Planetarium dan Museum Astronomi di Sura

SEMINAR PLANETARIUM DAN MUSEUM ASTRONOMI DI SURABAYA

Oleh:

Franky Gunawan NPM : 0812002 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS KATOLIK DARMA CENDIKA SURABAYA 2014

SEMINAR PLANETARIUM DAN MUSEUM ASTRONOMI DI SURABAYA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program S-1

Oleh:

Franky Gunawan NPM : 0812002 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS KATOLIK DARMA CENDIKA SURABAYA

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN SEMINAR

Judul : Planetarium dan Museum Astronomi di Surabaya Nama

: Franky Gunawan NPM

: 0812002 Semester : Genap 2014/2015

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima Tim Penguji Seminar

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Ir. Theresia Ratna, M.T.) (Ir. Lucia Ina T, M.Ars)

Mengesahkan, Ketua Program Studi Arsitektur

(Ir. Lucia Ina T, M.Ars)

ii

ABSTRAK

Franky : Seminar Planetarium dan Museum Astronomi Di Surabaya

Planetarium dan Museum Astronomi Di Surabaya ini merupakan sarana wisata pendidikan di bidang astronomi yang dikelola oleh swasta. Pendekatan Struktur sebagai pendekatan desain. Fasilitas yang direncanakan meliputi ruang pertunjukan, ruang pameran museum, ruang serbaguna, perpustakaan, dan cafeteria.

Teknik analisa yang digunakan dalam perancangan ini adalah deskriptif kualitatif yang menjabarkan data secara deskriptif dan dianalisa berdasarkan teori yang berkaitan secara kualitatif. Planetarium dan Museum Astronomi akan didesain di lokasi Jl. Ir. Soekarno sehingga pencapaian dekat jalan arteri dan berada didaerah pendidikan yaitu Surabaya Timur.

Kata kunci : Planetarium, Museum, Astronomi, Pertunjukan, Teater, Pameran.

ABSTRACT

Franky : Seminar Planetarium and Astronomy Museum In Surabaya

Planetarium and Astronomy Museum in Surabaya is a means of education in the field of astronomy tour run by the private sector. Approach Structures as the design approach . The planned facilities include performance space , museum exhibition halls , a ballroom , library , and cafeteria .

Analysis techniques used in this design is a qualitative description that describes the data descriptively and qualitatively analyzed based on the theory that related.

Planetarium and Astronomy Museum will be designed on the location of Jl . Ir. Soekarno so close to achieving the arterial road and located in the area of education , namely Surabaya East .

Key Word : Planetarium, Museum, Astronomy, Show, Teather, Exhibition.

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan pimpinan-Nya yang telah penulis terima selama melaksanakan seminar ini, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan seminar ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang telah berperan sehingga dapat terselesainya seminar ini, antara lain :

1. Ir. Theresia Ratna, M.T. selaku dosen pembimbing I telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran di dalam memberikan pengarahan dalam penulisan seminar ini.

2. Ir Lucia Ina T, M.Ars selaku Ketua Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya dan dosen pembimbing II yang telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di dalam memberikan pengarahan dalam penulisan seminar ini.

3. Agnes Yeni Artikasari dan Violin Natalia G yang merupakan istri dan anakku yang selalu memberi semangat dan pengertiannya dalam pengerjaan seminar ini.

4. Kristianto Prajitno dan Sarmani selaku orang tua yang menjadi pondasi dalam penyelesaian seminar ini.

5. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan seminar ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan seminar ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala petunjuk, Kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dapat menunjang pengembangan dan perbaikan penulisan selanjutnya.

Akhir kata penulis mohon maaf atas kekurangan dalam penulisan seminar ini dan penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga seminar ini dapat berguna untuk menambah wawasan dan wacana bagi rekan-rekan mahasiswa. Surabaya, September 2015

Franky Gunawan

iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lapangan ilmu pengetahuan memiliki bidang yang sangat luas. Penelitian demi penelitian untuk mengetahui segala misteri di alam yang belum terpecahkan. Alam merupakan suatu objek yang tidak pernah habis dijadikan bahan penelitian. Penelitian akan daratan, lautan, cakrawala, dan ruang angkasa beserta benda-benda langit sejak ribuan tahun yang lalu. Benda-benda langit seperti meteor, komet, planet, bintang, dan lain sebagainya dapat dilihat dengan mata telanjang hanya pada waktu-waktu tertentu. Munculnya benda-benda langit dan berbagai fenomena dilangit yang terjadi secara terus- menerus dan teratur menyebabkan manusia mengenal dimensi waktu. Dimensi waktu sangat penting dalam proses pengamatan. Hal ini mendorong lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang dapat meneliti ruang angkasa. Ilmu pengetahuan tersebut dikenal dengan ilmu astronomi.

Seperti kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, masyarakat asli Indonesia sudah sejak lama menaruh perhatian pada langit. Keterbatasan pengetahuan membuat kebanyakan pengamatan dilakukan untuk keperluan astrologi. Pada tingkatan praktis, pengamatan langit digunakan dalam pertanian dan pelayaran. Dalam masyarakat Jawa misalnya dikenal pranatamangsa, yaitu peramalan musim berdasarkan gejala-gejala alam, dan umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit. Nama-nama asli daerah untuk penyebutan obyek-obyek astronomi juga memperkuat fakta bahwa pengamatan langit telah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak lama. Lintang Waluku adalah sebutan masyarakat Jawa tradisional untuk menyebut tiga bintang dalam sabuk Orion dan digunakan sebagai pertanda dimulainya masa tanam. Gubuk Penceng adalah nama lain untuk rasi Salib Selatan dan digunakan oleh para nelayan Jawa tradisional dalam menentukan arah selatan. Joko Belek adalah sebutan untuk Planet Mars, sementara lintang kemukus adalah sebutan untuk komet. Sebuah bentangan nebula raksasa dengan fitur gelap di tengahnya disebut sebagai Bimasakti.

