Kompetisi dan Tumpang tindih Relung anta

UNIVERSITAS INDONESIA

KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA

SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN SKRIPSI MARSYA CHRISTYANTI 1006675991

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JUNI 2014

UNIVERSITAS INDONESIA KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

MARSYA CHRISTYANTI 1006675991 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JUNI 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal karena hanya oleh kasih karunia dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dapat dituntaskan karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Noviar Andayani, M.Sc. sebagai pembimbing I dan Dr. Nurul Laksmi Winarni, M.Sc. sebagai pembimbing II yang telah membimbing penulis dari awal pencetusan ide penelitian sampai akhir masa penulisan. Penulis berterima kasih untuk seluruh masukan, gagasan, kritik, dukungan, dan terutama inspirasi yang telah diberikan.

2. Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. sebagai penguji I dan Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc. sebagai penguji II yang telah memberikan banyak masukan dan kritik dalam rancangan penelitian dan penulisan hasil penelitian.

3. Dr. Anom Bowolaksono, M.Si. sebagai Penasihat Akademik atas bimbingan dan dukungan selama masa perkuliahan.

4. Dr. Andi Salamah sebagai Ketua Prodi S1 Departemen Biologi FMIPA UI dan Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc. sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA UI.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Departemen Biologi FMIPA UI atas bantuan selama masa perkuliahan.

6. Dr. Susan Lappan untuk ilmu, kritik, dan saran dalam pembuatan rancangan penelitian.

7. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Way Canguk. Penulis berterima kasih kepada Pak Opo yang telah memberikan perizinan dan saran untuk penelitian, Mas Seti sebagai asisten lapangan, dan Mas Gawik, Mas Jayus, Mas Lazi, dan Mas Rahman yang telah membantu selama pengambilan data di lapangan.

8. Nagao Environment Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan.

iv

9. Keluarga tercinta, yaitu Mama, Inangboru Merry, Inangboru Dame, Uda Sintong, Ompung Doli, Ompung Boru, Rio, Athan, Hana, dan Yoshua yang setia berdoa dan memberikan dukungan finansial.

10. Almarhum Ayah yang semasa hidupnya merupakan seorang petualang dan pecinta alam. Jiwa petualang dan kisah hidupnya yang hanya penulis dengar sebagai cerita selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk tidak berhenti mengeksplorasi alam.

11. Partner ekologi hewan, yaitu Sheherazade, Ardiantiono, Shafia Zahra, Pramita Indrarini, dan Achmad Ridha Junaid, yang telah menjadi sahabat diskusi yang menyenangkan; Dyna, Abinubli, Ricky, Ninda, Elisabeth, Ayu, Deka, Cindy Kus, dan seluruh anggota keluarga B10GENESIS lainnya untuk persahabatan dan kekeluargaan selama masa perkuliahan.

12. Teman-teman, junior, dan senior Biologi serta ketiga BSO (KSHL Comata, OMPT Canopy, dan SIGMA-B UI), terutama Nuruliawati, Niken Ekatiwi, Lucia, Kak Sasha, Kak Sisil, Kak Eman, Kak Wendy, untuk tumpahan ilmu, diskusi, motivasi, dan pengalaman lapangan.

13. Teman-teman persekutuan dalam Kristus, yaitu Octy, Gina, Aviana, Livia, Septi, Zendy, Inez, dan seluruh anggota Persekutuan Alumni SMAN 8 untuk doa dan semangat.

Walaupun naskah ini tidak sempurna, penulis berharap hasil penelitian ini dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk konservasi biodiversitas hutan hujan tropis Indonesia.

Depok, 30 Juni 2014 Penulis

ABSTRAK

Nama

: Marsya Christyanti

Program Studi

: S1 Biologi

Judul : Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal Lainnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Siamang hidup berdampingan dengan berbagai spesies mamalia arboreal yang berpotensi sebagai kompetitor di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi kompetisi antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui tumpang-tindih relung berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di antara komunitas mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari hingga April 2014 dengan dua metode, yaitu metode focal instantaneous sampling untuk pengamatan perilaku siamang dan metode transek garis untuk survei mamalia arboreal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siamang berkompetisi dengan simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Tumpang-tindih relung terbesar terjadi antara siamang dengan jelarang hitam berdasarkan pemilihan pakan (R o = 0,418) dan penggunaan habitat (Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Dari 57 interaksi interspesifik antara siamang dan mamalia arboreal lainnya, terdapat 61,40% interaksi netral, 19,30% agresi, dan 19,30% dominansi. Kesimpulan penelitian ini adalah kompetisi interferensi dan eksploitatif terjadi antara siamang dan ketiga spesies mamalia arboreal serta terdapat tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga spesies mamalia arboreal.

Kata Kunci : kompetisi interspesifik, mamalia arboreal, relung, siamang.

xiii + 91 halaman : 14 gambar; 12 tabel; 7 lampiran Daftar Acuan

: 58 (1957--2013)

vii

ABSTRACT

Name

: Marsya Christyanti

Study Program

: S1 Biologi

Judul : Competition and Niche Overlap between Siamang (Symphalangus syndactylus) and Other Arboreal Mammals in Bukit Barisan Selatan National Park

Siamang coexists with various arboreal mammal species which are potential competitors to siamang in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP). The aims of this study are to determine whether interspecific competition occurs between siamang and other arboreal mammals and to determine niche overlap in terms of habitat use and food selection among mammals community in Way Canguk Research Station, BBSNP. Data collection was conducted on February until April 2014 using two methods: focal instantaneous sampling to measure siamang behavior and line transect method to survey coexisting mammals. The result of this research suggests that siamang competes with banded langur, plaintain squirrel, and black giant squirrel. Niche overlap is the highest between siamang and black giant squirrel based on food preference (Ro = 0,418) and habitat use (Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Among 57 interspecific interactions between siamang and other arboreal mammals, 61,40% are netral interactions, 19,30% are agressions, and 19,30% are dominance interactions. This research concludes that interference and exploitative competition occur between siamang and three other arboreal mammals and there is niche overlap among them.

Keywords : interspecific competition, arboreal mammals, niche, siamang.

xiii + 91 pages : 14 pictures; 12 tables; 7 appendices Daftar Acuan : 58 (1957--2013)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan) ............ 8 Gambar 2.2.3.

Peta distribusi Hylobatidae di Asia Tenggara ................... 10 Gambar 2.2.6.

