makalah FILSAFAT DAN P ERENNIALISME.pdf

FILSAFAT PERENNIALISME
PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR
Makalah:
Disusun untuk melengkapi tugas matakuliah
Filsafat Perennial

Oleh

:

Muhammad Ali Faiz

: E97216023

Nailah Zubdiyyatil Fakhiroh

: E97216024

Nurhalimah

: E97216025


Rana Ekawati

: E97216026

Risky Legi Yahya

: E97216027

Dosen Pengampu;
Suhermanto Ja’far, M.ag

PROGRAM STUDI ILMU TASAWUF
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017

KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan kepada
kita. Tuhan yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih, Maha Penyayang yang tak
pandang sayang. Yang telah memberikan akal dan hati sebagai salah satu
instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas rahmat-Nya, penulis
mampu menyelesaikan tugas makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Perennial. Dan tak lupa shalawat serta salam tetap kita curah, limpahkan
kepada sang revolusioner dunia, pemberi syafa’at kelak di hari kiamat The Leader
of World Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelepan
menuju terang benderang dengan adanya agama Islam.
Penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak. Terutama dosen
pembimbing kami Suhermanto Ja’far M.ag. yang senantiasa membimbing kami
dalam menyelesaikan makalah ini, dan teman-temanku yang selalu memberikan
motivasi. Makalah yang berjudul Filsafat Perennial Perspektif Seyyed Hosein
Nasr ini, masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi susunan bahasa, isi, yang
tak lain penulis masih belajar. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sangat membangun untuk kemajuan penulis kelak di masa depan
terutama dari Dosen Pembimbing.

Surabaya, 31 Mei 2017


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Seyyed Hossein Nasr ....................................................................... 4
B. Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr ........................................................ 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 9
B. Saran .............................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerukunan dan ketentraman dalam kehidupan yang plural ini, amatlah

sangat dibutuhkan. Hidup beriringan, tanpa adanya gejolak pertentangan dan
permusuhan merupakan cita-cita yang diharapkan oleh setiap manusia, baik dari
zaman dahulu hingga sekarang. Keberagaman dan perbedaan dalam hal
mengemukakan pendapat, budaya, dan agama merupakan rahmat bagi setiap
manusia. Dengan keberagaman inilah, manusia dituntut untuk menyadari
kekuasaan Tuhan yang tiada bandingannya. Agar setiap individu tidak
beranggapan, hanya dirinyalah yang paling benar. Termasuk pula dalam hal
keyakinan, yakni antara manusia yang satu dengan yang lainnya memiliki
perbedaan. Dalam hal ini, menuntut peran agama dalam merealisasikannya, agar
tidak mudah mengklaim agama yang lain.
Agama diturunkan ke dunia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia,
termasuk agama Ibrahim, juga mengajarkan hal ini. Di dalam ajaran agama Islam
pun demikian. Nabi Muhammad saw diutus ke dunia dengan membawa misi
menciptakan perdamaian, ketentraman, harmoni, kebahagiaan, dan persaudaraan
antara manusia yang satu dengan yang lainnya.1 Inilah cita-cita yang selalu
didambakan setiap anak manusia.
Dari dahulu hingga kini, setiap Agama kerap memandang hanya agama
dirinyalah yang paling benar dan menilai agama yang lain salah. Sehingga dalam
agama terkesan tidak ada titik temu, cinta, dan kearifan perennial antar agama
yang satu dengan agama yang lainnya. Bahkan tak jarang agama dijadikan sebagai

instrumen pemuas legitimasi politik.2 Tentu nilai agama sangatlah terlihat
terdistorsi dari ajaran yang sebenarnya. Agama yang sejatinya membawa
perdamaian, malah telihat menakutkan. Begitupula tentang ketuhanan, yang selalu
mendapat garda terdepan dari masa ke masa untuk dipermasalahkan. Bahkan tak
Armia, “Kesatuan Agama-agama dan Kearifan Perennial dalam Perspektif Tasawuf”, dalam
Jurnal Al-Tahrir:Vol. 13, tahun 2013, 128.
2
Ibid..., 129.
1

jarang mengalami pertentangan, permusuhan, dan berakhir dengan penumpahan
darah. Bagi seorang yang beriman, tentu hati nuraninya tergerak untuk tidak
melakukan penumpahan darah antar umat beragama, bukan malah saling
bermusuhan.
Pakar sejarah menegaskan, gejolak munculnya masa renainsance di Barat,
sebagai titik awal manusia menjauhi nilai-nilai illahi. Dengan sains modernnya,
barat membawa dekadensi nilai ilmu pengetahuan dan nilai spiritual dalam
kehidupan sosial. Sehingga masyarakat cenderung dalam kehidupan sekuler dan
mendominasi alam, yang muncul sebagai konsekuensi cara pandang manusia
terhadap alam ini.3