Ilmu astronomi modern makin berkembang setelah pada tahun 1928, atas kebaikan Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Malabar,

Bab I-Pendahuluan 2

dipasang beberapa teleskop besar di Lembang, Jawa Barat, yang menjadi cikal bakal Observatorium Bosscha, sebagaimana dikenal pada masa kini. Penelitian astronomi yang dilakukan pada masa kolonial diarahkan pada pengamatan bintang ganda visual dan survei langit di belahan selatan ekuator bumi, karena pada masa tersebut belum banyak observatorium untuk pengamatan daerah selatan ekuator.

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, bukan berarti penelitian astronomi terhenti, karena penelitian astronomi masih dilakukan dan mulai adanya rintisan astronom pribumi. Untuk membuka jalan kemajuan astronomi di Indonesia, pada tahun 1959, secara resmi dibuka Pendidikan Astronomi di Institut Teknologi Bandung. Pendidikan Astronomi di Indonesia secara formal dilakukan di Departemen Astronomi, Institut Teknologi Bandung. Departemen Astronomi berada dalam lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan secara langsung terkait dengan penelitian dan pengamatan di Observatorium Bosscha. (itb.ac.id)

Lembaga negara yang terlibat secara aktif dalam perkembangan astronomi di Indonesia adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Selain pendidikan formal, terdapat wadah informal penggemar astronomi, seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, serta tersedianya planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang selalu ramai dipadati pengunjung. Seperti pada tabel dibawah ini terlihat bahwa setiap tahunnya pengunjung planetarium semakin meningkat.

Gambar 1.1. Diagram Batang Data Pengunjung Planetarium Jakarta

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 3

Perkembangan astronomi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat, dan mendapat pengakuan di tingkat Internasional, seiring dengan semakin banyaknya pakar astronomi asal Indonesia yang terlibat dalam kegiatan astronomi di seluruh dunia, serta banyaknya siswa SMU yang memenangi Olimpiade Astronomi Internasional maupun Olimpiade Astronomi Asia Pasific. Demikian juga dengan adanya salah seorang putra terbaik bangsa dalam bidang astronomi di tingkat Internasional, yaitu Profesor Bambang Hidayat yang pernah menjabat sebagai vice president IAU (International Astronomical Union).

Gambar 1.2. Bambang Hidayat sebagai vice president IAU

Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau, oleh karena itu Indonesia disebut juga Negara kepulauan (maritim). pada zaman dulu nenek moyang kita menjadikan pelayaran sebagai sarana transportasi antar pulau, nenek moyang kita menggunakan peta bintang untuk mengetahui arah selama pelayaran. Perkembangan ilmu astronomi di Indonesia kurang mendapat perhatian masyarakat, selain disebabkan oleh kurangnya sumberdaya manusia yang berkualitas, selain itu faktor lain adalah kurangnya lembaga yang memberikan pengenalan dan pendidikan terhadap penguasaan sains dan teknologi, khususnya teknologi antariksa. Indonesia hanya memiliki tiga lembaga yaitu planetarium. Planetarium Jakarta yang berada di Taman Ismail Marzuki (TIM), Planetarium Jagad Raya Tenggarong di Kalimantan Timur dan Planetarium Angkatan Laut Surabaya. (Kompasiana)

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 4

Surabaya merupakan Kota Maritim yang sangat terkenal sejak jaman Majapahit. Aktivitas perdagangan berpusat di Dermaga Ujung yang sekarang menjadi Pelabuhan Tanjung Perak yaitu pelabuhan terbesar kedua setelah Tanjung Priok Jakarta. Kepulauan erat kaitannya dengan ilmu astronomi. Dulunya para nelayan hingga TNI Angkatan Laut memanfaatkan ilmu astronomi sebagai penunjuk arah dan posisi. TNI-AL menyediakan Museum Angkatan Laut dan Planetarium sebagai sarana pembelajaran interaktif. Sementara ini masih belum ada museum astronomi yang khusus membahas ilmu astronomi bagi masyarakat khususnya di Kota Surabaya.

Museum AL dan Planetarium AAL

Gambar 1.3. Gambar Peta Kota Surabaya Sumber : Google Earth

Kawasan TNI-AL terletak di Surabaya Utara yang dekat dengan perairan. Lokasinya yang berada di paling utara Kota Surabaya membuat keberadaannya kurang diketahui oleh masyarakat. Jalur angkutan umum tidak ada yang menghubungkan secara langsung dikarenakan berada di daerah khusus TNI Angkatan Laut. Kebutuhan keamanan, fungsi, dan privasi bagi TNI Angkatan Laut mengharuskan lokasi berada di tepian Kota Surabaya dan hanya memiliki pencapaian khusus yang bebas dari angkutan umum.

Pintu Masuk

Museum AL dan Planetarium AAL

Gambar 1.4. Gambar Daerah TNI AL Sumber : Google Earth

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 5

Pencapaian melalui gerbang TNI Angkatan Laut (pangkal panah pada gambar 1.4) menuju ke Museum AL dan Planetarium AAL diharuskan memiliki kebutuhan tertentu yang berasal dari suatu lembaga tertentu. Kemudian untuk mengunjungi membutuhkan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan pemerintah ingin berfokus kepada pendidikan dan tidak menjadikan museum dan planetarium bersifat komersial sehingga mayoritas pengunjungnya adalah lembaga pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Pembelajaran dari pertunjukan planetarium yang diberikan bersifat interaktif dan memberi wawasan tentang tata surya dan rasi bintang. Durasi pertunjukan planetarium ±15-30 menit. Pengenalan lebih mendalam diberikan kepada pengunjung yang berasal dari lembaga pendidikan tertentu seperti : pendidikan geografis dan astronomi. Pada ruang tunggu planetarium juga terdapat koleksi artikel pengetahuan tentang 88 rasi bintang, pesawat apollo, letak lintang berdasarkan rasi bintang, dan lain sebagainya. Sayangnya pertunjukan yang ditayangkan kurang bervariatif dikarenakan teknologi yang terbatas yaitu hanya proyektor ZKP1 yang dibuat tahun 1968 dan digunakan 1969.

