POTENSI RELATIF DAN PERUBAHAN STRUKTUR E

MAKALAH
EKONOMI REGIONAL

POTENSI RELATIF DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
REGIONAL

Disusun Oleh :

Fajrin Gunawan Kelirey
Npm: 02031511077

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
PERIODE 2017-2018

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan karuniahnya makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Adapun makalah ini kami susun, untuk dapat memenuhi tugas mata
kuliah Ekonomi Regional. Makalah ini berjudul “Potensi Relatif dan Perubahan
Struktur Ekonomi Regional”.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Ternate 3 Maret 2018

Fajrin Gunawan Kelirey

2

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1
Latar Belakang ...........................................................................

i
ii
ii
1
1

1.2

Tujuan ....................................................................................... 1

1.3

Manfaat ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2
2.1


Pengertian Teori Basis ............................................................... 2

2.2

Pengganda Basis ........................................................................ 5

2.3

Cara Memilih Kegiatan Basis Dengan Nonbasis ....................... 8
2.3.1

Metode Langsung ........................................................... 8

2.3.2

Metode Tidak Langsung ................................................. 9

2.3.3


Metode Campuran .......................................................... 10

2.3.4

Metode Lacation Quotient .............................................. 11

2.4

Evaluasi Atas Tingkat Kebasisan Suatu Produk ........................ 12

2.5

Perbedaan Basis Antara di Kota Dengan di Wilayah Belakangnya
..................................................................................................... 13

2.6

Keunggulan Komparatif ............................................................. 14
2.6.1 Faktor Penentu Wilayah Memiliki Keunggulan
Komparatif ..................................................................... 17


2.7

Location Quotient ....................................................................... 18

2.8

Analisis Shift-Share ................................................................... 22
2.8.1

Konsep dan Definisi ....................................................... 23

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 27
3.1

Kesimpulan ................................................................................ 27

3.2

Saran ........................................................................................... 27


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 28

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisis

potensi ekonomi wilayahnya. Hal ini terkait dengan kewajibannya di satu sisi
menentukan sektor-sektor rill yang perlu dikembangkan agar perekonomian daerah
tumbuh cepat dan di sisi lain mampu mengidentifikasikan faktor-faktor yang
membuat potensi sektor tertentu rendah dan menentukan apakan prioritas untuk
menanggulangi kelemahan tersebut. Setelah otonomi daerah, masing-masing
daerah sudah lebih bebas dalam menetapkan sektor/komoditi yang diprioritaskan
pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang

memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor
yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan
dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang. Ada
beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan potensi relatif
perekonomian suatu wilayah. alat analisis itu antara lain keunggulan komparatif,
location quotient, dan analisis Shift-share.

1.2
1.

Tujuan
Mengetahui pengertian Teori Ekonomi Basis dan penerapannya dalam
pembangunan ekonomi daerah.

2.

Mengetahui sumber-sumber pertumbuhan ekonomi suatu daerah

3.


Mampu menganalisa metode pengukuran sektor basis suatu daerah

1.3

Manfaat
Agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana agar suatu daerah mampu

bersaing dengan daerah lain menggunakan keunggulan komparatif yang dimiliki
daerah tersebut dan digunakan untuk prospek pembangunan yang berkelanjutan
agar bisa memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat yang ada di daerah
itu.

4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

PENGERTIAN TEORI BASIS

Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya

bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas
kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah. untuk melihat dampak dampaknya terhadap
seluruh perekonomian maka perlu dilakukan analisis makro-wilayah, yaitu melihat
dampaknya terhadap seluruh perekonomian wilayah. secara makro, dalam kasus
tersebut dibuat asumsi tersembunyi bahwa produksi suatu komoditi tersebut masih
laku dijual di pasar dan itu tidak membuat harga pasar menjadi turun.
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Richardson (1973) yang
menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar
daerah (Arsyad, 1999). Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan
sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan
menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Asumsi ini
memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan
apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama
dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover )

dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah
lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, demikian sebaliknya. Setiap
perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier
effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).

5

Teori basis ekonomi berupaya untuk menemukan dan mengenali aktivitas
basis dari suatu wilayah, kemudian meramalkan aktivitas itu dan menganalisis
dampak tambahan dari aktivitas ekspor tersebut. Konsep kunci dari teori basis
ekonomi adalah bahwa kegiatan ekspor merupakan mesin pertumbuhan. Tumbuh
tidaknya suatu wilayah ditentukan oleh bagaimana kinerja wilayah itu terhadap
permintaan akan barang dan jasa dari luar.
Dalam kondisi pasar tertutup, bertambahnya produsen atau produksi yang
tidak dibarengi dengan bertambahnya permintaan lokal dapat membuat harga jual
menjadi turun. Apabila harga jual berubah turun, nilai tambah dari kegiatan itu akan
turun karena laba investor (petani) berkurang. Namun kerugian bukan hanya
diderita oleh petani itu sendiri karena petani lain yang sebelumnya telah aktif pada
kegiatan tersebut juga menderita penurunan nilai tambah (laba masing-masing
berkurang). Hal ini berarti nilai tambah total belum tentu meningkat bahkan bisa

menurun apabila petani yang sudah menderita kerugian tetap meningkatkan
produksinya. Pada akhirnya akan ada petani yang tidak lagi berproduksi dan
menutup usahanya. Total produksi akan turun dan kembali kepada kondisi semula
(sebetulnya investasi itu ada mendorong meningkatnya permintaan lokal tetapi
tidak bersifat langgeng).
Contoh di atas menunjukan bahwa tidak semua investasi dapat memacu
pertumbuhan ekonomi wilayah (secara langgeng). Apabila kegiatan itu hanya untuk
memenuhi kebutuhan lokal dan kebutuhan lokal tidak bertambah, munculnya
seorang investor baru akan mengakibatkan kerugian pada investor yang sudah ada
sebelumnya atau keuntungan rata-rata pengusaha menjadi menurun. Perlu dicata
bahwa apabila rata-rata pengusaha tidak lagi mendapat untung yang wajar maka
laju pertumbuhan ekonomi dapat terganggu. Modal untuk investasi seringkali
berasal dari akumulasi keuntungan yang ditahan. Apabila pengusaha tidak memiliki
akumulasi keuntungan yang memadai maka kemampuan berinvestasi menjadi
menurun. Lagipula apabila sektor kegiatan itu diperkirakan tidak lagi memberi
keuntungan yang memadai, investor akan kurang berminat menanamkan modalnya
di sektor tersebut. Kurangnya investasi berakibat kurangnya tambahan lapangan