Komposisi pakan siamang di TNBBS .............................. 12 Gambar 2.4(1)

Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS .............. 19 Gambar 2.4(2)

Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat laut (bawah) di Way Canguk ............................................ 21

Gambar 3.3.1. Wilayah jelajah beberapa kelompok siamang yang telah terhabituasi di area penelitian selatan ............................... 26

Gambar 4. Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi di area survei ...................................................... 32

Gambar 4.1(1) Diagram komposisi pakan tiga kelompok siamang subjek penelitian ......................................................................... 33

Gambar 4.1(2) Diagram perbandingan komposisi pakan siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ..................................... 34

Gambar 4.2(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) .......................................... 39 Gambar 4.2(2) Ordinasi penggunaan habitat oleh empat spesies mamalia arboreal terhadap PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) ...... 40 Gambar 4.2(3)

Boxplot ketiga variabel yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2 .................................................................... 42

Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada sumbu PC1 dan PC2 ........................................................ 46 Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan PC2 .................................................................................. 47

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta pola aktivitas dan arborealitas .......................................... 14

Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian .............. 23 Tabel 3.3.2(1)

Variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan PCA untuk mengetahui tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal ............................................................................ 28

Tabel 3.3.2(2) Variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan PCA untuk mengetahui perbedaan kondisi habitat yang berhubungan dengan interaksi interspesifik ...................... 29

Tabel 4.1(1) Tabel ringkasan catatan spesies pakan dan tumpang-tindih relung berdasarkan pemilihan pakan................................. 35

Tabel 4.1(2) Daftar spesies tumbuhan pakan siamang yang juga dimakan oleh simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ................. 36

Tabel 4.2(1) Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat .............. 37 Tabel 4.2(2)

Hasil uji Kruskal-Wallis variabel penggunaan habitat dengan faktor keempat spesies mamalia arboreal (siamang, simpai, bajing kelabu, dan jelarang hitam)........................ 41

Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan mamalia arboreal lainnya ................................................. 44

Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2 ................... 47

Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ................................................ 48

Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan jelarang hitam .................................................................. 50

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar sepuluh mamalia arboreal yang terdapat di ruang jelajah siamang ...................................................................... 62 Lampiran 2. Daftar kategori dan spesies pakan siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ...................................................... 63 Lampiran 3. Perhitungan indeks tumpang-tindih Horn ............................... 66 Lampiran 4. Analisis variabel penggunaan habitat oleh siamang dan tiga

spesies mamalia arboreal menggunakan metode PCA ............ 72 Lampiran 5. Analisis penggunaan habitat dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon .......................................................................... 78 Lampiran 6. Analisis dengan metode PCA pada variabel kondisi habitat yang memungkinkan terjadinya interaksi interspesifik ........... 82 Lampiran 7. Analisis kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi interspesifik dengan uji Kruskal-Wallis .................................. 89

xiii

BAB 1 PENDAHULUAN

Kompetisi interspesifik terjadi jika dua spesies yang berbeda menggunakan sumber daya yang sama dan hanya tersedia dalam jumlah terbatas. Menurut MacArthur (1972: 21), mekanisme terjadinya kompetisi tidak terlihat secara langsung, tetapi dapat disimpulkan dari bukti-bukti yang dapat ditemukan di alam. Pada prinsipnya, dua spesies disebut berkompetisi jika peningkatan populasi spesies yang satu berakibat pada penurunan populasi spesies yang lain (Connell 1961: 715, 722; Krohne 2001: 223).

Subjek penelitian kompetisi interspesifik pada umumnya adalah spesies- spesies berkerabat dekat yang hidup simpatrik, seperti yang dilaporkan antara lain pada komunitas kadal di Amerika Utara, Afrika bagian selatan, dan Australia Barat (Pianka 1973), burung dari famili Bucerotidae di Sumatra (Hadiprakarsa 2000), owa dengan siamang di Sumatra (Elder 2009), serta dua spesies marsupial dari genus Didelphis di Amerika Selatan (Cáceres & Machado 2013). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kompetisi terkuat terjadi di antara spesies-spesies yang berkerabat dekat dengan kebutuhan sumber daya yang serupa (Tokeshi 1999: 155).

Organisme tidak hanya hidup berdampingan dengan spesies yang berkerabat dekat, melainkan juga dengan spesies-spesies lain dari taksa yang lebih luas. Kompetisi interspesifik juga dapat terjadi pada spesies-spesies berkerabat jauh yang memanfaatkan sumber daya serupa, baik pakan maupun ruang. Fenomena itu pernah dilaporkan oleh Estrada & Coates-Estrada (1985: 34--35) yang menyatakan bahwa monyet howling (Alouatta palliata) dan serangga herbivora mengalami kompetisi interspesifik secara asimetris untuk memperebutkan sumber daya pakan berupa daun di hutan hujan tropis Los Tuxtlas, Meksiko. Marshall dkk. (2009: 173--175, 181) juga pernah melaporkan bahwa kompetitor paling berpengaruh terhadap owa kalimantan (Hylobates albibarbis ) bukanlah dari kelompok primata, melainkan bajing tiga warna

1 Universitas Indonesia

(Callosciurus prevostii) yang mengonsumsi buah muda yang menjadi pakan primata tersebut.

Kompetisi interspesifik telah lama diduga berpengaruh terhadap pembentukan struktur komunitas satwa. Walaupun hal tersebut masih sering diperdebatkan hingga saat ini (Schoener 1983: 240; Krohne 2001: 279; Rohde 2013: 371), Beaudrot dkk. (2012: 182) secara tegas mengemukakan bahwa interaksi interspesifik di dalam dan di antara kelompok-kelompok taksa yang berbeda memiliki peran penting terhadap distribusi spesies dan struktur komunitas. Dalam penelitiannya, Beaudrot dkk. (2012: 182) dan Beaudrot dkk. (2013: 1061) menemukan bahwa struktur komunitas vertebrata di Kalimatan dipengaruhi oleh competitive exclusion di antara spesies-spesies yang berkerabat jauh. Oleh karena itu, penelitian mengenai kompetisi interspesifik di dalam suatu komunitas penting dilakukan untuk memahami dinamika komunitas, terutama untuk mengetahui bagaimana berbagai spesies berbagi sumber daya yang terbatas.