Gambar 1.5. Proyektor ZKP1 pada Planetarium AAL Sumber : Dokumen Pribadi

Selain teknologi, ruangan yang ada masih terbatas sehingga planetarium kurang dapat berinovatif dalam perkembangannya memberikan pengunjung wawasan yang lebih luas tentang ilmu astronomi lainnya, seperti : galaksi Bima Sakti, Nebula, dan galaksi- galaksi lain diluar tata surya. Planetarium hanya menjadi fungsi tambahan dari Museum Angkatan Laut sehingga pembelajaran lebih berfokus ke sejarah Angkatan Laut. Faktor- faktor tersebut yang membatasi minat masyarakat menggali lebih jauh tentang ilmu astronomi . Dimana peminat akan planetarium semakin meningkat, hal ini dapat dilihat di data pengunjung Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya pada lampiran 1. Pada

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 6

tahun 2014 pengunjung mengalami penurunan yang tidak begitu signifikan. Hal ini dikarenakan adanya renovasi pada planetarium sehingga tidak dibuka untuk umum sementara. Pada umumnya ada kenaikan setiap tahunnya menandakan peminat semakin bertambah.

Tabel 1.1. Jumlah pengunjung Museum AL dan Planetarium AAL dari TK hingga

Perguruan Tinggi

Tabel 1.2. Jumlah pengunjung total Museum AL dan Planetarium AAL

Oleh karena itu diperlukan adanya fasilitas yang memiliki fungsi planetarium yang menyajikan pertunjukan yang lebih variatif dan inovatif serta beberapa fasilitas penunjang yang dapat menarik minat pengunjung sekaligus untuk mewadahi masyarakat yang ingin mengenal lebih jauh tentang bidang astronomi tetapi bersifat edutaiment yaitu edukatif (mendidik dengan berbagai informasi tentang bintang, galaksi dan lain sebagainya) dan entertaiment (hiburan yang dapat memberikan pengalaman baru bagi pengunjung). Hal inilah yang menyebabkan penulis ingin mendirikan Planetarium dan Museum Astronomi yang nantinya dapat memudahkan masyarakat untuk mempelajari tentang astronomi serta menumbuhkan minat di bidang ini.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 7

1.2. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa masalah antara lain belum adanya Museum Astronomi di Surabaya yang dapat melengkapi sebuah planetarium dalam rangka memberikan pengetahuan ilmu astronomi kepada masyarakat. Oleh karena itu dapat ditarik rumusan masalah antara lain :

a. Bagaimanakah merencanakan dan merancang Planetarium dan Museum Astronomi di Kota Maritim Surabaya yang tepat.

b. Bagaimana menjadikan wahana ini memiliki sifat edukatif dan entertaiment sehingga dapat menarik minat masyarakat.

1.3. Tujuan dan Manfaat

1.3.1. Tujuan Tujuan dari perancangan Planetariun dan Museum Astronomi ini adalah:

a. Mendirikan Planetarium dan Museum Astronomi di Kota Maritim Surabaya yang memiliki letak yang strategis.

b. Menyediakan tempat rekreasi yang bersifat edutainment, yaitu edukatif (mendidik) dan entertainment (hiburan) di Surabaya sehingga masyarakat tertarik untuk belajar ilmu astronomi

1.3.2. Manfaat

a. Bagi masyarakat :  Masyarakat bisa dengan mudah memperoleh informasi seputar dunia astronomi melalui Museum Astronomi dan Planetarium.  Masyarakat bisa dengan mudah mempelajari ilmu astronomi meskipun memiliki bidang pendidikan yang berbeda-beda.

b. Bagi pemerintah Kota Surabaya :  Pemerintah Kota Surabaya memiliki sarana dan prasarana baru berupa

Planetarium dan Museum Astronomi.  Planetarium menjadi salah satu landmark Kota Surabaya dan menarik pengunjung dari luar Kota Surabaya.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 8

1.4 Lingkup Penelitian

Agar tidak menyimpang dari permasalahan dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan lingkup penelitian sebagai berikut: 

Museum astronomi tidak menampilkan benda-benda astronomi bersejarah dikarenakan di Indonesia masih sangat minim penemuan-penemuan di bidang astronomi. Museum astronomi lebih menjelaskan tentang model tata surya dan galaksi, model perlengkapan antariksa seperti : pesawat ulang alik, kostum astronaut, model teropong bintang, dan lain sebagainya.

 Planetarium tidak menampilkan luar angkasa secara langsung hanya berupa ruang pertunjukan teater yang memberi gambaran bintang-bintang dan planet-planet di tata surya.

 2 Luasan bangunan ± 10.000 m 

Lokasi merupakan kawasan pendidikan dan harus mudah dikunjungi (adanya jalur kendaraan umum), serta dekat dengan jalan raya.

