PENGARUH TINGGI FIRE WALL TERHADAP DIST

“PENGARUH TINGGI FIRE WALL TERHADAP DISTRIBUSI SUHU DAN
EFISIENSI PEMBAKARAN DALAM DOUBLE INLET DOWNDRAFT FURNACE”
1. LATAR BELAKANG

Gerabah merupakan perkakas yang terbuat dari lempung atau tanah liat.
Industri

gerabah telah menjadi mata pencarian penting bagi warga Kasongan,

Yogyakarta. Gerabah Kasongan telah dipasarkan secara domestik maupun
internasional. Setiap bulannya gerabah dari Kasongan dapat diekspor rata-rata
mencapai 80 kontainer.
Sampai saat ini untuk mengeringkan gerabah dilakukan dengan sistem
pembakaran furnace tradisional dan menggunakan bahan bakar berupa kayu bakar.
Furnace yang digunakan di Kasongan masih merupakan furnace dengan satu inlet.
Dengan digunakannya furnace dengan satu inlet ini disinyalir distribusi suhu pada
furnace tidak merata. Akibat yang ditimbulkan dari tidak meratanya suhu dalam
furnace ini adalah menurunnya kualitas gerabah yang dihasilkan. Oleh karena itu,
dibuatlah furnace dengan dua buah inlet. untuk membuat distribusi suhu furnace lebih
merata.
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas gerabah yang dihasilkan adalah

seberapa baik proses pemanasan berlangsung. Proses pemanasan ini dipengaruhi oleh
proses mixing antara udara dan gas panas hasil pembakaran. Proses mixing ini sangat
dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk baffle pada furnace. Pada furnace ini yang
berperan sebagai baffle adalah fire wall. Jadi seberapa baik proses mixing tergatung
dari ukuran fire wall.
Pada penelitian kali ini dilakukan variasi ukuran (tinggi) fire wall. Dari
memvariasikan tinggi fire wall ini, heat loss pada setiap ketinggian fire wall dihitung.
Dari variasi tinggi fire wall dan perhitungan heat loss nanti akan didapatkan tinggi fire
wall yang memberikan nilai efisiensi pembakaran maksimum.

Pada penelitian sebelumnya perhitungan heat loss masih banyak mengabaikan
berbagai parameter. Parameter-parameter yang diabaikan tersebut meliputi heat loss
akibat radiasi pada ruang bakar, panas yang terbuang melalui flue gas, dan panas
untuk meghilangkan kandungan air terikat pada gerabah. Yang membedakan
penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya adalah parameter-parameter tadi
tidak diabaikan dalam perhitungan heat loss total.
Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan proses pembakaran gerabah di
Kasongan menjadi lebih efisien. Dengan meningkatnya efisiensi pembakaran,
diharapkan kualitas gerabah Kasongan dan pendapatn warga juga turut meningkat.


2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini antar lain:
1. Mengetahui tinggi fire wall yang memberikan efisiensi pembakaran maksimum.
2. Mengetahui distribusi suhu (suhu rata-rata) dalam furnace.
3. TINJAUAN PUSTAKA
1. Proses Pembuatan Gerabah
a. Pengambilan tanah liat
Proses pembuatan gerabah diawali dengan pengambilan tanah liat secara langsung
dari dalam tanah. Tanah liat yang berkualitas baik biasanya berwarna putih kecoklatan
atau merah kecoklatan. Tanah liat yang telah diambil ini kemudian dikumpulkan
untuk diproses lebih lanjut.
b. Persiapan tanah liat
Pada proses selanjutnya, tanah liat yang telah dikumpulkan dicampur dengan air
dengan perbandingan tertentu. Tanah liat yang basah ini kemudian didiamkan satu
hingga dua hari agar sifatnya menjadi lebih liat. Agar daya rekat dan sifat liatnya
semakin baik maka tanah liat basah tadi digiling. Proses penggilingan dapat dilakukan

secara mekanis maupun manual. Penggilingan mekanis dilakukan dengan bantuan
mesin giling sedangkan penggilingan secara manual dapat dilakukan dengan cara
menginjak-injak tanah liat tersebut.