6

kerja baru sehingga tidak mampu menyerap angkatan kerja baru yang terus
bertambah. Keuntungan pengusaha yang makin mengecil juga berdampak terhadap
penerimaan pemerintah dari sektor pajak karena penerimaan pajak menjadi sulit
ditingkatkan. Apabila penerimaan pemerintah tidak meningkat maka kemampuan
pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru menjadi menurun. Hal ini
berbeda misalnya apabila investor itu menghasilkan produk yang ditunjukan untuk
ekspor. Kegiatan itu menciptakan nilai tambah, mendorong sektor lain untuk turut
berkembang tetapi tidak ada investor lokal lain yang dirugikan.
Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah suatu kegiatan yang
menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negara itu maupun
ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan
memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada
dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun
penyedia jasa yang mendatangkan uang dari wilayah disebut kegiatan basis.
Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang
bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal).
Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam
kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian
yang keliru tentang arti service disebut saja sektor nonbasis. Sektor nonbasis
(service) adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Karena sifatnya yang
memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terikat terhadap
kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan
ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa
meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor
basis.

7

2.2

PENGGANDA BASIS
Analisis basis dan nonbasis pada umumnya didasarkan atas nilai tambah

ataupun lapangan kerja. Misalnya, penggabungan lapangan kerja basis dan
lapangan kerja nonbasis merupakan total lapangan kerja yang tersedia untuk
wilayah tersebut. Demikian pula penjumlahan pendapatan sektor basis dan
pendapatan sektor nonbasis merupakan total pendapatan wilayah tersebut. Di dalam
suatu wilayah dapat dihitung berapa besarnya lapangan kerja basis dan lapangan
kerja nonbasis, dan apabila kedua angka itu dibandingkan, dapat dihitung nilai rasio
basis (base ratio) dan kemudian dapat dipakai untuk menghitung nilai pengganda
basis (base multiplier ). Rasio basis adalah perbandingan antara banyaknya
lapangan kerja nonbasis yang tersedia untuk setiap satu lapangan kerja basis.
Misalnya, dalam satu wilayah terdapat 3.000 lapangan kerja yang terdiri atas 1.000
lapangan kerja basis dan 2.000 lapangan kerja nonbasis. Dengan demikian, rasio
basis (base ratio) adalah 1 : 2. Artinya, setiap satu lapangan kerja basis, tersedia
dua lapangan kerja nonbasis. Apabila pada periode berikutnya ekspor bisa
ditingkatkan dan menambah lapangan kerja basis, misalnya 100 unit maka
diharapkan tercipta tambahan 200 lapangan kerja baru di sektor nonbasis. Dengan
kata lain, peningkatan ekspor akhirnya menciptakan tambahan 300 lapangan kerja
baru. Sebaliknya apabila produk pengusaha kita kalah bersaing di pasar global dan
terpaksa mengurangi kegiatan termasuk jumlah karyawannya sebanyak 50 orang
maka secar bertahap sektor nonbasis akan kehilangan lapanga kerja sebanyak 100
unit. Hal ini berarti pengurangan ekspor akhirnya menurunkan lapangan kerja yang
tersedia sebanyak 150 unit. Perlu diingat bahwa akibat kenaikan atau penurunan
ekspor, lapangan kerja yang langsung bertambah atau berkurang adalah di sektor
basis, sedangkan kenaikan atau penurunan di sektor nonbasis akan menyusul secara
bertahap sampai seluruhnya terjadi. Waktu yang diperlukan antara berubahnya
lapangan pekerjaan di sektor basis dan perubahan di sektor nonbasis merupakan
masa tenggang (time-lag ). Masa tenggang dapat diperkirakan bila terdapat data
time-series tentang jumlah lapangan kerja basis dan jumlah lapangan kerja

nonbasis, serta perkembangan ekspor dalam beberapa tahun.

8

Dalam kasus perubahan lapangan kerja di atas, yang rasio basisnya 1 : 2
untuk setiap satu perubahan lapangan kerja di sektor basis akan menambah
lapangan kerja total sebanyak 3 unit, yaitu satu di sektor basis dan dua di sektor
nonbasis. Besarnya perubahan lapangan kerja total untuk setiap satu perubahan
lapangan kerja di sektor basis disebut pengganda (base multiplier ). Nilai pengganda
basis lapangan kerja dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
�engganda basis =

total lapangan kerja
lapangan kerja basis

Dari contoh di atas, nilai pengganda basis adalah 3.000 : 1.000 = 3. Artinya,
setiap pertambahan lapangan kerja basis sebanyak 1 unit, mengakibatkan
pertambahan lapangan kerja total sebesar 3 unit, yaitu 1 unit di sektor basis dan 2
unit di sektor nonbasis. Dalam contoh di atas digunakan data lapangan kerja,
sehingga rasio (angka banding) yang diperoleh disebut pengganda basis lapangan
kerja (employment base multiplier ). Hal yang sama dapat juga dilakukan dengan
menggunakan ukuran lain, misalnya pendapatan. Dalam menggunakan ukuran
pendapatan, nilai pengganda basis adalah besarnya kenaikan pendapatan seluruh
masyarakat untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis. Dalam hal
pendapatan, nilai pengganda basis yang diperoleh dinamakan pengganda basis
pendapatan (income base multiplier ). Perlu dicatat bahwa dalam penggunaan
variabel pendapatan, baik pembilang maupun penyebut harus menggunakan nilai
dengan ukuran yang sama, misalnya sama-sama menggunakan nilai konstan atau
sama-sama harga yang berlaku. Apabila menggunakan harga berlaku maka kedua
nilai adalah untuk tahun yang sama. Sebetulnya menggunakan data pendapatan
(nilai tambah) adalah lebih tepat dibanding dengan menggunakan data lapangan
kerja. Hal ini tidak lain karena lapangan kerja memiliki bobot yang berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Misalnya, lapangan kerja untuk manajer tidak sama
bobotnya dengan lapangan kerja untuk karyawan biasa, baik dari sudut upah yang
diterima maupun kualifikasi SDM untuk dapat menduduki jabatan tersebut. Namun,
data pendapatan sering tidak mudah diperoleh atau data yang diperoleh belum tentu
benar. Oleh sebab itu, data lapangan kerja lebih sering dipakai apabila data

