MALIN KUNDANG DAN CATATAN PERGULATAN PEM

MALIN KUNDANG DAN CATATAN PERGULATAN PEMIKIRAN SEORANG MANUSIA INDONESIA
Goenawan Mohamad, Kata, Waktu;
Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001,
(Penyeleksi: Nirwan Ahmad Arsuka),
Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2001,
xxv + 1493 halaman.

sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
(Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”)
SEORANG anak muda adalah Malin Kundang. Ia berjalan dalam perubahan-perubahan. Ia tak
dipahami dan dimengerti. Ia pun tak memahami dan mengerti, sebagaimana orang-orang tua dan
siapa saja, tentang diri, lingkungan, dan dunia. Yang kemudian dilakukannya adalah
mempertanyakan dan merumuskan jawab, pencarian atas kemungkinan-kemungkinan yang tak
pernah sampai ujung itu. Setelah itu, apakah yang terjadi? Seperti biasa, pencarian senantiasa
berteman dengan kebimbangan. Ia bimbang dengan sekian perjalanan pencarian yang sudah dan
akan dihadapinya, salah satunya adalah adanya kenyataan betapa ketika ia kembali, pulang,
berhadapan dengan kehidupan muasal, ia pulang sebagaimana layaknya seorang asing. Menjadi
Malin Kundang adalah menjadi seorang terkutuk.
Malin Kundang adalah tokoh mitologi Melayu yang diangkat oleh Goenawan Mohamad dalam
esainya yang berjudul “Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang”. Esai ini

memaparkan perjalanan kepenyairan seorang anak muda dengan sekian perbenturan yang terjadi
dalam diri dan lingkungannya. Anak muda yang pada umur yang ke delapan belas, di usia
sebelas tahun jika dirunut lebih jauh, menulis sajak tanpa mengerti kenapa seseorang harus jadi
penyair. Yang dituliskannya kemudian adalah betapa dalam dirinya ada berdenyar kesadaran
akan arti kebebasan dari kolektivisme, pemahaman atas kemerdekaan dan individualisme.
Kesadaran ini membuatnya mengerti apa yang harus dilakukannya atas tradisi dan masa lalu,
juga terhadap peradaban dunia luas. Yang kemudian sampai padanya adalah suatu dunia baru
yang terbuka lebar, yang bisa dibentuk, dipahami, dan ditafsirkannya sendiri secara merdeka.
Kesadaran semacam ini adalah sebentuk pemberontakan atas kemapanan, atas kebenaran yang
sekian lama dianut dan diyakini masyarakatnya. Dengan demikian, siapa pun ia yang berbuat
demikian, berarti ia telah menasbihkan dirinya sebagai Malin Kundang. Selain itu, di mana pun
—apalagi di negeri ini—penyair adalah makhluk langka dan puisi adalah keganjilan. Seseorang
boleh saja menjadi penyair dan hidup dengan sajak-sajaknya, tapi begitu ia menampilkan dirinya
sebagai penyair di hadapan masyarakat jamak, jadilah ia si Malin Kundang, si anak durhaka yang
tak termaafkan itu.

Esai ini menjadi semacam autobiografi yang merepresentasikan sosok penulisnya sendiri,
Goenawan Mohamad. Bernama lengkap Goenawan Susatiyo Mohamad, akrab dipanggil GM, ia
dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Perjalanan hidupnya senantiasa berada di
seputar dunia tulis-menulis dan kesusastraan: wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota

Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), anggota Dewan Redaksi majalah sastra Horison, salah
seorang pendiri dan kemudian pemimpin redaksi majalah Ekspres (1970), Tempo (1971), dan
Zaman (1979). Ia juga dedengkot dari Komunitas Utan Kayu, dengan Kalam, ISAI, Pantau,
Radio 68H, yang memiliki beragam kegiatan kesenian, pemikiran, komunikasi, dan kebudayaan.
Karya-karyanya telah banyak diterbitkan, antara lain kumpulan puisi Pariksit (Litera, 1971),
Interlude (Yayasan Indonesia, 1973), Asmaradana (Grasindo, 1992), Misalkan Kita di Sarajevo
(Kalam, 1988), dan Sajak-Sajak Lengkap, 1961-2001 (Metafor, 2001); kumpulan esai Potret
Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (Pustaka Jaya, 1972), Seks, Sastra, Kita
(Penerbit Sinar Harapan, 1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (Pustaka Firdaus, 1993), Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi (Alvabet, 2001), Eksotopi (Grafiti, 2002), dan empat jilid kumpulan esai
Catatan Pinggir. Ia juga menulis libetto untuk opera, Kali (1996) dan The King’s Witch (19972000), bekerja sama dengan musisi Tony Prabowo, yang dipentaskan pertama kali di Amerika
Serikat, tahun 2000.
Goenawan Mohamad adalah nama yang sangat menonjol dalam dunia kepenulisan Indonesia.
Dalam pengantarnya, Nirwan Ahmad Arsuka menyebutkan hanya dua nama dari sangat-sangat
sedikit cendekiawan kontemporer Indonesia yang memiliki konsistensi dalam menulis, dalam
kuantitas dan kualitas, yakni Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohamad. Penilaian yang
menempatkan keduanya di puncak kebesaran penulis Indonesia ini memang bisa kita terima. Jika
pun harus dibandingkan, yang membedakan dari dua tokoh besar ini bisa jadi adalah pada tataran
“ekstra-estetik” semata. Pram dikenal sebagai novelis dengan sekian atribut politisnya, realismesosialisnya—yang memunculkan sekian polemik dan perdebatan, yang dimusuhi dan juga
dipuja-puja banyak orang, sedang GM dikenal sebagai penyair dan esais—dunia sunyi yang jauh

dari perbincangan umum.
Sebagai penyair, GM adalah penyair yang menulis berdasarkan pengetahuan dan intelektualitas,
bukan sekadar penyair alam dengan haru-biru perasaan belaka. Ini dapat dilihat pada dua
tulisannya, “Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang” dan “Kesusastraan,
Pasemon”, yang bisa dianggap sebagai kredo dan konsep kesastrawanannya. Jika dalam esai
pertama GM memposisikan dirinya sebagai Malin Kundang, personifikasi dan pencarian jati diri
yang bersifat personal, maka dalam esai kedua GM menerakan posisi pribadinya dalam konteks
yang lebih luas lagi, yakni pemahaman betapa pencarian dan pertanyaannya adalah juga bagian
dari pertanyaan dan pencarian bersama, kehidupan lokalitasnya, secara geografis, bahasa,
budaya, berhadapan dengan kultur yang lebih luas, yang bersifat regional dan nasional atau pun
global.

Dua esai ini menguak usaha GM memposisikan dirinya sebagai penyair, yang mencoba
melepaskan diri dari belenggu-belenggu lingkungan dan mengembara ke dunia luas. Spirit
kepenyairan yang demikian ini terbawa pula dalam setiap tulisannya, esai-esainya memaparkan
keragaman yang teramat kaya: geografi, sejarah, pemikiran, peradaban, dan kebudayaan
universal. Yang harus buru-buru ditambahkan, GM tidak meninggalkan bahkan menggeluti tema
dan pemikiran lokalitasnya, tradisi dan budayanya sendiri, dengan keseriusan yang sama tinggi
sebagaimana ia secara piawai merambah berbagai pengetahuan pemikiran dan peradaban budaya
dari berbagai penjuru dunia. Dalam aspek struktur dan bahasa, dunia kepenyairan dan

kesastrawanan tersebut memunculkan tulisan dan esai—juga dalam penulisan jurnalistik di
media-media yang dipimpinnya—yang jernih dan lentur, yang meleburkan batas-batas bahasa
puisi dan prosa, lisan dan tulisan, dan dengan pemakaian kosakata dan struktur kalimat yang
bernas, yang membuat bahasa Indonesia terasa demikian kaya dan hidup.
Demikianlah, Goenawan Mohamad adalah nama yang memiliki tempat tersendiri dalam dunia
kepenulisan kita, terutama lewat esai-esai di kolom Catatan Pinggir majalah Tempo. Dengan
konsistensi yang luar biasa, selama lebih dari seperempat abad, dan terus berlanjut sampai
sekarang, esai-esai pendeknya hadir nyaris setiap minggu. Tentu saja, hal ini bukan sekadar
persoalan kuantitas. GM menuliskan beraneka tema yang sangat kaya dalam bahasa Indonesia
yang berkualitas. Bisa dikatakan, Catatan Pinggir menjadi sebentuk genre tersendiri dalam
penulisan esai di Indonesia, melekat erat menjadi bagian dari kreativitas personal GM. Setelah
dibukukan secara kronologis dalam empat jilid, sekali ini Catatan Pinggir dikompilasikan lagi
dalam format yang lebih eksklusif menjadi semacam kumpulan esai terpilih dalam buku Kata,
Waktu; Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001. Sebagaimana dipaparkan dalam pengantar,
Buku ini merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh Nirwan Ahmad Arsuka atas hampir 1.000
esai pendek GM dari 1960 sampai 2001. Ada sekitar 650 tulisan terpilih, sebagian sangat besar
berasal dari Catatan Pinggir, ditambah dua esai panjang, tentang Malin Kundang dan Pasemon
sebagaimana telah disebut di muka.
Dialog dan percakapan yang akrab atas segala hal, monolog dan pertanyaan yang meninjau ulang
sesuatu, paparan dan penghormatan terhadap tokoh atau seseorang, peringatan dan kenangan