Siamang merupakan primata arboreal sejati yang menghuni hutan hujan tropis Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Sebagai primata arboreal sejati, hampir seluruh aktivitas harian siamang dilakukan di lapisan tajuk tengah dan atas (Gittins & Raemaekers 1980: 80--84; Markhamah 2007: 76). Siamang di Semenanjung Malaysia dilaporkan lebih bersifat foliovora dibandingkan dengan kerabatnya di Sumatra yang lebih banyak mengonsumsi buah (Gittins & Raemaekers 1980: 90; Nurcahyo 1999: 24; O‟Brien dkk. 2003: 120). Komposisi pakan siamang di Semenanjung Malaysia terdiri atas 43% daun, 22% buah Ficus spp., 15% materi hewani, 14% buah pohon lain, dan 6% bunga (Gittins & Raemaekers 1980: 90), sedangkan di Sumatra terdiri atas 52,07% buah, 42,62% daun, dan 5,3% bunga (Nurcahyo 1999: 24).

Salah satu habitat siamang di Sumatra adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kepadatan siamang di dalam kawasan konservasi

tersebut cukup tinggi, yaitu 2,23 kelompok/km 2 . O‟Brien dkk. (2004: 278--279) menyatakan bahwa TNBBS memiliki populasi siamang yang tinggi dibandingkan

lokasi lainnya di Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Stasiun Penelitian Way Canguk yang berada di dalam TNBBS, siamang hidup berdampingan dengan 55 spesies mamalia lainnya

(Iqbal dkk. 2001: 13). Dari 26 famili mamalia yang terdapat di TNBBS, setidaknya terdapat lima famili yang memiliki kemiripan cara hidup dengan siamang, yaitu bersifat arboreal, frugivora, dan diurnal. Kelima famili mamalia tersebut adalah Tupaiidae, Cercopithecidae, Ursidae, Mustelidae, dan Sciuridae (Payne 1980: 266--267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14).

Kompetisi terjadi ketika ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan suatu spesies berkurang akibat aktivitas spesies lain, baik secara eksploitatif maupun interferensi. Oleh karena itu, fauna yang bersifat arboreal, baik parsial maupun sejati, berpotensi mengalami kompetisi dengan siamang (Payne 1980: 261). Tubuh siamang yang besar dan populasi siamang yang tinggi di TNBBS menjadi dasar untuk menduga bahwa siamang merupakan kompetitor yang dominan. Penelitian mengenai kompetisi interspesifik di antara tiga spesies primata paling melimpah di TNBBS telah dilakukan oleh Elder (tidak dipublikasikan). Namun, interaksi kompetitif antara siamang dan satwa selain kelompok primata belum banyak diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi kompetisi antara siamang dengan spesies-spesies mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk.

Penelitian noneksperimental di alam untuk mengetahui terjadinya kompetisi pada umumnya menggunakan pendekatan indeks tumpang-tindih relung walaupun indeks tersebut tidak secara tegas mengindikasikan kompetisi (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres & Machado 2013: 13). Tiga parameter umum untuk mendefinisikan relung adalah penggunaan habitat, pemilihan pakan, dan pola aktivitas harian (Holt 1987: 111). Melalui penelitian ini, tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal akan dikaji dari segi penggunaan habitat dan pemilihan pakan, kemudian dianalisis kaitannya dengan kompetisi. Pola aktivitas harian tidak menjadi bahasan karena spesies-spesies mamalia subjek penelitian merupakan satwa diurnal.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah terjadi kompetisi antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui tumpang-tindih relung berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di antara komunitas mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Berdasarkan tujuan tersebut, hipotesis yang diajukan adalah terjadi kompetisi sumber daya Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah terjadi kompetisi antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui tumpang-tindih relung berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di antara komunitas mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Berdasarkan tujuan tersebut, hipotesis yang diajukan adalah terjadi kompetisi sumber daya

Penelitian tentang kompetisi interspesifik dalam cakupan taksa yang luas penting dilakukan untuk memahami peran kompetisi dalam pembentukan suatu komunitas. Pengetahuan tentang dinamika komunitas penting dalam manajemen kawasan konservasi, misalnya dalam menentukan area prioritas konservasi, luas kawasan, dan lokasi pelepasliaran satwa yang dikembalikan ke hutan tanpa mengganggu komunitas yang ada. Jika kompetisi merupakan faktor penting dalam komunitas, pengambilan keputusan dalam manajemen konservasi sebaiknya tidak hanya didasarkan pada faktor abiotik, melainkan juga mempertimbangkan interaksi interspesifik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompetisi Interspesifik dan Pembagian Relung

Kompetisi merupakan bentuk interaksi yang menarik untuk dikaji karena memberikan dampak negatif kepada pihak-pihak yang terlibat. Kompetisi terbagi menjadi dua tipe, yaitu kompetisi intraspesifik dan kompetisi interspesifik. Kompetisi intraspesifik terjadi di antara individu dari spesies yang sama, sedangkan kompetisi interspesifik terjadi pada spesies yang berbeda. Kedua bentuk kompetisi tersebut terjadi oleh penyebab yang sama, yaitu perebutan sumber daya (Caughley & Sinclair 1994: 110 & 131). Bagian yang akan dikaji pada penelitian ini adalah kompetisi interspesifik.

Kompetisi interspesifik adalah interaksi di antara individu dari spesies yang berbeda akibat penggunaan sumber daya yang sama dan terbatas. Kompetisi dapat juga terjadi saat sumber daya yang tersedia tidak terbatas jika suatu spesies melukai spesies lain dalam proses pencarian sumber daya (Birch 1957: 6). Menurut MacArthur (1972: 21), dua spesies disebut berkompetisi jika peningkatan populasi suatu spesies berdampak pada penurunan populasi spesies yang lain. Contoh proses yang memungkinkan antara lain suatu spesies mengurangi persediaan makanan spesies lain, kedua spesies saling berkelahi, atau keberadaan suatu spesies meningkatkan predator spesies lainnya. Bukti kompetisi biasanya tidak teramati secara langsung di alam (MacArthur 1972: 21).

Definisi kompetisi memberikan empat implikasi penting. Pertama, kompetisi berpengaruh terhadap kesintasan individu-individu yang terlibat. Pengaruh tersebut dapat terjadi dalam bentuk penurunan kemampuan bertahan hidup, pertumbuhan, atau reproduksi. Kedua, penggunaan sumber daya yang sama tidak secara langsung mengindikasikan kompetisi jika tidak diketahui bahwa sumber daya tersebut terbatas. Ketiga, dua spesies tidak berkompetisi jika tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi ketersediaan sumber daya untuk spesies lain. Keempat, kompetisi dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu

5 Universitas Indonesia 5 Universitas Indonesia

Kompetisi sudah menjadi topik bahasan ahli ekologi sejak setidaknya delapan dekade yang lalu. Penelitian eksperimental klasik yang menjadi dasar teori kompetisi dilakukan oleh Connell (1961). Dalam penelitian tersebut, Connell menemukan bahwa kompetisi interspesifik di antara dua spesies teritip, yaitu Balanus dan Chthamalus, merupakan faktor terpenting yang memengaruhi populasi Chthamalus dibandingkan faktor lainnya seperti predator dan kondisi fisik. Keberadaan Balanus meningkatkan mortalitas dan menurunkan kemampuan reproduksi Chthamalus (Connell 1961: 715, 722).

