PENGALAMANKU dan TINGGAL DI JERMAN

PENGALAMANKU TINGGAL DI JERMAN1

Oleh : Vita Sarasi2

Mörfelden-Walldorf
Jerman
Awal Januari 2005

1
2

Untuk milis WRM, http://www.wrm-indonesia.org
Ibu dua anak, juga staf pengajar di Fakultas Ekonomi Unpad Bandung

1

PROLOG
Tak pernah sebelumnya aku bermimpi bahkan terpikir bisa pergi dan tinggal di luar negeri. Semua itu
tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun takdir mengatakan lain. Di usiaku yang ke
32, setelah dinyatakan lulus tes yang berlapis-lapis, dan yang terpenting dari yang penting mendapat
ijin dari suami tercinta, akhirnya keputusanku bulat. Aku akan berangkat meneruskan studi ke Jerman.

Negeri yang konon merupakan pilihan terakhir berhubung bahasanya sulit, penduduknya tak ramah
sama pendatang dan terkenal banyak aturan itu.
Tapi di sisi lain, dengan sederet keistimewaannya, rasanya Jerman tepat untuk jadi pilihan. Di bidang
teknologi dan ekonomi Jerman patut diakui sebagai negara maju. Siapa sih yang tak kenal dengan
mobil VW, BMW, Opel dan Mercedes-Benz? Siapa pula yang meragukan mutu produk kimia Bayer
dan BASF dan produk kelistrikan Siemens? Di bidang teknologi transportasi, Jerman melesat dengan
desain kereta api super cepat ICE beserta jaringan relnya yang menjangkau hingga pelosok. Di bidang
tulis-menulis, sejumlah penyair dan penulis kelahiran Jerman, tulisannya banyak dibaca orang di
seluruh dunia, di antaranya Johann Wolfgang von Goethe dengan karyanya ”Faust”, The Brothers
Grimm, kakak beradik Jacob Ludwig Karl dan Wilhelm Karl, menulis dongeng anak-anak yang
sangat akrab di telinga kita seperti si Topi Merah, Putri Salju dan 7 Kurcaci, dan Cinderella, Karl May
menulis di Radebeul tentang kehidupan suku Indian Winnetou. Banyak komposer jenius lahir di
Jerman, di antaranya Johann Sebastian Bach dan Ludwig van Beethoven. Hasil karya mereka dikonser
dan operakan di seluruh dunia. Selain itu filsuf Jerman mulai yang klasik, Immanuel Kant, Georg
Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels hingga yang modern, Martin Heidegger, Karl Jaspers banyak
berperan mewarnai sejarah filsafat dunia. Para ilmuwan dengan berbagai penemuannya menghasilkan
tak kurang dari 69 buah Nobel Prize. Tentu kita semua mengenal Albert Einstein dengan ”teori
relativitas”-nya, Wilhelm C. Röntgen dengan ”sinar X”-nya dan Robert Koch dengan ”virus TBC”nya. Di samping itu keindahan alamnya berupa sungai Rhein yang sepanjang tepinya bertebaran
puluhan kastil dan puri dari abad pertengahan, pegunungan Alpen yang puncaknya selalu putih
ditutupi salju, danau Bodensee yang luas dan merupakan perbatasan dari tiga negara sangat tepat

untuk menjadi pilihan obyek wisata.
Saat ini aku menjelang tiga tahun tinggal di Jerman. Pengalaman yang tak terlupakan, apalagi
keluarga juga dibiayai untuk mendampingi. Rasanya kehangatan keluarga inilah yang menjadi faktor
utama segalanya nampak indah dan berkesan. Kami tinggal di kota mungil Mörfelden-Walldorf, yang
bisa dicapai sekitar setengah jam memakai bus dari bandar udara Frankfurt am Main. Interaksi
sehari-hari dengan orang Jerman hampir tak bermasalah. Ternyata mereka tak sedingin yang
dibayangkan, bahkan menurutku mereka lebih menghargai dan memberikan perhatian penuh waktu
berkomunikasi. Anak-anak lebih lancar ngomongnya dibandingkan aku yang masih patah-patah
karena harus berpikir dulu ketepatan gramatiknya. Hanya suamiku yang tetap bertahan memakai
bahasa Inggris. Masih kagok alasannya. Padahal orang Jerman yang mau berbahasa Inggris bisa
dihitung dengan jari.
Berikut ini aku mencoba untuk bercerita, sejauh yang bisa kuingat dan kubaca di literatur, pengalaman
selama tinggal di Jerman. Aku bukan tipe orang yang suka menulis di buku harian, atau nge” blog” di
internet seperti yang saat ini sedang nge”trend”. Jadi pengalaman ini ditulis benar-benar hanya
mengandalkan daya ingat dan literatur yang kumiliki. Walau kusadari banyak sekali kekurangannya,
namun aku berharap semoga tetap bermanfaat bagi siapa saja yang bersedia meluangkan waktu untuk
membacanya.
Salam,
vitasarasi@yahoo.com
Mörfelden-Walldorf, awal Januari 2005


2

1. Awal Kedatangan
Saat itu, tepatnya tanggal 8 April 2002, setelah sempat transit selama satu jam di Singapur dan hampir
selama 12 jam menempuh penerbangan, akhirnya pesawat Lufthansa yang kutumpangi dari Jakarta
mendarat juga di Jerman. Lega rasanya meluruskan tubuh yang penat setelah sekian lama dalam posisi
duduk. Jam menunjukkan pukul 6.00 pagi. Udara dingin menembus di sela-sela mantel membuatku
sedikit menggigil. Padahal menurutku mantel itu sudah sangat tebal. Aneh seharusnya saat ini sudah
musim semi. Musim yang dalam benakku pasti hangat. Mungkin karena masih pagi, pikirku. Sambil
menunggu koper diproses di bagasi, tak kuasa aku menahan mataku untuk mengamati sekeliling
bandar udara yang konon paling sibuk di Eropa itu. Bangunannya mirip kubah menjulang tinggi,
didominasi warna putih rangka-rangka baja, khas desain bangunan modern.
Menurut literatur yang sempat kubaca di pesawat tadi, bandar udara Frankfurt am Main AG memang
dijuluki sebagai „kota“ tersendiri karena ukurannya yang sangat besar, sekitar 15,6 km 2. Kalau
diperhatikan, julukan itu memang benar adanya. Di sana-sini nampak orang lalu lalang dengan
kecepatan tinggi, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sekilas mirip semut-semut berseliweran, sangat
dinamis. Selain pengunjung, pekerja yang pasti puluhan ribu jumlahnya itu, tak pernah kelihatan
berhenti aktivitasnya. Barangkali sepanjang hari bahkan sepanjang tahun. Ketika aku menengadah ke
atas, tampak di jendela kereta otomatis antar terminal Sky Line melaju di rel yang menjulang tinggi di

atas bangunan-bangunan.
Belum puas juga, sambil berjalan-jalan, aku memperhatikan fasilitas apa saja yang tersedia di bandar
udara itu. Ada restoran, toko yang menjajakan aneka ragam oleh-oleh mulai dari buku, kue, minuman,
busana, mainan anak-anak, sepatu, kamera dan keperluan sehari-hari lainnya. Pandanganku tiba-tiba
terhenti pada salah satu pemandangan yang menarik perhatianku. Sebuah visitor terrace yang sangat
luas. Di teras itu, sambil menunggu pesawat berangkat atau datang, atau barangkali sekedar mengisi
waktu luang, pengunjung dapat menikmati sajian berupa jajaran pesawat-pesawat jumbo dan pesawat
badan lebar maupun badan sempit dari berbagai negara. Kupikir menarik juga membayangkan ada
semacam airport tour, dimana kita dibawa berkeliling ke bagian-bagian yang selama ini tidak pernah
kita lihat. Menyaksikan dari dekat jumbo-jumbo jet Boeing 747 yang tengah diisi perutnya dengan
bagasi.
Tak terasa sudah setengah jam berlalu. Tiga orang rekan dari kejauhan nampak melambai-lambaikan
tangannya menyambut kedatangan kami. Rupanya mereka bertugas menjemput, karena tinggalnya
paling dekat dengan bandar udara.
”Hallo, selamat datang di Jerman.” Kami bersalam-salaman.
„Bagaimana tadi selama di perjalanan? Tak ada masalah kan?“
„Perjalanannya lancar. Baru kali ini naik pesawat semewah Lufthansa”.
”Betul. Suasananya juga nyaman jadi tak terasa menjenuhkan.”
”Iya. Pramugari dan pramugaranya ramah-ramah.”
”Perut juga rasanya kenyang sekali. Makanan seperti tak habis-habisnya disajikan.“