peristiwa-peristiwa, warna-warni dunia, di setiap tempat, di suatu waktu. Semacam itulah yang
ditawarkan GM lewat esai-esai dalam buku ini. Ia menuliskan bolak-balik antara yang konkret
dan yang abstrak; sesuatu yang riil dan nyata bisa ditariknya dalam refleksi-refleksi abstrak,
sebaliknya suatu idea dan dunia gagasan bisa didekatnya sebagai bagian dari keseharian kita.
Sekali waktu disebutkannya tokoh-tokoh terkemuka dunia berjejer dengan nama seorang dari
kaum jelata atau tokoh fiksi-fiktif; suatu peristiwa di satu dusun kecil entah di mana bisa
dijalinkannya sebagai bagian dari sejarah besar yang teramat penting dalam perjalanan
peradaban umat manusia; kemudian sebuah baris sajak dipadankan dengan traktat politik dan
komando kekuasaan; sebaliknya, dipaparkan pula cerita kecil tentang kaset video, sebuah patung,
bis kota bobrok, atau lalat.
Esai bertanggal 12 Mei 1979, “Kepada Anak yang Sedang Tidur”, bisa dijadikan contoh

bagaimana kekhasan GM menulis. Ia membuka esai itu demikian: Tidur, anakku, akan
kubacakan sepucuk surat ke dalam mimpimu. Sebab tahukah kau apa yang saya pikirkan di
samping tempat tidurmu? Tahukah kau apa yang ingin saya katakan, setelah kau lelap, dan
lampu padam di kamar ini, dan nyamuk mulai terdengar desingnya? Ia melanjutkannya dengan
mengutip ungkapan Rabindranath Tagore tentang anak, bahwa setiap anak adalah suatu pesan
betapa Tuhan belum jera dengan manusia. Dari sini, GM memunculkan pertanyaan-pertanyaan
kepada kita semua. Dengan ilustrasi betapa sekian banyak bayi lahir setiap menitnya, apakah
kesemua mereka membawa pesan yang sama? Bahwa Tuhan belum jera dengan manusia, meski

kemiskinan dan kelaparan ada di mana-mana, kematian dan kemalangan bisa menjumpai siapa
saja? Bagaimana dengan persoalan moralitas dan pilihan ketika setiap anak, setiap manusia,
mesti berebut masa depan mereka masing-masing? GM dengan apik menutup pembahasan atas
kecemasan atas kehidupan yang carut-marut ini dengan semacam renungan kepasrahan, atau
kerelaan menghadapi tantangan hidup yang demikian itu, dengan kalimat ini: Maka lebih baik
kuletakkan saja tanganku di rambutmu, dan berharap. “Datanglah dan duduklah dalam haribaan
yang tak berbatas, anakku.”
Di tangan GM, tidak ada hal yang sia-sia dan percuma, bahkan dalam hal-hal yang remeh sekali
pun. Menyitir baris-baris sajaknya, sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini, segala apa di
dunia ini mungkin retak dan tidak sempurna, tetapi manusia memiliki akal dan pikiran yang bisa
memberikan harga dan makna sedalam-dalamnya. Di sinilah buku ini layak dibaca, dengan
pembahasan yang sahih, bersama referensi-referensi pendapat dan pemikiran dari berbagai-bagai
sumber, segala sesuatu memiliki tempat dan harganya masing-masing, memiliki keabadiankeabadiannya sendiri. Dengan ke-Malin Kundang-annya, GM melihat, membongkar, dan
mempertanyakan kembali berbagai hal yang ada di lingkungannya. Miisalnya, pembahasan yang
memperbandingkan ajaran Marx, Lenin, dan Wulangreh (h. 107); tentang Timur Leng,
Kolonialisme Barat, dan Amangkurat (h. 205); Bung Karno dan Pasar Ikan (h. 319); Pancasila,
Karl Jaspers, Sokrates, Budha, Konfusius, dan Yesus (354); Alexander Agung, Anjing, dan
Matahari; Seks dan Ajisaka (518); dan seterusnya.
Membaca Kata, Waktu adalah membaca mozaik-mozaik. Galibnya sebuah kumpulan tulisan
lepas, kita bisa membacanya secara bebas dan terbuka—setidaknya agar kita tidak buru-buru