Kompetisi interspesifik memiliki kaitan yang erat dengan relung (Wiens 1989: 147). Konsep relung mulai berkembang sejak tahun 1917 dan telah banyak terdapat definisi relung. Namun, definisi yang paling sering digunakan adalah definisi yang diajukan oleh Hutchinson yang mendefinisikan relung secara matematis s ebagai “n-dimensional hypervolume” (Hutchinson 1957: 416). Berdasarkan perumusan oleh Hutchinson tersebut, relung dapat diartikan sebagai seluruh kisaran kondisi biotik dan abiotik yang memungkinkan suatu spesies mempertahankan ukuran populasi yang stabil (Wiens & Graham 2005: 519). Relung dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu relung fundamental dan relung nyata. Relung fundamental adalah kondisi abiotik yang memungkinkan suatu spesies bertahan hidup, sedangkan relung nyata adalah bagian dari relung fundamental yang ditempati suatu spesies jika dibatasi oleh interaksi dengan organisme lain (Hutchinson 1957: 416--418).

Kompetisi sering kali dikaitkan dengan tumpang-tindih relung antara dua spesies. Tumpang-tindih yang besar dapat mengindikasikan kompetisi interspesifik. Namun, terdapat perdebatan di antara ahli ekologi mengenai hubungan tumpang-tindih relung dengan kompetisi interspesifik. Tumpang-tindih relung yang besar dapat juga terjadi akibat toleransi interspesifik, sedangkan tumpang-tindih yang kecil dapat terjadi karena dua spesies berkompetisi, Kompetisi sering kali dikaitkan dengan tumpang-tindih relung antara dua spesies. Tumpang-tindih yang besar dapat mengindikasikan kompetisi interspesifik. Namun, terdapat perdebatan di antara ahli ekologi mengenai hubungan tumpang-tindih relung dengan kompetisi interspesifik. Tumpang-tindih relung yang besar dapat juga terjadi akibat toleransi interspesifik, sedangkan tumpang-tindih yang kecil dapat terjadi karena dua spesies berkompetisi,

2.2. Siamang

Siamang merupakan salah satu spesies primata dari famili Hylobatidae, yaitu salah satu famili dari kelompok primata yang bersifat diurnal, arboreal, dan teritorial (Nowak 1999: 169, 171). Di antara kera lainnya, famili Hylobatidae merupakan kelompok kera dengan ukuran tubuh terkecil sehingga disebut juga kera kecil (lesser ape). Selain ukuran tubuh, perbedaan antara Hylobatidae dengan kera lainnya--orangutan, gorila, dan simpanse--adalah gaya hidup yang sepenuhnya arboreal, memiliki bantalan duduk (ischial callosities), dan tidak membuat sarang untuk tidur (Bartlett 1999: 44).

2.2.1. Klasifikasi Siamang

Siamang dikelompokkan ke dalam genus Hylobates bersama owa bertubuh kecil lainnya oleh beberapa ahli (Miller 1933: 159; Napier & Napier 1985: 161), tetapi Brandon-Jones dkk. (2004: 153) mengelompokkannya ke dalam genus tersendiri, yaitu Symphalangus. Genus Symphalangus hanya terdiri atas satu spesies, yaitu S. syndactylus, dengan dua subspesies. Kedua subspesies siamang dibedakan berdasarkan distribusinya. Symphalangus syndactylus syndactylus Raffles (1821) terdistribusi di Sumatra, Indonesia, sedangkan S. syndactylus continentis Thomas (1908) terdistribusi di Semenanjung Malaysia.

2.2.2. Morfologi Siamang

Siamang mudah dibedakan dengan spesies Hylobatidae lain karena berukuran besar dan berwarna hitam pekat. Di antara anggota famili tersebut, Siamang mudah dibedakan dengan spesies Hylobatidae lain karena berukuran besar dan berwarna hitam pekat. Di antara anggota famili tersebut,

Siamang tidak menunjukkan adanya dimorfisme seksual. Warna rambut, ukuran tubuh, dan panjang gigi taring siamang jantan dan betina sama (Bartlett 1999: 45). Baik siamang jantan maupun betina juga memiliki kantung udara yang berfungsi untuk vokalisasi. Walaupun tidak terdapat dimorfisme seksual, individu jantan dan betina dapat dibedakan (Gambar 2.2.2.). Individu jantan memiliki rambut skrotal, sedangkan individu betina tidak (Prasetyaningrum 2001: 30).

50 cm

(a)

Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan). Keterangan:

Jenis kelamin siamang dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya rambut skrotal. Individu jantan memiliki rambut skrotal (a) di antara kedua kakinya.

[Sumber: Dokumentasi pribadi]

Seperti spesies dari famili Hylobatidae lainnya, siamang memiliki ekstremitas anterior yang lebih panjang daripada ekstremitas posterior sebagai adaptasi untuk pergerakan brakiasi. Di antara spesies-spesies Hylobatidae lainnya, siamang memiliki intermembral index terbesar, yaitu 145--152 (Miller 1933: 159). Ciri khas siamang yang tidak dimiliki oleh spesies Hylobatidae lainnya adalah selaput antarjari yang menghubungkan jari kaki kedua dan ketiga (LBN-LIPI 1982: 85; Nowak 1999: 168).

2.2.3. Habitat dan Distribusi

Siamang terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaysia (LBN-LIPI 1982: 85; Nowak 1999: 168). Siamang pada umumnya dapat ditemukan di dataran rendah sampai daerah pegunungan setinggi 2000 m (LBN-LIPI 1982: 85). Menurut Wilson & Wilson (1976: 17), siamang di Sumatra terdapat di rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang terletak memanjang di bagian barat Sumatra (Gambar 2.2.3.) dan lebih menyukai hutan dataran rendah dan perbukitan.