„Wah beruntung dong. Lidah saya sama sekali tak cocok tuh sama makanannya.”
”Ingat keluarga yang ditinggalkan kali. Kalau begitu tadi makannya apa?”
”Untung bawa bekal nasi rendang dan abon”
“Kalian sendiri bagaimana selama di Jerman? Sudah lebih dari setahun ya di sini?“
„Yah sejauh ini sih lancar-lancar saja. Yang penting berusaha maksimal dan banyak berdoa“
Kami sempat berfoto bersama, sebelum akhirnya tibalah saat untuk berpisah menuju kota masingmasing. Sedih juga rasanya setelah enam bulan lamanya kami bersama-sama mengikuti kursus bahasa
di Jakarta. Seorang rekan yang bertindak sebagai pemimpin rombongan segera menuju ke loket untuk
membeli karcis kereta. Aku bersama lima orang rekan dibelikan karcis kereta menuju ke Mannheim,
empat orang lagi ke Göttingen, sisanya ke Dresden. Kami diwajibkan mengikuti kursus bahasa
lanjutan selama enam bulan. ”Ayo agak cepat sedikit, nanti ketinggalan kereta lho”, begitulah

3

komando pemimpin rombongan. Bergegas kami berlari-lari kecil sambil membawa koper besar
menuju ke RE (Regional Express/kereta api antar kota). Untuk mengejar waktu, mereka yang kota
tujuannya jauh dibelikan karcis untuk naik ICE. Kecepatan ICE sekitar 300 km/jam. Masih di bawah
kereta tercepat di Perancis, TGV yang kecepatannya pada tahun 1990 mencapai rekor 515 km/jam.
Data ini kulihat dari buku ”Der Zug” terbitan Mannheim tahun 2004.
***
Selama di RE menuju ke Mannheim kami berbincang-bincang mengenai bagaimana bepergian di

Jerman.
”Pertama-tama kita harus punya Fahrplan (rencana perjalanan) yang jelas. Artinya untuk sampai
ditujuan perlu ganti kereta atau tidak. Kalau ternyata harus ganti kereta, kita perlu tahu di mana dan di
Gleis (jalur) berapa kita harus turun dan berapa lama menunggu kereta selanjutnya.”
”Fahrplan itu bisa didapatkan di mana, Mas?”
„Bisa minta di-print-kan di Reisezentrum (pusat informasi perjalanan). Gratis koq.”
”Juga jangan sampai salah Gleis ya?”
”Bukan cuma itu. Pada Hauptbahnhof (stasiun kereta utama) yang besar seperti Frankfurt, Hamburg,
Berlin, dalam satu jalur bisa terdapat satu sampai dua rangkaian jenis kereta yang berbeda. Jika tak
teliti, bisa-bisa salah naik kereta, padahal Gleis-nya sudah betul.”
”Saya perhatikan tiketnya juga macam-macam.”
“Iya. Ada yang sekali jalan, harian, sendiri atau kelompok.”
Untungnya kami ada yang menjemput. Terbayang kalau harus bergerak sendiri, pasti kebingungan.
„Keretanya selalu tepat waktu Mas?“
„Biasanya Zug (kereta api) akan datang dan pergi tepat waktu, kecuali ada peringatan sebelumnya
akan ada Verspätung (keterlambatan). Di sini kita harus membudayakan untuk selalu tepat waktu“.
„Iya. Tadi aku lihat masinis tak mau menunggu seorang nenek-nenek yang terlambat naik kereta
karena tak bisa berlari cepat. Kasihan, nampaknya dia kecewa sekali.“
„Memang tak ada ampun. Bukan hanya kehilangan waktu, b ahkan untuk kereta jenis ICE, kita pun


akan kehilangan uang jika terlambat“.
Kereta RE yang kami tumpangi bertingkat, namanya Doppeldekker. Hal yang menarik perhatianku
adalah posisi kursinya tidak searah. Ada yang menghadap ke depan, ada yang ke belakang, ada yang
berhadap-hadapan, ada juga yang menyamping. Para penumpang nampak sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing. Ada yang membaca koran, ada juga novel tebal. Ada yang bercanda dengan anaknya,
ada juga yang mengelus-elus anjingnya, bahkan di pojok ada yang tertidur dengan pulasnya. Kondisi
kereta di gerbong kelas dua yang kutumpangi itu lumayan bersih. Tak ada sampah-sampah
berserakan, walau ada juga sedikit bekas-bekas coretan di kursi dan jendela. Kuperhatikan gerbong
kelas satunya kosong. Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, seorang petugas berseragam tibatiba masuk dan langsung dengan sigapnya memeriksa karcis para penumpang. Bagi yang tak dapat
menunjukkan karcis yang sah bisa kena denda cukup besar. Waktu itu masih 30 Euro, sekarang sudah
naik jadi 40 Euro. Awal Januari 2002 memang merupakan saat yang bersejarah bagi Jerman dan

4

negara-negara Uni Eropa, karena pada tahun tersebut mulai diberlakukan mata uang tunggal Euro di
seluruh wilayah Uni Eropa.

2. Malam Pertama di Europahaus
Begitu sampai di Mannheim, kami segera mencari S-Bahn (kereta api dalam kota) menuju Goethe
Institut, tempat kursus bahasa. Setelah mendaftar, sambil menenteng koper besar, kami langsung

dihadapkan pada tes penempatan kelas. Ya ampun, pikirku, begitu efisiennya sampai-sampai ujian pun
harus sekarang. Dalam keadaan masih jetlag, aku berusaha mengisi lembaran-lembaran tes. Yang
kuingat, pada lembar pertama konsentrasiku masih penuh. Memasuki lembar-lembar berikutnya, aku
mulai banyak menguap dan tak bisa berpikir jernih lagi. Akhirnya setelah nomor terakhir kuisi tanpa
melihat lagi soalnya, kertas langsung kukumpulkan. Aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan hasilnya
tak terlalu mengecewakan.
Selesai pre-test, kami masing-masing diberi uang kas sebesar 410 Euro dan diantar menuju ke
Europahaus, sebuah Gästehaus (wisma tamu) milik Goethe Institut. Wisma itu letaknya di
Steubenstraße 80 (pojok Hans-Sachs-Ring), 68199 Mannheim. Memang stylenya bergaya Eropa,
makanya disebut Europahaus. Sebelum menempati kamar, kami diwajibkan membayar Kaution (uang
jaminan) sebesar 25 Euro. Uang Kaution ini nantinya akan dikembalikan bila kita keluar, dengan
catatan tidak ada yang rusak. Bila terjadi sesuatu, maka pengembalian uang Kaution ini bisa-bisa
tidak utuh. Makanya begitu ada yang tak berfungsi atau rusak, kita harus segera melapor ke
Hausmeister (orang yang bertanggung jawab pada Gästehaus).
Kami juga diberi kunci kamar. Kunci kamar ini bisa juga dipakai untuk membuka kunci pintu masuk
utama wisma. Aneh juga pikirku. Setiap kunci bisa dipakai untuk membuka pintu utama dan kamar
masing-masing, tapi tidak bisa untuk membuka kamar orang lain. Di Jerman ini kalau kunci hilang
atau rusak kita tak bisa begitu saja menggandakan seperti di Indonesia. Yang bisa menggandakan
kunci hanya pemilik rumah. Jika kunci hilang kita harus membayar sejumlah uang yang jumlahnya
cukup besar. Uang sewa kamar untuk perorangan di Europahaus paling murah 217 Euro. Untuk yang