Dalam menanggapi hal ini, madzhab postmodernisme

mengkritik habis, terhadap gejolak pasca renainsance yang dianggapnya gagal
dalam mengkonstruksikan, sehingga kehidupan masyarakat cenderung sekuler,
materialistik, dan hedonistik. Oleh karena itu, lahirnya kembali filsafat perennial
atau filsafat keabadian untuk menjadi solusi terhadap masalah ini. Seorang tokoh
kontemporer Nasr juga tak kalah andil, ikut berpartisipasi dalam menanggapi hal
ini. Nasr melihat realitas yang

terjadi, ternilai jauh dari horizon spiritual.4

Manusia modern dinilai lebih memperhatikan kehidupan eksternel dan bukan
pada hakikat yang sebenarnya. Hal inilah, yang membuat Nasr berusaha
mengkonstruksikan kembali, agar manusia modern kembali kepada tradisi
kesejatian.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pemikiran Seyyed Hossein
Nasr dalam mengkaji filsafat perennial. Pemikirannya tentang Transendent Unity
of Religions yang mengarah pada pentingnya keselamatan dunia, namun tidak
dapat dikonstruksikan sesuai dengan zaman.5 Seorang Nasr mengutarkan teorinya,

yang dikenal “Tradisionalisme” berusaha mengembalikan manusia kembali
kepada nilai illahi. Selain teori “Tradisionalnya”, Nasr juga mengutarkan tentang
Afith Akhwanudin, “Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr (Kritik Terhadap Sains Modern)”,
(Yogyakarta: UINSUKA), Vii.
4
Seyyed Hossein Nar, “Islam dan Nestapa Manusia Modern”,(Bandung: Pustaka, 1983, cetakan
I), 4.
5
Ainur Rofik Al-Amin, “Bersama Javidan Khirad Seyyed Hossein Nasr”, dalam jurnal ISLAMICA,
Vol. 1, No. 2, Maret 2007, 2.

3

Javidan Khirad atau Sophia Perennis. Dengan ini Nasr menghendaki agar
manusia modern memikirkan kembali kehadirat Tuhan, yang merupakan dasar
dari kehidupan. Nasr ingin menyelarasakan semua agama dengan melihat segi
esoterik. Dalam segi eksoterik, agama terlihat jelas berbeda, akan tetapi dari segi
esoterik adalah sama. Sesuatu yang keluar dari yang satu adalah sama. Nasr
berusaha menyatukan, bukan berarti mencetuskan agama baru, dan tidak seperti
yang disinyalir oleh tokoh barat dengan new religion


dengan agama baru

idealisme. Sedangkan yang dimaksud Nasr adalah “menyelaraskan antar agama”,
6

bermaksud agar tidak terjadi truth claim antara agama yang satu dengan agama
yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Seyyed Hossei Nasr?
2. Bagaimana pandangan Seyyed Hossein Nasr terhadap Filsafat Perennial?.
C. Tujuan
1. Agar memahami biografi Seyyed Hossein Nasr.
2. Agar mengetahui pandangan Nasr dalam filsafat Perennial.

Ainur Rofik Al-Amin, “Bersama Javidan Khirad.......”, 182. Tujuan Idealisme ini adalah “The
Srtriving for the ideal, the perfection in everything for the ideal mankid, especially of each
individual; further, for the ideal of science and art, for the ideal of civilization, for the ideal of all
virtues, for the ideal of family, community, society, and humanity in all forms.”

