Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies Mamalia Arboreal
4.3. Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies Mamalia Arboreal
Organisme berbeda spesies yang hidup berdampingan di habitat yang sama dan memiliki relung yang serupa berpotensi mengalami kompetisi. Oleh karena itu, tumpang-tindih relung seringkali digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui kompetisi interspesifik (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres & Machado 2013: 13). Kelebihan dari penelitian ini adalah kompetisi tidak hanya disimpulkan secara tidak langsung melalui indeks tumpang-tindih relung, melainkan juga disertai dengan observasi di lapangan mengenai interaksi langsung yang terjadi antara dua spesies yang hidup berdampingan. Pengamatan interaksi interspesifik berfungsi sebagai data pelengkap untuk menganalisis hubungan antara tumpang-tindih relung dengan kompetisi interspesifik. Walaupun demikian, penelitian ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, penelitian hanya dilakukan selama dua bulan sehingga kurang mencukupi untuk mendeteksi seluruh variasi temporal. Kedua, hasil penelitian dapat meng-underestimate kompetisi antara siamang dengan kerabat simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis) karena penelitian hanya dilakukan pada skala kecil dan kepadatan owa ungko di area penelitian sangat rendah.
Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi dalam ruang jelajah siamang, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam, memiliki relung yang bertumpang-tindih dengan siamang, baik dari segi penggunaan Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi dalam ruang jelajah siamang, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam, memiliki relung yang bertumpang-tindih dengan siamang, baik dari segi penggunaan
Kompetisi interferensi terjadi saat siamang dan mamalia arboreal lain mencari makanan di pohon yang sama dan menunjukkan agresi atau dominansi. Selama pengamatan perilaku siamang, tercatat 57 interaksi antara siamang dan spesies mamalia arboreal lainnya. Interaksi interspesifik tersebut meliputi 35 (61,40%) interaksi netral, 11 (19,30%) interaksi agresi, dan 11 (19,30%) interaksi dominansi. Siamang tercatat berinteraksi dengan tujuh spesies mamalia arboreal (Tabel 4.3(1)). Dari ketujuh spesies mamalia tersebut, frekuensi interaksi yang tertinggi terjadi antara siamang dengan simpai (Presbytis melalophos, 22,81%, n = 13). Mamalia arboreal yang cukup sering berinteraksi dengan siamang selain simpai adalah bajing kelapa (Callosciurus notatus, 19,30%, n = 11), jelarang hitam (Ratufa bicolor, 17,54%, n = 10), dan jelarang bilalang (Ratufa affinis, 12,28%, n = 7).
Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan mamalia
arboreal lainnya.
Frekuensi
Spesies Mamalia Persentase
Arctictis binturong 1 1 1,75% Callosciurus notatus *
2 9 11 19,30% Macaca fascicularis
1 1 1,75% Presbytis melalophos *
7 1 5 13 22,81% Ratufa affinis
6 1 7 12,28% Ratufa bicolor *
1 2 7 10 17,54% Sundasciurus hippurus
1 2 3 5,26% Tidak teridentifikasi
* = mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi di area survei.
Interaksi interspesifik dianalisis menggunakan metode PCA (Lampiran 6). Data yang dianalisis hanya interaksi antara siamang dan tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Hasil PCA menghasilkan tiga komponen utama, disebut PC1,
PC2, dan PC3, yang secara kumulatif berperan terhadap 88,62% dari total variansi data. Komponen utama (PC) yang dipertimbangkan untuk diinterpretasikan hanya tiga PC pertama karena PC keempat (PC4) hanya berperan sebesar 4,27% dari total variansi data. Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC1 adalah tinggi pohon (Hp), ketinggian siamang dari tanah (Hdt1), dan ketinggian kompetitor dari tanah (Hdt2). Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC2 adalah diameter substrat siamang (Ds1) dan diameter substrat kompetitor (Ds2). Komponen ketiga (PC3) berkorelasi tinggi dengan variabel-variabel yang sama dengan PC2. Dalam pembahasan, PC3 tidak disertakan karena dianggap telah diwakili oleh PC2. Gambar 4.3(1) memperlihatkan proyeksi antara variabel- variabel penggunaan habitat dengan PC1 dan PC2. Semakin panjang vektor, semakin besar kontribusi variabel yang diwakili vektor tersebut terhadap variansi data. Semakin kecil sudut antara vektor dengan salah satu PC, semakin besar korelasi antara variabel dengan PC tersebut.