c. Proses pembentukan
Setelah proses penggilingan maka tanah liat tadi sudah siap dibentuk sesuai dengan
bentuk yang diinginkan. Jumlah tanah liat yang dibutuhkan tergantung dari desain dan
ukuran gerabah yang akan dibuat. Pada proses pembentukan ini air juga berperan
penting dalam menentukan baik buruknya bentuk gerabah.
d. Penjemuran
Setelah proses pembentukan maka gerabah dikeringkan dengan cara dijemur untuk
menghilangkan kandungan air bebasnya. Sebelum dijemur gerabah tadi dihaluskan
dengan kain basah. Lamanya waktu pengeringan tergantung oleh cuaca.
e. Pembakaran
Setelah gerabah selesai dijemur, kemudian gerabah dibakar pada suatu furnace untuk
menghilangkan kandungan air terikat dan kandungan ait tidak terikat. Proses ini
dilakukan agar kekuatan gerabah meningkat. Bahan bakar yang digunakan dapat
berupa kayu, jerami, maupun tempurung kelapa.
f. Penyempurnaan (finishing)
Pada tahap ini gerabah dapat dicat atau diplitur untuk menambah nilai jualnya.
2. Proses Pembakaran Gerabah dalam Furnace
Selama ini pembakaran gerabah di Kasongan dilakukan di dalam downdraft furnace
dengan satu inlet di salah satu sisinya. Dengan sistem downdraft furnace ini distribusi
suhu di dalam furnace lebih merata dibandingkan tungku tradisional. Akan tetapi

untuk memperbaiki distribusi suhu dalam furnace didesainlah downdraft furnace
dengan dua buah inlet pada kedua sisi furnace. Usaha untuk memperbaiki distribusi
suhu dalam furnace ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas gerabah yang
dihasilkan.

Pada saat pembakaran berlangsung udara panas akan berkurang massa jenisnya dan
bergerak ke atas. Ketika terjadi pergerakan ini terjadi pula proses mixing antara udara
dan gas panas hasil pembakaran melewati fire wall. Campuran gas panas ini kemudian
menumbuk langit-langit dari furnace yang memiliki sisi lengkung. Hal ini
menyebabkan arah aliran gas panas membalik ke bawah. Arah aliran gas panas ke
bawah inilah yang memanaskan gerabah. Kemudian gas panas sisa pembakaran
mengalir melalui suatu lubang di dasar furnace yang mengarah ke sebuah chimney.
Lalu gas yang terbuang melalui chimney ini dirilis ke lingkungan. Suhu pembakaran
sebesar 11000C akan memberikan kualitas paling baik untuk Gerabah Kasongan.
Akan tetapi untuk suhu pembakaran di atas 11000C akan menurunkan kualitas gerabah
yang dihasilkan (Wagini, 2000). Proses pemanasan pada furnace sangat dipengaruhi
oleh seberapa baik proses mixing terjadi. Proses mixing ini tergantung dengan tinggi
fire wall dalam furnace.
3. Heat loss
Idealnya kandungan panas yang dimiliki oleh bahan bakar digunakan seluruhnya

dalam pembakaran gerabah. Pada kenyataannya Kandungan panas tersebut tidak dapat
terkonversi menjadi panas pembakaran karena adanya batasan termodinamika. Panas
tersebut dapat terbuang melalui berbagai cara, yaitu:
a. Terbuang bersama flue gas
Gas buangan hasil pembakaran masih memiliki nilai kalor sebesar:
Qfg=F.Cpfg.(Tflue gas-Tlingkungan)
dengan, Qfg = panas yang terbuang bersama gas buangan hasil pembakaran, watt
F = mass flow rate gas buangan hasil pembakaran, kg/s
Cpfg = kalor jenis gas buangan hasil pembakaran, joule/( kg0C)
Tflue gas = suhu gas buangan hasil pembakaran, 0C
Tlingkungan = suhu lingkungan, 0C.

(1)

b. Perpindahan panas ke lingkungan secara konveksi melalui dinding luar furnace.
c. Perpindahan panas secara radiasi.
d. Panas untuk menghilangkan kandungan air terikat.
Dari perhitungan heat loss ini akan didapatkan informasi mengenai efisiensi
pembakaran dalam furnace tersebut.
4. Hal-hal yang mempengaruhi efisiensi pembakaran furnace.