kamarnya lebih besar atau yang bisa dipakai berdua tentunya lebih mahal lagi. Untungnya kami
terbebas dari biaya kursus dan biaya sewa wisma.
”Dapat kamar yang mana?” seorang rekan bertanya.
”Lantai lima, paling atas” jawabku sambil bersyukur karena ada lift. Bayangkan kalau tidak ada.
”Jadi semua rekan perempuan ditempatkan di atas, dua di lantai lima, dua lagi di lantai empat. Yang
laki-laki satu di lantai bawah satu lagi di lantai dua. Catat nomor kamar masing-masing ya. Biar
gampang nanti kalau mau bertemu”.
Di Jerman lantai paling bawah belum disebut lantai satu, tapi Erdgeschoss (lantai bawah). Lantai
berikutnya baru mulai disebut lantai satu, dua, tiga, dst. Lantai di bawah Erdgeschoss disebut Keller
(ruang bawah tanah). Kamarku terletak paling pojok, berukuran 4 x 2,5 meter. Di dalamnya ada
tempat tidur, lemari dan meja belajar. Untuk setiap lima orang disediakan satu Küchen (dapur), satu
kamar mandi dan satu WC. Ada peraturan tiap dua minggu, kami bisa mengganti seprei, sarung
bantal, handuk, tissue kamar mandi dan tirai korden. Dengan catatan harus antri.
Begitu melihat tempat tidur, ingin rasanya segera melompat memuaskan rasa kantuk. Tapi kerinduan
terhadap suami dan anak-anak, membuatku ingin segera menelpon, sekedar untuk mendengar suara
orang-orang yang kucintai itu. Untuk menelepon membutuhkan kartu telepon yang memang menjadi
kebutuhan primer pada saat menghadapi hari-hari pertama jauh dari keluarga. Jenis dan harga kartu
telepon bervariasi. Untuk jenis Citydirect misalnya, harganya sekitar 5 Euro. Ini bisa dipakai
menelepon ke Jakarta selama 166 menit, atau non Jakarta 83 menit. Tapi itu kalau memakai Festnetz
(telepon rumah). Kalau memakai handphone, cuma bisa menelepon selama 27 menit. Kartu Salam


5

Indonesia, lebih günstig (menguntungkan) kalau kita memakai handphone, karena dengan harga yang
sama bisa menelepon lebih lama, 51 menit. Ini tentunya jauh lebih murah ketimbang dari Indonesia
menelepon ke Jerman.
Karena waktu itu belum beli kartu telepon, jadinya aku cuma kirim pesan saja (sms), menanyakan
kabar. Kata suamiku, anak-anak menanyakan kapan bisa menyusul mamanya. Memang ini pertama
kalinya aku harus berpisah dengan mereka. Teringat kembali betapa kerasnya tangis anak bungsuku,
Fadhilla, saat aku harus masuk pesawat di bandara Soekarno-Hatta. Bahu suamiku sampai luka digigit
dan dicakar. Anak sulungku Naufal, lebih bisa memendam kesedihannya, meski nampak matanya
berkaca-kaca. Dalam hati aku hanya berdoa semoga saja dapat segera dipertemukan dengan mereka.
***
Tengah hari baru terasa lapar. Perut keroncongan dan minta segera diisi.
”Kita cari donner kebab aja yuk. Rasanya tadi lihat kedai Turki tak jauh dari sini”, ajak seorang rekan.
”Iya deh, rasanya memang masih malas untuk masak”
”Donner Kebab itu apa sih?“. Rupanya ada juga yang belum tahu.
”Itu roti isinya salad dan daging. Bisa ayam atau kambing”.
”Kalau suka bisa juga ditambah cabe dan saus putih“
”Harganya berapa ya?”

”Tak tahu percisnya berapa. Tapi pasti terjangkau”.
„Iya. Porsinya besar koq, jadi cukup kenyang sampai besok”
”O iya. Besok kan hari Minggu. Toko-toko pada tutup lho. Kalau mau belanja sekarang saja. Kalau
tidak salah buka sampai jam 4 sore“.
Di Jerman ini, pada saat itu, setiap Hari Minggu toko-toko tutup dan hari Sabtu buka sampai jam 4
sore. Jadi persediaan makanan harus sanggup ”bertahan” selama hari libur. Tapi mulai tahun ini jam
buka di beberapa toko sudah diperpanjang sampai jam 8 malam. Kebetulan, di depan tempat tinggal
kami, ada Tengelmann yang menjual kebutuhan sehari-hari. Walaupun harga-harganya relatif lebih
mahal dibandingkan toko lainnya misalnya Penny, LiDl atau Aldi tapi letaknya yang dekat
memudahkan kami kalau tiba-tiba kehabisan susu atau gula.
Setelah kenyang, rasa kantuk kembali menyerang. Tapi lama sekali rasanya menunggu hari jadi gelap.
Memang di musim semi, matahari baru tenggelam sekitar pukul 8 malam. Aneh rasanya tidur dalam
kondisi terang benderang. Aku mencoba untuk melihat-lihat aktivitas orang lain di luar melalui
jendela. Mungkin lebih baik kubuka saja sekalian jendelanya, pikirku. Supaya udara segar bisa masuk.
Begitu jendela kubuka, betapa terkejutnya aku karena jendela seperti akan jatuh ke arah samping.
Jangan-jangan rusak. Tapi setelah diperhatikan, ternyata jendela memang dirancang untuk bisa dibuka
dua arah, ke arah samping dan sedikit ke arah bawah. Di luar ternyata ramai sekali. Ada yang berolah
raga, atau sekedar jalan-jalan bersama anjingnya, ada juga yang baru pulang berbelanja. Kuperhatikan
di bagian luar jendela ada roller. Aku jadi punya ide untuk menutup roller rapat-rapat, supaya cahaya
tak bisa masuk kamar. Begitu ditutup, kesan hari telah gelap segera tercipta dan aku jadi lebih mudah
untuk tidur.
***
Jam 22.00 malam tiba-tiba aku terbangun. Mungkin sudah saatnya sholat Isya pikirku. Menurut
informasi yang kubaca waktu sholat memang berubah-ubah menurut musim. Kita perlu memiliki
jadual sholat yang bisa di-download di beberapa website Islam atau biasanya disediakan di mesjid dan
toko Turki. Begitu keluar kamar, aku terkejut. Di luar gelap sekali. Aku meraba-raba dalam gelap
mencoba mencari tombol lampu. Ketika akhirnya ditemukan dan ditekan, lampu memang menyala
kembali. Tapi tak sampai lima menit, mati lagi. Beberapa kali baru aku sadar, rupanya memang disetel
supaya tidak menyala terus. Beginilah rupanya cara orang Jerman menghemat listrik. Kalau
diperhatikan memang pada malam hari tak ada satupun lampu yang menyala di gang rumah. Bahkan