9

dikumpulkan lewat survei langsung ke unit usaha. Seandainya nilai pengganda
basis sudah diketahui dari pengalaman terdahulu maka apabila pada suatu tahun
tertentu diketahui besarnya perubahan lapangan kerja di sektor basis, bisa
diramalkan jumlah lapangan kerja yang berubah untuk keseluruhan wilayah, yaitu
dengan rumus:
=

×

Dalam menggunakan nilai pengganda basis sebagai alat peramalan, sering
dipermasalahkan bahwa nilai pengganda basis yang dihitung adalah berdasarkan
perbandingan lapangan kerja yang telah tersedia (kondisi saat ini). Hal ini mungkin
berbeda dengan keadaan di masa yang akan datang (perubahan yang akan
diramalkan). Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan angka perubahan
rata-rata per tahun antara total lapangan kerja terhadap perubahan lapangan kerja di
sektor basis. Apabila angka ini dihitung dalam bentuk tahunan, misalnya perubahan
dari tahun sebelumnya terhadap tahun ini, akan diperoleh angka pengganda basis
per tahun yang biasanya berbeda dari tahun ke tahun.
Dalam hal ini bisa dipakai angka rata-rata beberapa tahun atau kalau terlihat
ada kecenderungan, misalnya nilai pengganda basis cenderung naik atau cenderung
turun maka dipakai angka proyeksi berdasarkan kecenderungan tersebut. Hal ini
terutama lebih penting diperhatikan apabila nilai pengganda basis didasarkan atas
perbandingan pendapatan dan bukan lapangan kerja. Analisis basis, menggunakan
rumus yang sangat sederhana padahal analisis ini cukup ampuh untuk mengkaji dan
memproyeksi pertumbuhan ekonomi wilayah. akan tetapi permasalahan yang berat
dalam menggunakan analisis ini adalah ketepatan dalam pemilahan antara kegiatan
basis dan nonbasis dan beberapa sebenarnya porsi masing-masing dalam
perekonomian wilayah.

10

2.3

CARA MEMILIH KEGIATAN BASIS DENGAN NONBASIS
Dalam menggunakan analisis basis ekonomi adalah memilih antara kegiatan

basis dan kegiatan nonbasis. Sebagaimana telah diuraikan bahwa analisis basis
ekonomi dapat menggunakan variabel lapangan kerja, pendapatan, atau ukuran lain
tetapi yang umum dipakai adalah lapangan kerja atau pendapatan. Secara logika
penggunaan variabel pendapatan lebih mengena kepada sasaran. Peningkatan
pendapatan di sektor nonbasis dalam bentuk korelasi yang lebih ketat dibanding
dengan menggunakan variabel lapangan kerja. Beberapa metode untuk memilah
antara kegiatan basis dan kegiatan nonbasis dikemukakan berikut ini.
2.3.1

Metode Langsung
Metode langsung dapat dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku

usaha ke mana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka
membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Dari
jawaban yang mereka berikan, dapat ditentukan berapa persen produk yang dijual
ke luar wilayah dan berapa persen yang dipasarkan di dalam wilayah. hal yang sama
juga dilakukan untuk bahan baku yang mereka gunakan. Untuk kepentingan
analisis, perlu diketahui jumlah orang yang bekerja dan berapa nilai tambah yang
diciptakan oleh kegiatan usaha tersebut. Akan tetapi, apabila kita melakukan survei
langsung ke pelaku ekonomi, perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan
usaha, variabel yang lebih mudah diperoleh adalah lapangan kerja. Menggunakan
variabel nilai tambah/pendapatan sangat sulit karena di dalamnya terdapat unsur
laba pengusaha yang biasanya sensitif untuk ditanyakan dan ada kemungkinan
jawaban yang diberikan bukan yang sebenarnya selain upah dan gaji. Dalam unsur
nilai tambah terdapat unsur laba perusahaan yang sering kali tidak mudah diketahui
terutama untuk perusahaan perorangan. Dengan demikian, cukup sulit
mendapatkan data yang akurat dengan menggunakan variabel pendapatan dalam
survei langsung.

11

Penggunaan variabel lapangan kerja juga memerlukan pemikiran dan
kehati-hatian yang cukup tinggi. Dalam suatu kegiatan usaha sering kali tercampur
kegiatan basis dan nonbasis. Misalnya pada pabrik sepatu, sebagian produknya
diekspor/dijual ke luar wilayah dan sebagian lagi dijual di dalam wilayah. Sepintas
lalu bisa dikatakan bahwa kita lihat saja porsi sepatu yang dijual di luar wilayah
dengan yang dijual di dalam wilayah. Dalam menentukan porsi tersebut, timbul
pertanyaan alat ukur apa yang dipakai, jumlah/unit sepatunya atau nilai jualnya.
Setelah itu dapat diketahui bahwa porsi itu bisa berubah dari tahun ke tahun. Hal
ini perlu ditentukan apakah dipakai rata-rata atau trennya (proyeksinya) atau porsi
pada tahun tertentu yang dianggap normal/ideal. Masalah berikutnya, ada
kemungkinan sepatu yang dipasarkan secara lokal oleh produsennya, oleh
pedagang dibawa untuk dijual ke luar wilayah atau dibeli oleh orang yang datang
dari luar wilayah. Semua itu memerlukan pendugaan yang mendekati kebenaran,
sebelum sampai pada perhitungan jumlah lapangan kerja basis dan nonbasis yang
ada di wilayah analisis.
2.3.2

Metode Tidak Langsung
Mengingat rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu

dan biaya, banyak juga dipakai metode tidak langsung dalam mengukur kegiatan
basis dan nonbasis tersebut. Salah satu metode tidak langsung adalah dengan
menggunakan asumsi atau disebut metode asumsi. Dalam metode asumsi,
berdasarkan kondisi di wilayah tersebut (berdasarkan data sekunder), ada kegiatan
tertentu yang diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lainnya sebagai
kegiatan nonbasis. Ada kegiatan yang secara tradisional dikategorikan sebagai
kegiatan basis, misalnya:
1) Asrama militer karena gaji penghuninya dan biaya operasional/perawatan
lokasi berasal dari uang pemerintah pusat.
2) Kegiatan pertambangan karena umumnya hasilnya dibawa ke luar wilayah;
3) Kegiatan pariwisata karena mendatangkan uang dari luar wilayah.