Berikut ini adalah hal-hal yang mempengaruhi nilai efisiensi pembakaran dalam
furnace:
a. Ketinggian fire wall
Semakin tinggi fire wall maka proses mixing akan berjalan lebih baik sehingga lebih
banyak panas yang termanfaatkan untuk pemanasan gerabah.
b. Rasio air inlet terhadap bahan bakar
Untuk jumlah bahan bakar tertentu, semakin tinggi air inlet maka efisiensi
pembakaran akan naik, namun pada jumlah air inlet tertentu efisiensi pembakaran
akan turun karena panas yang dihasilkan oleh bahan bakar digunakan oleh udara sisa
untuk menaikkan suhunya sendiri.
c. Jenis bahan bakar
Untuk karakteristik bahan bakar tertentu ( misal kandungan airnya) maka nilai heating
value-nya juga akan berbeda sehingga efisiensi pembakarannya juga berbeda.

4. LANDASAN TEORI
a. Teori Drying
Secara umum drying dapat didefinisikan sebagai pengurangan kandungan air dari
suatu bahan (Treybal, 1981).

Gambar 1. Berbagai Jenis Kandungan Air

Kandungan air, basis basah. Kandungan air yang dideskripsikan sebgai persen berat
air terhadap basis bahan basah, (kg air/kg bahan basah)100 = [kg air/(kg bahan kering
+ kg air)]100 = 100X/(1+X).
Kandungan air, basis kering. Kandungan air ini dinyatakan sebagai kg air/kg bahan
kering = X. Persentase kandungan air, basis kering = 100X
Kandungan air kesetimbangan X*. Kandungan air ini adalah kandungan air saat
setimbang dengan tekanan parsial di udara.
Kandungan air terikat. Kandungan air terikat adalah kandungan air pada bahan
dimana kandungan airnya kurang dari kesetimbangan tekanan uap dari larutan murni
pada temperatur yang sama.
Kandungan air tidak terikat. Kandungan air yang tidak terikat adalah kandungan air
yang dikandung dalam bahan dimana jumlah kandungan airnya sama dengan
kesetimbangan tekanan uap larutan murni pada suhu yang sama.
kandungan air bebas. Kandungan air bebas adalah kandungan air berlebih dari
kandungan air kesetimbangan: X-X*. Hanya kandungan air ini yang dapat diuapkan,
dan nilainya tergantung dengan konsentrasi uap dalam udara (Treybal 1981).

Cairan di dalam pori padatan dapat berupa air terikat maupun air tidak terikat. Air
tidak terikat berperilaku seperti air bebas dan tidak teradsorp oleh pori padatan. Untuk
dapat diuapkan, air yang teradsorp memerlukan penambahan panas (Kalali, 2011).

Terdapat tiga jenis utama air terikat. Air dapat berada di pori yang kecil, hal ini
menyebabkan evaporasi lebih sulit dilakukan karena adanya pori dapat mengurangi
tekanan uapnya. Kandungan air ini juga dapat terjerap di permukaan padatan, dan
membutuhkan kira-kira 1-10kJ/mol untuk menguapkannya. Yang terakhir adalah air
yang terikat akibat ikatan kimia. Kandungan air ini membutuhkan panas lebih dari
10kJ/mol untuk menuapkannya.
Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dihilangkan dengan drying biasa. Hanya
pada kisaran suhu 400-6000C kandungan air ini dapat dihilangkan. Tahap pembakaran
adalah prosedur yang kritis bagi gerabah karena keretakan gerabah lebih sering terjadi
pada thap ini. Kisaran suhu yang cukup untuk pembakaran adalah 900-1400 0C. Pada
9000C berbagai reaksi kimia terjadi yang akan meningkatkan kualitas gerabah dan
menigkatkan densitasnya. Pada 9800C gerabah akan mengalami dekomposisi menjadi
alumina dan silica amorf dan pada suhu sekitar 11000C mullite akan terbentuk. Pada
industri gerabah tradisional suhu 9000C adalah suhu yang sesuai. Pada suhu ini
gerabah akan menjadi kuat dan padat ketika proses pendinginan gerabah dimulai
(Kalali, 2011).