‘ngeri’ dengan ketebalannya yang lebih dari seribu lima ratus halaman ini, apalagi dengan
kertasnya yang tipis-menerawang dan lay-out perwajahan yang kurang menguntungkan. Kita
bisa membaca berurutan mengikuti kronologi penyusunan tulisan berdasarkan waktu
publikasinya, bisa pula memulai dan membukanya dari bagian mana saja. Kata, Waktu menjadi
buku yang sangat berharga bagi pembaca Indonesia. Dengan kekuatan bahasa yang mempesona,
GM mengajak kita menelusuri berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia dan dunia, klasik
maupun kontemporer. Ia memberikan kajian yang bernas dan mematangkan atas sejarah
peradaban manusia, tentang puisi, politik, religi, seni dan budaya, tokoh, pewayangan; tentang
penindasan dan pembebasan; tentang rezim, korban, dan—barangkali juga—masing-masing dari
diri kita.
Singkat dan pendeknya esai-esai dalam buku ini bisa menjadi kekurangan, bisa pula merupakan
kelebihan tersendiri. Ia bisa dianggap tidak lengkap, distorsif, dan—dengan kebiasaan GM untuk
mempertanyakan segala sesuatu—seringkali ambigu dan membimbangkan. Akan tetapi, ini bisa

juga dinikmati sebagaimana puisi dan ditanggapi menjadi sebentuk sensasi yang menantang kita
untuk mencari sendiri datarannya yang lebih luas lagi. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Goenawan Mohamad, kita ditantang menjadi Malin Kundang-Malin Kundang baru di era paska
segala posmo ini. [Goen]
Matabaca, vol.1/NO.5, Desember 2002


CATATAN PINGGIR: ANIAYA
Karya: Goenawan Mohamad
KENAPA terjadi kesewenang-wenangan? Kenapa seorang yang berkuasa bisa berbuat
sekehendaknya terhadap diri seorang lain sampai ludes dan papa?
Seorang yang dipertuan –seorang bos– mungkin seorang yang mendapat privilese untuk jadi
kanak-kanak kembali. Seperti bocah balita, ia biasa minta dilayani dengan telaten. Dan seperti
balita, dialah pusat perhatian. Ia juga boleh marah sampai sekeras-kerasnya, bila perlu
menyepak, seakan-akan orang lain hanya otomaton yang rela.
Raja Henry II dari Inggris di abad ke-12, misalnya, biasa menjatuhkan diri ke lantai bila sedang
marah besar, dan melampiaskan emosinya dengan menggigit-gigit permadani yang terhampar
bila kehendaknya tak terpenuhi. Dan ia menjelaskan tabiatnya itu dengan kalem, ”Aku adalah
putra kemarahan: kenapa aku tak boleh mengamuk? Tuhan sendiri mengamuk bila Ia sedang
murka.”
Dengan kata lain, Henry II sedikit menyamakan diri dengan Yahwe, Yang Mahakuasa dalam
kitab Perjanjian Lama. Agaknya memang begitulah sosok seorang yang dipertuan: ia sekaligus
bermain dengan mimpi kanak-kanak dan dengan mimpi jadi Tuhan.
Ada sesuatu dalam jiwa orang-orang yang bergabung di dalam suatu kehidupan bersama yang
tampaknya memungkinkan hal itu terjadi. Eli Sagan, yang membuat uraian menarik tentang apa
yang disebutnya ”masyarakat-masyarakat majemuk” di Buganda, Tahiti, dan Hawaii dalam At
the Dawn of Tyranny, menyebut satu nasihat yang diucapkan untuk seorang raja baru: ”Siapa