Siamang simpatrik dengan dua kerabat dekatnya, yaitu Hylobates agilis dan H. lar, di rangkaian pegunungan bagian barat Sumatra, tetapi siamang tidak ditemukan di dataran rendah bagian timur Sumatra. Siamang simpatrik dengan H. agilis dari bagian selatan Sumatra sampai Simpangkiri, Aceh, dan Sungai Wampu, Sumatra Utara, sedangkan daerah simpatrik siamang dengan H. lar meliputi bagian utara dari Simpangkiri dan Sungai Wampu (Wilson & Wilson 1976: 17). Hasil studi O‟Brien (2004: 276--278) menunjukkan bahwa kepadatan siamang berkorelasi negatif dengan kepadatan Hylobatidae yang simpatrik dengannya. Kepadatan siamang tertinggi terdapat pada hutan dataran rendah (< 300 mdpl), terendah di hutan ketinggian sedang, kemudian meningkat kembali di hutan pegunungan. Sementara itu, kepadatan H. agilis tertinggi terdapat di hutan ketinggian sedang. Kepadatan siamang menunjukkan peningkatan dari lintang utara ke selatan, yaitu dari Semenanjung Malaysia ke Sumatra, sementara kepadatan H. agilis cenderung berkurang (O'Brien 2004: 279).

Gambar 2.2.3. Peta distribusi Hylobatidae di Asia Tenggara.

Keterangan: Siamang terdistribusi di bagian barat Sumatra dan Semenanjung Malaysia (warna hijau).

[Sumber: www.gibbons.de]

2.2.4. Perilaku

Siamang merupakan primata diurnal, yaitu melakukan sebagian besar aktivitas pada siang hari. Aktivitas harian siamang dimulai antara pukul 06.00--

07.00. Secara umum, aktivitas harian siamang dapat dibagi ke dalam lima kategori, yaitu istirahat, makan, mencari makan, bergerak, dan perilaku sosial. Aktivitas utama siamang adalah istirahat (56,80%) dan makan (25,96%). Siamang paling aktif mencari makan pada pagi hari (07.00--08.00) dan sore hari (14.00--16.00). Aktivitas bergerak terbagi ke dalam empat tipe, yaitu brakiasi, memanjat, berjalan, dan melompat. Sebagian besar pergerakan siamang (81,64%) dilakukan dengan cara brakiasi. Aktivitas sosial terdiri atas menggaruk individu lain, calling, dan mengancam (Nurcahyo 1999: 23--34). Perilaku mengancam 07.00. Secara umum, aktivitas harian siamang dapat dibagi ke dalam lima kategori, yaitu istirahat, makan, mencari makan, bergerak, dan perilaku sosial. Aktivitas utama siamang adalah istirahat (56,80%) dan makan (25,96%). Siamang paling aktif mencari makan pada pagi hari (07.00--08.00) dan sore hari (14.00--16.00). Aktivitas bergerak terbagi ke dalam empat tipe, yaitu brakiasi, memanjat, berjalan, dan melompat. Sebagian besar pergerakan siamang (81,64%) dilakukan dengan cara brakiasi. Aktivitas sosial terdiri atas menggaruk individu lain, calling, dan mengancam (Nurcahyo 1999: 23--34). Perilaku mengancam

2.2.5. Struktur sosial

Siamang hidup dalam kelompok keluarga (selanjutnya hanya disebut kelompok) yang bersifat teritorial. Satu kelompok siamang pada umumnya terdiri atas empat individu yang beranggotakan pasangan jantan dan betina dewasa serta beberapa anak yang belum mandiri (Chivers 1974: 274; Gittins & Raemaekers 1980: 68). Siamang dan juga semua spesies dari famili Hylobatidae memiliki ukuran kelompok yang kecil untuk mengurangi kompetisi antarindividu saat mencari makanan. Semakin besar ukuran kelompok, kompetisi antarindividu juga semakin besar. Sifat teritorial siamang berkaitan dengan distribusi sumber pakan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Walaupun mempertahankan suatu teritori membutuhkan energi yang besar, siamang mendapatkan keuntungan berupa jaminan persediaan makanan sepanjang tahun (Gittins & Raemaekers 1980: 101-- 103).

Berbeda dengan primata dan bahkan sebagian besar mamalia lain, induk jantan siamang terlibat dalam pengasuhan bayi. Menurut Gittins & Raemaekers (1980: 70), selama satu tahun sejak kelahiran, bayi siamang diasuh oleh induk betina, kemudian pada tahun kedua, bayi diasuh oleh induk jantan. Perilaku tersebut berbeda dengan kerabat simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis) yang hanya menunjukkan pengasuhan bayi oleh induk betina.

Siamang pada umumnya bersifat monogami. Namun, beberapa kelompok poliandri ditemukan pada populasi siamang di Way Canguk. Menurut Lappan (2008: 1314--1315), keberadaan individu jantan sekunder tidak berhubungan dengan peningkatan total asuhan yang diterima bayi serta ikatan antara jantan dan induk betina. Poliandri pada siamang diduga merupakan mekanisme untuk mengurangi interval antarkelahiran pada siamang betina, dengan kata lain meningkatkan kesuksesan reproduksi betina.

2.2.6. Pakan

Pakan siamang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bagian reproduktif tumbuhan (bunga dan buah), bagian vegetatif tumbuhan (daun), serta materi hewani (Gittins & Raemaekers 1980: 88). Siamang sering dideskripsikan sebagai foliovora (Gittins & Raemaekers 1980: 100--101; Napier & Napier 1985: 161; Supriatna & Wahyono 2000: 294), tetapi siamang di Sumatra diketahui lebih bersifat frugivora (Nurcahyo 1999: 37). Komposisi pakan siamang di TNBBS (Gambar 2.2.6.) didominasi oleh buah dengan persentase sebesar 52,07% (Nurcahyo 1999: 24).

30.00% Tumbuhan lain

20.00% Liana Pohon lain

10.00% Ficus spp. Ficus spp.

Tumbuhan lain

Pohon lain

Ficus spp. Ficus spp.

Gambar 2.2.6. Komposisi pakan siamang di TNBBS.