12

Kegiatan yang mayoritas produknya dijual ke luar wilayah atau mayoritas
uang masuknya berasal dari luar wilayah langsung dianggap basis, sedangkan yang
mayoritas produknya dipasarkan lokal dianggap nonbasis. Misalnya, produk
tambakau deli yang produknya hampir 100% dijual ke luar negeri otomatis
dianggap basis. Akan tetapi, produk seperti karet dan cokelat yang sebagian besar
produknya dijual ke luar negeri juga dianggap basis, walaupun produknya ada yang
dijual kepada prosesor lokal dan produknya ada yang menjadi konsumsi wilayah
dan ada yang dijual ke luar wilayah/ekspor.
2.3.3

Metode Campuran
Suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang

tercampur antara kegiatan basis dan nonbasis. Penggunaan metode asumsi murni
akan memberikan kesalahan yang besar. Akan tetapi, penggunaan metode langsung
yang murni juga cukup berat, yang sering dilakukanya orang adalah gabungan
antara metode asumsi dengan metode langsung yang disebut metode campuran.
Dalam metode campuran diadakan survei pendahuluan, yaitu pengumpulan data
sekunder, biasanya dari instansi pemerintah atau lembaga pengumpul data seperti
BPS. Dari data sekunder berdasarkan analisis ditentukan kegiatan mana yang
dianggap basis dan yang nonbasis. Asumsinya apabila 70% atau lebih produknya
diperkirakan di jual ke luar wilayah maka kegiatan itu langsung dianggap basis.
Sebaliknya, apabila 70% atau lebih produknya dipasarkan di tingkat lokal maka
langsung dianggap nonbasis. Apabila porsi basis dan nonbasis tidak begitu kontras,
porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut, harus dilakukan survei
lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan
data sekunder dan sektor mana yang mungkin membutuhkan sampling
pengumpulan data langsung dari pelaku usaha. Jadi, untuk suatu wilayah yang
ekonominya terbuka dan kegiatannya cukup beragam, tidak mungkin hanya
menggunakan metode asumsi saja tetapi haruslah gabungan antara metode asumsi
dan metode langsung. Di Sumatera Utara misalnya, produk perkebunan besar
seperti tembakau deli dianggap basis karena hampir seluruh hasilnya ditujukan
untuk ekspor.

13

2.3.4 Metode Location Quotient
Metode lain yang tidak langsung adalah dengan menggunakan location
quotient (metode LQ). Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai

tambah untuk sektor tertentu di wilayah kita bandingkan dengan porsi lapangan
kerja/nilai tambah untuk sektor yang samas secara nasional. Dalam bentuk rumus,
apabila yang digunakan adalah data lapangan kerja, hal tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut.
�� =
Keterangan:

i/e
�i/E

1i

= Banyaknya lapangan kerja sektor i di wilayah analisis

e

= Banyaknya lapangan kerja di wilayah analisis

Li

= Banyaknya lapangan kerja sektor i secara nasional

E

= Banyaknya lapangan kerja secara nasional

Catatan: Istilah nasional adalah wilayah yang lebih tinggi jenjangnya. Misalnya,
apabila wilayah analisis adalah provinsi maka wilayah nasional adalah
wilayah negara. Apabila wilayah analisis adalah wilayah kabupaten/kota
maka istilah nasional digunakan untuk wilayah provinsi, dan seterusnya.
Dari rumus di atas diketahui bahwa apabila LQ > 1 berarti bahwa porsi
lapangan kerja sektor i di wilayah analisis terdapat total lapangan kerja wilayah
adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja untuk sektor yang
sama secara nasional. Artinya, sektor i di wilayah kita secara proporsional dapat
menyediakan lapangan kerja melebihi porsi sektor i secara nasional. LQ > 1
memberikan indikasi bahwa sektor tersebut adalah basis, sedangkan apabila LQ <
1 berarti sektor itu adalah nonbasis.

14

Metode LQ banyak dikritik karena didasarkan atas asumsi bahwa
produktivitas rata-rata atau konsumsi rata-rata antarwilayah adalah sama. Bisa saja
ada suatu wilayah yang lapangan kerjanya untuk sektor i lebih rendah, tetapi total
produksinya lebih tinggi. Atau ada suatu wilayah yang lapangan kerjanya untuk
sektor tertentu, misalnya sektor pangan cukup tinggi tetapi disebabkan oleh
permintaan masyarakat setempat untuk pangan tersebut melebihi rata-rata nasional.
Jadi, walaupun lapangan kerja yang tersedia melebihi porsi nasional, tetapi hal itu
hanya untuk menutupi kebutuhan lokal yang juga tinggi. Dengan demikian,
produknya tidak ditujukan untuk ekspor sehingga tidak dapat dianggap basis. Lagi
pula jika hal itu dibandingkan antara lapangan kerja di suatu wilayah dengan
lapangan kerja nasional, ada juga kemungkinan bahwa secara nasional produk itu
ada yang diekspor atau diimpor berarti lapangan kerja yang tersedia secara nasional
bukan lagi alat pengukur yang tepat untuk membandingkan apakah suatu wilayah
itu dapat mencukupi kebutuhannya, kelebihan atau kekurangan. Artinya, harus
dikalibrasi lagi berapa sebetulnya lapangan kerja nasional yang tepat yang membuat
produk nasional tidak mengimpor dan juga tidak mengekspor.
2.4

EVALUASI ATAS TINGKAT KEBASISAN SUATU PRODUK
Untuk mendorong pertumbuhan suatu wilayah, perlu didorong pertumbuhan

sektor basis karena akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, yaitu sektor
nonbasis. Dalam suatu wilayah, sektor basis adalah sektor yang menjual produknya
ke luar wilayah atau ada kegiatan yang mendatangkan uang dari luar wilayah.
Namun demikian, apabila suatu kegiatan basis ingin dikembangkan secara besarbesaran, perlu dilihat apakah pasar di luar wilayah (luar negeri) masih mampu
menampung perluasan dari produk basis tersebut.
Untuk melihat apakah pasar produk yang dihasilkan tidak cepat jenuh, perlu
dilihat tingkat kebasisan suatu produk, yang pada dasarnya melihat berapa luas
pasar yang dapat dijangkau oleh produk tersebut. Tingkat kebasisan suatu produk,
misalnya, dapat dijenjangkan sebagai berikut:
1. Jangkauan pemasarannya hanya pada beberapa desa tetangga;