6

di ruangan pun lampunya dimatikan kecuali sedang digunakan. Rasanya aneh karena di Indonesia
lampu-lampu biasa dinyalakan pada malam hari. Konon malah orang Jerman kadang-kadang
menggunakan lilin pada saat makan malam. Selain menghemat juga menimbulkan kesan romantis.
Di kamar mandi, aku menggigil kedinginan. Untung tersedia air panas. Di dinding sempat
kuperhatikan ada tulisan penuh angka-angka. Setelah kucermati tenyata statistik penggunaan air.
Rupanya sebuah peringatan perlunya menghemat air. Kita memang tak pernah terpikir untuk
menghemat air, karena merasa air selalu tersedia dengan melimpah. Tapi rasanya jadi tersentak ketika
di Jerman ini diingatkan betapa berharganya air bersih itu untuk berbagai keperluan lainnya daripada
sekedar dibuang-buang untuk mandi secara berlebihan. Benarlah kalau orang Jerman selain dikenal
sebagai pekerja keras, punya prinsip, juga sangat efisien.
***
Hari-hari selanjutnya aku mencoba berkenalan dengan penghuni kamar lainnya.
”Hallo, ich bin Vita. Ich komme aus Indonesien“ (Halo, saya Vita. Saya dari Indonesia)
„Ich bin Mirey aus Lebanon“ (Saya Mirey dari Libanon)
„Was studierest du?“ (Kamu ambil studi apa?)
„Wirtschaftswissenschaften. Und du? “ (Ekonomi, dan kamu?).
„Mathematik“
„Toll!“ (hebat)
Setelah berkenalan, ada tradisi untuk saling mengundang makan bersama, mencoba makanan khas
dari negara masing-masing. Aku sempat diundang untuk makan bersama orang Arab dan Thailand.
Kita jadi bisa tahu bukan saja makanan khas mereka, tapi juga cara makannya. Misalnya orang Arab
biasa makan bersama-sama dalam satu piring besar dan orang Thailand senang makan makanan panas
berkuah memakai sumpit. Di sini yang tadinya tak pernah ke dapur, mendadak jadi bisa memasak.
Sebenarnya tak terlalu sulit mengingat bumbu-bumbu telah tersedia dalam bentuk bubuk. Tak perlu
lagi mengupas dan mengulek.

3. Kursus Bahasa di Goethe Institut
Setiap minggu dari Senin sampai Jum’at aku diwajibkan ikut kursus bahasa di Goethe Institut. Untung
jaraknya cukup dekat dari Europahaus tempatku menginap. Aku biasa berjalan kaki bersama rekanrekan lainnya. Lumayan sekitar 10 menit, sekalian olah raga. Trotoar di Jerman memang didesain
cukup lebar dan nyaman untuk pejalan kaki dan pemakai sepeda. Kalau kita akan menyeberang di
jalan kecil, otomatis kendaraan akan berhenti menunggu kita sampai di seberang. Kalau di jalan besar,
kita cukup menekan tombol lampu di tepi jalan hingga berwarna hijau. Rasanya aman sekali berjalanjalan di Jerman. Tak heran kalau orang-orang cacat yang memakai kursi roda dan orang butapun bisa
berjalan-jalan dengan bebas sendirian tanpa ada yang mendampingi. Semua alat-alat transportasi
dirancang sedemikian rupa hingga dapat digunakan baik untuk orang normal maupun cacat.
Dari kejauhan Goethe Institut nampak sudah dipenuhi orang. Dindingnya nyaris semua terbuat dari
kaca hingga kelihatan terang benderang. Goethe Institut memang terkenal sangat berpengalaman
sebagai penyelenggara kursus bahasa Jerman, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan
kualitasnya telah dikontrol oleh EAQUALS (European Association for Quality Language Services).
Tak heran walau biayanya mahal, peserta kursus selalu penuh. Mereka kebanyakan anak muda. Ada
juga satu dua orang yang kelihatan sudah tua tapi masih bersemangat. Dari parasnya nampak betapa
beragamnya negara asal para peserta. Kebanyakan kuperkirakan dari Asia Timur, mungkin Cina,
Korea atau Jepang. Sepintas agak sulit membedakannya. Sama halnya kalau orang dari negara lain
mau membedakan antara orang Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Pasti juga tak mudah.
Tapi begitu berbicara, kita bisa segera membedakan, atau paling tidak mengira-ngira negara asalnya.

7

Peserta lain sepertinya berasal dari Eropa, Afrika dan Asia, dan mungkin ada juga dari Amerika.
Mereka berbondong-bondong memenuhi papan pengumuman melihat hasil tes penempatan kelas.
Jam menunjukkan pukul 8.30, waktu untuk memulai pelajaran. Aku mendapat kelas yang cukup
menyenangkan. Guruku seorang wanita, sangat ramah, berkaca mata dan berambut panjang berwarna
merah kecoklatan.
“Guten Morgen alles. Herzlichen Willkommen. Ich bin Sibylle Grabowsky. Ich komme aus Ungarn“.
(Selamat pagi semua. Selamat datang. Saya Sybille dari Hungaria)
Selain mengajar bahasa, Sibylle ternyata juga seorang psikolog. Ia tinggal sekaligus buka praktek di
Heidelberg, satu jam naik RE dari Mannheim. Teman sekelasku ada 12 orang dari Jepang, Korea,
Rusia, Amerika Latin, Yunani, Turki dan paling banyak dari Cina. Peserta dari non Asia nampak lebih
lancar dalam berkomunikasi. Mereka selalu mendominasi pembicaraan di kelas. Peserta dari Asia
agak sedikit malu-malu. Tapi dari segi gramatik, mereka umumnya lebih jagoan. Supaya lebih aktif
berkomunikasi, Sybille kadang-kadang memancing emosi peserta. Katanya kalau bisa marah-marah
dalam bahasa Jerman bisa dibilang sudah menguasai.
***
Aussprache (pengucapan) beberapa huruf terutama yang menggunakan Umlaut (ada titik dua di atas
huruf) sering menjadi masalah. Huruf-huruf itu harus diucapkan dengan mulut yang agak
dimonyongkan ke depan. Kalau kurang monyong tidak ada artinya atau artinya akan lain sama sekali.
Misalnya Küchen, kita harus mengucapkannya kuechen artinya dapur. Kalau mulut kita kurang
monyong jadinya kuchen artinya kue. Hari hari pertama bibir rasanya jontor juga karena sering
dimonyong-monyongin.
Sebagai alat bantu, kadang-kadang dipakai juga korek api. Sambil mengucapkan kata, misalnya gar
nicht, kita harus meniup korek sampai apinya mati. Kalau apinya masih nyala berarti pengucapan kita
belum betul. Orang Indonesia sering bermasalah dalam mengucapkan huruf w. Mulut harus benarbenar dilebarkan ke samping kanan dan kiri, baru betul.
Hal lain yang membuat otak harus berputar lebih keras adalah setiap benda mempunyai artikel atau
jenis kelamin, apakah maskulin (der), feminin (die) atau netral (das). Misalnya die Uhr (jam) feminin,
der Tisch (meja) maskulin, das Radio (radio) netral. Artikel ini harus dihafal karena menjadi dasar dari
pembentukan kalimat. Dalam bahasa Spanyol pun dikenal pemakaian artikel. Tapi menurut Libertad
temanku asal Meksiko, kadang ada perbedaan artikel. Misalnya kalau celana panjang, dalam bahasa
Jerman artikelnya feminin tapi dalam bahasa Spanyol artikelnya maskulin. Tak heran dia agak
terbingung-bingung ketika menghafal artikel benda-benda.
***
Tema bahasan di kelas macam-macam. Mulai dari rumah, belanja, acara tv, keluarga, karir, liburan,
cuaca, etika sampai ramalan masa depan. Hari ini temanya tentang makanan. Tiga orang, dari USA,
Yunani dan Jepang dimintai pendapatnya mengenai kebiasaan makan dan minum orang Jerman.
„Semuanya serba teratur. Waktu makan, bumbu-bumbu dan variasinya sangat sedikit. Makan siang di
Jerman umumnya hangat, berupa kentang, mie dan kadang-kadang nasi ditambah lauk pauk dan salat.
Sayuran relatif jarang, kalaupun ada biasanya sayuran kalengan atau sayuran beku dari kulkas.
Sayuran segar sangat sedikit. Konsumsi daging sangat tinggi”, demikian komentar orang Yunani.
”Di USA lebih banyak tersedia makanan untuk vegetarian. Rasanya lebih sehat jadi vegetarian”, lain
lagi komentar orang USA yang kebetulan pemakan sayuran itu.