[Sumber: Nurcahyo 1999:24]

Siamang menunjukkan preferensi terhadap buah Ficus spp. Siamang cenderung memakan lebih banyak buah Ficus spp. pada pagi hari saat memulai aktivitas. Hal tersebut diduga karena buah Ficus spp. menyediakan nutrisi yang melimpah dan siap dicerna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi setelah berpuasa sepanjang malam (Gittins & Raemaekers 1980: 90--93). Persentase buah Ficus Siamang menunjukkan preferensi terhadap buah Ficus spp. Siamang cenderung memakan lebih banyak buah Ficus spp. pada pagi hari saat memulai aktivitas. Hal tersebut diduga karena buah Ficus spp. menyediakan nutrisi yang melimpah dan siap dicerna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi setelah berpuasa sepanjang malam (Gittins & Raemaekers 1980: 90--93). Persentase buah Ficus

Menurut Nurcahyo (1999: 27) spesies tumbuhan selain Ficus spp. yang diketahui merupakan pakan siamang adalah Actinodaphne nigrescens, Aglaia odoratissima , Alseodaphne nigrescens, Anamirta cocculus, Antocephalus sp., Atuna racemosa , Bauhinia sp., Beilschmiedia lucida, Bridelia monoica, Cananga odorata , Cryptocarya ferrea, Daemonorops sp., Diospyros truncata, Dracontomelon dao , Durio sp., Dysoxylum caulostachyum, Eugenia jamboloides, Garcinia sp., Horsfieldia bracteosa, Leuconotis eugenifolia, Michelia champaca, Polyalthia spp., Popowia pisocarpa, Pterospermum sp., Shorea javanica, Siphonodon celastrineus , Stelechocarpus burahol, dan Xerospermum noronhianum . Sementara itu, Rusmanto (2001:18--20) mendata 43 spesies tumbuhan yang dikonsumsi buahnya oleh siamang. Spesies-spesies tersebut termasuk dalam famili Alangiaceae, Annonaceae, Arecaceae, Boraginaceae, Clusiaceae, Combretaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Meliaceae, Menispermaceae, Moraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Olacaceae, Rhamnaceae, Rutaceae, Sapotaceae, Sapindaceae, dan Vitaceae.

Puncak aktivitas makan siamang bersifat bimodal, yaitu antara pukul 07.00--08.00 dan 14.00--16.00. Aktivitas makan di pagi hari diduga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan energi untuk beraktivitas di siang hari. Sementara itu, makanan yang dimakan pada sore hari berfungsi sebagai cadangan energi untuk malam hari (Nurcahyo 1999: 26, 37).

2.2.7. Peran Ekologis

Siamang merupakan pemencar biji yang efektif. Siamang, seperti Hylobatidae lainnya, tidak mengunyah atau menghancurkan biji dari buah yang dimakan. Biji ditelan, kemudian dibuang secara utuh dalam bentuk feses beberapa ratus meter dari pohon pakan (Gittins & Raemaekers 1980: 88). Sebagian besar biji yang dimakan oleh siamang akan dipencarkan melalui proses Siamang merupakan pemencar biji yang efektif. Siamang, seperti Hylobatidae lainnya, tidak mengunyah atau menghancurkan biji dari buah yang dimakan. Biji ditelan, kemudian dibuang secara utuh dalam bentuk feses beberapa ratus meter dari pohon pakan (Gittins & Raemaekers 1980: 88). Sebagian besar biji yang dimakan oleh siamang akan dipencarkan melalui proses

2.3. Mamalia Arboreal

Mamalia arboreal adalah mamalia yang mencari makan di tajuk hutan, baik pada bagian bawah, tengah, maupun atas (Beaudrot dkk. 2013: 1056). Mamalia arboreal meliputi berbagai famili, antara lain Pteropodidae, Tupaiidae, Lorisidae, Cercopithecidae, Hylobatidae, Sciuridae, Muridae, Ursidae, dan Viverridae (Payne 1980: 266--267). Mamalia arboreal yang bersifat nokturnal terhindar dari kompetisi secara langsung dengan siamang akibat pembagian relung secara temporal. Walaupun demikian, mamalia nokturnal dapat menyebabkan kompetisi karena aktivitas makan mamalia nokturnal dapat mengurangi ketersediaan sumber daya bagi mamalia arboreal diurnal (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35). Tabel 2.3. berisi daftar famili dan spesies seluruh mamalia yang terdapat di Way Canguk. Dari tabel tersebut, terlihat spesies- spesies mamalia arboreal dan diurnal yang menjadi subjek penelitian. Berikut adalah paparan singkat famili mamalia arboreal diurnal selain Hylobatidae yang terdapat di Way Canguk, TNBBS.

Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta pola aktivitas dan arborealitas. Famili

N/D A/T Manidae

Spesies

Nama Indonesia

NT Tupaiidae

Manis javanica

Trenggiling leusing

Tupaia tana

D T Tupaia minor *

Tupai tanah

D A, T Tupaia glis *

Tupai kecil

D A, T Cynocephalidae

Tupai akar

Cynocephalus

NA variegatus

Kubung malaya

Pteropodidae Cynopterus brachyotis

NA Pteropus vampyrus

Codot krawar

NA Hipposideridae

Kalong besar

NA Molossidae

Hipposideros diadema

Barong besar

Chriromeles torquatus Kelelawar moncong-babi NA

Tabel 2.3. (lanjutan)

NA Lorisidae

Tarsiidae Tarsius bancanus

Krabuku ingkat

NA Cercopithecidae

Nycticebus coucang

Kukang bukang

Macaca fascicularis *

D A Macaca nemestrina *

Monyet kra

D A, T Presbytis melalophos *

Monyet beruk

D A Trachypithecus

Simpai/cecah

D A cristatus *

Lutung kelabu

Hylobatidae Hylobates agilis *

D A Symphalangus

Owa ungko

D A syndactylus *

Siamang

NT Ursidae

Caniidae Cuon alpinus

Anjing ajag

D, N A, T Mustelidae

Helarctos malayanus *

Beruang madu

Lutra sp.

D, N T Lutrogale sp.

Berang-berang

D, N T Aonyx sp.