15

2. Jangkauan pemasarannya hanya pada beberapa wilayah kecamatan;
3. Jangkauan pemasarannya hanya pada wilayah satu provinsi;
4. Jangkauan pemasarannya mencakup beberapa wilayah provinsi;
5. Jangkauan pemasarannya mencakup sebagian besar wilayah ekonomi nasional
dan ekspor.
6. Jangkauan pemasarannya pada hampir seluruh wilayah ekonomi nasional dan
merupakan ekspor tradisional.
Sebetulnya penjenjangan di atas tidaklah mutlak. Yang sulit adalah memberi
bobot antara pemasaran di dalam negeri dengan ekspor. Ada komoditi yang wilayah
pemasarannya di dalam negeri (ekspor). Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah
komoditi itu sudah lama sebagai komoditi ekspor atau belum dan berapa
volumenya. Selain itu, perlu diperhatikan apakah ekspor itu hanya ke satu negara
atau ke beberapa negara. Apabila sudah lama sebagai komoditi ekspor, volumenya
juga cukup besar dipasarkan ke berbagai negara dan ekspor itu berkelanjutan maka
komoditi itu harus dianggap memiliki tingkat kebasisan yang tinggi. Makin luas
wilayah pemasaran suatu produk, pasarnya makin tidak mudah jenuh, yang berarti
tingkat kebasisannya makin tinggi. Produk dengan tingkat kebasisan yang lebih
tinggi, harus diprioritaskan untuk dikembangkan karena pasarnya tidak mudah
jenuh.
2.5

PERBEDAAN BASIS ANTARA DI KOTA DENGAN DI WILAYAH
BELAKANGNYA
Kegiatan basis bisa berbeda antara di kota dengan di luar kota atau di

wilayah belakangnya. Basis di luar kota umumnya adalah pada sektor penghasil
barang seperti pertanian, industri, dan pertambangan. Kegiatan yang sama bila
berlokasi di kota juga dapat bersifat basis. Namun karena kegiatan ini umumnya di
kota adalah terbatas atau dibatasi seperti dilarangnya industri yang berpolusi maka
basis perekonomian kota umumnya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa
termasuk jasa angkutan. Di kota sektor perdagangan dan jasa dapat menjadi basis
karena kegiatan tersebut mendatangkan uang dari luar wilayah atau dari wilayah

16

belakangnya. Namun perlu diingat bahwa pengembangan kegiatan perdagangan
dan jasa di perkotaan tidaklah exogen murni. Kegiatan tersebut tetap terikat
pertumbuhannya terhadap pertumbuhan sektor basis di wilayah belakangnya.
Apabila kotaa dan wilayah belakangnya dijadikan satu satuan wilayah analisis
maka kegiatan basis adalah yang menjual produknya keluar dari wilayah analisis
atau mendatangkan uang dari luar wilayah analisis. Dalam kondisi seperti ini
kegiatan perdagangan dan jasa, yang tetap berfungsi sebagai basis menjadi menciut.
2.6

KEUNGGULAN KOMPARATIF
Istilah comparative advantage (keunggulan komparatif) mula-mula

dikemukakan oleh David Ricardo (1971) sewaktu membahas perdagangan antara
dua negara. Dalam teori tersebut, Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua
negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri
untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut

memiliki keunggulan

komparatif maka kedua negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut
bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting
diperhatikan dalam ekonomi regional.
Teori Comparative Advantage menyatakan bahwa suatu negara akan
menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative
advantage dan mengimpor barang yang memiliki comparative disadvantage, yaitu

suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang
yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar (J.S Mill dalam Nopirin
1993).
Komparatif adalah suatu prinsip umum yang menerangkan keadaan di mana
perniagaan yang menguntungkan, dapat timbul antara dua daerah ekonomi.
Keuntungan komparatif timbul oleh karena “endownments” yang berbeda yang
meliputi sumber daya alamiah, modal, penduduk dan sebagainya. Sedangkan rasiorasio antara biaya produksi untuk menghasilkan sejumlah barang pada negara yang
satu, berbeda dengan rasio sama, pada negara lain (Winardi,1992).

17

Menurut (Sloan and Zurcher) comparative advantage adalah keadaan yang
terdapat bilamana suatu negara atau daerah dapat menghasilkan dua barang dengan
biaya produksi lebih rendah daripada negara atau daerah lain dan penghematan
relatif dalam biaya produksi salah satu barang lebih besar dari pada barang kedua.
(Winardi, 1992).
Keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah
adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di
daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan
bukan dalam bentuk nilai tambah riel. Apabila keunggulan itu adalah dalam bentuk
nilai tambah riel maka dinamakan keunggulan absolut. Komoditi yang memiliki
keunggulan walaupun hanya dalam bentuk perbandingan, lebih menguntungkan
untuk dikembangkan dibanding dengan komoditi lain yang sama-sama diproduksi
oleh kedua negara atau daerah.
Jenis komoditi yang kemungkinan berpeluang untuk dapat secara aktif
diperdagangkan pada pasar regional/global yang kompetitif tersebut, tampaknya
tidak ada pilihan, kecuali yang mempunyai keunggulan komparatif (comparative
advantage). Komoditi tersebut terutama berasal dari sektor pertanian khususnya

subsektor perkebunan, sektor kelautan khususnya subsektor perikanan, serta sektor
industri khususnya subsektor industri pengolahan dan industri kecil. (Suhendar
Sulaeman, 2004).
Dalam perdagangan bebas antardaerah, mekanisme pasar mendorong
masing-masing daerah bergerak ke arah sektor yang daerahnya memiliki
keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar seringkali bergerak lambat
dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Pengetahuan akan keunggulan
komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong
perubahan struktur perekonomian daerah ke arah sektor yang mengandung
keunggulan komparatif. Jadi, apabila sektor yang memiliki keunggulan komparatif
bagi suatu daerah telah diketahui dahulu, pembangunan sektor itu dapat disegerakan
tanpa menunggu tekanan mekanisme pasar yang sering berjalan lambat.
Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi

18

yang menurut

perbandingan lebih mengguntungkan bagi pengembangan daerah. Ricardo
menggunakan perbandingan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk yang sama untuk dua kegiatan yang berbeda pada dua negara.
Namun, saat ini contoh seperti itu tidak relevan lagi karena biaya untuk
menghasilkan suatu produk bukan hanya upah buruh.
Dalam contoh berikut ini akan digunakan perbedaan nilai tambah, yang
berarti dalamnya telah tercakup seluruh biaya produksi dan harga jual petani.
Misalnya dua provinsi bertetangga Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Barat
yang masing-masing

memproduksi beras dan jagung. Misalnya pada tingkat

produksi saat ini, nilai tambah petani per ha per tahun di kedua daerah tersebut
secara rata-rata adalah sebagai berikut.
Komoditi

Halmahera Barat

Tidore Kepulauan

Padi

Rp550.000,00

Rp700.000,00

Jagung

Rp400.000,00

Rp600.000,00

Dari data di atas jelas petani dari daerah Halmahera Barat akan memperoleh
pendapatan yang lebih rendah dari petani Kota Tidore Kepulauan, tidak peduli
apakah yang ditanamnya padi atau jagung. Hal ini tidak lain karena letak Kota
Tidore Kepulauan lebih dekat ke pasar konsumen yang membuat harga penjualan
petani lebih tinggi. Fakta ini tidak bisa dielakkan oleh petani Halmahera Barat tetapi
mereka masih bisa menentukan komoditi mana yang sebaiknya lebih
dikembangkan pada masa yang akan datang yang dapat memberikan lebih banyak
keuntungan kepada mereka. Secara perhitungan sederhana kita melihat: untuk
komoditi padi, petani Halmahera Barat memperoleh:
.
.

,
,

×

%=

, % dari petani Kota �idore Kepulauan

.
.

,
,

×

%=

, % dari petani Kota �idore Kepulauan

Untuk komoditi jagung, petani Halmahera Barat memperoleh:

19

Dengan demikian, bagi petani Halmahera Barat lebih menguntungkan apabila
mereka mengembangkan padi dan bukan jagung. Tentunya hal ini berlaku sampai
batas perluasan areal penanaman padi tidak menaikan ongkos atau berkurangnya
produksi sehingga terjadi perbandingan yang terbalik (persentase untuk jagung
lebih tinggi). Perlu diperhatikan bahwa perluasan areal/produksi tersebut masih
dapat ditampung oleh pasar sehingga harganya tidak turun. Sebaliknya, bagi petani
Kota Tidore Kepulauan lebih baik berkonsentrasi pada produksi jagung dan
membeli beras dari Halmahera Barat. Hak ini membawa keuntungan bagi kedua
daerah karena apabila petani Kota Tidore Kepulauan juga berkonsentrasi pada
produksi padi, harga padi di Halmahera Barat pun akan turun sedangkan harga
jagung akan naik karena supply rendah disebabkan jumlah jagung yang
diproduksikan kedua daerah tidak optimum. Hal ini membuat kedua belah pihak
akan rugi.
2.6.1

FAKTOR

PENENTU WILAYAH

MEMILIKI

KEUNGGULAN

KOMPARATIF
Faktor



faktor

yang

bisa

membuat

suatu

daerah

memiliki

keunggulan komparatif (comparative advantage) dapat berupa kondisi alam,
yaitu sesuatu yang sudah given tetapi dapat juga karena usaha-usaha
manusia. Faktor-faktor

yang

dapat

membuat

sesuatu

wilayah

memiliki

keunggulan komparatif dapat dikelompokkan (Tarigan, 2005), sebagai berikut :
1.

Pemberian alam.

2.

Masyarakatnya menguasai teknologi mutakhir.

3.

Masyarakatnya menguasai ketrampilan khusus.

4.

Wilayah itu dekat dengan pasar.

5.

Wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi.

6.

Daerah konsentrasi / sentra dari suatu kegiatan sejenis.

7.

Dareah aglomerasi dari berbagai kegiatan.

8.

Upah buruh yang rendah dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta didukung
oleh ketrampilan yang memadai dan mentalitas yang mendukung.

9.

Mentalitas masyarakat yang sesuai untuk pembangunan.

20

10. Kebijakan pemerintah.
2.7

LOCATION QUOTIENT
Location quotient (kuosien lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu

perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/industri di suatu daerah
terhadap besarnya peranan sektor/industri tersebut secara nasional. Ada banyak
variabel yang bisa diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah (tingkat
pendapatan) dan jumlah lapangan kerja. Berikut ini yang digunakan adalah nilai
tambah (tingkat pendapatan). Rumusanya adalah sebagai berikut.
Xi
PDRB
LQ X
i
PNB

Dimana :

Xi

= Nilai tambah sektor i di suatu daerah

PDRB = Produk domestik regional bruto daerah tersebut

Catatan :

Xi

= Nilai tambah sektor i secara nasional

PNB

= Produk nasional bruto atau GNP

Semestinya menggunakan PRB (produk regional bruto), tetapi karena
seringkali sulit dihitung maka yang biasa digunakan orang adalah
PDRB (produk domestik regional bruto).

Istilah wilayah nasional dapat diartikan untuk wilayah induk/wilayah atasan.
Misalnya, apabila diperbandingkan antara wilayah kabupaten dengan provinsi,
maka provinsi memegang peran sebagai wilayah nasional, dan seterusnya.
Apabila LQ > 1 artinya peranan sektor tersebut di daerah itu lebih menonjol
daripada peranan sektor itu secara nasional. Sebaliknya, apabila LQ < 1 maka
peranan sektor itu di daerah tersebut lebih kecil daripada peranan sektor tersebut
secara nasional. LQ > 1 menunjukan bahwa peranan sektor i cukup menonjol di
daerah tersebut dan seringkali sebagai petunjuk bahwa daerah tersebut surplus akan
produk sektor i dan mengekspornya ke daerah lain. Daerah itu hanya mungkin
mengekspor produk ke daerah lain atau luar negeri karena mampu menghasilkan
produk tersebut secara lebih murah atau lebih efisien. Atas dasar itu LQ > 1 secara