8

”Di Jepang orang suka makan ikan. Semua hidangan disajikan sekaligus. Di Jerman dihidangkan
secara bergiliran. Di Jepang orang makan bermacam-macam hidangan, setiap orang sekali makan bisa
lima sampai enam macam hidangan. Di Jerman variasinya lebih sedikit tapi porsinya besar.”
Makan malam yang dingin, antara jam 6 sampai jam 8 malam menurut ketiga orang tersebut sangat
khas di Jerman. Sementara di negara mereka makan malam yang hangat sangat penting. Di Jepang
tidak ada pembatasan yang jelas antara makanan dingin dan hangat.
”Sarapan pagi di Jerman lebih baik. Di Yunani sarapannya cuma minum kopi”
”Menurut kami sarapan pagi di Jerman sangat membosankan. Selalu roti, mentega, selai, susis atau
keju”, orang USA dan Jepang menimpali.
”Orang Jerman makan dalam porsi yang besar, kadang-kadang bicara dengan isyarat tangan pada saat
makan. Mereka menghabiskan semua makanan dan tidak menyisakan sedikit pun. Di Jepang orang
makan tidak hanya dengan mulut, tapi juga dengan mata. Jadi menyajikan makanan ada estetikanya.”
Menurut orang Jepang, orang Jerman tidak benar-benar menikmati saat makannya karena waktunya
sangat pendek.
Pada hari Minggu dan hari libur orang Jerman pada umumnya makan lebih istimewa dibandingkan
hari biasa. Walau demikian secara umum mereka jarang pergi ke restoran.
”Orang Amerika pergi makan keluar kira-kira tiga kali dalam seminggu. Kadang-kadang cuma pergi
ke McDonald untuk makan siang. Orang Jerman pergi makan keluar hanya satu kali dalam seminggu
atau bahkan dua minggu, karena sangat mahal biayanya”.
Untuk kebiasaan minum, semua sepakat kalau orang Jerman minum lebih banyak alkohol
dibandingkan dengan di negara mereka.
”Kebiasaan untuk menghilangkan rasa haus dengan minum bir seperti di Jerman tidak ada di Yunani.
Kalau haus kami minum air putih”
”Barangkali minuman bir di Jerman tidak mengandung alkohol”, celetuk orang Jepang.
***
Di kelasku yang terpandai namanya Illona dari Rusia. Menurut dia bahasa Jerman lebih sulit daripada
bahasa Rusia. Tapi ketika dia memberi contoh, menulis satu kata dalam bahasa Rusia, seketika semua
kening berkerut-merut. Kata yang ditulis itu mengandung huruf konsonan yang berderet-deret sampai
lebih dari empat huruf baru ada huruf vokalnya. Jadi ketika dibaca, lidah rasanya terlipat-lipat. Yang
terpandai berikutnya adalah Ayumi dan Noriko dari Jepang. Mereka juga bilang bahasa Jerman lebih
sulit daripada bahasa Jepang. Padahal menurutku, bahasa Jepang itu jauh lebih sulit. Selain gramatik
juga cara menulisnya, dibutuhkan seni tersendiri. Huruf Jepang setahuku ada tiga macam, Katakana,
Hiragana dan Kanji. Yang lebih lucu, kadang tulisannya sama, tapi ketika dibaca orang Korea, Jepang
dan Cina bisa berbeda cara mengucapkan maupun artinya. Rasanya perlu menelusuri sejarah apa yang
menjadi penyebabnya. Ketika aku tanya, merekapun tak mengerti mengapa demikian. Diam-diam aku
jadi ingin tahu, bagaimana pendapat orang Jerman sendiri terhadap bahasanya. Sulitkah menurut
mereka?
Ada beberapa alasan mengapa perlu belajar bahasa Jerman. Di antaranya karena 18% dari buku-buku
di dunia ditulis dalam bahasa Jerman. Selain itu Jerman merupakan bahasa kedua yang sering dipakai
dalam aktivitas ekonomi. Alasan lainnya Jerman adalah bahasa yang banyak dipakai di negara EU
(European Union). Siapa yang bisa dan mengerti bahasa Jerman, bisa lebih mudah mengenali budaya
dan lebih besar kesempatannya untuk bisa bekerja di Jerman dan di negara-negara Eropa Tengah.
Alasan terakhir di banyak negara turis terbesar berasal dari Jerman.

