kritis
representasi
dari
yang menurut Burton (2007: 37) bisa
tersebut
dilakukan dengan menggunakan beberapa
keagamaan, dan
ideologi, konsep komodifikasi, representasi,
dan modus penyampaian pesan. Oleh karena
representasi
agama
sudah
representasi.
merupakan realitas media,
simbol keagamaan dalam bentuk tayangan
konsep kunci, yaitu dengan melihat pada
realitas
berupa ajaran keagamaan yang
simbol-
televisi yang bernuansa hiburan sebagaimana
dipahami
untuk menemukan inti pesan
(a)
Untuk memahami bagaimana Islam
direpresentasikan
tanda
(b)
dalam
bagaimana
wujud
bentuk
pesan
simbol
(c) untuk menemukan ideologi yang
tersembunyi di balik penggunaan
simbol-simbol keagamaan.
dijadikan
komoditas dagangan oleh piha