21

tidak langsung memberi petunjuk bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan
komparatif untuk sektor i dimaksud.
Menggunakan LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat
digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor
yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, LQ tidak
dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil
daerah tersebut. Adalah lebih tepat untuk melihat secara langsung apakah komoditi
itu memiliki prospek untuk diekspor atau tidak, dengan catatan terhadap produk
tersebut tidak diberikan subsidi atau bantuan khusus oleh daerah yang bersangkutan
melebihi yang diberikan daerah-daerah lainnya.
Analisis LQ sesuai dengan rumusnya memang sangat sederhana dan apabila
digunakan dalam bentuk one shot analysis, manfaatnya juga tidak begitu besar,
yaitu hanya melihat apakah LQ berada di atas 1 atau tidak, akan tetapi, analisis LQ
bisa dibuat menarik apabila dilakukan dalam bentuk time-series/trend, artinya
dianalisis untuk beberapa kurun waktu tertentu. Dalam hal ini, perkembangan LQ
bisa dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah
terjadi kenaikan atau penurunan. Hal ini bisa memancing analisis lebih lanjut,
misalnya apabila naik dilihat faktor-faktor yang membuat daerah kita tumbuh lebih
cepat dari rata-rata nasional. Demikian pula apabila turun, dikaji faktor-faktor yang
membuat daerah kita tumbuh lebih lambat dari rata-rata nasional. Hal ini bisa
membantu kita melihat kekuatan/kelemahan wilayah kita dibandingkan secara
relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi yang positif digunakan dalam
strategi pengembangan wilayah. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi
sektor di suatu wilayah lemah, perlu dipikirkan lagi apakah perlu ditanggulangi atau
dianggap tidak prioritas.
Contoh perhitungan LQ dikemukakan berikut ini. Dalam contoh ini akan
dihitung LQ untuk Kabupaten Halmahera Barat untuk tahun 2009 dan 2003. LQ
dihitung terhadap Provinsi Maluku Utara sebagai wilayah induk. Data yang
digunakan adalah data PDRB dalam harga konstan 2009.

22

Perkembangan LQ Kota Tidore Kepulauan Tahun 2009 - 2013
LQ Kota Tidore Kepulauan Tahun 2009-2013
Lapangan Usaha