9

Masalahnya sekarang, benarkah belajar bahasa Jerman itu sulit? Kalau diperhatikan, bahasa Jerman
sebenarnya masih serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris (Germanische sprachen). Jadi amat
berbeda dengan bahasa Perancis yang serumpun dengan bahasa Italia, Portugis, atau Spanyol yang
menginduk ke bahasa Latin. Yang pasti bahasa Jerman memang jauh lebih sulit ketimbang bahasa
Inggris karena struktur kalimatnya lebih rumit. Apalagi, bahasa Jerman tidak hanya diserap secara
kognitif, tapi juga untuk kebutuhan sehari-hari. Memang benar kalau hanya mengandalkan kursus tak
cukup. Kursus bahasa Jerman memang lebih mengutamakan practical skill atau skill oriented.
Makanya pada ujian akhir bagian ’mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara’ mendapat bobot
lebih besar. Gramatik lebih sebagai penunjang dan diajarkan bersamaan dengan ketiga komponen itu.
Mendengarkan dan membaca boleh disebut pasif skill, menulis dan berbicara adalah aktif skill.
***
Kursus berakhir jam 13.00. Saatnya untuk ke mediotek atau ruang audio-video. Di sana kita bisa
memilih program-program dalam bentuk CD-Rom, pita audio, atau video. Fasilitas internet juga
disediakan, tapi harus ngantri berhubung yang berminat banyak. Jadi setiap orang cuma dapat jatah
masing-masing 30 menit. Cukup untuk mengirim email ke keluarga, teman atau profesor. Kegiatan
lainnya adalah mengerjakan PR. Membuat PR secara bersama-sama di perpustakaan rasanya lebih
cepat selesai dibandingkan membuat sendiri di rumah.
Belajar bahasa identik dengan memahami budaya. Jadi kegiatan di Goethe-Institut dibagi tiga,
bahasa, budaya, dan informasi. Pada saat Freizeitprogramm (program waktu luang), kita bisa
memilih untuk mengikuti program kultur atau olah raga. Aktivitasnya antara lain jalan-jalan
(Stadtrundgänge atau Rundfahrten) ke berbagai obyek wisata, seperti musium, teater, konser atau
opera. Setiap hari Rabu malam ada kegiatan Stammtische, yaitu duduk-duduk berkeliling, ngobrol
sambil minum. Orang Indonesia biasanya pesan teh atau air jeruk, tak seperti kebanyakan peserta
kursus lain, yang pesannya bir. Bahkan salah seorang peserta wanita dari Korea bisa minum bir
sampai bergelas-gelas tanpa mabuk. Mungkin sudah terbiasa. Pada saat itulah kami menjajal bahasa
Jerman dengan sesama peserta kursus. Selain itu juga ada kegiatan namanya Tandem. Kita mencari
partner orang Jerman yang ingin belajar bahasa kita. Aku kebetulan dapat partner Tandem orang
Jerman yang ingin belajar bahasa Indonesia. Tapi sayangnya, ketika dihubungi dia lagi berada di
Indonesia selama dua bulan.
***
Tiga bulan berikutnya, aku dipindahkan ke kelas khusus untuk mengikuti DSH (Deutsche
Sprachprüfung für den Hochschulzugang ausländischer). Guru pembimbingnya seorang pria setengah
baya, namanya Herr Scheiner. Berkacamata, terkesan sangat serius, tegas, disiplin dan nyaris tanpa
senyum. Pada akhir kursus, jika lulus test, peserta akan mendapat sertifikat DSH. Sertifikat itu penting
sebagai syarat untuk bisa kuliah di beberapa universitas. Tapi ada juga universitas yang tidak
mensyaratkannya, terutama kalau profesor atau universitas memberi ijin kita untuk menulis
thesis/disertasi dalam bahasa Inggris. Ketika hasil test diumumkan, ternyata dari 15 orang di kelas,
hanya 4 orang yang lulus. Padahal di kelas lainnya, ada yang semuanya lulus.
”Scheiße! (sial)”, kata mereka.
Di antaranya ada yang menangis sedih dan berencana langsung pulang ke negaranya, tapi banyak juga
yang bertekad untuk mengulang lagi, walaupun untuk itu mereka harus menyediakan waktu dan
membayar biaya yang cukup besar. Ketika aku bertanya, berapa biaya kursus pada salah seorang
peserta kursus, mereka menyebutkan sekitar € 1000 sampai € 1.500,-. Untungnya peserta dari
Indonesia sebanyak 7 orang dinyatakan lulus semua.
Sebagai perpisahan kami mengadakan Abschiedsfeier (pesta) yang diisi dengan pertunjukan dari
berbagai negara, berupa tari-tarian, permainan musik dan pembacaan puisi. Dari Indonesia kami

10

menari modifikasi tarian bali, aceh dan poco-poco. Ada juga teman yang membawakan puisinya
Taufik Ismail yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Setiap peserta juga menghidangkan makanan
tradisional dari negaranya masing-masing. Dengan membayar 2 Euro, kami bebas memilih makanan
apa saja yang kami inginkan. Dari Indonesia kami membuat cendol dan bakwan. Rupanya makanan
Indonesia termasuk yang digemari, terbukti „jualan“ kami ludes.
Setelah pesta perpisahan itu, kami merencanakan untuk ke kota masing-masing sesuai dengan
universitas yang dipilih. Berat rasanya berpisah, karena sudah enam bulan kami selalu bersama-sama.
Tapi bagi yang berkeluarga mungkin agak terhibur, karena mereka bisa segera datang. Namun ada
juga yang sedih, karena keluarganya tidak bisa mendampingi. Karena itu mereka dibiayai dua kali
untuk pulang menengok keluarga ke Indonesia.

4. Pengalaman Tinggal di Jugendherberge
Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Menyambut datangnya keluarga yang telah lama dirindukan. Enam
bulan rasanya seperti enam tahun. Tak sabar aku menanti di terminal 2, Fraport AG. Sebentar-sebentar
aku melihat jam. Menurut jadual harusnya Malaysia Airlines yang membawa suami dan anak-anakku
mendarat jam 5.30. Menurut suamiku, ibuku ikut juga, memakai visa turis. Jadi maksimal bisa tiga
bulan di sini. Lumayan cukup untuk jalan-jalan.
Saat itu sudah memasuki musim gugur. Pemandangannya sangat indah. Daun-daun beragam
warnanya. Sebelum gugur, daun yang tadinya berwarna hijau, berubah menjadi merah lalu kuning
keemasan. Aku jadi teringat sebuah lagu lama judulnya Autumn leaves.

The falling leaves drift by the window
The autumn leaves of red and gold
I see your lips, the summer kisses
The sun-burned hands I used to hold
Since you went away the days grow long
And soon I'll hear old winter's song
But I miss you most of all my darling
When autumn leaves start to fall
Beberapa penumpang sudah berdatangan. Mereka langsung disambut keluarga atau temannya dengan
pelukan, salaman atau bunga. Aku mencari-cari dimana keluargaku. Mudah-mudahan saja tak
mendapat masalah waktu pemeriksaan koper. Pemeriksaan itu memang dilakukan secara acak. Siapa
saja bisa jadi sampelnya. Tiba-tiba di kejauhan aku melihat sosok yang begitu kukenal. Suamiku
mendorong trolley, diikuti anak-anak dan ibuku. Aku langsung bergegas menghampiri mereka.
”Ibu”, anak-anakku Fadhilla (4 tahun) dan Naufal (7 tahun) langsung turun dari trolley berlari
memelukku. Betapa bahagianya bertemu mereka lagi. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan.
”Waduh kalian sudah besar ya. Tapi koq kelihatan kurus?”
”Iya barangkali kecapean. Kemarin transit di Kuala Lumpur lama sekali, hampir 6 jam”, ibuku
menjelaskan.
”Terus ngapain saja di sana?”
“Ya keliling-keliling. Anak-anak sampai ketiduran di kursi karena lelah”.
”Jam berapa berangkat dari Kuala Lumpur?”