6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Seyyed Hossein Nasr
Tokoh ini tidaklah terlalu asing didengar, seorang profesor dari bidang
filsafat,

sains, dan seorang tradisionalis.7 Nama lengkapnya adalah Seyyed

Hossein Nasr lahir pada tanggal 17 April 1933 di Teheren, Iran, sebuah tempat
lahirnya para sufi, filosof, ilmuwan, dan penyair muslim terkemuka. 8 Nasr berasal
dari keluarga ahli bait yang terpelajar, ibunya keturunan ulama’ sedangkan
Ayahnya bernama Seyyed Valilullah Nasr. Ayahnya seorang pendidik, sekaligus
dokter dan menjadi menteri pendidikan di akhir masa dinasti Qajar di bawah
kekuasaan Reza Shah.
Semenjak kecil ia sudah dibina untuk belajar al-Qur’an, baik menghafal alQur’an dan syair-syair Persia terkemuka seperti dari Sa’di dan Hafiz.9 Selain itu,
Ayahnya mengirimnya untuk belajar kepada sejumlah ulama’ di Qum (kota suci
umat Syi’ah) seperti Thabathaba’i (penulis tafsir) untuk belajar filsafat, ilmu

kalam, maupun tasawuf.10Ia belajar kepada Allamah Husain Thabathaba’i selama
20 tahun. Selain informal, Nasr juga belajar ilmu formal. Ia pernah mengenyam
pendidikan di dua lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Amerika Serikat,
Massachusetts Institute of Techonology (MTI) dan Harvard University.11
Pada masa awal mengenyam pendidikan, Nasr di Iran, telah diwarnai
dengan pergolakan dan ketegangan antara dunia Barat dan Timur. Peradaban
Barat yang sekuler, mulai menyelundupkan dirinya secara samar-samar ke dalam
dunia muslim. Ayah Nasr, sekalipun tidak pernah mengunjungi Barat, namun ia
cukup paham dengan kejadian yang terjadi di Barat, yang bertentangan dengan
nilai tradisionalis dalam Islam. Hal inilah, yang membuat ayah Nasr keras dalam
Ainur Rofik Al-Amin, “Bersama Javidan Khirad Seyyed Hossein Nasr”, dalam jurnal ISLAMICA,
Vol. 1, No. 2, Maret 2007, 182.
8
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam Setted Hossein nasr. (Surabaya”, 35
9
Ainur Rofik Al-Amin, “Bersama Javidan..., 182.
10
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossei Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,
(Surabaya: Uinsa, 2011), 14-15.

11
Ibid.., 15.

7

mendidik Nasr, untuk membekalinya doktrin-doktrin Islam secara kuat sejak masa
kecil. Bagi Ayahnya, tidak cukup hanya di sini, untuk dapat melawan pemikiran
sekuler, tetapi harus belajar ke sarangnya. Inilah, barangkali yang melatar
belakangi Nasr belajar di Barat. Setelah selesai belajar di Qum, dalam usia 13
tahun, Nasr dikirim ke Amerika untuk melanjutkan sekolah menengah atas.
Namun beberapa bulan berada di Amerika, Ayahnya meninggal. Sehingga ia tidak
sempat melihat keberhasilan putranya.12
Setelah

lulus

dari

sekolah

menengah

atas,

Nasr

melanjutkan

pendidikannya di Massacheusets Institute of Technology (MIT), ia menekuni
bidang fisika dan matematika teoritis , di bawah bimbingan seorang filosof
terkenal, yakni Betrand Russel (w.1970 M). Di bawah asuhan Russel, Nasr
diperkenalkan tentang pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh filosof modern.13 Di
samping mendalami jurusannya, Nasr juga mempelajari ilmu-ilmu tradisioanal
agama timur secara ototidak, di bawah asuhan George De Satillana. Selain itu,
Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran tradisi timur lewat tulisan
Rene Guenon, A.E. Comaraswamy, Frithjouf Suchoun, dan T. Burckhardt.14
Pada tahun 1954 Nasr lulus dari MIT dengan menyandang gelar B.S dan
M.A di bidang fisika dan matematika. Karena ia tidak puas dengan matematika,
maka Nasr melanjutkan studinya ke Harvad University. Awalnya ia masuk bidang
geologi dan geofisika, akan tetapi Nasr lebih tertarik terhadap ilmu tradisional.
Maka dari itu, Nasr memutar arah dan menekuni bidang filsafat dan Sejarah Ilmu
Pengetahuan (Philoshopia and History of Sciences). Di Harvard ia mempelajari
Sejarah dan Pemikiran Islam dari H.A.R Gibb, George Sarton, Hary Wolfson.
Dan pada tahun 1958 Nasr mendapat gelar Doktor (Ph. D), dan disertasinya di
bawah bimbingan H.AR Gibb diterbitkan pada tahun 1964 setelah direvisi.15
Nasr merupakan seseorang yang produktif dalam menulis, salah satu
magnum opusnya adalah “Science and Civiliziaion in Islam” sebuah buku yang
12

Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 37-38.
13
Ibid.., 38.
14
Ibid..., 38-39.
15
Ibid.., 40.

diangkat dari desertasinya tentang sejarah sains.16Nasr merupakan seorang
pembicara madzhab perenialisme dengan memperkenalkan kembali kebijakan
abadi (Sophia perennis, al-hikmah al-khalidah) dalam Islam tradisional di barat.17
Nasr dalam menanggapi masalah di dunia barat, ia menggagas sebuah pembaruan
yang ia sebut Tradisionalisme Islam (TI atau “Islam Tradisional”) di sisi lain Nasr
berharap dengan Universal dan perennialnya, dapat mampu menjawab krisis dunia
modern,

agar

perennialisme.

manusia kembali

kepada nilai-nilai

tradisionalisme atau

18

B. Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr
Filsafat Perennial atau Philoshopia perennis, secara etimologis berasal
dari bahasa Latin yaitu perennis, yang artinya kekal, selama-lamanya atau abadi,
sehingga acapkali disebut filsafat keabadian. “Philoshophy Perennis is the
universal gnosis which always has existed and always will exist”.19 Nasr pernah
mengatakan bahwa Filsafat Perennial adalah pengetahuan yang selalu ada dan
akan selalu bersifat universal. Maksudnya “ada” adalah akan selalu ada dalam
setiap zaman dan setiap tempat, mengingat sifatnya yang universal.20
Filsafat Perennial muncul pertama kali disinyalir oleh Augustinus
Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philoshopia yang diterbitkan pada
tahun 1540. Kemudian term ini dibumingkan oleh Leibnitz melalui suratnya pada
tahun 1715, dengan membicarakan jejak kebenaran dikalangan filosof kuno dan
tentang pemisahan antara yang gelap dan terang.21 Sebenarnya pokok kajian
filsafat perennial telah ada sejak masa-masa sebelumnya. Hanya saja, tertutupi
dengan masa setelahnya. Masa dimana manusia lebih mementingkan kehidupan
16

Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama Di
Indonnsia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 21.
17
Muhammad Subhi, “Doktrin Manusia Universal dalam Antropologi Metafisis Seyyed Hossein
Nasr”, dalam jurnal, 1129.
18
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nar, (Surabay: Pustaka Pelajar, 2003, Cetakan I), 7.
19
Filsafat Perennial adalah suatu pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu
ada selamanya. Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi
Pluralisme Agama Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Pustaka, 2006, Cetakan I), 10.
20
Arqom Kuswanjono, Ketuhan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006, Cetakan I), 21.
21
Leibnitz sendiri tidak pernah menyebutnya dengan term perennial dalam karyanya.

materialistik sehingga jauh dari nilai spiritualitas. Hal ini, ditandai pula dengan
munculnya filsafat baru di barat, yang pemikirannya lebih menekanakan pada
evolusi pemikiran dan “kemajuan”. Muncul pula modernitas, yang menjanjikan
kehidupan yang lebih dari sebelumnya. Akan tetapi, realitanya menyimpang dari
jargonnya.

Jargon

modernisme

ditentang

sengit

oleh

postmodernisme.

Postmodernisme beranggapan bahwa modernitas telah gagal melaksanakan
tugasnya.
Filsafat Perennial dilatar belakangi oleh masalah agama, yang selalu
mengklaim dirinya adalah yang terbaik, sehingga sering terjadi pergejolakan dan
pertentangan. Filsafat perennial hadir, bukan untuk menyamakan semua agama,
akan tetapi, untuk menyelaraskan dan menyadarkan. Bahwa setiap agama adalah
sama. Sesuatu yang keluar dari yang satu pada hakikatnya adalah sama. Hadirnya
filsafat perennial, bukan berarti menyamakan antara agama yang satu dengan yang
lain, akan tetapi bertujuan untuk menumbuhkan rasa toleransi antar manusia.
Filsafat perennial dalam hal ini bukanlah berarti menyamakan semua
agama atau ingin menciptakan agama universal. Akan tetapi, justru membuka
jalan terhadap