Gambar 2. Struktur Lempung Kaolinite
Salah satu sifat yang paling penting dari tanah liat adalah sifatnya yang palstis.
Sifatnya yang plastis membuat bahan mudah dibentuk ketika diproses, namun

sekalinya bahan telah dibentuk menjadi bentuk yang kita inginkan, bahan tidak mudah
untuk berubah kembali ke bentuk aslinya. Sifat ini didapatkan tanah liat dari salah
satu kandungan mineral di dalam tanah liat. Salah satu kandungan mineral yang
paling penting di dalam tanah liat adalah kaolinite yang mempunyai rumus molekul
Al2(Si2O5)(OH)4 dan diturunkan dari pemecahan mineral fieldspar atau mineral lain
yang mirip dan terbentuk pada temperatur yang tinggi.
Struktur dari kaolinite terdiri dari dua lembar lapisan silikat dimana

(Si2O5)2-

mempunyai bentuk geometri tetrahedral. Adanya ion-ion ini membuat kaolinite
bermuatan netral dengan adanya tambahan lapisan Al2(OH)42- seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2. Bagaimanapun, bentuk strukturnya jarang sekali
sesempurna ini dan kekacauan dari struktur itu sendiri juga mengubah sifat dari
kaolinite. Salah satu kelompok dari tanah liat kaolinite ini merupakan mineral
halloysite yang mempunyai jumlah berat molekul yang sama dengan tanah liat
kaolinite ideal tetapi secara struktur bentuknya berbeda. Molekul-molekul air berada
diantara lapisan-lapisan pada mineral-mineral halloysite, dan hal ini membuat mineral

terhidrasi. Rumus molekul untuk mineral halloysite dapat dituliskan sebagai berikut,

Al2(OH4)Si2O52H2O (Nilenius, 2011).

Gambar 3. Kondisi Laju Pengeringan
Pada tahap awal pengeringan terjadi penyesuaian kondisi bahan (suhu) dengan kondisi
media pengering. Garis A-B terjadi apabila suhu bahannya berada di atas suhu bola
basah dari media pengering sedangkan garis A’-B terjadi apabila suhu bahan berada di
bawah suhu bola basah media pengering. Pada garis B-C terjadi tahap laju
pengeringan tetap. Pada tahap ini permukaan bahan terbasahi terus oleh cairan karena
proses difusi cairan dianggap cukup cepat. Pada garis C-D terjadi tahap laju
pengeringan turun linier. Pada tahap ini yang menjadi pengontrol lajunya adalah
proses difusi cairan ke permukaan bahan. Garis D-E menunjukkan bahwa terjadi
proses pengeringan dengan laju menurun yang tidak beraturan. Proses ini terjadi
karena dalam padatan sudah terbentuk daerah daerah dalam padatan yang sudah
kering.
Pada proses pengeringan tidak semua nilai kalor bahan bakar digunakan secara
sepurna. Selalu akan ada panas yang hilang karena batasan termodinamik.

Perhitungan panas yang hilang ini diperlukan untuk mengetahui efisiensi pembakaran
di dalam furnace. Secara umum efisiensi pembakaran dinyatakan sebagai berikut:
η=


Q fuel −Q los s
x 100%
Q fuel

(2)

Kayu bakar memiliki kandungan air sebesar 11% dan memiliki nilai kalor sebesar
3900 kcal/kg (Sudiyo dkk., 2010).
Panas bahan bakar teoritis dihitung dengan cara mengalikan heating value bahan
bakar dengan jumlah total bahan bakar yang digunakan. Panas yang hilang dapat
melalui beberapa cara, yaitu:
a. Panas terbuang bersama flue gas
Gas buangan hasil pembakaran masih memiliki nilai kalor sebesar:
Qfg=F.Cpfg.(Tflue gas-Tlingkungan)

(3)

dengan, Qfg = panas yang terbuang bersama gas buangan hasil pembakaran, watt
F = mass flow rate gas buangan hasil pembakaran, kg/s
Cpfg = kalor jenis gas buangan hasil pembakaran, joule/( kg0C)
Tflue gas = suhu gas buangan hasil pembakaran, 0C
Tlingkungan = suhu lingkungan, 0C.
b. Panas yang terbuang secara konveksi dari dinding luar furnace
Qconv = h.A.(Tdinding- Tlingkungan)
dengan, Qconv = panas yang hilang akibat konveksi, watt
h = koefisien transfer panas konveksi, watt/m2.0C.
A = luas permukaan luar furnace, m2.
Tdinding = suhu permukaan luar furnace, 0C.
c. Panas yang hilang secara konduksi
Secara umum persamaan untuk konduksi dapat dinyatakan sebagai berikut:

(4)

Qk = k.A.dT/dx

(5)

dengan, Qk = panas yang hilang secara konduksi, watt.
k = konduktivitas termal bahan, watt/m.0C.
A = luas permukaan furnace, m2.
dT = perbedaan suhu, 0C.
dx = tebal furnace, m.
d. Panas untuk menghilangkan kandungan air terikat secara kimia
Al2(OH4)Si2O5.2H2O + Qb  Al2(OH4)Si2O5 + 2H2O

(6)

dengan, Qb = panas untuk menghilangkan kandungan air terikat, joule.
Panas yang hilang dapat dicari sebagai berikut:
Qloss = Qfg + Qconv + Qb + Qk

(7)

Dari perhitungan Qloss dan Qfuel maka dapat diperoleh nilai efisiensi pembakaran.
Salah satu hal yang mempengaruhi nilai efisiensi pembakaran adalah proses mixing.
Semakin tinggi fire wall maka semakin turbulen aliran yang terjadi. Hal ini
berimplikasi pada seberapa baik proses mixing. Hal ini akan memperbesar efisiensi
pembakaran.
Apabila ketinggian fire wall mendekati tinggi langit-langit furnace maka proses
pembalikan aliran gas panas tidak akan berlangsung baik. Hal ini menyebabkan
gerabah di dalam furnace tidak terpanasi secara sempurna. Hal ini malah akan
menurunkan efisiensi pembakaran.

5. HIPOTESIS
Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini dapat
dimunculkan hipotesis yaitu, semakin tinggi fire wall maka efisiensi pembakaran akan
semakin besar, namun pada ketinggian fire wall tertentu nilai efisiensi pembakaran
akan turun.
6. CARA PENELITIAN
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bata tahan api
b. Gerabah
c. Kayu bakar
d. Karet
e. Bensin
2. Rangkaian alat

3. Cara kerja
Pengambilan data penelitian dimulai dengan ditimbangnya gerabah yang akan
dikeringkan di dalam furnace. Kemudian massanya dicatat. Kemudian gerabah
tadi dimasukkan ke dalam furnace, lalu furnace ditutup dan termokopel dipasang
pada titik A dan B yang tertera pada rangkaian alat percobaan.
Langkah selanjutnya adalah fire wall dengan ketinggian 0,5 m
dipasang kemudian bahan bakar berupa kayu bakar dengan jumlah 70 kg, karet
dengan jumlah 3 kg, dan bensin dengan jumlah 8 liter disiapkan pada kedua inlet.
Pemberian bensin dan karet ini hanya dilakukan pada pembakaran awal.
Langkah berikutnya adalah melakukan pembakaran terhadap bahan
bakar. Pada penelitian kali ini suplai udara sebagai oksidator hanya disebabkan
oleh konveksi bebas. Kemudian suhu yang tertera pada termokopel 1 dan 2
dicatat dalam selang waktu 30 menit sejak pembakaran dimulai. Pencatatan suhu
ini dilakukan selama 8 jam hingga diperoleh 16 data suhu pada waktu yang
berbeda.
Setelah pembakaran selesai (8 jam), dinding pada furnace dibongkar
kemudian dilakukan pendinginan. Apabila furnace dan gerabah yang terdapat di
dalamnya telah dingin, berat gerabah ditimbang kemudian beratnya dicatat. Lalu
langkah penelitian dilakukan kembali untuk variasi tinggi fire wall 1 m, dan 1,5
m.