 Pendanaan oleh pihak swasta

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab I-Pendahuluan 9

1.5 Kerangka Pemikiran

Issue

Nasa : Bulan darah bukan pertanda asteroid akan menabrak Bumi pada 28

September 2015 (http://astronesia.blogspot.com/2015/09

Latar Belakang

 Perkembangan astronomi

tradisional Indonesia  Indonesia negara maritim  Surabaya kota maritim  Planetarium AAL di Surabaya

Data Primer

Data Sekunder

Peraturan

Statement

 Studi banding

Pemerintah

Pakar/ahli

 Studi Literatur

Analisa

Tapak,Ruang, Potensi, dan kondisi sekitar

Konsep Lokasi

Konsep Ruang

Tata guna lahan, Batas- Program ruang , Kebutuhan ruang batas lahan, Potensi

dan Luasan Ruang

Hasil Rancangan

 Planetarium  Museum Astronomi  Fasilitas penunjang lainnya

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Pengertian Astronomi Kata "Astronomi" berasal dari dua kata bahasa Yunani, astron yang berarti

"bintang" dan nemein yang berarti "menamakan". Walaupun cikal bakal astronomi berawal ribuan tahun sebelum orang-orang Yunani kuno mulai mempelajari bintang, ilmu astronomi selalu berdasarkan prinsip yang sama, yaitu "menamakan bintang". Banyak nama bintang yang berasal langsung dari orang-orang Yunani yang merupakan ahli astronomi pertama yang membuat daftar sistematis dari semua bintang yang dapat orang- orang Yunani lihat. Pada sejumlah peradaban awal, letak bintang-bintang yang terlihat saling berhubungan ditetapkan dengan menyatukan bintang-bintang tersebut dalam gugus-gugus yang tampak seperti sungai yang berkelok sehingga diberi nama Eridanus, sungai besar. Gugus lainnya yang menyerupai pemburu dengan sabuk cerah disebut Orion, si pemburu (Lippincott, Kristen, 2009:8)

2.1.2 Peradaban Awal Astronomi di Indonesia Ribuan tahun yang lalu, ketika nenek moyang kita melihat ke angkasa dan mulai

bertanya dalam hati tentang apa yang terlihat merupakan isyarat akan terjadinya malapetaka, seperti : kematian, kehancuran, wabah penyakit, kekeringan, atau banjir (Kerrod,Robin,2005) . Catatan dan cerita turun temurun dalam budaya masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait astronomi. Cerita-cerita dari langit ini memberi interpretasi tersendiri akan obyek langit yang masyarakat lihat. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan' Laggo Samba Sulu' atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilinge'na Sangiang Serri (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).

Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa,

Bab II-Tinjauan Pustaka 11

dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang – Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu (Kusnaka, Adimihardja,1999).

Setiap interpretasi tidak sekedar memberi akan benda-benda langit, baik itu bulan, bintang, matahari, rasi bintang, Bima Sakti, namun juga kisah tentang proses terjadinya alam semesta. Benda-benda langit ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun navigasi.

Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50° di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah.

Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Masyarakat di masa itu juga menentukan saat menanam dengan menggunakan bambu yang diisi air untuk mengukur ketinggian bintang. Pada posisi tertentu mereka akan bisa mengetahui apakah sudah saatnya memulai bercocok tanam atau belum.

Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Salah satu kisah yang diyakini merupakan bagian dari penggunaan langit sebagai navigasi adalah ditemukannya peninggalan berupa puisi dan gambar-gambar perjalanan masyarakat dari Indonesia menuju Afrika Selatan.

Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 12

berfungsi sebagai penanda waktu. Pembangunan candi seperti Borobudur memberi penegasan dan petunjuk kemampuan nenek moyang dalam astronomi.

2.1.3 Fungsi Museum Astronomi Beberapa sejarah teori diatas telah menjelaskan tentang berbagai bintang dan penamaan oleh nenek moyang. Rasi bintang selain sebagai penunjuk arah juga menjadi penanda musim dan lainnya. Pada desain nantinya terdapat ruang belajar interaktif yang berupa proyeksi bayangan berbagai rasi bintang oleh proyektor ke dinding ruangan serta permainan pencahayaan sehingga menciptakan suasana yang seperti diluar angkasa. Desain peletakan proyektor maupun proyeksi bayangan akan disesuaikan sesuai letak rasi bintang-bintang. Selain itu Museum akan menyajikan informasi tentang Tata Surya, Galaksi Bima Sakti, galaksi-galaksi lain serta berbagai macam replika peralatan yang dulunya digunakan untuk mempelajari astronomi seperti Teropong Hubble, Stone Henge, Astrolab, Ptolernaeus, Sekstan, dan lain sebagainya (Lippincott, Kristen, 2009). Replika ini nantinya tidak hanya berupa miniatur saja tetapi juga dapat digunakan pengunjung untuk berinteraksi sehingga pengunjung akan berdatangan untuk mencoba beberapa miniatur dan replika peralatan astronomi.

2.2 Tinjauan Khusus

2.2.1 Pengertian Planetarium Planetarium merupakan sebuah tempat yang memutarkan pertunjukan berupa simulasi benda-benda langit. Dalam suatu planetarium biasanya terdapat ruang pertunjukan “theatre”, tempat diadakannya simulasi fenomena astronomis. Atap sebuah planetarium berbentuk kubah. Tidak seperti pada observatorium, meskipun sama-sama berbentuk kubah, kubah pada planetarium tidak dapat di buka tutup. Inilah yang membedakan suatu planetarium dari observatorium. Akan tetapi, ada pula suatu planetarium yang juga merupakan observatorium.

2.2.2 Sejarah Awal Planetarium Sejarah dibuatnya sebuah Planetarium dimulai sejak abat ke 17, yakni seorang bangsawan bernama Frederick III of Holstein- Gottorp memesan sebuah “Globe Khusus” kepada Adam Olearius dan disempurnakan oleh Andreas Bösch. Kurang lebih 10 tahun pembuatan, yakni dari tahun 1654 sampai 1664 pembuata globe pesanan itu dibuat, hingga rampung dan diberinama dengan sebutan “Globe of Gottorf”.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 13

Gambar 2.1. Globe of Gottorf

Globe ini merupakan cikal bakal Planetarium pertama didunia, dimana bagian utama dari Globe atau Planetarium ini adalah bulatan cengkung terbuat dari tembaga dengan diameter sekitar 3,1 Meter yang ditaruh diatas. Ilustrasi mengenai rasi bintang terlukis di permukaan bulatan tersebut. Untuk bintangnya, digunakan bulatan kecil dan tembaga yang dilapisi emas. Cahaya dari lampu minyak yang ditaruh di tengah akan membuat bintang bintang bersinar.