pendakian spiritual melalui tradisi-tradisi keagamaan yang

berkembang dalam setiap agama. Nasr berpendapat, filsafat perennial mengakui
adanya tradisi sakral sebagai sesuatu yang berasal dari surga (heaven) atau asal
ilahiah (divine origin) yang harus dihargai dan dihormati dengan layak.22
Filsafat perennial dalam telaahnya menggunakan dua pendekatan, yakni
pendekatan eksoteris dan pendekatan esoteris. Pendekatan eksoteris berfungsi
sebagai pijakan terhadap pemahaman tentang Tuhan melalui wahyu, sedangkan
esoteris adalah pemahaman langsung tentang Tuhan melalui penyatuan seluruh
potensi kemanusiaan atau yang dikenal “mistik”. Wilayah eksoteris meliputi
tradisi, ritual, persepsi moral, dan bidang institusi. Sedangkan esoterisme meliputi
hikmah transendental dan kesatuan mistik, kesadaran yang bersumeber dari
pengetahuan secara langsung.23 Dua aspek inilah yang diterapkan filsafat
22

Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Pustaka, 2006, Cetakan I), 4.
23
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,
dalam skripsi Uinsa, 3.

perennial dalam mengenal Tuhan, karena untuk memahami Tuhan tidak boleh
menafikan salah satunya.24
Pemikiran Nasr terpengaruh dalam tradisional syi’ah yang masih kental
dalam hidupnya. Apalagi ia hidup dalam ketegangan antara pemikiran Barat dan
Timur. Dan peradaban Barat yang mulai mempengaruhi umat muslim. Pergolakan
dimulai setelah pasca renainsance di barat dengan jargonnya menderivasi antara
pengetahuan, sains, dan agama. Yang dikenal dengan masa modernitas. Hal ini,
dimulai pada abad XVII, sekaligus puncak kemenangan supremasi rasionalisme,
empirisme, positivisme dari dogma kristen. Nasr berpendapat, krisis peradaban
Barat modern bersumber dari penolakan (negation) terhadap hakekat manusia dan
penyingkiran nilai spiritual secara gradual dalam kehidupan mereka.25
Modernitas mencanangkan bahwa dirinya mampu menyelesaikan
masalah-masalah dalam hidupnya.

Akan tetapi, janji sang modernitas bukan

menentramkan, malah menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualisme. Nasr
berpendapat, akibat terlalu mengagungkan rasio sehingga manusia modern mudah
dihinggapi penyakit kehampaan spiritualitas. Kemajuan yang pesat dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad 18 dirasakan tidak mampu mencukupi
kebutuhan nilai-nilai transenden, suatu kebutuhan ilahi yang hanya mampu
diperoleh dari wahyu.26
Dekadensi humanistik pada zaman modern diakibatkan hilangnya
pengetahuan langsung manusia mengenai diri dan keakuan yang senantiasa
dimilikinya, karena ia hanya menyandarkan dirinya pada pengetahuan yang tidak
langsung atau pengetahuan eksternal. Pengetahuan ini sifatnya masih dinilai
dangkal, yang senantiasa menghadang manusia kepada matahari illahi.27

24

Ibid.., 8-9.
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nar, (Surabay: Pustaka Pelajar, 2003, Cetakan I), 8.
26
Ibid.., 83.
27
Seyyed Hossein Nar, “Islam dan Nestapa Manusia Modern”,(Bandung: Pustaka, 1983, cetakan
I), 6.

25

Menurut Nasr manusia modern hanya berkutat sebatas eksistensinya saja.
Tidak pada “ Pusat spiritualitas dirinya” sehingga ia lupa siapa dirinya.28 Oleh
karena itu, timbullah pertanyaan siapakah manusia, asal-muasal, dan untuk apa di
dunia ini. Dalam menanggapi pertanyaan ini, sejak dari Descartes berusaha
menyelesaikan masalah ini. Akan tetapi, bukan keberhasilan yang diperoleh
malah jauh dari nilai eksistensi dan jauh dari mengenal hakikat dirinya.29
Term yang dikemukakan Nasr tentang “Tradisionalisme” atau Javidan
Khirad atau Sanatha Darma dalam agama Hindu dan al-Khikmah al-Khalidah
dalam bahasa Arab atau Sophia Perenis. Nasr menginginkan baik di dunia Barat
maupun timur khususnya Islam. Kepada dunia Barat, ia menyarankan ajaran
esoterisme Islam sebagai jalan alternatif untuk keluar dari krisis tersebut. Dengan
kembali kepada hikmah spiritual agama, manusia modern akan dapat
membimbing dirinya sendiri dari pinggiran lingkaran menuju ke arah titik pusat
(center). 30
Termasuk