4. Analisis data
a. Menghitung distribusi suhu dalam furnace
Suhu yang terhitung dalam penelitian ini adalah suhu rata-rata.
16

Trata-rata

Ti
=∑
i=1

(8)

16

b. Menghitung panas yang hilang akibat konveksi
Qconv = h.A.(Tdinding- Tlingkungan)

(9)

dengan, Qconv = panas yang hilang akibat konveksi, watt
h = koefisien transfer panas konveksi, watt/m2.0C
A = luas permukaan luar furnace, m2
Tdinding = suhu permukaan luar furnace, 0C
c. Menghitung panas yang hilang bersama dengan flue gas
Qfg=F.Cpfg.(Tflue gas-Tlingkungan)

(10)

dengan, Qfg = panas yang terbuang bersama gas buangan hasil pembakaran, watt
F = mass flow rate gas buangan hasil pembakaran, kg/s
Cpfg = kalor jenis gas buangan hasil pembakaran, joule/( kg0C)
Tflue gas = suhu gas buangan hasil pembakaran, 0C
Tlingkungan = suhu lingkungan, 0C.
d. Panas yang hilang secara konduksi
Qk = k.A.(Trata-rata – Tdinding)/ Δx
dengan, Qk = panas yang hilang secara konduksi, watt.
k = konduktivitas termal bahan, watt/m.0C.

(11)

A = luas permukaan furnace, m2.
Trata-rata = suhu rata-rata di dalam furnace, 0C.
Tdinding = suhu permukaan luar dinding furnace, 0C.
Δx = tebal furnace, m.
e. Menghitung panas untuk menguapkan air terikat secara kimia
Al2(OH4)Si2O5.2H2O + Qb  Al2(OH4)Si2O5 + 2H2O

(12)

Qb = energi ikatan[Al2(OH4)Si2O5.2H2O]-energi ikatan[Al2(OH4)Si2O5]-energi
ikatan[2H2O]

(13)

f. Menghitung panas yang hilang
Qloss = (Qfg + Qconv + Qk )x t + Qb

(14)

dengan, t = lamanya pembakaran, jam.
g. Menghitung panas pembakaran teotis
Qfuel = LHVkayu x M

(15)

dengan, LHVkayu = low heating value kayu, joule/kg.
M = massa kayu bakar yang digunakan, kg.
h. Menghitung efisiensi pembakaran
Q −Q loss
η = fuel
x 100%
Q fuel

(16)

7. JADWAL PENELITIAN

Bulan
Kegiatan Penelitian
1
Persiapan Bahan Baku

V

Analisis Bahan Baku

V

Percobaan Pendahuluan

V

Pelaksanaan

Penelitian

Laboratorium
Analisis Data Penelitian
Penyusunan Laporan Penelitian

di

2

3

4

V

V

V

V

5

V
V

V

V

8. DAFTAR PUSTAKA
Geankoplis, C. J., 1993, “Transport Processes and Unit Operations”, Prentice Hall, Inc., New
Jersey.
Holman, J. P., 2010, ”Heat Transfer”, McGraw-Hill companies, Inc., New York.
Kalali, A.,2010,”CDF simulation of Flue Gas Flow in Traditional Pottery Furnace”,
Göteborg : Department of Chemical and biological engineering, Division of Chemical
Reaction Engineering, CHALMERS UNIVERSITY OF TECHNOLOGY.
Nilenius, K., 2011, “CFD Simulation of Flue Gas Flow in Traditional Indonesian Pottery
Furnace”. Göteborg, Sweden : Department of Chemical and biological engineering,
Division of Chemical Reaction Engineering, CHALMERS UNIVERSITY OF
TECHNOLOGY.

Schotte,C., 2010,”CFD Simulation of Flue Gas Flow in Traditional Kasongan Pottery
Furnace”, Göteborg : Department of Chemical and biological engineering, Division
of

Chemical

Reaction

Engineering,

CHALMERS

UNIVERSITY

OF

TECHNOLOGY.
Sudiyo, R., Ikhsanudin, Wasono, M. S., and Nilenius, K., 2010, “The Use of Coconut Shell
Charcoal Briquette as Alternative fuel for Firing Clay Pottery in Downdraft Kiln”,
Departemen of Chemical Engineering Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Treybal, R. E., 1981, “ MASS-TRANSFER OPERATIONS”, McGraw-Hill, Co., Singapore.
Wagini, S., “PENGARUH SUHU PEMBAKARAN DAN PENCAMPURAN DENGAN
BATU APUNG TERHADAP KUALITAS PRODUK GERABAH KASONGAN”,
Lembaga Penelitian UGM.