Kabarnya Planetarium pertama ini sekarang berada di Museum Kunstkammer St.Petersburg Rusia, akan tetapi yang dipamerkan ini merupakan Replika dari Globe of Gottorf yang asli, hal ini disebabkan planetarium tersebut hangus terbakar pada tahun 1717 dikarenakan perang Great Northern. Lalu Ratu Elizabeth dari Rusia membuat replikanya, sempat replika Globe of Gottorf tersebut di sita oleh Jerman dan disimpan di Dutch Admiralty hingga berakhirnya perang Dunia II, yakni pada tahun 1947 planetarium tersebut di kembalikan ke Rusia.

Sedangkan di abad ke-18, yakni di tahun 1744, telah dibuat Planetarium Mekanika bernama Eise Eisinga’s Planetarium di kota Franeker Friesland Belanda oleh seorang Astronom Amatir asal Belanda bernama Eise Jeltes Eisinga. Planetarium yang sering disebut dengan sebutan “orrey” ini dibangun dari tahun 1774 sampai tahun 1781 dan mendapatkan pengakuan dan pujian dari Raja William I dan Pangeran Frederik dari kerajaan Belanda, hingga akhirnya pada tahun 1818 Planetarium atau orrey tersebut diserahkan ke kerajaan Belanda.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 14

Gambar 2.2. Eise Eisinga's Planetarium

Sementara di abad ke-19, yakni ditahun 1912, seorang Geografiwan bernama Wallace Walter Atwood membuat Globe dengan melubangi Globe-nya dengan 692 lubang, hal ini beliau lakukan untuk membuat simulasi bintang-bintang berdasarkan magnitudo kecil sedangkan untuk mensimulasikan matahari didalam globe ini dipasang sebuah bola lampu bergerak. Globe ini diberinama dengan sebutan “Atwood Globe”. Sekarang Atwood Globe ini dipamerkan di Planetarium Chicago, USA.

Gambar 2.3. Adler Planetarium Chicago

Dari ketiga Globe diatas merupakan cikal bakal sebuah Planetarium sebagai alat peraga mekanik untuk memperlihatkan pergerakan benda-benda langit seperti bintang, planet, Bulan, dan matahari. Hingga pada awal abad ke-20, Planetarium mulai berintergrasi dari jenis Mekanik menjadi Jenis Modern yakni dengan menggunakan teknologi Proyektor.

Dizaman Planetarium mengunakan Proyektor bermula dari ide pertama pembuatan Proyektor Planetarium. Diajukan oleh Pendiri Museum Deutsches bernama Oskar von Mi ller pada tahun 1913 dan Proyektor planetarium yang pertama dibuat pada tahun 1919 berdasarkan ide Walther Bauersfeld dari Carl Zeiss Company. Pada bulan Agustus 1923, proyektor pertama yang diberi nama Model I dipasang di pabrik Carl Zeiss di Jena.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 15

Bauersfeld untuk pertama kali mengadakan pertunjukan di depan publik dengan proyektor tersebut di Museum Deutsches, München Jerman, 21 Oktober 1923.

Deutsches Museum menjadi planetarium pertama di dunia setelah proyektor dipasang secara permanen pada bulan Mei 1925. Di awal Perang Dunia II, proyektor dibongkar dan disembunyikan. Setelah Deutsches Museum yang hancur akibat Perang Dunia II dibangun kembali, proyektor Model I kembali dipasang pada 7 Mei 1951. Sementara tiga tahun kemudian mulai dibangung planetarium-planetarium serupa dengan menggunakan proyektor di beberapa kota di eropa, seperti ditahun 1928 didirikan Planetarium Roma di Itali, tahun 1929 didirikan juga Planetarium Moscow di Rusia dan 5 planetarium didirikan sepanjang tahun 1930 yakni di kota Planetarium Stockholm - Swedia, Planetarium Milan - Itali, Planetarium Hamburg - Jerman, Planetarium Vienna - Austria dan Planetarium Adler Chicago - USA. Hingga ditahun 1937, pendirian Planetarium memasuki daratan Asia, dengan ditandai Pendirian Planetarium Kyoto dan Planetarium Tokyo hingga akhir tahun 60-an, dimana ditahun 1969 Planetarium Jakarta mulai beroperasi untuk pertamakalinya.

Hingga ditahun 1995, teknologi proyektor planetarium memasuki era Dijital dimana aplikasi pertunjukannya berpindah yang dari berteknologi manual menjadi teknologi komputerisasi. Hal ini di mulai oleh Planetarium London – Inggris yang memodernisasi proyektornya secara digital untuk pertama kalinya. Sedangkan di tahun 1996 mulai bermunculan perusahaan pembuat proyektor untuk menemani proyektor yang telah lama ada yakni Carl Zeiss Company, seperti Goto Virtuarium Company asal Jepang yang mayoritas proyektor Planetariumnya menggunakan Proyektor Goto bahkan negara lain juga ada yang menggunakan produk Goto, Sementara perusahaan SkyVision Company asal Inggris, StarRider Company asal Amerika Serikat dan AstroVision Company asal Cina juga mengalami proses pengembangan perusahaan proyektor dengan memasyarakatkan jenis-jenis proyektornya dikalangan negaranya masing-masing maupun negara lain.

2.2.3 Sejarah Obsevatorium dan Planetarium di Indonesia Ilmu astronomi modern makin berkembang setelah pada tahun 1928, atas kebaikan Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Malabar, dipasang beberapa teleskop besar di Lembang, Jawa Barat, yang menjadi cikal bakal Observatorium Bosscha.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 16

Gambar 2.4. Obsevatorium Bosscha Gambar 2.5. Teleskop di Bosscha

Penelitian astronomi dilakukan pada masa kolonial dan diarahkan pada pengamatan bintang ganda visual dan survey langit dibelahan selatan ekuator bumi karena pada masa tersebut belum banyak observatorium untuk pengamatan di daerah selatan ekuator bumi, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, bukan berarti penelitian astronomi terhenti karena penelitian astronomi mulai dilakukan dan mulai adanya rintisan astronom pribumi.