11

”Sekitar jam 12 malam”.
”Wah pasti masih pada jetlag dan ngantuk ya. Ini kan pengalaman pertama pergi ke luar negeri yang
jauh sekali.”
Idealnya keluarga datang dua minggu lagi, jadi bisa langsung menempati rumah. Tapi berhubung
rindu sudah tak tertahan lagi, akhirnya mereka dipercepat datangnya. Walaupun jadinya selama dua
minggu tinggal sementara di Jugendherberge, Mannheim. Wisma murah itu sebetulnya untuk anak
muda yang sedang dalam perjalanan. Jadi fasilitasnya seadanya. Yang penting menghemat pikir kami.
Kebetulan pengurusnya orang Indonesia yang bersuamikan orang Jerman. Kami mendapat satu kamar
besar, tempat tidurnya bertingkat, ada tiga. Biayanya 12 Euro perorang perhari, termurah untuk
penginapan di Jerman. Selain kunci kamar, setiap penginap diberi nomor pin untuk masuk ke dalam
rumah. Demi keamanan. Kami perhatikan pengunjungnya bervariasi dari berbagai negara. Ada
serombongan wanita dari Afrika yang katanya mau mengadakan seminar wanita. Ada juga pelajar dari
Italia di depan kamar kami, yang cuma ingin melancong di Jerman menghabiskan waktu libur.
***
Setiap pagi kami mendapat Frühstück (sarapan pagi). Menunya khas Jerman, roti, mentega,
Marmelade (selai), keju, dan susis yang diiris tipis-tipis. Menurut literatur yang kubaca, roti di Jerman
ini sangat bervariasi. Yang ukurannya besar ada sekitar 300 jenis dan yang kecil sekitar 1200 jenis.
Ada Weizenbrot (dari gandum putih), Roggenbrot (gandum hitam), Vollkornbrot (roti kasar kecoklatcoklatan dari terigu yang bekatulnya tidak dipisahkan) dan Schrotbrot (roti dari biji padi-padian yang
digiling kasar). Roti yang jenisnya kecil, diantaranya Croissants dan Brezel. Brezel ini bentuknya
sangat khas, seperti angka delapan. Waktu pertama kali mencobanya, aku tak begitu suka, karena
rasanya sangat asin. Tapi lama-lama aku suka juga, karena ternyata enak dimakan hangat-hangat.
Butiran-butiran garam di atasnya bisa dihilangkan dengan sedikit menggesek pakai jari. Lagipula
harganya sangat murah, satu Brezel sekitar 0,55 sampai 1 Euro.
Selain roti, ada juga Müsli, campuran havermout, kismis, kacang, buah-buahan kering yang dimakan
bersama susu segar. Bagi yang suka Joghurt juga disediakan. Joghurt ini sejenis produk dari susu
yang dibuat asam dan berlemak yang biasanya dicampur buah. Minumannya selain kopi ada juga teh.
Tak seperti di Indonesia, teh di Jerman lebih banyak variasi rasanya. Ada Früchtetee (rasa buahbuahan), Pfefferminztee (rasa mint), Kamillentee (rasa bunga Kamille yang biasanya diminum kalau
sakit maag), Hustentee (diminum kalau sakit batuk). Tapi menurut ibuku tehnya rasanya aneh.
Mendingan minum teh tubruk katanya. Kami makan sekenyang-kenyangnya karena ada peraturan tak
boleh membawa makanan ke kamar. Beberapa penginap yang mencoba membawa makanan karena
tak tahu ada peraturannya, nampak ditegur oleh karyawan. Di Jerman ini memang banyak peraturan
yang sifatnya tertulis. Jadi kita harus selalu memperhatikan dinding, jangan-jangan ada peraturan baru
yang ditempel.
”Makan siangnya apa ya?. Di sini kan ada peraturan tak boleh masak pakai kompor. Katanya bisa
mengotori dinding”, tanyaku.
”Masak nasi Hainan saja pakai rice cooker”, ibuku punya ide.
”Ide yang bagus. Daging, sayur dan bumbu dicampur jadi satu dengan beras. Sangat praktis”
Untung anak-anak tidak rewel dan mau makan seadanya. Yang penting mereka bisa bebas bermain.
Keterbatasan fasilitas selama tinggal di Jugendherberge tak jadi masalah, karena anak-anak bisa
bermain di tepi sungai Rhein yang letaknya tak jauh dari wisma. Mereka senang memandangi bebekbebek yang berenang di sungai dan melambai-lambai pada setiap kapal yang lewat. Selain itu di tepi
sungai ada lapangan rumput yang sangat luas, dimana anak-anak bisa berlarian dan berguling-guling
dengan leluasanya.

12

***
”Kita sarapan yuk sudah jam 7 pagi. Habis sarapan kita bisa jalan-jalan ke pusat kota”, ajak suamiku
suatu pagi.
”Aneh, tapi sarapan paginya koq belum disiapkan ya?” aku keheranan ketika melihat pintu menuju
ruang makan masih tertutup dan sepi. Jangan-jangan ada perubahan peraturan atau jam tanganku yang
kecepatan.
Seorang karyawan segera mendekati kami yang kebingungan dan menjelaskan bahwa sudah saatnya
kita harus memajukan jam selama 1 jam. Jadi jarum arloji harus dimajukan menjadi jam 6 pagi.
”Hari Minggu terakhir bulan Oktober adalah permulaan waktu (jam) musim dingin (Beginn der
Winterzeit). Sebaliknya hari Minggu terakhir bulan Maret adalah permulaan waktu (jam) musim panas
(Beginn der Sommerzeit).” , karyawan itu mencoba menjelaskan lebih rinci.
Kami manggut-manggut berusaha untuk mengerti. Sambil kembali ke kamar di kepala kami timbul
pertanyaan mengapa harus demikian. Tapi memang, kalau melihat keluar jendela, hari masih gelap.
Terlalu pagi untuk memulai aktivitas sekolah atau bekerja di musim dingin. Jadi memang logis kalau
waktu aktivitas disesuaikan setiap bulan Oktober dan Maret.

5. Sulitnya Mencari Tempat Tinggal di Jerman
Tanggal 1 November kami pindah dari Jugendherberge ke apartemen (Wohnung) sementara di lantai
tiga daerah Hausen, Frankfurt am Main. Walaupun hanya overcontract selama 3 bulan, namun lega
rasanya. Apartemen terdiri dari dua kamar. Di Jerman ini, dua kamar bukan berarti dua kamar
tidurnya. Tapi satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Selain itu ada satu dapur dan kamar mandi.
Mesin cuci ada di Keller (ruang bawah tanah). Rumah itu termasuk yang möbliert, artinya semua
perabotan rumah termasuk gelas dan piring disediakan pemilik apartemen. Kita tinggal bawa koper isi
pakaian, makanan, dan mainan anak. Tampaknya enak, tapi aku justru kuatir kalau anak-anak
memecahkan gelas atau piring. Pecah satu piring, bisa-bisa disuruh ganti satu set. Urusan anak kadang
bikin repot. Aku sering menegur mereka yang kalau bermain pasti sambil melompat-lompat atau
berteriak keras-keras. Pasalnya, kata si pemilik apartemen (Vermieter), penghuni di bawah kami
adalah seorang nenek yang berpenyakit jantung. Kalau anak-anak terlalu ribut, bisa-bisa penyakitnya
kambuh, dan dia bisa komplain ke kami sekaligus pemilik apartemen. Itulah sebabnya pemilik
apartemen hanya mengijinkan kami tinggal untuk sementara sambil mencari apartemen yang
permanen.
Mulailah kami berburu apartemen sewaan. Jangan mimpi mendapat rumah utuh karena sewanya
sangat mahal. Untuk ukuran keluarga dengan 2 anak, minimal perlu 2,5 kamar (satu kamar tidur, satu
kamar tidur anak ukuran kecil, dan satu ruang tengah/tamu plus dapur dan kamar mandi). Di
Frankfurt, pasaran sewanya sekitar 500 Euro perbulan. Itu baru disebut Kaltmiete (sewa dasar rumah),
belum Warmmiete (sewa total sebulan) karena harus ditambah dengan Nebenkosten (biaya operasional
seperti biaya listrik, air bersih, air kotor, sampah, kebersihan dan penerangan jalan, asuransi rumah
dan sebagainya) yang berkisar antara 100-200 Euro tergantung fasilitas dan letak rumah.
Itu baru urusan uang. Ada kendala-kendala lain yang juga harus diperhitungkan menyangkut urusan
keluarga. Banyak pemilik apartemen yang menolak dengan alasan adanya anak karena suka memuat
gaduh tetangganya. Bukan soal komplainnya tapi bisa-bisa kehilangan uang gara-gara si tetangga
kabur. Yang menyedihkan kalau kami diberi alasan, „Daripada anak, kami lebih suka kalau Anda
bawa anjing....”. Orang Jerman memang sangat suka anjing karena bisa dilatih untuk menemani,
mengawal jalan-jalan dan yang penting tidak bikin ribut.