2009

2010

2011

2012

2013

126,050.90

134.993,8

142.602,6

150.674,5

158.413,2

1. PERTANIAN

Lapangan Usaha

2009

2010

2011

2012

2013

1,36
0,69
1,40
0,13
0,38
0,39
0,25
0,55
1,21

1,37
1,41
1,42
0,13
0,39
0,40
0,26
0,55
1,18

1,37
1,39
1,43
0,13
0,40
0,41
0,27
0,56
1,15

1,38
1,40
1,45
0,13
0,40
0,42
0,29
0,56
1,14

a perikanan
b Tanaman perkebunan

17.205.18

18.304,6

19.101,9

19.764,7

20.428,9

64.872.10

71.132,3

76.534,5

82.216,2

87.804,5

a perikanan
b Tanaman perkebunan

2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN

1,379.06

1.518,9

1.593,4

1.695,0

1.765,6

2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN

3. INDUSTRI PENGOLAHAN

13,398.22

13.638,7

14.329,5

14.966,3

15.755,8

3. INDUSTRI PENGOLAHAN

4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH

453.91

508,3

551,0

600,8

658,9

4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH

a. Listrik
b. Air bersih

142.29

171,5

189,4

212,4

239,7

311.62

336,7

361,5

388,4

419,1

a. Listrik
b. Air bersih

5. BANGUNAN
6. PERDAGANGAN, HOTEL &
RESTORAN
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI

6,076.18

6.689,3

7.153,8

7.675,3

8.068,1

5. BANGUNAN

1,36
1,44
1,38
0,13
0,39
0,36
0,21
0,53
1,20

72,915.76

78.052,7

83.421,1

89.774,5

96.775,4

6. PERDAGANGAN, HOTEL &
RESTORAN

1,03

1,02

1,01

0,99

10,323.16

11.303,9

11.781,2

12.312,2

12.695,1

7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI

a. Angkutan Jalan Raya
b. Angkutan Laut

2.142,92

2.372,6

2.523,8

2.683,3

2.868,1

6.401,52

6.905,6

7.154,6

7.422,0

7.539,5

a. Angkutan Jalan Raya
b. Angkutan Laut

c. Ankt. Sungai, Danau &Pnybr

153.35

182,5

196,6

212,0

226,2

c. Ankt. Sungai, Danau &Pnybr

0,45
0,50
1,06
0,55

0,44
0,51
1,04
0,42

0,43
0,52
1,03
0,42

d. Angkutan Udara
e. Jasa Penunjang Angkutan

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

628,8

d. Angkutan Udara
e. Jasa Penunjang Angkutan

0,45
0,47
1,02
0,37
0.00
0,39

0,97
0,42
0,52
1,05
0,42

0,37

0,36

0,35

0,35

0,42

0,40

0,40

0,40

0,90
0,89
1,26

0,87
0,86
1,28

0,88
0,86
1,31

0,89
0,86
1,34

0,40
0,89
0,87
1,34

1. PERTANIAN

548.99

558,8

582,0

602,1

8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA
PERUSAHAN

3,999.76

4.184,0

4.497,3

4.796,7

5.147,0

8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA
PERUSAHAN

9. JASA-JASA

18,459.25

19.205,0

20.547,8

21.873,2

23.591,9

9. JASA-JASA

1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan

13.328,48

13.893,4

14.883,3

15.786,8

17.021,0

1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan

2. Sosial Masyarakat

3.845,46

3.999,6

4.291,3

4.620,3

4.988,6

2. Sosial Masyarakat

PDRB

253,056.20

270.094,5

286.477,7

304.368,4

322.871,0

23

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 terdapat 7 sektor
yang LQ nya di atas 1 yaitu sektor pertanian, perikanan, tanaman perkebunan,
bangunan, perdagangan hotel dan restoran, angkutan laut, dan sosial masyarakat.
Pada tahun 2010 ada 6 sektor yang LQ nya diatas 1 yaitu sektor pertanian, tanaman
perkebunan, bangunan, perdagangan hotel dan restoran, angkutan laut, dan sosial
masyarakat. Untuk data pada tahun 2011 terdapat 6 sektor yang LQ nya diatas 1
yaitu sektor pertanian, perikanan, tanaman perkebunan, bangunan, perdagangan
hotel dan restoran, angkutan laut, dan sosial masyarakat. Pada tahun 2012 terdapat
6 sektor yang LQ nya diatas 1 yaitu sektor pertanian, perikanan, perkebunan,
bangunan, angkutan laut, dan sosial masyarakat. Untuk data terakhir pada tahun
2013 sama seperti pada tahun-tahun sebelumya terdapat 6 sektor yang LQ nya
diatas 1 yaitu sektor pertanian, perikanan, perkebunan, bangunan, angkutan laut,
dan sosial masyarakat. Apabila kita mengetahui kondisi kabupaten yang dianalisis
maka dapat diketahui faktor yang menyebabkan naiknya atau turunnya LQ tersebut.
Untuk Kota Tidore Kepulauan tersebut di atas dapat dibuat perkiraan faktor
penyebab sebagai berikut.
1. Sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan LQ nya di atas 1 dan trendnya
setiap tahun berubah namun perubahan tesebut tidak jauh dengan tahuntahun sebelumya. Namun dapat dipastikan dari data di atas bahwa dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan.
2. Sektor bangunan, LQ nya diatas 1 dan terjadi kenaikan dari tahun 2009
sampai 2010, namun pada tahun tahun berikutnya yaitu tahun 2011 sampai
dengan tahun 2013 sempat menurun. Patut diduga penyebabnya karena
pesatnya penambahan bangunan di perkotaan sehingga peran kabupaten
menjadi menurun.
3. Sektor perdagangan, hotel dan restoran, LQ nya di atas 1 pada tahun 2009
sampai dengan 2011. Namun setiap tahun mengalami penurunan. Peran
sekor ini memang rendah di kabupaten dibandingkan dengan perkotaan.
Naiknya LQ sektor ini diduga karena makin banyak bagian wilayah
kabupaten yang mengarah menjadi perkotaan.

24

4. Untuk sektor pengangkutan yaitu angkutan laut LQ nya diatas 1. Pada tahun 2009
sampai dengan tahun 2010 terjadi peningkatan yang baik namun pada tahun 2011
sampai dengan tahun 2012 sempat menurun tetapi tidak terlalu jauh dengan tahun
sebelumnya. Namun pada tahun 2013 terjadi peningkatan yang sangat baik. Patut
diduga penyebab naik maupun turunnya sektor tersebut dikarenakan pesatnya
pertumbuhan sektor ini di perkotaan sehingga peran di kabupaten menjadi
menurun.

2.8

ANALISIS SHIFT-SHARE
Analisis shift-share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan

berbagai sektor (industri) di daerah kita dengan wilayah nasional. Akan tetapi,
metode ini lebih tajam dibandingkan dengan metode LQ. Metode LQ tidak
memberikan penjelasan atas faktor penyebab perubahan sedangkan metode shiftshare memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel. Analisis ini

menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan
struktur industri suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun waktu ke
kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan
berbagai sektor di suatu daerah dalam kaitannya dengan ekonomi nasional. Ada
juga yang menamakan model analisis ini sebagai industrial mix analysis, karena
komposisi industri yang ada sangat memengaruhi laju pertumbuhan wilayah
tersebut. Artinya, apakah industri yang berlokasi di wilayah tersebut termasuk ke
dalam kelompok industri yang secara nasional memang berkembang pesat dan
bahwa industri tersebut cocok berlokasi di wilayah itu atau tidak. Analisis shiftshare dapat menggunakan variabel lapangan kerja atau nilai tambah. Akan tetapi,

yang terbanyak digunakan adalah variabel lapangan kerja karena datanya lebih
mudah diperoleh. Apabila menggunakan nilai tambah maka sebaiknya
menggunakan data harga konstan dengan tahun dasar yang sama. Karena apabila
tidak maka bobotnya (nilai riilnya) bisa tidak sama dan perbandingan itu menjadi
tidak valid.

25

2.8.1 Konsep dan Definisi
Pertambahan lapangan kerja (employment) regional total (Δ Er) dapat diurai
menjadi komponen shift dan komponen share. Komponen share sering pula disebut
komponen national share. Komponen national share (N) adalah banyaknya
pertambahan lapangan kerja regional seandainya proporsi perubahannya sama
dengan laju pertambahan nasional selama periode studi. Hal ini dapat dipakai
sebagai kriteria lanjutan bagi daerah yang bersangkutan untuk mengukur apakah
daerah itu tumbuh lebih cepat atau lebih lambat dari pertumbuhan nasional ratarata.
Komponen shift adalah penyimpangan (deviation) dari national share dalam
pertumbuhan lapangan kerja regional. Penyimpangan ini positif di daerah-daerah
yang tumbuh lebih cepat dan negatif di daerah-daerah yang tumbuh lebih
lambat/merosot dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja secara nasional.
Bagi setiap daerah, shift netto dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu
proportional shift component (P) dan differential shift component (D).
Porportional shift component (P) kadang-kadang dikenal sebagai

komponen struktural atai industrial mix, mengukur besarnya shift regional netto
yang diakibatkan oleh komposisi sektor-sektor industri di daerah yang
bersangkutan. Komponen ini positif di daerah-daerah yang berspesialisasi dalam
sektor-saktor yang secara nasional tumbuh cepat dan negatif di daerah-daerah yang
berspesialisasi dalam sektor-sektor yang secara nasional tumbuh dengan lambat
atau bahkan sedang merosot.
Differential shift component (D) kadang-kadang dinamakan komponen

lokasional atau regional adalah sisa kelebihan. Komponen ini mengukur besarnya
shift regional netto yang diakibatkan oleh sektor-sektor industri tertentu yang

tumbuh lebih cepat atau lebih lambat di daerah yang bersangkutan daripada tingkat
nasional yang disebabkan oleh faktor-faktor lokasional intern. Jadi, suatu daerah
yang

mempunyai

keuntungan

lokasional

seperti

sumber

daya

yang

melimpah/efisien, akan mempunyai differential shift component yang positi,

26

sedangkan daerah yang secara lokasional tidak menguntungkan akan mempunyai
komponen yang negatif.
Syafrizal (2008) daerah memiliki keunggulan komparatif pada sektor
tertentu. Pengukuran besarnya keunggulan komparatif tersebut tidak dapat diukur
berdasarkan regresi melainkan metode yang lazim yang sering digunakan adalah
analisis shift share sebagaimana yang dikatakan oleh John P Blair (1991). Ada 3
bagian dalam menganalisis Shift Share, antara lain:
Regional Share [��

��

�0



]

adalah

merupakan

komponen

share

pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh faktor ekternal yaitu
peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat kebijakan nasional yang berlaku di
setiap daerah.
��

Proporsional Shift [�� ( �0 ) − � � − � 0 ] adalah komponen pertumbuhan
��

ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu
berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat seperti sektor industri