Pendidikan astronomi di Indonesia sendiri telah mulai sejak tahun 1947 dengan dibentuknya jurusan astronomi dibawah Fakultas Ilmu Pasti dan Alam ITB. Sedangkan lembaga yang terlibat dalam perkembangan astronomi di Indonesia adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Gambar 2.6. Gedung LAPAN Jakarta

Selain itu terdapat juga wadah bagi penggemar astronomi yaitu organisasi Himpunan Astronomi Amatir Jakarta dan juga Planetarium Jakarta yang berada di Taman Ismail Marzuki (TIM). Perkembangan astronomi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dan mendapat pengakuan di tingkat internasional seiring dengan semakin banyaknya pakar astronomi dari Indonesia yang terlibat dalam kegiatan astronomi di seluruh dunia.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 17

2.2.4 Fungsi Planetarium Menurut Arsitek Widya Sawitar fungsi planetarium yaitu :

a. Planetarium adalah laboratorium dengan cara edutaiment (bukan sekedar bioskop), sehingga ada follow up-nya. Misalnya, sepulang dari planetarium pengunjung bisa lebih peduli terhadap polusi cahaya.

b. Planetarium menjadi pusat kegiatan astronom amatir. Setelah sebelumnya dikenalkan dengan astronomi, disini pengunjung bisa benar-benar terbina untuk hal-hal yang berhubungan dengan astronomi.

Khusus di Bosscha (ITB), planetarium harus bisa mendukung pendidikan tinggi di program studi astronomi. Dewasa ini, Planetarium mulai berpindah menjadi omniplanetarium, yaitu planetarium yang bisa digunakan untuk selain fungsi planetarium pada umumnya, seperti : seminar, fashion show, conference, theatre, maupun konser musik.

2.2.5 Kriteria Perancangan Planetarium Berikut ini ada beberapa kriteria untuk perancangan dan pembangunan planetarium menurut arsitek Widya Sawitar (https://rezaprimawanhudrita.wordpress.com) :

a. Lahan Tidak ada syarat khusus. Planetarium bisa dirancang dan dibangun di lahan datar ataupun lahan berkontur, di pantai maupun di gunung tidak seperti obsevatorium yang membutuhkan lokasi tertentu untuk peneropongan ke langit.

b. Akustik Tidak boleh bergaung (di redam dengan dinding "sirip", karpet, atau material kedap suara lainnya).

c. Thermal Suhu dalam ruangan harus konstan, selain itu suhu alat juga harus terjaga (bila alat menjadi panas, harus dapat secara otomatis menjadi dingin sekitar 20-25 C).

d. Pencahayaan Saat pertunjukan teater maka percahayaan harus gelap agar optimalisasi cahaya dari proyektor bintang. Cahaya hanya dibutuhkan di jalur sirkulasi.

e. Proyektor Proyektor harus memiliki tingkat fokus yang tinggi agar proyeksi bintang tidak berbayang/bias ataupun berpantulan. Jika omniplanetarium maka proyektor harus memiliki tempat penyimpanan tersendiri (bisa dengan hidrolik).

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 18

f. Sistem Proyektor Sistem konvensional ( 1 bintang 1 proyektor ) untuk melihat bintang apa adanya, lebih pekat. Sistem digital untuk bisa menayangkan film apa saja (tidak hanya astronomi), namun pencitraan bintang lebih pudar.

g. Ruang Ruangan memiliki panggung (stage) di bagian depan untuk omniplanetarium, area kursi bisa bertingkat atau datar, dan ruang kontrol sekaligus ruang penceramah ada di bagian belakang kursi.

h. Terdapat Ruang Transisi Ada ruang transisi secara termal dan pencahayaan untuk adaptasi tubuh dan mata. Di ruang transisi ini di upayakan terdapat toilet, agar mata pengunjung tidak terlalu mengalami kondisi ekstrim terang-gelap. Selain itu, ruang transisi pun berguna untuk persiapan materi tayangan planetarium. (pengunjung dikenalkan istilah astronomi sebelum menonton pertunjukan planetarium)

i. Aktivitas planetarium menghasilkan flow massa (tergantung kapasitas planetarium). Misalkan terdapat 200-300 pengunjung yang masuk keluar bersamaan. Jadi harus ada pemisah akses pengunjung dan pengelola, serta ruangan pengunjung dan pengelola.

j. Pendukung kegiatan astronomi Diupayakan di planetarium terdapat benda-benda 'wajib' astronomi, seperti : miniatur tata surya dan teleskop optik.

k. Pengorganisasian ruang di planetarium Integrasi antara fasilitas utama dengan fasilitas pendukung harus baik. Misal : ruang teknisi berdekatan dengan mesin, pantri, toilet, dll. Begitu juga dengan ruang workshop/bengkel, ruang kurator, mushola, kantin, toko cinderamata, dan lain sebagainya.

l. Fasilitas maintenance seperti : proyektor, kursi, soundsystem, film, dan software.

2.3 Pendekatan Perancangan

Pendekatan perancangan yang akan dilakukan adalah melalui pendekatan struktur. Planetarium yang memiliki syarat harus memiliki kerangka langit-langit berbentuk bola agar dapat memproyeksikan gambar dengan tepat, maka sistem struktur harus diperhatikan agar tercipta keamanan dan ketepatan fungsi. Struktur bola bisa

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab II-Tinjauan Pustaka 19

menggunakan sistem space frame, Seperti contoh struktur bola pada Gereja Bethany Nginden Surabaya.