Ordinasi pada sumbu PC1 dan PC2 (Gambar 4.3(2)) menunjukkan bahwa elips yang terbentuk dari interaksi netral (s.d., 95% interval kepercayaan) memiliki luas paling besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi netral terjadi pada kondisi habitat yang lebih bervariasi dibandingkan interaksi agresi dan dominansi. Uji Kruskal-Wallis dilakukan terhadap kedua PC dan variabel yang berkorelasi tinggi dengan kedua PC untuk mengetahui perbedaan kondisi habitat yang berhubungan dengan interaksi agresi, dominansi, dan netral (Lampiran 7). Hasil uji menunjukkan bahwa untuk ketiga tipe interaksi, tidak terdapat perbedaan kondisi habitat yang siginifikan (Tabel 4.3(2)).
Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel kondisi habitat pada PC1 (sumbu-x)
dan PC2 (sumbu-y) Keterangan:
D = jarak antara siamang dengan kompetitor Ds1 = diameter substrat siamang Ds2 = diameter substrat kompetitor Hdt1 = ketinggian siamang dari tanah Hdt2 = ketinggian kompetitor dari tanah Hp
= ketinggian pohon PC1 = komponen utama pertama PC2 = komponen utama kedua Rsp1 = jarak siamang dari pusat tajuk Rsp2 = jarak kompetitor dari pusat tajuk Rt
= jari-jari tajuk
Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan PC2.
Keterangan: Elips biru
= ordinasi interaksi dominansi Elips hijau
= ordinasi interaksi netral Elips merah
= ordinasi interaksi agresi (s.d., 95% interval kepercayaan)
Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel yang
berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2.
Parameter PC1
Kruskal- Wallis chi-
2,1321 1,1768 squared d.f.
Ds1 = diameter substrat siamang Ds2
= diameter substrat kompetitor Hdt1
= ketinggian siamang dari tanah Hdt2
= ketinggian kompetitor dari tanah Hp
= ketinggian pohon PC1
= komponen utama pertama PC2
= komponen utama kedua
Perilaku agresi selalu diinisiasi oleh siamang dan ditujukan untuk mengusir kompetitor dari sumber makanan. Siamang selalu memenangkan setiap agresi karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Kompetitor siamang tidak pernah tercatat memberikan respon perlawanan, melainkan selalu menjauh dengan berpindah dahan atau berpindah ke pohon lain jika siamang melakukan agresi. Kompetisi interferensi tidak hanya terjadi melalui perilaku agresi, tetapi juga melalui interaksi dominansi. Kompetitor siamang pada umumnya akan merasa terusik jika siamang mendekat walaupun siamang tidak menunjukkan perilaku agresi. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamalia arboreal lainnya mengenali siamang sebagai kompetitor yang dominan. Ukuran tubuh siamang yang besar merupakan faktor utama dominansi siamang terhadap mamalia arboreal lainnya. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian mengenai interaksi interspesifik di antara mamalia arboreal di India. Menurut Sushma & Singh (2006: 488--489), ukuran tubuh bukan faktor penting yang menyebabkan dominansi monyet bonnet (Macaca radiata) terhadap monyet ekor singa (Macaca silenus) dan lutung Nilgiri (Semnopithecus johnii), melainkan jumlah jantan dewasa dalam kelompok. Ukuran tubuh siamang jauh lebih besar daripada ketiga mamalia arboreal lainnya (Tabel 4.3(3)) sehingga dapat melebihi pengaruh jumlah individu.
Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing kelapa, dan
jelarang hitam. Spesies
Sumber Siamang
Ukuran tubuh
Supriatna & Wahyono 2000: 293 Simpai
800--900 mm
Supriatna & Wahyono 2000: 187 Bajing kelapa
450--490 mm
175--223 mm
Francis 2008: 331
Jelarang hitam
370--405 mm
Francis 2008: 330
Interaksi netral antara siamang dan kompetitornya lebih sering terjadi dibandingkan interaksi agresi dan dominansi. Siamang dan kompetitornya sering berada pada pohon pakan yang sama tanpa terjadi perilaku interferensi sehingga dapat diduga bahwa kompetisi interferensi yang terjadi antara siamang dan mamalia arboreal tidak intens. Hasil PCA interaksi interspesifik tidak menunjukkan adanya perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi agresi, dominansi, dan toleransi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa interaksi Interaksi netral antara siamang dan kompetitornya lebih sering terjadi dibandingkan interaksi agresi dan dominansi. Siamang dan kompetitornya sering berada pada pohon pakan yang sama tanpa terjadi perilaku interferensi sehingga dapat diduga bahwa kompetisi interferensi yang terjadi antara siamang dan mamalia arboreal tidak intens. Hasil PCA interaksi interspesifik tidak menunjukkan adanya perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi agresi, dominansi, dan toleransi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa interaksi
Interaksi interspesifik pada umumnya terjadi di pohon yang berbuah (62,50% agresi, 60% dominansi, dan 90,48% netral, Lampiran 6). Menurut Nurcahyo (1999: 37), siamang terkadang menunjukkan perilaku agresi terhadap kompetitor, yaitu owa, beruk, rangkong, atau punai, jika buah sedikit. Namun, berdasarkan pengamatan, perilaku agresi juga dapat terjadi saat kelimpahan buah tinggi. Sebanyak 50% agresi terjadi di pohon dengan skor buah 50%--75%, sementara hanya 12,50% agresi terjadi di pohon yang berbuah sedikit (1%--25%). Interaksi dominansi dan netral juga tidak cenderung terjadi pada pohon dengan kelimpahan buah tertentu (Lampiran 6).
Kompetisi eksploitatif terjadi jika perilaku suatu spesies mengurangi ketersediaan sumber daya yang dapat digunakan oleh spesies lain. Estimasi tumpang-tindih penggunaan sumber daya makanan menunjukkan bahwa spesies yang paling berpotensi sebagai kompetitor bagi siamang adalah jelarang hitam. Dibandingkan dengan simpai dan bajing kelapa, jelarang hitam lebih bersifat frugivora. Oleh karena itu, komposisi pakan jelarang hitam lebih mirip dengan siamang yang juga bersifat frugivora. Berdasarkan pengamatan di lapangan, siamang membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk penanganan makanan daripada jelarang hitam (Tabel 4.3(4)). Oleh karena itu, jumlah buah yang tersedia bagi jelarang hitam akibat perilaku makan siamang lebih sedikit dibandingkan sebaliknya. Dalam hal ini, dampak negatif kompetisi terhadap jelarang hitam lebih besar. Pemilihan kategori makanan juga dapat memberikan dampak kompetitif. Siamang diketahui memakan bunga Homalium grandiflorum, sedangkan jelarang hitam memakan buahnya. Pemilihan kategori makanan yang berbeda tersebut dapat menyebabkan pengurangan jumlah buah yang tersedia bagi jelarang hitam.
Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan
jelarang hitam.
Laju Penanganan Buah (detik per buah) Jelarang Hitam
Siamang Spesies Makanan
Rerata n
Deviasi
Deviasi
3 6,197 2,354 6 Beilschmiedia dyctioneura
Adinandra acuminata
2 16,158 4,586 19 Ficus altissima
1 9,286 1,010 2 Sandoricum koetjape
Keterangan: n = jumlah sampel (jumlah observasi)
Perbedaan preferensi kematangan buah juga merupakan salah satu mekanisme kompetisi eksploitatif. Berdasarkan penelitian Marshall dkk. (2009: 181) di Kalimantan, bajing tiga warna (Callosciurus prevostii) lebih menyukai buah dan biji yang belum matang sehingga mengurangi jumlah buah yang tersedia untuk owa kalimantan (Hylobates albibarbis). Perilaku makan yang demikian memberikan dampak kompetisi secara asimetris karena bajing tiga warna hanya mengalami dampak kompetitif yang kecil dari owa kalimantan. Siamang di TNBBS diketahui lebih menyukai buah yang matang. Salah satu kompetitor siamang, yaitu bajing kelapa, pernah tercatat memakan buah yang belum matang seperti buah Adinandra acuminata dan Garcinia parvifolia. Hal tersebut dapat menyebabkan ketersediaan buah matang bagi siamang berkurang. Namun, hal tersebut tampaknya tidak memberikan dampak kompetitif yang besar bagi siamang. Hal ini akan dibahas lebih mendalam pada bagian 4.4.2.