Berang-berang

D T Martes flavigula *

Sero

D, N A Mustela nudipes

Musang leher-kuning

D, N T Viverridae

Musang kepala-putih

Arctitis binturong

N A, T Arctogalidia trivirgata

Binturong

NA Cynogale bennettii

Musang akar

NT Paguma larvata

Musang air

NA Paradoxurus

Musang galing

NA hermaphroditus

Musang luwak

N A, T Felidae

Viverra tangalunga

Tenggalung malaya

N A, T Pardofelis marmorata

Felis bengalensis

Kucing kuwuk

N A, T Panthera tigris

Kucing batu

NT Elephantidae

Harimau loreng

D, N T Tapiridae

Elephas maximus

Gajah asia

NT Rhinocerotidae

Tapirus indicus

Tapir tenuk

D T sumatrensis

Dicerorhinus

Badak sumatra

Suidae Sus barbatus

NT Sus scrofa

Babi berjenggot

NT Tragulidae

Babi celeng

D, N T Tragulus napu

Tragulus javanicus

Pelanduk kancil

D, N T Cervidae

Pelanduk napu

Cervus unicolor

D, N T Muntiacus muntjak

Rusa sambar

Kijang muncak

Tabel 2.3. (lanjutan)

Sciuridae Callosciurus notatus *

D A Lariscus insignis

Bajing kelapa

Bajing-tanah bergaris-tiga D T Ratufa affinis *

D A Ratufa bicolor *

Jelarang bilalang

D A Sundasciurus hippurus * Bajing ekor-kuda

Jelarang hitam

D A Sundasciurus lowii

D T Sundasciurus tenuis *

Bajing ekor-pendek

D A, T Pteromyidae

Bajing bancirot

Petaurista petaurista

Bajing terbang raksasa

NA

merah

NT Muridae

Erinaceidae Echinosorex gymnurus

Rindil bulan

Rattus exulans

NT Leopoldamys sabanus

Tikus ladang

Tikus raksasa ekor

N A, T

panjang

Chiropodomys sp.

NA Maxomys surifer

Nyingnying

NT Hystricidae

Tikus duri merah

Hystrix brachyura

Landak raya

NT

Keterangan: N = nokturnal

D = diurnal

A = arboreal T = terestrial * = spesies yang menjadi subjek penelitian

[Sumber: Payne 1980: 266 —267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14]

2.3.1. Famili Tupaiidae

Mamalia yang tergolong Tupaiidae memiliki morfologi seperti bajing, tetapi dengan moncong yang lebih panjang. Tupaiidae memiliki tungkai depan dan belakang dengan ukuran yang hampir sama (Lawlor 1979: 73). Famili ini merupakan famili endemik di kawasan Indomalaya. Sebagian besar spesies yang termasuk famili Tupaiidae bersifat arboreal dan diurnal. Tupaiidae tergolong omnivora karena memakan buah dan juga invertebrata (Lawlor 1979: 73; Corbet & Hill 1992: 46). Tiga spesies Tupaiidae terdapat di Way Canguk, yaitu Tupaia tana , T. minor, dan T. glis. Dari ketiga spesies tupaiidae tersebut, hanya T. tana yang tidak bersifat arboreal.

2.3.2. Famili Cercopithecidae

Cercopithecidae terdapat di kawasan Indomalaya (enam spesies) dan Afrika tropis (sepuluh spesies). Semua spesies merupakan primata diurnal dan arboreal. Secara umum, Cercopithecidae merupakan omnivora. Buah-buahan merupakan komponen utama pakan dengan tambahan materi hewani dan dedaunan (Corbet & Hill 1992: 165). Empat spesies Cercopithecidae yang terdapat di Way Canguk adalah Macaca fascicularis, M. nemestrina, Presbytis melalophos , dan Trachypithecus cristatus.

2.3.3. Famili Ursidae

Hanya terdapat satu spesies Ursidae di Way Canguk, yaitu beruang madu (Helarctos malayanus). Mamalia ini aktif pada malam dan siang hari serta merupakan omnivora yang memakan sarang lebah, rayap, hewan kecil, dan buah. Beruang tersebut bersifat terestrial dan arboreal (Payne & Francis 1985: 275-- 276).

2.3.4. Famili Mustelidae

Mustelidae memiliki tubuh yang memanjang, berkaki pendek, dan bersifat terestrial (Corbet & Hill 1992: 194). Famili ini beranggotakan berang-berang, musang, dan luwak. Dari lima spesies yang terdapat di Way Canguk, hanya Martes flavigula yang bersifat diurnal dan arboreal. Martes flavigula pada dasarnya diurnal, tetapi terkadang beraktivitas di malam hari. Spesies tersebut merupakan generalis yang memakan berbagai vertebrata dan invertebrata kecil, sarang lebah, serta nektar (Payne & Francis 1985: 276--277).

2.3.5. Famili Sciuridae

Famili Sciuridae terdiri atas tiga kelompok, yaitu bajing terbang, bajing pohon, dan bajing tanah. Bajing terbang memiliki membran di antara tungkai-

tungkainya yang berfungsi untuk gliding. Pada umumnya, bajing terbang bersifat nokturnal. Berbeda dengan bajing terbang, bajing pohon bersifat diurnal dan tidak memiliki membran gliding. Sebagai adaptasi terhadap cara hidup arboreal, bajing terbang dan bajing pohon memiliki kepala berbentuk bulat dengan mata yang besar, cakar melengkung dan tajam, ekor panjang, dan pergelangan kaki dengan kemampuan rotasi yang sangat baik. Bajing tanah bersifat terestrial sehingga memiliki adaptasi yang berbeda dengan bajing terbang dan bajing pohon, yaitu kepala yang relatif datar, cakar lurus, ekor pendek, dan pergelangan kaki yang tidak terspesialisasi. Bajing tanah pada umumnya bersifat diurnal. Sciuridae memakan daun, biji, buah, kulit kayu, kacang, resin, jamur, dan nektar. Beberapa spesies juga memakan serangga (Lawlor 1979: 160). Dari delapan spesies Sciuridae di Way Canguk, terdapat lima spesies yang merupakan kompetitor potensial bagi siamang, yaitu Callosciurus notatus, Ratufa affinis, R . bicolor, Sundasciurus hippurus, dan S. tenuis (Iqbal dkk. 2001: 14).

2.4. Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), diresmikan pada tahun 1981, merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Pulau Sumatra.

Taman nasional tersebut meliputi kawasan seluas 3.568 km 2 dan terletak pada dua provinsi, yaitu Lampung dan Bengkulu. Kawasan taman nasional berbentuk

memanjang dengan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 km. Hal tersebut menyebabkan perambahan untuk penebangan dan perkebunan lebih mudah

terjadi. Letak geografis TNBBS adalah 4 o 31'--5 57' LS dan 103 34'--104 43' BT. TNBBS terfragmentasi menjadi tiga blok besar hutan akibat pembangunan dua

jalan lintas di sebelah utara dan selatan taman nasional. TNBSS merupakan habitat penting bagi mamalia besar Sumatra seperti harimau, badak, dan gajah (WCS-IP 2001: 5).

Gambar 2.4(1) Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Keterangan:

Stasiun Penelitian Way Canguk terdiri atas dua area penelitian--area barat laut dan tenggara--yang mencakup wilayah seluas 900 ha dengan tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah.

