Bahan sejarah ekonomi islam UAS

1. Dalam Mazhab Iqtishaduna tidak mengenal istilah Islamic Economis, jelaskan
alasan-alasan mereka menolak istilah tersebut!
Jawaban :
Mazhab ini berpendapat ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam.
Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak pernah dapat
disatukan karena keduanya berasal dari fislosofi yang kontradiktif. Yang satu antiIslam, yang lainnya Islam.
Menurut pandangan mereka, perbedaan filosofis ini berdampak pada perbedaan
cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi
yang sudah kita kenal, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia
yang tidak terbatas, sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan
keinginan manusia jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena
menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang
dipakai adalah al-Quran. "Sesungguhnya telah kami ciptakan segala sesuatu dalam
ukuran yang setepat-tepatnya" (QS Al-Qomar [54]: 49).
Dengan demikian, karena segala sesuatunya sudah diukur dengan sempurna,
sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di
dunia. Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Contoh,
manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu,
mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab
pada kenyataannya keinginan manusia terbatas.
Selain itu, semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional

ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha menyusun teori-teori
baru dalam ekonomi yang langsung digali dan direduksi dari Al-Quran dan AsSunnah, meskipun kita belum melihat hasil pengembangan teori ekonomi yang digali
dari wahyu tersebut.

2. Bagaimana bentuk-bentuk kebijakan moneter Islami dalam prespektif mazhab
Iqtishoduna, mainstream dan alternative kritis? Menurut anda mazhab
manakah yang teat untuk diterapkan di Indonesia?
Jawaban :
a. Mazhab Pertama (iqtishaduna).
Mahzab ini dipelopori Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal
"Iqtishaduna" (Our Economics). Pada awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak
diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem
perbankan dan minimnya penggunaan uang, jadi tidak ada alasan yang memadai
untuk uang hanya dipertukarkan dengan sesuatu yang benar- benar memberikan
nilai tambah bagi perekonomian. Transaksi seperti judi, riba dilarang dalam Islam
sehingga keseimbangan seperti arus uang dan barang / jasa dapat dipertahankan.
Jika diperhatikan, maka tampak bahwa perputaran uang dalam periode tertentu
sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang
sama.
Menurut mazhab Iqtishaduna, instrument yang digunakan adalah berhubungan

dengan konsumsi, tabungan dan investasi, serta perdagangan telah menciptakan
instrumen otomatis untuk pelaksanaan kebijakan moneter. Pada satu sisi sistem
ini menjamin keseimbangan uang dan barang/ jasa dan pada sisi lainnya
mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain menciptakan kesejahteraan
yang lebih nyata masyarakat.
b. Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah maksimalisasi
sumber daya (resources) untuk kegiatan perekonomian produktif. al- Quran
melarang praktek penumpukan (Money hoarding) karena membuat uang tersebut
tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kekayaan yang menumpuk tersebut akan menjadikan sumber dana yang
sebenarnya produktif menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, mazhab ini
merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi

kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas,
perekonomian secara keseluruhan.
c. Mazhab Ketiga (Alternatif)
Mazhab ini sangat banyak dipengaruhi oleh pemikir- pemikir ilmiah Dr. M.A.
Choudhury. Sistem kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah
berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Jadi, keputusankeputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen

moneter biasanya adalah harmonisasi dengan kebijakan- kebijakan disektor riil.
Menurut pemikiran yang ada pada mazhab ini, kebijakan moneter itu adalah
repeated gamer in the game theory dimana bentuk kurva penawaran dan
permintaan uang adalah seperti tambang yang melilit dan berlslope positif sebagai
akibat dari know leadge induced process dan information sharing yang amat baik.
Menurut saya yang lebih cocok dengan Indonesia adalah mazhab mainstream
karena dalam hal ini Indonesia masih belum mampu mengelola sumber daya
alamnya sendiri padahall kita tahu akan potensinya yang sangat besar apabila kita
mempu memaksimalisasi sumber daya alam Indonesia.
3. Dalam pandangan ekonomi kapitalis prinsip dasar dalam tindakan manusia
secara ekonomi dituntun oleh nilai-nilai efisiensi, persaingan, dan rasionalitas.
Bagaimana prinsip dasar ini dalam pandangan para tokoh ekonomi Islam
modern?
Jawaban :
Banyak nilai-nilai kapitalis yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip Islam, para
tokoh islam modern banyak yang mengkiritisi betapa buruknya sistem kapitalis ini,
Sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi yang saat ini paling sukses
merajai dunia dan hampir tidak ada negara-negara di dunia saat ini yang tidak
menggunakan sistem ekonomi ini. Tetapi sejak ideologi kapitalisme diterapkan, nilai
keagamaan, kemanusiaan dan moralitas semakin tergerus. Satu-satunya yang