Gambar 2.7. Struktur Atap Space Frame Gereja Bethany Nginden Surabaya.

Sumber : Dokumen Pribadi

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang menurut I Made Winartha (2006) yaitu :

"Metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan".

Deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk menganalisa, mengambarkan dan meringkas situasi yang ada dilapangan secara aktual dan terpenrinci, mengidentifikasi masalah, membuat evaluasi kemudian menentukan apa solusi yang bisa dilakukan.

Masalah yang ada di Planetarium Akademi Angkatan Laut adalah letak planetarium yang kurang strategis, keterbatasan teknologi untuk meningkatkan variatif dan inovatif serta keterbatasan lahan. Sehingga dibutuhkan Planetarium yang memiliki lokasi yang strategis yaitu terdapat jalur kendaraan umum sehingga pencapaian mudah dan berada didaerah pendidikan yang mudah dikunjungi masyarakat. Selain itu fungsi yang lebih variatif dan inovatif seperti berbagai macam pertunjukan teater seperti : galaksi-galaksi, nebula, proses bigbang, planet-planet serta benda-benda langit lainnya yang dapat mengedukasi dan mengentertain pengunjung sehingga pengetahuan tentang ilmu astronomi semakin meningkat serta antusiasme masyarakat juga semakin tinggi.

3.2. Tahapan Penelitian

Dalam penyusunan seminar diperlukan langkah-langkah yang sistematis agar pelaksanaan seminar dapat berjalan dengan lancar. Setiap tahapan dari seminar memiliki hubungan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dimana setiap tahap yang sudah dilaksanakan akan menentukan hasil pada tahap selanjutnya. Berikut ini beberapa tahapan dalam pelaksanaan seminar yang ditampilkan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 3.1.

Bab III-Metode Penelitian 21

Observasi Lapangan Studi Pustaka

- Pengertian Astronomi - Astronomi tradisional

- Pengertian Planetarium

Identifikasi Masalah

- Sejarah Planetarium - Planetarium di Indonesia - Fungsi dan Kriteria Planetarium

Penentuan Tujuan Penelitian Merancang Planetarium dan

Museum Astronomi yang bersifat edukatif dan entertaiment

Pengumpulan Data - Library Research

- Field Research

Analisa Data

Metode analisa data dengan cara induktif

Hasil Analisa Data

Konsep Lokasi

Konsep Ruang

Gambar 3.1. Bagan alur proses pengerjaan seminar

3.1.1. Observasi Lapangan Pada tahap ini peneliti melakukan peninjauan langsung ke Planetarium Akademi Angkatan Laut. Peninjauan meliputi pengamatan terhadap aktivitas pelaku baik itu pengunjung maupun pengelola, kebutuhan ruang-ruang umum dan penunjang, luasan ruang dilihat dari isi ruang, dan organisasi ruangnya berdasarkan kedekatan aktivitas. Observasi disertai wawancara singkat dengan Kepala Museum Akademi Angkatan Laut

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab III-Metode Penelitian 22

(KH) Bambang Suroto tentang planetarium. Hasil observasi yang diperoleh digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang ada untuk kemudian dibuat langkah penyelesaian.

3.1.2. Identifikasi Masalah Peneliti mencoba mengidentifikasi permasalahan apa yang terjadi didalam objek penelitian yaitu planetarium. Proses pengidentifikasian masalah ini dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung di planetarium tentang masalah apa yang sekiranya sedang terjadi. Masalah yang terdapat di Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya berkaitan dengan kurang diketahuinya oleh masyarakat. Setelah menemukan masalah, peneliti mencari metode dan teori yang akan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang telah diidentifikasi. Adapun masalah yang ditemukan adalah lokasinya yang terletak lebih privat yaitu di Bumimoro kawasan TNI-AL yang tidak memperkenankan masyarakat sembarangan masuk. Sehingga masyarakat kurang mengetahui adanya planetarium di Kota Maritim ini.

3.1.3. Studi Pustaka Selama masa pelaksanaan penelitian dan penyusunan seminar, peneliti mempelajari teori-teori yang berkaitan dengan perancangan planetarium melalui berbagai macam referensi dan media, serta mempelajari teori-teori yang pernah diperoleh selama masa perkuliahan. Selain itu dilakukan penggalian-penggalian terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, baik dari tugas akhir maupun jurnal penelitian, yang digunakan sebagai dasar dan bertujuan agar peneliti memiliki gambaran yang berkaitan dengan perancangan planetarium dan museum astronomi

3.1.4. Penetapan Tujuan Penelitian Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dimana hal ini dilakukan agar penyusunan seminar ini memiliki fokus dan arah yang jelas. tujuan penelitian dibuat berdasarkan permasalahan yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah merancang planetarium dan museum astronomi yang bersifat edukatif dan entertaiment.

3.1.5. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan beberapa cara, berikut uraiannya :

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab III-Metode Penelitian 23

1. Library Research (penelitian kepustakaan) Yaitu pengumpulan data-data dari literatur, sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah, membaca, mempelajari buku-buku untuk memperoleh data-data yang berkaitan.

2. Field Research (penelitian lapangan) Yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung ke lembaga yang bisa menjadi

studi banding bagi desain yaitu Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya. Adapun cara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

a. Observasi (pengamatan) Penulis mengamati langsung Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya untuk mengetahui desain planetarium, kegiatan-kegiatan yang ada, ruang-ruang yang dibutuhkan, alur pengunjung/pengelola, besaran ruang dan masalah-masalah yang timbul dari desain yang nantinya dapat menjadi reference dalam perancangan desain Planetarium dan Museum Astronomi.

b. Interview (wawancara) Penulis melakukan wawancara mengenai kegiatan yang terjadi di Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya dan masalah-masalah pada alur kegiatan yang nantinya berguna untuk membuat organisasi ruang yang efektif dan efisien.

c. Dokumentasi (mengumpulkan data) Yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh di Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya.