[Sumber: WCS-IP 2001: 7]

Stasiun Penelitian Way Canguk terletak di bagian selatan TNBBS, meliputi area seluas 900 ha, termasuk 165 ha yang terbakar akibat El Niño- Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1997 (Gambar 2.4(1)). Letak geografis

stasiun penelitian ini adalah 5 o 39'325'' LS dan 104 24'21'' BT dengan ketinggian 0--100 mdpl. Stasiun Penelitian Way Canguk diresmikan pada bulan Maret 1997.

Tujuan pembangunan stasiun penelitian adalah sebagai tempat penelitian lapangan jangka panjang dan pelatihan lapangan (WCS-IP 2001: 7).

Area penelitian di Way Canguk terbagi menjadi dua area yang dipisahkan oleh Sungai Way Canguk, yaitu area di bagian barat laut dengan luas 200 ha dan area di bagian tenggara dengan luas 600 ha (Gambar 2.4(2)). Pada area penelitian, terdapat jalur-jalur melintang dan membujur dengan jarak antarjalur 200 m. Sebagian besar area merupakan hutan primer yang masih baik. Dalam area penelitian terdapat pula blok-blok hutan yang mengalami gangguan akibat pembalakan liar dan penggunaan lahan untuk pertanian (WCS-IP 2001: 7--8).

Berdasarkan karakteristik vegetasi, hutan di area penelitian diklasifikasikan menjadi empat tipe habitat: hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon tertutup dan banyak pohon berukuran besar; hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon tertutup dan banyak pohon berukuran kecil; hutan yang terganggu dengan tajuk pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran kecil; serta hutan terganggu dengan tajuk pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran besar (Hadiprakarsa &

O‟Brien 2000 lihat WCS-IP 2001: 7). Menurut Iqbal dkk. (2001: 13--16), Way Canguk merupakan habitat bagi

56 spesies mamalia yang tergolong ke dalam 26 famili. Primata yang umum dijumpai adalah owa ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), cecah (Presbytis melalophos ), dan beruk (Macaca nemestrina), sedangkan primata yang jarang dijumpai adalah lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Beberapa spesies ungulata yang ada di Way Canguk adalah kijang muncak (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor ), babi (Sus sp.), pelanduk kecil (Tragulus javanicus), dan pelanduk napu (T. napu). Terdapat pula mamalia besar seperti gajah asia (Elephas maximus), tapir tenuk (Tapirus indicus), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Keanekaragaman avifauna di Way Canguk meliputi kurang lebih 207 spesies burung dari 41 famili. Spesies burung yang umum adalah dari famili Timaliidae (18 spesies), Pycnonotidae (17 spesies), Cuculidae (15 spesies), Picidae (12 spesies), dan Nectarinidae (12 spesies). Selain itu, terdapat delapan spesies burung rangkong (famili Bucerotidae) di Way Canguk (Prasetyaningrum & Hadiprakarsa 2001: 19).

Way Canguk diketahui memiliki lebih dari 330 spesies pohon. Hutan di Way Canguk merupakan mosaik antara hutan hutan primer, hutan sekunder, dan hutan yang rusak. Hutan primer ditandai oleh spesies-spesies Dipterocarpaceae seperti Dipterocarpus spp., Shorea spp., dan Anisoptera costata serta memiliki tajuk yang tinggi dan rapat. Hutan sekunder pada umumnya dicirikan oleh Bombax valetonii , Tetrameles nudiflora, dan Octomeles sumatrana yang tidak dapat tumbuh maksimal di bawah naungan. Way Canguk merupakan habitat bagi setidaknya delapan spesies Ficus spp. (Prasetyaningrum & Hadiprakarsa 2001: 21).

Gambar 2.4(2) Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat laut

(bawah) di Way Canguk. Keterangan:

Perpotongan jalur-jalur melintang dan membujur membentuk petak-petak berukuran 200 x 200 m. Sistem jalur tersebut memungkinkan pencatatan koordinat secara manual berdasarkan sistem Kartesius.

[Sumber: WCS-IP 2001: 6]

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama tiga bulan pada Februari--April 2014 di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS, Lampung. Kawasan terbagi menjadi dua area, yaitu area penelitian barat laut dan tenggara (lebih sering disebut area selatan dan utara), tetapi pengambilan data hanya dilakukan di area selatan. Pada area tersebut, terdapat beberapa kelompok siamang yang telah terhabituasi dengan manusia.

3.2. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera [Canon PowerShot SX40 HS], teropong binokular [Nikon], rangefinder [Nikon], dan jam tangan digital [Eiger LS-88]. Bahan yang digunakan adalah pensil, lembar pengamatan, pita penanda, dan kantung plastik zip lock. Subjek penelitian adalah tiga kelompok siamang yang terdapat di area penelitian selatan dan mamalia arboreal lain yang ditemukan di dalam ruang jelajah kelompok siamang. Kelompok siamang yang dipilih merupakan kelompok yang seluruh ruang jelajahnya hutan primer untuk menghindari bias akibat perbedaan struktur habitat. Komposisi kelompok siamang yang dipilih sebagai subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel

3.2. Individu yang masih bayi tidak diamati karena masih bergantung pada induknya.

22 Universitas Indonesia

Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian.

Nama Individu

Kelompok usia Keterangan Kelompok

Jenis kelamin

ke- Bimo

Remaja besar Diamati

Tidak diamati Freddie

Diamati Gatot

4 (belum diketahui) Bayi

Tidak diamati

Keterangan: Individu yang diamati adalah individu yang sudah tidak bergantung pada induk. Individu ke-4 pada kelompok Gatot belum diketahui jenis kelaminnya.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Pengambilan data

Pengambilan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu pengamatan perilaku siamang dan survei mamalia arboreal. Data yang akan diperoleh dari pengamatan perilaku siamang adalah komposisi pakan siamang, penggunaan habitat, dan interaksi dengan mamalia arboreal lain. Data yang akan diperoleh dari survei mamalia arboreal adalah frekuensi pertemuan setiap spesies mamalia arboreal yang berada di ruang jelajah siamang, komposisi pakan, dan penggunaan habitat.

1. Pengamatan perilaku siamang

Metode focal instantaneous sampling digunakan untuk pengamatan perilaku siamang. Focal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat perilaku satu individu saja pada waktu yang ditentukan. Instantaneous sampling dilakukan dengan mencatat perilaku yang terjadi pada Metode focal instantaneous sampling digunakan untuk pengamatan perilaku siamang. Focal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat perilaku satu individu saja pada waktu yang ditentukan. Instantaneous sampling dilakukan dengan mencatat perilaku yang terjadi pada