dalam agama,

yang hadir untuk menyatukan dan

memperbaiki umat, malah keluar dari esensi yang sebenarnya. Hal ini, juga
dialami oleh Agama Islam, Nasrani, Yahudi, dan agama lainnya. Sehingga
timbullah pemikiran manusia untuk menanggulangi problem-problem yang terjadi
disetiap agama.
Nasr juga menyinggung terma Scientia Sacra yakni suatu pengetahuan
suci (Sacred Knowledge) yang berada dalam jantung setiap wahyu. Dan ia adalah
pusat dari segala wahyu. Sekaligus sebagai sentral dalam tradisi lingkungan. Nasr
mencanangkan tradisi sebagai al-din al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang
didasarkan atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun
dikalangan masyarakat tradisional. 31

28

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
Perennial, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2003), 2.
29
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,
(Surabaya: UINSA, 2011), 2.
30
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Siignifikansi...,201.
31
Arqom Kuswanjono, Ketuhan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006, Cetakan I), 62.

BAB III
PENUTUP

A Kesimpulan
Manusia modern dianggap tidak mampu menyelesaikan problemproblem yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan dikatakan bahwa manusia modern
berada dalam luar eksistensi dan bukannya mendekat kepada pusat eksistensi.
Nasr dalam teorinya tidak terlepas dengan istilah tradisi, agama, Javidan Khirad,
dan Scientia sacra.
Nasr menyarankan agar semua agama memahami dengan adanya
perbedaan-perbedaan yang terjadi. Seandainya semua umat beragama memahami
filsafar perennial, tentu tidak akan ada pertentangan dan permusuhan dalam setiap
agama yang ada di muka bumi ini. Pemikiran Nasr lebih menekankan terhadap
tradisi, hal ini bermula ketika Nasr melihat cara pandang masyarakat modern yang
lebih cenderung mendistorsi hal yang sangkral dan bisa dikatakan mereka
kehilangan nilai spiritualnya. Yang terjadi pada manusia modern pada saat itu,
manusia modern kehilangan spiritualnya. Manusia berada di luar eksistensi dan
berusaha menjauh dari pusatnya, yang terjadi ternyata manusia modern tidak
mampu menanggulangi masalah-masalah yang dialaminya. Dari sinilah Nasr
berusaha mengembalikan nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat modern.
Mengenai teori Nasr tentang Javidan Khirad, atau disebut hikmah alkhalidah atau sanatha dharma atau shopia perennis, Nasr menginginkan baik
negara barat maupun timur memahami antara eksoterisme dan esoterisme antar
agama. Seandainya semua memahami bahwa dalam setiap agama terdapat sisi
kesamaan yakni common platform dari segi esoterisme. Hanya saja dalam hal
pembungkusan atau syariah mengalami perbedaan.
B Saran
1. Pembaca tidak hanya mempelajari, akan tetapi berusaha menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Pembaca tidak hanya ranah universitas yang membacanya, akan tetapi semua
kuliah disarankan untuk mempelajari filsafat perennial.

DAFTAR PUSTAKA
Akhwanudin, Afith. t.t. Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr (Kritik Terhadap
Sains Modern). Yogyakarta: Uinsuka
Al-Amin, Ainur Rofik. 2007. “Bersama Javidan Khirad Seyyed Hossein Nasr”,
dalam Jurnal Islamica, Vol. 1. Surabaya: t.p
Armia. 2013. “Kesatuan Agama-agama dan Kearifan Perennial dalam Perspektif
Tasawuf”. dalam Jurnal Al-Tahrir. Sumatera Utara: t.p
Hariyadi, Ahmad. 2011. Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam
Perspektif Filsafat Perennial. dalam skripsi. Surabaya: t.p
Hidayat, Komaruddin & Muhammad Wahyuni Nafis. 2003. Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Kuswanjono, Arqom. 2006. Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi
Pluralisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media
Maksum, Ali. 2003. Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah
Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nasr.
Surabaya: Pustaka Pelajar
Nasr, Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung:
Pustaka
Subhi, Muhammad. t.t Doktrin Manusia Universal dalam Antropologi Metafisis
Seyyed Hossein Nasr. t.k, t.p