13

Status pendatang (Ausländer) juga menjadi alasan pemilik apartemen menolak kami. Sekilas dia tidak
bilang secara eksplisit, namun kata seorang teman, banyak kasus Ausländer ingkar janji, menundanunda membayar uang sewa, bahkan kabur meninggalkan tunggakan sewa berbulan-bulan. Orang
Jerman mengidentikkan Ausländer dengan pengangguran. Kami harus sering menunjukkan bukti surat
beasiswa untuk menjamin kontinunya pembayaran sewa, namun masih sering ditolak juga. Mereka
bilang, ”Apa cukup uang segini untuk sewa rumah dan biaya hidup dengan dua anak?”. Standar hidup
di Frankfurt memang cukup tinggi sehingga beasiswaku plus tunjangan keluarganya terbilang paspasan.
Satu bulan kami mencari apartemen berbekal iklan di koran, internet, dan informasi dari beberapa
rekan. Akhirnya kami memperoleh apartemen sewa di Mörfelden hingga sekarang. Letaknya kira-kira
20 km sebelah selatan kota Frankfurt am Main, arah ke Mannheim. Memang sudah bukan bagian kota
Frankfurt lagi, tapi termasuk Kreis (daerah) Gross-Gerau. Kotanya kecil, mungkin seukuran kota
kecamatan Lembang di Bandung. Suasana kota cukup tenang dan damai, berbeda dengan Frankfurt
yang hingar bingar.
Yah, beginilah nasib kami. Tapi walau demikian kami tetap bersyukur telah mendapat tempat tinggal
sebelum puncak musim dingin tiba. Transportasi ke Frankfurt Hauptbanhhof memakai S-Bahn selama
20 menit, lumayan cepat. Yang membuat kami terhibur, Mörfelden hanya berjarak 30 menit naik bus
ke Flughafen Frankfurt, jadi kami katakan ini kota di Jerman yang terdekat dengan Indonesia.
Beberapa kali kami mengantar atau menjemput rekan-rekan yang mau ke dan datang dari Indonesia.
Biasa... kangen cerita-cerita di tanah air dan sekaligus titip sesuatu dari atau ke ibu dan adik-adik di
Indonesia.
Yang membuat anak sulungku Naufal senang sekali tinggal di Mörfelden, stasiun keretanya sering
dilewati kereta ICE. Kadang kami menemaninya makan siang di halaman stasiun sambil menikmati
ngebutnya kereta ICE. Malah ada kesempatan buat mengajarinya Ilmu Fisika.
”Naufal, kenapa kalau yang lewat kereta ICE, angin yang berhembus tak kencang?”
”Karena mulutnya lancip”
”Kalau yang lewat kereta barang atau kargo?”
”Rasanya seperti terdorong ke belakang karena anginnya kencang sekali”
Begitu senangnya Naufal pada kereta, sehingga dia juga tahu persamaan kedua jenis kereta itu.
”Sama-sama panjang sekali, bertenaga listrik, hanya disopiri oleh seorang masinis dan selalu ngebut
waktu lewat Mörfelden”.
”Betul, padahal tadi itu masinisnya perempuan lho”
Apartemen kami terletak di lantai dua, sedangkan lantai dasar berupa Bistro (rumah makan) Thailand.
Kata teman-teman, ”Wah, enak dong. Kalau malas masak tinggal pesan mie atau nasi goreng ke
bawah”. Apartemen kami cukup luas, terdiri dari empat kamar yaitu 3 kamar tidur dan 1 ruang tengah,
plus 2 kamar mandi dan dapur. Di antara kamar-kamar ada lorong panjang, yang suka dimanfaatkan
anak-anak untuk main sepakbola. Rumah kami terletak di tepi jalan besar sehingga mengurangi
keheningan kota kecil Mörfelden. Pemiliknya orang Turki, sudah agak tua dan baik hati. Kalau ada
kerusakan di rumah, dia selalu turun tangan sendiri untuk memperbaikinya.
Cuma, yang membuat kami harus struggle: tidak ada satupun perabotan kecuali Heizung (alat
pemanas ruangan), pemanas air ledeng, dan tempat cuci piring. Sesaat kami bingung, bagaimana bisa
memperoleh perabotan, sedangkan beasiswa dan uang bekal dari Indonesia habis untuk membayar
biaya hidup, sewa bulan pertama, dan uang jaminan (Kaution) sebesar 2,5 kali biaya sewa bulanan.

14

Lagipula teramat mahal untuk bisa membeli semua perabotan yang diperlukan. Mau mencari
apartemen lain belum tentu ada yang cocok, terbukti dari beberapa kali ditolaknya permohonan kami.
Akhirnya Tuhan berkenan memberikan karuniaNya. Seorang teman mengajak suamiku, ”Saya
diminta tolong untuk membereskan apartemen bekas pakai orang Indonesia yang pulang habis.
Perabotan-perabotan harus dikeluarkan dari apartemen ini sebelum diserahkan ke pemiliknya. Kalau
Anda ada waktu, bantu saya beres-beres, perabotan yang Anda perlu disisihkan, sisanya Anda bantu
saya membuangnya”.
Jadilah, kami mendapat hibah almari pakaian, tempat tidur, kulkas, kursi, meja, sofa, bahkan
gantungan baju. Sisa perabotan dibuang ke tempat pembuangan barang bekas. Ongkos buangnya
sekitar 40 Euro per angkut mobil. Karena lantainya dingin, kami membeli karpet sisa potong dengan
harga separuh dari harga normal. Namanya juga sisa potongan, jadi tiap kamar mendapat karpet
dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Kami sebut karpet rumah pelangi. Sekali lagi kami
bersyukur, seorang teman dari kota lain, Speyer, juga memberi hibah mesin cuci yang baru dipakai
selama 3 bulan. Yang lebih bersyukur lagi, ongkos mobil angkut semua barang hampir semuanya
gratis karena dimanfaatkan dalam rangka membereskan apartemen orang Indonesia yang pulang habis
tadi.
Ada lagi sumber perolehan barang perabotan, yaitu dari Spermull, kumpulan barang-barang bekas
pakai. Konotasi barang bekas memang tidak enak, tapi siapa sangka di sana juga ada almari atau meja
kursi yang masih bagus. Orang Jerman sering membuang barang lamanya jika sudah bosan dan mau
membeli merk yang baru. Persoalan tinggal bagaimana menaikkan barang-barang berat tadi ke lantai
dua lewat tangga, tidak ada lift, apalagi dilakukan pada saat-saat musim dingin.

6. Mengenal Lingkungan Tempat Tinggal
Modal pertama tinggal di luar negeri tentulah sebuah paspor. Dari sebuah buku kecil bersampul hijau
atau biru itulah proses kependudukan dimulai. Ada dua jalur yang harus ditempuh yaitu melaporkan
diri ke Kantor Imigrasi (Ausländeramt) untuk memperoleh visa atau ijin tinggal dan ke Kedutaan
Besar atau Konsulat Jendral yang merupakan perwakilan pemerintah Indonesia. Untuk urusan yang
kedua lebih mudah karena berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang sebahasa dan fleksibel,
namun harus membayar sejumlah uang jika memakai paspor hijau.
Urusan di Ausländeramt gampang-gampang susah. Gampang, karena kita tinggal antri, tidak usah
membayar sepeserpun, dan cukup menunjukkan paspor dan surat beasiswa (bagi yang sekolah) atau
sur