mendominasikan hanyalah nilai material. Namun, nilai material ini pun malah

memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Oleh karenanya timbul
adanya istilah “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”.
Mereka menganggap bahwa persaingan, efesiensi, dan rasionalitas harus dijunjung
tinggi untuk memperoleh kesejahteraan, sehingga tidak memperhatikan variabelvariabel lain. Dalam system ekonomi kapitalis terdapat Problem kelangkaan Relatif
atau scarcity problem yang menjadi salah satu prinsip pada system ini, dimana pada
prinsip yang satu ini didasarkan pada kenyataan bahwa ada gap antara kebutuhan
yang disebut tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Karena alat
pemuas kebutuhan tidak mencukupi kebutuhan, disitulah disebut adanya kelangkaan.
kebutuhan manusia yang diakui oleh kaum kapitalis itu hanyalah kebutuhan fisik atau
materi. Adapun kebutuhan yang bersifat emosional seperti rasa bangga dan kebutuhan
spiritual seperti pengagungan terhadap sesuatu adalah kebutuhan yang tidak pernah
diakui keberadaannya secara ekonomi dalam pandangan kaum kapitalis. Demikian
juga alat pemuas kebutuhan yang mereka kaji untuk diproduksi, didistribusi dan
dikonsumsi adalah alat pemuas kebutuhan yang bersifat fisik.
Dalam sistem ekonomi kapitalis yang menjadi ukuran barang dan jasa tersebut adalah
faktor kegunaan (utility). Kegunaan (utulity) ini sangat khas atau sangat personal.
Dikatakan khas dan personal karena kegunaan (utility) tunduk pada keinginan (want)
orang perorang. Dengan kata lain, barang dan jasa itu dianggap mempunyai

kegunaan, jika barang dan jasa itu dibutuhkan. Barang dan jasa tersebut dalam asumsi
mereka dibutuhkan jika orang perorang yang menginginkannya

4. Dalam bukunya “Masa Depan Ekonomi Islam” Umar Chapra mengulas
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai hubungan Negara, Rakyat, Kekayaan alam,
dan keadailan. Coba anda uraikan pemikiran Ibnu Khaldun tersebut dan
menurut anda

apakah unsur-unsur tersebut sudah memenuhi untuk

tercapainya kemakmuran dan keadilan ekonomi Islam?
Jawaban :
Ibnu Khaldun tentang keterkaiatan ekonomi dengan politik (negara) dan aspek-aspek
lainnya. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam gambar di bawah
ini :
Di mana :
G = Government (pemerintah) = ‫الملك‬
S = Syari’ah = ‫الشريعة‬
W = Wealth (kekayaan/ekonomi) =‫المأوال‬
N = Nation (masyarakat/rakyat)= ‫الرجال‬

D = development (pembangunan) = ‫عمارة‬
J = Justice (Keadilan) = ‫العدل‬
Gambar tersebut dibaca sebagai berikut :
1) Pemerintah (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan
2) implementasi Syari’ah (S)
3) Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh pemerintah/penguasa (G)
4) Pemerintah (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh masyarakat (N)
5) Pemerintah G) yang kokoh tidak terwujud tanpa ekonomi

yang tangguh

6) Masyarakat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan ekonomi/kekayaan
7) Kekayaan

tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (D)

8) Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (J)
9) Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan keadilan (J)
10) Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi oleh Allah.


Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan hubungan variabel-variabel
yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah negara (G). Variabel tersebut adalah
syari’ah (S), masyarakat (N), kekayaan , pembangunan (D) dan keadilan (J)
Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling
tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut menjadi faktor
yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan keruntuhannya.
Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang dianggap tetap
(cateris paribus) sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini.
Karena memang tidak ada variabel yang tetap (konstan) . Satu variabel bisa menjadi
pemicu, sedangkan variabel yang lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang
sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan
menimbulkan dampak mundur, tetapi bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini
bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali. Sebaliknya, jika
tidak bisa diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam,
yaitu menuju kemunduran..Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama
atas reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk
diidentifikasi penyebab dan akibatnya.
Variabel pembangunan (D) dan keadilan (J) perlu mendapat perhatian, sebagaimana
variabel-variabel lain. Pembangunan merupakan unsur panting dalam masyarakat,
tanpa pembangunan masyarakat tidak akan maju dan berkembang.


Namun,

pembangunan tidak akan berarti tanpa keadilan. Oleh karena itu, perlu konsep
distributive justice untuk mewujudkan keadilan pembangunan tersebut.
Menurut saya dengan sistem lingkaran keadilan yang dirumuskan oleh Umar Chapra
berdasarkan pemikiran Ibnu Khaldun ini kemakmuran dan keadilan di Indonesia akan
tercapai karena semua variabel yang terdapat di dalam rumus ini mengandung
elemen-elemen penting yang saling terkait dalam hal pelaksanaannya harus menjadi
landasan bagi negara Indonesia.

5. Bagaimana konsep produksi Islami menurut M. Abdul Manan dan jelaskan
tingkat keuntungan yang diperbolehkan dalam ajaran Islam!
Jawaban :
M. Abdul Mannan berpendapat prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan
dalam proses produksi adalah kesejahteraan ekonomi, konsep kesejahteraan ekonomi
dalam islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang di akibatkan oleh
meningkatnya produksi dari barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya
yang ada secara maksimum, baik manusia maupun benda, selanjutnya diiringi dengan
perbaikan sistem produksi, ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan maksimal

dengan usaha minimal namun dalam hal konsumsi tetap berpedoman pada nilai-nilai
keislaman. Oleh karena itu, dalam pandangan islam, meningkatnya produksi barang
belum tentu menjamin kesejahteraan secara ekonomi, karena disamping peningkatan
produksi juga harus memperhitungkan akibat yang ditimbulkan dari barang-barang
yang di produksi, untuk itu islam telah melarang memproduksi barang-barang yang
dilarang alam Islam seperti alkohol, karena peningkatan produski barang ini belum
tentu meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi. bedanya dengan sistem prosuksi
dalam ekonomi konvensional, proses produksi dalam Islam harus tunduk kepada
aturan Al-Quran dan Sunnah.
Sistem produksi di negara muslim menurut Mannan tidak hanya menaruh perhatian
pada volume produksi, tetapi juga menjamin terlibatnya tenaga maksimum dalam
proses produksi, dan ini menjadi sebuah kecaman dinegara kapitalis karena proses
produksi hanya mellibatkan sejumlah pemilik modal saja, sehingga menghaabat
proses distribusi pendapatan yang berujung pada kesenjangan ekonomi.
Disamping itu menurut Mannan, sistem produksi dalam sebuah negara Islam harus
dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria subyektif diukur
dengan kesejahteraan material, sedangkan kriteria obyektif harus tercermin dalam
kesejahteraan dari segi etika ekonomi Islam yang didasarkan pada perinth-perintah
kitab suci Al-Quran maupun Sunnah Nabi.


Menentukan tingkat keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu
perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’, bahkan secara khusus diperintahkan
Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang
tidak bisa bisnis dengan baik, misalnya anak-anak yatim (lihat QS. An-Nisa’:29, AlBaqarah: 194, 275, 282, An-Nur:37, Al-Jum’ah:10, Al-Muzzammil:20, Quraisy:1-3)
Dan, tak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %,
50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan
yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak
mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya,
maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal
bahkan beberapa kali lipat. Hal itu berdasarkan dalil berikut:
Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga
100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad
dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384),
Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Ja’d alBariqi ra.