3.1.6. Sumber Data Menurut Suharsmi Arikunto (2006) mengemukakan bahwa :

"Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh".

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, di mana data yang diperoleh penulis merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung.

1. Data Primer Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti baik dari pribadi (responden) maupun dari suatu perusahaan yang mengolah data untuk keperluan penelitian, seperti pihak-pihak yang berhubungan dalam penelitian yang dilakukan.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab III-Metode Penelitian 24

2. Data Sekunder Merupakan data yang berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan memahami melalui media lain yang bersumber pada literatur dan buku-buku perpustakaan atau data-data dari lembaga yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sehingga bisa menjadi studi banding bagi desain seperti Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya.

3.1.7. Analisa Data Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh dari hasil observasi lapangan, studi literatur dan dokumentasi dengan cara mengorganisasi data kedalam kategori menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang lebih penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Analisa data yang digunakan menggunakan metode induktif dikarenakan metode penelitian memakai metode deskriptif kualitatif. Metode Induksi adalah penarikan kesimpulan secara umum dari data-data yang lebih khusus. Kemudian data yang diambil akan dibagi menjadi beberapa bagian, sub-sub pembahasan seperti latar belakang, rumusan masalah, kajian pustaka, dan praktek yang sesuai dengan proyek. Proses Analisa tentang masalah lokasi planetarium yang kurang diketahui masyarakat kemudian ditemukan penyelesaiannya berdasarkan teori-teori sehingga dapat diperoleh hasil rancangan yaitu berupa Planetarium dan Museum Astronomi.

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

BAB IV HASIL PENGAMATAN

4.1. Studi Banding

4.1.1. Pembahasan Umum

Tabel 4.1 : Studi Banding

No Nama

Lokasi 1 Museum TNI-AL Loka Jala Crana

Gambar

Gambar 4.2 : Lokasi Museum di Surabaya Sumber : Google earth

Gambar 4.1 : Museum TNI-AL

Loka Jala Crana Surabaya Sumber : Dokumen Pribadi

2 Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya

Gambar 4.3 : Planetarium Akademi

Angkatan Laut Surabaya

Bab IV-Hasil Pengamatan

Gambar 4.4 : Lokasi Planetarium di Surabaya Sumber : Google earth

4.1.2. Aktivitas dan Kebutuhan Ruang

1. Museum Loka Jala Crana

a. Berkunjung (Hall Utama dan Ruang Koleksi) Pada Hall Utama Museum Loka Jala Crana berfungsi sebagai penerima

pengunjung. Pada tempat ini Kepala Museum memberi sambutan kepada para pengunjung. Hall Utama ini memuat sekitar 50 orang dengan luas area 100 m 2 .

Gambar 4.5 : Hall Utama Museum

Sumber : Dokumen Pribadi

b. Perijinan Surat (Kantor Tata Usaha) Pada tempat ini pengunjung mengurus administrasi untuk dapat

mengunjungi museum. Kepentingan surat perizinan dan jadwal kunjungan dapat dilakukan disini. Kantor Tata Usaha berisi petugas penerima tamu dan dua kursi

pengunjung. Kantor Tata Usaha berdimensi 15 m 2 .

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab IV-Hasil Pengamatan

c. Kantor Kepala Museum Kantor ini adalah tempat Kepala Museum Loka Jala Crana. Kantor ini

berisi satu kursi dan meja untuk Kepala museum dan dua kursi untuk pengunjung serta lemari berkas-berkas. Kantor Kepala Museum berdimensi 12 m 2 .

d. Makan (Pantry) Pantry adalah tempat petugas membuat beberapa keperluan untuk sajian

seperti minuman dan sejenisnya. Pantry memiliki dimensi 12 m 2 .

e. Toilet Toilet ini bisa digunakan untuk pengunjung dan petugas. Letaknya dekat

dengan Hall Utama dan Kantor Tata Usaha. Dimensi toilet 16 m 2 .

2. Planetarium Akademi Angkatan Laut

a. Duduk,Menunggu (Ruang Tunggu) Pada tempat ini pengunjung menunggu giliran masuk ke ruang theater.

Selama menunggu pengunjung juga dapat belajar tentang ilmu astronomi dari beberapa foto dan gambar yang ada di sekitar ruang tunggu. ruang tunggu ini

dapat menampung 20 orang dan berdimensi 40 m 2 .

Gambar 4.6 : Ruang Tunggu Sumber : Dokumen Pribadi

b. Melihat-lihat (Ruang Koleksi) Pada ruang ini pengunjung dapat melihat koleksi piala dan penghargaan

dari Planetarium Akademi Angkatan Laut Surabaya. Ruangan ini menampung 20

orang dengan dimensi 40 m 2 .

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab IV-Hasil Pengamatan

Gambar 4.7 : Ruang Koleksi Sumber : Data Pribadi

c. Menonton Pertunjukan (Ruang Theater) Pada Ruang Theater para penunjung dapat menyaksikan pertunjukan

astronomi. Melalui proyektor yang menggambarkan letak rasi bintang. Tempat

ini dapat menampung 30 orang dengan dimensi 64 m 2 .

Gambar 4.8 : Ruang Theater Sumber : www.eastjava.com

Seminar Prodi Teknik Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika

Bab IV-Hasil Pengamatan

4.1.3. Organisasi Ruang

AL

Gambar 4.9 : Organisasi Ruang Museum AL dan Planetarium AAL

4.1.4. Konsep Rancangan

Tabel 4.2. Konsep Rancangan Museum AL & Planetarium AAL

No Nama

Gambar

Konsep

1 Museum 1) Museum Loka Jala Crana TNI-AL Loka Jala

memiliki konsep bangunan tropis Crana

dengan atap pelana dari material genteng dan dinding batu bata. 2)

bangunan masih menggunakan beton bertulang. Hal ini

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24