saja yang memandang rendah kehormatan Tuan, bunuhlah, sebab semua petani adalah ibarat
padi-padian–siapa yang membabatnya, memilikinya.”
Tak heran bila kesewenang-wenangan berlangsung dengan lancar dan mengerikan. Raja yang
berkuasa di Dahomey, sebuah monarki yang maju dan canggih strukturnya di pantai barat
Afrika, tiap kali bangun tidur merasa bersyukur atas tetirahnya tadi malam. Untuk menyatakan
rasa syukur itu, ia menyuruh sembelih dua orang budak setiap pagi. Raja Buganda di Afrika,
Mutesa, pada suatu malam bermimpi ketemu ayahnya yang telah mangkat. Dalam keadaan
cemas oleh mimpi yang dianggapnya buruk itu, esoknya ia suruh gorok leher 500 orang rakyat.
Penyembelihan manusia yang seperti itu tampaknya tak cuma perlu buat memuaskan hati
seorang raja. Pengorbanan itu juga tak cuma untuk melayani kehausan para dewa akan darah.
”Dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang lebih maju,” tulis Sagan, ”kemampuan untuk

membunuh secara ritual seorang manusia lain itu tampaknya, apa boleh buat, suatu atribut yang
diperlukan, dan juga suatu pengesahan yang tak bisa dipungkiri, bagi kekuasaan yang tertinggi.”
Kenapa demikian, memang tak sepenuhnya bisa dijelaskan. Sagan berbicara tentang
”masyarakat-masyarakat majemuk”, complex societies, ia berbicara tentang masyarakat yang tak
lagi bisa disebut primitif, yang tak menggunakan lagi sistem pertalian keluarga dalam mengatur
kebersamaan: suatu masyarakat yang sudah punya birokrasi tersendiri yang mulai lengkap.
Masyarakat semacam ini, dalam konsep Sagan, adalah masyarakat peralihan. Sifatnya sementara:
sebuah jembatan besar antara masyarakat primitif di hutan-hutan dan masyarakat arkais seperti

dalam kerajaan Mesir Kuno. Keadaan karena itu belum stabil, dan yang meruyak adalah pelbagai
bentuk kecemasan. Orang cemas akan masa silam yang primitif, yang menenggelamkan
individualitas dalam kungkungan keluarga, tapi orang juga cemas untuk mulai berdiri sendiri.
Dalam kegalauan itu sang bapak, sang raja, tampil dan berseru, ”Awas!”
Sang raja juga sebenarnya tokoh yang gentar. Dan Eli Sagan mencoba menjelaskan kenapa
kesewenang-wenangan bisa terjadi dalam keadaan jiwa seperti itu: ketakutan itulah yang
menyebabkan sebuah masyarakat, sampai hari ini, memerlukan korban. Ketakutan menyebabkan
agresi. Dengan melihat orang lain runtuh, sebuah kelompok dalam masyarakat agaknya akan
merasa sedikit lebih enak. Pada saat orang-orang yang dianggap ”kuat” di sebuah masyarakat
merasa cemas akan daya kemampuan mereka sendiri, pihak yang tak berdaya pun diinjak. Hitler
mengirim Yahudi ke ruang gas, dan orang kulit putih menyisihkan orang hitam dari hidup yang
patut.
Jika kehidupan masyarakat selalu merupakan peralihan, jika perubahan selalu terjadi, adakah itu
berarti kecemasan akan selalu bersama kita? juga kesewenang-wenangan dan sikap aniaya yang
terbit dari dalamnya? Eli Sagan tak menjawab jelas. Ia hanya menunjukkan bahwa di mana pun,
di Barat dan di Timur, di Afrika ataupun di Eropa, bentuk-bentuk tirani tak pernah dapat
terhindarkan dalam sejarah perkembangan manusia. Siapa tahu, karena kita bicara soal
”perkembangan”, banyak kesewenang-wenangan akhirnya akan hilang, dan manusia pun
merdeka: berani mandiri.
Tempo, 25 Januari 1986

Catatan Pinggir
Goenawan Mohamad

Judul : Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis
: Goenawan Mohamad
Cetakan : I, 2007
Penerbit : Katakita, Jakarta.
Tebal : 166 halaman (99 tatal)
ISBN : 979-3778-48-2
Desain sampul dan tata letak isi : Cecil Mariani
Foto sampul : Martin Westlake

Penerjemah ke bahasa inggris : Laksmi Pamuntjak, On God and Other Unfinished
Things.
“Di tahun 1925 dari tangan Roestam Effendi terbit Pertjikan Permenungan, sejumlah
sajak. Buku ini merupakan ikutannya, meskipun mengambil bentuk lain. … Ke-99
“percikan” ini terkadang bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau
membantah, terkadang bisa dibaca sebagai tulisan yang berdiri sendiri-sendiri.”
(Prakata, Goenawan Mohamad)
Beberapa pilihan esai-puitik Goenawan Mohamad dalam Tuhan & Hal-hal yang
Tak Selesai

2
Karena malam tak sepenuhnya tertembus, juga
oleh kelelawar yang mabuk, taufan antah-berantah
dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan
bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas.
Makin tahu manusia tentang luasnya alam semesta,
makin tampak bumi menyendiri dan manusia
terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang
cepat hilang. Tapi pada saat yang sama, dalam
keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan
ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Hidup begitu dekat dan Ketiadaan begitu megah.
Saya teringat sebaris kalimat Sitor Situmorang
dalam sajak “Cathedral des Chartres”: “hidup dan
kiamat bersatu padu.”

9
Angkor Wat: saya berdiri di depan Candi Bayon.
Hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, dan para biksu yang berteduh di ruang-ruang
kecil candi seraya bersemadhi …
Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.

Buddha memang mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.
Agaknya itu sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal yang itu-itu saja.
Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan
adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut.

74
Antara alasan dan arah terbentang garis, tapi tak
selamanya hidup menempuh garis itu. Mawar
ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar, kata
Angelus Silesius.
Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus
akan menjawab “tidak.” Hanya Tuhan yang
dibayangkan sebagai sosok, hanya Tuhan macam
itu yang butuh alasan dan tujuan – dan dengan
demikian seakan-akan Ia bergerak dalam-ruang.
Tanpa kejutan. Tanpa menyebabkan rasa lega.
Mungkin itu sebabnya Nietzsche hanya mau
percaya kepada Tuhan yang menari.

63
Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.
Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang

masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalinmenjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakanakan bergetar di ruas batang trembesi.
Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.
Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, rajaraja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.

35
Saya berdiri di bawah surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari

meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam halikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.
Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.

81
Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.
Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan

pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.
“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.
Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.
Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.
Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.

89
Keadilan adalah sesuatu yang ada justru karena
tak hadir. Ia ibarat akanan. Kita melihatnya ketika
kita berdiri di tepi laut dan memandang nun
jauh di sana, tanpa tahu bagaimana wujudnya.
Ia kosong yang selaik kolong – kosong yang
dapat diberi nama dan ditunjuk. Ia absensi yang
menghimbau; tandanya luka pedih yang terjadi
ketika ketidak-adilan menguasai ruang.
Mungkin itulah sebabnya riwayat pergolakan
sosial di Indonesia adalah riwayat orang-orang
tertindas yang menantikan yang tak ada: Ratu
Adil. Semakin absen keadilan, semakin yakin
orang-orang ia akan muncul secara dramatis di
hari akhir.

Akhirnya sejarah adalah kisah orang-orang yang
mencicil: dalam penantian itu, manusia menebus
yang absen dengan mencoba merawat keadilan
(dengan “K”) tiap hari, bagaikan merawat lapisan
humus di ladang kebersamaan.
Keadilan, dengan “K”, tentus saja tetap disimpan
dalam kamus, meskipun kamus itu tak dapat
mendefinisikannya dan mengurungnya.

45
Praha, atau Den Haag, atau … Kota ini seperti tak
terbiasa juga dengan dingin, dengan malam,
meskipun berabad-abad ia berdiri, setengah
lelah. Gedung-gedung menanggungkan musim
tak putus-putusnya, tapi juga di ujung Oktober
ini ada yang terasa mengkeret oleh cuaca; plasa,
taman, boulevard, juga pasar yang tadi siang
terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang
tajam, kerap, dingin. Dari beberapa sudut,
lampu jalan – masing-masing seperti bersendiri
– adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya lewat di antara celah
yang terbentuk oleh bangunan tinggi.
Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam,
semakin tampak aspal dan semen bertambah
datar. Mobil melintas satu-satu, seperti terpaksa.
Trem, bahkan dengan derak roda pada rel, jadi
bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.
Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam
… Tapi benarkah? Tiap kota mengandung paras
yang pura-pura. Tiap kota punya wajah yang
hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin,
Desember; datang. Tiap kota adalah ruang scene
dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada yang
disingkirkan seperti najis. Gelandangan yang
merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan
yang selamanya siap. Di sebelah lain dari poster
iklan Gucci yang dipasang di halte-halte, mungkin
ada anak kecil penjual korek api dari cerita
Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba

melawan beku, di sebuah hari Natal, dengan
menyalakan batang-batang geretan satu demi
satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak
nampak.

67
Laut itu perempuan. Menurut legenda yang
beredar sejak Mataram, ia Ratu Kidul dari
samudera Selatan yang sesekali datang
mendampingi Panembahan Senapati, pendiri
kerajaan itu, orang kuat abad ke-16.
Dalam Kitab Wedhatama yang ditulis tiga abad
kemudian, Senapati bukanlah seorang penakluk,
tapi pertapa pengembara yang menyapa siapa saja
dengan manis, sabar dan tulus, mardawa ing budaya
tulus. Demikianlah di pantai selatan itu ia duduk
bersemadi hingga larut, mengundang datang ke
dalam dirinya sumber yang dalam dan jauh yang
mengirim ombak tak putus-putusnya.
Tapi ada ambivalensi di sini. Dalam semadi itu
laut menjelma jadi sesuatu yang masuk ke dalam
diri, namun ia seakan-akan dapat digenggam di
telapak tangan:
Kinemat kamot ing ndriya
Rinegem sagegem dadi
Dengan kata lain, di satu pihak Senapati
membiarkan dirinya terbuka kepada yang-lain
yang nun di sana, tapi di lain pihak ada kehendak
merengkuh dan berdaulat atasnya, dumadya
angratoni. Dalam dirinya ada sikap menghayati
hidup sebagai pengembaraan di atas bumi, di
bawah langit, di antara yang fana, di hadapan
yang “ilahiat” – empat lipatan yang disebut
Heidegger sebagai das Geviert. Tapi pada saat
yang sama Wedhatama meletakkannya dalam posisi
yang unggul. Kepadanya sang Ratu Kidul datang
merunduk, sor prabawa lan wong agung ngeksiganda,
bagaikan kalah oleh aura yang terpancar dari
orang agung Mataram itu.
Tapi bagaimana pun sang laut tetap berdaulat.

Ratu Kidul hanya datang mendampingi sang
pertapa dalam alam yang tak terlihat, dalam
momen yang hening, djoroning alam palimunan,
ing pasaban saben sepi. Dengan kata lain, dalam
suasana meditatif. Hanya dengan itu, hanya
dalam keadaan itu, di mana empati berbicara
nugraha atau berkat Sang Ratu masih berlaku.

56
Yang membedakan Sherlock Holmes dari tokoh
dalam dongeng Andersen ialah pipanya. Dengan
itu sang detektif menutup mulutnya, menghindari
percakapan, berkonsentrasi penuh untuk berpikir,
dan secara sistematis menggerakkan nalarnya
setapak demi setapak sampai akhirnya, bravo, sang
pembunuh terungkap. Baru setelah itu, Holmes
berbicara dengan sahabatnya, Watson. Atau lebih
tepat, menjelaskan logikanya kepada pembaca
melalui Watson.
Dalam dongeng Andersen, tokoh dan kebenaran
lahir bersama dalam percakapan. Bahkan
terkadang dalam keramaian. Tentang maharaja
yang tertipu pakaian ajaib, misalnya. Kita ingat
saat kebenaran muncul ketika di sela-sela para
penonton yang tengah mengelu-elukan maharaja
itu seorang bocah berteriak, “Hai, baginda
telanjang!” hingga orang ramai pun sadar bahwa
si anak benar dan mereka pun berteriak, “Hai,
baginda telanjang!”
Tapi Andersen tak menutup dongengnya di
sini. Alkisah, Baginda pun tetap melanjutkan
parade, tetap tegak, tetap bugil, dan seperti yakin.
Mungkin ia berharap orang ramai itu akhirnya
akan percaya bahwa ia sedang mengenakan
pakaian yang tak akan tampak oleh mata mereka
yang pandir.
Dengan kata lain ia mempersoalkan: apa
kebenaran, sebenarnya? Seandainya ia pernah
dengar Goebbels …
Goebbels, menteri propaganda Nazi itu,
memperkenalkan sebuah mekanisme: bila

sepotong dusta diteruskan berulang-ulang, ia akan
berubah jadi kebenaran. Dengan meneruskan
parade, sang maharaja tampaknya setuju bahwa
kebenaran adalah hasil konsensus, dan konsensus
tak bebas dari kebohongan dan kekuasaan.
Dalam arti tertentu dongeng ini menertawakan
zaman rasionalisme, ketika subyek diperlakukan
sebagai sumber nalar yang kekar dan lurus –
ketika orang menduga bahwa tak ada kekuasaan
di luar itu dan percaya bahwa kita bisa mencapai
kebenaran dengan memasang pipa di mulut, tak
bicara, menyendiri.

28
Agama dimulai dari hening dan saat yang
dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Budha
di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa
di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap
situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen
yang tak lazim, ketika seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous,
sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius,
menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500
tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan
perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”
Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih
dan ngeri, ada amor dan horror – tapi tampaknya
sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan
ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: desain dan
bangunan. Berabad-abad setelah bertemu dengan
sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang
tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita
kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja
yang gigantis, patung Budha dari emas yang
terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang
berkilau – dan umat yang makmum, berdesak …
Tampaknya pengalaman religius akhirnya selalu
dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh
– yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal.
Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi
tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang

sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.
Akhirnya bukan sepi yang mengambil alih, tapi
struktur.
Yang umumnya tak disadari ialah bahwa struktur
itu harus disusun dengan kekuatan yang terhimpun.
Siasat dan alat harus dikerahkan seperti ketika
kita membangun imperium dan mengurus bisnis.
Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk
waktu – yang tak lagi sama dengan momen ajaib.
Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan
diukur. Waktu jadi seculum.
Persis di situlah yang sekuler merasuk di dalam
yang religius.

34
Yang indah memang bisa menghibur selamalamanya, membubuhkan luka selama-lamanya,
meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia
seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata
dilupakan dan benda jadi aus.
Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan
terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika
ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan
dunia tak akan saling menyapa lagi.

91
Dengan menerima metafor kita tahu, bahwa pada
mulanya bukanlah Kata, melainkan tafsir. Dunia
menyentuhnya sepanjang perjalanan, ruang dan
waktu mengubahnya.
Memang mencemaskan jika Yang Kekal, juga
tanda-tandanya, tak hadir di antara kita:
masa lalu akan terasa bodoh dan masa depan
hampa. Tapi kesalahan kita selama ini ialah
menyimpulkan bahwa jika Yang Kekal mustahil
bergabung dengan yang fana, maka ia sebenarnya
tak ada. Atau sebaliknya: yang fana kita anggap

yang berdosa.

Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan
di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966),
juga mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya:
Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang
(kumpulan esai, 1972), Interlude (kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita (kumpulan
esai, 1980), Catatan Pinggir. Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi
pemimpin redaksi majalah Tempo.

Catatan Lain

Buku Goenawan Mohamad ini, disebut-sebut sebagai kumpulan esai amat pendek.
Sejak menemukannya di rak buku penyair Y.S. Agus Suseno, saya membiarkannya tak
tersentuh tapi tetap menyisihkannya ke kumpulan buku-buku yang “ingin saya pinjam”.
Belakangan, ketika buku-buku yang sudah dipinjam hampir habis saya lahap, saya
menengok lagi. Baiklah, saya masukkan saja, dengan alasan, ini adalah esai bertipografi
puisi, yaitu disusun atas bait-bait sebagaimana umumnya puisi. Dengan alasan itu pula,
saya kutipkan puisi GM yang pernah dimuat di Kompas pada 21 Februari 2010, sebagai
perbandingan. Hehe. Kalau menengok asal buku, sepertinya tulisan di halaman awal
bisa jadi petunjuk: “Untuk//sahabat yb, YS Agus Suseno//rtb-ida//Yogya, Des ‘07”
Sepertinya buku ini dikasih sama Raudal Tanjung Banua.

Dalam Kemah
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potonganpotongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku akan
menatapmu dalam tidur.
Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.
Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.

Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
2010

Di Depan Sancho Panza
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
2009

Teleskop
Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang sebenarnya takut
menyentuhmu.
Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu selamanya tak

menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang
bergetar berulang kali.
Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu
di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.
2009